Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh:
Nama : Marisa Alfianty
NIM : 030.11.178
Slawi,
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas
segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul Bronkiolitis dengan baik dan tepat waktu.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum
Daerah DR Soeselo Slawi periode 20 Juni 3 September 2016.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada dr. Abdul Khanis, M. SI. Med., Sp.A selaku pembimbing dalam
penyusunan referat ini, serta kepada dokterdokter pembimbing lain yang telah
membimbing penulis selama di Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Rumah
Sakit Umum Daerah DR Soeselo Slawi. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada rekanrekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Rumah
Sakit Umum Daerah DR Soeselo Slawi serta berbagai pihak yang telah memberi
dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak
luput dari kesalahan.Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan,
kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih
yang sebesarbesarnya, semoga referat ini dapat memberikan tambahan informasi
bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
: PENDAHULUAN
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Pneumonia
Definisi
10
Etiologi
10
Epidemiologi
10
Faktor Risiko
11
Patogenesis
11
Patofisiologi
13
Manifestasi Klinis
14
Klasifikasi
15
Diagnosis
16
Pemeriksaan Penunjang
19
Tatalaksana
20
Pencegahan
23
Komplikasi
24
BAB III
: KESIMPULAN
25
BAB IV
: DAFTAR PUSTAKA
26
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
penapis udara
Struktur konka yang berfungsi sebagai proteksi terhadap udara luar
memudahkan batuk. Laring sering disebut sebagai kotak suara dan terdiri
atas:
Epiglotis
Glotis
Kartilago Thyroid
Kartilago Krikoid
Kartilago Aritenoid
Pita suara
4. TRAKEA
5
pada
bagian
belakangnya.
Didalamnya
mengandung
oleh fissura oblique. Pada paru-paru kiri ada bagian yang menonjol seperti
lidah yang disebut lingula. Jumlah segmen pada paru-paru sesuai dengan
jumlah bronchus segmentalis, biasanya 10 di kiri dan 8-9 yang kanan.
Sejalan dgn percabangan bronchi segmentales menjadi cabang-cabang yg
lebih kecil, segmenta paru dibagi lagi menjadi subsegmen-subsegmen.
11
Berdasarkan Epidemiologi
o Community Acquired Pneumonia
Typical : Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza ,
Moraxella catarrhalis, Staphylococcus aureus, Legionella
pneumophila, Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae),
Pseudomonas spp
Atypical : Mycoplasma pneumonia, Chlamydia spp. (C.
pneumoniae, C. psittaci, C. trachomatis) Coxiella burnetii
Viruses: respiratory syncytial virus, parainfluenza virus (bayi
dan danak); influenza A and B (dewasa); adenovirus, SARS
virus
13
II.
15
Etiologi
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitical Virus (RSV)
60-90% kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1, 2, dan
3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2 dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah
penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang
dapat menimbulkan epidemik.2,3,8
RSV menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak langsung dengan
radius kurang dari 6 kaki dari seseorang yang menderita RSV. Droplet yang
besar bias bertahan selama 6 jam dan seseorang dapat menularkan virus
tersebut selama 10 hari.1
IV.
Epidemiologi
Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden
tertinggi pada usia 2-24 bulan, puncaknya terjadi pada usia 2-8 bulan.
Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun
dan 75 % diantaranya terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. Pada daerah
dengan penduduk padat, insiden tertinggi bronkiolitis oleh karena RSV pada
usia 2 bulan. Makin muda umur bayi terkena bronkiolitis maka akan semakin
berat gejalannya. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan,
bronchopulmonary
dysplasia,
prematuritas,
kelainan
neurologis
dan
17
Faktor Risiko1
Usia : anak dengan usia lebih muda memiliki faktor risiko yang lebih
tinggi
Faktor komorbid yang signifikan
Kelahiran prematur
Penyakit jantung bawaan
Chronic lung disease of prematurity
Faktor Sosial
ASI
Air susu ibu (ASI) telah menunjukkan
mempunyai faktor
VI.
Patogenesis1,8
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350
nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang
merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G
(attachment protein) yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang
menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua
protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua
macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala
yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele.
Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring
kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui
penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi
nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan
replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran
patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas
menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin
kedalam lumen bronkiolus.
19
beberapa
neuropeptida
(neurokinin,
substansi
P)
yang
VII.
Patofisiologi8
Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,
menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space
serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan
peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran
napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik
sampai gagal napas.
Karena tahanan/resistensi terhadap aliran udara di dalam saluran besarnya
berbanding terbalik dengan radius/jari-jari pangkat empat, maka penebalan
yang sedikit sekalipun pada dinding bronkhiolus bayi dapat sangat
mempengaruhi aliran udara.
21
Tahanan pada saluran udara kecil bertambah selama fase inspirasi dan fase
ekspirasi. Pada fase ekspirasi terdapat mekanisme klep sehingga udara dalam
paru terperangkap dan menyebabkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir
ekspirasi meningkat hampir 2 kali dari normal. Atelektasis dapat terjadi ketika
obstruksi menjadi total dan udara paru-paru menjadi kolaps.
Anak yang lebih besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis
bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda
dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini.
Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap.
Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi
terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif
immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung
lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel dalam 34 hari, sedangkan regenerasi silia berlangsung lebih lama hingga 15 hari.
Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon
antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi dengan
usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk. Glezen dkk (dikutip
dari Bar-on, 1996) mendapatkan bahwa terjadi hubungan terbalik antara titer
neutralizing antibody dengan resiko reinfeksi. Tujuh puluh sampai delapan
puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari
perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan
dalam sekret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi
tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia
dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV.
23
Manifestasi Klinis
Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer
dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai
demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang
ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan
menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya
terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita
infeksi saluran nafas atas yang ringan. Bayi mengalami demam ringan atau
tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi.6,7
25
Terjadi distress nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per
kamar.
Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis
ringan, otitis media serta faringitis.
IX.
Klasifikasi
Klasifikasi bronkiolitis berdasarkan gejala klinis
Keparaha
n
Ringan
Sedang
Tanda
Kesulitan makan
Lemah
Berat
27
X.
1,2,5
Diagnosis
Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan
adanya epidemic RSV di masyarakat. Kriteria Bronkiolitis terdiri dari
1. Wheezing pertamakali
2. Umur 24 bulan atau kurang
3. Pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya
batuk, pilek, demam
4. Menyingkirkan pneumonia atau atopi yang dapat menyebabkan
wheezing
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pertama sekali
dapat dicatat bahwa bayi dengan bronkiolitis menderita suatu infeksi ringan yang
mengenai saluran pernapasan bagian atas disertai pengeluaran sekret-sekret encer
dari hidung dan bersin-bersin. Gejala-gejala ini biasanya akan berlangsung selama
beberapa hari dan disertai demam dari 38,5 0C hingga 390C, akan tetapi bisa juga
tidak disertai demam, bahkan pasien bisa mengalami hipotermi. Pasien mengalami
penurunan nafsu makan, kemudian ditemukan kesukaran pernafasan yang akan
berkembang perlahan-lahan dan ditandai dengan timbulnya batuk-batuk, bersin
paroksimal, dispneu, dan iritabilitas. Pada kasus ringan gejala akan menghilang
dalam waktu 1-3 hari. Kadang-kadang, pada penderita yang terserang lebih berat,
gejala-gejala dapat berkembang hanya dalam beberapa jam serta perjalaan
penyakitnya akan berlangsung berkepanjangan. Keluhan muntah-muntah dan
diare biasanya tidak didapatkan pada pasien bronkiolitis.
Kebanyakan bayi-bayi dengan penyakit tersebut, mempunyai riwayat
keberadaan mereka diasuh oleh orang dewasa yang menderita penyakit saluran
pernafasan ringan pada minggu sebelum awitan tersebut terjadi pada mereka.
Disamping itu, kita juga harus menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang
dapat menyebabkan wheezing.
Pemeriksaan fisik memperlihatkan seorang bayi mengalami distres nafas
dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit (takipneu), kadang-kadang
29
disertai sianosis, dan nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung,
penggunaan otot pembantu pernafasan yang mengakibatkan terjadinya retraksi
pada daerah interkostal dan daerah sub kostal. Retraksi biasanya tidak dalam
karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat
ekspirasi yang memanjang, wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa
stetoskop, serta terdapat crackles.
Hepar dan lien akan teraba beberapa sentimeter dibawah tepi batas bawah
tulang costae. Keadaan ini terjadi akibat pendorongan diafragma kebawah karena
tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Suara riak-riak halus yang tersebar luas juga
dapat terdengar pada bagian akhir inspirasi. Fase ekspirasi pernafasan akan
memanjang dan suara-suara pernapasan juga bisa hampir tidak terdengar jika
sudah berada dalam kasus yang berat.
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiration
Distress Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distress napas berdasarkan
2 variabel yaitu wheezing dan retraksi. (Lihat hal. 18)
SKOR
0
WHEEZING
Ekspirasi
Inspirasi
Lokasi
(-)
(-)
(-)
Akhir
3/4
Sebagian
Semua
2 dari 4 lapang
3 dari 4 lapang
paru
paru
Ringan
Sedang
RETRAKSI
Supraklavikula
(-)
Berat
(-)
Ringan
Sedang
r
Intrakostal
(-)
Ringan
Sedang
Subkostal
Skor total
Tabel 1 : Respiratory Distress Assessment Instrument (Dikutip dari Klassen 1991)
*Skor yang lebih tinggi mengindikasikan distress pernapasan yang lebih berat
31
Berat
Berat
XI.
Pemeriksaan Penunjang1,2
Pulse Oxymetri
Harus dilakukan pada setiap anak yang dating ke RS. Jika didapatkan
saturasi oksigen 92 % maka anak membutuhkan rawat inap. Jika
saturasi 94% maka anak dapat dipertimbangkan untuk rawat jalan.
Jika saturasi berada diantara 92-94% maka perlu melihat gejala klinis
Therapy.
Foto Thorax
Foto thorax dipertimbangkan pada bayi dengan diagnosis meragukan.
Rontgen thoraks AP dan lateral dapat terlihat gambaran hiperinflasi
paru dengan diameter anteroposterior membesar pada foto lateral
disertai dengan diafragma datar, penonjolan ruang retrosternal dan
penonjolan ruang interkostal. Dapat terlihat bercak konsolidasi yang
tersebar pada sekitar 30 % penderita dan disebabkan oleh ateletaksis
penderita
bronkiolotis
tipikal.
Pemeriksaan
bakteriologi
32
XII.
Tatalaksana
Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif yaitu
pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena, dan
kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen
minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi.1,2
Antivirus
Penggunaan antiviral dalam kasus bronkiolitis tidak direkomendasikan
berdasarkan hasil dari tiga buah penelitian randomized controlled trial
yang tidak memiliki bukti yang cukup kuat yang menjadikan ribavirin
disimpulkan
pemberian
Beta
agonis
tidak
33
Nebulized Ephinephrine
Dari multicenter randomized controlled trial dengan kualitas tinggi,
tidak didapatkan adanya pengaruh klinis maupun terhadap lamanya
penggunaan
34
kelelahan
Apnea berulang
Kriteria Pemulangan Pasien1
Dapat mempertahankan saturasi oksigen > 94% dalam waktu 812 jam setelah terapi oksigen dihentikan
Dapat mempertahankan intake oral yang adekuat ( >75% dari
intake biasanya)
Klinis perbaikan
XIII.
Pencegahan5,11
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap
rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya
dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker,
isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian
35
attentuated
RSV
dan
PIV3
Prognosis
Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penanganan, dan
penyakit latar belakang (penyakit jantung, defisiensi imun, prematuritas).
36
Komplikasi
Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari
penatalaksanaan penyakit sebelumnya.
37
BAB III
KESIMPULAN
Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernapasan bayi yang lazim, akibat
dari obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Penyakit ini terjadi selama
umur 2 tahun pertama, dengan insiden puncak pada sekitar umur 6 bulan.
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV) dan
sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B,
Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. Diagnosis dapat ditegakkan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
Secara umum tatalaksana bronkiolitis yang dianjurkan adalah pemberian
oksigenasi; dapat diberikan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse
oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi mekanik.
Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan cairan
parenteral).Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi.
Untuk pemberian beta 2 agonis, kortikosteroid dan antivirus masih
diperdebatkan keuntungannya secara klinis, namun pemberian antibiotic dapat
digunakan jika terjadi co-infeksi dengan bakteri lain.
38
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Scottish International Guideline Network. Bronchiolitis in children.
November 2006. Available at http://www.sign.ac.uk/pdf/sign91.pdf
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. 2009.
Available at http://www.idai.or.id/downloads/PPM/Buku-PPM.pdf
3. Supriyato, Bambang. Sari Pediatri : Infeksi Saluran Napas Bawah Akut
pada Anak. September 2006. Sari Pediatri (8) : pg 100-106
4. American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline : The
Diagnosis, Management, and Prevention of Bronchiolitis. Available at
http://pediatrics.aappublications.org/content/early/2014/10/21/peds.201
4-2742
5. Orenstein DM, Bronchiolitic. In Nelson WE, Editor Nelson, Textbook
of Pediatric, 15th edition, Philadelphia, 1996, hal : 1484-1485
6. Mayo Foundation staff , Bronchiolitis, [serial online] Okt 2006
Available
at
http://www.mayoclinic.com/health/bronchiolitis/DS00
481/DSECTION=9.htm
7. Zorc JJ, Hall CB, Bronchiolitis: recent evidence on diagnosis and
management. Paediatrics 2010; 125; 342-49.
8. Setiawati Landia, MS Makmuri. Tatalaksana Bronkiolitis (Treatment
Bronchiolitis). Dalam Continuing Education, Ilmu Kesehatan Anak
XXXV, Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak IV, Hot Topics in
Pediatrics; FK UNAIR, Surabaya : 2005.
9. Carroll KN, et.all. increasing burden and risk factor for bronchiolitis.
Related medical visits in infants enrolled in a state health care
insurance plan. Pediatrics 2008; 122; 58-64.
10. DeNicola
CL.
Bronchiolitis.
2010
Available
at
http://emedicine.medscape.com/article/961963-overview
11. Rahajoe Nastiti N, Bambang Supriyatno, Darmawan Budi Setyanto.
Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI. 2008. Hal : 333-347.
12. Sherwood Lauralee, 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem,
Jakarta:EGC
13. Seeley, Stephens, Tate. Anatomy and Physiology,Sixth Edition. The
McGrawHill Companies. 2006. Available at server.fkunram.edu
/anatomy fisiologi.
39
40