Anda di halaman 1dari 35

Hyaline Membran Disease Pendahuluan Hyaline membrane disease (HMD)

merupakan suatu penyakit pada bayi yang lahir prematur yang mempunyai gejala
klinis sesak napas ketika lahir. Penyakit ini disebabkan oleh kekurangan dari zat
surfaktan. Nama lain dari penyakit ini adalah surfactan deficiency disease.
Gambaran klinis
Gejala muncul pada 2 jam pertama sejak lahir.
Gejala
yang muncul >8jam bukan disebabkan oleh HMD.
Dengan penanganan yang
baik, perbaikan yang bertahap terjadi setelah 48-72 jam. Gambaran Radiologi
Bomsel membagi HMD ke dalam 4 -Grade 1: Gambaran retikulogranular yang
sangat halus dan sulit dilihat dengan sedikit gambaran air -Grade 2: Gambaran
retikulogranular yang secara homogen terdistribusi di kedua lapang paru.
Gambaran air bronchogram jelas, luas, dan bertumpang tindih dengan bayangan
jantung. Ada penurunan aerasi -Grade 3: Pengelompokan alveoli yang kolaps
membentuk gambaran nodul-nodul berdensitas tinggi yang cenderung menyatu.
Pada keadaan yang sangat ekstensif, gambaran air bronchogram terlihat di bawah
diafragma. Radiolusensi paru sangat menurun sehingga bayangan jantung sulit
-Grade 4: Opasitas yang komplit pada kedua lapang paru dengan gambaran air
bronchogram yang ekstensif. Bayangan jantung tidak dapat dilihat lagi

Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef

Hyaline Membran Disease (HMD) / Respiratory Distress Syndrom (RDS)


PENGERTIAN
Respiratory Distress Syndrome (RDS) atau sindrom gawat nafas adalah suatu istiah yang
digunakan untuk menggambarkan kondisi disfungsi pernafasan pada neonatus. Kondisi disfungsi atau
gangguan pernafasan ini dapat disebabkan karena adanya keterlambatan perkembangan dari maturitas
paru yang disebabkan karena ketidakadekuatan dari jumlah surfaktan dalam paru (Suriadi dan Yuliani,
2006; Whalley dan Wong, 2009).
Respiratory Distress Syndrom disebut juga dengan Hyaline Membran
Disease atau penyakit membrane hyaline. Ciri khas pada penyakit ini adalah selalu
ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli (Surasmi, 2003). Sebelum kita memahami lebih
lanjut mengenai penyakit ini, maka kita perlu memahami terlebih dahulu perkembangan paru-paru saat
kehamilan.

Perkembangan fungsi paru-paru saat kehamilan:

Saat janin/fetus berada di dalam kandungan maka plasenta berfungsi sebagai organ
respirasi bagi fetus, namun untuk dapat beradaptasi pada lingkungan ekstra uterine, maka
paru-paru fetus akan mengalami fase-fase perkembangan.

Fase terakhir dari perkembangan paru-paru fetus adalah periode sacus terminalis
dimana terjadi perkembangan alveolar pada minggu ke 24 sampai janin berusia aterm dan
siap untuk dilahirkan. Gerak pernafasan janin terjadi pada periode sebelum itu.

Sistem pernafasan janin mulai dibentuk pada usia kehamilan 6 minggu. Saluran
udara yang terdapat dalam paru-paru mulai dibentuk pada usia kehamilan 7 minggu.

Pada usia kehamilan 8 minggu, saluran bronchi yang menghubungkan paru-paru


dengan tenggorokan mulai bercabang. Mulai terbentuk lubang hidung, bibir, mulut serta
lidah.

Pada usia kehamilan 10 minggu, semua organ penting yang telah terbentuk dalam
tubuh mulai bekerjasama, termasuk jantung dan paru-paru.

Usia kehamilan 20 minggu terjadi proses penyempurnaan paru-paru dan sistem


pernafasan janin. Produksi surfaktan sudah dimulai, jumlahnya meningkat sampai paru-paru
matang (30-34 minggu kehamilan).

Usia kehamilan 25 minggu, janin mengalami cegukan sebagai tanda sedang latihan
bernafas, menghirup dan mengeluarkan air ketuban. Jika air ketuban tertelan, maka janin
akan cegukan. Saluran darah di paru-paru semakin berkembang. Fungsi menelan dan indra
penciuman semakin membaik dan hidung janin (nostrils) sudah mulai berfungsi.

Pada usia kehamilan 28 minggu, paru-paru janin belum sempurna, namun apabila
janin lahir, kemungkinan besar janin tersebut telah dapat bertahan hidup.

Usia kehamilan 31 minggu, kondisi paru-paru janin mendekati sempurna, apabila


janin lahir, maka kemungkinan bisa bertahan hidup.

Usia kehamilan 33 minggu, janin sudah bisa mengambil nafas dalam-dalam


walaupun bernafas dalam air.

Pada usia kehamilan 36 minggu, saat ini paru-paru janin sudah bekerja dengan baik
bahkan sudah siap untuk dilahirkan.

Pada usia kehamilan 37 minggu, janin sedang belajar untuk melakukan pernafasan
walaupun pernafasannya masih dilakukan di dalam air.


Pada usia kehamilan 38-40 minggu, proses pembentukan telah berakhir dan janin
telah siap untuk dilahirkan
Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan Janin

Perkembangan paru terdiri dari 4 periode yaitu periode embrionik, pseudoglandular,


canalicular dan terminal.

Suplai Oksigen dibutuhkan untuk proses respirasi sel dan membuang kelebihan
karbondioksida. Pertukaran gas antara oksigen dengan karbondioksida dilakukan agar
proses respirasi sel terus berlangsung.

Pada manusia alveolus yang terdapat di paru-paru berfungsi sebagai permukaan


untuk tempat pertukaran gas, alveolus mengurangi tekanan permukaan paru dan
membantu untuk menstabilkan dinding alveolus sehingga tidak kolaps pada akhir
pernafasan.

Tidak adanya surfaktan menyebabkan alveoli kolaps setiap saat akhir pernafasan,
sehingga mengakibatkan sulit bernafas. Peningkatan kebutuhan ini memerlukan
penggunaan lebih banyak oksigen dan glukosa maka menyebabkan stres pada bayi yang
sebelumnya sudah mulai mengalami gangguan.
Jalannya udara pernafasan bayi

Udara masuk melalui lubang hidung setelah itu melewati nasofaring kemudian
melewati oralfaring lalu melewati glotis kemudian masuk ke trakea menuju masuk ke
percabangan trakea yang disebut bronchus lalu masuk ke percabangan bronchus yang
disebut dengan bronchiolus dimana udara berakhir pada ujung bronchus berupa gelembung
udara yang disebut alveolus.

Pertukaran udara yang sebenarnya terjadi di alveoli. Dalam paru-paru orang dewasa
terdapat sekitar 300 juta alveoli, dengan luas permukaan sekitar 160 m2 atau sekitar 1 kali
luas lapangan tenis atau luas 100 kali dari kulit.

Alveolus adalah kantung berdinding tipis yang mengandung udara, melalui seluruh
dinding inilah terjadi pertukaran gas. Lubang-lubang kecil di dalam dinding alveolar
memungkinkan udara melewati satu alveolus yang lain.
Adaptasi Fisik Pada Bayi Baru Lahir

Perubahan sistem pernafasan/respirasi: selama dalam uterus, janin mendapatkan


oksigen dari pertukaran gas melalui plasenta. Setelah bayi lahir, pertukaran gas harus
melalui paru-paru.

Paru-paru berasal dari titik tumbuh yang muncul dari pharynx yang bercabang dan
kemudian bercabang kembali membentuk struktur percabangan bronkus, proses ini terus
berlanjut sampai sekitar 8 bulan.

Janin memperlihatkan adanya gerakan nafas sepanjang trimester II dan III. Sebelum
janin berusia 24 minggu, kondisi paru-paru yang tidak matang akan mengurangi
kelangsungan hidup bayi baru lahir. Hal ini disebabkan karena keterbatasan permukaan
alveolus, ketidakmatangan sistem kapiler paru-paru dan tidak tercukupinya jumlah
surfaktan.
Faktor-faktor yang berperan dalam menstimulasi pernafasan


Hipoksia pada akhir persalinan dan rangsangan fisik lingkungan luar rahim yang
merangsang pusat pernafasan di otak.

Tekanan terhadap rongga dada, yang terjadi karena kompresi paru-paru selama
persalinan, merangsang masuknya udara ke dalam paru-paru secara mekanis. Interaksi
antara sistem pernafasan, kardiovaskuler dan susunan saraf pusat menimbulkan pernafasan
yang teratur dan berkesinambungan serta denyut yang diperlukan untuk kehidupan.

Setelah bayi lahir, kadar CO2 dalam darah akan meningkat sehingga merangsang
usaha bayi untuk bernafas. Berkurangnya kadar oksigen akan mengurangi gerakan
pernafasan janin, tetapi sebaliknya kenaikan karbondioksida akan menambah frekuensi dan
tingkat gerakan pernafasan janin.

Perubahan suhu, seperti kondisi dingin akan merangsang pernafasan.

Fungsi dari upaya pertama pernafasan

Upaya pertama pernafasan akan mengeluarkan cairan dalam paru-paru, seperti


diketahui bayi cukup bulan mempunyai cairan di paru-parunya. Saat bayi melewati jalan
lahir selama persalinan, sekitar 1/3 cairan ini keluar dari paru-paru.

Dengan beberapa kali tarikan nafas yang pertama membuat udara memenuhi
ruangan trakea dan bronkus bayi baru lahir.

Sisa cairan di paru-paru dikeluarkan dari paru-paru dan diserap oleh pembuluh limfe
dan darah.

Mengembangkan jaringan alveolus paru-paru untuk pertama kalinya.

Patofisiologi

Surfaktan merupakan zat yang berasal dari lipoprotein yang terdapat dalam alveoli
dan bronkiolus, yang berfungsi untuk membantu menurunkan tegangan permukaan,
mempertahankan patensi alveoli, dan mencegah kolaps alveoli, khususnya pada akhir
ekspirasi.

Perkembangan akhir jalan nafas neonatus terjadi pada masa kehamilan 27 minggu,
namun otot-otot intercostae masih lemah dan pasokan udara ke dalam alveoli serta kapiler
masih belum matur.

Defisiensi surfaktan menyebabkan tegangan permukaan yang lebih tinggi. Alveoli


paru tidak mampu mempertahankan patensinya dan mulai kolaps.

Saat alveoli kolaps, akan terjadi penurunan ventilasi dan hipoksia.

Cedera paru dan reaksi inflamasi yang diakibatkan menimbulkan edema dan
pembengkakan pada ruang interstitial sehingga pertukaran gas antara kapiler dan alveoli
yang masih berfungsi akan terganggu.

Keadaan inflamasi menstimulasi produksi membrane hialin yang tersusun dari


timbunan fibrin berwarna putih di dalam alveoli. Timbunan atau endapan tersebut,
selanjutnya akan menurunkan pertukaran gas dalam paru-paru dan mengurangi kelenturan
paru sehingga kerja pernafasan semakin bertambah berat.

Penurunan ventilasi alveolar mengakibatkan penurunan ratio ventilasi-perfusi dan


menimbulkan vasokonstriksi arteriol paru. Vasokonstriksi pulmoner ini menyebabkan
peningkatan volume dan tekanan dalam jantung kanan sehingga aliran darah akan dipintas
dari atrium kanan melalui foramen ovale yang terbuka (paten) ke dalam atrium kiri.

Peningkatan resistensi pulmoner juga mengakibatkan darah kotor mengalir melalui


duktus arteriosus dengan memintas (by pass) daerah paru-paru sepenuhnya dan

menyebabkan pintasan (shunt) dari kiri ke kanan. Pintasan tersebut akan memperberat
keadaan hipoksia.

Paru-paru bayi yang belum matur, sedangkan laju metabolik bayi juga mengalami
kenaikan mengakibatkan bayi harus menggunakan lebih banyak energi untuk melakukan
ventilasi alveoli yang kolaps. Kondisi tersebut akan meningkatkan kebutuhan oksigen dan
menimbulkan sianosis pada bayi.

Bayi berusaha mengimbanginya dengan melakukan pernafasan dangkal dan cepat,


sehingga awalnya akan terjadi alkalosis respiratorik karena karbon dioksida dibuang keluar.

Peningkatan upaya untuk mengembangkan paru menyebabkan pelambatan respirasi


dan asidosis respiratorik yang kemudian mengakibatkan gagal nafas.
Perbedaan Paru-Paru Janin/Fetus & Neonatal

Gambaran Klinis

Takipnoea (pernafasan cepat)

Gerakan pernafasan yang tidak biasa (retraksi interkostalis, ketika menghirup udara,
otot dinding dada tertarik).

Nafasnya pendek dan ketika menghembuskan nafas terdengar suara ngorok.

Terlihat adanya pernafasan cuping hidung

Apnoea.

Sianosis (warna kulit dan selaput lendir membiru)

Edema (pembengkakan tungkai atau lengan).

Syok

DOWN SCORE/EVALUASI GAWAT NAFAS

Keterangan:

Skor < 4 : Tidak ada gawat nafas

Skor 4-7 : Gawat nafas

Skor > 7 : Ancaman gagal nafas. Pemeriksaan gas darah harus dilakukan

Klasifikasi HMD/RDS/Sindrom Gawat Nafas

Sindrom gawat nafas klasik/ classic respiratory distress syndrome

Sindrom gawat nafas sedang/ moderately severe respiratory distress syndrome

Sindrom gawat nafas berat/ severe respiratory distress syndrom

KOMPLIKASI
Komplikasi jangka pendek (akut):

Ruptur alveoli

Infeksi

Perdarahan intracranial dan leucomalacia periventrikuler

PDA

Komplikasi jangka panjang:

Bronchopulmonary Dyspasia (BPD)

Retinopathy Prematur

Penatalaksanaan
1. Resusitasi Adekuat:
Pengembangan paru dengan tekanan positif jika upaya pernafasan spontan tidak mengembangkan paru

secara sempurna dan bantuan ventilasi dengan campuran oksigen dan udara untuk mempertahankan
PO2 arteri antara 50-70 mmHg. Bantuan ventilasi harus dilanjutkan sampai bayi tersebut dapat
mempertahankan PCO2 dan bernafas secara spontan.
2. Dukungan umum:
Bayi harus dirawat dalam lingkungan bersuhu netral dan hangat. Konsumsi cairan harus tetap dipantau
sampai dengan cairan paru diserap dan diuresis sempurna. Umumnya pemberian 60-80 ml/kg/hari
larutan glukosa 10% cukup adekuat untuk bayi; jumahnya harus dinaikan jika kadar natrium meningkat.
Natrium klorida biasanya tidak diperlukan, karena neonatus memiliki volume cairan ekstraseluler yang
besar, sehingga natrium relative berlebih. Jika tekanan arteri tetap rendah (pada awal penyakit) dan
sirkulasi perifer tidak adekuat, yang dinilai dari pengisian kapiler yang buruk, volume yang bersirkulasi
dapat ditingkatkan dengan cairan koloid. Infus dopamine (5-20 g/kg/menit) dapat membantu
mempertahankan sirkulasi, terutama pada BBLR (Bayi Berat badan Lahir Rendah).
3. Dukungan pernafasan:
Cara untuk meningkatkan PO2 arteri pada bayi dengan HMD adalah meningkatkan PO2 alveolus dalam
unit paru yang sedang mengalami ventilasi yang buruk. Hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan
oksigen inspirasi atau memberikan tekanan positif ke paru dan meningkatkan ventilasi dalam unit paru
yang sedang mengalami ventilasi yang buruk. Tekanan oksigen inspirasi harus dipertahankan tepat untuk
mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50-70 mmHg. Atelektasis progresif adalah ciri khas dari
HMD, distensi paru adalah terapi yang paling cepat dapat dilakukan. Jika bayi banyak bergerak, hal
tersebut dapat dicapai dengan memberikan tekanan jalan nafas kontinu (CPAP) melalui slang nasal atau
slang endotrakea.
4. Pergantian Surfaktan:
HMD dapat dicegah dengan memasukan surfaktan paru saat lahir ke dalam paru bayi yang dilahirkan
dengan resiko tinggi paru imatur. Terdapat 4 jenis surfaktan, yaitu:

Surfaktan natural atau asli, yang berasal dari manusia.

