Anda di halaman 1dari 3

Indeks keanekaragaman didekati melalui pendekatan kekayaan jenis (species richness)

dan kelimpahan jenis (species abudance)1. Kekayaan jenis ditentukan oleh banyaknya jumlah
spesies di dalam suatu komunitas dimana semakin banyak jenis yang teridentifikasi maka
kekayaan spesiesnya pun tinggi. Kelimpahan spesies adalah jumlah individu dari tiap spesies.
Kajian kelimpahan spesies dapat juga diteruskan pada kajian kemerataan spesies dimana kajian
ini menujukkan kelimpahan spesies yang tersebar antar spesies tersebut. Semakin merata jumlah
individu masing-masing spesies ditemukan di berbagai tempat, maka semakin merata dan
melimpah spesies tersebut.
Indeks keanekaragaman jenis (H) menggambarkan tingkat kestabilan suatu komunitas
tegakan. Semakin tinggi nilai H, maka komunitas vegetasi hutan tersebut semakin tinggi tingkat
kestabilannya. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Indeks Keanekaragaman ShannonWiener tertinggi sampai terendah secara berturut-turut yaitu tingkat semai, pancang, pohon dan
tiang sebesar 2 ; 1,41 ; 1,40 dan 0,87. Magurran (1988) menjelaskan bahwa nilai indeks
keanekaragaan (H') ini berhubungan dengan kekayaan spesies pada lokasi tertentu, tetapi juga
dipengaruhi oleh distribusi kelimpahan spesies. Indeks keanekaragaman pada tingkat tiang
termasuk dalam kategori rendah atau kurang stabil, sedangkan pada tingkat semai, pancang dan
pohon termasuk dalam kategori sedang atau stabil, hal ini didasarkan pada Kent & Paddy (1992)
yang menyatakan jika nila H < 1, maka komunitas vegetasi dengan kondisi lingkungan kurang
stabil; jika nilai H antara 1-2, maka komunitas vegetasi dengan kondisi lingkungan stabil; jika
nila H > 2, maka komunitas vegetasi dengan kondisi lingkungan sangat stabil. Nilai
keanekaragaman yang semakin tinggi menunjukkan semakin stabil komunitas disuatu kawasan.
Kestabilan ekosistem artinya sistem akan kembali ke keadaan semula setelah terjadi gangguan
yang menyebabkan goncangan tersebut tidak ada. Suatu komunitas stabil jika jumlah jenis yang
ada relatif konstan sepanjang waktu (Indriyanto,2006). Pada tingkat pancang Hutan Al-huriyyah
ini menunjukkan kestabilan sehingga mengindikasikan bahwa tingkat pancang pada ekosistem
Hutan Al-huriyyah tidak terpengaruh pada tekanan lingkungan pada kawasan tersebut.
Suatu jenis yang memiliki tingkat kestabilan yang tinggi mempunyai peluang yang lebih
besar untuk mempertahankan kelestarian jenisnya. Untuk menilai kemantapan atau kestabilan
jenis dalam suatu komunitas dapat digunakan nilai indeks kemerataan jenis (e). Semakin tinggi
nilai e, maka keanekaragaman jenis dalam komunitas semakin stabil dan semakin rendah nilai
e, maka kestabilan keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut semakin rendah (Odum,
1993). Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai kemerataan pada tingkat pohon, tiang,
pancang dan semai secara berturut-turut yaitu sebesar 0,72 ; 0,78 ; 0,79 dan 0,64. Hasil ini
menunjukkan nilai kemerataan pada berbagai tingkat pertumbuhan tersebut tinggi. Jika indeks
kemerataan mendekati nilai 0, maka dalam ekosistem ada kecenderungan terjadi dominansi jenis
yang disebabkan oleh adanya ketidakstabilan faktor-faktor lingkungan dan populasi. Bila indeks
kemerataan mendekati 1, maka hal ini menunjukkan bahwa ekosistem tersebut dalam kondisi
yang relatif stabil yaitu jumlah individu tiap jenis relatif sama (Brower, J.E. and J.H. Zar, 1977).
Kekayaan jenis adalah jumlah jenis (spesies) dalam suatu komunitas. Semakin banyak
jumlah jenis yang ditemukan maka indeks kekayaannya juga semakin besar. Hasil perhitungan
menunjukkan Indeks Kekayaan secara berturut-turut pada tingkat pohon dengan 7 jenis yang
ditemukan adalah sebesar 1,71, tingkat tiang dengan 4 jenis yang ditemukan adalah sebesar
1,12, tingkat pancang dengan 9 jenis yang ditemukan adalah 1,91 dan pada tingkat semai dengan
13 jenis yang ditemukan adalah sebesar 2,12. Indeks kekayaan Margalef membagi jumlah

spesies dengan fungsi logarima natural yang mengindikasikan bahwa pertambahan jumlah
spesies berbanding terbalik dengan pertambahan jumlah individu. Hal ini juga menunjukkan
bahwa biasanya pada suatu komunitas/ekosistem yang memiliki banyak spesies akan memiliki
sedikit jumlah individunya pada setiap spesies tersebut.
Terkait dengan kekayaan dan kemerataan spesies yang merupakan komponen dari konsep
keanekaragaman spesies, nampak bahwa pada semua tingkat pertumbuhan nilai dari kemerataan
spesies (E) selalu lebih kecil dari kekayaan spesies (R). Hal ini berarti bahwa kondisi di area
penelitian sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh Polunin (1990), menyebutkan bahwa
kisaran lingkungan tertentu memiliki kisaran parameter edafik tertentu pula. Artinya bahwa
unsur-unsur hara tanah yang ada di lokasi kajian tidak terdistribusi secara merata, sehingga
kemerataan spesies yang hidup di atasnya juga tidak merata. Hal ini berarti bahwa yang lebih
berperan dalam menentukan indeks keanekaragaman spesies adalah kekayaan spesies.
Sebagaimana diketahui bahwa keanekaragaman spesies terdiri atas dua komponen yang
menyusunnya yaitu kemerataan spesies dalam komunitas dan kekayaan spesiesnya. Di antara
kedua komponen tersebut, masing-masing memiliki indeks tertentu. Apabila nilai indeksnya
sama atau mendekati sama maka antara kemerataan spesies dan kekayaan spesies yang
menentukan indeks keanekaragaman memiliki kontribusi yang sama atau seimbang. Apabila hal
itu terjadi sebaliknya, maka salah satu komponen memberikan kontribusi yang lebih besar. Hal
ini bermakna bahwa keanekaragaman spesies tumbuhan yang ada di dalam suatu komunitas
ditentukan oleh kekayaan spesies dan kemerataan spesies yang ada di dalam komunitas tersebut.
Dalam suatu komunitas komponen kekayaan spesies dapat lebih mendominasi atau sebaliknya
yaitu kemerataan spesies yang lebih mendominasi, dan atau keduanya memiliki daya kontribusi
yang seimbang.
Dalam praktikum ini, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies
tumbuhan yang didata yaitu dan intensitas cahaya. Nilai rata-rata intensitas cahaya sebesar 7,05.
Faktor intensitas cahaya sangat berpengaruh terhadap fisiologis tumbuhan terutama dalam
fisiologis fotosintesis. Dalam pengaruhnya tersebut, intesitas cahaya yang diperlukan oleh
tumbuhan untuk aktivitas fotosintesis, mengikuti kurve normal, artinya pada waktu tertentu
dengan intensitas cahaya tertentu, laju fotosintesis berlangsung sesuai dengan besarnya intensitas
cahaya yang diterima.
Adanya jenis yang mendominasi ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain adalah persaingan antara tumbuhan yang ada, dalam hal ini
berkaitan dengan iklim dan mineral yang diperlukan, jika iklim dan mineral yang
dibutuhkan mendukung maka jenis tersebut akan lebih unggul dan lebih banyak
ditemukan (Syafei, 1990).
Pola penyebaran tumbuhan dalam komunitas bervariasi karena adanya
beberapa faktor. Faktor yang berinteraksi yaitu angin, ketersediaan air,
intensitas cahaya, kemampuan reproduksi organisme, fenologi tumbuhan, dan
faktor koaktif yang merupakan faktor yang dihasilkan oleh interaksi intraspesifik
(kompetisi) (Ludwig & Reynold, 1988; Wright, S. J., 2002).
Wright, S. J. 2002. Plant Diversity Ni Tropical Forest:a Review of Mechanisms of
Spesies Coexistence. Journal Oecologia, 130:1-14

Brower, J.E. and J.H. Zar., 1977. Field and Laboratory Methods for General
Ecology. WM. J.Brown Company Publ. Dubuque. Iowa. 94 p.
Syafei, Eden Surasana. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Institut Teknologi
Bndung: Bandung.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey: Princeton
University Press.
Odum, E.P. (1993). Dasar-dasar ekologi (T. Samingan, Terjemahan). Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Polunin. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun.
Yogyakarta: UGM.

Kent, M. & Paddy, C. (1992). Vegetation description and analysis a practical approach.
London: Belhaven Press.
Indriyanto. 1993. Ekologi Hutan. Jakarta. Bumi aksara.

Anda mungkin juga menyukai