Anda di halaman 1dari 18

A.

Penjelasan dan Contoh 40 Kaidah Usul Fiqih


Berikut adalah 40 Kaidah dari usul fiqih.
1. Kaidah pertama

Ijtihad tidak dibatalkan oleh ijtihad
Hukum hasil ijtihad yang terdahulu tidak batal karena
adanya ijtihad yang kemudian, sehingga sahlah semua
perbuatan yang berdasarkan hasil ijtihad terdahulu, namun
untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan
adanya hokum hasil ijtihad yang baru. Yang demikian ini
adalah karena :
a.
Nilai ijtihad adalah sama, sehingga hasil ijtihad kedua
tidak lebih kedua tidak lebih kuat dari hasil ijtihad
b.

pertama.
Apabila suatu ketetapan hokum hasil ijihad dapat
dibnatalkan

oleh

hasil

ijtihad

yang

lain,

akan

mengakibatkan tidak adanya kepastian hokum. Dan


tidak adanya kepastian hukum ini akan mengakibatkan
kesulitan dan kekacauan besar.
Berdasarkan kaidah ini, maka pabila suatu pengadilan
telah memutuskan hokum

terhadap suatu peristiwa ,

kemudian pada kesempatan lain ada peristiwa yang sama,


pengadilan tersebut memutuskan hokum yang lai, maka
hasil

keputusan

yang

baru

tidak

merubah

keputusan

terdahulu, tetapi hanya berlaku pada peristiwa yang baru.


Contoh :
Seorang hakim berdasarkan ijtihad telah mengambil
keputusan dengan menjatuhkan hukuman penjara 10
tahun.

Tetapi

pada

kesempatan

yang

lain

dlam

peristiwa yang sama dia mengambil keputusan dengan


menjatuhkan hukuman kurang dari 10 tahun. Maka
dalam hal ini keputusan yang baru tidak merusak

keputusan ynag terdahulu, artinya pelaku yang pertama


tetap dihukum 10 tahun, dan pelaku yang kedua tetap

dihukum kurang dari 10 tahun.


Seorang Solat dengan menghadap suatu arah yang
dianggap kiblat, kemudian pada waktu masuk Solat
berikutnya berubah angapannya tetang kiblat, maka dia
harus menghadapi arah yang dianggapnya kiblat dan

tidak wajib mengqadla shalatnya yang pertama.


Seseorang yang ijtihadnya telah menentukan sucinya
salah satu dari bejana kemudian mengunakannya dan
meninggalkannya, kemudian berubah anggapannya,
maka tidak boleh melakukan seperti anggapan yang
kedua, tetapi harustayamum.

Catatan :
Rusak

keputusan

ijtihad

seorang

hakim

apabilaberlawanan dengan nash atau ijma atau qiyas jaly,


atau menurut Al-Iraqy, berlawana dengan kaidah-kaidah
yang kully, atau menurut ulama-ulama Hanafi, hukumnya
tidak berdasarkan suatu dalil.
2. Kaidah Kedua









Apabila berkumpul antara yang halal dan yang haram,
dimenangkan yang haram.
Segolongan ulama mendasarkan kaidah ini pada suatu
hadist :



:
Manakala berkumpul yang halal dengn haram, maka
Walaupun

dimenangkan yang haram.


hadis diatas ini sanadnya

dhaif,

tetapi

kaidahnya sendiri adalah benar sesuai perintah agama,

yaitu

untuk

selalu

berhat-hati,

yakni

upaya

preventif

sebelum terjadi pelanggaran yang lebih berat.


Demikian pula apabil dua dalil bertentangan yang satu
mengharamkan, dan yang lain menghalalkan, maka di
dahulukan yang mengharamkan.
Contoh : ketika sahabat Utsman bin Affan RA ditanya
tentang

uumnya

mengumpulkan

dua

orang

wanita

bersaudara, yang satu merdeka, yang satu budak, yang


keadaanya menurut ayat An-Nisa :








Dan haram mengumpulkan (dalam perkawinan) dan
dua orang wanita bersaudara.(hal 51-52)
Pertentangan antara dua hadis, yaitu :
.






bagimu boleh berbuat sesuatu terhadap istrimu yang
sdang haid pada segala yang berada di atas kainpinggang.
Dengan Hadis:






perbutlah segala sesuatu (terhadap istri yang sedang
Hadits

haid) kecuali persetubuhan.


yang pertama menunjuk kepada

hukum

haram istri yang sedang haid berbuat sesuatu antara pusar


dan lutut.
Sedangkan hadits yang kedua memblehkan berbuat
segala seuat terhadap istri yang sedang haid, kecuali
bersetubuh.