Surfaktan eksogen sintetik, memiliki 2 jenis yaitu KL4 (sinapultide) dan rSPC
(Venticute).

Surfaktan eksogen semi sintetik

Surfaktan eksogen biologik

PENCEGAHAN

Persalinan prematur harus dihindari.

Pemberian betametasone pada wanita dengan persalinan prematur setidak-tidaknya


2 hari sebelum persalinan.

Pemberian kortikosteroid antenatal

Daftar Pustaka

Suriadi dan Yuliani. 2006. Patofisiologi Anak Sakit.

Whalley dan Wong. 2009. Pediatric of Nursing.

Surasmi. 2003. Kegawatdaruratan Pada Neonatus.

Hyalin Membran Disease (HMD) BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK FAKULTAS


KEDOKTERAN 2006 1. Pendahuluan Hyaline Membrane Disease (HMD), juga dikenal
sebagai respiratory distress syndrome (RDS), adalah penyebab tersering dari gagal
nafas pada bayi prematur, khususnya yang lahir pada usia kehamilan 32 minggu.
(4) Hyaline Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi
baru lahir. Kurang lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh
HMD atau komplikasinya. (9) HMD disebut juga Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1,
yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat
setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung, tipe
pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau
menjadi progresif dalam 48 96 jam pertama kehidupan dan pada pemeriksaan
radiologis ditemukan pola retikulogranuler yang uniform dan air bronchogram. (2)
Pengenalan surfaktan eksogen sebagai pencegahan dan terapi telah merubah
keadaan klinik dari penyakit dan menurunkan morbiditas dan mortalitas dari
penyakit. (4) Hyaline Membrane Disease (HMD) Respiratory Distress Syndrome
(RDS) 2.1 Definisi HMD disebut juga respiratory distress syndrome (RDS) atau
Sindroma Gawat Nafas (SGP) tipe 1, yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan
yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya kesukaran
bernafas, (pernafasan cuping hidung, grunting, tipe pernapasan dispnea / takipnea,
retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 96
jam pertama kehidupan. Penyebabnya adalah kurangnya surfaktan. Gagal nafas
dapat didiagnosa dengan analisis gas darah. Edema sering didapatkan pada hari ke2, disebabkan oleh retensi cairan dan kebocoran kapiler. Diagnosa dapat
dikonfirmasi dengan foto rontgen. Pada pemeriksaan radiologist ditemukan pola
retikulogranuler yang uniform, gambaran ground glass appearance dan air
bronchogram. Namun gambaran ini bukan patognomonik RDS. (2),(5) 2.2 Insidensi
Hyaline Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi
baru lahir. Di US, RDS terjadi pada sekitar 40.000 bayi per tahun. Kurang lebih 30 %
dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh HMD atau komplikasinya. (9),
(8) HMD pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik
dengan umur kehamilan dan berat lahir. Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi
kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari
37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi matur. (9) Frekuensinya meningkat
pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37 minggu, kehamilan
dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran yang
dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu mengalami HMD. (9)
Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang menyebabkan
terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan pecahnya ketuban
untuk waktu yang lama serta hal-hal yang menimbulkan stress pada fetus seperti
ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya infeksi kongenital kronik. (4)
Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih. (9)
Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan

produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II. (4) Insidensinya berkurang pada
pemberian steroid / thyrotropin releasing hormon pada ibu. (4) 2.3 Etiologi dan
Patofisiologi 2.3.1 Pembentukan Paru dan Surfaktan Pembentukan paru dimulai
pada kehamilan 3 - 4 minggu dengan terbentuknya trakea dari esofagus. Pada 24
minggu terbentuk rongga udara yang terminal termasuk epitel dan kapiler, serta
diferensiasi pneumosit tipe I dan II. Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi
namun jarak antara kapiler dan rongga udara masih 2 -3 kali lebih lebar dibanding
pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan
pembentukan alveoli sejak 32 34 minggu. (4) Surfaktan muncul pada paru-paru
janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum mencapai permukaan paru.
Muncul pada cairan amnion antara 28-32 minggu. Level yang matur baru muncul
setelah 35 minggu kehamilan. (9) Surfaktan mengurangi tegangan permukaan pada
rongga alveoli, memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli selama
ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema paru serta berperan pada sistem
pertahanan terhadap infeksi. (4),(9) Komponen utama surfaktan adalah
Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin) 80 %, phosphatidylglycerol 7 %,
phosphatidylethanolamine 3 %, apoprotein (surfactant protein A, B, C, D) dan
cholesterol. Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah pula produksi
fosfolipid dan penyimpanannya pada sel alveolar tipe II.(9) Protein merupakan 10 %
dari surfaktan., fungsinya adalah memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada
perbatasan udara-cairan di alveolus, dan ikut serta dalam proses perombakan
surfaktan. (4),(13) Gambar 2.1. Metabolisme surfaktan. (10) Surfaktan disintesa dari
prekursor (1) di retikulum endoplasma (2) dan dikirim ke aparatus Golgi (3) melalui
badan multivesikular. Komponen-komponennya tersusun dalam badan lamelar (4),
yaitu penyimpanan intrasel berbentuk granul sebelum surfaktan disekresikan.
Setelah disekresikan (eksositosis) ke perbatasan cairan alveolus, fosfolipid-fosfolipid
surfaktan disusun menjadi struktur kompleks yang disebut mielin tubular (5). Mielin
tubular menciptakan fosfolipid yang menghasilkan materi yang melapisi perbatasan
cairan dan udara (6) di alveolus, yang menurunkan tegangan permukaan. Kemudian
surfaktan dipecah, dan fosfolipid serta protein dibawa kembali ke sel tipe II, dalam
bentuk vesikel-vesikel kecil (7), melalui jalur spesifik yang melibatkan endosom (8)
dan ditransportasikan untuk disimpan sebagai badan lamelar (9) untuk didaur
ulang. Beberapa surfaktan juga dibawa oleh makrofag alveolar (10). Satu kali transit
dari fosfolipid melalui lumen alveoli biasanya membutuhkan beberapa jam.
Fosfolipid dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II dan digunakan kembali 10 kali
sebelum didegradasi. Protein surfaktan disintesa sebagai poliribosom dan
dimodifikasi secara ekstensif di retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan badan
multivesikular. Protein surfaktan dideteksi dalam badan lamelar sebelum surfaktan
disekresikan ke alveolus. (10),(4) 2.3.2 Etiologi HMD Kegagalan mengembangkan
functional residual capacity (FRC) dan kecenderungan dari paru yang terkena untuk
mengalami atelektasis berhubungan dengan tingginya tegangan permukaan dan
absennya phosphatydilglycerol, phosphatydilinositol, phosphatydilserin,
phosphatydilethanolamine dan sphingomyelin. (4) Pembentukan surfaktan
dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia

pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia, hipotensi dan stress dingin;


menghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paru-paru juga dapat
rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi,
mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan. (9) 2.3.3 Patofisiologi HMD
Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan
baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru yang
tidak efisien karena jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons. Edema
interstitial terjadi sebagai resultan dari meningkatnya permeabilitas membran
kapiler alveoli sehingga cairan dan protein masuk ke rongga laveoli yang kemudian
mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu pada neonatus pusat respirasi belum
berkembang sempurna disertai otot respirasi yang masih lemah. (13) Alveoli yang
mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan edema interstitial
mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk
mengembangkan saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian bawah
tertarik karena diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi negatif,
membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat diproduksi. Semua hal tersebut
menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi prematur
yang memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi
matur, berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada
akhir respirasi volume toraks dan paru-paru mencapai volume residu, cencerung
mengalami atelektasis. (9) Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan,
bersama dengan unit respirasi yang kecil dan berkurangnya compliance dinding
dada, menimbulkan atelektasis, menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun
tidak memperoleh ventilasi, yang menimbulkan hipoksia. Berkurangnya compliance
paru, tidal volume yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis, bertambahnya
usaha bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia.
Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri
pulmonal dan meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus
arteriosus, dan melalui paru sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik
pada sel yang memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler menyebabkan efusi
materi protein ke rongga alveoli. (9) Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan,
dinding dada compliant, otot nafas lemah dapat menyebabkan kolaps alveolar. Hal
ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu terjadi pirau di paru
dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan asidosis metabolik.
Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan
penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi
surfaktan turun. Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui
foramen ovale dan duktus arteriosus memperburuk hipoksemia. (4) Aliran darah
paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya resistensi
vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler,
aliran darah paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan
rongga alveolar. Protein pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan. (4)
Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru
merupakan karakteristik HMD. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan,

sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon,


bayi premature mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi dan mencegah
FRC semakin berkurang. Compliance paru <>(4) Prematuritas Defisiensi surfaktan
Inaktivasi surfaktan Kerusakan pneumosit tipe II Kolaps alveolar Akumulasi cairan
dan Ventilasi mekanik Protein di alveoli Toksisitas oksigan Pirau intrapulmoner
Peningkatan aliran darah paru Edema paru Pirau kiri ke kanan PDA Hipoksemia
asidosis Asfiksia Gambar 2.2 Patofisiologi HMD (4) Prematuritas Sintesa dan
pelepasan surfaktan turun Tegangan permukaan alveoli meningkat Atelektasis
Hipoksemia, hiperkarbia Asidosisrespiratorik dan metabolik Resistensi paru dan
vasokonstriksi meningkat Kebocoran kapiler paru Membran hyalin (hambatan difusi
meningkat) Gambar 2.3 Patofisiologi HMD (2) SC Prematur Predisposisi familial
Asfiksia intrapartum Asidosis Surfaktan kurang Gangguan metabolisme Atelektasis
selular Progresif Alveolar Hipoventilasi Hipoperfusi Gangguan V/Q Vasokonstriksi
PCO2 naik TTN Pulmonal PO2 dan pH turun Asfiksia neonatal Shock hipotensi
Hipotermi Apnea Hipovolemi Gambar 2.4 Faktor faktor yang Mempengaruhi
Patogenesis HMD (9) 2.4 Patologi Paru nampak merah keunguan dengan konsistensi
menyerupai liver. Secara mikroskopis, terdapat atelektasis luas. Beberapa ductus
alveolaris, alveoli dan bronchiolus respiratorius dilapisi mebran kemerahan
homogen atau granuler. Debris amnion, perdarahan intra-alveolar, dan emfisema
interstitial dapat ditemukan bila penderita telah mendapat ventilasi dengan positive
end expiratory pressure (PEEP). Karakteristik HMD jarang ditemukan pada penderita
yang meninggal kurang dari 6-8 hari sesudah lahir. (9) Membran hyalin tidak
didapatkan pada bayi dengan RDS yang meninggal <>(8) Gambar 2.5. Gambaran
mikroskopis paru-paru yang mengalami HMD. (7) Ditandai dengan alveoli yang
kolaps berselang-seling dengan alveoli yang mengalami hiperaerasi, kongesti
vaskuler, dan membran hyalin (fibrin, debris sel, eritrosit, netrofil dan makrofag).
Membran hyalin terlihat sebagai materi yang eosinifil dan amorf, membatasi atau
mengisi rongga alveolar dan menghambat pertukaran gas. Gambar 2.6 Gambaran
paru-paru normal dilihat secara mikroskopis (11) 2.5 Manifestasi klinik Tanda dari
HMD biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya baru
diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal
(60 x / menit).Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan
penyakit lain. Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia
intrapartum atau distres pernafasan awal yang berat (bila berat badan lahir <>(9)
Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal dan subcostal, dan
pernafasan cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif
terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular
yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat terdengan ronkhi basah halus, terutama
pada basis paru posterior. Terjadi perburukan yang progresif dari sianosis dan
dyspnea. (9),(4) Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh
akan turun, terjadi peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau
hilang seiring memburuknya penyakit.apnea dan pernafasan iregular mucul saat
bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya intervensi segera. (9) Dapat juga
ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan oliguria. Tanda

asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada progresi yang
cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi dengan
kasus berat. Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3
hari. Setelah periode inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi
mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 33 minggu kehamilan, fungsi paru akan
kembali normal dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia kehamilan 26
28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik. (4) ,(9) Perbaikan ditandai
dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar oksigen lebih
rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada hari
kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli
(emfisema interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular. (9)
Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi
bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (HMD
berat). (9) 2.6 Diagnosis 2.6.1 Gejala klinis Bayi kurang bulan (Dubowitz atau New
Ballard Score) disertai adanya takipneu (>60x/menit), retraksi kostal, sianosis yang
menetap atau progresif setelah 48-72 jam pertama kehidupan, hipotensi,
hipotermia, edema perifer, edema paru, ronki halus inspiratoir. (2) Manifestasi klinis
berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR score (derajat asfiksia) dan
Silverman Score. Bila nilai Silverman score > 7 berarti ada distress nafas, namun
ada juga yang menyatakan bila nilainya > 2 selama > 24 jam. (2),(12) Tabel 2.1
Silverman score (3) Grade Gerakan dada atas Dada bawah (retraksi ICS) Retraksi
epigastrium PCH Grunting 0 sinkron - - - - 1 Tertinggal pada inspirasi ringan ringan
minimal Terdengar pada stetoskop 2 See-saw jelas jelas jelas Terdengar tanpa
stetoskop 2.6.2 Gambaran Rontgen Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru
dapat memberikan gambaran yang karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi
gambaran retikulogranular halus dari parenkim dan gambaran air bronchogram
tampak lebih jelas di lobus kiri bawah karena superimposisi dengan bayangan
jantung. Awalnya gambaran rontgen normal, gambaran yang tipikal muncul dalam
6-12 hari. (9) Gambaran rontgen HMD dapat dibagi jadi 4 tingkat (12): Stage I :
gambaran reticulogranular Stage II : Stage I disertai air bronchogram di luar
bayangan jantung Stage III : Stage II disertai kesukaran menentukan batas jantung.
Stage IV : Stage III disertai kesukaran menentukan batas diafragma dan thymus.
Gambaran white lung. Gambar 2.7 RDS klasik. (8) Thoraks berbentuk seperti
lonceng karena aerasi tidak adekuat ke seluruh bagian paru. Volume paru
berkurang, parenkim paru menunjukkan pola retikulogranular difus, serta adanya
gambaran air bronchogram sampai ke perifer. Gambar 2.8 RDS sedang. (8)
Gambaran retikulogranular lebih jelas dan terdistribusi secara uniform. Paru
mengalami hipoaerasi disertai peningkatan air bronchogram. Gambar 2.9 RDS
berat. (8) Gambaran opak retikulogranuler pada kedua paru. Air bronchogram
nyata, gambaran jantung sukar dinilai. Terdapat area kistik di paru kanan,
menunjukan alveoli yang berdilatasi atau awal dari pulmonary interstitial
emphysema (PIE). 2.6.3 Laboratorium Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah
tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas darah awalnya dapat ditemukan

hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia progresif, hipercarbia


dan asidosis metabolik yang bervariasi. (9),(2) 2.6.4 Echocardiografi Echocardiografi
dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah dan derajat pirau. Juga
berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan menyingkirkan kemungkinan
adanya kelainan struktural jantung. (8) 2.6.5 Tes kocok (Shake test) Dari aspirat
lambung dapat dilakukan tes kocok. Aspirat lambung diambil melalui nasogastrik
tube pada neonatus <>banyak 0,5 ml. Lalu tambahkan 0,5 ml alkohol 96 %,
dicampur di dalam tabung 4 ml, kemudian dikocok selama 15 detik dan didiamkan
selama 15 menit. Pembacaan : Neonatus imatur : tidak ada gelembung 60 %
resiko terjadi HMD +1 : gelembung sangat kecil pada meniskus (< 1/3) 20 % resiko
terjadi HMD +2 : gelembung satu derat, > 1/3 permukaan tabung +3 :
gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan beberapa gelembung pada dua
deret <> +4 : gelembung pada dua deret atau lebih pada seluruh permukaan
neonatus matur (2) 2.6.6 Amniosentesis Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk
memprediksi kemungkinan terjadinya HMD, antara lain mengukur konsentrasi lesitin
dari cairan amnion dengan melakukan amniosentesis (pemeriksaan antenatal).
Rasio lesitin-spingomielin <>(2) 2.6.7 Tes apung paru Tes apung paru-paru
(docimacia pulmonum hydrostatica), dikerjakan untuk mengetahui apakah bayi
yang diperiksa pernah hidup. Untuk melakukan test ini syaratnya mayat harus
segar. (1) Keluarkan alat-alat dalm rongga mulut, leher dan rongga dada dalam satu
kesatuan, pangkal dari esofagus dan trakhea boleh diikat. Apungkan seluruh alatalat tersebut pada bak yang berisi air. Bila terapung, lepaskan organ paru-paru, baik
yang kiri maupun yang kanan. Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung
lanjutkan dengan pemisahan masing-masing lobus, kanan terdapat 5 lobus, kiri 2
lobus. Apungkan semua lobus tersebut, catat mana yang tenggelam, mana yang
terapung. Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong
dengan ukuran 5mm x 5mm, dari tempat yang terpisah dan perifer. Apungkan ke-25
potongan kecil-kecil tersebut. Bila terapung, letakan potongan tersebut pada 2
karton, dan lakukan penginjakan dengan berat badan, kemudian dimasukkan
kembali ke dalam air. Bila terapung berarti tes apung positif, paru-paru
mengandung udara, bayi tersebut pernah dilahirkan hidup. Bila hanya sebagian
yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan partial, bayi tetap pernah
dilahirkan hidup. (1) 2.7 Diagnosis Banding 2.7.1 Pneumonia neonatal Dalam
diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa dibedakan
dengan HMD. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran rontgen dada
dapat identik dengan HMD, namun ditemukan coccus gram positif dari aspirat
lambung atau trakhea, dan apus buffy coat. Tes urin untuk antigen streptococcus
positif, serta adanya netropenia. (9) Gambar 2.10 Rontgen pneumonia AP(8) 2.7.2
Transient Tachypnea of The Newborn Takipnea sementara dapat disingkirkan karena
gejala klinisnya pendek dan ringan. (9) Gambar 2.11 Rontgen TTN (8) Hiperaerasi
adalah ciri khas TTN (kebalikan dari RDS hipoaerasi). Densitas retikulogranular
bilateral akan hilang bilang diberi ventilasi, sementara pada RDS gambaran opak
menetap minimal 3 4 hari. 2.7.3 Sindroma aspirasi mekonium Gambar 2.12
Rontgen MAS (Meconuim Aspiration Syndrome) (8) Terlihat adanya air trapping,

gambaran opak noduler kasar difus, serta area emfisema fokal. Berbeda dengan
gambaran opak granuler halus pada RDS. Paru-paru biasanya hiperaerasi. 2.7.4
Lain-lain Penyakit jantung sianotik ( anomali total aliran balik vena pulmonal),
sirkulasi fetal yang persisten, sindroma aspirasi, pneumotorax spontan, efusi pleura,
eventrasi diafragma, dan kelainan kongenital seperti malformasi kistik
adenomatoid, limfangiektasi pulmonal, hernia diafragma, atau emfisema lobaris
harus dipertimbangkan, dan untuk membedakannya diperlukan gambaran rontgen.
(9) Proteinosis alveoli kongenital adalah kelainan familial yang jarang dan kadang
muncul sebagai respiratory distress syndrome (RDS) yang berat dan mematikan.
Perdarahan paru, sepsis. (9) Hal-hal yang dapat menimbulkan edema paru seperti
PDA, obstruction of pulmonary venous drainage, hypoplastic left heart syndrome,
dan edema pulmo neurogenik, sekunder darimperdarahan intracranial. (8) Hal-hal
yang diasosiasikan dengan hipoaerasi paru seperti sedasi ibu, hipoksemia berat,
hipotermia, kerusakan CNS. Keadan ini tidak menimbulkan gambaran opak granular
bilateral pada rontgen thoraks (berbeda dengan RDS). (8) Tabel 2.2 Diagnosis
banding HMD (4) predisposisi Usia kehamilan Derajat distress Mulainya gejala
Hipoksemia Hipecapnea Respon terhadap O2 Respon terhadap IPPV Suara nafas
Tanda infeksi Rontgen dada HMD prematur preterm +++/++++ Beberapa jam ++/
++++ +/+++ ++ Membaik Turun, crackles - kabur Air bronchogram granuler TTN
SC ibu overhidrasi Full term Near term ++ Beberapa jam + -/+ +++ Bukan indikasi
crackles - Kabur Vaskular marking Cardiomegali pneumonia Ibu mengalami infeksi
Preterm Full term ++/++++ Hari pertama / lebih ++/++++ +/++ ++ Variabel,
mungkin membaik Turun crackles + Bercak / granuler Efusi pleura MAS Fetal
distress Full term Post term ++/+++ Sejak lahir +/++++ +/+++ ++ Variabel,
mungkin membaik Crackles. Suara bronkial - Bercak Hiperinflasi PPHN Asfiksia :MAS
Sepsis Paru hipoplastik Full term ++/+++ Hari pertama ++++ -/+ +/++++
Membaik disertai hiperventilasi Memburuk dengan tekanan berlebihan variabel -/+
Variabel Kebocoran udara paru Ventilasi tekanan positif Preterm Full term +/++++
Variabel +/++++ +/++++ ++ variabel Turun asimetris - Kolaps paru Mediastinal
shiftnaik sampai dikoreksi CHD PBF naik ? Full term Preterm +/+++ Variabel : 2-3
hari + +/++ ++ Variabel, mungkin membaik Normal crackles - Kabur, turun sampai
dikoreksivaskular marking Cardiomegali PBF turun ? Full term Preterm -/+ Hari
pertama ++/++++ - -/+ Tidak ada, memburuk dengan tekanan berlebihan normal Gelap Vascular marking 2.8 Pencegahan 2.8.1 Mencegah kelahiran prematur Yang
terpenting adalah mencegah prematuritas, seperti menghindari operasi caesar yang
tidak perlu, penganan yang baik dari kehamilan dan persalinan yang berisiko tinggi,
prediksi dan terapi intra uterin dari imaturitas paru-paru. (9) Menurut Goldenberg,
hal-hal yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kelahiran prematur adalah, ibu
yang merokok, abnormalitas ductus Mulerian, ibu yang bekerja terlalu keras selama
kehamilan. Pemberian preparat Fe mencegah ibu mengalami anemia, hal ini
ternyata dapat mengurangi angka kelahiran prematur. Pada 10 % wanita hamil yang
menjalani apus vagina pada kehamilan 24 27 minggu, ditemukan fibronektin yang
merupakan penanda terjadinya infeksi. Infeksi dapat menimbulkan kelahiran yang
prematur, oleh karena itu sedang dilakukan penelitian apakah aman bila ibu hamil

dengan infeksi diberikan terapi metronidazol. (5) Pada saat menentukan waktu
untuk induksi persalinan atau operasi caesar, perkiraan lingkar kepala fetus dengan
USG dan penentuan konsentrasi lecithin pada cairan amnion dengan rasio lecithin :
sphingomyelin, menurunkan kemungkinan lahirnya bayi prematur. Pemantauan
intrauterin antenatal dan intrapartum menurunkan kemungkinan terjadinya asfiksia,
yang dikaitkan dengan meningkatnya insidensi dan beratnya HMD. (9) 2.8.1.1
Cervical cerclage Wanita yang pernah mengalami keguguran pada trimester kedua
> 3x, atau kelahiran prematur tanpa alasan yang jelas, mungkin mengalami
inkompetensi servik. Bila ditemukan servik berdilatasi dengan membran (ketuban)
uth dan tanpa tanda-tanda infeksi, harus dipertimbangkan untuk segera melakukan
cervical cerclage. Dapat dilakukan ultrasound untuk menentukan panjang servik,
sehingga dapat memprediksi kelahiran prematur, dan melakukan cervical cerclage
untuk mencegahnya. (5) 2.8.1.2 Antibiotik untuk ibu Pemberian antibiotik untuk
preterm prelabour rupture of the membrane (ketuban pecah sebelum waktu), dapat
mengurangi insidensi kelahiran premature, infeksi neonatus dan perdarahan
periventrikular, namun tidak berpengaruh terhadap kematian perinatal, dan efeknya
terhadap insidensi RDS masih dipertanyakan. Keuntungan pemberian antibiotik
lebih banyak dari efek buruknya. Karena itu dapat diberikan eritromisin 500 mg qds
ditambah amoxicillin / clavulanic acid (Augmentin) 375 mg qds untuk 7 hari. Apabila
organisme penyebab diperkirakan Mycoplasma hominis, dapat diberikan klindamisin
150 mg qds selama 7 hari. (5) 2.8.1.3 Tokolitik Pemberian ritrodine memperlambat
persalinan selama 24 jam namun tidak mengurangi resiko RDS atau kematian
perinatal. Penggunaannya dibatasi dalam waktu singkat untuk mempersiapkan
kelahiran prematur dan memberikan sterooid antenatal. Efek sampingnya antara
lain edema paru. Pemberian merupakan kontra indikasi bagi wanita dengan
penyakit jantung, hipertiroid, dan diabetes. Untuk wanita-wanita tersebut dapat
diberikan indometasin sebagai tokolitik. (5) 2.8.2 Membantu pematangan paru
Menurut Gulck dan Kulovich (1973), cairan paru-paru fetus merupakan bagian yang
penting dari cairan amnion. Insidensi HMD hanya 0,5 % bila rasio lecithin :
sphingomyelin > 2, namun hampir 100 % bila rasionya <>(4) Clements et al (1972)
menentukan ada tidaknya surfaktan pada cairan amnion dengan melakukan tes
kocok. Dasar dari tes ini adalah sifat surfaktan yang membentuk buih yang stabil
bila ada ethanol. Sejumlah cairan amnion diencerkan berseri dengan ethanol 95 %.
Masing-masing dikocok 15 detik, diamkan 15 menit. Adanya cincin buih yang tidak
terputus pada meniskus pada tiga tabung pertama atau lebih berarti positif (paruparu matur). (4),(6) Untuk mengetahui maturitas paru, dapat juga dilakukan
pemeriksaan ada tidaknya phosphatydilglycerol dari cairan amnion.
Phosphatydilglycerol muncul di cairan amnion pada usia kehamilan 36 minggu.
Keberadaannya menunjukan kematangan paru. (4) Tabel 2. 3 Biochemical Assays
untuk kematangan paru (6) Imatur Matur Lecithin/sphingomyelin <> > 2
Konsentrasi L total <> > 2,5 mg/100 ml Konsentrasi L disaturasi <> > 35 nM/ml
Phosphatydilglycerol Pellet pada 10.000xgr % dari phospholipids total
Determinasi enzimatik Absent <> <> Present > 3 % > 10 nM/ml Konsentrasi as.
palmitat <> > 0,072 nM/L As. palmitat/as. stearat <> > 5,0 Konsentrasi PL total <>

