Oleh :
Nur Rosyidah
B17014068
Joko Widhodho
B17014069
Mutia Utaminingtyas
B17014070
Nindy Prastica
B17014071
Rombongan : III
Kelompok
:4
Asisten
: Latifah Ambarwati
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terung (Solanum melongena) merupakan salah satu bahan sayur tropis yang
digemari oleh masyarakat Indonesia. Terung ini dikonsumsi sebagai bahan olahan
maupun segar. Terung dapat tumbuh dan berbuah sepanjang tahun. Harga terung yang
sangat terjangkau menyebabkan kebutuhan buah terung ini meningkat. Walaupun
sampai saat ini belum ada informasi yang jelas tentang angka kebutuhan terung
(Santoso et al., 2012).
Terung (Solanum melongena) merupakan salah satu tanaman sayuran yang tumbuh
pada iklim hangat. Terung mempunyai manfaat luas sebagai sumber vitamin dan
mineral, khususnya kandungan zat besi yang lebih baik jika dibandingkan dengan tomat.
Tanaman ini dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Produksi terung di Indonesia
tahun 2012 (518,448 ton) jauh lebih rendah jika dibandingkan produksi tomat (887,556
ton) dan kentang (1,068,800 ton). Berdasarkan data FAO tahun 2011, Indonesia
merupakan negara penghasil terung ke enam dunia setelah China, India, Iran, Mesir dan
Turki meski masih dalam jumlah yang jauh lebih kecil dari China (Kurniawati et al.,
2014).
Perhatian terhadap komoditas terung di Indonesia terutama dalam pemuliaan
tanaman masih sangat kurang. Oleh karena itu perbaikan tanaman terung perlu
dilakukan. Selain kandungan nutrisi, tanaman terung memiliki sifat ketahanan terhadap
kekeringan yang tinggi dibandingkan tanaman sayuran lainnya. Tanaman terung lebih
tahan terhadap kekeringan dan curah hujan yang tinggi jika dibandingkan dengan tomat,
tetapi pertumbuhannya akan terhambat pada kondisi suhu tinggi yang dapat
menyebabkan kekerdilan tanaman. Kekeringan merupakan faktor lingkungan utama
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan stabilitas produksi tanaman. Tanaman
dengan sifat toleransi yang baik terhadap berbagai cekaman abiotik dan salah satunya
adalah kekeringan menjadi topik yang menarik untuk dipelajari China (Kurniawati et
al., 2014).
Cekaman abiotik seperti kekeringan, kadar garam tinggi (salinitas), suhu tinggi
atau rendah, keasaman tanah, tercatat menurunkan hasil pertanian dunia hingga lebih
dari 50%. Berbagai cekaman tersebut mengakibatkan perubahan-perubahan. Perubahan
yang terjadi yaitu pada morfologi, fisiologi, dan biokimia, yang akhirnya akan
berpengaruh buruk pada pertumbuhan tanaman serta produktivitasnya. Kekeringan,
salinitas, temperatur ekstrim, dan cekaman oksidatif, seringkali saling berhubungan dan
menginduksi kerusakan yang sama pada sel. Cekaman garam atau salinitas merupakan
keberadaan garam pada media yang berlebihan (Ai & Banyo, 2011).
B. Tujuan
1. Memahami bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal (lingkungan).
2. Memahami bahwa kondisi lingkungan yang ekstrim (cekaman) merupakan kondisi
yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.
3. Menentukan besarnya kandungan garam dalam media tanam dimana tanaman
masih toleran untuk tumbuh.
4. Menjelaskan dampak cekaman garam tinggi terhadap perubahan-perubahan
fisiologi tanaman terung (Solanum melongena).
III.
MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat alat yang digunakan pada praktikum ini adalah magnetic stirrer, alumunium
foil, polybag, penggaris, spektrofotometer, timbangan analitik, oven, kamera, mortar,
pestle, gelas ukur, gelas beaker, pipet tetes, gelas erlenmeyer, gunting, rak tabung,
tabung reaksi, tissue, kertas koran, kertas label, alat tulis dan kertas HVS.
