Riba
Riba
Pengertian Riba
Riba menurut pengertian bahasa Arabnya ialah kelebihan dan menurut
istilah ilmu fiqih secara umum ialah tiap jual beli yang haram. Riba
termasuk kebiasaan zaman jahili. Ayat yang membawa masalah riba ialah:
,
,
, ,
.
1. Orang-orang yang memakan hasil riba tidak dapat berdiri (di
akhirat), kecuali seperti orang yang ditampar syetan (kemasukan
syetan).
Sebabnya
ialah
karena
mereka
berpendapat,
bekerja
atau
jadi
pegawainya,
maka
termasuk
mencari
penghidupan dari hasil perbuatan haram. Jika berdoa kepada Allah tidak
akan dikabulkan oleh Allah Swt., dan pemakannya dengan mudah jatuh ke
lembah perbuatan berdosa. Jika anda sedang dalam situasi seperti itu,
maka usahakanlah segeranya menukar sumberhidup, sehingga anda
disitu hanya karena terpaksa saja yaitu karena memelihata nyawa dan
itulah satu-satunya jalan usaha yang ada pada waktu itu. Sabda
Rasulullah Saw.:
, :
, . : ,,,
Jabir RA menceritakan, bahwa Rasulullah Saw., mengutuk pemakan riba,
yang mewakilinya, juru tulisnya, dan kedua orang saksinya. Kemudian
Beliau tambahkan, Mereka itu sama saja.
:
,
. . ,
Abdullah bin Masud RA, bahwa Nabi Saw., bersabda, pintu riba itu tujuh
puluh tiga. Yang paling ringan (dosanya) ialah laksana dosa orang yang
menyetubuhi ibu kandungnya. Yang paling berat (dosanya) ialah laksana
dosa menodai akhlak muslim yang baik.
tidak ada uraian terperinciMengenai jumlah tujuh puluh tiga macam itu,
dari Rasulullah Saw. Itu hanyalah untuk menggambarkan demikian
bersimpang siurnya macam-macam riba.
:
,
,
). (
:
, ,
, ,
,
, , , ,
) . (
:
,
,
) . (
dengan bunga. Salah satu mahzab pemikiran percaya bahwa apa yang
dilarang Islam adalah riba bukan bunga. Sementara satu mahzab
pemikiran lain merasa bahwa sebenarnya tidak terdapat perbedaan
antara riba dan bunga.1
Al-Quran dan As-Sunnah, dua sumber pokok hukum Islam melarang keras
adanya bunga karena kezalimannya (QS. Al-Muzammil dan QS. AlBaqarah). Tetapiada beberapa orang Islam terpelajar yang silau oleh
pesona lahiriah peradaban Eropa mengatakan bahwa yang dilarang Islam
adalah Riba bukan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga yang
dibayarkan pada pinjaman investasi dalam kegiatan produksi tidak
bertentangan dengan hukum Al-Quran karena hukum ini hanya mengacu
pada riba yaitu yang dipinjam bukan untuk produksi di masa pra Islam.
Pada masa itu orang yang tidak mengenal pinjaman produksi dan
pengaruhnya pada perkembangan ekonomi. Dalam hal ini, mereka yang
mengajukan teori bunga
akan lumpuh.
Sedangkan Islam adalah kekuatan dinamis dan progresif, dan jelas dapat
1 M. Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam ,( Yogyakarta: Amanah
Bunda Sejahtera,1997), h. 118
Ibn Masud menyatakan Rasulullah Saw. Melaknat orang yang memakan
riba, orang yang dipungut riba darinya, juru tulisnya, dan orang yang
menjadi saksi. Dalam hadis yang diterima dari Jabir ada kata
(mereka semua sama saja).
Ada perbedaan redaksi dalam hadis lain, yang diriwayatkan al-Nasai:
Dengan
penambahan
kata
tersebut
memberikan
pemahaman
hanya ditujukan kepada orang yang menarik riba dari orang lain saja. Di
dalam surat Al-Baqarah [2]:275, secara tegas Allah mengungkapakan jual
beli secara vis a vis dengan riba. Di samping itu, solusi yang diberikan
Islam untuk menghapus riba dengan menyuburkan sedekah seperti yang
dinyatakan
dalam
QS.
Al-Baqarah
[2]:
276.
Untuk
merealisasikan
ketentuan tersebut dalam ayat, maka ketentuan dalam hadis diatas perlu
diperhatikan.
Dalam hadis diatas, dinyatakan bahwa laknat Rasulullah Saw.,
diperuntukkan kepada semua orang yang terlibat dalam transaksi riba.
