Anda di halaman 1dari 16

A.

Pengertian Riba
Riba menurut pengertian bahasa Arabnya ialah kelebihan dan menurut
istilah ilmu fiqih secara umum ialah tiap jual beli yang haram. Riba
termasuk kebiasaan zaman jahili. Ayat yang membawa masalah riba ialah:


,

,

, ,

.
1. Orang-orang yang memakan hasil riba tidak dapat berdiri (di
akhirat), kecuali seperti orang yang ditampar syetan (kemasukan
syetan).

Sebabnya

ialah

karena

mereka

berpendapat,

Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah


menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...
2. Allah tidak memberkahi hasil riba dan memberkahi hasil sedekah...
Mengenai pengaruh riba atas umat manusia diperingatkan Rasulullah:
Adapun

bekerja

atau

jadi

pegawainya,

maka

termasuk

mencari

penghidupan dari hasil perbuatan haram. Jika berdoa kepada Allah tidak
akan dikabulkan oleh Allah Swt., dan pemakannya dengan mudah jatuh ke
lembah perbuatan berdosa. Jika anda sedang dalam situasi seperti itu,
maka usahakanlah segeranya menukar sumberhidup, sehingga anda
disitu hanya karena terpaksa saja yaitu karena memelihata nyawa dan
itulah satu-satunya jalan usaha yang ada pada waktu itu. Sabda
Rasulullah Saw.:

, :
, . : ,,,

Jabir RA menceritakan, bahwa Rasulullah Saw., mengutuk pemakan riba,
yang mewakilinya, juru tulisnya, dan kedua orang saksinya. Kemudian
Beliau tambahkan, Mereka itu sama saja.

:


,

. . ,
Abdullah bin Masud RA, bahwa Nabi Saw., bersabda, pintu riba itu tujuh
puluh tiga. Yang paling ringan (dosanya) ialah laksana dosa orang yang
menyetubuhi ibu kandungnya. Yang paling berat (dosanya) ialah laksana
dosa menodai akhlak muslim yang baik.
tidak ada uraian terperinciMengenai jumlah tujuh puluh tiga macam itu,
dari Rasulullah Saw. Itu hanyalah untuk menggambarkan demikian
bersimpang siurnya macam-macam riba.

:

,
,
). (

:


, ,
, ,

,
, , , ,
) . (
:
,

,
) . (

B. Riba dan Bunga


Larangan Al-Quran terhadap pengambilan al-Riba adalah jelas dan pasti.
Sepanjang pengetahuan tidak seorang pun mempermasalahkannya.
Tetapi pertentangan yang timbul adalah mengenai perbedaan antara riba

dengan bunga. Salah satu mahzab pemikiran percaya bahwa apa yang
dilarang Islam adalah riba bukan bunga. Sementara satu mahzab
pemikiran lain merasa bahwa sebenarnya tidak terdapat perbedaan
antara riba dan bunga.1
Al-Quran dan As-Sunnah, dua sumber pokok hukum Islam melarang keras
adanya bunga karena kezalimannya (QS. Al-Muzammil dan QS. AlBaqarah). Tetapiada beberapa orang Islam terpelajar yang silau oleh
pesona lahiriah peradaban Eropa mengatakan bahwa yang dilarang Islam
adalah Riba bukan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga yang
dibayarkan pada pinjaman investasi dalam kegiatan produksi tidak
bertentangan dengan hukum Al-Quran karena hukum ini hanya mengacu
pada riba yaitu yang dipinjam bukan untuk produksi di masa pra Islam.
Pada masa itu orang yang tidak mengenal pinjaman produksi dan
pengaruhnya pada perkembangan ekonomi. Dalam hal ini, mereka yang
mengajukan teori bunga

