Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH FARMAKOTERAPI GANGGUAN

KULIT, TULANG DAN SENDI, MATA, THT


Penyakit Rinitis Alergi
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
Anggota Kelompok :

Nama
Valentine Sofiani
Ulvi Zasvia
Melissa
Berlian Hanutami
Vania Putri
Mayang Kusuma D.
Bena Humaira
Nailah Nurjihan U.

NPM
260110140014
260110140015
260110140016
260110140017
260110140018
260110140019
260110140020
260110140021

Nama
Dina Purwati
Ayu Dwi S.
Imroatul Chusniah
Henivia Novanti
Dwiki Dewanta
Nadya Indah D.
Abdi Jepri B.

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016

NPM
260110140022
260110140023
260110140024
260110140025
260110140026
260110140032
260110140033

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena
bimbingan- Nyalah penulis bisa menyelesaikan makalah dengan judul Penyakit
Rinitis Alergi. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang dan Sendi, Mata, THT dan juga sebagai
suatu pembelajaran agar kita dapat menyusun sebuah makalah yang baik dan benar.
Kami

mengucapkan

terima

kasih

kepada

Dosen

Mata

Kuliah

Farmakoterapi Gangguan Kulit, Tulang dan Sendi, Mata, THT Ibu Dr. Eli
Halimah, MS., Apt. yang telah membimbing penulis dalam pembuatan makalah
ini sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pembuatan
makalah ini. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun.
Jatinangor, 14 Mei 2016

Penulis

DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................
DAFTARISI..............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG...................................................................... ....... 1
1.2. TUJUAN........................................................................................... ....... 1
1.3. RUMUSAN MASALAH.......................................................................... 1
BAB II LANDASAN TEORI
2.1. PENGERTIAN DAN ANATOMI............................................................ 2
2.1.1. ANATOMI TULANG..................................................................... 2
2.2. PATOFISIOLOGI............................................................................ ......... 5
2.3. ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI.
2.4. FAKTOR RISIKO....................................................... 14
2.5. GEJALA KLINIK................................................................................... 17
2.6. DIAGNOSA KLINIK..............................................................................18
2.7. TERAPI................................................................................................... 22
2.8. MONITORING....................................................................................... 31
BAB III PENUTUP
3.1. SIMPULAN............................................................................................ 33
3.2. SARAN................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 34

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rinitis didefinisikan sebagai peradangan dari membran hidung yang ditandai
dengan gejala kompleks yang terdiri dari kombinasi beberapa gejala berikut :
bersin, hidung tersumbat, hidung gatal dan rinore. Mata, telinga, sinus dan
tenggorokan juga dapat terlibat. Rinitis alergi merupakan penyebab tersering dari
rinitis.
Rinitis alergi adalah peradangan pada membran mukosa hidung, reaksi
peradangan yang diperantarai IgE, ditandai dengan obstruksi hidung, sekret
hidung cair, bersin-bersin, dan gatal pada hidung dan mata. Rinitis alergi
mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar 10 25% populasi
dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir. Rinitis alergi
merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi
40% anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada kualitas
hidup, bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban
sosial-ekonomi, rinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernafasan utama.
Tingkat keparahan rinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit
terhadap kualitas hidup seseorang. Diagnosis rinitis alergi melibatkan anamnesa
dan pemeriksaan klinis yang cermat, lokal dan sistemik khususnya saluran nafas
bawah.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi, patofisiologi, gejala, dan biokimia klinik dari rinitis
alergi ?
2. Bagaimana terapi yang tepat untuk penyakit rinitis alergi dilihat dari riwayat
penyakit dan gejala yang timbul?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui anatomi, patofisiologi, gejala, dan biokimia klinik dari rinitis
alergi
2. Didapat terapi yang tepat untuk rinitis alergi sesuai dengan riwayat
penyakit dan gejala yang timbul