Mereka yang mendapatkan laknat adalah orang yang memungut riba,
yaitu orang-orang yang mencari keuntungan dengan cara melebihkan
sesuatu dari yang seharusnya. Larangan ini diberikan agar orang yang
memberikan pinjaman atau penjual tidak memperlakukan orang yang
membutuhkan bantuannya dengan sesuka hatinya dan tidak membuat
orang lain terpaksa harus mengikuti persyaratan yang diberikannya.
Larangan juga ditunjukkan kepada orang yang membayar atau
pihak yang harus memberikan tambahan dari yang sebenarnya (biasanya
banyak terjadi dalam masalah utang, atau jual beli dengan pembayaran
yang tidak tunai). Apabila pihak yang membayar tidak mau melakukan
transaksi yang ada unsur riba tersebut, maka kegiatan riba itu tidak akan
terjadi.
Karena
itu,
mereka
secara
bersama-sama
ikut
membuat
ancaman
tersebut,
posisi
peminjam
sangat
tidak
celaan,
hinaan
dari
kreditur,
bahkan
ia
juga
akan
perkembangan
perekonomian
belakangan ini,
terdapat
Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw. Melarang jual beli dua harga
Harga merupakan unsur yang harus ada dan harus jelas dalam
suatu jual beli. Persyaratan harga tersebut harus jelas untuk suatu barang
yang dijual. Untuk satu barang dengan kualitas dan kuantitas yang sama
harusnya mempunyai harga yang sama pula. Dalam hadis di atas terlihat
bahwa Rasulullah Saw., melarang jual beli satu jenis barang dengan dua
harga.
Penafsiran yang diberikan oleh para ilmuwan tentang jual beli
dengan dua harga itu adalah misalnya dengan menjual suatu barang
secara tunai Rp10.000, dan secara kredit Rp20.000. Hal ini menunjukkan
bahwa harga barangnya tidak jelas, karena harga pada satu kondisi
berbeda dengan kondisi lainnya. Salah satunya lebih mahal dan lainnya
lebih murah.
Dalam praktiknya, bentuk jual beli dua harga itu dapat dibedakan
dalam dua bentuk, yaitu:
a. Penjual mengatakan harga barang itu jika dibayar tunai sekian
rupiah dan jika dibayar dengan cicilan sekian rupiah, silahkan anda
mau memilih yang mana.
b. Penjual mengatakan: Saya akan menjual barang saya dengan syarat
Anda menjual barang Anda dengan seharga demikian.
Jika menjual realitas perdagangan yang ada pada saat ini bentuk
jual beli dua harga yang sering ditawarkan oleh penjual adalah dalam
bentuk pertama. Di berbagai toko ada penawaran barang yang dijual
dengan harga sekian rupiah tunai dan harga sekian rupiah dalam waktu
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. Bersabda: Siapa yang melakukan jual
beli dengan dua harga, maka ia harus memilih harga terendah atau riba.
Dengan
memerhatikan
hadis
yang
disebutkan
terakhir
ini,
kemudahan
kepada
pembeli
dengan
sistem
pembayaran kredit.
b. Pilihan kedua, jika penjual tidak mengambil harga terendah atau
dengan mengambil harga yang lebih tinggi, maka kelebihan harga
kredit dari harga tunai tersebut termasuk riba.
Alasan larangan pada bentuk pertama karena tidak tetapnya harga,
dan membuka peluang praktik riba bagi orang yang hanya dapat membeli
sesuatu dengan cara kredit atau cicilan, dengan cara harus membayar
harga yang lebih tinggi. Sedangkan larangan pada bentu yang kedua
karena dikaitkannya jual beli dengan syarat yang kan datang yang
menentukan terjadi atau tidak terjadinya jual beli tersebut.
Larangan melakukan jual beli dengan dua harga diikuti oelh
konsekuensi logis yang harus dipilih oleh pelaku bisnis jika tetap
melakukan jual beli dengan dua harga. Dengan art, jika larangan masih
dilanggar, maka Islam hanya memberikan dua alternatif, yaitu penjual
harus memilih harga terendah dari dua harga yang ditawarkan, yaitu
harga tunai. Meskipun cara pelunasannya dengan mencicil. Agaknya
aturan ini untuk menjaga agar pihak yang tidak mampu merasa terpaksa
harus membeli dengan harga yang lebih tinggi karena tidak punya uang
cash.
Pilihan kedua, penjual yang bertahan dan memutuskan untuk
memilih harga yang lebih tinggi dari dua harga tawarannya, berarti
penjual telah melakukan praktik riba, yang tegas-tegas dilarang oleh Allah
dan Rasulullah Saw.
memilih
harga
terendah,
yaitu
harga
cash,
meski
perkembangan
perekonomian
dewasa
ini,
realitas
menukar saja. Akan tetapi, dalam kenyataannya terjadi transaksi jual beli,
penjualan misalnya nominal 10.000dengan delapan atau sembilan uang
dengan nominal 1000-an. Penjualan rupiah baru dengan rupiah lusuh atau
pecahan yang memiliki nominalnya lebih kecil ada kelebihan dan
kekurangan, seperti yang sudah dijadikan profesi oleh sebagian orang.
Peluang membisniskan mata uang sejenis muncul pada saat menghadapi
lebaran atau memenuhi kebutuhan para sopir untuk kembalian uang
penumpang.
Untuk menjaga dan tidak terjadi kecurangan dan tidak berimplikasi
merugikan pihak-pihak tertentu, Islam memberikan aturan yang sangat
jelas untuk al-sharf ini. Al-sharf menurut etimologis bermakna ziyadah
(tambahan) dan al-adl (seimbang). Sedangkan dalam istilah fiqh, al-sharf
adalah: jual beli mata uang sejenis atau tidak sejenis secara tunai.
Dampak praktiknya, jual beli mata uang ini dapat berbentuk
menjual mata uang sejenis, misalnya rupaih dengan rupiah, emas dengan
emas, atau dolar dengan dolar. Dapat juga dalam bentuk jual beli mata
uang asing atau tidak sejenis, mislanya rupiah dnegan dolar, emas
dengan perak atau sebliknya.
Jual beli valas banyak terjadi sekarang ini, misalnya untuk ongkos
haji yaitu membeli dolar dengan rupiah atau riyal dengan rupiah
merupakan praktik sharf. Begitu juga denagn jual beli atau penukaran
mata uang sejenis, yang baru dengan yang lama atau uang kertas dengan
uang koin. Ada tawaran agar terhindar dari transaksi ribawi pada jual beli
mata uang yang diberikan oleh Islam melalui sabda Rasulullah.
a. Jual Beli Mata Uang Sejenis Tidak Sama dan Tidak Kontan
Untuk berbagai kepentingan, jual beli mata uang sejenis sring
terjadi di masyarakat. Agar praktik jual beli mata uang ini sesuai dengan
tuntunan Rasulullah Saw. Sebagai dasar hukum pemberlakuan jual beli
mata uang ini adalah hadis Rasulullah Saw. Berikut:
Dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah Saw. Bersabda: janganlah kamu
memperjualbeliakan emas dengan emas kecuali sama-sama, janganlah
melebihkan atau mengurangi sebagian dari yang lain. Janganlah kamu
memperjualbelikan uang kertas dengan uang kertas kecuali sama-sama,
janganlah melebihkan atau menguurangi sebagian dari yang lain.
Janganlah kamu memperjualbelikan mata uang secara angsurang dengan
tunnai.
Aturan yang diberikan oleh Rasulullah Saw. Dalam transaksi jual beli
selalu berangkat dan merujuk kepada prinsip dasar transaksi dalam Islam,
yaitu terdapatnya unsur kerelaan hakiki bukan kerelaan semu. Sehingga
tidak ada yang merasa terpaksa dan harus menerima kehendak pihak
lain.
Ketentuan yang terdapat dalam hadis, menetapkan beberapa hal
yang harus diperhatikan dan dipenuhi dalam transaksi mata uang sejenis,
agar terhindar dari praktik ribawi, yaitu:
1) Harus sama tidak boleh melebihkan yang satu dari yang lain,
meskipun beda kualitas atau beda model cetakannya.
2) Harus dilakukan secara tunai tidak dengan kredit atau angsuran,
atau dibayar dibelakang.
Menurut ketentuan pertama, jika mata uang yang diperjualbelikan
sama, maka nominalnya juga harus sama, meskipun dalam pecahan atau
cetakan yang beda. Dengan hal itu lebih jelas dan eksplisit disampaikan
Rasulullah Saw. Bahwa emas dengan emas,
Dalam penjualan mata uang tidak sejenis juga ada hadis yang
secara eksplisit menjelaskan reaksi Umar ketika mengetahui ada
transaksi mata uang tidak sejenis yang tidak dibayar tunai, Umar
menyatakan: Demi Allah, dia tak boleh berpisah kecuali sampai dia
mendatangkan uang tersebut. Karena Rasulullah Saw., bersabda: Menjual
emas dengan perak akan mengandung riba kecuali bila kontan.
Dalam praktiknya, untuk menghindari penyimpangan dari ketentuan
syariah, maka transaksi dan perdagangan valura asing harus terbebas
dari unsur riba, maysir (spekulasi gambling) dan garar(ketidakjelasan,
manipulasi dan penipuan). Oleh karena itu, jual beli maupun bisnis harus
dilakukan dalam secara kontan atau kategori kontan. Disamping itu, motif
pertukaran mata uang dengan valuta asing tidak untuk spekulasi yang
dapat
menjurus
kepada
judi/gambling
(maysir),
melainkan
untuk