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah tanaman terung
(Solanum melongena), akuades, air, NaCl, dan aseton 80%.
B. Metode
1. Cara kerja
1.1 Prosedur umum
Benih yang digunakan dipilih, disemai, dan kemudian ditanam dalam polybag
ukuran 5 kg, sebanyak 5 tanaman/polybag. Komposisi tanaman terung dan tanah pada 1
polibag yaitu 2 kg. Pemupukan dan pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai standar.
1.2 Pemaparan NaCl
Pembuatan larutan garam. Untuk mini project ini digunakan garam dapur.
Garam dapur (NaCl) yang digunakan ditimbang dengan rumus:
M=
G 1000
x
Mr
V
Dimana :
M = molaritas garam yang diinginkan
G = berat garam yang harus ditimbang
Mr = berat molekul NaCl
V = volume larutan yang diinginkan
Larutan konsentrasi NaCl 0 mM, 25 mM, 50 mM, 75 mM, dan 100 mM dibuat
gram.
NaCl ditimbang sesuai berat yang didapatkan dari masing-masing konsentrasi,
kemudian masing-masing NaCl dilarutkan ke dalam air aquades sebanyak 1000
kg/polibag.
1.3 Pengamatan parameter fisiologi
1.3.1 Pengukuran luas daun
Pengukuran dilakukan oleh mahasiswa, alat ukur, dan cara pengukuran yang
AC
2
B cm
Dimana :
A = luas kertas bujur sangkar (cm2)
B = berat kertas bujur sangkar (gram)
C = berat pola sampel daun (gram)
1.3.2
basah dan berat kering tanaman diakhir penelitian, dan dinyatakan dalam gram.
Pengukuran berat basah dan berat kering dilakukan dengan cara pemisahan akar,
batang, dan daun. Pengukuran ini dilakukan sebagai berikut :
klorofil
dengan
menggunakan
spektrofotometer
1.3.5
1.3.6
pemaparan.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 4.1.1 Tabel Analisis Tinggi Tanaman
Perlakuan
0 mM
25 mM
50 mM
75 mM
100 mM
1
8
4,6
4,2
0,9
1,9
2
13,5
14,3
8,3
9,2
5,8
3
10,9
14,8
9,3
5,2
10,8
4
11,7
12,4
7,2
10,7
8,1
5
38,1
22,6
26,9
17,8
20,6
Db
JK
KT
4
20
24
6,0776
12,516
18,5936
1,5194
0,6258
0,774733
ns
Ftabel
0.05
0.01
2,87
4,43
Ftabel
0.05
0.01
2,87 4,43
Fhitung
2,427932
Db
4
20
24
JK
KT
Fhitung
10,3336
26,548
36,8816
2,5834
1,3274
1,536733
1,946211 ns
Db
JK
4
20
24
9,564
46,336
55,9
KT
Fhitung
2,391
2,3168
2,329167
1,032027 ns
Ftabel
0.05
0.01
2,87 4,43
Db
4
20
24
JK
KT
62,3896
4,1176
100,4004
15,5974
0,20588
4,18335
Fhitung
75,75967 *
Ftabel
0.05
0.01
2,87 4,43
rataan
0
2,34
25
2,48
50
1,44
75
2,14
100
1,62
0
25
50
75
100
2,34
2,48
1,44
2,14
1,62
0
0,14
0,9
0,2
0,72
NS
NS
NS
NS
NS
0
1,04
0,34
0,86
NS
NS
NS
NS
0
0,7
0,18
NS
NS
NS
0
0,52
NS
NS
NS
Db
Perlakuan
Galat
Total
JK
4
20
24
KT
142,06
50,396
635,04
Ftabel
0.05
0.01
2,87 4,43
Fhitung
35,515
2,5198
26,46
14,09437 *
rataan
7,62
4,52
5,38
3,56
4,12
0
7,62
0
3,1
2,24
4,06
3,5
25
4,52
NS
NS
NS
NS
NS
0
0,86
0,96
0,4
50
5,38
NS
NS
NS
NS
0
1,82
1,26
75
3,56
NS
NS
NS
0
0,56
100
4,12
NS
NS
NS
Db
4
20
24
JK
1856,288
10310,41
12166,7
KT
464,0719
515,5204
506,9457
F hitung
0,900201 ns
Ftabel
0,05 0,01
2,87 4,43
Db
JK
4
20
24
1,44
1,134
4,066
KT
Fhitung
0,36
0,0567
0,169417
6,349206 *
Ftabel
0.05
0.01
2,87 4,43
Rataan
4,066
0
4,066
0 NS
25
1,44
50
1,134
75
1,392
100
0,776
25
50
75
100
1,44
1,134
1,392
0,776
1,44
1,134
1,392
0,776
**
**
**
**
0
0,306
0,048
0,664
ns
*
ns
**
0 ns
0,258 ns
0,358 **
0 ns
0 ns
0 ns
Db