Apabla berlawanan antara yang mencegah dan yang

mengharuskan, didahulukan yang mencegah.


Contoh : Orang yang junub kemudian mati syahid, maka
yang

lebih

sah

ia

tidak

dimandikan.

Bahkan

apabila

waktunya sempit atau airnya kurang untuk kesempurnaan


mandi, haram memandikannya.(hal 53)
3. Kaidah keiga

Mengutamakanorang lain dalam uruan ibadah adalah


makruh, dan dalam urusan selain ibadah adalah disenangi.
Asal dari kaidah ini adalah firman Allah :



.
berlomba-lombalah kamu sekalian didalam
kebajikan.(hal 55)
4. Kaidah keempat


Pengikut tu adalah mengikuti
Artinya adalah sesuatu yang mengikuti kepada yang lain

maka hukumnya adalah hukum yang diikuti.


Yang termasuk dalam kaidah ini adalah:



Pengikutnya hukumnya tidak tersendiri
Hal ini karena hukum yang ada pada yang diikuti
berlaku juga untu yang mengikuti.
Contoh: Jual beli binatang yang sedang bunting, anak
yang ada didalam kandungannya termasuk kedalam akad
itu.








pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang dikuti
Apabila hukum yang diikuti gugur, maka gugur pula

huum yang mengikuti.


Contoh: Orang gila tidak berkewajiban shalat fardhu,
karena

itu

tidak

disunnahkan

shalat

sunnah

rawatib,

kewajiban shalat fardhu telah gugur, dengan sendirinya


shalat sunnah menjadi gugur pula.
Dekat dengan kaidah diatas adalah :









cabang menjadi jatuh apabila pokoknya jatuh
Contoh : Apabila anak yang pandai dan baik itu bebas
(dari kesalahan), bebas pula penanggungannya; dan apabila
dia jatuh (dinyatakan bersalah), salah pula penaggungnya,
sebab penanggung adalah cabang dari yang ditanggung.




pengikut itu tidak mendahului yang diikuti.
Jadi yang diikuti harus lebih dahulu dari yang mengikuti.

Contoh: makmum tidak boleh mendahului iman, baik


tempat berdirinya maupun gerakannya.






dapat dimaafkan dari hal-hal yang mengikuti, tidak
dimafkan pada yang lainnya.
Dengan kaidah yang di atas;








sesuatu itu dapat dimaafkan karena terkait yang
lain,tidak dapat dimaafkan karena sengaja.
Kadang-kadang dikatakan;






dapat dimaafkan bagi yang meniru, tidak demikian bagi
yang lain.
Contoh: Orang yang sedang ihram tidak sah nikah, tetapi
sah rujuknya, karena adanta rujuk setelah adanya nikah.
(hal 57-60)
5. Kaidah kelima








tharruf (tindakan) imama terhadap rakyat harus
dihubungkan dngan kemaslahatan.
Tindakan dan kebikalsanaan yang ditempuholeh
pemempin/penguasa harus sejalan dengan kepentingan
umum bukan untuk golongan ayau diri sendii. Penguasa
adalah engayom dan pengemban kesengsaraan umat.
Kaidah ini berasal dari fatwa Imam SyafiI :









keduduan imam tergadap rakyat adalah seperti
kedudukan wali terhadap anak yatim.(hal 61).
6. Kaidah keenam





hukum-hukuman itu gugur karena syubhat
Suatu kasus yang belum bsa dbuktikan secara
factual sebagai suatu tindak pelanggaran, tersangka tidak
bisa dijatuhi hukuman. Karena untuk memfonis pelaku
tindak krimnalitas (jarimah) seorang hakim memerlukan
bukti-bukti obyektf meyakinkan.
Kaidah ini berasal dari sabda Nabi :



hindarkanlah hukuman hukuman karena adanya
syubhat.
contoh: mengambil kendaraan ditempat perparkiran,
karena cat dan merk sama, ternyata bukan.





