Anda di halaman 1dari 30

RESPON FISIOLOGI TANAMAN TERUNG (Solanum melongena)

TERHADAP STRES GARAM

Oleh :
Nur Rosyidah
B17014068
Joko Widhodho
B17014069
Mutia Utaminingtyas
B17014070
Nindy Prastica
B17014071
Rombongan : III
Kelompok
:4
Asisten
: Latifah Ambarwati

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN I

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terung (Solanum melongena) merupakan salah satu bahan sayur tropis yang
digemari oleh masyarakat Indonesia. Terung ini dikonsumsi sebagai bahan olahan
maupun segar. Terung dapat tumbuh dan berbuah sepanjang tahun. Harga terung yang
sangat terjangkau menyebabkan kebutuhan buah terung ini meningkat. Walaupun
sampai saat ini belum ada informasi yang jelas tentang angka kebutuhan terung
(Santoso et al., 2012).
Terung (Solanum melongena) merupakan salah satu tanaman sayuran yang tumbuh
pada iklim hangat. Terung mempunyai manfaat luas sebagai sumber vitamin dan
mineral, khususnya kandungan zat besi yang lebih baik jika dibandingkan dengan tomat.
Tanaman ini dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Produksi terung di Indonesia
tahun 2012 (518,448 ton) jauh lebih rendah jika dibandingkan produksi tomat (887,556
ton) dan kentang (1,068,800 ton). Berdasarkan data FAO tahun 2011, Indonesia
merupakan negara penghasil terung ke enam dunia setelah China, India, Iran, Mesir dan
Turki meski masih dalam jumlah yang jauh lebih kecil dari China (Kurniawati et al.,
2014).
Perhatian terhadap komoditas terung di Indonesia terutama dalam pemuliaan
tanaman masih sangat kurang. Oleh karena itu perbaikan tanaman terung perlu
dilakukan. Selain kandungan nutrisi, tanaman terung memiliki sifat ketahanan terhadap
kekeringan yang tinggi dibandingkan tanaman sayuran lainnya. Tanaman terung lebih
tahan terhadap kekeringan dan curah hujan yang tinggi jika dibandingkan dengan tomat,
tetapi pertumbuhannya akan terhambat pada kondisi suhu tinggi yang dapat
menyebabkan kekerdilan tanaman. Kekeringan merupakan faktor lingkungan utama
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan stabilitas produksi tanaman. Tanaman
dengan sifat toleransi yang baik terhadap berbagai cekaman abiotik dan salah satunya
adalah kekeringan menjadi topik yang menarik untuk dipelajari China (Kurniawati et
al., 2014).
Cekaman abiotik seperti kekeringan, kadar garam tinggi (salinitas), suhu tinggi
atau rendah, keasaman tanah, tercatat menurunkan hasil pertanian dunia hingga lebih
dari 50%. Berbagai cekaman tersebut mengakibatkan perubahan-perubahan. Perubahan
yang terjadi yaitu pada morfologi, fisiologi, dan biokimia, yang akhirnya akan
berpengaruh buruk pada pertumbuhan tanaman serta produktivitasnya. Kekeringan,
salinitas, temperatur ekstrim, dan cekaman oksidatif, seringkali saling berhubungan dan
menginduksi kerusakan yang sama pada sel. Cekaman garam atau salinitas merupakan

istilah untuk menyatakan

bahwa tanaman mengalami kelebihan garam akibat

keberadaan garam pada media yang berlebihan (Ai & Banyo, 2011).
B. Tujuan
1. Memahami bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal (lingkungan).
2. Memahami bahwa kondisi lingkungan yang ekstrim (cekaman) merupakan kondisi
yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.
3. Menentukan besarnya kandungan garam dalam media tanam dimana tanaman
masih toleran untuk tumbuh.
4. Menjelaskan dampak cekaman garam tinggi terhadap perubahan-perubahan
fisiologi tanaman terung (Solanum melongena).

II. TELAAH PUSTAKA


Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor
genetik dan hormon yang terkandung dalam tubuh tanaman dapat menciptakan suatu
sifat tertentu yang bisa menguntungkan atau justru merugikan. Setiap jenis organisme
juga mempunyai kisaran toleransi yang berbeda terhadap faktor-faktor lingkungan.
Prinsip tersebut dinyatakan sebagai Hukum Toleransi Shelford yang berbunyi Setiap
organisme mempunyai suatu keadaan ekologis minimum dan maksimum yang
merupakan batas bawah dan batas atas dari kisaran toleransi organisme itu terhadap
faktor lingkungannya. Kondisi yang melebihi batas kisaran toleransi tersebut akan
mengakibatkan makhluk hidup mengalami stress fisiologis. Apabila kondisi stres ini
terus berlangsung dalam waktu yang lama dan telah mencapai batas toleransi
kelulushidupan, maka organisme tersebut akan mati (Dharmawan, 2005).
Stres dapat diartikan sebagai keadaan yang dapat merusak kesetimbangan suatu
sistem. Stres (cekaman) biasanya didefinisikan sebagai faktor luar yang tidak
menguntungkan yang berpengaruh buruk terhadap tanaman (Fallah, 2006). Campbell et
al. (2008), mendefinisikan cekaman sebagai kondisi lingkungan yang dapat memberi
pengaruh buruk pada pertumbuhan, reproduksi, dan kelangsungan hidup tumbuhan.
Pertumbuhan tanaman gangguan kesetimbangan dapat berasal dari faktor lingkungan
tumbuh atau berasal dari sifat tanamannya. Berdasarkan faktor lingkungan tumbuh
diperoleh klasifikasi derajat toleransi tumbuh tanaman. Tanaman dikatakan toleran, bila
tanaman tersebut dapat tumbuh. Keadaan sub-optimal, tanaman sebenarnya sudah
menderita stres, tetapi stres yang dapat balik yaitu stres yang dapat diatasi oleh tanaman
tersebut. Bila tanaman tidak bisa mengatasi, gejala stres biasanya dicirikan oleh
kerusakan sel permanen, maka stres yang dialami tanaman dikatakan sebagai stres yang
tidak dapat balik.
Menurut Mercuriani (2006), cekaman lingkungan (stres) pada tanaman dapat
didefinisikan sebagai faktor eksternal yang berpengaruh buruk (tidak menguntungkan)
pada tanaman. Faktor cekaman lingkungan dibedakan menjadi dua yaitu,
a. Cekaman biotik, terdiri dari : hewan pengganggu/pemakan tanaman, mikroba
patogen, dan gulma (tanaman pengganggu).
b. Cekaman abiotik diantaranya adalah kakeringan, salinitas, kemasaman, logam
berat, dan suhu lingkungan yang ekstrim.

