DEFENISI
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh
dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan
saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas
(breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama
pada malam atau dini hari. (PDPI, 2006; GINA, 2009).
Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI, 2007), pada individu
yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi
dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.
EPIDEMIOLOGI
Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan
(morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma,
bronkitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia
atau sebesar 5,6%. Lalu pada SKRT 1995, dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia
sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006). Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi
penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini
konsisten dan prevalensi asma bronkial sebesar 515%.
2. Umur
Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu umur 5 14 tahun.
Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma
and Allergy Foundation of America, 2010). Menurut studi yang dilakukan oleh Australian
Institute of Health and Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok umur 18 34 tahun
adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8.8%. Di Jakarta, sebuah studi pada
RSUP Persahabatan menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun
(Pratama dkk, 2009).
3. Jenis Kelamin
Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah faktor
resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi
bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia
dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis kelamin
(Maryono, 2009).
4. Faktor pencetus
Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling penting. Alergen
allergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung sari. Kutu debu
umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang kotor. Kecoak telah
dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah di perkotaan (NHLBI,
2007). Menurut Ownby dkk (2002) dalam GINA (2009), paparan terhadap binatang,
khususnya bulu anjing dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi asma. Konsentrasi
polen di udara bervariasi pada setiap daerah dan biasanya dibawa oleh angin dalam bentuk
partikel-partikel besar.
Iritan iritan berupa paparan terhadap rokok dan bahan kimia juga telah dikaitkan
dengan kejadian asma. Dimana rokok diasosiasikan dengan penurunan fungsi paru pada
penderita asma, meningkatkan derajat keparahan asma, dan mengurangi responsivitas
terhadap pengobatan asma dan pengontrolan asma. Menurut Dezateux dkk (1999), balita dari
ibu yang merokok mempunyai resiko 4 kali lebih tinggi menderita kelainan seperti mengi
dalam tahun pertama kehidupannya. Kegiatan fisik yang berat tanpa diselingi istirahat yang
adekuat juga dapat memicu terjadinya serangan asma (Nurafiatin dkk, 2007). Riwayat
penyakit infeksi saluran pernapasan juga telah dihubungkan dengan kejadian asma. Menurut
sebuat studi prospektif oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita asma dengan
riwayat infeksi saluran pernapasan (Respiratory syncytial virus) akan terus menderita mengi
atau menderita asma dalam kehidupannya.
5. Status sosioekonomik
Mielck dkk (1996) menemukan hubungan antara status sosioekonomik / pendapatan dengan
prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi derajat asma berat paling banyak terjadi
pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah, yaitu sekitar 40%.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:
1. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala musiman, riwayat
alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma
3. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada dan
berdahak yang berulang
4. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari
5. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
6. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator
PEMERIKSAAN FISIK
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal
(GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi
adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada
pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu,
pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat
gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan (Chung, 2002). Sewaktu mengalami serangan,
jalan napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema
dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi
penderita akan bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas
yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa
batuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009).
KLASIFIKASI
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan faal paru dapat ditentukan klasifikasi (derajat)
asma. Lihat tabel 2.3.
Derajat asma
Gejala
Gejala
Faal paru
malam
1. intermitten
Bulanan
gejala<1x/minggu 2x
tanpa gejala
sebulan
diluar serangan
serangan singkat
APE 80%
VEP180%
nilai
prediksi
APE80%
nilai terbaik
Variabiliti
APE<20%
Gejala
>1x/minggu,
APE80%
< 2x
sebulan
tetapi <1x/hari.
Serangan dapat
mengganggu
VEP1 80 % nilai
prediksi
APE 80 % nilai
terbaik
Variabiliti APE
20 - 30 %
Harian
APE 60-80%
VEP1 60 - 80 %
nilai prediksi
APE 60 - 80 %
nilai terbaik
Variabiliti APE >
30 %
APE 60%
sedang
1V. Persisten
Kontinyu
Sering
berat
VEP1 60 % nilai
prediksi
APE 60 % nilai
terbaik
Variabiliti APE >
30 %
PENATALAKSANAAN
1. MEDIKASI
Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara
seperti inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui
inhalasi agar langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang minimal
ataupun tidak ada. Macammacam pemberian obat inhalasi dapat melalui inhalasi
dosis terukur (IDT), IDT dengan alat bantu (spacer), Dry powder inhaler (DPI),
breathactuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma terdiri atas pengontrol
(controllers) dan pelega (reliever). Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang,
terutama untuk asma persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar asma
tetap terkontrol (PDPI, 2006). Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut
sebagai pencegah terdiri dari:
1
Leukotriene modifiers
Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat mengatasi
bronkokonstriksi dan mengurangi gejala gejala asma. Prinsip kerja obat ini adalah dengan
mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat
bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, dan
batuk. Akan tetapi golongan obat ini tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hipersensitivitas jalan napas.
Pelega terdiri dari:
1. Agonis -2 kerja singkat
2. Kortikosteroid sistemik
3. Antikolinergik (Ipratropium bromide)
4. Metilsantin
b. Bila diperlukan pelega, agonis -2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan
agonis -2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat
oral atau antikolinergik inhalasi
c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka
sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan
2. Asma Persisten Ringan
a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma,
dengan pilihan: Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi
dua kali sehari) dan agonis -2 kerja lama inhalasi
b. Pelega bronkodilator (Agonis -2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu
3. Asma Persisten Sedang
a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma,
dengan pilihan:
Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja lama inhalasi
Budenoside: 400800 g/hari
Fluticasone propionate : 250500 g/hari
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah teofilin lepas lambat
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah agonis -2 kerja lama oral
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 g/hari)
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah leukotriene modifiers
b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu Agonis -2 kerja singkat inhalasi: tidak
lebih dari 34 kali sehari, atau
Agonis -2 kerja singkat oral, atau
Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat
Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin
lepas lambat sebagai pengontrol
c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum
terkontrol; maka harus ditambahkan agonis -2 kerja lama inhalasi
d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi
dalam satu kemasan agar lebih mudah
4. Asma Persisten Berat
Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin,
kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti
APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin
Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan
pilihan:
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2
kerja lama inhalasi