Anda di halaman 1dari 15

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM

KEBIJAKAN IPTEK
PENGHAPUSAN RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (RSBI)
SEBAGAI BENTUK KEADILAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Oleh:

Kelompok VII
Nama

: Anggie Cindy Kurnia Aprilita (C1C014053)


Rozza Umami (C1C014020)
Dzul Hanif (C1C014086 )

Kelas

:F

Jurusan/Smt : Akuntansi/1

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSTAS JAMBI
TAHUN 2014

PENGHAPUSAN RSBI SEBAGAI BENTUK KEADILAN DALAM


DUNIA PENDIDIKAN
Sekolah ini digadang-gadang bakal menghasilkan anak bangsa yang memiliki
kemampuan bertarung di dunia internasional. Mengapa begitu?, karena di
sekolah ini para siswa dan gurunya diharuskan menggunakan bahasa asing
dalam pengantar kegiatan belajar dan mengajar khususnya bahasa inggris.
Selain itu, kurikulum yang dianut mengikuti kurikulum sekolah di luar negeri. Di
Indonesia, sekitar 1.397 sekolah menyandang predikat RSBI, yang terdiri dari
293 sekolah pada tingkat Sekolah Dasar (SD), 351 sekolah pada tingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP), 363 sekolah pada tingkat Sekolah Menengah Atas
(SMA) dan 390 sekolah pada tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Secara axiologi untuk apa diselenggarakannya SBI itu ? Visi Sekolah Bertaraf
Internasional adalah: Terwujudnya Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara
internasional. Visi ini mengisyaratkan secara tidak langsung gambaran tujuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh sekolah model SBI, yaitu mewujudkan insan Indonesia yang
cerdas dan kompetitif/memiliki daya saing secara internasional.
Sejak dilendingkan kebijakan SBI, pemerintah menuai pujian dan juga kritikan, baik itu
pujian bahwa kebijakan SBI merupakan langkah maju untuk memperbaiki kualitas
pendidikan Indonesia, maupun kritikan bahwa konsep ini tidak didahului dengan studi secara
mendalam.
Masalah RSBI menjadi buah bibir dalam dunia pendidikan setelah dikabulkannya uji materi
ICW yang didukung oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Ikatan Guru
Indonesia(IGI) dan Praktisi Pendidikan serta organisasi guru lainnya tentang Undang-Undang
No. 20 tahun 2003 Pasal 50 Ayat 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional berbunyi
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu
satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan bertaraf internasional.
Dikabulkannya permohonan tersebut oleh Mahkamah Konstitusi

pada tanggal 8

Januari 2013 didasari adanya kesenjangan antara RSBI dan non RSBI. Ada beberapa alasan
mengapa RSBI harus dihapuskan yakni sebagai berikut.

Pertama, cara pembelajaran di lembaga tersebut melanggar Konstitusi, yaitu


penggunaan bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar formal
dalam kegiatan belajar mengajar. Yang dilanggar adalah Pasal 36 dari UUD 1945, yang
berbunyi: Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia. Memang tidak ada Pasal atau ayat
konstitusi

kita yang secara eksplisit

menyebut bahwa bahasa nasional

kita, bahasa

Indonesia, harus pula dijadikan bahasa pengantar dalam pembelajaran di sekolah-sekolah


negeri. Namun

Pasal 31 Ayat 2

menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.


Wajar dan bahkan merupakan satu keniscayaan, bila pengajaran di sekolah-sekolah nasional
menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa pengantar resmi. Negara-negara merdeka
dimanapun di dunia ini, menggunakan bahasa nasional mereka sebagai bahasa pengantar.
Hal ini, untuk membuktikan self-respect, selaku Negara berdaulat dan bangsa yang
merdeka.
Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar juga berpotensi mengancam rasa
persatuan dan nasionalisme bangsa Indonesia. Hal ini bertentangan dengan sila ketiga yaitu
Persatuan Indonesia. Pilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan punya makna
yang mendalam dan pengertian yang sungguh sangat mendasar sebab bahasa merupakan
faktor utama dari kesatuan dan persatuan. Melalui bahasa terwujud apa yang kini disebut
identitas kultural dari