Cekaman pada tanaman biasanya diukur dalam hubungannya dengan pertumbuhan


(akumulasi biomasa) atau dengan proses-proses asimilasi primer (seperti: penyerapan
CO2 dan mineral) yang berpengaruh terhadap seluruh pertumbuhan. Kondisi lingkungan
yang berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan suatu tanaman belum tentu juga
berpengaruh buruk terhadap tanaman yang lain. Kemampuan tanaman menghadapi
kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhannya inilah yang
disebut sebagai resistensi/toleransi tanaman (Mercuriani, 2006).
Salinitas adalah sebuah proses di mana garam yang terlarut dalam air terakumulasi
dalam tanah sehingga dapat menghalangi pertumbuhan tanaman dengan cara
menghalangi kemampuan tanaman untuk menyerap air. Salinitas didefinisikan sebagai
adanya garam terlarut dalam konsentrasi yang berlebihan dalam larutan tanah. Satuan
pengukuran salinitas adalah konduktivitas elektrik yang dilambangkan dengan
decisiemens/m pada suhu 250C. Pengaruh utama salinitas adalah berkurangnya
pertumbuhan daun yang langsung mengakibatkan berkurangnya fotosintesis tanaman.
Kondisi salin, menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhambat
karena akumulasi berlebihan Na dan Cl dalam sitoplasma, menyebabkan perubahan
metabolisme di dalam sel. Aktivitas enzim terhambat oleh garam. Kondisi tersebut juga
mengakibatkan dehidrasi parsial sel dan hilangnya turgor sel karena berkurangnya
potensial air di dalam sel. Berlebihnya Na dan Cl ekstraselular juga mempengaruhi
asimilasi nitrogen karena tampaknya langsung menghambat penyerapan nitrat (NO 3)
yang merupakan ion penting untuk pertumbuhan tanaman (Fallah, 2006).
Stres garam terjadi dengan terdapatnya salinitas atau konsentrasi garam-garam
terlarut yang berlebihan dalam tanaman pada tanah salin. Stress garam meningkat
dengan meningkatnya konsentrasi garam hingga tingkat konsentrasi tertentu yang dapat
mengakibatkan kematian tanaman. Garam-garam yang menimbulkan stress tanaman
antara lain NaCl, NaSO4, CaCl2, MgSO4, dan MgCl2 yang terlarut dalam air (Sipayung,
2006). Stress akibat kelebihan Na+ dapat mempengaruhi beberapa proses fisiologi dari
mulai perkecambahan sampai pertumbuhan tanaman (Fallah, 2006).
Perubahan iklim global dikhawatirkan dapat mempercepat pendegradasian tanah di
lahan pertanian seluruh dunia. Tanah salin adalah salah satu degradasi tanah yang
serius, yang dapat timbul akibat sebab-sebab alam maupun dimediai oleh aktivitas
manusia, seperti irigasi di daerah kering dan semi-kering. Istilah salinitas mewakili
semua masalah tanah dalam mengakumulasi garam yang berlebihan (Horie et al., 2012).

Spesies-spesies tanaman yang hanya mentoleransi konsentrasi garam rendah


termasuk dalam kelompok tanaman glicophyta, dan spesies-spesies tanaman yang
mentoleransi konsentrasi garam tinggi termasuk kelompok tanaman halophyta. Terung
merupakan salah satu jenis tanaman yang tidak tahan salinitas tinggi (glicophyta).
Cekaman salinitas secara signifikan mengurangi pertumbuhan dan produktivitas dari
glicophyta, yang merupakan mayoritas produk pertanian. Ketahanan terhadap salinitas
adalah kemampuan untuk mempertahankan pertumbuhan dan metabolisme pada
lingkungan yang kaya akan NaCl (Munns et al., 1995). Ketahanan tersebut ditentukan
oleh beberapa faktor struktural dan fisiologis yang berbeda namun sangat berkaitan
membentuk sebuah pengaruh yang sangat kompleks. Hasil penelitian sebelumnya
tentang stres garam pada familia Solanaceae yaitu dampak cekaman garam dengan
pemaparan konsentrasi 0 mM sampai 50 mM tidak berpengaruh nyata terhadap
perubahan-perubahan fisiologi tanaman tomat (Solanum lycopersicum) (Robinson et al.,
1997).

III.
MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat alat yang digunakan pada praktikum ini adalah magnetic stirrer, alumunium
foil, polybag, penggaris, spektrofotometer, timbangan analitik, oven, kamera, mortar,
pestle, gelas ukur, gelas beaker, pipet tetes, gelas erlenmeyer, gunting, rak tabung,
tabung reaksi, tissue, kertas koran, kertas label, alat tulis dan kertas HVS.
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah tanaman terung
(Solanum melongena), akuades, air, NaCl, dan aseton 80%.
B. Metode
1. Cara kerja
1.1 Prosedur umum
Benih yang digunakan dipilih, disemai, dan kemudian ditanam dalam polybag
ukuran 5 kg, sebanyak 5 tanaman/polybag. Komposisi tanaman terung dan tanah pada 1
polibag yaitu 2 kg. Pemupukan dan pemeliharaan tanaman dilakukan sesuai standar.
1.2 Pemaparan NaCl
Pembuatan larutan garam. Untuk mini project ini digunakan garam dapur.
Garam dapur (NaCl) yang digunakan ditimbang dengan rumus:
M=

G 1000
x
Mr
V

Dimana :
M = molaritas garam yang diinginkan
G = berat garam yang harus ditimbang
Mr = berat molekul NaCl
V = volume larutan yang diinginkan

Larutan konsentrasi NaCl 0 mM, 25 mM, 50 mM, 75 mM, dan 100 mM dibuat

yang digunakan sebagai perlakuan stres garam.


Berat dari setiap konsentrasi dicari dengan rumus molaritas, berat konsentrasi
dari NaCl 0 mM, 25 mM, 50 mM, 75 mM, dan 100 mM yang didapatkan secara
berturut-turut yaitu, 0 gram, 1,4625 gram, 2,925 gram, 4,3875 gram, dan 5,85

gram.
NaCl ditimbang sesuai berat yang didapatkan dari masing-masing konsentrasi,
kemudian masing-masing NaCl dilarutkan ke dalam air aquades sebanyak 1000

ml dan diaduk hingga homogen.


Larutan NaCl dengan konsentrasi 0 mM, 25 mM, 50 mM, 75 mM, dan 100 mM
didapatkan, kemudian dituang ke dalam jeligen.

Tanaman terung yang sudah berumur 14 minggu kemudian diberi perlakuan

NaCl dengan konsentrasi berbeda-beda selama 8 minggu.


