Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN APENDISITIS

Kelompok 2

Christina Ade Eva (1302030)


Elisa Jati Pratiwi (1302040)
Jean Bastian Umel Jamlean (1302060)

SEMESTER 3 PRODI S1 KEPERAWATAN


STIKES BETHESDA YAKKUM
YOGYAKARTA
2014/2015

APENDISITIS

A. DEFINISI
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis akut
adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga
abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001
dalam Docstoc, 2010). Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai
cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus
memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak
terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika
umbai cacing yang terinfeksi hancur (Anonim, 2007 dalam Docstoc, 2010).
B. ANATOMI FISIOLOGI
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut,
lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin
menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu (Soybel, 2001 dalam
Departemen Bedah UGM, 2010).
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar
submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan
pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina
serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks.
Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum viserale (Soybel,
2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar
umbilikus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks
akan mengalami gangrene (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis.

Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

C. EPIDEMIOLOGI
Insiden apendisitis akut lebih tinggi pada negara maju daripada Negara
berkembang, namun dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir menurun secara
bermakna, yaitu 100 kasus tiap 100.000 populasi mejadi 52 tiap 100.000 populasi.
Kejadian ini mungkin disebabkan perubahan pola makan, yaitu negara berkembang
berubah menjadi makanan kurang serat. Menurut data epidemiologi apendisitis akut
jarang terjadi pada balita, meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada
saat remaja dan awal 20-an, sedangkan angka ini menurun pada menjelang dewasa.
Insiden apendisitis sama banyaknya antara wanita dan laki-laki pada masa prapuber,
sedangkan pada masa remaja dan dewasa muda rationya menjadi 3:2, kemudian angka
yan tinggi ini menurun pada pria.
D. ETIOLOGI
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan
sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks,
dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga

dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti
E. histolytica (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini
akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
E. FAKTOR RESIKO
1. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab
lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang
disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana,
65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus
apendisitis akut dengan rupture.
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut.
Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan
memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan
dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya
fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa
kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resikolebih tinggi
dari Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya

terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan
tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
5. Faktor infeksi saluran pernapasan
Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza
dan pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Tapi harus hati-hati
karena penyakit infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala
permulaan apendisitis.
F. KLASIFIKASI
1. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu
setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis purulenta difusi yaitu
sudah bertumpuk nanah (Docstoc, 2010).
2. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah
sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu apendiks
miring, biasanya ditemukan pada usia tua (Docstoc, 2010).
3. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme
yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan
infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam
lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum
lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan
nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada
seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
4. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna
kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko
untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens
biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut.
5. Mukokel Apendiks

Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat
adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan
fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun
jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa
menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut
kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat
bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah
apendiktomi.
6. Tumor Apendiks
Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi
atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional,
dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh
lebih baik dibanding hanya apendektomi.
7. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas
spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom
karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas
karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus
tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan
gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan
residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen
patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor,
dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan
G. PATOFISIOLOGI
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan
oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan
epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan
yang rendah (Burkitt, Quick, Reed, 2007).
Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan
serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa

dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau
dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal (Burkitt, Quick, Reed, 2007).
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen, yang
menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi
bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren.
Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang
terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi (Burkitt, Quick, Reed,
2007).
Etiologi : fekalit (feses keras karena kurang serat), cacing, infeksi (E. Coli,
streptococcus) Obstruksi lumen penyumbatan pengeluaran sekret mukus
Resistensi Selaput lendir perasangan dinding abdomen Pembentukan mukus
Peningkatan Tekanan intra luminal Oklusi appendikularis hipoksia jaringan
iskemia akibat trombosis vena intraluminal nekrosis Dilatasi dinding
apendiks perforasi.

H. MANIFESTASI KLINIS
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar
dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc.
Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi
terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan
itu

dianggap

berbahaya

karena

bisa

mempermudah

terjadinya

perforasi

(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).


Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh
sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak tanda rangsangan
peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat
berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal (Sjamsuhidajat,
De Jong, 2004).
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala
dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat,

pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena
rangsangan dindingnya (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Anamnesa
Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah :
Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu

kemudian menjalar ke perut kanan bawah.


Muntah oleh karena nyeri viseral.
Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).
Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak
sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.

2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan
diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat
ditemukan gambaran sebagai berikut: Adanya sedikit fluid level disebabkan
karena adanya udara dan cairan. Kadang ada fecolit (sumbatan). pada keadaan
perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.
3. Laboratorium
Pemeriksaan darah : lekosit ringan umumnya pada apendisitis sederhana lebih
dari 13000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi. Tidak adanya lekositosis
tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis: terdapat pergeseran ke kiri.
Pemeriksaan urin : sediment dapat normal atau terdapat lekosit dan eritrosit lebih
dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika.
Pemeriksaan laboratorium Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk
melindungi

tubuh

terhadap

mikroorganisme

yang

menyerang.

Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi.
Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada
keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi
padaginjal.
J. PENATALAKSANAAN
Pengobatan tunggal

yang

terbaik

untuk

usus

buntu

yang

sudah

meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi


appendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6

jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi
dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan
umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi pengangkatan
usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks
(Sanyoto, 2007).
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram
negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu
dilakukan sebelum pembedahan (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah
laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke
dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan
juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks.
Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih
kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih
baik (Sanyoto, 2007).
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik
2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang
lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi
luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen
dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan
perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan
dengan besar infeksi intra-abdomen.
K. PENCEGAHAN

Salah satu kiat agar terhindar dari penyakit radang usus buntu adalah
mengkonsumsi makanan yang kaya serat atau ditambah food suplement seperti
HILBA PLUS yang sangat kaya serat. Mengkonsumsi makanan yang kaya serat akan
membantu melunakkan makanan sehingga tidak menginap terlalu lama di dalam usus
besar. Hal itu bisa mencegah sebagian sampah makanan nyasar ke dalam usus buntu.
Sehingga

kemungkinan

terjadinya

radang

usus

buntu

bisa

diperkecil.

Makanan kaya serat juga merupakan nutrisi yang cocok untuk kehidupan bakteri 'baik'
di dalam usus besar, tetapi tidak disukai bakteri patogen (yang menimbulkan
penyakit). Karena itu, banyak mengkonsumsi makanan berserat juga membantu
menunjang perkembangan bakteri baik. Sehingga pencernaan dan tubuh kita akan
lebih sehat, karena lebih banyak terdapat bakteri 'baik' daripada bakteri patogen di
dalam usus. (Majalah Nirmala).
Menurut Conectique (2007), pencegahan penyakit apendisitis dapat dibagi menjadi
dua, yaitu :
1. Diet tinggi serat akan sangat membantu melancarkan aliran pergerakan makanan
dalam saluran cerna sehingga tidak tertumpuk lama dan mengeras.
2. Minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar juga
akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.
3. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil
dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75%
pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang
tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih
pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi,
sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi
diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon

dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila
Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar
ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit,
tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada
70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit,
panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis
terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.
4. PROGNOSIS
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa
penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah
terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya
penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi,
keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi
dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari (Sanyoto,
2007).
Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di dalam
rongga perut ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu dilakukan
secepatnya. Kematian pasien dan komplikasi hebat jarang terjadi karena usus
buntu akut. Namun hal ini bisa terjadi bila peritonitis dibiarkan dan tidak diobati
secara benar (Sanyoto, 2007).

5. ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
WawancaraDapatkan riwayat kesehatan dengan cermat khususnya mengenai:
Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar
ke perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin
beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan
dalam beberapa waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat
hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai

biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.


Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah.

kesehatan klien sekarang.


Diet,kebiasaan makan makanan rendah serat.
Kebiasaan eliminasi.
Aktivitas/istirahat : Malaise.
Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan/sedang/berat.


Sirkulasi : Takikardia.
Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.
Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak

ada bising usus.


Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah

karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.


Demam lebih dari 38oC.
Data psikologis klien nampak gelisah.
Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa
nyeri pada daerah prolitotomi.

2. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi
b. Hipertermi berhubungan dengan penyakit
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual, muntah
d. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasif

e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan : keterbatasan kognitif,


interpretasi terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk
mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi.
3. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa

Rencana keperawatan

Keperawatan/

Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

Masalah
Kolaborasi
Nyeri akut

NOC :

NIC :

berhubungan

Pain Level,

Lakukan

dengan:

pain control,

komprehensif

Agen injuri biologi

comfort

karakteristik,

Laporan secara

keperawatan selama 3x24

ketidaknyamanan

verbal

jam

(mata sayu,
Terfokus pada

Fokus menyempit

kerusakan proses
berpikir,
penurunan

interaksi dengan
orang dan
lingkungan)
Tingkah laku

distraksi, contoh :
jalan-jalan,
menemui orang

secara
lokasi,

frekuensi,

reaksi

nonverbal

dari

Bantu pasien dan keluarga untuk

mengalami nyeri, dengan

mencari dan menemukan dukungan

kriteria hasil:

Kontrol

lingkungan

dapat

seperti

suhu

mempengaruhi

(tahu

ruangan, pencahayaan dan kebisingan

penyebab

nyeri,

menggunakan
nonfarmakologi

nyeri

yang

Mampu mengontrol nyeri

tehnik

persepsi waktu,

tidak

Pasien

mampu

(penurunan

durasi,

Observasi

diri sendiri
-

termasuk

Setelah dilakukan tinfakan

- DO:
Gangguan tidur

nyeri

kualitas dan faktor presipitasi

level
DS:

pengkajian

Kurangi faktor presipitasi nyeri


Kaji tipe dan sumber nyeri untuk

untuk mengurangi nyeri,

menentukan intervensi

mencari bantuan)

Ajarkan

tentang

teknik

non

Melaporkan bahwa nyeri

farmakologi: napas dala, relaksasi,

berkurang

distraksi, kompres hangat/ dingin

dengan

menggunakan manajemen

Berikan analgetik untuk mengurangi

nyeri

nyeri

Mampu mengenali nyeri

Tingkatkan istirahat

(skala,

Berikan

intensitas,

informasi

tentang

nyeri

frekuensi dan tanda nyeri)

seperti penyebab nyeri, berapa lama

Menyatakan rasa nyaman

nyeri akan berkurang dan antisipasi

lain dan/atau

setelah nyeri berkurang

ketidaknyamanan dari prosedur

Tanda vital dalam rentang

Monitor

aktivitas

normal

sesudah pemberian analgesik pertama

berulang-ulang)
Respon autonom

Tidak

aktivitas,

mengalami

vital

sign

sebelum

dan

kali

gangguan tidur

(seperti
diaphoresis,
perubahan
tekanan darah,
perubahan nafas,
nadi dan dilatasi
pupil)
-

Perubahan
autonomic dalam
tonus otot
(mungkin dalam
rentang dari
lemah ke kaku)

Tingkah laku
ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih,
menangis,
waspada, iritabel,
nafas
panjang/berkeluh
kesah)

Perubahan dalam
nafsu makan dan
minum
Hipertermia

NOC:

Berhubungan

Thermoregulasi

dengan penyakit

NIC :
Monitor suhu sesering mungkin
Monitor warna dan suhu kulit

Setelah dilakukan tindakan

Monitor tekanan darah, nadi dan

DO/DS:

keperawatan selama 3x24

kenaikan suhu

jam pasien menunjukkan :

tubuh diatas

Suhu tubuh dalam batas

rentang normal

normal dengan kreiteria

Monitor intake dan output

serangan atau

hasil:

Berikan anti piretik

konvulsi

Suhu 36 37C

Selimuti pasien

(kejang)

Nadi dan RR dalam

Berikan cairan intravena

kulit
kemerahan

rentang normal

RR
Monitor

penurunan

tingkat

kesadaran

Kompres pasien pada lipat paha

Tidak ada perubahan

dan aksila

pertambahan

warna kulit dan tidak

RR

ada pusing, merasa

takikardi

nyaman

Kulit teraba

Monitor TD, nadi, suhu, dan RR

panas/ hangat

Catat adanya fluktuasi tekanan

Tingkatkan sirkulasi udara


Tingkatkan

intake

cairan

dan

nutrisi

darah

Monitor hidrasi seperti turgor kulit,


kelembaban membran mukosa)

Ketidakseimbanga
n nutrisi kurang

NOC:
aNutritional status:

dari kebutuhan
tubuh
Berhubungan
dengan

Kaji adanya alergi makanan

Kolaborasi dengan ahli gizi untuk

Adequacy of nutrient

menentukan jumlah kalori dan nutrisi

Nutritional Status : food

yang dibutuhkan pasien

and Fluid Intake

Yakinkan

cWeight Control

diet

mengandung

yang

tinggi

dimakan

serat

untuk

ketidakmampuan

Setelah dilakukan tindakan

untuk memasukkan

keperawatan selama 3x24 Ajarkan pasien bagaimana membuat


jam nutrisi kurang teratasi
catatan makanan harian.
dengan indikator:
Monitor adanya penurunan BB dan gula

atau mencerna
nutrisi oleh karena

mencegah konstipasi

faktor biologis

Albumin serum

DS:

Pre albumin serum

Monitor lingkungan selama makan

-Nyeri abdomen

Hematokrit

-Muntah

Jadwalkan pengobatan

Hemoglobin

-Kejang perut
-Rasa penuh tibatiba setelah
makan
DO:
-Diare
-Rontok rambut
yang berlebih
-Kurang nafsu
makan
-Bising usus
berlebih

Total

iron

capacity
Jumlah limfosit

darah
dan tindakan

tidak selama jam makan


binding Monitor turgor kulit
Monitor kekeringan, rambut kusam,
total protein, Hb dan kadar Ht
Monitor mual dan muntah
Monitor

pucat,

kemerahan,

dan

kekeringan jaringan konjungtiva


Monitor intake nuntrisi
Informasikan pada klien dan keluarga
tentang manfaat nutrisi
Kolaborasi

dengan

dokter

tentang

kebutuhan suplemen makanan seperti

-Konjungtiva pucat

NGT/ TPN sehingga intake cairan

-Denyut nadi lemah

yang adekuat dapat dipertahankan.


Atur posisi semi fowler atau fowler
tinggi selama makan
Kelola pemberan anti emetik:.....
Anjurkan banyak minum
Pertahankan terapi IV line

Catat

edema,

hiperemik,

hipertonik papila lidah dan cavitas oval


NIC :

Risiko infeksi

NOC :

dengan faktor

Immune Status

risiko Prosedur

Knowledge : Infection

Infasif

adanya

control

Pertahankan teknik aseptif


Batasi pengunjung bila perlu
Cuci tangan setiap sebelum dan

Risk control

sesudah tindakan keperawatan

Setelah dilakukan tindakan


keperawatan selama 3x24

Gunakan baju, sarung tangan sebagai

jam pasien tidak mengalami


infeksi dengan kriteria

Ganti letak IV perifer dan dressing

hasil:
Klien bebas dari tanda

untuk
timbulnya

infeksi
Jumlah leukosit dalam
batas normal
Menunjukkan
hidup sehat
Status
gastrointestinal,
genitourinaria

Gunakan kateter intermiten untuk


infeksi

kandung

kencing

Menunjukkan
mencegah

sesuai dengan petunjuk umum

menurunkan

dan gejala infeksi


kemampuan

alat pelindung

Tingkatkan intake nutrisi

Monitor tanda dan gejala infeksi


sistemik dan lokal

Pertahankan teknik isolasi k/p

Inspeksi kulit dan membran mukosa


terhadap kemerahan, panas, drainase

perilaku

imun,

dalam

batas normal

Monitor adanya luka


Dorong masukan cairan
Dorong istirahat
Ajarkan pasien dan keluarga tanda
dan gejala infeksi

Kaji

suhu

badan

pada

neutropenia setiap 4 jam

pasien

Kurang

NOC:

Pengetahuan

Kowlwdge : disease

Berhubungan
dengan :
keterbatasan
kognitif

NIC :

process
Kowledge : health
Behavior

keluarga

dengan

keperawatan selama 3x24


jam pasien menunjukkan

secara verbal

pengetahuan tentang proses

adanya masalah

penyakit

DO:

hasil:

ketidakakuratan

Pasien dan keluarga

dengan

menyatakan pemahaman

perilaku tidak

tentang penyakit,

sesuai

kondisi, prognosis dan


program pengobatan

Gambarkan tanda dan gejala yang

Gambarkan proses penyakit, dengan


cara yang tepat

Identifikasi kemungkinan penyebab,


dengan cara yang tepat

Sediakan informasi pada pasien


tentang kondisi, dengan cara yang
tepat

Sediakan bagi keluarga informasi


tentang kemajuan pasien dengan

dijelaskan secara benar

cara yang tepat

Pasien dan keluarga

Diskusikan

pilihan

terapi

atau

penanganan

kembali apa yang


dijelaskan perawat/tim

fisiologi,

cara yang tepat

mampu melaksanakan

mampu menjelaskan

dan

biasa muncul pada penyakit, dengan

Pasien dan keluarga


prosedur yang

anatomi

dengan cara yang tepat.

kriteria

mengikuti instruksi,

Jelaskan patofisiologi dari penyakit


dan bagaimana hal ini berhubungan

Setelah dilakukan tindakan

DS: Menyatakan

Kaji tingkat pengetahuan pasien dan

kesehatan lainnya

Dukung

pasien

untuk

mengeksplorasi atau mendapatkan


second opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan

Eksplorasi

kemungkinan

sumber

atau dukungan, dengan cara yang


tepat

DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta

Price & Wilson. PATOFISIOLOGI Volume 1, Edisi 6. EGC : Jakarta, 2006.


FK UI. KAPITA SELEKTA Jilid 2, Edisi 3. Media Aesculapius : Jakarta, 2001.
http://respositiry.usu.ac.id/bitstream/123456789/31374/4/Chapter%20II.pdf
Desember 2014 jam 11.00 WIB
NANDA NIC NOC

akses

10

Anda mungkin juga menyukai