tampaknya mengabaikan Al-Quran, yang

merupakan firman Allah terakhir sebagai pedoman manusia. Al-Quran


adalah undang-undang segala zaman, dan marifat Tuhan yang terwujud
padanya tidak dapat digantikan oleh praktek ekonomi bunga pada
pinjaman produksi yang diketahui zaman ini, atau zaman lainnya.
Sesungguhnya, perbedaan antara pinjaman produktif dan tidak produktif
adalah perbedaan tingkat, bukan perbedaan jenis. Menyebut riba dengan
nama bunga tidak akan mengubah sifatnya, karena bunga dalah suatu
tambahan modal yang dipinjam, karena itu ia adalah riba baik dalam jiwa
maupun perarturan hukum Islam.
Sebetulnya, tidak ada perbedaan antara bunga dan riba.islam dengan
tegas melarang semua bunga maupun hebat, dan meyakinkannya nama
yang diberikan padanya. Tetapi dalam ekonomi kapitalis bunga adalah
pusat berputarnya sistem perbankan. Dikemukakan bahwa tanpa bunga,
sistem perbankan tanpa nyawa , dan seluruh ekonomi

akan lumpuh.

Sedangkan Islam adalah kekuatan dinamis dan progresif, dan jelas dapat
1 M. Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam ,( Yogyakarta: Amanah
Bunda Sejahtera,1997), h. 118

dibuktikan bahwa konsep Islam tentang suatu sistem perbankan bebas


bunga lebih unggul dari pada perbankan modern. Pad taraf ini dapat
ditetapkan bahwa suku bunga sama sekali tidak ada hubungannya
dengan volume pengaruh menabung. Dalam hubungan ini baiklah dicatat
pandangan klasik dan Keynesian tentang bunga.2
C. Ancaman bagi Pelaku Riba
Di dalam Al-Quran telah disebutkan sebelumnya, larangan riba ini
secara bertahap. Dalam hadis yang akan dibahas di bawah ini, larangan
riba bukan hanya ditujukan kepada orang yang memungut riba, tetpi
kepada semua pihak yang terkait dalam transaksi yang membantu
terlaksananya transaksi riba tersebut. Hal itu dapat dilihat dalam hadis
berikut:



Ibn Masud menyatakan Rasulullah Saw. Melaknat orang yang memakan
riba, orang yang dipungut riba darinya, juru tulisnya, dan orang yang
menjadi saksi. Dalam hadis yang diterima dari Jabir ada kata
(mereka semua sama saja).
Ada perbedaan redaksi dalam hadis lain, yang diriwayatkan al-Nasai:



Dengan

penambahan

kata

tersebut

memberikan

pemahaman

bahwa semua orang yang terlibat dalam transaksi riba mendapatkan


ancaman yang sama, baik yang memungut riba, yang memberikan, yang
jadi saksi dan penulis.
Meskipun ayat dan hadis tentang pengharaman riba sudah sangat
jelas, tetapi pelarangan memakan riba tidak akan efisien jika larangan itu
2 M. Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam,...,h.165

hanya ditujukan kepada orang yang menarik riba dari orang lain saja. Di
dalam surat Al-Baqarah [2]:275, secara tegas Allah mengungkapakan jual
beli secara vis a vis dengan riba. Di samping itu, solusi yang diberikan
Islam untuk menghapus riba dengan menyuburkan sedekah seperti yang
dinyatakan

dalam

QS.

Al-Baqarah

[2]:

276.

Untuk

merealisasikan

ketentuan tersebut dalam ayat, maka ketentuan dalam hadis diatas perlu
diperhatikan.
Dalam hadis diatas, dinyatakan bahwa laknat Rasulullah Saw.,
diperuntukkan kepada semua orang yang terlibat dalam transaksi riba.
Mereka yang mendapatkan laknat adalah orang yang memungut riba,
yaitu orang-orang yang mencari keuntungan dengan cara melebihkan
sesuatu dari yang seharusnya. Larangan ini diberikan agar orang yang
memberikan pinjaman atau penjual tidak memperlakukan orang yang
membutuhkan bantuannya dengan sesuka hatinya dan tidak membuat
orang lain terpaksa harus mengikuti persyaratan yang diberikannya.
Larangan juga ditunjukkan kepada orang yang membayar atau
pihak yang harus memberikan tambahan dari yang sebenarnya (biasanya
banyak terjadi dalam masalah utang, atau jual beli dengan pembayaran
yang tidak tunai). Apabila pihak yang membayar tidak mau melakukan
transaksi yang ada unsur riba tersebut, maka kegiatan riba itu tidak akan
terjadi.