Larutan diberikan apabila berat tanaman kurang dari 2 kg, dengan ketentuan
tanaman disiram dan ditimbang setiap 3 hari sekali dan berat tanaman harus 2

kg/polibag.
1.3 Pengamatan parameter fisiologi
1.3.1 Pengukuran luas daun
Pengukuran dilakukan oleh mahasiswa, alat ukur, dan cara pengukuran yang

sama, dan dilakukan setiap dua minggu.


Data luas daun diperoleh dengan cara mengukur luas daun kedua (fully
expanded leaf), dan dinyatakan dalam cm2.
Pengukuran luas daun dilakukan dengan metode gravimetri.
a) Dengan menggunakan kertas HVS 70 gram, dibuat kotak bujursangkar
berukuran 20 x 20 cm; dengan demikian luas kertas tersebut adalah 100
cm2 (A).
b) Kertas bujursangkar (a) ditimbang dengan timbangan analitik, misalnya
terukur X gram (B).
c) Dibuat pola daun ke-2 tanaman sampel. Kertas bujursangkar dipotong
sesuai pola yang dibuat, untuk kemudian ditimbang dengan timbangan
analitik, misalnya terukur Y gram (C)

Luas daun ke-2 dihitung dengan rumus :


Luas daun

AC
2
B cm

Dimana :
A = luas kertas bujur sangkar (cm2)
B = berat kertas bujur sangkar (gram)
C = berat pola sampel daun (gram)
1.3.2

Pengukuran tinggi tanaman


Pengukuran dilakukan oleh mahasiswa, alat ukur, dan cara pengukuran yang

sama, dan dilakukan setiap minggu.


Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan cara mengukur tinggi tanaman

mulai dari pangkal batang sampai titik tumbuh apikal tanaman.


1.3.3 Pengukuran berat basah dan berat kering
Data berat basah dan berat kering tanaman diperoleh dengan menimbang berat

basah dan berat kering tanaman diakhir penelitian, dan dinyatakan dalam gram.
Pengukuran berat basah dan berat kering dilakukan dengan cara pemisahan akar,
batang, dan daun. Pengukuran ini dilakukan sebagai berikut :

Memisahkan media dari akar tanaman, dilakukan dengan cara menyobek


polybag, membuang media tanaman dengan air, diusahakan akar tidak ikut
terbuang.
Memotong/memisahkan bagian akar, batang, dan daun tanaman.
Menimbang masing-masing bagian tanaman (berat basah).
Mengeringkan masing-masing bagian akar dan batang dengan cara
mengoven sampai dengan diperoleh berat yang konstan (berat kering).
Menghitung ratio berat basah dan berat kering masing-masing akar,
1.3.4

batang, dan daun


Pengukuran kandungan

klorofil

dengan

menggunakan

spektrofotometer

(Lichtenthaler & Welburn (1983); Porra (2002)), dilakukan dengan cara :


Penimbangan kandungan klorofil dillakukan pada minggu ke tujuh.
Memotong daun segar dengan ukuran 1 x 1 cm (1 cm 2) dan dilumatkan dalam

mortal dengan pelarut aseton 100% sampai semua pigmen terlarut.


Dengan menggunakan spektrofotometer, baca absorbansi filtrat pada panjang

1.3.5

gelombang 470 nm, 646 nm, dan 663 nm.


Kandungan klorofil dapat ditentukan dengan menggunakan formulasi :
Chlorophyll a (g/ml) = 12.21 (A663) - 2.81 (A646)
Chlorophyll b (g/ml) = 20.13 (A646) - 5.03 (A663)
Total chlorophyll (g/ml) = 17.3 (A646) 7.18 (A663)
Dimana : A470, A646, dan A663 adalah absorbansi pada panjang
gelombang 470, 646, dan 663 nm.
Penentuan titik eksklusi garam dilakukan dengan mengamati kemunculan kristal

1.3.6

garam pada permukaan daun dan dinyatakan setelah hari paparan.


Pengamatan dilakukan setiap minggu dan dinyatakan dalam hari setelah

pemaparan.

IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 4.1.1 Tabel Analisis Tinggi Tanaman
Perlakuan
0 mM
25 mM
50 mM
75 mM
100 mM