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian dan Anatomi
Rinitis alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I

yang

diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran


utama setelah terpapar dengan aeroalergen.
(Dhingra, 2007).
2.1.1 Anatomi Hidung

Hidung Bagian Luar


Hidung luar berbentuk piramid dengan pangkal hidung dibagian
atas dan puncaknya berada dibawah. Hidung bagian luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit ,
jaringan ikat. Kerangka tulang terdiri dari; sepasang os nasal,
prosesus frontalis os maksila

dan prosesus nasalis os frontal,

sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang


tulang rawan yang terdiri dari; sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor)
dan tepi anterior kartilago septum nasal. Otot- otot ala nasal terdiri
dari dua kelompok, yaitu kelompok dilator, terdiri dari muskulus
dilator nares (anterior dan posterior), muskulus proserus, kaput
angular muskulus kuadratus labii superior dan kelompok
konstriktor yang terdiri dari muskulus nasalis dan muskulus
depressor septi
(Dhingra, 2007).

Anatomi hidung bagian luar

Hidung Bagian Dalam


Hidung bagian dalam dipisahkan oleh septum nasal di bagian
tengahnya menjadi kavum nasal kanan dan kavum nasal kiri yang
tidak sama ukurannya. Lubang hidung bagian depan disebut
nares anterior dan lubang hidung bagian belakang disebut
nares posterior atau disebut choana. Bagian dari rongga hidung
yang letaknya sesuai dengan ala nasal disebut vestibulum yang
dilapisi oleh kulit yang mempunyai kelenjar keringat, kelenjar
sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrisae. Rongga
hidung dilapisi oleh membran mukosa yang melekat erat pada
periosteum dan perikondrium, sebagian besar mukosa ini
mengandung banyak pembuluh darah , kelenjar mukosa dan
kelenjar

serous

dan ditutupi oleh epitel torak berlapis semu

mempunyai silia
(Dhingra, 2007).
Kavum nasal terdiri dari :
1. Dasar hidung : dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan
prosesus horizontal os palatum.

2. Atap hidung : terdiri dari kartilago lateralis superior dan


inferior, os nasal prosesus frontalis, os maksila, korpus os
etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung
dibentuk oleh lamina kribrosa.
3. Dinding lateral : dinding lateral dibentuk oleh permukaan
dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka
superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os
palatum dan lamina pterigoideus medial.
4. Konka : pada dinding lateral terdapat empat buah konka
yaitu konka inferior, konka media, konka superior dan konka
suprema. Konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan konka yang terbesar dan merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada os maksila. Sedangkan konka
media, superior dan suprema merupakan bagian dari etmoid.
5. Meatus nasi : diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat
rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak
diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus
nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus superior yang
merupakan ruang antara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
6. Dinding medial: dinding medial hidung adalah septum nasi
(Dhingra, 2007).
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh selaput lendir. Epitel organ pernapasan yang
biasanya berupa epitel kolumnar bersilia, bertingkat palsu, berbeda- beda
pada bagian hidung.pada ujung anterior konka dan septum sedikit

melampaui os internum masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa


silia, lanjutan epitel kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus
inspirasi epitel menjadi kolumnar; silia pendek agak irreguler. Sel sel
meatus media dan inferior yang terutama menangani arus ekspirasi
memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi.

(Dhingra, 2007).

Anatomi Hidung Bagian Dalam

Perbedaan Anatomi Normal dan Rinitis Alergi


2.2 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat

(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau

basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL6, GM-CSF (Granulocyte

Macrophage

Colony

Stimulating

Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah
hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1
(ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,
IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor
(GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP),
dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti
asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi
(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga

pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan


infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terusmenerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari :
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2.

Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respon tersier.

3.

Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.

4.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin

(delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang


banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008).
2.3 Etiologi dan Epidemiologi
Etiologi
Rinitis alergi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Peran lingkungan dalam
rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh
dan merangsang respon

imun

yang

secara

lingkungan,
genetik

telah

terpapar
memiliki

kecendrungan alergi. Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen


inhalan yang masuk bersama udara penafasan yaitu debu rumah, tungau,
kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain. Berbagai
pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor
nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
merangsang dan perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan
(Nadraja,2011)
Epidemiologi

Prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10-20% dan secara


konstan meningkat dalam dekade terakhir .Usia rata-rata onset rinitis alergi
adalah 8-11 tahun, dan 80% rinitis alergi berkembang dengan usia 20 tahun.
Biasanya rinitis alergi timbul pada usia muda (remaja dan dewasa muda).
Dalam suatu penelitian di Medan, dari 31 penderita rinitis alergi, ditemukan
perempuan lebih banyak daripada laki-laki dengan perbandingan 1.58 : 1 di
Palembang mendapatkan dari 259 penderita rinitis alergi 122 laki-laki dan 137
perempuan di Semarang pada penelitiannya dengan 80 penderita rinitis alergi
mendapatkan laki-laki 37,5% dan perempuan 62,5%.
(Nadraja,2011)
2.4 Faktor Risiko
Penyebab pasti peningkatan prevalensi RA belum jelas diketahui. Namun
diduga ada beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi angka kejadian
RA. Diantaranya yaitu serbuk bunga, asap kendaraan, asap rokok, tungau
debu rumah, binatang peliharaan di rumah, makanan dan faktor genetic
(Bosquet et al, 2008).
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kejadian RA. RA biasanya
didapat pada keluarga atopi dan biasanya dijumpai juga adanya manifestasi
alergi lain seperti asma, urtikaria maupun eksema. Orangtua yang atopi
biasanya akan mempunyai anak yang atopi juga, dan reaksi alergi mereka
cenderung lebih hebat daripada anak dengan orangtua yang tidak mempunyai
riwayat atopi. Seorang anak mempunyai angka resiko terjadi RA sebesar 70%
jika kedua orangtua mereka mempunyai riwayat atopi. Risiko ini menurun
menjadi 50% jika hanya salah satu orangtua yang atopi (Bosquet et al, 2008)
2.5 Gejala Klinik

Gejala rinitis alergi adalah terdapatnya serangan bersin berulang lebih dari
lima kali setiap serangan. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering
disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Kadang- kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan
oleh pasien. Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta
onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik
dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin
lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal , ingus encer lebih dari
satu jam, hidung tersumbat dan mata merah serta berair, maka dinyatakan
positif
(Irawati, Rusmono, Kasakayan, 2008).
2.6 Diagnosa Klinik
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis
saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh
pasien . Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset
dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan

herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap


pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin
lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu
jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif
(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner,
yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder
akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu
berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini
timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan
(allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung
basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer
dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang
dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan
konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis
dan otitis media
(Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In Vitro
Pemeriksaan mikroskopik untuk jumlah eosinofil dalam mukosa hidung
dengan sensitivitasnya 70% dan spesifisitasnya 94% (Sendra, 2008).
Penilaian gradasi eosinofil dilakukan dengan kriteria Naclerio, yaitu:

Negatif (-) bila tidak dijumpai eosinofil/sepuluh lapangan pandang


Positif (+1) bila ditemukan 1-5 eosinofil/sepuluh lapangan pandang
Positif (+2) bila ditemukan 6-15 eosinofil/sepuluh lapangan pandang
Positif (+3) bila ditemukan 16-20 eosinofil/sepuluh lapangan pandang
Positif (+4) bila ditemukan >20 eosinofil/sepuluh lapangan pandang

(Sendra, 2008).
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent
test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada
pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST
(Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent
Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan.
Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
b. In Vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen

dalam

berbagai

konsentrasi

yang

bertingkat

kepekatannya.

Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui
(Sumarman, 2000).
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari
tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang
dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya
diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan
(Irawati, 2002).

2.7 Terapi

TERAPI FARMAKOLOGI
Berdasarkan gejala yang dialami oleh pasien tersebut, pasien digolongkan
kedalam tipe persisten/menetap tingkat sedang (medium persisten ). Sehingga
pemilihan terapi yang digunakan adalah Kortikosteroid topikal.
1.