Karena

itu,

mereka

secara

bersama-sama

ikut

membuat

terwujudnya transaksi yang diharamkan. Mereka mendapatkan ancman


hukuman yang sama, meskipun secara realitas, biasanya yang disebutkan
terakhir (orang yang harus membayar tambahan dari utang) dalam posisi
yang tidak menguntungkan dan mereka melakukan dalam keadaan yang
terpaksa
Dengan

ancaman

tersebut,

posisi

peminjam

sangat

tidak

menguntungkan dibandingkan dengan para pemberi pinjaman, peminjam


dituntut untuk membayar lebih dari pinjaman. Jika transaksi riba
dilakukannya, disamping ia harus membayar lebih, mungkin akan
mendapatkan

celaan,

hinaan

dari

kreditur,

bahkan

ia

juga

akan

mendapatkan laknat Rasulullah Saw. Oleh karena itu, transaksi yang

mengandung riba bukan merupakan soluis yang menyelesaikan masalah,


tetapi perbuatan yang mengundang permasalahan. Tindakan yang
diambil tidak boleh dengan jalan menghalakan sesuatu yang telah jelas
keharamannya. Banyak alternatif lain yang dapat ditempuh, meskipun
kadang agak sulit dan memerlukan upaya sungguh-sungguh. Apabila
tidak ada yang mau membayar lebih dari utang, maka tidak akan ada dan
tidak akan terjadi transaksi.
Larangan juga ditujukan kepada juru tulis dan dua orang saksi
dalam praktek riba. Adanya kelompok ini, karena dalam Islam seperti
yang dilansir dalan QS. Al-Baqarah [2]: 282, setiap utang piutang harus
ditulis dan disaksikan oleh dua orang saksi. Juru tulis dan saksi dengan
demikian, merupakan orang yang membantu terlaksananya transaksi
yang mengandung unsur riba tersebut. Semua orang yang terlibat dalam
transaksi riba dianggap sama, karena dalam praktiknya, transaksi itu
tidak akan terjadi jika pihak-pihak itu tidak membantu. Berkatan dengan
juru tulis dan saksi ini, tidak berlaku umum dan mutlak, karena kadangkadang mereka dimintai untuk membantu proses transaksi yang dilakukan
secara jelas dan rinci. Oleh sebab itu, ancaman akan mendapat laknat
Rasulullah hanya ditunjukkan kepada mereka yang mengetahui bahwa
transaksi yang dilakukan adalah transaksi riba atau yang mengandung
riba.
Oleh sebab itu, agar larangan riba dapat dipatuhi, tetapi juga dalam
jual beli dan tukar menukar. Hal itu terlihat dari semua kegiatan yang
biasa antara pencarian keuntungan dengan pemberian bantuan. Islam
tegas kalau mau mnenolong harus ada imbalan yang ditentuan. Kalau
mau berbisnis mencari keuntungan harus jelas bisnisnya yang memang
bertujuan untuk mencari profit. Bentuk transaksi yang dipraktikkan oleh
masyarakat saat ini bisa saja ada yang mengandung riba.
Dari uraian di atas dapat disimpulakn bahwa:
1. Riba hukumnya haram, oleh sebab itu semua orang dilarang
melakukannya.

2. Larangan dan ancaman riba ditunjukkan kepada semuat orang


yang melakukan dan yang terlibat dalam transaksi riba tersebut,
termasuk pemberi, saksi dan sekretaris yang membantu dalam
transaksi yang mengandung riba.
3. Ancaman kepada pemberi riba, saksi dan sekretaris dalam
transaksi riba, karena dengan ikutnya mereka dapat melestarikan
praktik riba dalanm masyarakat.

D. Riba dalam Jual Beli


Riba biasanya dipahami sebagai transaksi terkait dengan utang
piutang, akan tetapi ketika ditelusuri hadis-hadis Rasulullah riba ternyata
juga ada pada transaksi jual beli atau tukar menukar. Ada banyak hadis
terkait masalah jual-beli yang mengandung unsur riba, namun dalam
pembahasan ini hanya akan mengupas masalah jual beli dua harga dan
jual beli mata uang secara tidak tunai saat ini sangat banyak dipraktekan
di masyarakat.
1. Jual Beli Dua Harga
Dalam

perkembangan

perekonomian

belakangan ini,

terdapat

berbagai cara pedagang untuk menarik konsumen. Salah satunya adalah


dengan memberikan alternatif pembayaran yang mempunyai implikasi
pada harga jual. Masa sekarang sering terlihat di toko-toko, misalnya ada
tawaran untuk membayar secara cash atau kredit. Biasanya harga jual
kredit jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga tunai.
Dilihat dari praktik yang ada, penawaran yang dilakukan dengan
harga berbeda karena berbeda waktu pelunasannya, banyak yang
menganggap bahwa hal itu dapat diterima karena kurs uang setiap saat
akan berbeda. Namun, di sisi lain sepertinya perbedaan harga barang
dengan penawaran yang beda pada saat yang sama, menimbulkan ekses
ketika pembayaran. Hal itu disebabkan karena konsumen mengetahui
dengan pastu bahwa pembayaran secara kredit, harga jual akhir dapat
mencapai 2x bahkan 3x lipat harga tunai. Kenyataan ini, bagi orang yang

tidak mempunyai dana tunai merupakan satu-satunya pilihan agar dapat


memiliki barang yang diinginkan.
Islam memberikan aturan yang jelas dan tegas untuk mengatasi hal
tersebut dengan hadis Rasulullah Saw., berikut:


Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw. Melarang jual beli dua harga
Harga merupakan unsur yang harus ada dan harus jelas dalam
suatu jual beli. Persyaratan harga tersebut harus jelas untuk suatu barang
yang dijual. Untuk satu barang dengan kualitas dan kuantitas yang sama
harusnya mempunyai harga yang sama pula. Dalam hadis di atas terlihat
bahwa Rasulullah Saw., melarang jual beli satu jenis barang dengan dua
harga.
Penafsiran yang diberikan oleh para ilmuwan tentang jual beli
dengan dua harga itu adalah misalnya dengan menjual suatu barang
secara tunai Rp10.000, dan secara kredit Rp20.000. Hal ini menunjukkan
bahwa harga barangnya tidak jelas, karena harga pada satu kondisi
berbeda dengan kondisi lainnya. Salah satunya lebih mahal dan lainnya
lebih murah.
Dalam praktiknya, bentuk jual beli dua harga itu dapat dibedakan
dalam dua bentuk, yaitu:
a. Penjual mengatakan harga barang itu jika dibayar tunai sekian
rupiah dan jika dibayar dengan cicilan sekian rupiah, silahkan anda
mau memilih yang mana.
b. Penjual mengatakan: Saya akan menjual barang saya dengan syarat
Anda menjual barang Anda dengan seharga demikian.
Jika menjual realitas perdagangan yang ada pada saat ini bentuk
jual beli dua harga yang sering ditawarkan oleh penjual adalah dalam
bentuk pertama. Di berbagai toko ada penawaran barang yang dijual
dengan harga sekian rupiah tunai dan harga sekian rupiah dalam waktu

sekian tahun.. sedangkan dalam bentuk kedua tidak terlalu populer.


Bentuk kedua ini lebih pada bentuk barter.
Dilihat dari segi psikologis, perbedaan harga itu akan membawa
kepada adanya rasa keterpaksaan yang sedih atau kecewa bagi orang
yang ekonominya kurang untuk membeli secra kredit, karena tidak
mampu untuk membeli secara tunai. Walaupun ia harus membayar
dengan harga yang lebih tinggi. Apalagi jika yang bersangkuatan
mengetahui bahwa jika dengan pembayaran tunai ia dapat membeli
dengan harga yang lebih murah.
Larangan yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw. Menunjukkan bahwa
dalam melakukan transaksi tidak boleh dengan dua harga.. hal itu
dikarenakan tidak adanya harga standar terhadap barang yang dijual.
Meskipun jika dilihat dari waktu pembayaran berjangka, akan mengalami
nilai uang yang tidak sama. Malah dengan fluktuasi mata uang yang
sangat tinggi, akhir-akhir ini pembeli malah lebih memilih pembayaran
dengan cicilan, meskipun dengan harga yang lebih tinggi, karena akan
lebih menguntungkan bagi pembeli.
Namun, jika dikaitkan dengan hadis lain dibawah ini:




Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. Bersabda: Siapa yang melakukan jual
beli dengan dua harga, maka ia harus memilih harga terendah atau riba.
Dengan

memerhatikan

hadis

yang

disebutkan

terakhir

ini,

sepertinya hal ini memberikan penjelasan terhadap hasil hadis yang


disebutkan sebelumnya. Karena dalam hadis terakhir ini memberikan
kriteria jual beli dua harga, yaitu satu barang memiliki harta ganda, ada
yang lebih murah dari yang lain. Harga yang rendah diperuntukkan
kepada pembeli yang membayar secara tunai, sementara harga yang
lebih tinggi diperuntukkan kepada pembeli yang membayar angsuran
dalam waktu tertentu.

Dalam hadis terakhir, secara jelas Rasulullah Saw. Memberikan


tuntunan bagi orang yang tidak mengindahkan larangan tersebut dan
masih tetap melakukan jual beli dua harga tersebut. Alternatif yang
diberikan oleh Rasulullah Saw. Adalah:
a. Penjual harus mengambil harga yang terendah yang ditawarkannya,
yaitu harga tunai, dengan pembayaran tunaiatau kalau mau penjual
memberikan

kemudahan

kepada

pembeli

dengan

sistem

pembayaran kredit.
b. Pilihan kedua, jika penjual tidak mengambil harga terendah atau
dengan mengambil harga yang lebih tinggi, maka kelebihan harga
kredit dari harga tunai tersebut termasuk riba.
Alasan larangan pada bentuk pertama karena tidak tetapnya harga,
dan membuka peluang praktik riba bagi orang yang hanya dapat membeli
sesuatu dengan cara kredit atau cicilan, dengan cara harus membayar
harga yang lebih tinggi. Sedangkan larangan pada bentu yang kedua
karena dikaitkannya jual beli dengan syarat yang kan datang yang
menentukan terjadi atau tidak terjadinya jual beli tersebut.
Larangan melakukan jual beli dengan dua harga diikuti oelh
konsekuensi logis yang harus dipilih oleh pelaku bisnis jika tetap
melakukan jual beli dengan dua harga. Dengan art, jika larangan masih
dilanggar, maka Islam hanya memberikan dua alternatif, yaitu penjual
harus memilih harga terendah dari dua harga yang ditawarkan, yaitu
harga tunai. Meskipun cara pelunasannya dengan mencicil. Agaknya
aturan ini untuk menjaga agar pihak yang tidak mampu merasa terpaksa
harus membeli dengan harga yang lebih tinggi karena tidak punya uang
cash.
Pilihan kedua, penjual yang bertahan dan memutuskan untuk
memilih harga yang lebih tinggi dari dua harga tawarannya, berarti
penjual telah melakukan praktik riba, yang tegas-tegas dilarang oleh Allah
dan Rasulullah Saw.

