Puji syukur yang tidak terhingga penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena
berkat rahmat dan karunia-Nya makalah mini project yang berjudul Laporan Mini
project Penyuluhan Tentang Penyakit Kecacingan di Posyandu Kelurahan Sanggau Kulor
Kecamatan Singkawang dapat terselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini secara khusus ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Ricka Sandra Naibaho selaku pendamping dokter internsip dan Bu Edita Acu, SKM
selaku Kepala Puskesmas Singkawang Timur selama bertugas di Puskesmas Singkawang
Timur yang telah memberikan petunjuk, pengarahan dan nasehat yang sangat berharga
selama penulis bertugas. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman satu
kelompok penulis selama bertugas di Puskesmas Singkawang Timur atas segala bantuan
serta kerjasamanya selama pembuatan makalah ini. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada para pegawai puskesmas yang bertugas baik di puskesmas kelurahan maupun di
puskesmas induk atas bantuannya selama penuli bertugas.
Semoga semua pihak yang telah disebutkan dan tidak bisa saya sebutkan satu
persatu mendapat anugerah yang berlimpah dari Allah SWT atas segala kebaikan yang
telah diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian yang tertuang dalam makalah ini masih
memiliki banyak kekurangan, saran dan kritik sangat diharapkan oleh penulis, namun
demikian penulis berharap makalah ini dapat memberi manfaat bagi orang lain dalam
melaksanakan tugas pembangunan kesehatan
Hormat Saya
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Penyakit cacingan saat ini masih dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat
yang besar terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pemerintah
indonesia sudah lama melakukan upaya pemberantasan namun hasil yang dicapai masih
belum memadai. Terbukti masih banyak ditemukannya penyakit tersebut dibeberapa
daerah di Indonesia.
Di Indonesia, salah satu golongan nematoda yang menyebabkan infeksi parasit
usus yang paling sering diantaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah.
Oxyuris vernicularis atau lebih sering dikenal cacing kremi merupakan parasit manusia
yang paling sering terjadi. Cacing ini menyebabkan penyakit yang disebut enterobiasis
atau oxyuriasis. Oxyurasis dapat menyerang berbagai golongan umur, tapi lebih sering
menyerang anak-anak. Selain Oxyuris vermicularis, jenis cacing lainnya meliputi cacing
gelang (Ascaris Lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris Trichiura), dan cacing
tambang (Necator americans) yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted
Helminthiasis).
Penyakit cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun diperkotaan. Angka
infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei
cacingan di sekolah dasar di beberapa provinsi pada tahun 1986-1991 menunjukkan
prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40%-60%.
Hasil survei subbit Diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi
menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2%-96,3%. Sedangkan hasil survey
kecacingan nasional 2009 Oleh Ditjen P2PL ( Bidang Pengendalian Penyakit dan
Penyahatan Lingkungan ) ada 31,8% siswa SD menderita kecacingan.
Penelitian epidemiologi telah dilakukan hampir di seluruh Indonesia, terutama
pada anak-anak sekolah dan umumnya didapatkan angka prevalensi tinggi yang
bervariasi. Prevalensi askariasis di provindi DKI Jakarta adalah 4-91%, Jabar 20-90%,
Yogyakarta 12-85%, Jatim 16-74%, Bali 40-95%, NTT 10-75%, sumut 46-75%, Sumbar
2-71%, Sumsel 51-78%, Sulut 30-72%. Bila menurut golongan umur, askariasis lebih
banyak ditemukan pada anak-anak, prevalensi kecacingan anak balita juga lebih rendah
dibandingkan golongan umur lain, mungkin disebabkan anak balita relatif lebih sedikit
tercemar infeksi.
Ascariasis pada manusia muncul di kedua lingkungan yang sedang dan tropis.
Prevalensi rendah terdapat pada iklim yang kering, tetapi tinggi di kondisi yang basahdan
hangat yang mana kondisiini cocok untuk telur dan embrionisasi. Kepadatan, ekonomi
lemah, rendah higienitas lingkungan dan suplai air dapat menyebabkan naiknya infeksi
cacing ini. Prevalensi Ascariasis lumbricoides adalah 16,5%. Paling tertinggi
prevalensinya terutama pada golongan anak kecil antara 11-15 tahun sekitar 3,7%. Dan
pada grup 15 tahun atau kebawah bisa mencapai 5,3%. Pada rentang umur 6-10, 11-15
dan 16-20 tahun 3,5%, 5,4% dan 3,5% didapatkan menderita malnutrisi dari ringan
sampai sedang.