1
8
4,6
4,2
0,9
1,9

2
13,5
14,3
8,3
9,2
5,8

3
10,9
14,8
9,3
5,2
10,8

4
11,7
12,4
7,2
10,7
8,1

5
38,1
22,6
26,9
17,8
20,6

Tabel 4.1.2 Tabel ANOVA Tinggi Tanaman I


SUMBER
KERAGAMAN
Perlakuan
Galat
Total

Db

JK

KT

4
20
24

6,0776
12,516
18,5936

1,5194
0,6258
0,774733

ns

Ftabel
0.05
0.01
2,87
4,43

Ftabel
0.05
0.01
2,87 4,43

Fhitung
2,427932

Tabel 4.1.3 Tabel ANOVA Tinggi Tanaman II


SUMBER
KERAGAMAN
Perlakuan
Galat
Total

Db
4
20
24

JK

KT

Fhitung

10,3336
26,548
36,8816

2,5834
1,3274
1,536733

1,946211 ns

Tabel 4.1.4 Tabel ANOVA Tinggi Tanaman III


SUMBER
KERAGAMAN
Perlakuan
Galat
Total

Db

JK
4
20
24

9,564
46,336
55,9

KT

Fhitung

2,391
2,3168
2,329167

1,032027 ns

Ftabel
0.05
0.01
2,87 4,43

Tabel 4.1.5 Tabel ANOVA Tinggi Tanaman IV


SUMBER
KERAGAMAN
Perlakuan
Galat
Total

Db
4
20
24

JK

KT

62,3896
4,1176
100,4004

15,5974
0,20588
4,18335

Fhitung
75,75967 *

Ftabel
0.05
0.01
2,87 4,43

Tabel 4.1.6 Tabel BNJ Tinggi Tanaman IV


Perlakuan

rataan

0
2,34

25
2,48

50
1,44

75
2,14

100
1,62

0
25
50
75
100

2,34
2,48
1,44
2,14
1,62

0
0,14
0,9
0,2
0,72

NS
NS
NS
NS
NS

0
1,04
0,34
0,86

NS
NS
NS
NS

0
0,7
0,18

NS
NS
NS

0
0,52

NS
NS

NS

Tabel 4.1.7 Tabel ANOVA Tinggi Tanaman V


SUMBER
KERAGAMAN

Db

Perlakuan
Galat
Total

JK
4
20
24

KT

142,06
50,396
635,04

Ftabel
0.05
0.01
2,87 4,43

Fhitung

35,515
2,5198
26,46

14,09437 *

Tabel 4.1.8 Tabel BNJ Tinggi Tanaman V


Perlakuan
0
25
50
75
100

rataan
7,62
4,52
5,38
3,56
4,12

0
7,62
0
3,1
2,24
4,06
3,5

25
4,52
NS
NS
NS
NS
NS

0
0,86
0,96
0,4

50
5,38
NS
NS
NS
NS

0
1,82
1,26

75
3,56

NS
NS
NS

0
0,56

100
4,12

NS
NS

NS

Tabel 4.1.9 Tabel ANOVA Luas Daun


SUMBER
KERAGAMAN
Perlakuan
Galat
Total

Db
4
20
24

JK
1856,288
10310,41
12166,7

KT
464,0719
515,5204
506,9457

F hitung
0,900201 ns

Ftabel
0,05 0,01
2,87 4,43

Tabel 4.1.10 Tabel ANOVA Berat Basah-Berat Kering


SUMBER
KERAGAMAN
Perlakuan
Galat
Total

Db

JK
4
20
24

1,44
1,134
4,066

KT

Fhitung

0,36
0,0567
0,169417

6,349206 *

Ftabel
0.05
0.01
2,87 4,43

Tabel 4.1.11 Tabel BNJ Berat Basah-Berat Kering


Perlakuan

Rataan

4,066

0
4,066
0 NS

25
1,44

50
1,134

75
1,392

100
0,776

25
50
75
100

1,44
1,134
1,392
0,776

1,44
1,134
1,392
0,776

**
**
**
**

0
0,306
0,048
0,664

ns
*
ns
**

0 ns
0,258 ns
0,358 **

0 ns
0 ns

0 ns

Tabel 4.1.10 Tabel ANOVA Kandungan Klorofil


SUMBER
KERAGAMAN
Perlakuan
Galat
Total

Db

JK

KT

4
20
24

13,17
7,114
18,41

3,2925
0,3557
0,767083

Ftabel
0.05
0.01
2,87
4,43

Fhitung
9,256396

50
1,4228

75
2,888

0 NS
1,4652 NS
1,0512 NS

0 NS
0,414 NS

Tabel 4.1.11 Tabel BNJ Kandungan Klorofil


Perlakuan

rataan

0
25
50
75
100

4,6025
2,634
1,4228
2,888
2,474

0
4,6025
0
1,9685
3,1797
1,7145
2,1285

25
2,634
NS
NS
*
NS
*

0
1,2112
0,254
0,16

NS
NS
NS
NS

100
2,474

0 NS

45
40
35
30

0 mM

25

25 mM

20

50 mM

15

100 mM

75 mM

10
5
0
1

Grafik 4.1.1 Tinggi Tanaman

140
120
100
0

80

25
50

60

75
100

40
20
0
1

Grafik 4.1.2
Luas Daun
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0

25

50

75

KONSENTRASI

Grafik 4.1.3 Berat Basah-Berat Kering

100

20
15
10
KANDUNGAN KLOROFIL
5
0
KONSENTRASI

Grafik 4.1.4 Kandungan Klorofil

Gambar 4.1.1 Pengukuran Tinggi Tanaman Minggu ke-0

Gambar 4.1.2 Pengukuran Tinggi Tanaman Minggu ke-1

Gambar 4.1.3 Pengukuran Tinggi Tanaman Minggu ke-2

Gambar 4.1.4 Pengukuran Tinggi Tanaman Minggu ke-3

Gambar 4.1.5 Pengukuran Tinggi Tanaman Minggu ke-4

Gambar 4.1.6 Pengamatan Kandungan Klorofil

Gambar 4.1.7 Pengamatan Berat Basah Tanaman

Gambar 4.1.8 Pengamatan Berat Kering Tanaman

B. Pembahasan
Setiap tanaman memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan
dan perkembangannya. Kondisi lingkungan tempat tanaman berada selalu mengalami
perubahan. Perubahan yang terjadi mungkin saja masih berada dalam batas toleransi
tanaman tersebut, tetapi seringkali tanaman mengalami perubahan lingkungan yang
dapat menyebabkan menurunnya produktivitas dan bahkan kematian tanaman. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap tanaman memiliki faktor pembatas dan daya toleransi

terhadap lingkungan. Cekaman (stress) lingkungan adalah kondisi lingkungan yang


memberikan tekanan pada tanaman dan mengakibatkan respons tanaman terhadap faktor
lingkungan tertentu lebih rendah daripada respon optimumnya pada kondisi normal.
Kondisi lingkungan yang memungkinkan tanaman untuk memberikan respons
maksimum terhadap suatu faktor lingkungan bukan merupakan cekaman bagi tanaman.
Cekaman lingkungan dapat berupa faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal
meliputi kondisi lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan dan perkembangan
bagian tanaman seperti kekurangan dan kelebihan unsur hara, kekurangan dan kelebihan
air, suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Sedangkan faktor internal adalah gen
individu tersebut (Ai & Banyo, 2011).
Stress (cekaman) biasanya didefinisikan sebagai faktor luar yang tidak
menguntungkan yang berpengaruh buruk terhadap tanaman (Fallah, 2006). Menurut
Campbell et al. (2008), cekaman merupakan kondisi lingkungan yang dapat memberi
pengaruh buruk pada pertumbuhan, reproduksi, dan kelangsungan hidup tumbuhan.
Menurut Harjadi & Yahya (1988), kerusakan yang timbul akibat stress dapat
dikelompokkan dalam 3 jenis, yaitu kerusakan stress langsung primer, kerusakan stress
tak langsung primer, dan kerusakan stress sekunder (dapat terjadi juga stress tersier).
Stres garam atau salinitas merupakan kendala besar pada lingkungan pertanian
irigasi di daerah kering, semi kering, dan pesisir. Toleransi stres salinitas merupakan
fenomena perkembangan yang diatur dalam banyak tanaman. Toleransi pada satu tahap
perkembangan mungkin tidak berkorelasi dengan toleransi di lain. Namun, paparan
pertama dari tanaman terhadap cekaman salinitas terjadi pada perkecambahan, yang
merupakan tahap kritis tanaman untuk tumbuh normal di tanah salin. Terung adalah
tanaman subtropis dengan biji yang rentan terhadap stres salinitas selama
perkecambahan dan pertumbuhan bibit (Demir et al., 2003).
Garam-garam atau Na+ akan mempengaruhi sifat-sifat tanah jika terdapat dalam
keadaan yang berlebihan dalam tanah, sedangkan kekurangan unsur Na + dan Cl- dapat
menekan pertumbuhan dan mengurangi produksi. Peningkatan konsentrasi garam
terlarut di dalam tanah akan meningkatkan tekanan osmotik sehingga menghambat
penyerapan air dan unsur-unsur hara yang berlangsung melalui proses osmosis. Jumlah
air yang masuk ke dalam akar akan berkurang sehingga mengakibatkan menipisnya
jumlah persediaan air dalam tanaman. Selama proses fisiologi pada tanaman, Cldiperlukan pada reaksi fotosintetik yang berkaitan dengan produksi oksigen. Sementara
penyerapan Na+ oleh partikel-partikel tanah akan mengakibatkan pembengkakan dan