suatu komunitas sebab pada akhirnya manusia terbentuk lebih

banyak oleh bahasa ketimbang bahasa terbentuk oleh manusia. Dengan kata lain, keIndonesia-an bangsa Indonesia, selaku warga negara (citizen) pada akhirnya dibentuk oleh
bahasa Indonesia.
Selanjutnya, penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar

pembelajaran,

secara terang-terangan telah mengkhianati Sumpah Pemuda yang kita akui merupakan
tonggak sejarah kedua dari perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Sebagai kilas
balik untuk mengingatkan kembali bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928

pemuda-

pemudi terpelajar kita mengadakan sumpah berupa pilihan kesatuan wilayah (bertumpah
darah satu),

pilihan kesatuan politis (berbangsa satu)

dan pilihan kesatuan budaya

(menjunjung tinggi bahasa persatuan dengan khidmat dan penuh kebanggaan.


Bagi peserta didik, penggunakan bahasa inggris sebagai

bahasa pengantar

dalam

pembelajaran matematika, mereka dibebani oleh dua masalah pokok yang cukup pelik
hingga menekan psikis, menimbulkan masalah psikologis, yang sebenarnya tidak perlu.

Orang-orang Inggris dan Amerika maju bukan karena mereka berbahasa Inggris, tetapi
berhubung mereka menghayati nilai-nilai kemajuan zaman dan melalui jalur pendidikan
formal, membiasakan anak didik sedini mungkin menggali, mengenal, mempelajari,
menguasai, menghayati dan menerapkan nilai-nilai yang berguna. Dalam pembiasaan
kultural yang konstruktif ini, bangsa Inggris dan Amerika yang bangga pada kenasionalannya
masing-masing, sudah tentu menggunakan bahasa Inggris, bahasa nasional mereka, bahasa
sehari-hari mereka, sebagai media komunikasi. Namun tetap saja, yang membuat anak-anak
Inggris dan Amerika bisa maju, bukan karena penggunaan bahasa Inggris itu, tetapi
kemampuan menghayati dan menerapkan nilai-nilai kemajuan yang dibelajarkan tadi dalam
kehidupan sehari-hari.
Penggunaan bahasa pengantar pendidikan yang salah konsep. Dengan label
RRSBI, materi pelajaran harus diajarkan dalam bahasa Inggris, sementara di
seluruh dunia seperti Jepang, China, Korea justru menggunakan bahasa
nasionalnya, tetapi siswanya tetap berkualitas dunia.

Kalau ingin fasih dalam

berbahasa Inggris yang harus diperkuat itu bidang studi bahasa Inggris, bukan
bahasa asing itu dijadikan bahasa pengantar pendidikan.

Lalu, apakah sebenarnya

ukuran yang tepat dari keinternasionalan sistem

pendidikan nasional? Mengapa bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar? Mengapa tidak
bahasa Perancis atau bahasa Jerman? Padahal prestasi keilmuan dan teknologis dari
pembelajaran dikedua negeri Eropa Barat itu tidak lebih rendah daripada prestasi keilmuan
dan teknologis di negeri-negeri Anglo-Saxon. Jepang dan China yang kini mulai kita kagumi
kemajuan IPTEK-nya tidak menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar
pembelajaran di sekolah-sekolah mereka. Sungguh patut disesalkan mengapa Pemerintah
Nasional justru mempelopori penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar
pembelajaran di sekolah-sekolah yang didirikan dan dikelolanya. Kalau hal ini dilakukan
oleh lembaga pendidikan swasta, mungkin masih pantas dimaafkan. Jangan heran kalau di
negeri tercinta ini mulai menyusup persekolahan asing, yang tidak hanya dilakukan oleh
pihak swasta asing tetapi oleh pemerintah asing itu sendiri, walapun tidak secara terangterangan.
Di Negara Perancis untuk mendirikan lembaga pendidikan, jangankan orang asing,
swasta nasional saja tidak diizinkan mendirikan dan menyelenggarakan lembaga
pendidikan. Pendidikan adalah urusan monopolitis pemerintah. Sebab pendidikan nasional

di sana tidak hanya bertujuan membentuk manusia Perancis yang cerdas, tetapi bertujuan
sekaligus menempa anak Perancis menjadi citoyen, menjadi warga Negara yang handal,
yaitu yang kukuh berbudaya nasioanal (Perancis).

Kedua, RSBI menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi sehingga menimbulkan


diskriminasi dan komersialisasi pendidikan. Hal ini dinilai tidak sejalan dengan sila ke lima
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kenapa? RSBI telah menciptakan
diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan. Kastanisasi yang dilakukan oleh RSBI dan
SBI dengan sengaja menyiapkan dua jenis pokok warga negara. Kelompok pertama
dibuat cerdas begitu rupa hingga kelak bisa menjadi peserta aktif dalam proses pembangunan
nasional dengan segala imbalannya. Kelompok kedua disiapkan menjadi sekadar menjadi
penonton belaka dalam proses pembangunan nasional. Mengingat hal ini dilakukan oleh
sekolah-sekolah pemerintah, berarti pemerintah telah melanggar azas demokrasi pendidikan,
yang ukuran pelaksanaannya adalah kenaikan mutu pendidikan yang semakin tinggi untuk
jumlah anak didik yang semakin banyak dan dalam jumlah yang semakin banyak ini terdapat
anak-anak dari kalangan keluarga yang tidak mampu. Dengan kata lain, tidak dibenarkan
adanya komersialisasi pendidikan dijenjang pendidikan apapun.
.
Keempat, standar pendidikan negara maju yang dipakai sebagai pedoman
pembelajaran di RSBI dan SBI adalah standar kompetensi salah satu sekolah terakreditasi di
negara anggota OECD, yaitu Organisation for Economic Co-operation and Debelopment.
Apakah kita dianggap perlu menyiapkan anak-anak Indonesia untuk bisa diterima sebagai
pegawai di situ Padahal

untuk

Negara

maju

seperti

anggota

OECD,

lembaga

pendidikannya dipertahankan bersifat nasional, menggunakan bahasa nasional masingmasing sebagai bahasa pengantar pembelajaran pelajaran apa saja. Kalaupun mereka
berusaha memperbaiki atau meningkatkan mutu pendidikannya nasionalnya,

atas

pertimbangan apa pun, mereka berkonsultasi kepada UNESCO, yaitu lembaga PBB yang
bertugas

khusus

mengurus

dan

menangani masalah-masalah ilmu pengetahuan,

kebudayaan dan pendidikan dan kaitannya satu sama lain. Indonesia adalah anggota penuh
dari UNESCO, punya duta besar tersendiri di UNESCO, yang pada azasnya direkrut dari
para pejabat di jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mengapa kita tidak
menelaah saja publikasi dari lembaga dunia ini, yang dengan setia dan terbuka memuat
hasil-hasil seminar, symposium dan pendapat perorangan dari para ahli di bidang ilmu

pengetahuan, kebudayaan dan pendidikan? Untuk apa kita menjadi anggota lembaga
prestisius ini, dengan setia membayar iuran keanggotaan, kalau kita tidak berniat
memanfaatkan ide-ide cemerlang yang dipaparkan di lembaga ini?
Kelima, pendidikan sudah ditetapkan oleh Konstitusi dan konsensus nasional sebagai
salah satu jalur pemerataan peningkatan akal budi warga kita, jadi menerapkan azas egaliter
dalam pelaksanaan pendidikan. Sedangkan melalui aneka keistimewaan yang ditopang
oleh

aneka

jenis

penandaan

yang

sudah

mulai

dipertanyakan

effektivitas

penggunaannya, RSBI dan SBI dengan sengaja menimbulkan kekastaan dikalangan warga
yang justru mau dihapus oleh revolusi kemerdekaan nasional, bahkan telah dirintis ke arah
sana sejak sebelum kemerdekaan oleh beberapa tokoh pendiri NKRI: Willem Iskandar di
Tapanuli Selatan dengan sekolah guru perintisnya, Moh. Sjafei di Minangkabau dengan
De Indonesia she Nijerheidschool dan Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswanya.
Pada prinsipnya kita memberikan apresiasi terhadap pemerintah dalam hal ini Dinas
Pendidkan dan Kebudayaan dalam

usaha pengangkatan suatu pendidikan kita

ketaraf

internasional. Bukan berarti kita tidak setuju pada pembelajaran bahasa asing, termasuk
bahasa Inggris, di lembaga pendidikan kita, baik pemerintah maupun swasta, di pusat dan di
daerah. Pemerintah harus terus berusaha meningkatkan mutu pendidikan, karena selain hal ini
telah diamanatkan Konstitusi, juga demi martabat bangsa kita di kancah pergaulan
internasional di zaman globalisasi. Kita tidak sepakat mengenai cara yang dipilih dan standar
yang dipakai dalam usaha peningkatan mutu tersebut.
Sebenarnya kita tidak menolak bahasa asing di sekolah. Bahasa-bahasa asing
memang pantas dibelajarkan di sekolah, tetapi sebagai mata pelajaran biasa disamping
pelajaran-pelajaran lainnya, bukan lalu difungsikan sebagai bahasa pengantar menggantikan
bahasa Indonesia. Menurut ukuran UNESCO bahasa Indonesia sudah memenuhi syarat
bahasa modern karena sudah dipakai untuk membahas hal-hal dan tema yang abstrak, seperti
ilmu pengetahuan dan filsofi. Bahasa asing perlu dipelajari karena ia merupakan jendela
dunia, yang dapat memperluas pengetahuan, visi kita, sehingga tidak menjadi seperti katak
di bawah tempurung. Hanya kita perlu elektif dalam mengadakan pilihan bahasa mana yang
perlu dipelajari dan di jenjang pendidikan mana. Sebab didalam memilih itu kita sebenarnya
menentukan bagaimana kita melihat dunia dan bagaimana kita sendiri melihat kita dalam
gambaran dunia tersebut.
Akhir kata kita memberikan apresiasi terhadap keputusan MK dalam penghapusan
RSBI/SBI sebagai wujud dari keadilan dalam dunia pendidikan, semoga

Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan tidak lagi menerapkan kebijakkan sistem serupa dengan

nama yang berbeda. "Jangan ada muncul istilah lain yang tidak menimbulkan semangat
kesetaraan dan istilah lain untuk akal-akal dalam pengambilan keputusan dengan kata lain
mengganti sampul buku ternyata isi tetap saja seperti dulu.
KELEMAHAN RSBI

1.

Program RRSBI tidak didahului riset yang lengkap sehingga konsepnya sangat buruk.

2.

RRSBI adalah program yang salah model. Kemdiknas membuat panduan model pelaksanaan
untuk RSBI baru (news developed), tetapi yang terjadi justru pengembangan pada sekolahsekolah yang telah ada (existing school).

3.

Program RRSBI telah salah asumsi. Kemdiknas mengasumsikan, bahwa untuk dapat
mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris, seorang guru harus memiliki
TOEFL> 500. Padahal, tidak ada hubungannya antara nilai TOEFL dengan kemampuan
mengajar hard science dalam bahasa Inggris. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi
pedagogis.

4.

Telah terjadi kekacauan dalam proses belajar-mengajar dan kegagalan didaktik. Menurutnya,
guru tidak mungkin disulap dalam lima hari agar bisa mengajarkan materinya dalam bahasa
Inggris. Akibatnya, banyak siswa RSBI justru gagal dalam ujian nasional (UN) karena
mereka tidak memahami materi bidang studinya. Di sisi lain, hasil riset Hywel Coleman dari
University of Leeds UK menunjukkan, bahwa penggunaana bahasa Inggris dalam proses
belajar-mengajar telah merusak kompetensi berbahasa Indonesia siswa.

5.

Sekolah ini dinilai telah menciptakan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan.

6.

RRSBI juga telah menjadikan sekolah-sekolah publik menjadi sangat komersial.


Komersialisasi pendidikan inilah yang kita tentang, karena hanya anak orang kaya yang bisa
sekolah di RSBI. . RRSBI juga telah melanggar UU Sisdiknas karena pada tingkat
pendidikan dasar sekolah publik atau negeri itu wajib ditanggung pemerintah. Kenyataannya,
dalam RSBI peraturan ini tidak berlaku.

7.

RSBI telah menyebabkan penyesatan pembelajaran. Penggunaan piranti media pendidikan


mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah karena tanpa

itu semua sebuah sekolah tidak berkelas dunia. Program ini lebih mementingkan alat
ketimbang proses. Padahal, pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat.
8.

RSBI telah menyesatkan tujuan pendidikan. Kesalahan konseptual RSBI terutama pada
penekanannya terhadap segala hal yang bersifat akademik dengan menafikan segala hal yang
nonakademik. Seolah tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan siswa sebagai seorang
yang cerdas akademik belaka, padahal pendidikan bertujuan mendidik manusia seutuhnya,
termasuk mengembangkan potensi siswa di bidang seni, budaya, dan olahraga. Sekolah
unggul adalah sekolah yang mampu menghasilkan siswa yang berakhlak mulia dan berbudi
pekerti luhur sesuai dengan amanat UUD 45 tidak hanya aspek kognitif yang diutamakan.

9.

RSBI adalah sebuah pembohongan publik. RSBI telah memberikan persepsi yang keliru
kepada orang tua, siswa, dan masyarakat karena RSBI dianggap sebagai sekolah yang "akan"
menjadi sekolah bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal, kata Satria,
kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai dan bahkan akan menghancurkan kualitas
sekolah yang ada. Ini sama saja dengan menanam 'bom waktu'. Masyarakat merasa dibohongi
dengan program ini dan pada akhirnya akan menuntut tanggung jawab pemerintah yang
mengeluarkan program ini.

Persoalan carut marutnya dunia pendidikan kita saat ini, sebaiknya dikembalikan pada
tujuaan filosofis pendidikan itu sendiri. Apakah tujuannya untuk memanusiakan peserta didik
atau untuk kompetisi? Kesan saya, semangat RSBI adalah untuk kompetisi.. Apakah ini
cocok dengan ideologi Pancasila? Di AS saja yang filosofinya liberal tidak sampai seperti itu.
Kompetisi baru dimulai ketika perguruan tinggi.
Lebih baik pemerintah fokus dulu membenahi program-program yang sudah ada,
sebelum me-launching program baru semacam itu. tentang akses ke pendidikan formal
sendiri yang belum merata dinikmati oleh semua warga, tentang sarana pendidikan yang
masih memprihatinkan di berbagai pelosok, jauh lebih mendesak untuk diselesaikan.

1. Dari segi landasan Hukum

Program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan/atau Rintisannya (RSBI) adalah


program Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) yang paling kontroversial dan
menimbulkan banyak masalah sejak awal sampai saat ini. Mengapa program ini menjadi
program kontroversial? Jika kita analisis ternyata program ini memang sudah bermasalah
sejak dari Undang-undangnya. Mari kita lihat UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) berbunyi
sebagai berikut : Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan
menjadi satuan pendidikan yang bertaraf Internasional.
Setidaknya Ada 4 (empat) masalah yang muncul dari pasal ini
a. Adanya ambiguitas dari istilah Pemerintah dan/atau pemerintah daerah pada

pasal

tersebut. Jadi frase dan/atau ini bisa berarti :


Pemerintah dan Pemerintah Daerah = kedua-duanya
Pemerintah atau pemerintah Daerah = salah satunya
b.

Tidak jelasnya istilah satuan pendidikan yang bertaraf internasionalitu sendiri.


Tidak jelas apa yang dimaksud dengan satuan pendidikan yang bertaraf
internasional tersebut. Definisi tentang satuan pendidikan yang bertaraf
internasional yang ada dalam UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) tersebut
yang kemudian diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun
2010 Pasal 1 No 35 menjadi :
Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan

setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar


pendidikan negara maju.
c.

Ketidak-jelasan konsep yang hendak dikerjakan oleh Undang-undang ini.

Sebenarnya apa yang dikehendaki oleh Pemerintah dengan adanya UU ini?


Mengapa muncul istilah Sekolah Bertaraf Internasional? Bukankah maksud

dari

semua itu adalah agar Indonesia memiliki sekolah khusus bagi anak-anak

yang

memiliki tingkat kecerdasan tertentu atau yang disebut the gifted and the

most

talented yang akan dapat dididik dan diberi proses pembelajaran yang

sesuai

dengan tingkat kecerdasan dan keberbakatan mereka? Lantas mengapa


menggunakan istilah Sekolah bertaraf Internasional yang seakan tidak punya
landasan akademik
d.

