Anda di halaman 1dari 4

PENGERTIAN IMAN DAN TAKWA

PENGERTIAN IMAN
Pengertian iman dari bahasa Arab yang artinya percaya. Sedangkan menurut istilah,
pengertian iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan
dengan tindakan (perbuatan). Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah adalah
membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan
dan kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan
dengan amal perbuatan secara nyata (Ahmad Rusdi,2009).
PENGERTIAN TAKWA
Pengertian logawiyah takwa ialah hati-hati, ingat, awas, menjaga diri. Akar-katanya adalah
waqiyah. Banyak sekali ayat dalam Quran mengandung kata taqwa atau kata jadian
wiqayah. Jumlahnya kira-kira 227 ayat. Jadi hampir 4% isi Quran mengandung taqwa. Paling
kurang sekali sejumat masyarakat Islam diperingatankan supaya taqwadisampaikan oleh
khatib dalam khutbah Jumat. Khutbah Jumat kekurangan syarat, apabila peringatan tidak
diucapkan (Sidi Gazalba, 1975)

HUBUNGAN ANTARA IMAN DAN TAKWA


Iman dan taqwa adalah dua unsur pokok bagi pemeluk agama. Keduanya merupakan
elemen yang penting dalam kehidupan makhluq manusia dan sangat erat hubungannya
dalam menentukan nasib hidupnya serta memiliki fungsi yang urgen.
Menurut ahli hukum, iman itu hanya sekedar pengakuan suatu makna yang
terkandung dalam lubuk hati, menurut para teolog, iman itu adalah kepercayaan yang
tertanam dalam lubuk hati dengan keyakinan yang kuat tanpa tercampuri oleh keraguan dan
berperan terhadap pendangan hidup atau amal perbuatan sehari-hari. Sedangkan menurut
berbagai filosof, iman diartikan lebih jauh dari lafidz dan makna serta tidak terikat dengan
dalil-dalil apologis. Misalnya Karl Teodor Yoeper seorang filosof Jerman mengetengahkan
istilah iman falsafi yang universil yang berlaku untuk semua zaman dan kebudayaan. Isi
iman falsafi baginya, bahwa Allah itu ada, manusia harus mampu memilih memilih yang
baik secara tak bersarat, dunia tidak merupakan kenyataan terakhir dan bahwa cinta kasih
manusia merupakan suatu bukti adanya Allah. Semua pengertian-pengertian yang
dikemukakan diatas pada dasarnya menunjukkan, bahwa iman itu berperanan dan
berpengaruh terhadap tindak laku manusia dalam segala aspek kahidupan manusia.
Menurut filosof islam Imam Ghozali bahwa iman itu berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat spiritual atau batin, dimana hati dapat menangkap iman dalam pengertian hakiki
melalui kasyaf yang diperoleh berkat pancaran sinar Ilahi padanya. Dalam kesempatan lain
beliau menegaskan, bahwa arti iman adalah pengakuan yang kuat tidak ada pembuat
(faa`il) selain Allah. Makna iman yang dikemukakan ini menimbulkan problema metafisis,

diantaranya membatasi sebab pembuat (illah faa`iliyah) hanya kepada Allah, manafikan
kebebasan berikhtiar dari manusia serta penyerahan diri (tawakkal) kepada-Nya. Pemikiran
Imam Ghozali ini disebut dengan istilah tauhid, sebab artinya keimanan itu tidak boleh
menghubungkan sebab tersebut kepada selai Allah. Dialah pembuat satu-satunya dan
selain-Nya hanya sekedar washilah (perantara). Hukumnya perantara itu dalam tinjauan
filsafat juga sebab, namun sebab pokok.
Bagi Imam Ghozali iman itu bukan lawan dari syirik, tetapi peng-Esaan kepada
Kholiq (Pencipta). Oleh karena itu bagi orang yang meng-Esakan Allah harus bersikap
tawakkal. Tawakkal bukan berarti maniadakan ikhtiar, tetapi maniadakan kebebasan
berikhtiar, karena dalam tawakkal manusia berkesempatan untuk kasab (berusaha). Bahkan
dengan tawakkal itu dapat mengenal hakekat ikhtiar dan sekaligus dapat mengetahui nilai
dan kualitas iman. Iman yang sebenarnya harus membuahkan tawakkal, sehingga dapat
memperoleh ridho Allah. Dalam kitab suci dikemukakan, bahwa Nabi Hud, Nabi Musa dan
tang lainya telah menjadikan tawakkal sebagai benteng kekuatan bertaqwa dalam
menghadapi kaumnya. Ini semua menunjukkan, bahwa antara iman dan taqwa saling
berpengaruh dalam membentuk membentuk manusia berkepribadian luhur.
Iman menurut pemikiran Imam Ghozali diatas mengandung implikasi yang sangat
luas. Diantaranya sekaligus sebagai garis pemisah terhadap pandangan orang yang
mengingkari wujud dibalik materi, menolak dengan tegas faham polotisme, atheisme,
animisme, dan lainnya. Penafsiran sebab tauhid sebagaimana yang telah diterangkan oleh
Imam Ghozali tidak dapat disamakan dengan penafsiran sebab yang dengan dikemukakan
oleh Aristoteles, sebab Aristoteles tidak bermaksud dengan konsepnya itu menafikan sebab
material. Gerak alam ini dipandang olehnya sebagai gerak tujuan (illah ghoyah) yaitu
Tuhan adalah tujuan yang menjadi arah gerak alam, sedangkan Imam Ghozali menafsirkan
Allah penggerak satu-satunya. Dialah pencipta segala sesuatu, pencipta absolut
sebagaimana ditegaskan oleh wahyu-Nya.
Pada umumnya pada filosof yang tidak mengenal ide-ide agama, maka dalam filsafat
ketuhanan perlu berpendirian, bahwa permulaan alam hanya sebagai pengatur dan
penyusun materia in prima (materi pertama) sebagai Tuhan sendiri. Pengertian pengatur dan
penyusun lebih menunjukkan keterampilan daripada pencipta. Pendirian mereka
menjadikan wujud keseluruhannya tersusun dari sebab akibat. Tuhan dan materi tunduk di
bawah hukum kemestian (nesessity).
Jadi kenyataan isi dari iman antara filosof murni dengan filosof yang mengakui ideide agama, khususnya Islam jauh berbeda, sehingga konsekuensinya dalam pembentukan
kepribadian luhur dan pola pikir dalam mengarungi kehidupan ditengah-tengah masyarakat
akan terjadi perbedaan juga. Disini tampak dengan jelas, bahwa sila pertama dari Pancasila
sebagai asas tunggal bermasyarakat dan bernegara tidak sama dengan kepercayaan para
filosof yang tidak mengenal agama dalam mempercayai keberadaan Tuhan. Tuhan dalam
Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta alam semesta, Penagsih, Penyayang, dan
sebagainya seperti dijelaskan oleh ajaran agama khususnya ajaran Islam. Pemikiran
ketuhanan yang terkandung dalam Pancasila ternyata berpengaruh besar dalam

merumuskan Tujuan Pendidikan Nasional, Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan


Pancasila dan aturan-aturan yang lain di Negara kita yang hampir kesemuanya mengandung
norma-norma luhur.
Filosof-filosof Islam, baik Mu`tazilah maupun Ahli Sunnah berpendapat bahwa
hukum beriman kepada Allah adalah wajib karena iman itu dapat diharapkan terbentuk
masyarakat yang bertaqwa. Mereka berselisih tentang dasar terjadinya kewajiban itu dari
agama, sebab akal tidak mengenal hukum wajib. Akal hanya mengenal tepat dan tidak
tepat, sesuai dan tidak sesuai, benar dan salah. Abu Mansur Maturidi dan pemikir Ahli
Sunnah memberikan penyelesaian kontradiksi tersebut dengan penegasannya bahwa dasar
kewajiban beriman itu dari agama dan dapat difahami kebenarannya oleh akal.
Taqwa itu pada prinsipnya adalah amal batin atau lahir, baik yang bersifat mengikuti
perintah Tuhan maupun amal yang berbentuk menjauhi larangan Tuhan. Yang menjadi
problema apakah unsur amal itu menjadi syarat iman, dengan pengertian, bahwa apakah
tanpa amal seseoran tidak dianggap beriman.
Mayoritas ahli pikir Mu`tazilah dan Khowarij berpendirian, bahwa amal adalah rukun iman.
Iman seseorang tidak dapat diterima tanpa amal dengan argumentasi, bahwa kalimat Innal
ladzina Amanuu dalam firman Allah selalu diiringi kalimat wa Amilush sholihahat atau
kalimat lain yang maksudnya sama. Tetapi menurut ahli pikir Ahli Sunnah, bahwa amal
bukan sebagian rukun iman dengan alasan, bahwa apabila amal termasuk rukun iman berarti
Iman dan Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah, sedangkan berdasar penjelasan
Hadist antara keduanya berlainan, dimana Jibril bertanya kepada Nabi Muhammad SAW
tentang apa rukun Iman dan rukun Islam. Masing-masing dijawab dengan jawaban yang
berbeda. Bagi ahli pikir Ahli Sunnah kalimat Alladzina Amanu memang selalu diikuti
kalimat wa amilush sholihat ini menurut analisa bahasa bahkan menunjukkna perbedaan,
sebab Wau Athaf disitu menunjukkan perbedaan (Taqtadli Mughoyarah). Artinya iman itu
bukan amal dan amal itu bukan iman. Hal ini sama dengan kalau orang yang makan telah
pergi. Ini menunjukkan, bahwa berkata itu bukan makan dan makan itu bukan berkata. Tetapi
ahli pikir Ahli Sunnah mengakui bahwa antara keduanya mempunyai pengaruh yang erat
sekali. Apabila antara dua pendapat tersebut diatas dikomparasikan maka pendapat ahli pikir
Ahli Sunnah lebih kuat argumentasinya. Sebab manakala amal itu termasuk rukun iman dan
iman tidak diterima tanpa amal sholeh, maka alangkah sedikitnya orang-orang yang masuk
surga. Dalam pada itu dikemukakan oleh suatu hadits, bahwa akan keluar dari neraka siapa
saja yang didalam lubuk hatinya teradapat sedikit dari iman. Hadits ini menunjukkan orang
yang beriman tanpa amal bagaimanapun akan masuk surga sekalipun sangat lama sekali
merasakan neraka (Achmad Mudlor,)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim1. 2009. Pengertian Iman.


http://www.
diakses tanggal 18 oktober 2009
Anonim2. 2009. Hubungan antara Iman dan Takwa.
http://www. /G:/Pengertian Iman ISLAM AGAMAKU
diakses tanggal 18 oktober 2009
Gazalba Sidi. 1975. Asas-asas Agama Islam. Bulan Bintang. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai