Anda di halaman 1dari 6

Report Text

Badminton
Badminton is a racket sport played by either two opposing players (singles) or
two opposing pairs (doubles), who take positions on opposite halves of a rectangular
court divided by a net. Players score points by striking a shuttlecock with their
racquet so that it passes over the net and lands in their opponents half of the court.
Each side may only strike the shuttlecock once before it passes over the net. A rally
ends once the shuttlecock has struck the floor, or if a fault has been called by either
the umpire or service judge or, in their absence, the offending player, at any time
during the rally.
The shuttlecock is a feathered or (mainly in non-competitive matches) plastic
projectile whose unique aerodynamic properties cause it to fly differently from the
balls used in most racket sports; in particular, the feathers create much higher drag,
causing the shuttlecock to decelerate more rapidly than a ball. Shuttlecocks have a
much higher top speed, when compared to other racket sports. Because shuttlecock
flight is affected by wind, competitive badminton is played indoors. Badminton is also
played outdoors as a casual recreational activity, often as a garden or beach game.
Since 1992, badminton has been an Olympic sport with five
competition/events: mens and womens singles, mens and womens doubles, and
mixed doubles, in which each pair consists of a man and a woman. At high levels of
play, especially in singles, the sport demands excellent fitness: players require
aerobic stamina, agility, explosive strength, speed and precision. It is also a technical
sport, requiring good motor coordination and the development of sophisticated racket
movements.

Descriptive Text
My cat zedva
Zedva is my beautiful gray Persian cat. He walks with pride and grace,
performing a dance of disdain as he slowly lifts and lowers each paw with the
delicacy of a ballet dancer. His pride, however, does not extend to his appearance,
for he spends most of his time indoors watching television and growing fat.
He enjoys movie in Television , especially chanel those for vichanel and cinemas
24. almost every day of my cat zedva Always watch television, after the feed and
Sometimes he ate while watching television.
Zedva is as finicky about visitors as he is about what he eats, befriending some
and repelling others. He may snuggle up against your ankle, begging to be petted, or
he may imitate a skunk and stain your favorite trousers. Zedva does not do this to
establish his territory, as many cat experts think, but to humiliate me because he is
jealous of my friends.
After my guests have fled, I look at the old fleabag snoozing and smiling to himself
in front of the television set, and I have to forgive him for his obnoxious, but
endearing, habits.

Biografi Achmad Soebardjo

Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (lahir di Karawang, Jawa Barat, 23


Maret 1896 meninggal 15 Desember 1978 pada umur 82 tahun) adalah tokoh
pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional
Indonesia. Ia adalah Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama. Achmad
Soebardjo memiliki gelar Meester in de Rechten, yang diperoleh di Universitas
Leiden Belanda pada tahun 1933.
Awal mula
Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23
Maret 1896. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan
bangsawan Aceh dari Pidie. Kakek Ahmad Soebardjo dari pihak ayah adalah ulama
di wilayah tersebut, sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan
jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe, Kerawang. Ibu Ahmad Soebardjo
bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis, dan merupakan anak dari Camat di
Telukagung, Cirebon.
Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya
memberinya nama Ahmad Subardjo. Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri
setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".
Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah
Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di
Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini
setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.
Riwayat perjuangan
Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Jawa dan
Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia pun

menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta dan para ahli gerakangerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga Menentang Imperialisme
dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman.
Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin
nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia
aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI).
Dan pada tanggal 17 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri
pada Kabinet Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali menjabat
menjadi Menteri Luar Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga
menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun-tahun 1957 1961.
Dalam bidang pendidikan, Sebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah
Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan,
Universitas Indonesia.
Wafat
Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo meninggal dunia dalam usia 82 tahun di Rumah
Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Ia
dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor. Pemerintah mengangkat
almarhum sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009.

Biografi Achmad Soebardjo

Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjoadalah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia,


diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional Indonesia, beliau juga merupakan Menteri Luar
Negeri Indonesia yang pertama. Ia lahir di Karawang, Jawa Barat pada 23 Maret 1896 meninggal 15 Desember 1978 pada umur 82 tahun. Achmad Soebardjo memiliki gelar Meester
in de Rechten, yang diperoleh di Universitas Leiden Belanda pada tahun 1933.

Awal mula
Achmad Soebardjo lahir dari pasangan Teuku Muhammad Yusuf (ayah) - Wardinah (Ibu).
Ayahnya masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Kakek Achmad Soebardjo dari pihak
ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu, sedangkan Teuku Yusuf adalah
pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe, Kerawang.
Sedangkan Ibu Achmad Soebardjo adalah keturunan Jawa-Bugis, dan merupakan anak dari
Camat di Telukagung, Cirebon.
Teuku Abdul Manaf adalah nama yang di berikan ayahnya pada saat awal, sedangkan ibunya
memberinya nama Achmad Soebardjo. Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah
dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946". Ia bersekolah di
Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun
1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh
ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang
pada tahun 1933.

Riwayat perjuangan
Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia
di Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia bersama
dengan Mohammad Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan
antarbangsa "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels

dan kemudiannya di Jerman. Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan
pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke
Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Peristiwa Rengasdengklok
Peristiwa Rengasdengklok adala peristiwa yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 dimana
para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, Shodanco Singgih, dan
pemuda lain, membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar
Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang.
Di Rengasdengklok, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan
para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan
muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan. Achmad
Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka
diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka
menjemput Soekarno dan Moh. Hattakembali ke Jakarta. Achmad Soebardjo berhasil
meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan.

Naskah proklamasi
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo di
rumah Laksamana Muda Maeda. Setelah selesai dan beragumentasi dengan para pemuda,
dinihari 17 Agustus 1945, Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti Melik untuk mengetik
naskah proklamasi.

Masa setelah kemerdekaan


Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet
Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali menjabat menjadi Menteri Luar
Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik
Indonesia di Switzerland antara tahun-tahun 1957 - 1961.
Dalam bidang pendidikan, Soebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan
dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia.

Wafat
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia pada 15 Desember 1978 dalam usia 82
tahun di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi. Ia
dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor. Pemerintah mengangkat almarhum
sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009 melalui Keppres No. 58/TK/2009.

Anda mungkin juga menyukai