Intranassal Kortikosteroid
Kortikosteroid intranassal secara efektif meredakan bersin , rinorea , ruam,
dan kongesti nasal dengan efek samping yang minimal. Obat ini mereduksi
inflamasi dengan menghambat pembebasan mediator ,penekanan kemotaksis

neutrofil, menyebabkan vasokontriksi , dan menghambat reaksi lambat yang


diperantarai oleh sel mast.
(Sukandar.,dkk,2008).
Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat dan
lambat dari rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil,
mencegah switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan lokal
dan migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil, menekan ekspresi
GMCSF, IL-6, IL-8, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di
mukosa hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi,
kemotaksis dan apoptosis eosinofil 1
(Simbolon,2006).
Dosis Kortikosteroid Nasal
Obat
Beklometason diproprionat

Dosis dan Interval


>12th :1 inhalasi ( 42 mcg) per lubang
hidung 2-4 kali sehari (maksimum 336
mcg/hr)
6-12 th: 1 inhalasi per lubang hidung 3

Budesonid

kali/hr.
>6th:2 semprot(64 mcg) per lubang hidung
pagi dan petang atau 4 semprot per lubang

Flunisolid

hidung pagi(maksimum 256 mcg).


Dewasa:2 semprot (50mcg) per lubang
hidung 2 kali sehari (maks 400 mcg)
Anak : 1 semprot per lubang hidung 3 kali

Futikason

sehari
Dewasa :2 semprot (100 mcg) per lubang
hidung sekali sehari setelah beberapa hari
turunkan jadi 1 semprot per lubang hidung

Mometason furoat

(maks 200 mcg sehari)


>12th : 2 semprot (100 mcg) per lubang

hidung sehari sekali.


>12 th: 2 semprot (100 mcg) per lubang

Triamsinolon Asetonida

hidung sekali sehari ( maks 440 mcg/hr).


(Sukandar.,dkk.2008).
1. Beklometason Dipropionat
Indikasi
: Profilaksis dan pengobatan rinitis alergi dan rinitis
vasomotor.
:Bersin setelah penggunaan ;kadang-kadang hidung kering ,

Efek samping

iritasi hidung dan tenggorokan , epistaksis, gangguan indra


kecap,

reaksi

hipersensitivitas(

termasuk

bronkospasme),perforasi septum nasal dilaporkan.


: Infeksi nasal yang tidak ditanfani , pemakaian yang

Peringatan

berkepanjangan pada anak , pengobatan terdahulu dengan


kortikosteroid per oral.
( BPOM RI, 2015).
Kortikosteroid intranassal memiliki keunggulan yang nyata dalam pengobatan
rinitis alergi. Pemberian kortikosteroid intranassal merupakan indikasi bagi
penderita rinitis alergi intermitten sedang berat dan rinitis alergi persisten .
Pemberian Kortikosteroid secara topikal dapat mengurangi dosis yang
dibutuhkan

dan

mengurangi

efek

samping.

Meskipun

penggunaan

Kortikosteroid Intranassal dapat mengurangi efek samping sistemik , efek


samping lokal juga dapat timbul . Efek samping lokal yang kadang timbul
adalah krusta pada hidung , rasa kering , dan epistaksis. Efek samping ini
biasanya ringan dan akan hilang dengan sendirinya.
(Simbolon, 2006).
TERAPI NON FARMAKOLOGI
1. Edukasi
Pasien harus diberi pengetahuan tentang rinitis alergi, perjalanan penyakit,
dan tujuan penatalaksanaan. Penatalaksanaan medis bertujuan untuk

mengurangi gejala atau mengganggu kerja sistem imun untuk mengurangi


hipersensitivitas, atau keduanya. Selain itu, pasien juga harus diberikan
informasi mengenai keuntungan dan efek samping yang mungkin terjadi
untuk mencegah ekspektasi yang salah dan meningkatkan kepatuhan pasien
terhadap obat yag diresepkan
(Greiner, Hellings, Ratiroti, et al., 2011).
2. Menghindari alergen
Hindari alergen seperti debu, makanan, tungau, bulu hewan, suntikan,
kosmetik,serbuk sari, dll yang dapat menyebabkan rhinitis alergi (Greiner,
Hellings, Ratiroti, et al., 2011). Salah satu terapi alergi adalah pencegahan
terhadap paparan allergen. Namun, pencegahan alergi tidak mudah, apalagi
jika allergen penyebabnya belum bisa dipastikan. Rumah harus kerap
dibersihkan, tidak boleh memelihara binatang, sebaiknya tidak menggunakan
bantal atau kasur kapuk (diganti dengan busa atau springbed) dan sebaiknya
tidak menggunakan karpet. Jika memungkinkan, perlu digunakan penyaring
udara berupa Air Conditioner (AC) atau High Efficiency Particulate Air
(HEPA)

filter.