penutupan pori-pori tanah yang memperburuk pertukaran gas, serta dispersi material
koloid tanah. Selain pengaruh tersebut diatas, kandungan Na+ yang tinggi dalam air
tanah akan menyebabkan kerusakan struktur tanah. pH tanah menjadi lebih tinggi
karena kompleks serapan dipenuhi oleh ion Na+. Salinitas akan mempengaruhi sifat fisik
dan kimia tanah, yaitu tekanan osmotik yang meningkat, peningkatan potensi ionisasi,
infiltrasi tanah yang menjadi buruk, kerusakan dan terganggunya struktur tanah,
permeabilitas tanah yang buruk, dan penurunan konduktivitas (Ashraf, 1994).
Salinitas atau konsentrasi garam-garam terlarut yang cukup tinggi akan
menimbulkan stress dan memberikan tekanan terhadap pertumbuhan tanaman. Menurut
Basri (1991), salinitas dapat berpengaruh menghambat pertumbuhan tanaman dengan
dua cara, yaitu merusak sel-sel yang sedang tumbuh sehingga pertumbuhan tanaman
terganggu dan membatasi jumlah suplai hasil-hasil metabolisme esensial bagi
pertumbuhan sel melalui pembentukan tilosis. Salinitas menekan proses pertumbuhan
tanaman dengan efek yang menghambat pembesaran dan pembelahan sel, produksi
protein serta penambahan biomassa tanaman. Tanaman yang mengalami stress garam
umumnya tidak menunjukkan respon dalam bentuk kerusakan langsung tetapi
pertumbuhan yang tertekan dan perubahan secara perlahan. Gejala pertumbuhan
tanaman pada tanah dengan tingkat salinitas yang cukup tinggi adalah pertumbuhan
yang tidak normal seperti daun mengering di bagian ujung dan gejala khlorosis. Gejala
ini timbul karena konsentrasi garam terlarut yang tinggi menyebabkan menurunnya
potensial larutan tanah sehingga tanaman kekurangan air. Pertumbuhan sel tanaman
pada tanah salin memperlihatkan struktur yang tidak normal. Penyimpangan yang
terjadi meliputi kehilangan integritas membran, kerusakan lamella, kekacauan organel
sel, dan akumulasi kalsium oksalat dalam sitoplasma, vakuola, dinding sel dan ruang
antar sel. Kerusakan struktur ini akan mengganggu transportasi air dan mineral hara
dalam jaringan tanaman (Basri, 1991).
Cekaman abiotik seperti kekeringan, salinitas, temperatur dapat menghambat
pertumbuhan dan perkembangan, mengurangi produktivitas, dan kematian tanaman.
Respon stress tanaman yang dinamik dan melibatkan pengaturan yang berbedapa dalam
menyesuaikan metabolisme dana ekspresi gen untuk adaptasi fisologi dan morfologi.
Respon terhadap stress lingkungan terjadi pada semua tingkatan organisme. Respon
seluler pada stress melibatkan sistem masuk membran, modifikasi bentuk dinding sel,
dan perubahan siklus sel dan pembelahan sel. Tanaman mengubah metabolisme dengan
berbagai cara termasuk memproduksi zat terlarut yang kompartibel seperti proline,

rafinosa, dan glisin betain. Zat-zat tersebut dapat menstabilkan protein dan struktur
seluler dalam mempertahankan turgor sel oleh penyesuaian osmotik, dan metabolisme
redok untuk menghilangkan kelebihan ROS dan menyusun kembali keseimbangan
redok seluler (Krasensky & Jonak, 2012).
Mekanisme toleransi tanaman terhadap garam dapat dilihat dalam dua bentuk
adaptasi, yaitu dengan mekanisme morfologi dan mekanisme fisiologi.
1.

Mekanisme Morfologi
Bentuk adaptasi morfologi dan anatomi dapat ditemukan pada halofita yang

mengalami evolusi melalui seleksi alami pada kawasan pantai dan rawa-rawa asin.
Salinitas menyebabkan perubahan struktur yang memperbaiki keseimbangan air
tanaman sehingga potensial air dalam tanaman dapat mempertahankan turgor serta
seluruh proses biokimia untuk pertumbuhan dan aktivitas yang normal. Perubahan
struktur mencakup ukuran daun yang lebih kecil, stomata yang lebih kecil per satuan
luas daun, peningkatan sukulensi, penebalan kutikula dan lapisan lilin pada permukaan
daun, serta lignifikansi akar yang lebih awal (Harjadi & Yahya, 1988).
Ukuran daun yang lebih kecil sangat penting untuk mempertahankan turgor.
Sedangkan lignifikansi akar diperlukan untuk penyesuaian osmosis yang sangat penting
untuk memelihara turgor yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dan aktivitas
normal. Respon perubahan struktural dapat beragam pada berbagai jenis tanaman dan
tipe salinitas. Salinitas klorida umumnya menambah sukulensi pada banyak spesies
tanaman dengan meningkatnya konsentrasi SO4. Melalui adaptasi struktural ini
konduksi air akan berkurang dan mungkin akan menurunkan kehilangan air pada
transpirasi. Namun pertumbuhan akar yang terekspos pada lingkungan salin biasanya
kurang terpengaruh dibandingkan dengan pertumbuhan tajuk atau buah. Hal ini diduga
terjadi akibat perbaikan keseimbangan dengan mempertahankan kemampuan menyerap
air (Maas & Nieman, 1978).
2.