> 2,8 mg / 100 ml PL phosphorus total <> > 0,140 mg / 100 ml PAPase <> > 0,50
Surfaktan dengan MW-apoprotein tinggi <> > 30 % term pool Tabel 2.4 Biophysical
Assays untuk kematangan Paru (6) Imatur Matur Kompresi-dekompresi permukaan
cairan > 25 mN.m-1 S <> < 20 mN.m-1 S > 0,85 Tes kocok (foam stability test)
Negative pada 1:1 Positif pada 1:2 Index Kestabilan buih <> > 0,47 Kecepatan
aliran kapiler <> > 66 detik Tes formasi globuler lipid pada <> > 460 ul Polarisasi
fluoresensi (mikroviskositas) <> > 0,340 OD650 nm <0,15 > 0,15 2.8.2.1
Corticosteroid Pemberian dexamethasone atau betamethasone pada ibu hamil 48
72 hari sebeum melahirkan fetus berusia 32 minggu kehamilan atau kurang
menurunkan insidensi, mortalitas dan morbiditas HMD. Corticosteroid dapat
diberikan secara intramuskular pada wanita hamil yang kadar lecithin pada cairan
amnionnya menunjukan imaturitas paru-paru, dan bagi yang direncanakan akan
melahirkan 1 minggu kemudian, atau persalinan akan ditunda 48 jam atau lebih. (9)
Steroid berikatan dengan reseptor spesifik di sel paru-paru dan merangsang
produksi phosphatydilcholine ole sel tipe II. Proses ini membutuhkan waktu, karena
itulah efektifitas steroid berkurang bila diberikan kurang dari 24 jam sebelum
melahirkan. Efektifitasnya juga berkurang bila diberikan pada usia kehamilan lebih
dari 34 minggu, dan efeknya hilang pada 7 -10 hari setelah pemberian. Keuntungan
terbesar didapatkan bila interval pemberian dengan kelahiran lebih dari 48 jam
namun kurang dari 7 hari. Pemberian steroid tidak mempengaruhi insidensi
penyakit paru kronis namun menurunkan kejadian perdarahan intracranial sehingga
menurunkan insidensi cerebral palsy di kemudian hari. (5) ,(4) Semua wanita
dengan usia kehamilan 23 34 minggu yang diperkirakan beresiko akan melahirkan
dalam 7 hari, diberikan kortikosteroid. Dapat diberikan bethametasone 12 mg IM
diulang setelah 24 jam (total dosis 24 mg selama 24 48 jam diperbolehkan). Dapat
juga diberikan dexamethasone 6 mg IM tiap 12 jam untuk 4 dosis. Terapi tidak
disarankan untuk diulang dalam jangka waktu 7 hari. Kontraindikasi pemberian
steroid adalah ibu dengan tirotoksikosis, kaediomiopati, infeksi aktif atau
chorioamnionitis. Diabetes, preeklamsi, preterm prelabour rupture of the membran,
dan chorioamnionitis dalam terapi bukan merupakan kontraindikasi pemberian
steroid. (5),(13) Terapi glukokortikoid prenatal menurunkan deratnya RDS dan
menurunkan insidensi komplikasi prematuritas yang lain seperti perdarahan
intraventrikular, patent ductus arteriosus (PDA), pneumothorax, dan enterokolitis
nekrotikan, tanpa mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan neonatus,
mekanisme atau pertumbuhan paru, ataupun insidensi infeksi. Glukokortikoid
prenatal dapat beraksi sinergis dengan terapi surfaktan eksogen posnatal. (9)
2.8.2.2 Lain-lain Bahan bahan lain yang dapat mempercepat pematangan paru
adalah hormon tiroid, epidermal growth factor, dan cyclic adenosine
monophosphate. Bahan bahan tersebut dapat memacu sintesa surfaktan, namun
penggunaannya sangat jarang. (4) 2.9 Terapi Terapi terutama ditujukan pada
pertukaran O2 dan CO2 yang tidak adekuat di paru-paru, asidosis metabolik dan
kegagalan sirkulasi adalah manifestasi sekunder. Beratnya HMD akan berkurang bila
dilakukan penanganan dini pada bayi BBLR, terutama terapi asidosis, hipoksia,
hipotensi dan hipotermia. (9) Kebanyakan kasus HMD bersifat self-limiting, jadi

tujuan terapi adalah untuk meminimalkan kelainan fisiologis dan masalah iatrogenik
yang memperberat. Penanganan sebaiknya dilakukan di NICU. (9) 2.9.1 Resusitasi di
tempat melahirkan Resusitasi adekuat di kamar bersalin untuk semua kelahiran
prematur. Mencegah perinatal asfiksia yang dapat mengganggu produksi surfaktan.
Mencegah terjadinya hipotermia dengan menjaga suhu bayi sekitar 36,5-37,5
derajat Celcius di mana kebutuhan oksigen berada pada batas minimum. (9),(4)
Pemberian obat selama resusitasi : (13),(5) Adrenalin 10 microgram /kg (0,1 mls/kg
larutan 1 : 10.000) bila bradikardi persisten setelah ventilasi dan kompresi yang
adekuat. Dosis pertama dapat diberikan intratrachea atau intravena, 1 dosis lagi
diberikan intravena bila bayi tetap bradikardi, dosis ketiga dapat diberikan sebesar
100 microgram/kg bila situasi sangat buruk. Pemberian bicarbonat 4 mmol/kg
merupakan setengah koreksi untuk defisit basa 20 mmol (larutan bicarbonat 8,4%
mengandung 1 mmol/ml), atau 2 mEq/kg dari konsentrasi 0,5 mEq/ml. Pemberian
dilakukan secara intravena dengan hati-hati. Volume expander 10 ml/kg Bolus
glukosa 10 % 1 ml/kg BB. 2.9.2 Surfaktan Eksogen Instilasi surfaktan eksogen
multidosis ke endotrakhea pada bayi BBLR yang membutuhkan oksigen dan
ventilasi mekanik untuk terapi penyelamatan RDS sudah memperbaiki angka
bertahan hidup dan menurunkan insidensi kebocoran udara dari paru sebesar 40 %,
tapi tidak menurunkan insidensi bronchopulmonary dysplasia (BPD) secara
konsisten. Efek yang segera muncul meliputi perbaikan oksigenasi dan perbedaan
oksigen alveoli arteri dalam 48 72 jam pertama kehidupan, menurunkan tidal
volume ventilator, meningkatkan compliance paru, dan memperbaiki gambaran
rontgen dada. Pemberian surfaktan eksogen menurunkan insidensi BPD, namun
tidak berpengaruh terhadap insidensi PDA, perdarahan intrakranial, dan necrotizing
enterocolitis (NEC). Terdapat penigkatan insiden perdarahan paru pada pemberian
surfaktan sintetik sebesar 5 %. (5) ,(9),(4) Surfaktan dapat diberikan segera setelah
bayi lahir (terapi profilaksis) atau beberapa jam kemudian setelah diagnosa RDS
ditegakkan (terapi penyelamatan). Terapi profilaksis lebih efektif dibandingkan bila
diberi beberapa jam kemudian. Bayi yang mendapat surfaktan eksogen sebagai
terapi profilaksis membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik lebih sedikit disertai
angka bertahan hidup yang lebih baik. (4) Bayi yang lahir kurang dari 32 minggu
kehamilan harus diberi surfaktan saat lahir bila ia memerlukan intubasi. Terapi biasa
dimulai 24 jam pertama kehidupan, melalui ETT tiap 12 jam untuk total 4 dosis.
Pemberian 2 dosis atau lebih memberikan hasil lebih baik dibanding dosis tunggal.
Pantau radiologi, BGA, dan pulse oxymetri. (9), (5) Ada 4 surfaktan yang memiliki
lisensi di UK untuk terapi. Yang berasal dari binatang adalah Curosurf, diekstrak dari
paru-paru babi, diberikan 1,25-2,5 ml/kg, dan Survanta, ekstrak dari paru-paru sapi
dengan penambahan 3 jenis lipid (phosphatidylcholine, asam palmitat, dan
trigliserid), diberikan 4 ml/kg. Kedua surfaktan ini mengandung apoprotein SP-B dan
SP-C dengan proporsi yang berbeda dengan yang dimiliki manusia. Apoprotein SP-A
dan SP-D tidak ditemukan. Surfaktan sintetik tidak mengandung protein. Exosurf
merupakan gabungan phospholipid dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC),
hexadecanol dan tyloxapol, diberikan 5 ml/kg. Hexadecanol, dan tyloxapol
memperbaiki penyebaran surfaktan di antara alveolus. ALEC (artificial lung

expanding compound) merupakan gabungan DPPC and phosphatidylglycerol


dengan perbandingan 7:3, diberikan 1,2 ml berapapun beratnya. Yang sedang
diteliti adalah Infasurf (alami) (5) ,(9) Tabel 2.5 Macam-macam surfaktan (8) Tipe
Asal Komposisi Dosis Keterangan Survanta Bovine lung mince DPPC, tripalmitin SP
(B<0.5%,> 4 mL (100 mg)/kg, 1-4 doses q6h Refrigerate Surfactant TA Alveofact
Bovine lung lavage 99% PL, 1% SP-B and SP-C 45 mg/mL Federal Republic of
Germany bLES (bovine lipid extract surfaktan) Bovine lung lavage 75% PC and 1%
SP-B and SP-C Canadian Infasurf Calf lung lavage DPPC, tripalmitin, SP (B290 g/mL,
C360 g/mL) 3 mL (105 mg)/kg, 1-4 doses, q6-12h 6 mL vials, refrigerate Calf lung
surfactant extract (CLSE) Sama seperti Infasurf Curosurf Minced pig lung DPPC, SP-B
and SP-C (?amount) 2.5 mL (200 mg)/kg 1.25 mL (100 mg)/kg 1.5 and 3 mL Exosurf
Synthetic 85% DPPC, 9% hexadecanol, 6% tyloxapol 5 mL (67.5 mg)/kg, 1-4 doses,
q12h Lyophilized; dissolve in 8 mL Surfaxan (KL4) Synthetic DPPC, synthetic peptide
ALEC Synthetic 70% DPPC, 30% unsaturated PG Possibly discontinued Tabel 2.6
Beractant (8) Nama Obat Beractant (Survanta, Alveofact) per ETT Dosis Anak ET: 4
mL/kg (100 mg/kg) dibagi dalam 4 kali pemberian, diberikan minimal 6 jam untuk 14 dosis Kontraindikasi hypersensitivity Interaksi - Kehamilan ? Peringatan Harus
dihangatkan sesuai suhu ruang, pemberian harus berhati-hati karena resiko
obstruksi jalan nafas akut. Perbaikan oksigenasi dapat terjadi setelah pemberian,
maka penurunan oksigen dan tekanan ventilator disesuaikan dengan analisa gas
darah, monitor oksigenasi sistemik untuk mencegah hiperoksia atau hipoksia.
Surfaktan dapat mengalami reflux ke dalam ETT (karena itu sebaiknya berikan
secara cepat diikuti positive pressure ventilation); monitor denyut jantung dan
tekanan darah, karena ETT dapat mengalami oklusi, suction ETT sebelum
pemberian surfaktan. Perdarahan paru dapat timbul pada bayi sangat premature.
Apnea dan sepsis nosokomial dapat terjadi. Tabel 2.7 Calfactant (8) Nama Obat
Calfactant (Infasurf) per ETT Dosis Anak ET: 3 mL/kg (105 mg/kg) q6-12h untuk 1-4
dosis Kontraindikasi hypersensitivity Interaksi - Kehamilan ? Peringatan Pemberian
harus berhati-hati karena resiko obstruksi jalan nafas akut. Perbaikan oksigenasi
dapat terjadi setelah pemberian, maka penurunan oksigen dan tekanan ventilator
disesuaikan dengan analisa gas darah, monitor oksigenasi sistemik dengan pulse
oxymetry untuk mencegah hiperoksia atau hipoksia. Surfaktan dapat mengalami
reflux ke dalam ETT (karena itu sebaiknya berikan secara cepat diikuti positive
pressure ventilation); sianosis, bradikardi atau perubahan tekanan darah dapat
terjadi selama pemberian. Karena ETT dapat mengalami oklusi, suction ETT sebelum
pemberian surfaktan. Tabel 2.8 Poractant (8) Nama Obat Poractant (Curosurf) per
ETT Dosis Anak ET: 2.5 mL/kg (200 mg/kg); lalu 1.25 mL/kg (100 mg/kg) dengan
interval 12-h prn dalam 2 dosis Kontraindikasi hypersensitivity Interaksi - Kehamilan
?. Peringatan Koreksi asidosis, hipotensi, anemia, hipoglikemi dan hipotermia
sebelum pemberian. Perbaikan oksigenasi muncul dalam beberapa menit, monitor
oksigenasi sistemik untuk mencegah hiperoksia. Tabel 2.9 Colfosceril (8) Nama Obat
Colfosceril (Exosurf Neonatal) per ETT Dosis Anak ET: 5 mL/kg (67.5 mg/kg) q12h
untuk 1-4 dosis Kontraindikasi hypersensitivity Interaksi - Kehamilan ? Peringatan
Mempengaruhi oksigenasi dan compliance paru dengan cepat. Hanya untuk instilasi

ke dalam trakhea. Surfaktan dapat mengalami reflux ke dalam ETT (karena itu
sebaiknya berikan secara cepat diikuti positive pressure ventilation); Karena ETT
dapat mengalami oklusi, suction ETT sebelum pemberian surfaktan. Perdarahan
paru dapat muncul pada bayi <> Studi yang membandingkan antara surfaktan
natural dan sintetik menunjukan bahwa oksigenasi arteri lebih cepat pulih (onset of
action surfaktan natural lebih cepat dari surfaktan sintetik) dan komplikasi
kebocoran udara lebih jarang terjadi pada bayi yang diterapi dengan surfaktan
natural. (4) Komplikasi pemberian surfaktan antara lain hipoksia transien dan
hipotensi, blok ETT, dan perdarahan paru. (9) Perdarahan paru terjadi akibat
menurunnya resistensi pambuluh darah paru setelah pemberian surfaktan, yang
menimbulkan pirau kiri ke kanan melalui duktus arteriosus. (4) Gambar 2.13
Gambaran HMD sebelum dan sesudah terapi surfaktan.% (4) Gambaran 0,5 jam
sesudah lahir : diffuse ground glass appearance akibat atelektasis, disertai air
bronkogram. Gambaran 3 jam sesudah lahir, setelah terapi dengan surfaktan
eksogen : perbaikan aerasi. 2.9.3 Oksigenasi dan monitoring analisa gas darah
Oksigen lembab hangat diberikan untuk menjaga agar kadar O2 arteri antara 55
70 mmHg dengan tanda vital yang stabil untuk mempertahankan oksigenasi
jaringan yang normal, sementara meminimalkan resiko intoksikasi oksigen. Bila
oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg saat inspirasi oksigen
dengan konsentrasi 70%, merupakan indikasi menggunakan continuous positive
airway pressure (CPAP). (9) Monitor frekuensi jantung dan nafas, PO2, PCO2, pH
arteri, bikarbonat, elektrolit, gula darah, hematokrit, tekanan darah dan suhu tubuh,
kadang diperlukan kateterisasi arteri umbilikalis. Transcutaneus oxygen electrodes
dan pulse oxymetry diperlukan untuk memantau oksigenasi arteri. Namun yang
terbaik tetaplah analisa gas darah karena dapat memberi informasi berkelanjutan
serta tidak invasif, memungkinkan deteksi dini komplikasi seperti pneumotoraks,
juga merefleksikan respon bayi terhadap berbagai prosedur seperti intubasi
endotrakhea, suction, dan pemberian surfaktan. PaO2 harus dijaga antara 50 80
mmHg, dan Sa O2 antara 90 94 %. Hiperoksia berkepanjangan harus dihindarkan
karena merupakan faktor resiko retinopathy of prematurity (ROP). (4) Kateter
radioopak harus selalu digunakan dan posisinya diperiksa melalui foto rontgen
setelah pemasangan. Ujung dari kateter arteri umbilikalis harus berada di atas
bifurkasio aorta atau di atas aksis celiaca (T6 T10). Penempatan harus dilakukan
oleh orang yang ahli. Kateter harus diangkat segera setelah tidak ada indikasi untuk
penggunaan lebih lanjut, yaitu saat PaO2 stabil dan Fraction of Inspiratory O2 (FIO2)
kurang dari 40 %. (9) Pengawasan periodik dari tekanan oksigen dan
karbondioksida arteri serta pH adalah bagian yang penting dari penanganan, bila
diberikan ventilasi buatan maka hal hal tersebut harus dilakukan. Darah diabil dari
arteri umbilikal atau perifer. Arteri temporalis merupakan kontra indikasi karena
menimbulkan emboli cerebral retrograd. PO2 jaringan harus selalu dipantau dari
elektroda yang ditempatka di kulit atau pulse oximetry (saturasi oksigen). Darah
kapiler tidak berguna untuk menentukan PO2 tapi dapat digunakan untuk
memantau PCO2 dan pH. (9) 2.9.4 Fluid and Nutrition Kalori dan cairan diberikan
secara intravena. Dalam 24 jam pertama berikan infus glukosa 10% dan cairan

