Makalah PPK
Makalah PPK
KEBIJAKAN IPTEK
PENGHAPUSAN RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (RSBI)
SEBAGAI BENTUK KEADILAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Oleh:
Kelompok VII
Nama
Kelas
:F
Jurusan/Smt : Akuntansi/1
Secara axiologi untuk apa diselenggarakannya SBI itu ? Visi Sekolah Bertaraf
Internasional adalah: Terwujudnya Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara
internasional. Visi ini mengisyaratkan secara tidak langsung gambaran tujuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh sekolah model SBI, yaitu mewujudkan insan Indonesia yang
cerdas dan kompetitif/memiliki daya saing secara internasional.
Sejak dilendingkan kebijakan SBI, pemerintah menuai pujian dan juga kritikan, baik itu
pujian bahwa kebijakan SBI merupakan langkah maju untuk memperbaiki kualitas
pendidikan Indonesia, maupun kritikan bahwa konsep ini tidak didahului dengan studi secara
mendalam.
Masalah RSBI menjadi buah bibir dalam dunia pendidikan setelah dikabulkannya uji materi
ICW yang didukung oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Ikatan Guru
Indonesia(IGI) dan Praktisi Pendidikan serta organisasi guru lainnya tentang Undang-Undang
No. 20 tahun 2003 Pasal 50 Ayat 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional berbunyi
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu
satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan bertaraf internasional.
Dikabulkannya permohonan tersebut oleh Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 8
Januari 2013 didasari adanya kesenjangan antara RSBI dan non RSBI. Ada beberapa alasan
mengapa RSBI harus dihapuskan yakni sebagai berikut.
kita, bahasa
Pasal 31 Ayat 2
banyak oleh bahasa ketimbang bahasa terbentuk oleh manusia. Dengan kata lain, keIndonesia-an bangsa Indonesia, selaku warga negara (citizen) pada akhirnya dibentuk oleh
bahasa Indonesia.
Selanjutnya, penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar
pembelajaran,
secara terang-terangan telah mengkhianati Sumpah Pemuda yang kita akui merupakan
tonggak sejarah kedua dari perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Sebagai kilas
balik untuk mengingatkan kembali bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928
pemuda-
pemudi terpelajar kita mengadakan sumpah berupa pilihan kesatuan wilayah (bertumpah
darah satu),
bahasa pengantar
dalam
pembelajaran matematika, mereka dibebani oleh dua masalah pokok yang cukup pelik
hingga menekan psikis, menimbulkan masalah psikologis, yang sebenarnya tidak perlu.
Orang-orang Inggris dan Amerika maju bukan karena mereka berbahasa Inggris, tetapi
berhubung mereka menghayati nilai-nilai kemajuan zaman dan melalui jalur pendidikan
formal, membiasakan anak didik sedini mungkin menggali, mengenal, mempelajari,
menguasai, menghayati dan menerapkan nilai-nilai yang berguna. Dalam pembiasaan
kultural yang konstruktif ini, bangsa Inggris dan Amerika yang bangga pada kenasionalannya
masing-masing, sudah tentu menggunakan bahasa Inggris, bahasa nasional mereka, bahasa
sehari-hari mereka, sebagai media komunikasi. Namun tetap saja, yang membuat anak-anak
Inggris dan Amerika bisa maju, bukan karena penggunaan bahasa Inggris itu, tetapi
kemampuan menghayati dan menerapkan nilai-nilai kemajuan yang dibelajarkan tadi dalam
kehidupan sehari-hari.