JK
KT
4
20
24
13,17
7,114
18,41
3,2925
0,3557
0,767083
Ftabel
0.05
0.01
2,87
4,43
Fhitung
9,256396
50
1,4228
75
2,888
0 NS
1,4652 NS
1,0512 NS
0 NS
0,414 NS
rataan
0
25
50
75
100
4,6025
2,634
1,4228
2,888
2,474
0
4,6025
0
1,9685
3,1797
1,7145
2,1285
25
2,634
NS
NS
*
NS
*
0
1,2112
0,254
0,16
NS
NS
NS
NS
100
2,474
0 NS
45
40
35
30
0 mM
25
25 mM
20
50 mM
15
100 mM
75 mM
10
5
0
1
140
120
100
0
80
25
50
60
75
100
40
20
0
1
Grafik 4.1.2
Luas Daun
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0
25
50
75
KONSENTRASI
100
20
15
10
KANDUNGAN KLOROFIL
5
0
KONSENTRASI
B. Pembahasan
Setiap tanaman memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan
dan perkembangannya. Kondisi lingkungan tempat tanaman berada selalu mengalami
perubahan. Perubahan yang terjadi mungkin saja masih berada dalam batas toleransi
tanaman tersebut, tetapi seringkali tanaman mengalami perubahan lingkungan yang
dapat menyebabkan menurunnya produktivitas dan bahkan kematian tanaman. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap tanaman memiliki faktor pembatas dan daya toleransi
penutupan pori-pori tanah yang memperburuk pertukaran gas, serta dispersi material
koloid tanah. Selain pengaruh tersebut diatas, kandungan Na+ yang tinggi dalam air
tanah akan menyebabkan kerusakan struktur tanah. pH tanah menjadi lebih tinggi
karena kompleks serapan dipenuhi oleh ion Na+. Salinitas akan mempengaruhi sifat fisik
dan kimia tanah, yaitu tekanan osmotik yang meningkat, peningkatan potensi ionisasi,
infiltrasi tanah yang menjadi buruk, kerusakan dan terganggunya struktur tanah,
permeabilitas tanah yang buruk, dan penurunan konduktivitas (Ashraf, 1994).
Salinitas atau konsentrasi garam-garam terlarut yang cukup tinggi akan
menimbulkan stress dan memberikan tekanan terhadap pertumbuhan tanaman. Menurut
Basri (1991), salinitas dapat berpengaruh menghambat pertumbuhan tanaman dengan
dua cara, yaitu merusak sel-sel yang sedang tumbuh sehingga pertumbuhan tanaman
terganggu dan membatasi jumlah suplai hasil-hasil metabolisme esensial bagi
pertumbuhan sel melalui pembentukan tilosis. Salinitas menekan proses pertumbuhan
tanaman dengan efek yang menghambat pembesaran dan pembelahan sel, produksi
protein serta penambahan biomassa tanaman. Tanaman yang mengalami stress garam
umumnya tidak menunjukkan respon dalam bentuk kerusakan langsung tetapi
pertumbuhan yang tertekan dan perubahan secara perlahan. Gejala pertumbuhan
tanaman pada tanah dengan tingkat salinitas yang cukup tinggi adalah pertumbuhan
yang tidak normal seperti daun mengering di bagian ujung dan gejala khlorosis. Gejala
ini timbul karena konsentrasi garam terlarut yang tinggi menyebabkan menurunnya
potensial larutan tanah sehingga tanaman kekurangan air. Pertumbuhan sel tanaman
pada tanah salin memperlihatkan struktur yang tidak normal. Penyimpangan yang
terjadi meliputi kehilangan integritas membran, kerusakan lamella, kekacauan organel
sel, dan akumulasi kalsium oksalat dalam sitoplasma, vakuola, dinding sel dan ruang
antar sel. Kerusakan struktur ini akan mengganggu transportasi air dan mineral hara
dalam jaringan tanaman (Basri, 1991).