Umumnya di negara berkembang termasuk Indonesia pelaku utama
pengasuhan anak adalah ibu. Cara pemeliharaan kebersihan dan kesehatan pada balita
dan anak-anak sekolah dasar masih sangat bergantung bagaimana cara ibu (pola asuhan
ibu) mengajarkan penyakit cacingan tersebut kehidupan anaknya. Pola asuhan ibu ini
dapat dilihat dari tingkat perawatan fisik anak, tingkat penyediaan sarana mendukung
kesehatan, tingkat keteladanan ibu dan tingkat komunikasi ibu dan anak. Pola asuh ibu
ini sendiri dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap dan perilaku ibu dalam usaha
memberikan pendidikan dini terhadap suatu penyakit terutama kecacingan.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis ingin
mengetahui beberapa permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu terhadap penyakit kecacingan pada
anak?
2. Bagaimana gambaran perilaku hidup bersih dan sehat ibu terhadap penyakit
kecacingan pada anak ?
3. bagaimana gambaran sikap ibu terhadap penyakit kecacingan pada anak?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Konsep terkait
1. Konsep Cacingan
a. Pengertian
Cacingan atau sering disebut kecacingan merupakan penyakit endemik dan
kronik diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan
tetapi mengganggu kesehatan tubuh manusia sehingga berakibat menurunkan
kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. Kecacingan umumnya akibat infeksi cacing
gelang (ascaris lumbricoides), cacing kremi (Oxyuris Vermicularis), cacing pita
(Taena Solium), dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale) (Zulkoni
Akhsin,2007).
Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang
sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis
cacing yang termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara Nematoda usus
tedapat sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah (Soil Transmitted
Helminths) diantaranya yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator
americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura. Soil Transmitted
Helminths (STH) adalah sekelompok cacing parasit (kelas Nematoda) yang dapat
menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur ataupun larva
parasit itu sendiri yang berkembang di tanah yang lembab yang terdapat di negara
yang beriklim tropis maupun subtropis (Gandahusada, 2000).
Infeksi Soil Transmitted Helminths pada manusia dapat menyebabkan
gangguan pada jaringan dan organ tubuh, dimana parasit tersebut hidup dan
mengambil nutrisi dari dalam tubuh manusia. Pada keadaan kronis, infeksi Soil
Transmitted Helminths mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan
fisik dan intelektual anak-anak. Selain itu, infeksi Soil Transmitted Helminths juga
diperkirakan berdampak negatif terhadap kemampuan kognitif, mempengaruhi
prestasi belajar di sekolah, di mana akan mempengaruhi produktivitas ekonomi
masa (Sutanto,dkk, 2008).
b. Cara Penularan
Penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah termasuk dalam keluarga
nematoda saluran cerna. Penularan dapat terjadi melalui 2 cara yaitu (Aru
Sudoyo,2006)
1. Infeksi langsung
Penularan langsung dapat terjadi bila telur cacing dari tepi anal masuk ke
mulut tanpa pernah berkembang dulu ditanah. Cara ini terjadi pada cacing kremi
(Oxyuris vermicularis) dan trikuriasis (Trichuris Trichura). Penularan langsung
dapat juga terjadi setelah periode berkembangnya telur ditanah kemudian telur
tertelan melalui tangan atau makanan yang tercemar.
2. Larva menembus kulit
Penularan melalui kulit terjadi pada cacing tambang / ankilostomiasis dan
strongiloidiasis dimana telur terlebih dahulu menetas di tanah baru kemudian
larva filariform menginfeksi melalui kulit.
c. Macam-macam Cacing Nematoda Usus
Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus (cacing perut), yang
dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Diantara cacing perut
terdapat sejumlah species yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted
helminths). Diantara cacing tersebut yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
dan cacing cambuk (Trichuris trichiura). Jenis-jenis cacing tersebut banyak
ditemukan didaerah tropis seperti Indonesia. Pada umumnya telur cacing bertahan
pada tanah yang lembab, tumbuh menjadi telur yang infektif dan siap untuk masuk
ke tubuh manusia yang merupakan hospes defenitifnya. (Depkes RI, 2006).
1. Ascaris Lumbricoides
Cacing jenis ini banyak ditemukan di daerah tropis dengan kelembapan
tinggi, termasuk Indonesia. Jika sudah dewasa panjangnya bisa mencapai 10-30
cm. Biasanya hidup di usus halus. Bila dilihat secara langsung, warnanya kuning
kecokelatan dan bergaris-garis halus. Cacing ini hidup hanya dalam tubuh manusia.
b. Patofisiologi
Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Dapat
berupa gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan
konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan
penyerapan makanan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing
menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus
obstructive). Universitas Sumatera Utara Selain itu menurut Effendy yang dikutip
Surat Keputusan Menteri Kesehatan (2006) gangguan juga dapat disebabkan oleh
larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada
dinding alveolus yang disebut Sindroma Loeffler.
c. Gejala klinis
Secara umum, tanda yang terlihat pada anak yang terkena kecacingan adalah:
a. Badan terasa lemah, neusea, sakit perut, lesu, anemia, penurunan berat
badan dan kadang-kadang diare dengan tinja berwarna hitam.
b. Pada infeksi ringan gangguan Gastro Intestinal ringan.
c. Menimbulkan anemia pada penderita.
d. Pada infeksi berat dapat meyebabkan gejala mual, muntah, anoreksia
bahkan ileus
e. Menimbulkan penyakit Ground itch (cotaneous larva migrans) dengan
gejala gatal-gatal, erythema, papula, erupsi dan vesicula pada kulit.
Gejala cacingan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain. Pada
permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Anak yang menderita
cacingan biasanya lesu, tidak bergairah dan kurang konsentrasi belajar. Pada
anak-anak yang menderita Ascariasis lumbricoides perutnya tampak buncit, perut
sering sakit, diare, dan nafsu makan kurang. Biasanya anak masih dapat
beraktivitas walau sudah mengalami penuruanan kemampuan belajar dan
produktivitas. Pemeriksaan tinja sangat diperlukan untuk ketepatan diagnosis
yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur
juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi (Menteri
Kesehatan, 2006)
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja dan cacing
dewasa yang keluar melalui mult / anus (Pinardi Haddjaja,2008).
e. Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat.
Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat
piperasin, pyrantel pamoate, albendazole atau mebendazole. Pemilihan obat
anticacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
mudah diterima di masyarakat, mempunyai efek samping yang minimum, bersifat
polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing, harganya
murah (terjangkau) (Menteri Kesehatan, 2006).
f. Prognosis
Selama tidak terjadi obstruksi oleh cacing dewasa yang bermigrasi
mempunyai prognosis yang bak. Tanpa pengobatan, infeksi cacng dapat sembuh
sendiri dalam waktu 1,5 tahun. Dengan pengobatan, kesembuhan diperoleh antara
80-90%.
2. Cacing Cambuk (Trichuris Trichuria)
a. Morfologi dan daur hidup
Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan yang jantan
sekitar 4 cm. Hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke
dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur
sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron,
berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada
kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian
di dalamnya jernih.
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi
matang dalam waktu 36 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh.
Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.
Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia
(hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam
usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan
masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan
sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari
(Gandahusada, 2006).
c. Gejala Klinis
Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak memberikan
gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi berat
dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare,
disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus
rektum. Infeksi Trichuris trichiura yang berat juga sering disertai dengan
infeksi cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan
telur di dalam tinja (Gandahusada, 2006).
d. Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam tinja
e. Pengobatan
Higiene pasien diperbaiki dan diberikan diet tinggi kalori, sedangkan
anemia dapat diatasi dengan pemberian preparat besi. Bila keadaan ringan
dan tak menimbulkan gejala, penyakit ini tidak diobati. Tetapi bila
menimbulkan gejala, dapat diberikan obat-obatan (Aru Sudoyo,2006) :
-
Mebendazol, diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari atau
dosis tunggal 600 mg.
f. Prognosis
Dengan pengobatan yang adekuat, prognosis baik
3. Cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
a. Morfologi dan daur hidup
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing
tambang yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing
betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai
panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk
seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi.
Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar
bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi
larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva
filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di
tanah.
Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur
dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva
rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filriform
panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran
darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru larvanya menembus pembuluh
darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut
tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi
terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan
(Menteri Kesehatan , 2006).
Daur hidupnya ialah sebagai berikut :
telur
larva rabditiform
darah
jantung kanan
larva filariform
paru
bronkus
menembus kulit
trakea
laring
kapiler
usus halus
c. Gejala klinis
Gejala nekatoriasis dan ankilostomiasis adalah sebagai berikut :
- Stadium larva, bila banyak larva filariform menembus kulit maka
terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch perubahan pada paru
biasanya ringan
- Stadium dewasa, gejala tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan
keadaan gizi penderita (fe dan protein). Tiap cacing N. Americanus
menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari,
sedangkan A. Doudenale 0,08-0,34 cc. Biasanya terjadi anemia
hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Dalam
tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk membedakan spesies larva N.
Amercanud dan A. Duodenale dapat dilakukan biakan tinja misalnya dengan
cara Harada-Mori (Srisasi Gandahusada,2006).
e. Pengobatan
Perawatan umum dilakukan dengan memberikan nutrisi yang baik, suplemen
preparat besi diperlukan oleh pasien dengan gejala yang berat, terutama bila
ditemukan bersama-sama anemia (Aru Sudoyo,2006)
Obat-obat yang digunakan :
-
dimungkinkan kuku tersebut terdapat telur cacing. Jika tertelan, telur akan
menetas di perut.
b. Kebiasaan Cuci Tangan Sebelum Makan
Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena biasanya jarijari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci
tangan, namun orang dewasa juga tidak luput dari penyakit Cacingan. Maka
hendaklah anak-anak dibiasakan mencuci tangan sebelum makan agar larva
cacing tidak tertelan bersama makanan. Cacing yang paling sering ditemui ialah
cacing gelang, cacing tambang cacing pita, dan cacing kremi(1).
c. Kebiasaan Bermain di Tanah
Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antara 25 30 0 C
merupakan hal hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris
lumbricoides menjadi bentuk infektif. sehingga sangat dianjurkan untuk
memakai alas kaki ketika beraktivitas di luar rumah dan tidak bermain yang
berhubungan dengan tanah.
d. Kebiasaan Defekasi
Perilaku defekasi (buang air besar) yang kurang baik dan di sembarang
tempat diduga menjadi faktor risiko dalam infeksi cacing. Secara teori, cacing
Soil Transmited Helminthes memerlukan media tanah untuk perkembangannya.
Adanya telur cacing tambang pada tinja penderita yang melakukan aktifitas
defekasi di tanah terbuka semakin memperbesar peluang penularan larva cacing
tambang pada masyarakat di sekitarnya. Kurangnya pemakaian jamban keluarga
menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di halaman, dibawah pohon, di
tempat mencuci, di sungai, dan dipembuangan sampah, bahkan di negara
tertentu terbiasa menggunakan tinja sebagai pupuk. Hal inilah yang menjadikan
resiko kecacingan tinggi.
e. Kebiasaan Jajan
Jajan di sembarang tempat tanpa melihat apakah makanan tersebut sehat,
dan terjamin kebersihannya bisa menjadi pemicu munculnya penyakit. Debu
yang bertebaran bisa membawa telur cacing dan jika menempel di makanan
yang dijual dipinggir jalan, kemudian kita makan dan akhirnya telur cacing akan
masuk dan menetas didalam tubuh kita
1. Tanah
Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah
dengan tinja yang mengandung telur Trichuris trichiura, telur tumbuh dalam
tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu optimal 30C (Depkes R.I,
2004:18). Tanah liat dengan kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar
antara25C-30C sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides
sampai menjadi bentuk infektif (Srisasi Gandahusada, 2000:11).Sedangkan
untuk pertumbuhan larva Necator americanus yaitu memerlukan suhu optimum
28C-32C dan tanah gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma
duodenale lebih rendah yaitu 23C-25C tetapi umumnya lebih kuat
(Gandahusada, 2006).
2.
Iklim
Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu di daerah
4.
Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan menurut Tshikuka
(1995) dikutip Hotes (2003) yaitu faktor sanitasi yang buruk berhubungan
dengan sosial ekonomi yang rendah.
5.
Status Gizi
Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif),
kondisi
kesehatan,
gizi,
kecerdasan
dan
produktifitas
kemoterapi
modern.
Strategi
tersebut
bertujuan
untuk
BAB III
METODE
III.1.
METODE
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan bulan agustus-September 2016 di
posyandu kelurahan Sanggau Kulor, didapatkan tingkat pengetahuan dan perilaku ibu-ibu
yang datang dan memiliki balita terhadap penyakit kecacingan, masih rendah. Akan tetapi
sikap ibu-ibu tersebut terhadap penyakit kecacingan baik. Untuk itu, dilakukan intervensi
dengan menggunakan metode berupa penyuluhan langsung tentang kecacingan di
posyandu kelurahan Sanggau Kulor.
Penyuluhan dilakukan pada tanggan 15 September 2016 di posyandu kelurahan
Sanggau Kulor. Adapun jumlah ibu-ibu yang datang sebanyak 25 orang ditambah 5 orang
yang merupakan ibu-ibu kader. Intervensi ini dilakukan selama 1 jam dan meliputi
penyuluhan serta tanya jawab mengenai penyakit kecacingan. Media penyuluhan yang
digunakan berupa leaflet. Leaflet tersebut berisi tanda, gejala, bahaya cacingan dan
bagaimana cara mencegah kecacingan.
Selain penyuluhan yang dilakukan diposyandu guna memberi pengetahun ke ibuibu posyandu peneliti juga melakukan kegiatan penyuluhan dan peragaann cuci tangan
yang baik dan benar terhadap anak-anak SD didaerah Kelurahan Sanggau kulor. Setelah
melakukan penyuluhan dan peragaan cuci tangan didepan anak-anak SD kemudian untuk
mengetahui apakah mereka mengerti dengan yang disampaikan, oleh karenanya peneliti
memberikan beberapa pertanyaan kepada mereka untuk dijawab dan bagi yang dapat
menjawab akan diberikan hadiah berupa sabun cuci tangan dan sendal yang bisa dipakai.
Kegiatan dilakukan di SDN 63 Sanggau kulor, SDN 65 Kulor dan SDN 66 sanggau
kulor. Murid yang hadir pada setiap kegiatan hampir sekitar 30-40 orang per SD nya.
Kegiatan dilakukan dari tanggal 22, 23 dan 24 Agustus 2016 Pukul 08.00-10.00 WB.
Dengan 2 orang yang mendapat hadiah pada setiap kegiatannya.
Selain penyuluhan, juga dilakukantanya jawab di posyandu kelurahan Sanggau
Kulor. Adapun beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain:
1. Tanya : Apakah ibu hamil juga perlu minum obat cacing? Dan apakan minum
obat cacing itu berbahaya bagi ibu hamil?
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Penduduk
1. Jumlah Penduduk
: 24.920 jiwa.
2. Jumlah KK
: 4.237 KK
: 5.88 Jiwa/KK
KELURAHAN
JUMLAH
PENDUDUK
Pajintan
Sanggau Kulor
Nyarumkop
JUMLAH
9065
2880
3803
15.605
JENIS KELAMIN
Laki-laki
Perempuan
4759
4306
1523
1357
1860
1800
8.142
7463
BAB V
DISKUSI
5.1 Pendapat
Penelitian tentang kecacingan ini sebenarnya belum cukup untuk mewakili
persentase pengetahuan, sikap dan perilaku karena sample yang diambil
sedikit. Penelitian tentang kecacingan juga sebaiknya dilakukan kepada anakanak usia sekolah dasar yaitu 5-10 tahun dimana angka kecacingan paling
tinggi pada golongan usia tersebut, sedangkan angka kecacingan pada balita
hanya sekitar 5-10% dari seluruh kejadian kecacingan. Untuk itu sebaiknya
dilakukan penelitian tentang kecacingan pada sekolah dasar. Selama
pengisian kuesioner juga terutama untuk point perilaku dan sikap masih
banyak yang tidak jujur atau tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Banyak yang mengisi jawaban setuju dan selalu. Jadi sebaiknya penelitian ini
tidak hanya bersumber dari data kuesioner saja, melainkan ditambah data
yang berasal dari observasi dan sekitarnya.
5.2 Saran
Adapun saran yang ditujukan kepada Puskesmas
1. Supaya dilakukan penyuluhan berkala tentang PHBS terutama yang
berhubungan dengan kecacingan
2. Pembagian obat cacing secara berkala setiap 6 bulan
3. Screening berkala mengenai kecacingan terutama untuk anak sekolah
Saran yang ditujukan untuk masyarakat :
1. Sennatiasa meerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dalam kehidupan
sehari-hari terutama perilaku-perilaku yang harus diterapkan seperti
kebiasaan mencuci tangan, gunting kuku seminggu sekali, buang air
besar di tempatnya, penggunaan alas kaki terutama ketika berkontak
dengan tanah guna mencegah terinfeksi cacing
2. Rutin untuk mengkonsumsi obat cacing setiap 6 bulan sekali
DAFTAR PUSTAKA
BAB
Tinjauan
pustaka
2.1
Penyakit
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21589/4/Chapter%2011.pdf
Diakses pada tanggal 1 agustus 2016
Cacingan
Disusun oleh :
dr. Risti Pangestu
pendamping :
dr. Ricka Sandra Naibaho