Hindarkan

berada

dekat

bunga-bunga

pada

musim

penyerbukan, dan gunakan masker pada saat berkebun (Ikawati, 2011).


FITOTERAPI
Teh hijau
Hasil penelitian menemukan bahwa teh hijau bermanfaat sebagai antialergi.
Hal ini diduga karena daun teh hijau mengandung senyawa aktif yang
dipercaya untuk bertanggung jawab dalam memberikan kontribusi positif bagi
kesehatan manusia, yaitu polifenol. Polifenol ialah antioksidan yang
kekuatannya 100 kali lebih efektif dibanding dengan vitamin C dan 25 kali
lebih tinggi dibanding dengan vitamin E. Selain itu, diduga polifenol teh hijau
juga mempunyai aktivitas sebagai antiinflamasi dan antialergi. Salah satu

komponen polifenol adalah epigallocatechingallate (EGCG) yang berperan


dalam menstimulasi produksi interleukin-1 alpha (IL-1), interleukin-1 beta
(IL-1), tumor necrosis factor alpha (TNF- ). EGCG juga dapat membantu
proses fagositosis, meningkatkan ketahanan limfosit, proliferasi limfosit,
sekresi IL-12 makrofag, meningkatkan IFN-, dan menghambat pengeluaran
histamin. EGCG juga berperan menghambat ikatan antara FcRI dan IgE
sehingga akan menghambat pengeluaran histamin. FcRI berperan penting
dalam penginduksi dan juga mempertahankan respons alergi yang diperantarai
oleh IgE seperti pada rinitis alergika. FcRI juga berfungsi sebagai reseptor
IgE yang menempel pada permukaan sel mast atau basofil dan berperan dalam
menghambat IL-2 yang bersumber dari sel T. Hambatan IL-2 akan memberi
efek terhadap fungsi IL-2 yang secara normal merespons sel B untuk
mengeluarkan antibodi dan salah satu antibodi yang dihambat pengeluarannya
adalah IgE sehingga akhirnya akan mengurangi kadar IgE pada pasien rinitis
alergika
( Yusni, 2015).
2.8 Monitoring

(Dipiro,2009).

Karena pasien tersebut telah menjalani suatu terapi untuk penyakit yang
dideritanya, maka sebagai apoteker wajib untuk melakukan sebuah monitoring
tentang keefektifan terapi yang dijalankan. Pada kasus terlihat bahwa terapi
yang sedang dijalaninya tersebut tidaklah efektif untuk menyembuhkan
penyakit yang dideritanya. Oleh karena itu, dapat dilihat dari bagan diatas

mengenai tahapan monitoringnya pada pengamatan efikasinya, kita harus


melihat dari dua hal yaitu:
1. Apakah gejalanya terkontrol tetapi efek sampingnya mengganggu? Ya, gejala
bersin-bersinnya telah membaik, tatpi menimbulkan efek samping lain seperti
tenggorokan gatal dan sesekali batuk. Hal yang dapat dilakukan mengenai
masalah ini yaitu sesuaikan dosis atau mengganti obat yang masih satu
golongan.
2. Apakah pasien patuh terhadap terapinya? Mengenai masalah ini harus
dilakukan monitoring secara langsung tentang kepatuhan pasien terhadap
terapi ini.
Setelah melakukan monitoring kedua hal diatas, maka kita harus tentukan
terapi selanjutnya yang lebih baik dan karena pada kasus pasien belum pernah
mengunjungi dokter dan memilih terapinya sendiri, maka kita sebagai
apoteker berhak untuk memberikan saran kepada pasien untuk mengunjungi
dokter terlebih dahulu.
Setelah dilakukan terapi yang baru, lakukan kembali monitoring terhadap
terapi tersebut. Monitoring yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan
three prime questions. Monitoring ini bertujuan untuk mengetahui sejauh
mana pengetahuan dan kemampuan pasien dalam menjalani pengobatannya
serta untuk memantau perkembangan terapi yang dijalani pasien. Three prime
questions ini berisi pertanyaan:
1. Apa yang telah dokter katakan tentang obat anda?
2. Apa yang dokter jelaskan tentang harapan setelah minum obat ini?
3. Bagaimana penjelasan dokter tentang cara minum obat ini?
Setelah melakukan monitoring dengan three prime questions ini, apoteker
dapat menentukan terapi yang dapat dberikan untuk pasien ini.