Penggunaan bahasa pengantar pendidikan yang salah konsep. Dengan label
RRSBI, materi pelajaran harus diajarkan dalam bahasa Inggris, sementara di
seluruh dunia seperti Jepang, China, Korea justru menggunakan bahasa
nasionalnya, tetapi siswanya tetap berkualitas dunia.
berbahasa Inggris yang harus diperkuat itu bidang studi bahasa Inggris, bukan
bahasa asing itu dijadikan bahasa pengantar pendidikan.
pendidikan nasional? Mengapa bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar? Mengapa tidak
bahasa Perancis atau bahasa Jerman? Padahal prestasi keilmuan dan teknologis dari
pembelajaran dikedua negeri Eropa Barat itu tidak lebih rendah daripada prestasi keilmuan
dan teknologis di negeri-negeri Anglo-Saxon. Jepang dan China yang kini mulai kita kagumi
kemajuan IPTEK-nya tidak menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar
pembelajaran di sekolah-sekolah mereka. Sungguh patut disesalkan mengapa Pemerintah
Nasional justru mempelopori penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar
pembelajaran di sekolah-sekolah yang didirikan dan dikelolanya. Kalau hal ini dilakukan
oleh lembaga pendidikan swasta, mungkin masih pantas dimaafkan. Jangan heran kalau di
negeri tercinta ini mulai menyusup persekolahan asing, yang tidak hanya dilakukan oleh
pihak swasta asing tetapi oleh pemerintah asing itu sendiri, walapun tidak secara terangterangan.
Di Negara Perancis untuk mendirikan lembaga pendidikan, jangankan orang asing,
swasta nasional saja tidak diizinkan mendirikan dan menyelenggarakan lembaga
pendidikan. Pendidikan adalah urusan monopolitis pemerintah. Sebab pendidikan nasional
di sana tidak hanya bertujuan membentuk manusia Perancis yang cerdas, tetapi bertujuan
sekaligus menempa anak Perancis menjadi citoyen, menjadi warga Negara yang handal,
yaitu yang kukuh berbudaya nasioanal (Perancis).
untuk
Negara
maju
seperti
anggota
OECD,
lembaga
pendidikannya dipertahankan bersifat nasional, menggunakan bahasa nasional masingmasing sebagai bahasa pengantar pembelajaran pelajaran apa saja. Kalaupun mereka
berusaha memperbaiki atau meningkatkan mutu pendidikannya nasionalnya,
atas
pertimbangan apa pun, mereka berkonsultasi kepada UNESCO, yaitu lembaga PBB yang
bertugas
khusus
mengurus
dan
kebudayaan dan pendidikan dan kaitannya satu sama lain. Indonesia adalah anggota penuh
dari UNESCO, punya duta besar tersendiri di UNESCO, yang pada azasnya direkrut dari
para pejabat di jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mengapa kita tidak
menelaah saja publikasi dari lembaga dunia ini, yang dengan setia dan terbuka memuat
hasil-hasil seminar, symposium dan pendapat perorangan dari para ahli di bidang ilmu
pengetahuan, kebudayaan dan pendidikan? Untuk apa kita menjadi anggota lembaga
prestisius ini, dengan setia membayar iuran keanggotaan, kalau kita tidak berniat
memanfaatkan ide-ide cemerlang yang dipaparkan di lembaga ini?
Kelima, pendidikan sudah ditetapkan oleh Konstitusi dan konsensus nasional sebagai
salah satu jalur pemerataan peningkatan akal budi warga kita, jadi menerapkan azas egaliter
dalam pelaksanaan pendidikan. Sedangkan melalui aneka keistimewaan yang ditopang
oleh
aneka
jenis
penandaan
yang
sudah
mulai
dipertanyakan
effektivitas
penggunaannya, RSBI dan SBI dengan sengaja menimbulkan kekastaan dikalangan warga
yang justru mau dihapus oleh revolusi kemerdekaan nasional, bahkan telah dirintis ke arah
sana sejak sebelum kemerdekaan oleh beberapa tokoh pendiri NKRI: Willem Iskandar di
Tapanuli Selatan dengan sekolah guru perintisnya, Moh. Sjafei di Minangkabau dengan
De Indonesia she Nijerheidschool dan Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswanya.
