Kelompok 2
APENDISITIS
A. DEFINISI
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis akut
adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga
abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001
dalam Docstoc, 2010). Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai
cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus
memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak
terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika
umbai cacing yang terinfeksi hancur (Anonim, 2007 dalam Docstoc, 2010).
B. ANATOMI FISIOLOGI
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut,
lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin
menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu (Soybel, 2001 dalam
Departemen Bedah UGM, 2010).
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar
submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan
pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina
serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks.
Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum viserale (Soybel,
2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar
umbilikus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks
akan mengalami gangrene (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis.
Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
C. EPIDEMIOLOGI
Insiden apendisitis akut lebih tinggi pada negara maju daripada Negara
berkembang, namun dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir menurun secara
bermakna, yaitu 100 kasus tiap 100.000 populasi mejadi 52 tiap 100.000 populasi.
Kejadian ini mungkin disebabkan perubahan pola makan, yaitu negara berkembang
berubah menjadi makanan kurang serat. Menurut data epidemiologi apendisitis akut
jarang terjadi pada balita, meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada
saat remaja dan awal 20-an, sedangkan angka ini menurun pada menjelang dewasa.
Insiden apendisitis sama banyaknya antara wanita dan laki-laki pada masa prapuber,
sedangkan pada masa remaja dan dewasa muda rationya menjadi 3:2, kemudian angka
yan tinggi ini menurun pada pria.
D. ETIOLOGI
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan
sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks,
dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti
E. histolytica (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini
akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
E. FAKTOR RESIKO
1. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab
lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang
disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana,
65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus
apendisitis akut dengan rupture.
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut.
Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan
memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan
dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya
fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa
kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resikolebih tinggi
dari Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya
terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan
tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
5. Faktor infeksi saluran pernapasan
Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza
dan pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Tapi harus hati-hati
karena penyakit infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala
permulaan apendisitis.
F. KLASIFIKASI
1. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu
setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis purulenta difusi yaitu
sudah bertumpuk nanah (Docstoc, 2010).
2. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah
sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu apendiks
miring, biasanya ditemukan pada usia tua (Docstoc, 2010).
3. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme
yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan
infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam
lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum
lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan
nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada
seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
4. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna
kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko
untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens
biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut.
5. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat
adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan
fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun
jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa
menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut
kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat
bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah
apendiktomi.
6. Tumor Apendiks
Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi
atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional,
dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh
lebih baik dibanding hanya apendektomi.
7. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas
spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom
karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas
karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus
tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan
gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan
residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen
patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor,
dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan
G. PATOFISIOLOGI
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan
oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan
epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan
yang rendah (Burkitt, Quick, Reed, 2007).
Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan
serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa
dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau
dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal (Burkitt, Quick, Reed, 2007).
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen, yang
menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi
bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren.
Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang
terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi (Burkitt, Quick, Reed,
2007).
Etiologi : fekalit (feses keras karena kurang serat), cacing, infeksi (E. Coli,
streptococcus) Obstruksi lumen penyumbatan pengeluaran sekret mukus
Resistensi Selaput lendir perasangan dinding abdomen Pembentukan mukus
Peningkatan Tekanan intra luminal Oklusi appendikularis hipoksia jaringan
iskemia akibat trombosis vena intraluminal nekrosis Dilatasi dinding
apendiks perforasi.
H. MANIFESTASI KLINIS
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar
dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc.
Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi
terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan
itu
dianggap
berbahaya
karena
bisa
mempermudah
terjadinya
perforasi
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena
rangsangan dindingnya (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Anamnesa
Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah :
Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan
diagnosa apendisitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat
ditemukan gambaran sebagai berikut: Adanya sedikit fluid level disebabkan
karena adanya udara dan cairan. Kadang ada fecolit (sumbatan). pada keadaan
perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.