kewajiban membayar kafarat gugur karena adanya
syubhat.
Contoh : orang melakukan persetubuhan di bulan
Ramadlan karena lupa, tidak wajib membayar kafarat.(hal
64)
7. Kaidah ketujuh







Orang yang merdeka itu tidak masuk dalam

kekuasaan.
Contoh : Seandainya mengurung orang yang merdeka,
dengan memperlakukannya dengan baik, kemudina da mati
karena tertimpa tembok yang robohdan sebagainya, maka
tidak wajib membayar ganti ruginya.(hal65)
8. Kaidah kedelapan










yang mengelilngi larangan hukumnya sama dengan
yang dikelilingi.
Dasar darikaidah ini ialah hadis Nabi :





.
























.









Yang halal telah jelas dan yang haram talah jelas, dan
diantara keduanya ada masalah-masalah mutsyabihat( yang
tidak jelas hukumnya), yang kebanyakan orang tidak
mengetahui hukumnya. Maka barangsiapa yang menjaga
diri dari syubhat, berti ia halal membersihkan agama dan
dirinya;dan barang siapa yang jatuh kepada keharaman,
seperti seorang penggembala yang mengembala disekitar

pagar dan larangan, dikhawatirkan akan melanggar


(memasuk) ke dalam pagar.(hal-67)
9. Kaidah kesembilan






















Apabla berkumpul dua perkara satu jenis, dan tidak
berbeda makud dari keduanya, maka menurut biasanya
yang satu masuk kepada yang lain.
Contoh : Apabila orang hadas kecl dab hadas besar
(junub), maka cukup dengan bersucu saja, seperti kalau
orang junub dan mandi.(hal 69)
10. Kaidah kesepuluh





Mengamalkan maksud suatu kalimat, lebih utama
daripada menyia-nyiakannya.
Perkara itu ada kalanya jelas maksudnya, dan ada
kalanya kurang jelas maksudnya. Terhadap yang telah
maksudnya. Maka haruslah diamalkan sesuai dengan yang
dimaksud itu, dan terhadap yang belum jelasmaksudny,
maka mengamalkan lebih baik daripada meniadakannya
atau menyia-nyiakannya.
Contoh : Orang berwasiat membeekan hartanya kepada
anak-anaknya, padahaal a sudah tidak mempunyai anak lagi
kecuali cucu-cucunya, maka harta harus diberikn kepada
cucu-cucunya.







Membuat dasar tu lebih utama dari pada memperkuat.
Contoh : seorang laki-laki berkata pada istrinya :

engkau saya tolak, enkau saya talak dengan tdak ada niat
apa-apa dalam pengulangannya, maka yang lebih sah
adalah diartikan sebagai tasis ( ucapan permulaan, bukan
memperkuat).(hal 69)
11. Kaidah kesebelas

Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan


menaggung kerugian.(hal 70)
12. Kaidah kedua belas











keluar dari khilaf itu diutamakan.
Maksud dari kaidah ini ialah bahwa menghindari
barang

atau

perbuatan

yang

hukum

halalnya

atau

bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.


Dasar kidah ini ialah sabda Nabi SAW :










Maka barang iapa yang menjaga diri dari syubhat
(tidak jelas hukumnya), maka ia mencari kebersihan untuk
agama dan kehormatannya.
Maksud kaidah ini ialah bahwa menghindari barang
atau perbuatan yang hukum halalnya atau bolehnya
diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
Dalam memperhatikan dan menjaga khilaf itu ada
beberapa syarat yaitu :
Jangan sampai membawa khilaf yang lain.
Jangan sampai menselisihi sunnah yang tsabit.
Hendaknya kuat dasarnya.(hal 73)
13. Kaidah ketiga belas




Menolak itu lebih kuatdari pada mengangkat
Artinya menolak agar tigak terjadi itu lebih kuat
daripada mengembalikan seperti sebelum terjadi.
Menjaga diri agar tidak sakit, lebih utama daripada
mengobati setelah sakit.
Contoh pelaksanaan kaidah ini adalah: adanya air
sebelum

shalat

bagi

orang

yang

tayamum,

berarti

mmencegah untuk melaksanakan shalat. Tetapi adanya di


tengah-tengah shalat tidak membatalkan shalat.(hal 74)
14. Kaidah keempat belas






keringanan (rikhshah) itu tidak dihubungkan/dikaitkan
dengan kemaksiatan-kemaksiatan.

Rukhshah diberikan adalah karena adanya sebab,


namun apabila sebab itu ada kaitanny dengan perbuatan
maksiat atau perbuatan haram, maka rukhshah in tidak
diberikan. Atau dengan kata lain, pada perbuatan maksiat
itu bisa diberikan rukhshah.
Berpergian untuk maksiat tidak diizinkan untuk
mengqashar dan menjama, atau berbuka puasa. Sedang
kalau berpergiannya tidak maksiat semua ini dibolehkan.
(hal 75)
15. Kaidah kelima belas




keringanan (rukhshah) tidak dikaitkan dihubungkan
Artinya

dengan syak (ragu-ragu).


orang ragu-ragu tentang

dibolehkannya

qashar, maka ia wajib menyempurnakan shalatnya, karena


yang asal ibadah harus dikerjakan secara sempurna.(hal
76)
16. Kaidah Keenam Belas

Rela terhadap sesuatu adalah (juga) rela terhadap apa
yang timbul dari sesuatu itu
Searti dengan kaidah ini ialah kaidah:

Yang timbul dari sesuatu yang telah diizinkan
(diterima) tidak ada pengaruh baginya.
Artinya apabila seseorang telah rela dan menerima
sesuatu, makaia harus menerima segala rentean persoalan
akibat dari sesuatu yang telah diterima. Yang berarti
menerima segala resiko akibat penerimaannya.
Contoh:Orang membeli barang yang sudah cacat, dia
harus rela terhadap semua keadaan akibat dari cacat itu.
Misalnya: cactnya berkembang lebih besar. Demikian pula
membeli binatang yang sakit, dia harus menerima semua
yang terjadi akibat dari sakitnya binatang tersebut.
17. Kaidah Ketujuh Belas


Pertanyaan itu diulangi dalam jawaban
Jadi hukum dari suaru jawaban itu adalah terletak
pada soalnya. Sehingga apabila seseorang hakim bertanya
dengan

maksud

minta

keterangan

kepada

tergugat: apakah istrimu telah engkau talak?.

seorang
Apabila

dijawab: ya, maka istri tergugat telah berlaku hokum


sebagai wanita yang telah ditalak oleh suaminya. Dalam
hal ini tergugat telah mengakui (ikrar) atas gugatan
muddaiy.
18. Kaidah Kedelapan Belas

Apa yang lebih banyak perbuatannya, tentu lebih banyak
keutamaannya.
Dasar dari kaidah ini ialah Sabda Nabi SAW kepada
Aisyah RA:
( )
Pahalamu adalah Berdasarkan kadar usahamu.
Sesuai dengan hadits yang menjadi dasar kaidah,
maka dengan sendirinya yang dimaksud oleh kaidah ialah
perbuatan kebaikan, sehingga makin banyak dipebuat,
makin tambah keutamaannya.
Contoh: Shalat witir dengan cara diputus lebih utama
disbanding dengan secara disambung, sebab dengan
diputus akan tambah niat, takbir dan salam.
Merupakan pengecualian dari kaidah

ini

ialah

beberapa perbuaqtan, diantaranya ialah:


Shalat qashar dalam bepergian yang memenuhi
syarat-syaratnya, lebih baik daeipada shalat dengan tidak
qashar.
19. Kaidah Kedua Puluh

perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain, lebih
utama daripada yang terbatas untuk kepentingan sendiri.
Suatu
perbuatan
yang
dapat
menghasilkan
kemanfaatan yang dapat mencakup kepada kepda orang

lain, lebih utama dari pada perbuatan yang manfaatnya


hanya dapat dirasakan oleh dirinya sendiri.
Berdasarkan kaidah ini, maka Abu Ishaq, Imam
Haromain dan ayahnya berpendapat, bahwa bagi yang
melakukan fadlu kifayah mempunyai kelebihan daripada
melakukan fadlu ain, karena dengan melakukan fadlu
kifayah itu berarti menghilangkan kesukaran-kesukaran
yang ada pada ummat.
Menurut imam SyafiI, mencari ilmu itu lebih utama
dari

pada

bermanfaat

shalat

sunat,

kepada

karena

orang

mencari

banyak,

ilmu

sedangkan

akan
shalat

sunnat itu hanya manfaatnta pada diri sendiri.


