Kelompok 2 - Makalah Farmakoterapi THT - Rinitis Alergi
Kelompok 2 - Makalah Farmakoterapi THT - Rinitis Alergi
Nama
Valentine Sofiani
Ulvi Zasvia
Melissa
Berlian Hanutami
Vania Putri
Mayang Kusuma D.
Bena Humaira
Nailah Nurjihan U.
NPM
260110140014
260110140015
260110140016
260110140017
260110140018
260110140019
260110140020
260110140021
Nama
Dina Purwati
Ayu Dwi S.
Imroatul Chusniah
Henivia Novanti
Dwiki Dewanta
Nadya Indah D.
Abdi Jepri B.
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016
NPM
260110140022
260110140023
260110140024
260110140025
260110140026
260110140032
260110140033
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena
bimbingan- Nyalah penulis bisa menyelesaikan makalah dengan judul Penyakit
Rinitis Alergi. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang dan Sendi, Mata, THT dan juga sebagai
suatu pembelajaran agar kita dapat menyusun sebuah makalah yang baik dan benar.
Kami
mengucapkan
terima
kasih
kepada
Dosen
Mata
Kuliah
Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang dan Sendi, Mata, THT Ibu Dr. Eli
Halimah, MS., Apt. yang telah membimbing penulis dalam pembuatan makalah
ini sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan
makalah ini. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun.
Jatinangor, 14 Mei 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................
DAFTARISI..............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG...................................................................... ....... 1
1.2. TUJUAN........................................................................................... ....... 1
1.3. RUMUSAN MASALAH.......................................................................... 1
BAB II LANDASAN TEORI
2.1. PENGERTIAN DAN ANATOMI............................................................ 2
2.1.1. ANATOMI TULANG..................................................................... 2
2.2. PATOFISIOLOGI............................................................................ ......... 5
2.3. ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI.
2.4. FAKTOR RISIKO....................................................... 14
2.5. GEJALA KLINIK................................................................................... 17
2.6. DIAGNOSA KLINIK..............................................................................18
2.7. TERAPI................................................................................................... 22
2.8. MONITORING....................................................................................... 31
BAB III PENUTUP
3.1. SIMPULAN............................................................................................ 33
3.2. SARAN................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 34
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rinitis didefinisikan sebagai peradangan dari membran hidung yang ditandai
dengan gejala kompleks yang terdiri dari kombinasi beberapa gejala berikut :
bersin, hidung tersumbat, hidung gatal dan rinore. Mata, telinga, sinus dan
tenggorokan juga dapat terlibat. Rinitis alergi merupakan penyebab tersering dari
rinitis.
Rinitis alergi adalah peradangan pada membran mukosa hidung, reaksi
peradangan yang diperantarai IgE, ditandai dengan obstruksi hidung, sekret
hidung cair, bersin-bersin, dan gatal pada hidung dan mata. Rinitis alergi
mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar 10 25% populasi
dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir. Rinitis alergi
merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi
40% anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada kualitas
hidup, bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban
sosial-ekonomi, rinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernafasan utama.
Tingkat keparahan rinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit
terhadap kualitas hidup seseorang. Diagnosis rinitis alergi melibatkan anamnesa
dan pemeriksaan klinis yang cermat, lokal dan sistemik khususnya saluran nafas
bawah.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi, patofisiologi, gejala, dan biokimia klinik dari rinitis
alergi ?
2. Bagaimana terapi yang tepat untuk penyakit rinitis alergi dilihat dari riwayat
penyakit dan gejala yang timbul?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui anatomi, patofisiologi, gejala, dan biokimia klinik dari rinitis
alergi
2. Didapat terapi yang tepat untuk rinitis alergi sesuai dengan riwayat
penyakit dan gejala yang timbul
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian dan Anatomi
Rinitis alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
yang
serous
mempunyai silia
(Dhingra, 2007).
Kavum nasal terdiri dari :
1. Dasar hidung : dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan
prosesus horizontal os palatum.
(Dhingra, 2007).
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage
Colony
Stimulating
Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC).
Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respon tersier.
3.
Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.
4.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin
imun
yang
secara
lingkungan,
genetik
telah
terpapar
memiliki
Gejala rinitis alergi adalah terdapatnya serangan bersin berulang lebih dari
lima kali setiap serangan. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering
disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Kadang- kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan
oleh pasien. Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta
onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik
dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin
lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal , ingus encer lebih dari
satu jam, hidung tersumbat dan mata merah serta berair, maka dinyatakan
positif
(Irawati, Rusmono, Kasakayan, 2008).