Cekaman abiotik seperti kekeringan, salinitas, temperatur dapat menghambat
pertumbuhan dan perkembangan, mengurangi produktivitas, dan kematian tanaman.
Respon stress tanaman yang dinamik dan melibatkan pengaturan yang berbedapa dalam
menyesuaikan metabolisme dana ekspresi gen untuk adaptasi fisologi dan morfologi.
Respon terhadap stress lingkungan terjadi pada semua tingkatan organisme. Respon
seluler pada stress melibatkan sistem masuk membran, modifikasi bentuk dinding sel,
dan perubahan siklus sel dan pembelahan sel. Tanaman mengubah metabolisme dengan
berbagai cara termasuk memproduksi zat terlarut yang kompartibel seperti proline,
rafinosa, dan glisin betain. Zat-zat tersebut dapat menstabilkan protein dan struktur
seluler dalam mempertahankan turgor sel oleh penyesuaian osmotik, dan metabolisme
redok untuk menghilangkan kelebihan ROS dan menyusun kembali keseimbangan
redok seluler (Krasensky & Jonak, 2012).
Mekanisme toleransi tanaman terhadap garam dapat dilihat dalam dua bentuk
adaptasi, yaitu dengan mekanisme morfologi dan mekanisme fisiologi.
1.
Mekanisme Morfologi
Bentuk adaptasi morfologi dan anatomi dapat ditemukan pada halofita yang
mengalami evolusi melalui seleksi alami pada kawasan pantai dan rawa-rawa asin.
Salinitas menyebabkan perubahan struktur yang memperbaiki keseimbangan air
tanaman sehingga potensial air dalam tanaman dapat mempertahankan turgor serta
seluruh proses biokimia untuk pertumbuhan dan aktivitas yang normal. Perubahan
struktur mencakup ukuran daun yang lebih kecil, stomata yang lebih kecil per satuan
luas daun, peningkatan sukulensi, penebalan kutikula dan lapisan lilin pada permukaan
daun, serta lignifikansi akar yang lebih awal (Harjadi & Yahya, 1988).
Ukuran daun yang lebih kecil sangat penting untuk mempertahankan turgor.
Sedangkan lignifikansi akar diperlukan untuk penyesuaian osmosis yang sangat penting
untuk memelihara turgor yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dan aktivitas
normal. Respon perubahan struktural dapat beragam pada berbagai jenis tanaman dan
tipe salinitas. Salinitas klorida umumnya menambah sukulensi pada banyak spesies
tanaman dengan meningkatnya konsentrasi SO4. Melalui adaptasi struktural ini
konduksi air akan berkurang dan mungkin akan menurunkan kehilangan air pada
transpirasi. Namun pertumbuhan akar yang terekspos pada lingkungan salin biasanya
kurang terpengaruh dibandingkan dengan pertumbuhan tajuk atau buah. Hal ini diduga
terjadi akibat perbaikan keseimbangan dengan mempertahankan kemampuan menyerap
air (Maas & Nieman, 1978).
2.
Mekanisme Fisiologi
Bentuk adaptasi dengan mekanisme fisiologi terdapat dalam beberapa bentuk,
sintetis zat-zat terlarut organik di dalam sel. Dua cara ini dapat bekerja secara
bersamaan walaupun mekanisme yang lebih dominan dapat beragam di antara
berbagai spesies tanaman (Maas & Nieman, 1978).