melalui vena perifer sebanyak 65-75 ml/kg/24 jam. Kemudian tambahkan elektrolit,
volume cairan ditingkatkan bertahap sampai 120-150 ml/kg/24 jam. Cairan yang
berlebihan akan menyebabkan terjadinya Patent Ductus Arteriosus (PDA).
Pemberian nutrisi oral dapat dimulai segera setelah bayi secara klinis stabil dan
distres nafas mereda. ASI adalah pilihan terbaik untuk nutrisi enteral yang minimal,
serta dapt menurunkan insidensi NEC. (9),(4) ,(5) 2.9.5 Ventilasi Mekanik 2.9.5.1
Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) CPAP memperbaiki oksigenasi dengan
meningkatkan functional residual capacity (FRC) melalui perbaikan alveoli yang
kolaps, menstabilkan rongga udara, mencegahnya kolaps selama ekspirasi. (4) CPAP
diindikasikan untuk bayi dengan RDS PaO2 <>> 50%. Pemakainan secara
nasopharyngeal atau endotracheal saja tidak cukup untuk bayi kecil, harus
diberikan ventilasi mekanik bila oksigenasi tidak dapat dipertahankan. Pada bayi
dengan berat lahir di atas 2000 gr atau usia kehamilan 32 minggu, CPAP
nasopharyngeal selama beberapa waktu dapat menghindari pemakaian ventilator.
Meski demikian observasi harus tetap dilakukan dan CPAP hanya bisa diteruskan
bila bayi menunjukan usaha bernafas yang adekuat, disertai analisa gas darah yang
memuaskan. (5) CPAP diberikan pada tekanan 6-10 cm H2O melalui nasal prongs.
Hal ini menyebabkan tekanan oksigen arteri meningkat dengan cepat. Meski
penyebabnya belum hilang, jumlah tekanan yang dibutuhkan biasanya berkurang
sekitar usia 72 jam, dan penggunaan CPAP pada bayi dapat dikurangi secara
bertahap segera sesudahnya. Bila dengan CPAP tekanan oksigen arteri tak dapat
dipertahankan di atas 50 mmHg (sudah menghirup oksigen 100 %), diperlukan
ventilasi buatan. (9) 2.9.5.2 Ventilasi Mekanik Bayi dengan HMD berat atau disertai
komplikasi, yang berakibat timbulnya apnea persisten membutuhkan ventilasi
mekanik buatan. Indikasi penggunaannya antara lain : (9),(4) ,(5) 1 Analisa gas
darah menunjukan hasil buruk pH darah arteri <> pCO2 arteri > 60 mmHg pO2
arteri < 50 mmHg pada konsentrasi oksigen 70 100 % 2 Kolaps cardiorespirasi 3
apnea persisten dan bradikardi Memilih ventilator mekanik Ventilasi tekanan positif
pada bayi baru lahir dapat diberikan berupa ventilator konvensional atau ventilator
berfrekuensi tinggi (150 x / menit). (5) Ventilator konvensional dapat berupa tipe
volume atau tekanan, dan dapat diklasifikasikan lebih lanjut dengan dasar
cycling mode biasanya siklus inspirasi diterminasi. Pada modus pressure limited
time cycled ventilation, tekanan puncak inspirasi diatur dan selama inspirasi udara
dihantarkan untuk mencapai tekanan yang ditargetkan. Setelah target tercapai,
volume gas yang tersisa dilepaskan ke atmosfer. Hasilnya, penghantaran volume
tidal setiap kali nafas bervariabel meski tekanan puncak yang dicatat konstan. Pada
modus volume limited, pre-set volume dihantarkan oleh setiap nafas tanpa
memperhatikan tekanan yang dibutuhkan. Beberapa ventilator menggunakan aliran
udara sebagai dasar dari cycling mode di mana inspirasi berakhir bila aliran telah
mencapai level pre-set atau sangat rendah (flow ventilators). Ada juga ventilator
yang mampu menggunakan baik volume atau pressure controlled ventilation
bergantung pada keinginan operator. (5) Ventilasi dengan fekuensi tinggi biasanya
diberikan dengan high frequency oscillatory ventilators (HFOV). Terdapat piston
pump atau vibrating diaphragm yang beroperasi pada frekuensi sekitar that 10 Hz

(1 Hz = 1 cycle per second, 60 cycles per minute). Selama HFOV, baik inspirasi
maupun ekspirasi sama-sama aktif. Tekanan oscillator pada jalan udara
memproduksi volume tidal sekitar 2-3 ml dengan tekanan rata-rata jalan udara
dipertahankan konstan, mempertahankan volume paru ekivalen untuk
menggunakan CPAP dengan level sangat tinggi. Volume gas yang dipindahkan pada
volume tidal ditentukan oleh ampiltudo tekanan jalan udara oscillator (P). (5)
Ventilator konvensional Hipoksemia pada RDS biasanya terjadi karena
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q) atau pirau dari kanan ke kiri,
abnormalitas difusi dan hipoventilasi merupakan factor tambahan. Oksigenasi
terkait langsung pada FiO2 dan tekanan rata-rata jalan udara (mean airway
pressure - MAP). MAP dapat ditingkatkan dengan perubahan tekanan puncak
inspirasi (peak inspiratory pressure - PIP), positive end expiratory pressure (PEEP)
atau dengan mengubah rasio inspirasi : ekspirasi (I:E) dengan memperpanjang
waktu inspirasi sementara kecepatannya tetap konstan. MAP yang sangat tinggi
dapat menyebabkan distensi berlebihan, meski oksigenasi adekuat, transport
oksigen berkurang karena penurunan curah jantung. Pembuangan CO2 berbanding
lurus dengan minute ventilation, ditentukan oleh produk volume tidal (dikurangi
ventilasi ruang mati) dan kecepatan pernafasan. Untuk minute ventilation yang
sama, perubahan penghantaran volume tidal lebih efektif untuk merubah eliminasi
CO2 dibanding perubahan kecepatan pernafasan karena ventilasi ruang mati tetap
konstan. (5) a. Peak Inspiratory Pressure (PIP) Perubahan pada PIP mempengaruhi
oksigenasi (dengan mengubah MAP) dan CO2 dengan efek pada volume tidal dan
ventilasi alveolar. Peningkatan PIP menurunkan PaCO2 dan memperbaiki oksigenasi
(PaO2 meningkat). Pemakainan PIP ditentukan oleh compliance system pernafasan
dan bukan oleh ukuran atau berat bayi. Gunakan PIP terendah yang menghasilkan
ventilasi adekuat berdasarkan pemeriksaan klinik (gerakan dada dan suara nafas)
dan analisa gas darah. PIP berlebih dapat menyebabkan paru mengalami distensi
berlebihan dan meningkatkan resiko baro/volutrauma dan menimbulkan kebocoran
udara. (5) b. Positive End Expiratory Pressure (PEEP) PEEP yng adekuat mencegah
kolaps alveoli dan dengan mempertahankan volume paru saat akhir respirasi,
memperbaiki keseimbangan V/Q. Peningkatan PEEP memperbesar MAP dan
memperbaiki oksigenasi. Sebaliknya, PEEP berlebih (> 8 cm H2O) menginduksi
hiperkarbia dan memperburuk compliance paru dan mengurangi hantaran volume
tidal karena alveoli terisi berlebihan (P = PIP - PEEP). PEEP berlebih juga dapat
menimbulkan efek sampping pada hemodinamik karena paru mengalami distensi
berlebih, menyebabkan penurunan venous return, yang kemudian menurunkan
curah jantung. Tekanan 3 6 cm H2O memperbaiki oksigenasi pada bayi baru lahir
dengan RDS tanpa mengganggu mekanisme paru-paru, eliminasi CO2 atau
stabilitas hemodinamik. (5) c. Frekuensi Terdapat 2 metode dasar, frekuensi rendah
dan frekuensi tinggi Frekuensi rendah dimulai pada kecepatan 30 - 40 nafas / menit
(bpm). Metode cepat sekitar 60 bpm dan dapat ditingkatkan hingga 120 bpm bila
bayi bernafas lebih cepat dari ventilator. Waktu ekspirasi harus lebih panjang dari
inspirasi untuk mencegah alveoli mengalami distensi berlebihan, waktu inspirasi
harus dibatasi maksimum 0,5 detik selama ventilasi mekanik kecuali dalam

keadaan khusus. Pada frekuensi tinggi terjadi penurunan insidensi pneumotoraks ,


mungkin karena frekuensi ini sesuai dengan usaha nafas bayi. Waktu inspirasi
memanjang akan meningkatkan MAP dan memperbaiki oksigenasi, dan merupakan
alternative dari peningkatan PIP. Namun hal ini merupakan predisposisi dari distensi
berlebihan pada paru serta air trapping karena waktu ekspirasi berkurang. (5) d.
Kecepatan Aliran Aliran minimum setidaknya 2 kali minute ventilation bayi (normal :
0.2 1 L / menit) cukup adekuat, tapi dalam prakteknya digunakan 4 10 L / menit.
Bila digunakan frekuensi nafas lebih tinggi dengan waktu inspirasi lebih pendek,
kecepatan aliran di atas kisaran harus diberikan untuk menjamin penghantaran
volume tidal. Kecepatan aliran yang tinggi memperbaiki oksigenasi karena efeknya
pada MAP. Beberapa ventilator memiliki kecepatan aliran yang tetap, yaitu sebesar
5 L / menit. (5) Kegagalan surfaktan Bila oksigenasi arteri tetap rendah setelah
pemberian 2 dosis surfaktan, bayi dikatakan tidak berespon terhadap surfaktan.
Penyebabnya antara lain sepsis, hipertensi pulmonal, pneumotoraks, atau
pulmonary interstitial emphysema (PIE). Segera naikan FiO2 hingga 90%, kemudian
naikan PIP and PEEP sambil mengobservasi pergerakan dada. Lakukan roentgen
thoraks. Usahakan menjaga waktu inspirasi agar terjadi sinkronisasi. Bila tetap
asinkron setelah pemberian sedasi dan analgesi lakukan paralysis (pankuronium
bromide IV 0,04 0,1 mg/kg). Waktu inspirasi dapat diperpanjang > 0,5 detik,
dengan frekuensi ventilator diturunkan hingga 30-60 nafas / menit. Beberapa bayi
berespon terhadap HFOV. (5) Aktivitas pernafasan bayi Bernafas tidak selaras
dengan ventilator merupakan factor resiko dari beberapa komplikasi seperti
pertukaran udara yang tidak efektif, air trapping, pneumothorax, dan perdarahan
intraventricular. Sedasi dapat mengurangi aktivitas pernafasan bayi atau dapat
digunakan penghambat muscular non-depolarising (tidak disarankan). Pilihan lain
adalah dengan menaikan kecepatan ventilator atau menggunakan patient triggered
ventilation (PTV). (5) Patient-Triggered Ventilation (PTV) Pada modus ini, mesin
membantu pernafasan diinisiasi sebagai respon terhadap sinyal yang berasal dari
usaha nafas bayi. Ada 4 macam sinyal yang dapat digunakan yaitu airway
impedance, tekanan dan aliran, atau mengukur aktivitas bayi dengan Graesby
capsule monitor yang ditempelkan di atas abdomen. Masing-masing punya
kelebihan dan kekurangan. PTV dapat digunakan baik dalam modus pressure-limited
maupun volume controlled. modes. (5) High frequency oscillation Ada tiga macam
oscillator yang dapat digunakan. Sensormedics 3100/3100A, Draeger, dan SLE
2000. HFOV menyelamatkan beberapa bayi dengan RDS berat yang tidak berespon
terhadap ventilator konvensional dan surfaktan. HFOV dikaitkan dengan penurunan
kebocoran udara namun meningkatkan perdarahan intraventrikular. HFOV efektif
dalam penanganan hiperkarbia. (5) Kisaran frekuensi ventilator konvensional adalah
10 60 nafas / menit, ventilasi jet berfrekuensi tinggi (High frequency jet ventilation
HFJV) 150 600 nafas / menit dan oscillator 300 1800 nafas / menit. HFJV dan
oscillator dapat memperbaiki eliminasi karbondioksida, menurunkan tekanan udara
rata-rata, memperbaiki oksigenasi pada pasien yang tidak berespon pada ventilator
konvensional, yang terkena HMD, emfisema interstitial, pneumotoraks multipel,
atau pneumonia akibat aspirasi mekonium.(9) HFJV dan oscillator menurunkan

insidensi terjadinya penyakit paru kronik bila dibandingkan ventilator konvensional.