BAB III

PENUTUP
3.1 Simpulan
Rintis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE. Alergen dapat berupa alergen inhalan misalnya tungau debu rumah, kecoa,
serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur, alergen ingestan yang masuk
ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang
kepiting, dan kacang-kacangan, alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau
tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah, dan alergen kontaktan, yang masuk
melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai keluhan dan gejala berupa
bersin, keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).
pada anamnesis perlu ditanyakan riwayat keluarga, riwayat tempat tinggal dan
lingkungan pekerjaan. Pada pemeriksaan fisik, pada rinoskopi anterior dijumpai
mukosa edema basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang
banyak.
3.2 Saran
Untuk melihat keberhasilan terapi maka dilakukan penatalaksanaan sebagai
berikut:
1. Hindari kontak dengan allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Keduanya
merupakan terapi paling ideal. Eliminasi untuk allergen ingestan (allergen makanan).
2. Simtomatis. Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan
simpatomimetik, kortikosteroid dan sodium kromoglikat.

3. Operatif. Konkotomi merupakan tindakan memotong konka nasi inferior yang


mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka nasi
inferior menggunakan kauterasi yang memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi. Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan
medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak
dapat dikompromi. Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi juga
meningkatkan titer antibody IgG spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi
dan netralisasi. Desensitisasi dan hiposensitisasi membentuk blocking antibody.
Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil
pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak membentuk blocking antibody
dan untuk alergi inhalan.

DAFTAR PUSTAKA
Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et al. Allergic
Rhinitis And Its Impact On Asthma (ARIA) 2008. Allergy. 2008; 63(86): 8160
BPOM RI.2015. Obat Untuk Alergi Nasal. Available online at
http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-12-telinga-hidung-dan-tenggorok/122-obatyang-bekerja-pada-hidung/1221-obat-untuk-alergi (Diakses tanggal 11 Mei
2016)
Dhingra PL. 2007. Disease of Ear Nose and Throat. 4th EdIition .New Delhi :
Elsevier.
Greiner, N.A., Hellings, P.W., Ratiroti, G., and Scadding, G.K. 2011. Allergic
Rhinitis. Lancet 2011;378:2112-22. Available from:
http://search.proquest.com/docview/913119285/fulltextPDF?
accountid=50257 (diakses 11 Mei 2015)
Ikawati, Z. 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Yogyakarta : Bursa
Ilmu.
Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan
Makalah Simposium Current Opinion In Allergy andClinical Immunology,
Divisi Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta: 55-65.
Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta:
FKUI
Nadraja I .2011. Rhinitis Alergi. Available Online at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21493/5/Chapter%20I.pdf
(Diakses pada 11 Mei 2016)
Sendra, Nancy, dkk. 2008. Dampak pajanan debu kayu terhadap kadar eosinofil
kerokan mukosa hidung pekerja penggergaji kayu. The Indonesian Journal of
Medical Science Volume 1 No. 5 p.255-262.
Simbolon.2006.Penggunaan Kortikosteroid Intranasal Dalam Tata Laksana Rinitis

Alergi pada Anak. Sari Pediatri. 8(1):54-59


Sukandar, Elin Yulinah dkk. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI.
Sumarman, Iwin. 2000. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan
Rinitis Alergi, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung: FK UNPAD.
Yusni, dkk . 2015. Aktivitas Polifenol Teh Hijau (Camellia sinensis (L) O. Kuntze)
Sebagai Imunomodulator melalui Respons Supresi Imunoglobulin E (IgE)
pada Rinitis Alergika. MKB.47(3).

Anda mungkin juga menyukai