20. Kaidah Kedua Puluh Satu

Fadlu itu lebih utama daripada sunnat
Dasar dari kaidah ini ialah Sabda Rasulullah SAW
dalam salah satu Hadits beliau:


Barangsiapa mendekatkan diri (ibadah) kepada
Allah dalam bulan Ramadhan dengan salah satu perbuatan
kebaikan (ibadah sunnah), maka dia sepertulan
menunaikan ibadah fardlu diluar bulan Ramadhan, dan
barangsiapa nmelakukan satu ibadah fardlu dalam bulan
Ramadhan, maka dia seperti menunaikan 70 ibadah fardlu
diselain bhulan Ramadhan.
Dalam Hadits ini Nabi telah memperbandingkan
antara sunnah dalam bulan Ramadhan dengan 70 fardlu di
luar Ramadhan, semua ini member pengertian bahwa
fardlu

itu

lebih

utama

daripada

sunnat

dengan

derajat/tingkat.
21. Kaidah Kedua Puluh Dua

70

Keutamaan yang dipautkan dengan ibadah sendiri, lebih


baik dari pada yang dipautkan dengan tempatnya.
Pensyarah kitab Al-Muhadzdzab berkata: segolongan
dari segolongan kami (Syafiiyyah) menegaskan, bahwa
kaidah ini adalah penting, dan kaidah ini difahamkan dari
perkataan ulama-ulama yang terdahulu.
Diantara hokum yag ditetapkan berdasarkan kaidah
ini ialah:

Shalat fardlu di masjid lebih utama daripada

diluar masjid
Shalat sunnah

daripada suhalat sunnah di masjid.


Thawaf dekat dengan kabah adlah sunnah,

dirumah

adlah

lebih

uta

larikecil disunatkan dengan dekat pada kabah.


22. Kaidah Kedua Puluh Tiga

Sesuatu yang wajib tidak boleh ditinggalkan kecuali
karena sesuatu yang wajib
Jadi dari kaidah ini dapat ditegaskan, bahwa sesuatu
yang telah diwajibkan, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada
sesuatu kewajiban, tidak boleh ditinggalkan kecuali ada
sesuatu

kewajiban

yang

mengahruskan

untuk

meninggalkan.
Contoh: Memotong tangan pencuri, seandainya tidak
wajib tentu hukumnya haram, sebab memotong/melukai
adalah tindak pidana haram.
Yang dikecualikan dari kaidah tersebu yaitu: Sujud
sahwi dan sujud tilawah itu tidak wajib, namun jika tidak
disyariatkan tentu tidak boleh dilakukan.
23. Kaidah Ketiga Puluh Lima

Apa yang telah tetap menurut syara, didahulukan
daripada apa yang wajib menurut syara.
Ketetapan
yang
berasal
dari
syara

harus

didahulukan pengamalannya daripada ketetapan yang

timbul dari syarat-syarat yang dibuat oleh manusia,


sehingga

karenannya

tidak

boleh

bernadzar

dengan

sesuatu yang wajib, seperti nadzar berpuasa Ramadhan,


atau nadzar shalat fardlu dan sebagainya.
Demikian pula apabila seorang suamrkata pada
istrinya: Saya thalak kamu dan kepadamu akan saya beri
uang Rp. 10.000,- asal saya masih ada hak untuk rujuk
kepadamu.
Perkataan member uang Rp. 10.000,- sebagai syarat
untuk rujuk adalah gugur, sebab pada hakikatnya syara
telah menetapkan akan haknya, yaitu rujuk.
24. Kaidah Kedua Puluh Enam

Apa yang haram menggunakannya, haram pula
memperolehnya
Dasar kaidah ini ialah Sabda Nabi saw.
.
( )
Barangsiapa jauh pada barang syubhat, jauh pada
haram, seperti pengembala yang mengembalakan
disekitar larangan dikhawatirkan akan masuk pada
larangan
Maka oleh karena itu orang diharamkan menyimpan
alat/sarana

kemaksiatan.