Penggunaan ventilasi berfrekuensi tinggi akan sangat bermanfaat pada bayi yang
berkembang menjadi pulmonary interstitial emphysema (PIE). (4) HFJV dapat
menimbulkan kerusakan trakhea yang nekrotik, terutama jika didapatkan hipotensi
atau proses melembabkan yang buruk. Oscillator dikaitkan dengan peningkatan
kebocoran udara, perdarahan intraventrikular, dan leukomalacia periventrikular.
Kedua metode tersebut dapat menimbulkan terperangkapnya gas. (9) Kegagalan
respirasi dan hipoksemia pada bayi dengan HMD disebabkan pirau intrapulmoner
yang disebabkan perfusi rongga udara dengan ventilasi yang buruk. Untuk itu
diperlukan keikutsertan alveoli untuk memperoleh oksigenasi yang adekuat dan hal
ini dapat diperoleh dengan meningkatkan tekanan udara rata-rata, yaitu fungsi dari
waktu inspirasi, tekanan puncak inspirasi, dan PEEP. (4) Tujuan ventilasi mekanik
adalah memperbaiki oksigenasi dan eliminasi karbondioksida tanpa menimbulkan
barotrauma paru yang berat atau intoksikasi O2. Untuk menyeimbangkan resiko
hipoksia dan asidosis terhadap ventilasi mekanik, harus didapatkan cakupan nilai
gas darah yaitu PaO2 55 70 mmHg, PCO2 35 55 mmHg, dan pH 7,25 7,45.
Selama ventilasi mekanik, oksigenasi diperbaiki dengan meningkatkan FIO2 atau
tekanan udara rata-rata. Tekanan udara rata-rata dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan tekanan inspirasi puncak, aliran udara, rasio inspirasi : ekspirasi, atau
PEEP. (9) Melepaskan bayi secara bertahap dari IPPV merupakan proses yang
panjang dan sulit, terutama pada bayi dengan berat lahir sangat rendah.
Methylxanthines seperti teophylline dan caffeine bekerja sebagai stimulan
pernafasan danmemfasilitasi pelepasan bertahap. Juga dapat diberikan CPAP nasal
segera sesudah ekstubasi. (4) 2.9.6 Keseimbangan asam basa Asidosis respiratoar
mungkin membutuhkan ventilasi buatan jangka pendek atau jangka panjang. Pada
asidosis respiratoar yang berat dengan disertai hipoksia, terapi dengan sodium
karbonat dapat menimbulkan hiperkarbia. (9) Asidosis metabolik harus dicegah
karena dapat menggangu produksi surfaktan, meningkatkan resistensi pembuluh
darah paru, dan memberi pengaruh buruk pada sistem cardiovaskular. Meski
demikian infus cepat sodium bikarbonat harus dihindari karena meningkatkan
insidensi perdarahan intraventrikular. (4) Asidosis metabolik pada HMD bisa
merupakan hasil asfiksia perinatal, sepsis, perdarahan intraventrikular dan hipotensi
(kegagalan sirkulasi), dan biasanya muncul saat bayi telah membutuhkan resusitasi.
Sodium bicarbonat 1 2 mEq/kg dapat diberikan untuk terapi selama 10 15 menit
melalui vena perifer, dengan pengulangan kadar asam basa dalam 30 menit atau
dapat pula diberikan selama beberapa jam. Sodium bikarbonat lebih sering
diberikan pada kegawatan melalui kateter vena umbilikalis. Terapi alkali dapat
menimbulkan kerusakan kulit akibat terjadinya infiltrasi, peningkatan osmolaritas
serum, hipernatremia, hipokalsemia, hipokalemia, dan kerusakan hepar bila larutan
berkonsentrasi tinggi diberikan secara cepat melalui vena umbilikalis. (9),(4) 2.9.7
Tekanan darah dan Cairan Monitor tekanan darah aorta melalui kateter vena
umbilikalis atau oscillometric dapat berguna dalam menangani keadaan yang
menyerupai syok yang dapat muncul selama 1 jam atau lebih setelah kelahiran
prematur dari bayi yang telah mengalami asfiksia atau mengalami distres nafas. (9)

Monitor tekanan darah arteri diperlukan. Hipotensi arterial memfasilitasi pirau


kanan ke kiri melalui PDA lalu menimbulkan hipoksemia. Hipotensi juga dapat
menimbulkan perdarahan serebral. Hipotensi umumnya ditimbulkan oleh asfiksia
perinatal, sepsis dan hipotensi. Terapi lini I adalah dengan memberikan volume
expander (10 20 mls/kg larutan saline atau koloid). Terapi lini II dengan memberi
obat inotropik. Dopamin lebih efektif disbanding dobutamin. Dopamin
meningkatkan tahanan sistemik, sementara dobutaminmeningkatkan output
ventrikel kiri. Dosis dopamine 10 micrograms / kg / menit. Dosis > 15 micrograms /
kg / menit meningkatkan tahanan paru, menimbulkan hipertensi paru. Terapi lini III
diberikan pada kasus yang resisten. Mula-mula dapat dicoba menambahkan
dobutamin 10-20 micrograms / kg / menit pada dopamine. Dapat pula dicoba
memberikan hydrocortisone, adrenaline dan isoprenaline. (9),(4),(5) Edema paru
merupakan bagian dari patofisiologi HMD, bayi yang mengalaminya cenderung
menghasilkan sedikit urin output selama 48 jam pertama, diikuti fase diuretik
dengan penurunan berat badan. Pemberian cairan berlebih harus dihindari,
masukan cairan biasa dimulai dengan 60 80 ml/kg/hari kemudian ditingkatkan
secara bertahap. Asupan cairan lebih tinggi diperlukan untuk bayi dengnan berat
lahir sangat rendah dengan insensible water loss tinggi. Asupan cairan harus selalu
dikoreksi bila terdapat perubahan pada berat badan, output urin, dan kadar
elektrolir serum. Penggunaan fototerapi, kelembaban rendah, dan penghangat
radiant meningkatkan kebutuhan cairan. Pemberian cairan berlebih pada hari
pertama dapat menimbulkan PDA dan BPD. Penggunaan diuretik tidak dianjurkan
karena dapat menimbulkan deplesi volume yang tidak diinginkan. (4) 2.9.8
Antibiotik Karena sulit untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi streptokokus grup
B atau infeksi lain dari HMD, diindikasikan untuk memberikan antibakteri sampai
hasil kultur darah selesai. Penisilin atau ampisilin dengan kanamisin atau
gentamisin dapat diberikan, tergantung pola sensitivitas bakteri di rumah sakit
tempat perawatan. Hal hal yang diasosiasikan dengan peningkatan insidensi
infeksi pada bayi prematur antara lain ketuban pecah untuk waktu yang lama, ibu
demam selama persalinan, fetus mengalami takikardi, leukositosis / leukopeni,
hipotensi dan asidosis.(9)(4) 2.9.9 Nitrit Oxide Pada kasus HMD berat dapat
diberikan nitrit oxide per inhalasi (iNO). Nitrit oxide dapat memperbaiki oksigenasi
dengan cepat namun tidak memperbaiki hasil akhir pada bayi dengan HMD. (9) iNO
merupakan vasodilator pulmonal yang poten dan selektif (ekivalen dengan faktor
relaksasi dari endotel). Dosis inisial 6 -20 ppm dapat memperbaiki oksigenasi dan
menurunkan kebutuhan akan ECMO. Meski pemberian 40-80 ppm dikatakan aman,
namun pemberian jangka panjang dapat memberikan efek samping. Respon
terhadap iNO dapat berupa : tak adanya perbaikan, ada perbaikan awal namun
tidak berlanjut sehingga dibutuhkan ECMO, ada perbaikan awal yang berlanjut
sehingga dapat dilepaskan bertahap pada hari ke-5 trapi, atau respon awal baik
disertai ketergantungan jangka panjang (akibat hipoplasia paru / displasia kapiler
alveoli). Efek samping iNO adalah methemoglobinemia. Hingga saat ini belum
diketahui berapa lama iNO aman diberikan. (9) 2.9.10 ECMO ECMO (Extracorporeal
Membrane Oxygenation), adalah teknik memberikan oksigen pada pasien yang

paru-parunya tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.(14) ECMO dilakukan


bila pasien tidak memberikan respon terhadap O2 100%, ventilasi mekanik dan
obat-obatan. Perbedaan O2 antara arteri dan alveoli, PaCO2 PaO2 : 760 47
(setinggi permukaan laut) atau index oksigenasi (OI) dapat memprediksi mortalitas
> 80 %. (9) OI = (Tekanan jalan udara rata-rata x FiO2 x 100)/ PaO2 postduktal.
Indikasi ECMO Beda alveoli dan arteri > 620 untuk 8-12 jam OI > 40 yang tidak
berespon terhadap iNO Bayi yang mengalami gagal nafas hipoksemia karena HMD,
aspirasi mekonium, hernia diafragmatika, PPHN, dan sepsis. (9) Mesin ECMO
memompa darah dari pasien secara terus menerus melalui membran oksigenator
yang mengimitasi proses pertukaran udara di paru (membuang CO2 dan
menambahkan O2). Darah yang mengandung oksigen kemudian kembali ke pasien.
ECMO dapat menghasilkan oksigenasi yang cukup selama beberapa hari sampai
beberapa minggu, memberi kesempatan bagi paru-paru untuk membaik dan
menghindari kemungkinan cedera tambahan akibat ventilasi mekanik yang agresif.
ECMO banyak digunakan di NICU untuk neonatus dengan distres pernafasan. BB
minimal untuk dilakukannya ECMO adalah 4,5 pound (1 pound = 0,454 kg). (14)
Dilakukan bypass kardiopulmoner yang memperbesar perfusi sistemik dan
menghasilkan pertukaran udara. Bypass yang biasa dilakukan adalah antara vena
dan arteri. Kateter besar dipasang di pembuluh darah besar yaitu di vena jugularis
interna kanan dan arteri carotis, dilakukan ligasi arteri carotis (ligasi dilepas bila
terapi ECMO dihentikan). Dapat juga dilakukan bypass vena ke vena untuk
mencegah ligasi. Cara ini dapat menghasilkan pertukaran udara namun tidak
membantu curah jantung. (9) Darah dipompa melalui sirkuit ECMO dengan
kecepatan + 80% kecepatan curah jantung, yaitu 150 200 ml/kg/menit. Venous
return melalui membran oksigenator, dihangatkan, lalu kembali ke aorta. Saturasi
O2 vena dapat memonitor penghantaran O2 jaringan. Kecepatan aliran ECMO
disesuaikan untuk mencapai SaO2 vena > 65% disertai COV yang stabil. (9) Saat
ECMO dimulai, ventilator dilepas ke udara ruangan pada frekuensi dan tekanan
rendah untuk menurunkan resiko toksisitas O2 dan barotrauma, sambil membiarkan
paru-paru beristirahat dan mengalami perbaikan. (9) Diperlukan heparinisasi untuk
mencegah terbentuknya clot pada sirkuit. Pasien yang beresiko mengalami
Intraventrikular Hemorrhage (IVH) yaitu BB <>(9) Komplikasi ECMO antara lain
tromboemboli, emboli udara, perdarahan, stroke, kejang, atelektasis, cholestatic
jaundice, trombositopeni, neutropen, hemolisis, infeksi karena proses transfusi
darah, edema, dan hipertensi sistemik. (9) Gambar 2.14 ECMO 2.10 Komplikasi dari
HMD dan Perawatan intensif Berdasarkan waktu terjadinya, komplikasi dapat dibagi
menjadi akut dan kronis. Yang tergolong akut adalah kebocoran udara, infeksi,
perdarahan intrakranial, dan PDA. Sedangkan yang tergolong kronis adalah penyakit
paru kronis, retinopathy of prematurity (ROP), serta kelainan neurologis. (2) 2.10.1
Komplikasi akibat pemasangan ETT Komplikasi yang paling serius dari intubasi
trachea adalah asfiksia akibat obstruksi yang ditimbulkan pipa, henti jantung
selama intubasi atau suctioning, dan kadang dapat terjadi stenosis subglottis.
Komplikasi lain meliputi perdarahan dari trauma selama intubasi, pseudodivertikel
pada posterior faring, extubasi yang sulit sehingga memerlukan tracheostomi,

ulserasi nasal akibat tekanan pipa, penyempitan permanen rongga hidung akibat
kerusakan jaringan dan scar dari iritasi atau infeksi sekitar pipa, erosi palatum,
avulsi pita suara, ulkus laring, papiloma pita suara, dan edema laring, stridor atau
suara serak yang persisten. (9) Untuk mengurangi terjadinya hal-hal di atas harus
dilakukan observasi yang baik, menggunakan pipa endotrachel polivinil 7ang tidak
mengandung logam yang bersifat toksik bagi sel. Menggunakan pipa dengan
ukuran terkecil untuk mengurangi iskemia lokal dan nekrosis akibat tekanan, jangan
menganti ganti pipa terlalu sering, jangan menggerkan pipa sewaktu terpasang di
trakhea, jangan melakukan suction terlalu sering atau agresif, hindari infeksi
dengan melakukan sterilisasi semua alat yang terpasang atau melalui pipa. (9)
Komplikasi ETT (memasukkan, ekstubasi, granuloma subglotis dan stenosis) dan
ventilasi mekanik (pneumotoraks, emfisema interstitial, penurunan cardiac output)
dapat diminimalkan dengan intervensi dari tenaga ahli. (9) 2.10.2 Komplikasi akibat
kateterisasi Resiko dari kateterisasi arteri umbilikalis meliputi emboli vaskular,
trombosis, spasme, dan perforasi, nekrosis viscera abdominal baik akibat iskemia
atau zat kimia. Infeksi, perdarahan, dan gangguan sirkulasi ke kaki yang dapat
menimbulkan gangren. Meski saat necropsy insiden komplikasi trombosis berkisar 1
23 %, aortografi menunjukkan clot ditemukan di atau sekitar ujung kateter yang
dimasukan ke arteri umbilikalis (95%). USG aorta dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya trombosis. Resiko terjadinya komplikasi yang serius dari
kateterisasi umbilikal antara 2 5 %. (9) Kaki dapat menjadi pucat traansien selama
kateterisasi arteri umbilikal. Hal tersebut terjadi akibat reflex spasme arteri.
Insidensinya dikurangi dengan menggunakan kateter berukuran kecil, terutama
pada bayi yang sangat kecil. Kateter harus diangkat segera, kemudian dilakukan
kateterisasi pada arteri yang lain. Spasme yang persisten setelah pengangkatan
kateter dapat diringankan dengan nitrogliserin topikal pada daerah di atas arteri
femoralis. Atau dengan menghangankan kaki yang bersebrangan. Pengambilan
darah dari arteri radialis juga dapat menimbulkan spasme atau trombosis, diberikan
terapi yang sama. Spasme intermiten yang berat dapat diterapi dengan nitrogliserin
topikal atau infus lokal dengan tolazolin (Priscolin) 1 2 mg diinjeksikan intraarteri
selama 5 menit. Bila secara tidak sengaja menempatkan kateter pada arteri yang
kecil, dapat terjadi blok total atau spasme vaskular lokal, dapat terjadi gangren
pada organ atau area yang diperdarahi. Untuk mencegahnya, kateter harus
dipindahkan bila darah tidak dapat melaluinya. (9) Perdarahan yang serius pada
pemindahan kateter jarang terjadi. Trombus dapat terbentuk pada arteri atau
kateter, insidensinya berkurang dengan menggunakan kateter yang berujung lunak
dengan lubang hanya pada ujungnya, membilas kateter dengan larutan saline
ditambah heparan dalam jumlah kecil. Atau dengan infus continuous dengan
larutan yang mengandung 1 10 unit heparin. Resiko terbentuknya trombus
dengan emungkinan oklusi vaskuler dapat dikurangi dengan memindahkan kateter
bila ada tanda tanda terjadinya trombosis, seperti tekanan nadi yang menyempit,
dan hilangnya dicrotic notch. Hipertensi renovaskular dapat muncul beberapa hari
sampai beberapa minggu setelah kateterisasi arteri umbilikalis pada sejumlah kecil
neonatus. (9) Kateterisasi vena umbilikalis memeliki resiko yang sama dengan