Pada prinsipnya kita memberikan apresiasi terhadap pemerintah dalam hal ini Dinas
Pendidkan dan Kebudayaan dalam
ketaraf
internasional. Bukan berarti kita tidak setuju pada pembelajaran bahasa asing, termasuk
bahasa Inggris, di lembaga pendidikan kita, baik pemerintah maupun swasta, di pusat dan di
daerah. Pemerintah harus terus berusaha meningkatkan mutu pendidikan, karena selain hal ini
telah diamanatkan Konstitusi, juga demi martabat bangsa kita di kancah pergaulan
internasional di zaman globalisasi. Kita tidak sepakat mengenai cara yang dipilih dan standar
yang dipakai dalam usaha peningkatan mutu tersebut.
Sebenarnya kita tidak menolak bahasa asing di sekolah. Bahasa-bahasa asing
memang pantas dibelajarkan di sekolah, tetapi sebagai mata pelajaran biasa disamping
pelajaran-pelajaran lainnya, bukan lalu difungsikan sebagai bahasa pengantar menggantikan
bahasa Indonesia. Menurut ukuran UNESCO bahasa Indonesia sudah memenuhi syarat
bahasa modern karena sudah dipakai untuk membahas hal-hal dan tema yang abstrak, seperti
ilmu pengetahuan dan filsofi. Bahasa asing perlu dipelajari karena ia merupakan jendela
dunia, yang dapat memperluas pengetahuan, visi kita, sehingga tidak menjadi seperti katak
di bawah tempurung. Hanya kita perlu elektif dalam mengadakan pilihan bahasa mana yang
perlu dipelajari dan di jenjang pendidikan mana. Sebab didalam memilih itu kita sebenarnya
menentukan bagaimana kita melihat dunia dan bagaimana kita sendiri melihat kita dalam
gambaran dunia tersebut.
Akhir kata kita memberikan apresiasi terhadap keputusan MK dalam penghapusan
RSBI/SBI sebagai wujud dari keadilan dalam dunia pendidikan, semoga
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan tidak lagi menerapkan kebijakkan sistem serupa dengan
nama yang berbeda. "Jangan ada muncul istilah lain yang tidak menimbulkan semangat
kesetaraan dan istilah lain untuk akal-akal dalam pengambilan keputusan dengan kata lain
mengganti sampul buku ternyata isi tetap saja seperti dulu.
KELEMAHAN RSBI
1.
Program RRSBI tidak didahului riset yang lengkap sehingga konsepnya sangat buruk.
2.
RRSBI adalah program yang salah model. Kemdiknas membuat panduan model pelaksanaan
untuk RSBI baru (news developed), tetapi yang terjadi justru pengembangan pada sekolahsekolah yang telah ada (existing school).
3.
Program RRSBI telah salah asumsi. Kemdiknas mengasumsikan, bahwa untuk dapat
mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris, seorang guru harus memiliki
TOEFL> 500. Padahal, tidak ada hubungannya antara nilai TOEFL dengan kemampuan
mengajar hard science dalam bahasa Inggris. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi
pedagogis.
4.
Telah terjadi kekacauan dalam proses belajar-mengajar dan kegagalan didaktik. Menurutnya,
guru tidak mungkin disulap dalam lima hari agar bisa mengajarkan materinya dalam bahasa
Inggris. Akibatnya, banyak siswa RSBI justru gagal dalam ujian nasional (UN) karena
mereka tidak memahami materi bidang studinya. Di sisi lain, hasil riset Hywel Coleman dari
University of Leeds UK menunjukkan, bahwa penggunaana bahasa Inggris dalam proses
belajar-mengajar telah merusak kompetensi berbahasa Indonesia siswa.
5.
Sekolah ini dinilai telah menciptakan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan.
6.
7.
itu semua sebuah sekolah tidak berkelas dunia. Program ini lebih mementingkan alat
ketimbang proses. Padahal, pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat.
8.
RSBI telah menyesatkan tujuan pendidikan. Kesalahan konseptual RSBI terutama pada
penekanannya terhadap segala hal yang bersifat akademik dengan menafikan segala hal yang
nonakademik. Seolah tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan siswa sebagai seorang
yang cerdas akademik belaka, padahal pendidikan bertujuan mendidik manusia seutuhnya,
termasuk mengembangkan potensi siswa di bidang seni, budaya, dan olahraga. Sekolah
unggul adalah sekolah yang mampu menghasilkan siswa yang berakhlak mulia dan berbudi
pekerti luhur sesuai dengan amanat UUD 45 tidak hanya aspek kognitif yang diutamakan.