Penafsiran lain dari ketentuan dalam hadis adalah yang disebutkan


oleh Ahmad Syafii yang kemudian dijadikan pegangan oleh orang-orang
yang berpendapat bahwa haram menjual sesuatu dengan harga yang
lebih tinggi dari harga sebenarnya karena dibayar secara cicil.
Dilihat dari unsur yang harus ada dalam jual beli bukan hanya
dilakukan oleh orang yang tidak mampu mebeli dengan cash. Bahkan
bentuk jual beli seperti ini merupakan trend yang dilakukan oleh orang
yang memiliki standar ekonomi cukup (the have), maka dalam hal ini
mungkin perlu dilihat penyebabnya. Apalagi dengan fluktuasi kurs uang
yang setiap saat dapat berubah dengan sangat fluktuatif. Tuntunan
Rasulullah Saw. Dalam hadis adalah:
a. Islam melarang praktik jual beli dengan dua harga, yaitu penjual
memberikan harga yang berbeda kepada pembeli yang melakukan
pembayaran cash denngan pembayaran kredit.
b. Jika proses jual beli dua harga masing dilakukan, maka penjual
harus

memilih

harga

terendah,

yaitu

harga

cash,

meski

pembayarannya dengan cara cicilan. Jika penjual memilih harga


tertinggi (harga kredit) berarti telah terjadi praktek riba dalam jual
beli.
Pilihan yang ditawarkan Islam adalah terhindar dari riba, meski
dengan tawaran atau harga terendah yang ditawarkan.
2. Jual Beli Mata Uang
Dalam

perkembangan

perekonomian

dewasa

ini,

realitas

perekonomian global, jual beli mata uang sudah merupakan keniscayaan.


Oleh sebab itu, kebutuhan pada mata uang asing pun meningkat, baik
untuk kepentingan transaksi atau untuk menjaga fluktuasi kurs mata uang
lokal. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya ttransaksi valuta
asing (valas).
Penjualan mata uang bukan hanya dengan valas, akan tetapi antar
mata uang pun terjadi. Misalnya, untuk mendapatkan mata uang yang
baru atau nominal yang lebih kecil,pada dasarnya dapat dilakukan tukar-

menukar saja. Akan tetapi, dalam kenyataannya terjadi transaksi jual beli,
penjualan misalnya nominal 10.000dengan delapan atau sembilan uang
dengan nominal 1000-an. Penjualan rupiah baru dengan rupiah lusuh atau
pecahan yang memiliki nominalnya lebih kecil ada kelebihan dan
kekurangan, seperti yang sudah dijadikan profesi oleh sebagian orang.
Peluang membisniskan mata uang sejenis muncul pada saat menghadapi
lebaran atau memenuhi kebutuhan para sopir untuk kembalian uang
penumpang.
Untuk menjaga dan tidak terjadi kecurangan dan tidak berimplikasi
merugikan pihak-pihak tertentu, Islam memberikan aturan yang sangat
jelas untuk al-sharf ini. Al-sharf menurut etimologis bermakna ziyadah
(tambahan) dan al-adl (seimbang). Sedangkan dalam istilah fiqh, al-sharf
adalah: jual beli mata uang sejenis atau tidak sejenis secara tunai.
Dampak praktiknya, jual beli mata uang ini dapat berbentuk
menjual mata uang sejenis, misalnya rupaih dengan rupiah, emas dengan
emas, atau dolar dengan dolar. Dapat juga dalam bentuk jual beli mata
uang asing atau tidak sejenis, mislanya rupiah dnegan dolar, emas
dengan perak atau sebliknya.
Jual beli valas banyak terjadi sekarang ini, misalnya untuk ongkos
haji yaitu membeli dolar dengan rupiah atau riyal dengan rupiah
merupakan praktik sharf. Begitu juga denagn jual beli atau penukaran
mata uang sejenis, yang baru dengan yang lama atau uang kertas dengan
uang koin. Ada tawaran agar terhindar dari transaksi ribawi pada jual beli
mata uang yang diberikan oleh Islam melalui sabda Rasulullah.
a. Jual Beli Mata Uang Sejenis Tidak Sama dan Tidak Kontan
Untuk berbagai kepentingan, jual beli mata uang sejenis sring
terjadi di masyarakat. Agar praktik jual beli mata uang ini sesuai dengan
tuntunan Rasulullah Saw. Sebagai dasar hukum pemberlakuan jual beli
mata uang ini adalah hadis Rasulullah Saw. Berikut:







Dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah Saw. Bersabda: janganlah kamu
memperjualbeliakan emas dengan emas kecuali sama-sama, janganlah
melebihkan atau mengurangi sebagian dari yang lain. Janganlah kamu
memperjualbelikan uang kertas dengan uang kertas kecuali sama-sama,
janganlah melebihkan atau menguurangi sebagian dari yang lain.
Janganlah kamu memperjualbelikan mata uang secara angsurang dengan
tunnai.
Aturan yang diberikan oleh Rasulullah Saw. Dalam transaksi jual beli
selalu berangkat dan merujuk kepada prinsip dasar transaksi dalam Islam,
yaitu terdapatnya unsur kerelaan hakiki bukan kerelaan semu. Sehingga
tidak ada yang merasa terpaksa dan harus menerima kehendak pihak
lain.
Ketentuan yang terdapat dalam hadis, menetapkan beberapa hal
yang harus diperhatikan dan dipenuhi dalam transaksi mata uang sejenis,
agar terhindar dari praktik ribawi, yaitu:
1) Harus sama tidak boleh melebihkan yang satu dari yang lain,
meskipun beda kualitas atau beda model cetakannya.
2) Harus dilakukan secara tunai tidak dengan kredit atau angsuran,
atau dibayar dibelakang.
Menurut ketentuan pertama, jika mata uang yang diperjualbelikan
sama, maka nominalnya juga harus sama, meskipun dalam pecahan atau
cetakan yang beda. Dengan hal itu lebih jelas dan eksplisit disampaikan
Rasulullah Saw. Bahwa emas dengan emas,

perak dengan perak sama

timbanagnnya dan sama ukuran. Siapa yang menambahkannya dan minta


ditambahkan maka riba.
Berdasarkan ketentuan ini, semua praktik yang memperjualbelikan
rupiah dengan rupiah, misalnya 1(satu) pecahan 10.000-an dengan

8(delapan) pecahan ribuan, atau 10(sepuluh) pecahan 1000-an lusuh


dengan 8(delapan) lembar 1000-an baru, tidak sesuai dengan ketentuan
Islam. Transaksi semacam ini tidak sah menurut Islam karena ada riba.
Praktik semacam ini juga pernah terjadi pada masa Nabi Saw., akan
tetapi Nabi Saw. Mengoreksi dan langsung melarang praktik tersebut.
Seperti jual beli yang dilakukan oleh sahabat dengan menjual auqiyah
emas dengan dua dan tiga dinar kepada orang Yahudi. Ketika Rasulullah
Saw. Mengetahuinya, beliau melarang praktik tersebut, dan menyatakan
harus seimbang. Sudah jelas bahwa riba erupakan praktik yang dengan
sangat tegas dilarang oleh Islam.
b. Jual Beli Mata Uang Asing Tidak Kontan
Sama halnya dengan jual beli mata uang sejenis, tidak dapat
dihindari dalam kegiatan ekonomi sekarang ini juga mata uang tidak
sejenis. Jual beli mata uang pada saat ini merupakan suatu keniscayaan,
misalnya untuk melakukan transaksi dengan rekanan dari luar negeri.
Contoh konkret ketika pembayaran ongkos pesawat denngan dolar da
riyal untuk livingcost jamaah yang menjalankan ibadah haji. Umat Islam di
Indonesia, harus membayar biaya perjalanan haji dengan menggunakan
kurs dolar. Rupiah yang dibayarkan disesuaikan denganharga dolar pada
saat itu. Pemerintah dengan ketentuan dengan hasil komitmen dengan
pihak penerbangan dan juga dengan pemondokan, akhirnya memberikan
patokan harga dengan dolar atau riyal.
Begitu juga dalam kehidupan perbisnisan, transaksi mata uang tidak
dapat dihindarkan, baik untuk kepentingan perdaganan atau untuk sewa.
Namun hal itu, dalam dunia bisnis praktik tersebut bukan merupakan hal
baru, karena sejak zaman Nabi Saw., jual beli mata uang tersebut telah
dipraktikkan oleh sahabat. Agar terhindar dari praktik ribawi dalam jual
beli mata uang tidak sejenis dapat diperhatikan terjemahan hadis
Rasulullah berikut:
Rasulullah memerintahkan memperjualbelikan emas dengan perak
semau kami asalkan kontan.

Dalam penjualan mata uang tidak sejenis juga ada hadis yang
secara eksplisit menjelaskan reaksi Umar ketika mengetahui ada
transaksi mata uang tidak sejenis yang tidak dibayar tunai, Umar
menyatakan: Demi Allah, dia tak boleh berpisah kecuali sampai dia
mendatangkan uang tersebut. Karena Rasulullah Saw., bersabda: Menjual
emas dengan perak akan mengandung riba kecuali bila kontan.
Dalam praktiknya, untuk menghindari penyimpangan dari ketentuan
syariah, maka transaksi dan perdagangan valura asing harus terbebas
dari unsur riba, maysir (spekulasi gambling) dan garar(ketidakjelasan,
manipulasi dan penipuan). Oleh karena itu, jual beli maupun bisnis harus
dilakukan dalam secara kontan atau kategori kontan. Disamping itu, motif
pertukaran mata uang dengan valuta asing tidak untuk spekulasi yang
dapat

menjurus

kepada

judi/gambling

(maysir),

melainkan

untuk

keperluan pembiayaan transaksi-transaksi yang dilakukan dengan pihak


luar.
Transaksi mata uang berbeda jenis, seperti rupiah dengan dolar
atau sebaliknya maka dapat diperjualbelikan sesuai dengan harga pasar
dengan catatan harus efektif kontan menurut kelaziman pasar yang
berlaku. Dari ketentuan ini juga dapat diketahui bahwa mata uang yang
diperjualbelikan tidak sejenis, misalnya rupiah dengan dolar, maka dapat
dijual sesuai dengan hasil penawaran penjual dan pembeli atau harga
pasar.
Dari ketentuan kedua, dalam jual beli mata uang baik sejenis
ataupun tidak sejenis harus tunai sama tunai atau terjadi penangguhan
penyerahan uang maka kedua belah pihak mengikuti cara yang sama.
Tentang kriteria tunai atau kontan dalam jual beli mata uang tidak
sejenis dapat didasarkan kepada kebiasaan pasar yang berlaku, meskipun
hal itu melewati beberapa jam penyelesaian karena proses teknis
transaksi. Harga atas pertukaran itu dapat ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara penjual dan pembeli atau harga pasar.

Adanya ketentuan tunai agar tidak menimbulkan kerugian bagi


salah satu pihak. Sebagai mata uang, setiap saat nilai mata uang akan
mengalami perubahan. Aturan harus sama-sama tunai ini, terutama untuk
mata uang yang tidak sejenis, dimungkinkan karena nilai tukar mata uang
yang sangat fluktuatif.
Jual beli mata uang yang banyak dilakukan di dunia perbankan atau
perorangan, harus memerhatikan ketentuan yang telah ditetapkan secara
tegas oleh Rasulullah Saw., yaitu:
1) Apabila mata uang yang diperjualbelikan tidak sejenis, maka penjual
dan pembeli dapat menjual sesuai dengan hasil penawaran atau
kesepakatan antara penjual dan pembeli.
2) Jual beli mata uang baik sejenis ataupun tidak sejenis harus
dilakukan secara tunai.

Anda mungkin juga menyukai