Mekanisme Fisiologi
Bentuk adaptasi dengan mekanisme fisiologi terdapat dalam beberapa bentuk,

antara lain sebagai berikut :


c. Osmoregulasi (pengaturan potensial osmosis)
Tanaman yang toleran terhadap salinitas dapat melakukan penyesuaian
dengan menurunkan potensial osmosis tanpa kehilangan turgor. Laju
penyesuaian ini relatif tergantung pada spesies tanaman. Penyesuaian
dilakukan dengan penyerapan ataupun dengan pengakumulasian ion-ion dan

sintetis zat-zat terlarut organik di dalam sel. Dua cara ini dapat bekerja secara
bersamaan walaupun mekanisme yang lebih dominan dapat beragam di antara
berbagai spesies tanaman (Maas & Nieman, 1978).
Osmoregulasi pada kebanyakan tanaman melibatkan sintetis dan
akumulasi zat terlarut organik yang cukup untuk menurunkan potensial
osmotik sel dan meningkatkan tekanan turgor yang diperlukan bagi
pertumbuhan. Senyawa-senyawa organik berbobot molekul rendah yang
sepadan dengan aktivitas metabolik dalam sitoplasma seperti asam-asam
organik, asam-asam amino dan senyawa gula nampaknya disintesis sebagai
respon langsung terhadap menurunnya potensial air eksternal. Senyawasenyawa tersebut juga melindungi enzim-enzim terhadap penghambatan atau
penonaktifan pada aktivitas air internal yang rendah. Osmotika organik yang
utama dalam tanaman glikofita tingkat tinggi ternyata asam-asam organik dan
senyawa-senyawa

gula. Asam

malat

paling

sering

menyeimbangkan

pengambilan kation yang lebih. Tanaman halofita memiliki asam organik


oksalat sebagai penyeimbang akibat kelebihan kation. Demikian juga pada
beberapa tanaman lainnya, akumulasi sukrosa yang berkontribusi terhadap
penyesuaian osmotika merupakan respon terhadap salinitas (Harjadi & Yahya,
1988).
d. Kompartementasi dan Sekresi Garam
Proses-proses metabolisme dari halofita biasanya dapat toleran terhadap
garam. Kemampuan mengatur konsentrasi garam dalam sitoplasma melalui
transpor membran dan kompartementasi merupakan aspek terpenting bagi
toleransi garam. Kondisi in vivo menjaga enzim terhadap penonaktifan oleh
garam dengan memompakan garam ke luar dari sitoplasma. Garam disimpan
dalam vakuola, diakumulasi dalam organel-organel atau diekskresi ke luar
tanaman. Banyak halofita dan beberapa glikofita telah mengembangkan
struktur yang disebut gland garam dari daun dan batang. Pendesakan ion-ion
beracun dalam vesikel untuk keperluan penyesuaian osmotik tanpa
menghambat metabolisme, membuat sel tanaman menjadi dapat toleran
terhadap jumlah garam yang lebih besar. Daun halofita dan glikofita berkayu
dalam beberapa hal merupakan bentuk kompartementasi yang dapat
digugurkan untuk mencegah translokasi garam ke dalam jaringan yang lebih
sehat. Penyesuaian osmotik dan keseimbangan garam dalam tanaman terus
menerus berubah responnya terhadap lingkungan, dan merupakan inang faktor-

faktor internal yang mencakup potensial air, pertumbuhan dan differensiasi,


metabolisme mineral dan hormon. Faktor-faktor yang mempengaruhi
mekanisme pengendali meliputi:
1) Penyerapan ion secara selektif oleh akar.
2) Transport ion-ion yang dibedakan ke tajuk.
3) Ekstrusi garam secara aktif dari akar dan struktur khusus tanaman.
4) Translokasi ion dan solute lainnya ke dalam berbagai organ dan
kompartemen-kompartemen sel (Harjadi & Yahya, 1988).
d. Integritas Membran
Sistem membran semi permeabel yang membungkus sel, organel dan
kompartemen-kompartemen adalah struktur yang paling penting untuk
mengatur kadar ion sel. Lapisan terluar membran sel atau plasmalema
memisahkan sitoplasma dan komponen-komponen metaboliknya dari larutan
tanah salin yang secara kimiawi tidak cocok. Membran semi permeabel
menghalangi difusi bebas dari garam ke dalam sel tanaman, sementara memberi
kesempatan untuk penyerapan aktif atas hara-hara esensial. Membran lainnya
mengatur transfer ion dan zat terlarut lainnya dari sitoplasma dan vakuola atau
organel-organel sel lainnya termasuk mikotondria, kloroplas dan sebagainya.
Plasmalema yang berhadapan langsung dengan tanah merupakan membran
yang secara lamgsung mendapat pengaruh-pengaruh salinitas. Oleh karena itu,
ketahanan relatif membran ini menjadi unsur penting lainnya dalam toleransi
garam (Harjadi & Yahya, 1988).
Berdasarkan mini project yang telah dilakukan oleh kelompok 4 selama kurang
lebih 8 minggu menggunakan tanaman terung (Solanum melongena), didapatkan hasil
pengamatan yang beragam dari masing-masing parameter fisiologi, yaitu tinggi
tanaman, luas daun, kandungan klorofil, rasio berat kering dan berat basah, serta jumlah
eksklusi garam. Data yang diperoleh merupakan data kolektif dari kelompok serta
gabungan dari beberapa kelompok lain.
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap seminggu sekali, sehingga didapatkan
sebanyak lima data pengamatan. Setiap pengukuran diolah dalam tabel Relative Growth
Rate (RGR) yang menggambarkan laju pertumbuhan tanaman terung (Solanum
melongena) dari berbagai macam konsentrasi pemaparan NaCl setiap minggunya. Tabel
RGR ini akan diujikan hasilnya pada tabel Anova (Analysist of Variant). Tabel ini akan
menunjukkan apakah pemaparan konsentrasi NaCl yang beragam setiap minggunya
berpengaruh pada pertumbuhan tanaman terung (Solanum melongena). Tabel Anova
RGR rombongan III menunjukkan tanda signifikan hanya pada tanaman IV dan