Osmoregulasi pada kebanyakan tanaman melibatkan sintetis dan
akumulasi zat terlarut organik yang cukup untuk menurunkan potensial
osmotik sel dan meningkatkan tekanan turgor yang diperlukan bagi
pertumbuhan. Senyawa-senyawa organik berbobot molekul rendah yang
sepadan dengan aktivitas metabolik dalam sitoplasma seperti asam-asam
organik, asam-asam amino dan senyawa gula nampaknya disintesis sebagai
respon langsung terhadap menurunnya potensial air eksternal. Senyawasenyawa tersebut juga melindungi enzim-enzim terhadap penghambatan atau
penonaktifan pada aktivitas air internal yang rendah. Osmotika organik yang
utama dalam tanaman glikofita tingkat tinggi ternyata asam-asam organik dan
senyawa-senyawa
gula. Asam
malat
paling
sering
menyeimbangkan
tanaman V, sedangkan pada tanaman I, tanaman II, dan tanaman III menunjukkan tanda
tidak signifikan karena Fhit < Ftab yang berarti perlakuan tidak berhasil membuat tanaman
terung (Solanum melongena) tercekam, atau terpapar stress. Indikator keberhasilan
(signifikan) jika tanaman tomat terkena cekaman (stress), bisa kita lihat dari nilai Fhit >
Ftab pada tabel Anova. Perbedaan yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor
internal maupun eksternal. Faktor internal berasal dari umur tanaman tersebut yang akan
mempengaruhi sifat genetiknya. Gen-gen yang menyandi hormon pertumbuhan bisa
saja berbeda konsentrasinya pada setiap tanaman, sedangkan faktor eksternalnya dapat
dipengaruhi oleh lingkungan, seperti cuaca dengan curah hujan tinggi selama perlakuan
yang dapat mencuci garam yang telah dipaparkan. Data pengamatan yang digunakan
merupakan ulangan dari perlakuan kelompok yang diulang terhadap tanaman terung
(Solanum melongena), hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya human error
karena perlakuan terhadap setiap tanaman pasti berbeda walaupun konsentrasi yang
dipaparkan sama, yaitu 0 mM, 25 mM, 50 mM, 75 mM, dan 100 mM.
Penghitungan luas daun menggunakan metode gravimetri dilakukan setiap dua
minggu sekali sehingga didapatkan tiga luas daun. Daun yang diambil yaitu daun kedua
dari pucuk, karena daun tersebut baru mengalami perkembangan sempurna. Hasil
perlakuan luas daun menunjukkan data yang tidak signifikan pada tabel Anova, yaitu
pemberian cekaman garam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap luas daun.
Menurut Kusmiyati et al. (2009), konsentrasi NaCl yang tinggi akan menyebabkan
stress osmotik yang akan menghambat serapan air dan unsur hara. Hal ini
mengakibatkan proses biokimia sel terganggu dan terjadi kekurangan unsur hara
sehingga sintesis klorofil terhambat. Kadar klorofil yang rendah akan menurunkan laju
fotosintesis sehingga digunakan jalur pentosa fosfat. Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian mini project pemberian stress garam NaCl pada tanaman terung dengan
parameter kandungan klorofil. Pemberian cekaman garam NaCl pada konsentrasi
kontrol sampai dengan konsentrasi 100 mM memberikan pengaruh yang nyata terhadap
kandungan klorofil, dibuktikan dengan data pada tabel Anova kandungan klorofil yang
menunjukkan hasil yang signifikan.
Klorofil merupakan butir-butir hijau yang terdapat dalam kloroplas. Terdapat dua
macam klorofil yakni klorofil a dan klorofil b dengan rumus kimia masing-masing
C55H72O5N4Mg dan C55H70O6N4Mg. Klorofil a berwarna hijau tua sedangkan klorofil b
berwarna hijau muda (Dwidjoseputro, 1980). Menurut Kimball (1992), perbedaan
struktur kimia pada klorofil a dan klorofil b terletak pada gugus yang terikat pada cincin
Penghitungan
kandungan
klorofil
dilakukan
dengan
terlebih
dahulu
mengekstrak klorofil pada daun dan dilarutkan dengan aseton lalu dihitung kandungan
klorofilnya menggunakan alat spektrofotometer dengan panjang gelombang 470 nm,
646 nm, dan 663 nm.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan klorofil dalam tanaman menurut
Dwidjoseputro (1980) yaitu :
1
Faktor genetik. Pembentukan klorofil dibawa oleh suatu gen tertentu didalam
kromosom. Jika gen ini tidak ada maka akan terjadi albino.
Cahaya. Faktor cahaya pada jenis tanaman tertentu tidak begitu penting, misalnya
pada tanaman angiospermae.
Nitrogen, magnesium dan besi (N, Mg, dan Fe). Bahan-bahan pembentuk klorofil
ini harus ada dalam tumbuhan, kekurangan salah satu zat-zat tersebut
mengakibatkan klorosis.
basah atau biomassa yaitu berat seluruh bagian tanaman termasuk akar, batang, dan
daun yang sebelumnya telah dibersihkan dari sisa-sisa tanah. Berat kering merupakan
berat yang diperoleh dari hasil pengeringan berat basah menggunakan oven selama
sehari. Rasio yang terjadi antara berat kering dan berat basah setelah dilakukan
pemberian cekaman stress garam NaCl menunjukkan hasil yang signifikan. Menurut
Purbajanti et al. (2011), populasi tanaman berpengaruh terhadap hasil karbohidrat.
Proses fotosintesis populasi yang rapat berarti jumlah tanaman yang berfotosintesis
semakin banyak. Hal ini akan menghasilkan jumlah karbohidrat yang lebih banyak.
Sebagai akibatnya konsentrasi bahan kering (BK) tanaman juga lebih banyak. Hasil
karbohidrat berbanding lurus dengan konsentrasi BK, jika konsentrasi BK meningkat
maka hasil hijauan dan hasil bahan kering juga meningkat. Peningkatan hasil
berbanding lurus dengan pertumbuhan relatif dan hasil bersih fotosintesis. Hasil
biomassa meningkat dengan meningkatnya populasi.
Akar adalah satu-satunya organ yang langsung terkena kelebihan garam dalam
kondisi stress garam, dan pada waktu yang sama akar memiliki fungsi penting untuk
mengambil zat terlarut yang diperlukan dari tanah. Oleh karena itu, sangat penting
bagaimana mekanisme akar menghindari masuknya garam berlebih. Zat terlarut setelah
diambil oleh akar-akar dari permukaannya, bergerak melintasi akar dengan arah radial
dan masuk ke xilem, di mana mereka diangkut ke bagian-bagian tanaman lainnya. Ada
tiga jalur yang berpotensi untuk gerakan radial zat terlarut, yaitu apoplas, simplas dan
jalur transelular. Komponen jalur transelular mungkin diabaikan karena permeabilitas
membran yang rendah terhadap sebagian besar zat terlarut. Hambatan transportasi
apoplas dalam akar hadir dalam endodermis dan eksodermis. Endodermis akar dari
semua
tanaman
vaskular
dan
eksoodermis
akar
dari
banyak
angiosperma
mengembangkan pita casparian yang terletak pada dinding-dinding sel melintang dan
radial jaringan-jaringannya. Fungsi pita casparian adalah untuk menghindari pergerakan
radial apoplas non-selektif dari zat terlarut dalam stele (Perumalla & Peterson, 1986).
Mekanisme eksklusi garam bisa terjadi pada eksodermis atau di dalam endodermis
arah radial, dan dari sana garam diangkut radial melalui jalur simplas, karena aliran zat
terlarut melalui apoplas ditangkap di lokasi pita caspary. Akhirnya zat terlarut secara
selektif diangkut melalui membran plasma ke simplas (Horie et al., 2012). Berdasarkan
pengamatan yang telah dilakukan oleh kelompok 4, didapatkan titik eksklusi garam
pada permukaan daun. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi-konsentrasi yang
dipaparkan tidak dapat ditoleran oleh tanaman terung untuk pertumbuhannya, sehingga
kristal-kristal garam yang terlarut tidak sampai direkresikan melalui permukaan daun.
Stres garam dan stress air memiliki hubungan yang langsung. Jumlah garam yang
tinggi pada media akan menurukan potensial osmotik sehingga tanaman kesulitan
menyerap air hingga yang menyebabkannya mengalami kekeringan fisiologis. Kesulitan
tanaman dalam mengambil air dari media, juga menyebabkan pengambilan beberapa
pengambilan unsur hara yang berada dalam bentuk yang terlarut dalam air yang
terhambat. Keberadaan salah satu unsur mineral dalam jumlah berlebih pada tanah akan
menyebabkan gangguan terhadap ketersediaan serta penyerapan unsur mineral yang lain
(Cicek & Cakirlar, 2002).
DAFTAR REFERENSI
Ai, N.S. & Banyo, Y. 2011. Konsentrasi Klorofil Daun sebagai Indikator
Kekurangan
Air pada Tanaman. Jurnal Ilmiah Sains, 11(2), pp.166-173.
Ashraf, M. 1994. Organic Substances Responsible for Salt Tolerance in Eruca sativa.
Biologia Plantarum, 36(2), pp.255-259.
Basri, H., 1991. Pengaruh Stress Garam terhadap Pertumbuhan dan Produksi Empat
Varietas Kedelai. Thesis Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Campbell, A.N., Jane B.R., Lisa A.U., Michael L.C., Steven A.W., Peter V.M., & Robert
B. J. 2008. Biology Second Edition. Erlangga, Jakarta.
Cicek, N. & H. Cakirlar. 2002. The Effect of Salinity on some physiological Parameters
in two maize cultivars. Bulg. J. Plant Physiol, 28(2), pp.66-74.
Demir, B., Mavi, K., Ozcoban, M. & Okcu, G. 2003. Effect of Salt Stress on
Germination And Seedling Growth in Serially Harvested Aubergine (Solanum
melongena L.) Seeds During Development. Israel Journal of Plant Sciences,
51(2), pp.125-131.
Dharmawan, A. 2005. Ekologi Hewan. UM Press, Malang.
Dwidjoseputro, D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gamedia, Jakarta.
Fallah, A.F. 2006. Perspektif Pertanian dalam Lingkungan yang Terkontrol. Inovasi,
6(17), pp. 1-6.
Harjadi, S.S. & Yahya, S. 1988. Fisiologi Stres Tanaman. PAU IPB, Bogor.
Horie, T., Karahara, I. & Katsuhara, M. 2012. Salinity tolerance mechanisms in
glycophytes: An overview with the central focus on rice plants. A Springer Open
Journal, 5(11): 1-18.
Kimball, J.W. 1992. Biologi Umum. Erlangga, Jakarta.
Krasensky, J. & Jonak, C. 2012. Drought, Salt, and Temperature Stress-Induced
Metabolic Rearrangements and Regulatory Networks. Journal of Experimental
Botany, pp.1-16.
Kurniawati, S., Khumaida, N., Ardie, S.W., Hartati, N.S. & Sudarnowati, E. 2014. Pola
Akumulasi Prolin dan Poliamin Beberapa Aksesi Tanaman Terung
pada Cekaman Kekeringan. J. Agron. Indonesia, 42(2), pp.136141.
Kusmiyati, F., Purbajanti, E. D., & Kristanto, B. A. 2009. Karakter fisiologis,
pertumbuhan dan produksi legum pakan pada kondisi salin. Seminar Nasional
Kebangkitan Peternakan Semarang, pp.302-309.
Maas, E. V. & Nieman, R. H. 1978. Physiology of plant tolerance to salinity. - In: crop
tolerance to suboptimal land conditions. ASA Special Publication, 5(32), pp.277299.
Mesrcuriani, I.S. 2006. Isolasi Gen-Gen pada Tanaman yang Ekspresinya
Diinduksi oleh Cekaman Lingkungan. Seminar Nasional FMIPA
UNY, pp.56-70.