Anda di halaman 1dari 9

PERKEMBANGAN DAN PRAKTIK

BIMBINGAN DAN KONSELING DI INDONESIA

A. Perkembangan Bimbingan dan Konseling di Indonesia


1. Perkembangan Sampai Awal Abad Ke-21
Gerakan konseling di Indonesia yang dimulai tahun 1960-an (awalnya disebut
Bimbingan dan Penyuluhan, disingkat BP) dengan berorientasi pada wilayah
persekolahan, terus bergerak ke arah kemantapan dan kemandirian konseling sebagai
profesi. Pada tahun 1975 terbentuklah organisasi profesi BP dengan nama Ikatan petugas
Bimbingan Indonesia (disingkat IPBI). Tahun 1990-an Pengurus Besar IPBI yang
dengan serius memperjuangkan keberadaan pelayanan konseing mengusulkan kepada
Pemerintah agar istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan
Konseling (disingkat BK). Usul ini disetujui melalui Surat Keputusan (MENPAN)
Nomor 84 Tahun 1993. Di samping itu, pengurus IPBI juga mengusulkan agar petugas
pelayanan BK di sekolah disebut konselor, namun pada waktu itu usul belum bisa
dikabulkan karena payung hukumnya belum ada.
Pengurus IPBI terus memperjuangkan bagi kemantapan profesi BK dan
mengupayakan dibukanya program Pendidikan Profesi Konselor (PPK) di Perguruan
Tinggi. Atas rekomendasi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi program PPK dibuka
untuk pertama kalinya di Universitas Negeri Padang tahun 1999 dan menyusul yang
kedua di Universitas Negeri Semarang tahun 2007. Seiring dengan pembukaan program
PPK tersebut. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, mulai tahun 2001 mengembangkan
semacam panduan untuk pengembangan profesi konseling yang pada akhirnya selesai
pada tahun 2004 dengan nama Dasar Standarisasi Profesi Konseling (DSPK) (Prayitno.
2015; 70-71).
Sejarah lahirnya bimbingan dan konseling di Indonesia diawali sejak
masukkannya bimbingan dan konseling (dulunya bimbingan dan penyuluhan) pada
setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu
hasil konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang
kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20-24 Agustus 1960. Perkembangan
berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan
dan Penyuluhan.
0

Tahun 1971 berdiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan
IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang,
IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini bimbingan dan
konseling

dikembangkan,

juga

berhasil

disusun

Pola

Dasar

Rencana

dan

Pengembangan bimbingan dan penyuluhan pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk
Sekolah Menengah Atas di dalamnya memuat pedoman bimbingan dan konseling. Tahun
1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA bimbingan dan konseling di IKIP
(setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru bimbingan dan konseling di sekolah
yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan
Bimbingan dan Konseling. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Konseling di sekolah
mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Konseling.
Keberadaan Bimbingan dan Konseling secara legal formal diakui pada tahun 1989
dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan
Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Perkembangan sejarah bimbingan dan konseling di Indonesia lebih banyak
dilakukan dalam kegiatan formal di sekolah. Pada awal tahun 1960 di beberapa sekolah
dilakukan program bimbingan akademis dan konseling yang terbatas. Pada tahun 1964,
lahir Kurikulum SMA Gaya Baru, dengan program bimbingan dan konseling yang saat
itu disebut Bimbingan dan Penyuluhan pada waktu itu dipandang sebagai unsur
pembaharuan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Akan tetapi program ini
tidak berjalan, karena kurang persiapan prasyarat dan kekurangan tenaga pembimbing
yang profesional. Untuk mengatasinya pada dasawarsa 60-an Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan dan diteruskan oleh Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (1963)
membuka jurusan bimbingan dan konseling yang sekarang dikenal dengan Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) dengan nama Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
(PPB). Secara formal bimbingan dan konseling diprogramkan di sekolah sejak
diberlakukannya kurikulum 1975 yang menyatakan bahwa bimbingan dan konseling
merupakan bagian integral pendidikan di sekolah. Petugas yang secara khusus
melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling pada saat itu disebut Guru Bimbingan
dan Penyuluhan (Guru BP).
Pada tahun 1975 berdiri Ikatan Petugas Bimbingan Indonseia (IPBI), dengan
memberikan pengaruh terhadap perluasan program bimbingan di sekolah yang
1

dilaksankan di Malang. Beberapa upaya dalam pendidikan yang dilakukan untuk


menyempurnakan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Dalam kurikulum
1984 telah dimasukan bimbingan karier di dalamnya. Usaha untuk memantapkan
bimbingan terus dilakukan dengan diberlakukannya UU No.2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 1 Ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan
bagi peranannya pada masa yang akan datang. Pemantapan bimbingan terus dilanjutkan
dengan dikeluarkannya SK Menpan No. 80/1993 tentang jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya. Dalam Pasal 3 disebutkan tugas pokok guru adalah menyusun
program

bimbingan,

melaksanakan

program

bimbingan,

evaluasi

pelaksanaan

bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan, dan tindak lanjut dalam program
bimbingan.
Sejak diberlakukannya kurikulum 1994, sebutan untuk Guru BP berubah menjadi
Guru Pembimbing, sebutan resmi ini diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1995 tentang Jabatan Fungsional
Guru dan Angka Kreditnya, serta Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
No.025/0/1995 tentang Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru
dan Angka Kreditnya antara lain mengandung arahan dan ketentuan pelaksanaan
pelayanan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah oleh guru kelas di SD dan
guru pembimbing di SLTP dan SLTA. Walaupun kedua aturan tersebut mengandung halhal yang berkenaan dengan pelayanan bimbingan dan konseling, tetapi tugas itu
dinyatakan sebagai tugas guru (dengan sebutan guru pembimbing) dan tidak secara
eksplisit dinyatakan sebagai tugas konselor. Hal ini dapat dipahami karena sebutan
konselor belum ada dalam perundangan. Penggunaan sebutan guru, sangat merancukan
konteks tugas guru yang mengajar dan konteks tugas konselor sebagai penyelenggara
pelayanan ahli bimbingan dan konseling. Guru pembimbing yang pada saat ini ada di
lapangan pada hakikatnya melaksanakan tugas sebagai konselor, tetapi sering
diperlakukan dan diberi tugas layaknya guru mata pelajaran. Bimbingan dan konseling
bukanlah kegiatan pembelajaran dalam konteks adegan belajar mengajar di kelas yang
layaknya dilakukan guru sebagai pembelajaran bidang studi, melainkan pelayanan ahli
dalam konteks memandirikan peserta didik. (ABKIN: 2007).

Pada tahun 2001 terjadi perubahan organisasi Ikatan Petugas Bimbingan


Indonseia (IPBI) menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).
Dengan fungsi bahwa bimbingan dan konseling harus tampil sebagai profesi yang
mendapat pengakuan. Kemudian pada tahun 2003 istilah guru pembimbing berganti
menjadi konselor. Merujuk pada UU RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, sebutan untuk guru pembimbing dinyatakan dalam sebutan Konselor.
Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu
kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor,
widyaiswara, fasilitator dan instruktur (UU RI No. 20/2003, pasal 1 ayat 6).
Namun dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2006), posisi dan
arah layanan bimbingan dan konseling di sekolah sesungguhnya mengalami
kemunduran, karena adanya pemahaman tentang konteks tugas dan ekspektasi kinerja
konselor yang tidak menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan
keahliannya, dengan ekspektasi kinerja guru yang menggunakan materi pelajaran
sebagai konteks layanan keahliannya. Bimbingan dan konseling dibawa ke wilayah
pembelajaran yang berpayung pada standar isi, bimbingan dan konseling menjadi bagian
dari standar isi yang dituangkan menjadi pengembangan diri dan menjadi salah satu
komponen kurikulum (Hariyanto. 2010).
2. Arah Pengembangan Profesi Konseling
Mulai tahun 2004 DSPK dijadikan panduan resmi dalam pengembangan profesi
konseling bagi jurusan BK dan program PPK di perguruan tinggi seluruh Indonesia.
Telah dirumuskan visi dan misi konseling dengan arahan bahwa perumusan visi dan misi
konseling harus dilihat dalam konteks dan perspektif pendidikan dan kehidupan
masyarakat luas secara menyeluruh dan konprehensif, sebagai berikut.
a. Visi
Visi konseling adalah:
1) Profesi konseling merupakan keahlian pelayanan pengembangan pribadi dan
pemecahan masalah yang mementingkan pemenuhan kebutuhan dan kebahagiaan
pengguna sesuai dengan martabat, nilai, potensi, dan keunikan individu.\

2) Konseling sebagai ilmu dan profesi harus mampu memberikan sumbangan bagi
dunia pendidikan nasional serta kehidupan masyarakat dan bangsa pada
umumnya.
3) Profesi bantuan pelayanan konseling diabdikan bagi peningkatan harkat dan
martabat kemanusiaan.
4) Konseling tidak lagi hanya dipelajari sebagai seperangkat teknik, melainkan
sebagai kerangka berpikir dan bertindak yang bernuansa kemanusiaan dan
keindividualan.
5) Orientasi pelayanan konseling bergeser dari supply-side ke demand-side yang
menuntut upaya proaktif dalam melayani warga masyarakat yang menjadi target
pelayanan.
6) Profesi konseling senantiasa terbuka untuk berkembang selaras dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta tuntutan lingkungan
akademis dan profesional, sehingga mampu memberikan kontribusi yang
disignifkan bagi dunia pendidikan.
b. Misi
1) Misi Pendidikan, yaitu mendidik peserta didik dan warga masyarakat melalui
pengembangan perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian dan yang
terkait dengan kehidupan masa depan.
2) Misi pengembangan, yaitu memfasilitasi perkembangan individu di dalam satuan
pendidikan formal dan nonformal, keluarga, instansi, dunia usaha dan industri,
serta kelembagaan.
3) Misi pengentasan masalah, yaitu membantu dan memfasilitasi pengentasan
masalah individu yang mengacu kepada kehidupan sehari-hari yang efektif.
(Prayitno. 2015; 72-74).
Konselor Bimbingan Indonesia masih mengungguli sekarang di sekolah meskipun
banyak konselor lain bekerja di ranah lain pada organisasi perencanaan keluarga,
pelayanan sosial, dan organisasi non pemerintahan. Semua posisi masih berafflisasi
dengan kode etik sebagai dipublikasikan oleh Asosiasi Bimbingan dan Konseling
Indonesia. Etik mempertimbangkan berarti unifikansi profesional. Pada kondisinya,
identitas kondisi bisa diartikan pada istilah dari kebiasaan etik sejak etik profesional
dilayani sebagai aturan untuk konselor sekarang sebagai seorang profesional (Hendricks,
2008). Sayangnya, etik konselor Indonesia tidak semata-mata diselenggarakan diikuti
konselor bimbingan atau konselor-konselor lain. Sekarang pada ranah penyembuhan
4

untuk profesional-profesional yang mengkonduksi mereka sendiri tanpa etik. Disana


bukan prosedur yang bagaiaman untuk membentuk aporan ketika sebua kebiasaan
profesional bertingkah laku tanpa etik. Selanjutnya disana tidak ada ketegasan
konsenkuensi atau hukuman untuk yang memecahkan kode tik. Sejak implementasi
rendah dari kode etik konselor Indonesia, supervisi dari pelaksaan mereka juga
berpotensial rendah untuk masyarakat menjadi penurunan tingkat dari yang kepercayaan
terhadap profesi.
Implementasi kode etik konselor pada ranah pertama untuk berkembangny konselor
bimbingan dan identitas konselor sebagai profesional. Mereka profesional dengan
kemampuan dan potensi untuk memberikan kekuatan pada orang yang membutuhkan
bantuan psikologis. Tanpa dengan etik, kebiasaan-kebiasaan konselor boleh mengikuti
kepercayaan nilai atau kebudayaan bahwa mereka yang berhubungan dengan itu. Itu
bisnis yang rawan ketika seorang profesional tidak mengimplementasikan kode etik.
Mereka bisa kehilangan identitas profesional dan setelah menghasilkan pelayanan yang
rendah tanpa dengan respon moral. Konsenkuensi, klien bisa saja tidak menemukan
perbaikan dan tujuan hidup atau kembali menjadi buruk.
Kolaborasi interprofesi dengan profesional lain boleh menjadi jalan yang baik untuk
memaksimalkan peran profesi bahwa mereka berkontribusi lebih efektif untuk masalah
kritis pendidikan, kesehatan mental atau ranah-ranah lain (Keyton & Stallwoth, 2002).
Identitas konselor di Indonesia boleh meningkatkan ketika bisa menerima mereka sendiri
sebagai profesional dengan karakter spesifik dan pemahaman mengenai kapasitas mereka,
dan menguatkan kode etik sebagai konselor profesional ( Nanang & Rochmat.2015)

B. Praktik Bimbingan dan Konseling di Indonesia


Praktik pelaksanaan bimbingan dan konseling di Indonesia banyak fakta-faktanya, ada
beberapa contoh dari berbagai daerah di Indonesia antara lain:
1. Realitas implementasi Bimbingan Konseling di SD Legundi II memang sangat jauh dari
apa yang seharusnya bisa diterapkan di tingkat pendidikan dasar sesuai dengan kebutuhan
mereka. Pelaksanaan Bimbingan Konseling di SD Legundi II tidak terprogramkan dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, bahkan dalam pengembangan diri sekalipun.
Jikapun ada dilaksanakan program Bimbingan Konseling di SD Legundi II hanya
dilakukan oleh Guru yang menyadari betapa pentingnya Bimbingan Konseling bagi
pemenuhan kebutuhan anak didik, baik itu bimbingan pribadi, sosial, belajar maupun
kariernya. Kegiatan atau pelaksanaan Bimbingan Konseling itupun hanya dilakukan di
tingkatan kelas tertentu, misalnya kelas I pada saat masuk sekolah sebagai usaha
pengenalan lingkungan dan adaptasi, ataupun ketika pada jenjang tingkat kelas VI pada
waktu persiapan menjelang Ujian Akhir sekolah, agar belajar lebih rajin agar dapat
memilih sekolah yang diinginkan. Selebihnya, pelaksanaan Bimbingan Konseling kurang
terlaksana, seandainya terlaksanapun sifatnya insidental saja.
Selain itu di SD Legundi II pada khususnya dan SD-SD lain di Kecamatan Panggang
pada umumnya, tidak memiliki program khusus Bimbingan Konseling, padahal
sebenarnya jika mau memfungsikan, di wilayah Panggang terdapat Konselor-konselor
yang berkompeten di bidang Bimbingan Konseling. Ini menunjukkan kurang
diperhatikannya pentingnya Bimbingan Konseling di SD Legundi II dan sekitarnya.
Penerapan layanan bimbingan dan konseling di Sekolah Dasar pada khususnya di SD
Legundi II Kecamatan Panggang dan di Indonesia pada umunya, saat ini masih belum
maksimal bahkan cenderung sangat kurang maksimal (Andri. 2010).
2. Program BK di TKIT Al-Mumtaz Pontianak tidak melalui needs asessment terkait
ketercapaian tugas-tugas perkembangan anak. Pelaksanaan program BK kurang
memaksimalkan peran personel sekolah dan stakeholder. Adanya keterbatasan konselor
dalam penaganan masalah. (2) program BK berbasis tugas-tugas perkembangan yang
sesuai digunakan pada anak kelompok A TKIT Al-Mumtaz Pontianak adalah program BK
yang memfasilitasi dan menstimulasi ketercapaian tugas perkembangan anak mencakup:
a) belajar patuh terhadap aturan-aturan dan berperilaku moral dalam berbagai situasi yang
khusus, b) mencapai kestabilan fisiologis, c) mencapai peningkatan dalam perkembangan

bahasa, d) belajar bersosialisasi dengan lingkungan terdekatnya, e) mencapai pemahaman


sederhana mengenai kenyataan sosial dan fisik (Martin, dkk. 2014).

DAFTAR RUJUKAN
Andri. 2010. Implementasi Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Tingkat Sekolah Dasar.
Diakses [Online] http://www.kompasiana.com/ tanggal 18 September 2016
Hariyanto. 2010. Sejarah Lahirnya Bimbingan dan Konseling.
http://belajarpsikologi.com/ tanggal 18 September 2016.

Diakses

[Online]

Martin, dkk. 2014. Program Bimbingan Dan Konseling (Bk) Berbasis Tugastugas Perkembangan
Di Taman Kanak-Kanak (Tk). Jurnal Bimbingan Konseling 3 (1) (2014)
Nanang

& Rochmat. 2015. Counseling in Indonesia: History, Identity,


Trends and Challenges. Boston, USA. Third 21st CAF Conference at Harvard Vol. 6,
Nr. 1.

Prayitno. 2015. Konseling Integritas (Pola Konseling Indonesia). Kaliurang. Paramitra


Publishing.

Anda mungkin juga menyukai