9.
RSBI adalah sebuah pembohongan publik. RSBI telah memberikan persepsi yang keliru
kepada orang tua, siswa, dan masyarakat karena RSBI dianggap sebagai sekolah yang "akan"
menjadi sekolah bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya. Padahal, kata Satria,
kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai dan bahkan akan menghancurkan kualitas
sekolah yang ada. Ini sama saja dengan menanam 'bom waktu'. Masyarakat merasa dibohongi
dengan program ini dan pada akhirnya akan menuntut tanggung jawab pemerintah yang
mengeluarkan program ini.
Persoalan carut marutnya dunia pendidikan kita saat ini, sebaiknya dikembalikan pada
tujuaan filosofis pendidikan itu sendiri. Apakah tujuannya untuk memanusiakan peserta didik
atau untuk kompetisi? Kesan saya, semangat RSBI adalah untuk kompetisi.. Apakah ini
cocok dengan ideologi Pancasila? Di AS saja yang filosofinya liberal tidak sampai seperti itu.
Kompetisi baru dimulai ketika perguruan tinggi.
Lebih baik pemerintah fokus dulu membenahi program-program yang sudah ada,
sebelum me-launching program baru semacam itu. tentang akses ke pendidikan formal
sendiri yang belum merata dinikmati oleh semua warga, tentang sarana pendidikan yang
masih memprihatinkan di berbagai pelosok, jauh lebih mendesak untuk diselesaikan.
pasal
dari
semua itu adalah agar Indonesia memiliki sekolah khusus bagi anak-anak
yang
memiliki tingkat kecerdasan tertentu atau yang disebut the gifted and the
most
talented yang akan dapat dididik dan diberi proses pembelajaran yang
sesuai
dalam program RSBI ini) maka sebenarnya beberapa kota besar telah memiliki
pendidikan yang bertaraf internasional yang berstatus swasta karena sebenarnya
sekolah-sekolah swasta inilah sebenarnya yang memulai adanya program ini dan
memberi ide pada pemerintah untuk mengadopsinya ke sekolah publik. Jika sekolah
swasta dapat dianggap sebagai ruang lingkup otoritas dan tanggung jawab pemerintah
dan pemerintah daerah maka sebetulnya pemerintah dan pemerintah daerah, utamanya
di kota-kota besar, tidak perlu mengadopsinya ke sekolah (publik). Tugas dan
tanggungjawab mereka telah terpenuhi dengan adanya sekolah swasta yang memiliki
pendidikan yang bertaraf internasional.
2.
misalnya. Beberapa sekolah nasional plus yang selama ini dirancang untuk mengikuti dua
kiblat tersebut mengakui bahwa sangat sulit mereka untuk mengikuti dua kiblat sekaligus.
Satria Dharma mengatakan bahwa jika yang hendak dituju adalah peningkatan
kualitas pembelajaran dan output pendidikan, maka mengadopsi atau berkiblat pada sistem
ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawabannya. Bahkan, sebenarnya menggerakkan
semua potensi terbaik pendidikan di Indonesia untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah
sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Di negara-negara maju
seperti Singapura, Australia dan New Zealand, pemerintah tidak membiarkan sistem
pendidikan luar ataupun internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan
dalam kurikulum sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus International
School dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi sistem pendidikan lain.
3.
bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam bahasa Inggris maka guru harus memiliki
TOEFL > 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan
mengajar hard science dalam bahasa Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin
kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris.
TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru
sekolah bilingual adalah performance-nya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktorfaktor non-linguistic.
4.