2.6 Diagnosa Klinik
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis
saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh
pasien . Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset
dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan
(Sendra, 2008).
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent
test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada
pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST
(Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent
Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan.
Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
b. In Vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen
dalam
berbagai
konsentrasi
yang
bertingkat
kepekatannya.
Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui
(Sumarman, 2000).
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari
tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang
dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya
diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan
(Irawati, 2002).
2.7 Terapi
TERAPI FARMAKOLOGI
Berdasarkan gejala yang dialami oleh pasien tersebut, pasien digolongkan
kedalam tipe persisten/menetap tingkat sedang (medium persisten ). Sehingga
pemilihan terapi yang digunakan adalah Kortikosteroid topikal.
1.
Intranassal Kortikosteroid
Kortikosteroid intranassal secara efektif meredakan bersin , rinorea , ruam,
dan kongesti nasal dengan efek samping yang minimal. Obat ini mereduksi
inflamasi dengan menghambat pembebasan mediator ,penekanan kemotaksis
Budesonid
kali/hr.
>6th:2 semprot(64 mcg) per lubang hidung
pagi dan petang atau 4 semprot per lubang
Flunisolid
Futikason
sehari
Dewasa :2 semprot (100 mcg) per lubang
hidung sekali sehari setelah beberapa hari
turunkan jadi 1 semprot per lubang hidung
Mometason furoat
Triamsinolon Asetonida
Efek samping
reaksi
hipersensitivitas(
termasuk
Peringatan
dan
mengurangi
efek
samping.
Meskipun
penggunaan
filter.
Hindarkan
berada
dekat
bunga-bunga
pada
musim
(Dipiro,2009).
Karena pasien tersebut telah menjalani suatu terapi untuk penyakit yang
dideritanya, maka sebagai apoteker wajib untuk melakukan sebuah monitoring
tentang keefektifan terapi yang dijalankan. Pada kasus terlihat bahwa terapi
yang sedang dijalaninya tersebut tidaklah efektif untuk menyembuhkan
penyakit yang dideritanya. Oleh karena itu, dapat dilihat dari bagan diatas
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Rintis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE. Alergen dapat berupa alergen inhalan misalnya tungau debu rumah, kecoa,
serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur, alergen ingestan yang masuk
ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang
kepiting, dan kacang-kacangan, alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau
tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah, dan alergen kontaktan, yang masuk
melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan dan gejala berupa
bersin, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).
pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat keluarga, riwayat tempat tinggal dan
lingkungan pekerjaan. Pada pemeriksaan fisik, pada rinoskopi anterior dijumpai
mukosa edema basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang
banyak.
3.2 Saran
Untuk melihat keberhasilan terapi maka dilakukan penatalaksanaan sebagai
berikut:
1. Hindari kontak dengan allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Keduanya
merupakan terapi paling ideal. Eliminasi untuk allergen ingestan (allergen makanan).
2. Simtomatis. Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan
simpatomimetik, kortikosteroid dan sodium kromoglikat.
DAFTAR PUSTAKA
Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et al. Allergic
Rhinitis And Its Impact On Asthma (ARIA) 2008. Allergy. 2008; 63(86): 8160
BPOM RI.2015. Obat Untuk Alergi Nasal. Available online at
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-12-telinga-hidung-dan-tenggorok/122-obatyang-bekerja-pada-hidung/1221-obat-untuk-alergi (Diakses tanggal 11 Mei
2016)
Dhingra PL. 2007. Disease of Ear Nose and Throat. 4th EdIition .New Delhi :
Elsevier.
Greiner, N.A., Hellings, P.W., Ratiroti, G., and Scadding, G.K. 2011. Allergic
Rhinitis. Lancet 2011;378:2112-22. Available from:
http://search.proquest.com/docview/913119285/fulltextPDF?
accountid=50257 (diakses 11 Mei 2015)
Ikawati, Z. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Yogyakarta : Bursa
Ilmu.
Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan
Makalah Simposium Current Opinion In Allergy andClinical Immunology,
Divisi Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta: 55-65.
Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta:
FKUI
Nadraja I .2011. Rhinitis Alergi. Available Online at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21493/5/Chapter%20I.pdf
(Diakses pada 11 Mei 2016)
Sendra, Nancy, dkk. 2008. Dampak pajanan debu kayu terhadap kadar eosinofil
kerokan mukosa hidung pekerja penggergaji kayu. The Indonesian Journal of
Medical Science Volume 1 No. 5 p.255-262.
Simbolon.2006.Penggunaan Kortikosteroid Intranasal Dalam Tata Laksana Rinitis