Menyimpan

wadah/bejana

terbuat dari bahan mas atau perak. Sutra dan mas bagi
laki-laki.
tersebbut

Sebab
karna

larangan
boleh

menyimpan

jadi

akan

barang-barang

menggunakannya.

Demikian juga dilarang memelihara anjing, selain anjing


untuk menjaga keamanan dan berburu.
25. Kaidah Kedua Puluh Tujuh

Sesuatu yang haram diambilnya, diharamkan pula
memberikannya
Dasar kaidah ini adalah Firman Allah:
(3: ) .

jangan kamu tolong-menolong dalam dosa dan


Jadi
maka

artinya

berarti

permusuhan.
apabila dibolehkan
menolong

dan

memberikannya,

mendorong

untuk

mengambilnya, sehingga keduanya menjadi berserikat


dalam dosa. Untuk itu apabila diharamkan mengambilnya,
maka untuk memberikannya juga diharamkan.
Berdasarkan kaidah ini maka diharamkan member
uang riba suap, upah pelacur, pemberian pada kahin dan
sebagainya,

sebagaimana

diharamkan

untuk

mengambilnya.
26. Kaidah Kedua Puluh Delapan

Sesuatu yang sedang dijadikan obyek perbuatan tertentu,
tidak boleh obyek perbuatan tertentu yang lain.
Artinya apabila ada sesuatu yang sudah menjadi
obyek sesuatu aqad, tidak boleh dijadikan obyek aqad lain,
karena itu telah terikat dengan aqad yang pertama.
Contoh: Tidak boleh barang yang sudah dijadikan
jaminan sesuatu hutang, kemudian dijadikan jaminan
hutang yang lain.
27. Kaidah Kedua Puluh Sembilan

Yang sudah diperbesar tidak boleh dibesarkan
Apabila suatu perkara sudah dibesarkan atau
ditinggalkan hukumnya sampai pada hukum yang tertinggi,
maka

tidak

dapat

ditingkatkan

lagi,

atau

ditambah/diperbesar dengan hukum yang dibawanya.


28. Kaidah Ketiga Puluh

Barangsiapa yang berusaha menyegarkn sesuatu yang
sebelum waktunya, menanggung akibat tidak mendapat
sesuatu itu.
Kaidah ini lebih bersifat sebagai peringatan agar
orang tidak tergesa-gesa melakukan sesuatu perbuatan

atau suatu tindakan dalam rangka untuk mendapatkan


hakny

sebelum

waktunya.

Sebab

akibatnya

dapat

merupakan kegagalan.
29. Kaidah Ketiga Puluh Satu

Sunnah itu telah longgar dari pada fardlu
Suatu
perbuatan
yang
disyariatkan
sebagai
perbuatan sunnah, pelaksanaannya lebih longgr daripada
perbuatan yang disyariatkan sebagai perbutan yang wajib.
30. Kaidah Ketiga Puluh Dua

Kekuasaan yang khusus lebih kuat daripada kekuasaan
yang umum
Suatu benda atau persoalan yang berada dibawah
suatu kekuasaan, maka pemegang kekuasaan yang khusus
terghadap benda dan persoalan tersebut, kedudukan dan
wewedangnya

lebih

kuat

daripada

pengusa

umum,

sehingga penguasa umum tidak dapat bertindak langsung


terhadap benda

atau persoalan yang ada penguasa

khususnya, selama penguasa khususnya ada dan masih


berfungsi.
31. Kaidh Ketiga Puluh Tiga

Tidak dipegangi sesuatu (hukum) yang berdasarkan pada
yang jelas salahnya
Arti dhon ialah persangkaan yang kuat, atau suatu
pendapat yang lebih cenderung kepada tetapnya atau
benarna daripada tidaknya.Jadi maksud kaidah ini ialah
bahwa suatu keputusan hukum yang didasarkan pada
dhon,

tetapi

kemudian

jelas

salahnya,

maka

tersebut tidak berlaku atau batal.


32. Kaidah Ketiga Puluh Empat

hukum

Berbuat yang buakn dimaksud, berarti berpaling dari


yang dimaksud. (sehingganya karena batal yang
dimaksud)
Contoh: Orang bersumpah tidak bertempat tinggal
pada suatu rumah.kalau setelah bersumpah itu dia masih
mondar-mandir dirumah itu,berarti dia telah melanggar
sumpahnya. Tetapi kalau dia mondar-mandir itu karena
sibuk

mengumpulkan

barang-barangnya

karena

keindahannya, maka dia tidak melanggar sumpah.


