Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH HAM DAN KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA

DI INDONESIA

Oleh
Elisa Jati Pratiwi (1302040)

SEMESTER III PRODI S1 KEPERAWATAN


STIKES BETHESDA YAKKUM
YOGYAKARTA
2014/2015

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Human Rights Watch selama tiga tahun berturut-turut dalam World Report
2012, World Report 2013, dan World Report 2014 melansir bahwa Indonesia
termasuk dalam negara yang rentan melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM), terutama dalam aspek kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Pelanggaran tersebut juga diuraikan oleh Setara Institute yang menyatakan bahwa
terdapat 216 kasus serangan terhadap kelompok minoritas agama pada tahun
2010, 244 kasus pada tahun 2011, dan 264 kasus pada tahun 2012 di Indonesia.
Hal ini mencerminkan diskriminasi penyelenggara negara terhadap kelompok
minoritas. Mereka didiskriminasi dan negara tidak melindunginya, bahkan dalam
banyak kasus, negara adalah pelaku.
Pelanggaran HAM dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan juga
seringkali menjadi pemicu dari pelanggaran hak lainnya terhadap kelompok
minoritas. Padahal, HAM memiliki prinsip saling terkait (interdependent dan
interrelated) yang berarti untuk dapat melaksanakan pemenuhan suatu hak, hak
lain harus terlaksana terlebih dahulu dan di antaranya sama sekali tidak dapat
digantikan/ditukar satu dengan yang lain (indivisible).
Tulisan ini akan mencoba menjelaskan mengapa pemahaman HAM dalam
konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan penting untuk menghindari
kekerasan atas nama agama, terutama terhadap kelompok minoritas
2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan HAM
b. Apa hubungan antara HAM dan Agama?
c. Apa penyebab kekerasan ?
d. Bagaimana solusi yang baik untuk kasus ini ?
3. Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mencari solusi terbaik dalam masalah
HAM yang berkaitan dengan kekerasan atas nama agama.
4. Manfaat
Makalah ini disusun, diharapkan dapat memberikan solusi masalah HAM dan
kekerasan atas nama agama di Indonesia.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian HAM
Menurut Wikipedia, Hak asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai
seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar

HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of


Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia,
seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal
31 ayat 1.
Dalam teori perjanjian bernegara, adanya Pactum Unionis dan Pactum
Subjectionis. Pactum Unionis adalah perjanjian antara individu-individu atau
kelompok-kelompok masyarakat membentuik suatu negara, sedangkan pactum
unionis adalah perjanjian antara warga negara dengan penguasa yang dipiliah di
antara warga negara tersebut (Pactum Unionis). Thomas Hobbes mengakui adanya
Pactum Subjectionis saja. John Lock mengakui adanya Pactum Unionis dan
Pactum Subjectionis dan JJ Roessaeu mengakui adanya Pactum Unionis. Ke-tiga
paham ini berpenbdapat demikian. Namun pada intinya teori perjanjian ini mengamanahkan adanya perlindungan Hak Asasi Warga Negara yang harus dijamin
oleh penguasa, bentuk jaminan itu mustilah tertuang dalam konstitusi (Perjanjian
Bernegara).
Dalam kaitannya dengan itu, maka HAM yang kita kenal sekarang adalah
sesuatu yang sangat berbeda dengan yang hak-hak yang sebelumnya termuat,
misal, dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika atau Deklarasi Perancis. HAM
yang dirujuk sekarang adalah seperangkat hak yang dikembangkan oleh PBB
sejak berakhirnya perang dunia II yang tidak mengenal berbagai batasan-batasan
kenegaraan. Sebagai konsekuensinya, negara-negara tidak bisa berkelit untuk
tidak melindungi HAM yang bukan warga negaranya. Dengan kata lain, selama
menyangkut persoalan HAM setiap negara, tanpa kecuali, pada tataran tertentu
memiliki tanggung jawab, utamanya terkait pemenuhan HAM pribadi-pribadi
yang ada di dalam jurisdiksinya, termasuk orang asing sekalipun. Oleh karenanya,
pada tataran tertentu, akan menjadi sangat salah untuk mengidentikan atau
menyamakan antara HAM dengan hak-hak yang dimiliki warga negara. HAM
dimiliki oleh siapa saja, sepanjang ia bisa disebut sebagai manusia.
Alasan di atas pula yang menyebabkan HAM bagian integral dari kajian dalam
disiplin ilmu hukum internasional. Oleh karenannya bukan sesuatu yang
kontroversial bila komunitas internasional memiliki kepedulian serius dan nyata
terhadap isu HAM di tingkat domestik. Malahan, peran komunitas internasional
sangat pokok dalam perlindungan HAM karena sifat dan watak HAM itu sendiri
yang merupakan mekanisme pertahanan dan perlindungan individu terhadap