arteri, ditambah kemungkinan terjadinya hipertensi portal dari trombosis vena


porta. (9) 2.10.3 Komplikasi akut Patent Ductus Arteriosus Konstriksi dan penutupan
duktus biasanya terjadi dalam 48 jam setelah lahir pada bayi term dan preterm
tanpa distress nafas. PDA terjadi sebanyak 36% pada bayi
rematur dengan ventilasi buatan. PDA memberikan gejala bila diameter duktus >
1,5 mm. Pemberian steroid antenatal atau indometasin profilaksis mencegah
terjadinya PDA. (5) Insidensi PDA pada bayi prematur dengan HMD sekitar 90%.
Dengan meningkatnya angka bertahan hidup bayi sangat kecil disertai penggunaan
surfaktan eksogen, PDA sebagai komplikasi HMD merupakan masalah dari
penanganan HMD pada awal kehidupan. (4) Mungkin terjadi pirau yang bermakna
melalui PDA pada neonatus dengan HMD, penutupan yang terlambat terjadi akibat
hipoksia, asidosis, meningkatnya tekanan paru secara sekunder akibat
vasokonstriksi, hipertensi sistemik, imaturitas, pelepasan prostaglandin E2 secara
lokal yang akan mendilatasi duktus. Sepsis juga dapat meningkatkan resiko
terjadinya PDA, yang juga dimediasi peningkatan prostaglandin. (9),(4) PDA
diasosiasikan dengan pirau dari kanan ke kiri dan peningkatan aliran darah paru
dan tekanan arteri pulmonal. Peningkatan aliran darah paru menyebabkan
berkurangnya compliance paru yang akan membaik setelah ligasi PDA. Peningkatan
aliran darah paru akan menimbulkan kegagalan ventrikel kiri dan edema paru serta
mempengaruhi keseimbangan cairan paru. Kebocoran protein plasma ke rongga
alveoli menghambat fungsi surfaktan. Hal ini akan meningkatkan kebutuhan
oksigen serta ventilasi mekanik. (4) Pirau dapat terjadi ke dua arah atau dari kanan
ke kiri melalui duktus arteriosus. Setelah HMD membaik, resistensi vaskular paru
turun, dan dapat terjadi pirau dari kiri ke kanan yang menimbulkan volume ventrikel
kiri berlebih dan edema paru. (9) Manifestasi PDA meliputi : (9),(4) Apnea persisten
dengan alasan yan tidak jelas pada bayi yang pulih dari HMD precordium yang
bekerja secara aktif, nadi di perifer yang kuat, tekanan nadi lebar, murmur sistolik
to and fro (paling baik didengar di bawah klavikula kiri), crackles, perfusi perifer
yang buruk Retensi karbondioksida Peningkatan ketergantungan akan oksigen Bukti
rontgen akan adanya kardiomegali dan peningkatan corakan vaskuler paru (edema
paru) Hepatomegali Diagnosis dipastikan dengan echocardiografi Doppler yang
menunjukan danya bukti aliran pirau dari kiri ke kanan. (9) Kebanyakan bayi
berespon terhadap terapi suportif umum, meliputibantuan nafas yang adekuat,
pemberian diuretik dan restriksi cairan. Pada beberapa pasien di mana penutupan
spontan tidak terjadi, namun terjadi perburukan meski telah diberi terapi suportif
dan kardiotonik, pemberian indometasin Intravena 0,2 mg/kg dengan interval 12
24 jam untuk 3 dosis, dapat menginduksi penutupan secara farmakologis dengan
menghambat pembentukan prostaglandin. Protokol yang lain yaitu 0,1 mg/kg/24
jam selama 6 hari, mungkin diperlukan pengulangan dari kedua protokol.
Kontraindikasi indometasin meliputi trombositopeni (<>1,8 mg/dl). Indikasi
penutupan secara bedah adalah kegagalan penutupan setelah pemberian
indometasin, gagal jantung persisten disertai ketergantungan pada ventilator.
Penutupan PDA simtomatik harus segera dilakukan karena meningkatkan insidensi

terjadinya oenyakit paru kronik. (9) Hemorrhagic Pulmonary Edema Perdarahan


paru seringkali terjadi sekunder akibat edema paru berat yang merupakan
komplikasi dari HMD dan PDA. Insidensinya pada bayi prematur sekitar 1 % namun
pada otopsi ditemukan sekitar 55 %. Cairan hemoragis di rongga udara merupakan
filtrat kapiler yang berasal dari rongga interstitial atau perdarahan alveoli. Bentuk
interstitial ditandai dengan perdarahan pleura, septum interlobularis, peribronkial,
perivaskular, dan dinding aleolar. Bila perdarahan masuk ke alveoli, eritrosit
memenuhi rongga udara dan meluas hingga ke bronkiolus dan bronkus. (4) Faktor
predisposisinya antara lain asfiksia perinatal, hipotermia, hipoglikemi, gagal jantung
kongestif, koagulopati, pneumonia, dan pemberian cairan berlebih. Pada bayi yang
mendapat terapi surfaktan eksogen, terjadi peningkatanpirau kanan ke kiri melalui
duktus arteriosus yang memicu terjadinya edema paru hemoragis. (4) Perdarahan
paru biasanya muncul hari ke-5 sampai 7 kehidupan. Apabila bersifat masif, dapat
terjadi hal-hal yang mematikan. Perburukan mendadak dari pernafasan dikaitkan
dengan bradikardi, asidosis metabolik dan syok. Darah keluar dari hidung dan mulut
melalui ETT. Gambaran rontgen menunjukan gambaran opak difus dari kedua paru.
(4) Penanganan segera meliputi ventilasi buatan yang adekuat. Meningkatkan
tekanan jalan udara dengan menggunakan PEEP dapat mencegah perdarahan lebih
lanjut. Transfusi PRC dan FFP mungkin diperlukan untuk mengganti volume yang
hilang, namun restriksi cairan diindikasikan bila perdarahan terjadi akibat kegagalan
ventrikel kiri. Bila penyebabnya PDA, maka PDA harus diterapi. (4) Pulmonary
Interstitial Emphysema (PIE) PIE dapat terjadi simetris, asimetris atau terlokalisasi
pada satu bagian paru. PIE yang terletak di perifer dapat menimbulkan bleb
subpleura yang bila pecar akan menimbulkan pneumotoraks. Bisa juga
menyebabkan terjadinya pneumomediastinum atau pneomopericardium. Bila alveoli
ruptur, udara dapat terlokalisasi dan bersatu di parenkim membentuk pseudokista.
Rupturnya alveoli dapat menyebabkan udara masuk ke vena pulmonalis,
menimbulkan emboli udara. (8) Gambar 2.15 Rontgen PIE (8) Merupakan komplikasi
HMD setelah terapi ventilasi buatan. Gambaran linear berbatas tegas serta
kumpulan udara berbentuk kistik dan radiolusen di paru kanan. Kebocoran Udara
Ekstravasasi udara ke ekstrapulmonal juga merupakan komplikasi dari penanganan
HMD. (9) Gambar 2.16 Rontgen Tension pneumothorax kanan AP (8) Infeksi Infeksi
dapat manifes sebagai kegagalan untuk membaik, perburukan mendadak,
perubahan jumlah leukosit, trombositopenia. Terdapat peningkatan insidensi
septicemia sekunder terhadap staphylococcal epidermidis dan/atau Candida. Bila
curiga akan adanya septicemia, lakukan kultur darah dari 2 tempat berbeda dan
berikan antibiotik (8) Perdarahan intracranial dan leukomalasia periventrikuler
Perdarahan intrakranial didapatkan pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
lebih tinggi pada bayi RDS yang membutuhkan ventilasi mekanik. Ultrasound kepala
dilakukan dalam minggu pertama. Terapi indometasin profilaksis dan pemberian
steroid antenatal menurunkan insidensinya. Hipokarbia dan chorioamnionitis
dikaitkan dengan peningkatan periventricular leukomalacia. (8) Necrotizing
Enterocolitis (NEC) Semua bayi dengan abnormalitas abdomen pada pemeriksaan
fisik harus dicurigai mengalami necrotizing enterocolitis dan/atau perforasi

gastrointestinal. Pemeriksaan roentgen abdomen dapat dilakukan untuk


memastikan. Perforasi spontan (tidak selalu merupakan bagian dari NEC) dapat
muncul pada bayi dengan sakit berat dan diasosiasikan dengan penggunaan steroid
dan/atau indometasin. (8) Apnea Apnea pada premature sering terjadi pada bayi
imatur, insidensinya meningkat dengan adanya terapi surfaktan, mungkin
disebabkan karena ekstubasi terlalu dini. (8) Anemia Anemia sekunder akibat
pengambilan sampel darah berulang juga dapat terjadi. Penggantian dengan
transfusi PRC diperlukan bila jumlah total darah yang diambil diperkirakan 10 -15 %
dari volume darah total, atau bila ada penurunan yang signifikan dari hematokrit.
Bayi yang bergantung pada terapi oksigen, hematokritnya harus dipertahankan
mendekati 40 %. Terapi dengan eritropoietin dapat mengurangi seringnya transfusi.
(9),(8) Persistent Pulmonary Hipertension (PPHN) / Persistent Fetal Circulation PPHN
dapat terjadi pada bayi term dan posterm. Faktor predisposisinya antara lain
asfiksia saat lahir, pneumonia akibat aspirasi mekonium, sepsis onset dini, HMD,
hipoglikemi, polisitemia, ibu yang menggunakan AINS dengan konstriksi in utero
dari Duktus Arteriosus, dan adanya hipoplasia pulmo sebagai hasi dari hernia
diafragmatika, kebocoran cairan amnion, oligohidramnion atau efusi pleura. PPHN
sering kali bersifat idiopatik. (9) Etiologi : Beberapa pasien dengan PPHN memiliki
kadar arginin dan nitrit oksida metabolit yang rendah dalam plasma, disertai
polimorfisme gen carbamoyl phosphate synthase. Penemuan tersebut
menyebabkan adanya perkiraan mengenai penyebab PPHN yaitu defek produksi
nitrit oksida. (9) Pada neonatus normal, segera sesudah lahir terjadi perubahan
sirkulasi yang didorong oleh meningkatnya masukan O2 dan turunnya resistensi
vaskuler paru. Resistensi vaskular paru turun 80 % dalam 12 24 jam pertama
kehidupan, dan mencapai kadar normal dalam 2 4 minggu. Proses ini melibatkan 2
mediator utama yaitu nitrit oksida (vasodilator) dan endothelin-1 (vasokonstriktor).
(13) Insidensi : Insidensi PPHN adalah 1 / 500 1500 kelahiran hidup dengan
adanya varian yang luas. (9) Patofisiologi : Persistensi pola sirkulasi fetal (pirau dari
kanan ke kiri) melalui duktus arteriosus persisten dan foramen ovale setelah lahir
terjadi karena peningkatan resistensi vaskular paru. Resistensi vaskular paru
biasanya meningkat relatif terhadap tekanann pulmonal postnatal / tekanan
sistemik fetus. Keadaan fetus memungkinkan pirau darah vena umbilikalis yang
mengandung banyak oksigen ke atrium kiri (dan otak) melalui foramen ovale dan
melewati paru melalui duktus arteriosus ke aorta desenden. (9) Setelah lahir,
resistensi paru normalnya menurun dengan cepat sebagai konsekuensi vasodilatasi
sekunder terhadap masuknya udara ke paru, peningkatan Pa O2 postnatal,
penurunan PCO2, peningkatan pH, pelepasan zat vasoaktif. (9) Peningkatan
resistensi vaskular pulmonal neonatus dapat 1. Maladaptif dari injuri akut
(peningkatan O2 dan perubahan lain sesudah lahir), di mana pembuluh darah tidak
mengalami vasodilatasi normal sebagai respon 2. Hasil peningkatan ketebalan otot
medial arteri pulmonal dan ekstensi lapisan otot polos ke arteriol pulmanal yang
biasanya non muskular, yang letaknya lebih perifer, sebagai respon dari hipoksia
kronik. 3. Hipoplasia pulmonal (hernia diafragna, sindroma Potter) 4. Menjadi
obstruktif karena polisitemia / total anomalous pulmonal venous return 5. Displasia

kapiler alveoli, kelainan familial yang bersifat letal, ditandai dengan penebalan
septumalveoler dan penurunan jumlah kapiler dan arteri pulmonal kecil, hipoksia
berat terjadi karena pirau kanan ke kiri serta PCO2 yang normal atau meningkat. (9)
Secara anatomi, terdapat 4 tipe berbeda dari kelainan pembuluh darah paru : 1.
Hipoplasia pulmonal primer : jumlah arteri di paru berkurang sehingga aliran darah
ke paru juga berkurang 2. Jumlah arteriolar dan muskularisasi normal namun tidak
terjadi penurunan resistensi vaskular paru ( atau turun kemudian naik kembali)
karena berkurangnya sekresi vasodilator, meningkatnya vasokonstriktor , otot polos
kurang responsif terhadap stimulus. 3. Arteriol pulmonal dengan muskularisasi
berlebih dan ekstensi otot ke arteri intra-asinus yang biasanya tidak mengandung
otot polos 4. Displasia kapiler alveolar (13) Manifestasi klinik : Gejala dapat muncul
di tempat persalinan atau dalam 12 jam pertama kehidupan. PPHN yang
berhubungan dengan polisitemia, idiopatik, hipoglikemi atau asfiksia; hasil akhirnya
berupa sianosis berat dengan takipnea, meski awalnya tanda distres nafas minimal.
(9) Bayi dengan PPHN yang dikaitkan dengan MAS, GBS pneumonia, hernia
diafragma / hipoplasia pulmonal, biasanya menunjukkan sianosis, grunting, PCH,
retraksi, takikardi dan shock. (9) Pada PPHN didapatkan keterlibatan multiorgan.
Iskemia miokard, disfungsi muskulus papilaris dengan regurgitasi mitral dan
trikuspid disertai jantung tidak bergerak. Semua hal tersebut dapat menimbulkan
shock kardiogenik dengan penurunan aliran darah pulmonal, perfusi jaringan serta
hantaran O2. (9) Diagnosa PPHN harus dicurigai pada semua bayi term dengan
sianosis, dengan / tanpa fetal distress, IUGR, cairan amnion terwarna mekonium,
hipoglikemi, polisitemia, hernia diafragma, efusi pleura dan asfiksia lahir. (9)
Hipoksia yang terjadi tidak berespon terhadap O2 100 % yang diberikan melalui
hood. Respon bersifat transien terutama hiperventilasi hiperoksia yang diberikan
setelah dilakukan intubasi endotrakheal atau dari mask dan bag. (9) Perbedan PaO2
praduktal (arteri radialis kanan) dan postduktal (arteri umbilikalis) tempat
diambilnya sampel darah > 20 mmHg menandakan adanya pirau dari kanan ke kiri
melalui duktus arteriosus. (9),(13) Echocardiografi dan Doppler dapat
memperlihatkan aliran dari kanan ke kiri melalui PDA dan foramen ovale. Deviasi
septum interatrial ke atrium kiri pada PPHN berat. Insufisiensi Mitral atau Trikuspid
pada auskultasi didapatkan murmur holosistolik, disertai kontraktilitas yang buruk
pada Echocardiografi (bila terkait dengan iskemia miokard). Dengan menentukan
tingkat regurgitasi trikuspid dapat diperkirakan tekanan arteri pulmonalis. Bunyi
jantung 2 terdengar keras dan tunggal. (9) Pada PPHN yang terkait asfiksia dan
idiopatik gambaran radiologis normal, Pada PPHN yang terkait pneumonia dan
hernia diafragma didapatkan lesi opak spesifik pada perenkim dan adanya usus di
dada. (9) Diagnosa Banding Diagnosa banding meliputi penyakit jantung sianotik,
serta hal-hal yang merupakan predisposisi (hipoglikemi, polisitemia, sepsis). (9)
Terapi : Yang terutama adalah koreksi predisposisi dan perbaikan oksigenasi
jaringan. Terapi inisial meliputi O2, koreksi asidosis, hipotensi dan hipercapnea. Bila
hipoksia persisten lakukan intubasi dan ventilasi mekanik. (9) Ventilasi mekanik
dapat dilakukan dengan atau tanpa pancuronium (paralisis) dan harus
dipertahankan PaO2 50 -70 mmHg, PCO2 50-55 mmHg. Pemberian Tolazoline 1

mg/kg ( bloker nonselektif) untuk vasodilatasi sistem arteri pulmonalis. Efek


sampingnya berupa hipotensi sistemik sehingga diperlukan volume expander dan
dopamin. (9) Hiperventilasi untuk menurunkan vasokonstriksi paru dengan
menurunkan PCO2 sekitar 25 mmHg dan meningkatkan pH 7,5-7,55 (diperlukan PIP
tinggi danfrekuensi nafas cepat) kadang perlu pancuronium paralisis untuk
mengontrol ventilasi hingga mencapai PaO2 90 -100%. Komplikasi hiperventilasi
adalah hiperinflasi, penurunan eliminasi CO2, penurunan curah jantung,
barotrauma, pneumotoraks, penurunan aliran darah serebral, peningkatan
kebutuhan cairan dan edema karena paralisis. (9) Alkalinisasi dengan natrium
bicarbonat dilakukan untuk meningkatkan pH sehingga terjadi vasodilatasi arteri
pulmonalis. Shock kardiogenik harus ditangani dengan pemberian dopamin dan
dobutamin. (9) Surfaktan eksogen dan iNO dapat diberikan.Untuk langkah terakhir,
bila tak ada respon terhadap terapi sebelumnya, dapat dlakukan ECMO. (9)
Prognosa : Yang perlu menjadi perhatian adalah hipoksik iskemik ensefalopati dan
kemampuan menurunkan resistensi vaskuler paru. Dengan pemakaian ECMO 85
90 % dapat bertahan hidup. (9) 2.10.4 Komplikasi Kronik Bronchopulmonary
Dysplasia (BPD) Oksigen bersifat toksik bagi paru-paru, terutama bila diberikan
dengan respirator tekanan positif, menyebabkan terjadinya BPD. Selain itu, BPD
juga dapat disebabkan oleh robeknya alveoli akibat tekanan, volutrauma,
saponifikasi hipokapnea, atelektasis akibat absorpsi, dan terjadinya inflamasi.
Beberapa bayi yang mendapat bentuan nafas berupa intermittent positive
pressure secara berkepanjangan dengan konsentrasi oksigen yang ditingkatkan,
menunjukkan perburukan paru pada gambaran rontgen. Distres nafas menetap
ditandai hipoksia, hiperkarbia, ketergantungan pada oksigen, dan terjadinya gagal
jantung kanan. Gambaran rontgen berubah, sebelumnya menunjukan gambaran
opak hampir menyeluruh disertai air bronchogram dan emfisema interstitial,
menjadi area lusen bulat kecil berselang seling dengan area dengan densitas yang
iregular, seperti gambaran spons. (9) Gambar 2.17 Rontgen BPD AP (8) Merupakan
komplikasi terapi ventilasi buatan. Terdapat hiperinflasi paru sedang, gambaran
opak kasar di interstitial, gambaran honeycomb appearance di kedua paru, dan
atelectasis (lobus kanan atas) Tabel 2.10 Definisi BPD : Kriteria Diagnosa (9) Usia
kehamilan <> > 32 minggu Waktu Diagnosa 36 minggu PMA / dibawa pulang
(tergantung yang mana yang lebih dulu) Terapi dengan 21% O2 untuk minimal 28
hari ditambah : >28 hari tapi <> Terapi dengan 21% O2 untuk minimal 28 hari
ditambah : BPD ringan Bernafas dalam udara ruangan pada 36 minggu PMA /
dibawa pulang (tergantung yang mana yang lebih dulu) Bernafas dalam udara
ruangan >28 hari tapi <> BPD moderate Kebutuhan untuk <> Kebutuhan untuk
<>28 hari tapi <> BPD berat Kebutuhan untuk > 30 % O2 dan/atau PPV atau NCAP
(Nasal Continuous Positive Airway Pressure) pada 36 minggu PMA / dibawa pulang
(tergantung yang mana yang lebih dulu) Kebutuhan untuk > 30 % O2 dan/atau PPV
atau NCAP (Nasal Continuous Positive Airway Pressure) >28 hari tapi <> Dari
gambaran histologis pada stadium ini (10-20 hari setelah terapi oksigen dimulai)
hanya ada sedikit bukti akan adanya pembentukan membran hyalin, bersatunya
alveoli secara progresif dengan atelektasis di sekelilingnya, edema interstitial,

penebalan membran basal setempat, metaplasia dan hiperplasia mukosa bronkus


dan bronkiolus secara luas. Hal ini terjadi akibat maldistribusi ventilasi yang berat.
Ketergantungan akan oksigen selama 1 bulan (secara berselang-seling pada usia
kehamilan 36 minggu) merupakan BPD. (9) Kebanyakan neonatus yang bertahan
dengan gambaran rontgen yang berubah secara persisten mengalami perbaikan
dalam 6 -12 bulan, tapi beberapa membutuhkan perawatan lebih panjang dan
dapat mengalami gejala respirasi yang persisten setelahnya. Gagal jantung kanan
dan bronchiolitis nekrotikan karena virus adalah penyebab utama kematian. Terjadi
pembesaran jantung dan perubahan paru meliputi daerah fokal dengan alveoli yang
mengalami emfisema dengan hipertrofi otot polos peribronkial, fibrosis perimukosa,
dan metaplasia luas dari mukosa bronkiolus, penebalan membran basal, dan
terpisahnya kapiler dari sel epitel alveolar. (9) Bayi yang beresiko terkena BPD
mengalami distres nafas berat yang memerlukan ventilasi mekanik jangka panjang
dan terapi oksigen. BPD dapat pula terjadi akibat emfisema interstitial paru, usia
kehamilan muda, laki-laki, kadar PCO2 rendah pada usia 48 jam, PDA, tingginya
tekanan puncak inspirasi, meningkatnya resistensi aliran udara pada 1 minggu
pertama kehidupan, serta riwayat keluarga dengan asma. Bayi dengan berat badan
sangat rendah tanpa HMD yang memerlukan ventilasi mekanik karena apnea,
mengalami penyakit paru kronis yang tidak mengikuti pola klasik BPD. (9) BPD berat
memerlukan ventilasi mekanik terus-menerus sampai mampu bertahan tanpa
respirator. Konsentrasi gas darah yang dapat diterima oleh pasien BPD meliputi
PCO2 50 70 mmHg (bila pH > 7,30) dan PaO2 55 -60 mmHg dengan saturasi
oksigen 90 95 %. Kadar PaO2 lebih rendah dapat menimbulkan hipertensi
pulmonal, yang mengakibatkan terjadinya cor pulmonal dan hambatan
pertumbuhan. Obstruksi aliran udara pada BPD dapat terjadi akibat produksi mukus
dan terjadinya edema, spasme brokus, dan kolaps akibat trakeomalasia yang
didapat. Keadaan ini dapat menimbulkan blue spells. Sebagai alternatif lain, blue
spells dapat terjadi akibat cor pulmonal akut atao iskemia miokard. (9) Terapi BPD
meliputi, penggunaan bronkodilator seperti agen 2 adrenergik secara aerosol dan
teofilin, diuretik, pembatasan cairan serta terapi infeksi (Ureaplasma urealiticum,
respiratory syncytial virus), formula berkalori tinggi, CPAP untuk trakeomalasia, dan
dexamethasone. (9),(5) Pemantauan pertumbuhan harus dilakukan karena
pemulihan bergantung pada pertumbuhan jaringan paru dan remodeling vaskuler
paru. Nutrisi diberikan untuk mencapai kalori yang ditambahkan (24 30 kalori / 30
ml formula) dan protein (3-3,5 gr/kg/24 jam) yang diperlukan. (9) Diuretik
memberikan perbaikan cepat dari mekanisme paru dan dapat menurunkan
kebutuhan O2 dan ventilator. Furosemid (1 mg/kg/dosis IV 2x/hari atau 2
mg/kg/dosis oral 2x/hari) setiap hari atau selang sehari, dan HCT saja / kombinasi
dengan potassium chlorida bila diperlukan, atau bisa juga diberikan spironolakton.
(9) Bronkodilator memperbaiki mekanisme paru-paru dengan menurunkan
resistensi jalan udara. Baik 2 adrenergik dan sistemik aminofilin atau teofilin
( pada level serum 12 15 mg/L) digunakan. (9) Oksigenasi diberikan dengan
mempertahankan saturasi antara 92 96 % untuk mencegah / mengobati cor
pulmonale dan menunjang pertumbuhan optimal, serta hasil neurodevelopmental

yang baik. (9) Dexamethasone 0,5 mg/kg/24 jam diberikan dalam 2 dosis secara
intravena, dimulai setelah 2 6 minggu mengalami penyakit paru kronis. Dosis
tersebut diberikan selama 3 hari, kemudian diturunkan menjadi 0,3 mg/kg/24 jam
selama 3 hari. Kemudian dosis diturunkan 10 % tiap 3 hari sampai mencapai 0,1
mg/kg/24 jam, Dosis akhir diberikan setiap selang sehari selama 1 minggu
kemudian dihentikan. Beberapa memulai pemberian setelah 7 14 hari muncul
ketergantungan terhadap ventilator. Penggunaan steroid telah memperbaiki
kemampuan untuk melepas pasien secara bertahap dari ventilator tapi
meningkatkan resiko hipertensi, pertumbuhan yang buruk, perdarahan saluran
cerna, hiperglikemi infeksi, dan juga kardiomiopati. Beberapa bayi dapat berespon
pada terapi vasodilator dengan berkurang resistensi pembuluh darah paru. (9) Pada
kasus berat dapat diberikan nitrit oxide inhalasi (iNO) untuk memperbaiki
oksigenasi. (9) Komplikasi BPD meliputi gagal tumbuh, retardasi psikomotor
sementara, serta sekuele seperti nefrolitiasis (akibat pemberian diuretik dan total IV
alimentation), osteopenia, stenosis subglotis, yang mungkin membutuhkan
trakeotomi atau prosedur memisahkan cricoid anterior untuk mengurangi obstruksi
saluran nafas atas. (9) Pasien dengan BPD sering pulang ke rumah dengan oksigen,
diuretik, dan terapi bronkodilator. Prognosis janga panjang baik pada bayi yang
telah lepas dari oksigen terapi sebelum keluar dari ICU. Ventilasi yang lebih lama,
perdarahan interventrikel, hipertensi pulmonal, cor pulmonal, dan ketergantungan
akan oksigen sebelum usia 1 tahun adalah tanda prognosis yang buruk. Obstruksi
saluran nafas, hiperaktivitas dan hiper inflasi dapat ditemukan pada remaja. (9)
Angka kematian sebesar 10 25 % terutama pada yang bergantung pada ventilator
> 6 bulan. Penyebab kematian tersering adalah kegagalan jantung dan respirasi
(cor pulmonal) dan infeksi (RSV). (9) Retinopathy of prematurity (ROP) Bayi dengan
RDS dan PaO2 > 100 mmHg memiliki resiko terkena ROP, maka monitor PaO2 harus
dilakukan secara ketat dan dipertahankan antara 50-70 mmHg. Pulse oximetry tidak
membantu mencegah ROP pada bayi sangat kecil karena kurva disosiasi oksigenhemoglobin hampir rata. Bila ROP berlanjut, terapi laser atau cryotherapy dilakukan
untuk mencegah terlepasnya retina dan kebutaan. (8) Gangguan neurologis Terjadi
pada + 10-70 % bayi, dan dikaitkan dengan usia kehamilan, tipe patologi
intracranial, adanya hipoksia, serta adanya infeksi. Gangguan pendengaran dan
penglihatan dapat mengganggu perkembangan bayi di kemudian hari. Dapat terjadi
gangguan belajar dan perilaku. (8) 2.11 Prognosa Melakukan observasi intensif dan
perhatian pada bayi baru lahir beresiko tinggi dengan segera akan mengurangi
morbiditas dan mortalitas akibat HMD dan penyakit neonatus akut lainnya. Hasil
yang baik bergantung pada kemampuan dan pengalaman personel yang
menangani, unit rumah sakit yang dibentuk khusus, peralatan yang memadai, dan
kurangnya kmplikasi seperti asfiksia fetus atau bayi yang berat, perdarahan
intrakranial, atau malformasi kongenital. Terapi surfaktan telah mengurangi
mortalitas 40 %. (9) Mortalitas dari bayi dengan berat lahir rendah yang dirujuk ke
ICU menurun dengan pasti, 75 % dari bayi dengan berat <> 2.500 gr bertahan.
Meski 85 90 % bayi yang selamat setelah medapat bantuan respirasi dengan

ventilator adalah normal, penampakan luar lebih baik pada yang berta badannya >
1.500 gr, sekitar 80 % dari yang beratnya <>(9)

Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef


http://referensikedokteran.blogspot.co.id/2010/07/hyalin-membran-diseasehmd.html

Anda mungkin juga menyukai