tanaman V, sedangkan pada tanaman I, tanaman II, dan tanaman III menunjukkan tanda
tidak signifikan karena Fhit < Ftab yang berarti perlakuan tidak berhasil membuat tanaman
terung (Solanum melongena) tercekam, atau terpapar stress. Indikator keberhasilan
(signifikan) jika tanaman tomat terkena cekaman (stress), bisa kita lihat dari nilai Fhit >
Ftab pada tabel Anova. Perbedaan yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor
internal maupun eksternal. Faktor internal berasal dari umur tanaman tersebut yang akan
mempengaruhi sifat genetiknya. Gen-gen yang menyandi hormon pertumbuhan bisa
saja berbeda konsentrasinya pada setiap tanaman, sedangkan faktor eksternalnya dapat
dipengaruhi oleh lingkungan, seperti cuaca dengan curah hujan tinggi selama perlakuan
yang dapat mencuci garam yang telah dipaparkan. Data pengamatan yang digunakan
merupakan ulangan dari perlakuan kelompok yang diulang terhadap tanaman terung
(Solanum melongena), hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya human error
karena perlakuan terhadap setiap tanaman pasti berbeda walaupun konsentrasi yang
dipaparkan sama, yaitu 0 mM, 25 mM, 50 mM, 75 mM, dan 100 mM.
Penghitungan luas daun menggunakan metode gravimetri dilakukan setiap dua
minggu sekali sehingga didapatkan tiga luas daun. Daun yang diambil yaitu daun kedua
dari pucuk, karena daun tersebut baru mengalami perkembangan sempurna. Hasil
perlakuan luas daun menunjukkan data yang tidak signifikan pada tabel Anova, yaitu
pemberian cekaman garam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap luas daun.
Menurut Kusmiyati et al. (2009), konsentrasi NaCl yang tinggi akan menyebabkan
stress osmotik yang akan menghambat serapan air dan unsur hara. Hal ini
mengakibatkan proses biokimia sel terganggu dan terjadi kekurangan unsur hara
sehingga sintesis klorofil terhambat. Kadar klorofil yang rendah akan menurunkan laju
fotosintesis sehingga digunakan jalur pentosa fosfat. Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian mini project pemberian stress garam NaCl pada tanaman terung dengan
parameter kandungan klorofil. Pemberian cekaman garam NaCl pada konsentrasi
kontrol sampai dengan konsentrasi 100 mM memberikan pengaruh yang nyata terhadap
kandungan klorofil, dibuktikan dengan data pada tabel Anova kandungan klorofil yang
menunjukkan hasil yang signifikan.
Klorofil merupakan butir-butir hijau yang terdapat dalam kloroplas. Terdapat dua
macam klorofil yakni klorofil a dan klorofil b dengan rumus kimia masing-masing
C55H72O5N4Mg dan C55H70O6N4Mg. Klorofil a berwarna hijau tua sedangkan klorofil b
berwarna hijau muda (Dwidjoseputro, 1980). Menurut Kimball (1992), perbedaan
struktur kimia pada klorofil a dan klorofil b terletak pada gugus yang terikat pada cincin

porfirin. Klorofil a mengandung gugus -CH 3 sedangkan klorofil b mengandung gugus


HC=O.

Penghitungan

kandungan

klorofil

dilakukan

dengan

terlebih

dahulu

mengekstrak klorofil pada daun dan dilarutkan dengan aseton lalu dihitung kandungan
klorofilnya menggunakan alat spektrofotometer dengan panjang gelombang 470 nm,
646 nm, dan 663 nm.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan klorofil dalam tanaman menurut
Dwidjoseputro (1980) yaitu :
1

Faktor genetik. Pembentukan klorofil dibawa oleh suatu gen tertentu didalam
kromosom. Jika gen ini tidak ada maka akan terjadi albino.

Cahaya. Faktor cahaya pada jenis tanaman tertentu tidak begitu penting, misalnya
pada tanaman angiospermae.

Oksigen. Oksigen bersama-sama dengan cahaya dapat mempengaruhi proses


pembentukan klorofil.

Karbohidrat. Terutama dalam bentuk gula membantu pembentukan klorofil dalam


daun-daun yang mengalami tumbuh dalam gelap (etiolasi).

Nitrogen, magnesium dan besi (N, Mg, dan Fe). Bahan-bahan pembentuk klorofil
ini harus ada dalam tumbuhan, kekurangan salah satu zat-zat tersebut
mengakibatkan klorosis.

Air (H2O). Kekurangan air mengakibatkan disintegrasi dari klorofil.

Temperatur. Kondisi terbaik pembentukan klorofil adalah pada suhu 260-300C.


Parameter fisiologi lainnya yang diamati adalah berat basah dan berat kering. Berat

basah atau biomassa yaitu berat seluruh bagian tanaman termasuk akar, batang, dan
daun yang sebelumnya telah dibersihkan dari sisa-sisa tanah. Berat kering merupakan
berat yang diperoleh dari hasil pengeringan berat basah menggunakan oven selama
sehari. Rasio yang terjadi antara berat kering dan berat basah setelah dilakukan
pemberian cekaman stress garam NaCl menunjukkan hasil yang signifikan. Menurut
Purbajanti et al. (2011), populasi tanaman berpengaruh terhadap hasil karbohidrat.
Proses fotosintesis populasi yang rapat berarti jumlah tanaman yang berfotosintesis
semakin banyak. Hal ini akan menghasilkan jumlah karbohidrat yang lebih banyak.
Sebagai akibatnya konsentrasi bahan kering (BK) tanaman juga lebih banyak. Hasil
karbohidrat berbanding lurus dengan konsentrasi BK, jika konsentrasi BK meningkat
maka hasil hijauan dan hasil bahan kering juga meningkat. Peningkatan hasil
berbanding lurus dengan pertumbuhan relatif dan hasil bersih fotosintesis. Hasil
biomassa meningkat dengan meningkatnya populasi.

Akar adalah satu-satunya organ yang langsung terkena kelebihan garam dalam
kondisi stress garam, dan pada waktu yang sama akar memiliki fungsi penting untuk
mengambil zat terlarut yang diperlukan dari tanah. Oleh karena itu, sangat penting
bagaimana mekanisme akar menghindari masuknya garam berlebih. Zat terlarut setelah
diambil oleh akar-akar dari permukaannya, bergerak melintasi akar dengan arah radial
dan masuk ke xilem, di mana mereka diangkut ke bagian-bagian tanaman lainnya. Ada
tiga jalur yang berpotensi untuk gerakan radial zat terlarut, yaitu apoplas, simplas dan
jalur transelular. Komponen jalur transelular mungkin diabaikan karena permeabilitas
membran yang rendah terhadap sebagian besar zat terlarut. Hambatan transportasi
apoplas dalam akar hadir dalam endodermis dan eksodermis. Endodermis akar dari
semua

tanaman

vaskular

dan

eksoodermis

akar

dari

banyak

angiosperma

mengembangkan pita casparian yang terletak pada dinding-dinding sel melintang dan
radial jaringan-jaringannya. Fungsi pita casparian adalah untuk menghindari pergerakan
radial apoplas non-selektif dari zat terlarut dalam stele (Perumalla & Peterson, 1986).
Mekanisme eksklusi garam bisa terjadi pada eksodermis atau di dalam endodermis
arah radial, dan dari sana garam diangkut radial melalui jalur simplas, karena aliran zat
terlarut melalui apoplas ditangkap di lokasi pita caspary. Akhirnya zat terlarut secara
selektif diangkut melalui membran plasma ke simplas (Horie et al., 2012). Berdasarkan
pengamatan yang telah dilakukan oleh kelompok 4, didapatkan titik eksklusi garam
pada permukaan daun. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi-konsentrasi yang
dipaparkan tidak dapat ditoleran oleh tanaman terung untuk pertumbuhannya, sehingga
kristal-kristal garam yang terlarut tidak sampai direkresikan melalui permukaan daun.
Stres garam dan stress air memiliki hubungan yang langsung. Jumlah garam yang
tinggi pada media akan menurukan potensial osmotik sehingga tanaman kesulitan
menyerap air hingga yang menyebabkannya mengalami kekeringan fisiologis. Kesulitan
tanaman dalam mengambil air dari media, juga menyebabkan pengambilan beberapa
pengambilan unsur hara yang berada dalam bentuk yang terlarut dalam air yang
terhambat. Keberadaan salah satu unsur mineral dalam jumlah berlebih pada tanah akan
menyebabkan gangguan terhadap ketersediaan serta penyerapan unsur mineral yang lain
(Cicek & Cakirlar, 2002).

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor internal (gen dan hormon) dan
eksternal (lingkungan).
2. Kondisi lingkungan yang ekstrim (cekaman) merupakan kondisi yang kurang
menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Cekaman lingkungan pada tumbuhan
dikelompokkan menjadi dua, yaitu cekaman biotik dan abiotik.
3. Kandungan garam yang dipaparkan dalam konsentrasi 0 mM sampai dengan 100
mM masih toleran untuk pertumbuhan tanaman terung.
4. Dampak cekaman garam dengan pemaparan konsentrasi 0 mM sampai 100 mM
tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan-perubahan fisiologi tanaman terung
(Solanum melongena).
B. Saran
Pemeliharaan tanaman terung yang digunakan sebagai mini project sebaiknya
dirawat dengan benar. Setiap penyiraman dan pengamatan sebaiknya harus selalu
didampingi oleh asisten masing-masing agar praktikan dapat memahami setiap
perlakuan mini project, baik secara teori maupun praktik yang nantinya diharapkan
dapat mengerjakan responsi, presentasi, dan ujian akhir Fisiologi Tumbuhan I dengan
baik.

DAFTAR REFERENSI
Ai, N.S. & Banyo, Y. 2011. Konsentrasi Klorofil Daun sebagai Indikator
Kekurangan
Air pada Tanaman. Jurnal Ilmiah Sains, 11(2), pp.166-173.
Ashraf, M. 1994. Organic Substances Responsible for Salt Tolerance in Eruca sativa.
Biologia Plantarum, 36(2), pp.255-259.
Basri, H., 1991. Pengaruh Stress Garam terhadap Pertumbuhan dan Produksi Empat
Varietas Kedelai. Thesis Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Campbell, A.N., Jane B.R., Lisa A.U., Michael L.C., Steven A.W., Peter V.M., & Robert
B. J. 2008. Biology Second Edition. Erlangga, Jakarta.
Cicek, N. & H. Cakirlar. 2002. The Effect of Salinity on some physiological Parameters
in two maize cultivars. Bulg. J. Plant Physiol, 28(2), pp.66-74.
Demir, B., Mavi, K., Ozcoban, M. & Okcu, G. 2003. Effect of Salt Stress on
Germination And Seedling Growth in Serially Harvested Aubergine (Solanum
melongena L.) Seeds During Development. Israel Journal of Plant Sciences,
51(2), pp.125-131.
Dharmawan, A. 2005. Ekologi Hewan. UM Press, Malang.
Dwidjoseputro, D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gamedia, Jakarta.
Fallah, A.F. 2006. Perspektif Pertanian dalam Lingkungan yang Terkontrol. Inovasi,
6(17), pp. 1-6.
Harjadi, S.S. & Yahya, S. 1988. Fisiologi Stres Tanaman. PAU IPB, Bogor.
Horie, T., Karahara, I. & Katsuhara, M. 2012. Salinity tolerance mechanisms in
glycophytes: An overview with the central focus on rice plants. A Springer Open
Journal, 5(11): 1-18.
Kimball, J.W. 1992. Biologi Umum. Erlangga, Jakarta.
Krasensky, J. & Jonak, C. 2012. Drought, Salt, and Temperature Stress-Induced
Metabolic Rearrangements and Regulatory Networks. Journal of Experimental
Botany, pp.1-16.
Kurniawati, S., Khumaida, N., Ardie, S.W., Hartati, N.S. & Sudarnowati, E. 2014. Pola
Akumulasi Prolin dan Poliamin Beberapa Aksesi Tanaman Terung
pada Cekaman Kekeringan. J. Agron. Indonesia, 42(2), pp.136141.
Kusmiyati, F., Purbajanti, E. D., & Kristanto, B. A. 2009. Karakter fisiologis,
pertumbuhan dan produksi legum pakan pada kondisi salin. Seminar Nasional
Kebangkitan Peternakan Semarang, pp.302-309.
Maas, E. V. & Nieman, R. H. 1978. Physiology of plant tolerance to salinity. - In: crop
tolerance to suboptimal land conditions. ASA Special Publication, 5(32), pp.277299.
Mesrcuriani, I.S. 2006. Isolasi Gen-Gen pada Tanaman yang Ekspresinya
Diinduksi oleh Cekaman Lingkungan. Seminar Nasional FMIPA
UNY, pp.56-70.

Munns, R., Schachtman, D. P. & Condon, A. G. 1995. The significance of a two-phase


growth response to salinity in wheat and barley. Australian Journal of Plant
Physiology, (22), pp.561-569.
Perumalla, C.J. & Peterson, C.A. 1986. Deposition of Casparian Bands and Suberin
Lamellae in The Exodermis and Endodermis of Young Corn and Onion Roots.
Can J Bot, 64:18731878.
Purbajanti, E.D., Soetrisno, R.D., Hanudin, E. & Budhi, S.P.S. 2011. Produksi, Kualitas,
dan Kecernaan In Vitro Tanaman Rumput Benggala (Panicum maximum) pada
Lahan Salin. Bulletin Peternakan, 35(1), pp.30-37.
Robinson, M.F., Very, A., Sanders, D. & Mansfield, T.A., 1997. How Can Stomata
Contribute to Salt Tolerance. Annals of Botany, 80(2), pp.387-393.
Santoso, A.M., Sulistiono, Ulfa M. & Widayati, N. 2012. Respon Solanum melongena
terhadap Paparan Nacl pada Fase Perkecambahan. Seminar nasional IX
Pendidikan Biologi FKIP UNS, pp.574-577.
Sipayung, Rosita. 2006. Cekaman Garam. http://library.usu.ac.id/download/fp/bdprosita2.pdf. Diakses pada 08 Desember 2015

Anda mungkin juga menyukai