kekuasaan negara yang sangat rentan untuk disalahgunakan, sebagaimana telah


sering dibuktikan sejarah umat manusia sendiri.
2. Antara HAM dan Agama
Hak Asasi Manusia bersumber dari hak kodrati Hal tersebut tercermin di
dalam pasal 1 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang menyatakan
bahwa: Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak
yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu
sama lain dalam persaudaraan.; dan di dalam butir a dan butir b pembukaan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
menyatakan: bahwa manusia, sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang
mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh
ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh
pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan
martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya; bahwa hak asasi
manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,
bersifat universal dan langgem, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
HAM dalam konteks Kebebasan beragama dan berkeyakinan diatur dalam
pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), pasal 18 Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Deklarasi Majelis Umum PBB Tahun
1981 tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi Dan Diskriminasi
Berdasarkan Agama Atau Kepercayaan, dan Pendapat Umum PBB Nomor 22
Tahun 1993. Hak atas kebebasan beragama merupakan hak yang bersifat nonderogable (absolut), yaitu hak yang tidak dapat dikurangi pemenuhannya dalam
kondisi apapun, termasuk dalam keadaan bahaya seperti perang sipil ataupun
invasi militer. Misalnya: umat Kristiani tetap harus dapat beribadah dengan aman
setiap Hari Minggu meskipun Negara sedang berada dalam situasi kerusuhan,
seorang Muslim tetap harus dapat melaksanakan shalat lima waktu meskipun ia
sedang menjadi tawanan perang, dsb.
Agama Dalam Perspektif HAM
Keyakinan dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan terbagi
dalam dua lingkup, yaitu: (1) forum internum; dan (2) forum eksternum. Pertama,
forum internum adalah ruang lingkup internal atau kebatinan dalam diri manusia
yang meliputi hak seseorang untuk secara merdeka memiliki dan menganut

sebuah agama / keyakinan berdasarkan pilihan sadarnya, misalnya: keyakinan


umat Kristen bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan atau keyakinan umat Islam
bahwa Muhammad SAW adalah Nabi terakhir, dsb. Kedua, forum eksternum,
yaitu wilayah menjalankan manifestasi agama atau keyakinan seseorang,
misalnya penyembahan, nyanyian, penyembelihan, tarian, ritual, dan lain
sebagainya.
Forum internum tidak dapat dibatasi karena berkaitan dengan keyakinan
internal seseorang yang ia yakini secara mutlak dan tidak dapat diukur secara
objektif. Apa yang dapat dibatasi adalah forum eksternum (wilayah manifestasi)
karena HAM dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan bertujuan
untuk melindungi: (1) keamanan umum; (2) ketertiban umum; (3) kesehatan
umum; (4) moral masyarakat; (5) hak dan kebebasan dasar orang lain. Maka,
manifestasi dari agama yang bertentangan dengan kelima aspek tersebut
diperbolehkan untuk dibatasi pelaksanannya berdasarkan hukum sebagaimana
diatur dalam pasal 18 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.
Keyakinan apa sajakah yang dilindungi oleh instrumen HAM? Semua
keyakinan yang pelaksanaannya tidak bertentangan dengan pasal 18 ayat (3)
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Apakah dengan demikian
instrumen HAM menganggap bahwa seluruh keyakinan adalah benar? Dalil
tersebut tidak tepat, karena menentukan suatu keyakinan sebagai benar atau salah
bukanlah fungsi dari instrumen HAM. HAM mengimplementasikan penghargaan
keyakinan setiap orang dalam bentuk perlindungan terhadap pelaksanaan
ibadahnya, selama pelaksanaan tersebut tidak bertentangan dengan hak asasi
orang lain. HAM menghargai akidah setiap kepercayaan dan melindungi
pelaksanaannya tanpa memberikan label apakah seorang pemeluk keyakinan
adalah sesat atau bukan.
Apakah dengan demikian HAM juga membatasi penyebaran keyakinan dan
hak orang lain untuk berpindah keyakinan? Tidak. Setiap orang boleh melakukan
kegiatan penyebaran agama (dakwah, penginjilan, dsb) dengan damai; selama
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam instrumen HAM
(red: pasal 18 ayat (3) ICCPR). Setiap orang juga diperbolehkan untuk berpindah
keyakinan

selama

paksaan/ancaman.
3. Penyebab Kekerasan

dilandasi

oleh

kesadarannya

sendiri

dan

tanpa

Komisi Hak Asasi Manusia PBB, badan ahli internasional yang memantau
pemenuhan negara terhadap ICCPR, menyatakan dalam pembukaan General
Comment No. 22 Tahun 1993 bahwa memandang dengan prihatin adanya
kecenderungan mendiskriminasi suatu agama atau kepercayaan atas dasar apapun,
termasuk berdasarkan kenyataan bahwa mereka mewakili minoritas agama
yang mungkin menjadi subyek permusuhan dalam komunitas agama mayoritas
tertentu.
Namun, di Indonesia, terdapat instrumen hukum yang membuka peluang bagi
negara dan kelompok kekerasan untuk melakukan diskriminasi terhadap
keyakinan warga negaranya ketika negara seharusnya berfungsi sebagai
pelindung, misalnya: (1) UU PNPS 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama yang membenarkan sanksi pidana terhadap kelompokkelompok yang dinilai telah menodai agama; (2) Keputusan Bersama Menteri
Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri (No. 3/2008) yang mengatur
Ahmadiyah