3. Laboratorium
Pemeriksaan darah : lekosit ringan umumnya pada apendisitis sederhana lebih
dari 13000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi. Tidak adanya lekositosis
tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis: terdapat pergeseran ke kiri.
Pemeriksaan urin : sediment dapat normal atau terdapat lekosit dan eritrosit lebih
dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika.
Pemeriksaan laboratorium Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk
melindungi
tubuh
terhadap
mikroorganisme
yang
menyerang.
Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi.
Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada
keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi
padaginjal.
J. PENATALAKSANAAN
Pengobatan tunggal
yang
terbaik
untuk
usus
buntu
yang
sudah
jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi
dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan
umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi pengangkatan
usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks
(Sanyoto, 2007).
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram
negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu
dilakukan sebelum pembedahan (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah
laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke
dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan
juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks.
Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih
kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih
baik (Sanyoto, 2007).
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik
2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang
lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi
luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen
dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan
perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan
dengan besar infeksi intra-abdomen.
K. PENCEGAHAN
Salah satu kiat agar terhindar dari penyakit radang usus buntu adalah
mengkonsumsi makanan yang kaya serat atau ditambah food suplement seperti
HILBA PLUS yang sangat kaya serat. Mengkonsumsi makanan yang kaya serat akan
membantu melunakkan makanan sehingga tidak menginap terlalu lama di dalam usus
besar. Hal itu bisa mencegah sebagian sampah makanan nyasar ke dalam usus buntu.
Sehingga
kemungkinan
terjadinya
radang
usus
buntu
bisa
diperkecil.
Makanan kaya serat juga merupakan nutrisi yang cocok untuk kehidupan bakteri 'baik'
di dalam usus besar, tetapi tidak disukai bakteri patogen (yang menimbulkan
penyakit). Karena itu, banyak mengkonsumsi makanan berserat juga membantu
menunjang perkembangan bakteri baik. Sehingga pencernaan dan tubuh kita akan
lebih sehat, karena lebih banyak terdapat bakteri 'baik' daripada bakteri patogen di
dalam usus. (Majalah Nirmala).
Menurut Conectique (2007), pencegahan penyakit apendisitis dapat dibagi menjadi
dua, yaitu :
1. Diet tinggi serat akan sangat membantu melancarkan aliran pergerakan makanan
dalam saluran cerna sehingga tidak tertumpuk lama dan mengeras.
2. Minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar juga
akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.
3. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil
dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75%
pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang
tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih
pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi,
sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi
diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon
dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila
Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar
ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit,
tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada
70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit,
panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis
terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.
4. PROGNOSIS
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa
penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah
terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya
penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi,
keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi
dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari (Sanyoto,
2007).
Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di dalam
rongga perut ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu dilakukan
secepatnya. Kematian pasien dan komplikasi hebat jarang terjadi karena usus
buntu akut. Namun hal ini bisa terjadi bila peritonitis dibiarkan dan tidak diobati
secara benar (Sanyoto, 2007).
5. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
WawancaraDapatkan riwayat kesehatan dengan cermat khususnya mengenai:
Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar
ke perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin
beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan
dalam beberapa waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat
hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai
Pemeriksaan Fisik
2. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi
b. Hipertermi berhubungan dengan penyakit
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual, muntah
d. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasif
Rencana keperawatan
Keperawatan/
Intervensi
Masalah
Kolaborasi
Nyeri akut
NOC :
NIC :
berhubungan
Pain Level,
Lakukan
dengan:
pain control,
komprehensif
comfort
karakteristik,
Laporan secara
ketidaknyamanan
verbal
jam
(mata sayu,
Terfokus pada
Fokus menyempit
kerusakan proses
berpikir,
penurunan
interaksi dengan
orang dan
lingkungan)
Tingkah laku
distraksi, contoh :
jalan-jalan,
menemui orang
secara
lokasi,
frekuensi,
reaksi
nonverbal
dari
kriteria hasil:
Kontrol
lingkungan
dapat
seperti
suhu
mempengaruhi
(tahu
penyebab
nyeri,
menggunakan
nonfarmakologi
nyeri
yang
tehnik
persepsi waktu,
tidak
Pasien
mampu
(penurunan
durasi,
Observasi
diri sendiri
-
termasuk
- DO:
Gangguan tidur
nyeri
level
DS:
pengkajian
menentukan intervensi
mencari bantuan)
Ajarkan
tentang
teknik
non
berkurang
dengan
menggunakan manajemen
nyeri
nyeri
Tingkatkan istirahat
(skala,
Berikan
intensitas,
informasi
tentang
nyeri
lain dan/atau
Monitor
aktivitas
normal
berulang-ulang)
Respon autonom
Tidak
aktivitas,
mengalami
vital
sign
sebelum
dan
kali
gangguan tidur
(seperti
diaphoresis,
perubahan
tekanan darah,
perubahan nafas,
nadi dan dilatasi
pupil)
-
Perubahan
autonomic dalam
tonus otot
(mungkin dalam
rentang dari
lemah ke kaku)
Tingkah laku
ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih,
menangis,
waspada, iritabel,
nafas
panjang/berkeluh
kesah)
Perubahan dalam
nafsu makan dan
minum
Hipertermia
NOC:
Berhubungan
Thermoregulasi
dengan penyakit
NIC :
Monitor suhu sesering mungkin
Monitor warna dan suhu kulit
DO/DS:
kenaikan suhu
tubuh diatas
rentang normal
serangan atau
hasil:
konvulsi
Suhu 36 37C
Selimuti pasien
(kejang)
kulit
kemerahan
rentang normal
RR
Monitor
penurunan
tingkat
kesadaran
dan aksila
pertambahan
RR
takikardi
nyaman
Kulit teraba
panas/ hangat
intake
cairan
dan
nutrisi
darah
Ketidakseimbanga
n nutrisi kurang
NOC:
aNutritional status:
dari kebutuhan
tubuh
Berhubungan
dengan
Adequacy of nutrient
Yakinkan
cWeight Control
diet
mengandung
yang
tinggi
dimakan
serat
untuk
ketidakmampuan
untuk memasukkan
atau mencerna
nutrisi oleh karena
mencegah konstipasi
faktor biologis
Albumin serum
DS:
-Nyeri abdomen
Hematokrit
-Muntah
Jadwalkan pengobatan
Hemoglobin
-Kejang perut
-Rasa penuh tibatiba setelah
makan
DO:
-Diare
-Rontok rambut
yang berlebih
-Kurang nafsu
makan
-Bising usus
berlebih
Total
iron
capacity
Jumlah limfosit
darah
dan tindakan
pucat,
kemerahan,
dan
dengan
dokter
tentang
-Konjungtiva pucat
Catat
edema,
hiperemik,
Risiko infeksi
NOC :
dengan faktor
Immune Status
risiko Prosedur
Knowledge : Infection
Infasif
adanya
control
Risk control
hasil:
Klien bebas dari tanda
untuk
timbulnya
infeksi
Jumlah leukosit dalam
batas normal
Menunjukkan
hidup sehat
Status
gastrointestinal,
genitourinaria
kandung
kencing
Menunjukkan
mencegah
menurunkan
alat pelindung
perilaku
imun,
dalam
batas normal
Kaji
suhu
badan
pada
pasien
Kurang
NOC:
Pengetahuan
Kowlwdge : disease
Berhubungan
dengan :
keterbatasan
kognitif
NIC :
process
Kowledge : health
Behavior
keluarga
dengan
secara verbal
adanya masalah
penyakit
DO:
hasil:
ketidakakuratan
dengan
menyatakan pemahaman
perilaku tidak
tentang penyakit,
sesuai
Diskusikan
pilihan
terapi
atau
penanganan
fisiologi,
mampu melaksanakan
mampu menjelaskan
dan
anatomi
kriteria
mengikuti instruksi,
DS: Menyatakan
kesehatan lainnya
Dukung
pasien
untuk
Eksplorasi
kemungkinan
sumber
DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta
akses
10