33. Kaidah Ketiga Puluh Lima

Tidak diingkari perbuatan yang diperselisihkan (hukum
haranmya), dan sesungguhnya yang diingkari ialah yang
telah disepakati (hukum haramnya) .
Menurut kaidah ini sesorang tidak dianggap berbuat
perbuatan

yang

munkar,

sehingga

karenanya

wajib

diingkari (dilarang) kalau perbuatan yang dikerjakan itu


okum

haramnya

diperselisihkan.Tetapi

baru

dianggap

munkar dan wajib diingkari (dicegah) kalau perbuatan


tersebut keharamannya telah disepakati.
34. Kaidah Ketiga Puluh Enam

Yang kuat mencakup yang lemah, tidak sebaliknya.
Suatu perkara yang dituntut, baik untuk mengerjakan
atau untuk meniggalkan, dengan tuntutan atau hukuman
yang lebih berat dapat mencakup perkara yang sejenis,
yang tuntutannya atau hukumannya lebih lemah, tetapi
tidak sebaliknya, yakni yang tuntutannya lebih lemah tidak
dapat mencakup yang tuntutannya lebih kuat.
Berdasarkan kaidah ini diperbolehkan melakukan
ibadah haji sekaligus umroh, tetapi tidak boleh melakukan
ibadah umroh sekaligus haji.
35. Kaidah Ketiga Puluh Tujuh

Dimaafkan yang pada sarana, tidak dimaafkan yang pada


maksud
Pengertiannya adalah, bahwa sesuatu yang harusada
pada

pa

yang

menjadi

sedangkn

pada

cara

maksud

haruslah

untukmencapai

dipenuhi,

maksud

dapat

dimaafkan atau dilonggarkan dengan menghilangkan atau


mengurangi.
36. Kaidah Ketiga Puluh Delapan

Yang mudah dilaksanakan, tidak gugur/ditinggalkan
karena adanya yang sukar dilksanakan
Dasar kaidah ini ialah sabda Nabi saw:

Apabila aku memerintahkan sesuatu, maka
kerjakanlah menurut perintahmu
Setiap amalan dalam syara harus dilaksanakan
menurut daya kemampuan si mukallaf.
Berdasarkan kaidah ini, ulama Syafiiyyah menolak
pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa
orang yang tidak dapat menutupi auratnya, shalatnya
harus dengan duduk, artinya karena tidak dapat menutup
aurat, maka gugurlah kewajiban shalat dengan berdiri.
37. Kaidah Ketiga Puluh Sembilan

Sesuatu yang tidak dapat dibagi, maka mengusahakan


sebagian seperti mengusahakan keseluruhannya, dan
menggugurkan sebagian seperti menggugurkan
keseluruhannya
Sesuatu barang atau pekerjaan atau keadaan ada
kalanya dapat dibagi-bagi yang sebagian dapat dipisahkan
dengan bagian yang laintetapi ada pula yang tidak dapat
dibagi-bag,

seperti

thalak,

sebagainya.
38. Kaidah Keempat Puluh

qishas,

merdeka

dan


Apabila berkumpul antara sebab, kicuhan dan pelaksana
langsung, maka didahulukan pelaksanaan langsung
Apabila dalam suatu peristiwa terdapat tiga factor
yang mengakibatkan terjadinya, yaitu:
Yang merupakan sebab bagi terjadinya peristiwa.
Berwujud penipuan yang membantu terjadinya

peristiwa.
Perbuatan langsung yang mengakibatkan terjadinya
peristiwa.
Maka dalam kasus ini, perbuatan yang langsung

mengakibatkan

peristiwa itulah yang mula-mula harus

dimintai pertanggungan jawabannnya. Contoh: Dalam


suatu pembunuhan, bekerja sama tiga orang yang
pertama sebagai penunjuk jalan, yang kedua sebagai
pelaksana penipu si korban,untuk datang pada suatu
tempat tertentu, sedangkanyang ketiga dialah yang
langsung membunuhnya setelah berada di tempat yang
ditentukan, maka dalam hal ini orang ketigalah yang
dituntut pertama terlebih dahulu.

Anda mungkin juga menyukai