untuk

menghentikan

penyebaran

penafsiran

dan

kegiatan

keagamaan. Peraturan inilah yang kemudian memicu tindak kekerasan terhadap


jemaat Ahmadiyah dan (3) peraturan lain seperti SKB Rumah Ibadah 1969 dan
2006 yang mempersulit pendirian rumah ibadah dan memberikan stigma terhadap
kelompok Kristen melakukan Kristenisasi dari beberapa oknum kelompok
kekerasan hanya karena mengajukan pendirian rumah ibadah di sebuah daerah di
mana banyak terdapat kelompok mayoritas.
Hakim Konstitusi Prof. Maria Farida Indrati dalam dissenting opinion
(pendapat berbeda) putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 84/PUU-X/2012
tentang Judicial Review UU PNPS 1965 menyatakan bahwa pengaturan mengenai
penodaan

agama

seharusnya

inkonstitusional

karena

dengan

tegas

mendiskriminasi minoritas-minoritas agama dan akan memaksa individu-individu


meninggalkan keyakinan tradisional dan kepercayaan minoritas yang melawan
keinginan mereka. Prof. Maria Farida juga menambahkan bahwa intervensi negara
terhadap forum internum bertentangan dengan asas-asas HAM terkait kebebasan
beragama dan berkeyakinan yang telah tertuang di dalam Pasal 28E, Pasal 28I,
dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 dan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil
Politik.[25]

Kekerasan Atas Nama Agama Masih Terjadi


Wahid Institute dalam Laporan Tahunan Kebebasan Beragama / Berkeyakinan dan
Intoleransi Tahun 2013 menyatakan bahwa terdapat banyak kasus pelanggaran dan
intoleransi yang tidak terselesaikan yang mengakibatkan nasib korban semakin
tidak menentu. Dalam catatan Wahid Institute yang dipublikasikan tahun 2014
tersebut, beberapa kasus yang masih menggantung antara lain: pengabaian nasib
pengungsi Ahmadiyah di Asrama Transito Mataram NTB (7 tahun);
a. pelanggaran hak rumah ibadah GKI Yasmin Bogor (5 tahun);
b. pelanggaran hak rumah ibadah umat muslim Baluplat NTT (3 tahun);
c. pelanggaran hak rumah ibadah HKBP Filadelfia Bekasi (2 tahun);
d. nasib pengungsi Syiah Sampang di Jawa Timur (1 tahun).
Seluruh pelanggaran di atas umumnya terjadi atas dasar tekanan dari oknumoknum kelompok mayoritas yang juga memberikan label terhadap beberapa
kelompok minoritas sebagai sesat atau berbeda. Beberapa kasus juga
menampilkan fakta bahwa perbuatan tersebut turut dilakukan/didukung oleh
negara melalui ragam kebijakannya serta peraturan yang berlaku. Padahal,
sebagaimana telah dijabarkan di bagian-bagian sebelumnya, keyakinan seseorang
tidak boleh dijadikan landasan untuk melakukan intimidasi terhadap dirinya.
Diskriminasi dan intimidasi terhadap kebebasan beragama dan keyakinan
seseorang / kelompok minoritas merupakan pelanggaran HAM.
Penegakan dan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap HAM dalam
konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan mampu menjadi kunci agar
kekerasan atas nama agama tidak lagi terulang. Penegakan dan kesadaran HAM
juga merupakan kunci untuk meletakkan peran manusia secara proporsional di
dalam memelihara kehidupan beragama dan berkeyakinan yang damai. Karena
kepalan tangan yang kita gunakan untuk memukul orang lain yang kita hakimi
sebagai sesat, tak serta merta membuat kita jadi orang yang lebih benar.
4. Solusi
Seharusnya setiap orang memiliki sikap tenggang rasa, saling menghormati,
saling menghargai satu sama lain meskipun memiliki perbedaan khususnya agama
dan tidak mendiskriminasi satu dengan yang lain hanya karena perbedaan
keyakinan/ agama.
Jika masyarakat Indonesia apalagi para pemimpin bangsa di pemerintahan,
khususnya mayoritas tetap mendiskriminasi kaum minoritas maka bisa terjadi
perpecahan pada bangsa Indonesia. Cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia tidak

dapat dicapai jika penduduknya sendiri masih tidak bisa menerima perbedaan atas
sesama penduduk Indonesia. Padahal itu semua adalah tanggung jawab bersama.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Tidak hanya masyarakat Indonesia, namun para pemimpin bangsa yang duduk
di pemerintahan juga perlu menumbuhkan rasa saling menghargai, saling
menghormati, tenggang rasa dan menghapus diskriminasi atas agama agar tidak
terjadi masalah kekerasan atas nama agama. Karena masalah tersebut berpengaruh
terhadap persatuan bangsa Indonesia.
2. Saran
Sebaiknya setiap individu saling menghargai hak-hak satu orang dengan yang
lainnya agar tidak terjadi pelanggaran HAM, khususnya dalam konteks perbedaan
agama yang menyebabkan terjadinya suatu kekerasan.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.alldofj.com/ham-dan-kekerasan-atas-nama-agama/
http://www.id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia

Anda mungkin juga menyukai