Rumusan SNP + X (OECD) maksudnya adalah SNP singkatan dari Standar Nasional
Pendidikan plus X. Sedangkan OECD singkatan dari Organization for Economic Cooperation and Development atau sebuah organisasi kerjasama antar negara dalam bidang
ekonomi dan pengembangan. Anggota organisasi ini biasanya memiliki keunggulan tertentu
dalam bidang pendidikan yang telah diakui standarnya secara internasional. Yang termasuk
anggota OECD ialah: Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark,
Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea,
Luxembourg, Mexico, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak
Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States dan Negara
maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia, Slovenia, Singapore, dan Hongkong.
Sebagaimana dalam Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional
pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2007, bahwa sekolah/madarasah
internasional adalah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasioanl Pendidikan (SNP) dan
diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu Negara anggota Organization
for Economic Co-operation and Development (OECD) dan /atau Negara maju lainnya yang
mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di
forum Internasional.
Jadi, SNP+X di atas artinya bahwa dalam penyelenggaraan SBI, sekolah/madrasah harus
memenuhi Standar Nasional Pendidikan (Indonesia) dan ditambah dengan indikator X,
maksudnya ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar
anggota OECD di atas atau dengan pusat-pusat pelatihan, industri, lembaga-lembaga
tes/sertifikasi inter-nasional, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, pusat-pusat studi
Adaptasi, yaitu penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan
mengacu (setara/sama) dengan standar pendidikan salah satu anggota OECD dan/atau negara
maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah
memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki
Dalam kurikulum SBI ada rumus SNP+X. Artinya Standar Nasional Pendidikan ditambah
atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam dengan standar internasional dari salah
satu anggota OECD atau lembaga tes/sertifikasi internsional.
Faktor X dalam rumus di atas tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sebab, konsep ini
tidak menjelaskan lembaga/negara tertentu yang harus diadaptasi/diadopsi standarnya, dan
faktor apa saja yang harus ditambah, diperkaya, dikembangkan, diperluas , diperdalam ?
Apakah sistem pembelajaran bahasanya, teknologinya, ekonominya, dan lain-lain. Sehingga,
mungkin ini merupakan strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit
untuk diukur.
5.
6.
Eksklusif
Penyelenggaraan SBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskri-minatif (hanya
diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemam-puan/kecerdasan unggul) dan ekslusif
(pendidikan bagi anak orang kaya).
7.
pelanggan jasa pendidikan, semisal masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasi ini nampak
ketika sekolah SBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah SBI.
Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa sekolah tersebut bertaraf internasional, dilengkapi
dengan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD, menggunakan
teknologi informasi canggih, bilingual, dan lain-lain.
8.
ini
hanya diadakan jika benar benar memberikan keuntungan yang relatif pasti
baik bagi penyelenggara maupun peserta didik. Konsekuensi dari pendekatan
ini
adalah tidak semua anak dapat mengenyam pendidikan di RSB , sebab RSBI
lebih menekankan efektifitas pendidikan dalam mencapai hasil yang optimal
baik secara kuantitas maupun kualitas , sehingga input pun di ambil dari anak
anak yang memiliki kemampuan unggul baik secara akademik, emosional,
spiritual bahkan finansial. Lahirnya RSBI juga membawa dampak
komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, semisal
masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasinya adalah nampak ketika RSBI
menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah RSBI. Hal
ini
Psikologis
Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan MBS (manajemen berbasis sekolah) yang
digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di
sekolah. Sedangkan dalam RSBI sekolah masih dibelenggu dengan sistem
pembelajaran dari negara lain.
Hal tersebut juga berakibat terhadap siswa, di mana siswa RSBI selama ini
dihadapkan pada dua kiblat yakni UNAS dan Cambridge misalnya. Padahal siste
adopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB sebagaian menilai
bahwa hal tersebut merupakan sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan
nasional itu sendiri. Selain itu, Konsep SBI cenderung lebih menekankan pada alat
daripada proses. Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan RSBI lebih
mementingkan alat/ media pembelajaran yang canggih, billingual, berstandar
Internasional daripada proses penanaman nilai pada peserta didik.