Otoritas lingkup kerja Pemerintah (Kemdiknas) dalam menyelenggarakan program


SBI atau RSBI. Sikap ini menimbulkan kerancuan dalam lingkup kerja pemerintah.
Jika sekolah swasta masuk dalam lingkup kerjanya (dengan memasukkan mereka

dalam program RSBI ini) maka sebenarnya beberapa kota besar telah memiliki
pendidikan yang bertaraf internasional yang berstatus swasta karena sebenarnya
sekolah-sekolah swasta inilah sebenarnya yang memulai adanya program ini dan
memberi ide pada pemerintah untuk mengadopsinya ke sekolah publik. Jika sekolah
swasta dapat dianggap sebagai ruang lingkup otoritas dan tanggung jawab pemerintah
dan pemerintah daerah maka sebetulnya pemerintah dan pemerintah daerah, utamanya
di kota-kota besar, tidak perlu mengadopsinya ke sekolah (publik). Tugas dan
tanggungjawab mereka telah terpenuhi dengan adanya sekolah swasta yang memiliki
pendidikan yang bertaraf internasional.
2.

Tujuan pendidikan Yang Misleading


Selama ini siswa SBI dihadapkan pada 2 kiblat ujian, yakni UNAS dan Cambridge

misalnya. Beberapa sekolah nasional plus yang selama ini dirancang untuk mengikuti dua
kiblat tersebut mengakui bahwa sangat sulit mereka untuk mengikuti dua kiblat sekaligus.
Satria Dharma mengatakan bahwa jika yang hendak dituju adalah peningkatan
kualitas pembelajaran dan output pendidikan, maka mengadopsi atau berkiblat pada sistem
ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawabannya. Bahkan, sebenarnya menggerakkan
semua potensi terbaik pendidikan di Indonesia untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah
sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Di negara-negara maju
seperti Singapura, Australia dan New Zealand, pemerintah tidak membiarkan sistem
pendidikan luar ataupun internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan
dalam kurikulum sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus International
School dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi sistem pendidikan lain.
3.

Konsep SBI cenderung lebih menekankan pada alat daripada proses.


Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan SBI lebih mementingkan alat/media

pembelajaran yang canggih, bilingual sebagai medium of instruction, berstandar


internasional, daripada proses penanaman nilai pada peserta didik. Prof Djohar menyatakan
bahwa tuntutan pendidikan global jangan diartikan hanya mempersoalkan kedudukan
pendidikan kita terhadap rangking kita dengan negara-negara lain, akan tetapi harus kita
arahkan kepada perbaikan pendidikan kita demi eksistensi anak bangsa kita untuk hidup di
alam percaturan global, dengan kreativitasnya, dengan EI-nya dan dengan AQ-nya, dan
dengan pengetahuannya yang tidak lepas dari kenyataan hidup nyata mereka.
Konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bahasa Inggris
sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan

bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam bahasa Inggris maka guru harus memiliki
TOEFL > 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan
mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin
kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris.
TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru
sekolah bilingual adalah performance-nya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktorfaktor non-linguistic.
4.

Konsep SNP+X kurang jelas


Kurikulum RSBI

Rumusan SNP + X (OECD) maksudnya adalah SNP singkatan dari Standar Nasional
Pendidikan plus X. Sedangkan OECD singkatan dari Organization for Economic Cooperation and Development atau sebuah organisasi kerjasama antar negara dalam bidang
ekonomi dan pengembangan. Anggota organisasi ini biasanya memiliki keunggulan tertentu
dalam bidang pendidikan yang telah diakui standarnya secara internasional. Yang termasuk
anggota OECD ialah: Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark,
Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea,
Luxembourg, Mexico, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak
Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States dan Negara
maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia, Slovenia, Singapore, dan Hongkong.
Sebagaimana dalam Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional
pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2007, bahwa sekolah/madarasah
internasional adalah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasioanl Pendidikan (SNP) dan
diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara anggota Organization
for Economic Co-operation and Development (OECD) dan /atau Negara maju lainnya yang
mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di
forum Internasional.
Jadi, SNP+X di atas artinya bahwa dalam penyelenggaraan SBI, sekolah/madrasah harus
memenuhi Standar Nasional Pendidikan (Indonesia) dan ditambah dengan indikator X,
maksudnya ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar
anggota OECD di atas atau dengan pusat-pusat pelatihan, industri, lembaga-lembaga
tes/sertifikasi inter-nasional, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, pusat-pusat studi

dan organisasi-organisasi multilateral seperti UNESCO, UNICEF, SEAMEO, dan


sebagainya.
Ada dua cara yang dapat dilakukan sekolah/madrasah untuk memenuhi karakteristik (konsep)
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu sekolah yang telah melaksanakan dan memenuhi
delapan unsur SNP sebagai indikator kinerja minimal ditambah dengan (X) sebagai indikator
kinerja kunci tambahan.
Dua cara itu adalah:
1.

Adaptasi, yaitu penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan
mengacu (setara/sama) dengan standar pendidikan salah satu anggota OECD dan/atau negara
maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah
memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki

kemampuan daya saing internasional.


2. Adopsi,yaitupenambahanataupengayaan/pendalaman/penguatan/perluasan dari unsur-unsur
tertentu yang belum ada diantara delapan unsure SNP dengan tetap mengacu pada standar
pendidikan salah satu anggota OECD/negara maju lainnya.

Dalam kurikulum SBI ada rumus SNP+X. Artinya Standar Nasional Pendidikan ditambah
atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar internasional dari salah
satu anggota OECD atau lembaga tes/sertifikasi internsional.
Faktor X dalam rumus di atas tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sebab, konsep ini
tidak menjelaskan lembaga/negara tertentu yang harus diadaptasi/diadopsi standarnya, dan
faktor apa saja yang harus ditambah, diperkaya, dikembangkan, diperluas , diperdalam ?
Apakah sistem pembelajaran bahasanya, teknologinya, ekonominya, dan lain-lain. Sehingga,
mungkin ini merupakan strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit
untuk diukur.
5.

Diadakan jika benar-benar memberikan keuntungan yang relatif pasti,

baik bagi penyelenggara maupun peserta didik.


Konsekuensi dari pendekatan ini adalah tidak semua anak dapat mengenyam pendidikan di
SBI, sebab SBI lebih menekankan efektivitas pendidikan dalam mencapai hasil yang optimal
baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga input pun diambil dari anak-anak yang
memiliki kemampuan unggul, baik secara akademik, emosional, spiritual bahkan finansial.

6.

Potensi Terjadi Sistem pendidikan Yang bersifat Diskriminatif dan

Eksklusif
Penyelenggaraan SBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskri-minatif (hanya
diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemam-puan/kecerdasan unggul) dan ekslusif
(pendidikan bagi anak orang kaya).
7.

Potensi Terjadi Komersialisasi Pendidikan


Lahirnya SBI bisa membawa dampak komersialisasi pendidikan kepada para

pelanggan jasa pendidikan, semisal masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasi ini nampak
ketika sekolah SBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah SBI.
Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa sekolah tersebut bertaraf internasional, dilengkapi
dengan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD, menggunakan
teknologi informasi canggih, bilingual, dan lain-lain.
8.

Kebijakan SBI bertolak belakang dengan otonomi sekolah dan Manajemen

Berbasis Sekolah (MBS)


Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan sistem Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Menurut Prof. Djohar, MBS digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan
kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan
kebijakan yang diambil, termasuk kemerdekaan guru dan siswa untuk menentukan sistem
pembelajarannya. Sedangkan dalam SBI, sekolah masih dibelenggu dengan sistem
pembelajaran dari negara lain.
Kelemahan Dalam Program RSBI
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi
kebijakan pemerintah tentang RSBI agar menjadi SBI dari berbagai sudup pandang baik
dalam sudut pandang sosial, ekonomi, dan psikologis
a.

Dari sudut pandang Sosial


RSBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskriminatif (hanya

diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemampuan / kecerdasan unggul) dan


ekslusif (pendidikan bagi anak orang kaya)
b.

Dari sudut pandang Ekonomi


RSBI lebih cenderung menggunakan perencanaan pendidikan dengan

pendekatan cost effectiveness adalah pendekatan yang menitik beratkan


pemanfaaatan biaya secermat mungkin untuk mendapatkan hasil pendidikan

yang seoptimal mungkin baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pendidikan

ini

hanya diadakan jika benar benar memberikan keuntungan yang relatif pasti
baik bagi penyelenggara maupun peserta didik. Konsekuensi dari pendekatan

ini

adalah tidak semua anak dapat mengenyam pendidikan di RSB , sebab RSBI
lebih menekankan efektifitas pendidikan dalam mencapai hasil yang optimal
baik secara kuantitas maupun kualitas , sehingga input pun di ambil dari anak
anak yang memiliki kemampuan unggul baik secara akademik, emosional,
spiritual bahkan finansial. Lahirnya RSBI juga membawa dampak
komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, semisal
masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasinya adalah nampak ketika RSBI
menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah RSBI. Hal

ini

berdalih karena bertaraf Internasional, dilengkapi dengan sistem


pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD , menggunakan
teknologi canggih, bilingual dan lain sebagainya.
c.

Psikologis
Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan MBS (manajemen berbasis sekolah) yang
digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di
sekolah. Sedangkan dalam RSBI sekolah masih dibelenggu dengan sistem
pembelajaran dari negara lain.
Hal tersebut juga berakibat terhadap siswa, di mana siswa RSBI selama ini
dihadapkan pada dua kiblat yakni UNAS dan Cambridge misalnya. Padahal siste
adopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB sebagaian menilai
bahwa hal tersebut merupakan sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan
nasional itu sendiri. Selain itu, Konsep SBI cenderung lebih menekankan pada alat
daripada proses. Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan RSBI lebih
mementingkan alat/ media pembelajaran yang canggih, billingual, berstandar
Internasional daripada proses penanaman nilai pada peserta didik.

Alasan Dihapuskannya RSBI


Secara umum alasan penghapusan RSBI adalah sebagai berikut :
1. Keberadaan RSBI/SBI yang mendasarkan seleksi pada intelektual dan keuangan calon
peserta didik adalah bentuk tindakan penggolongan atau pembedaan perlakuan
terhadap sesama warga negara berdasarkan status sosial dan status ekonomi.

2. Kebijakan diskriminatif tersebut selanjutnya dilakukan dengan menggelontorkan dana


dalam jumlah yang signifikan kepada sekolah-sekolah yang sesungguhnya sudah
bagus seperti RSBI ketimbang mengalokasikan dana secara khusus ke sekolahsekolah terbelakang. Sebab Ini berarti semakin tinggi standar kualitas suatu sekolah,
semakin besar pula peluang sekolah itu mendapatkan privelese dana khusus dari
pemerintah ataupun dari masyarakat, serta semakin tinggi pula kesempatannya untuk
menjadi sekolah yang lebih bermutu lagi. Sebaliknya, sekolah-sekolah non-RSBI/SBI
justru semakin tertinggal karena tidak mendapat dukungan dana yang signifikan dari
pemerintah dan ada larangan melakukan pungutan. Bukankah sekolah-sekolah
terbelakang seharusnya mendapatkan dana khusus dalam jumlah besar agar dapat
mengejar ketertinggalan. Ini artinya pendidikan bermutu, disadari atau tidak, hanya
dapat dinikmati oleh sekelompok kecil warga negara tertentu.
3. Mahkamah Konstitusi dapat obyektif melihat persoalan RSBI/SBI sehingga dengan
alasan yang tak terbantahkan lagi dapat segera membatalkan Pasal 50 Ayat (3) UU
Sisdiknas : Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.Akan tetapi
hanya sebagian dari sekolah sekolah yang bertaraf internasional dan itu pun hanya
sekolah sekolah unggulan dan bermutu sedangkan untuk sekolah sekolah yang
pendidikannya terbelakang malah tertinggal.
4. Kalau sekolah itu bertaraf internasional seharusnya sekolah itu memiliki guru yang
bisa berbahasa asing (bahasa inggis) akan tetapi pada kenyataanya kemampuan
sumber daya guru yang ada, karena sebagian besar guru tersebut juga masih
menggunakan bahasa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai