Anda di halaman 1dari 21

Learning Issue

ANATOMI DAN HISTOLOGI KULIT


Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari
lingkugan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m 2 dengan berat kira-kira
15 % berat badan. Kulit mempunyai variasi mengenai lembut, tipis, dan tebalnya :
kulit yang longgar dan elastis terdapat pada palpebra, bibir dan prepitium.
Kulit yang tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan tangan dewasa.
Kulit yang tipis terdapat pada muka, yang lembut dan leher dan badan, dan yang
berambut kasar terdapat pada kepala.
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas 3 lapisan utama :
1. Lapisan epidermis / kutikel
2. Lapisan dermis / kutisvera
3. Lapisansubkutis

Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai
dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak.

1. Lapisan epidermis
a. Stratum korneum (lapisantanduk)
1

Lapisan kulit paling luar dan terdiri atas beberapa lapis sel-sel gepeng
yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi
keratin (zat tanduk)
b. Stratum lusidum
Terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan lapisan selsel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjad
iprotein yang disebut eleidin.Tampak lebih jelas pada telapak tangan
dan kaki
c. Stratum granulosum ( lapisankeratohialin)
Merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir
kasar dan terdapat inti diantaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas
keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini. Stratum
granulosum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki
d. Stratum

spinosum

(stratum

malphigi)

prickle

cell

layer

(lapisanakanta)
Terdiri atas beberapa sel yang berbentuk poligonal yang besarnya
berbeda-beda karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih
karena banyak mengandung glikogen, dan inti terletak di tengah
tengah. Sel sel ini makin dekat permukaan makin gepeng bentuknya.
Diantara sel stratum spinosum terdapat jembatan antarsel (intercellular
bridge) yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril / keratin.
Perlekatan antar jembatan ini membentuk penebalan kecil yang disebut
nodulus bizzozero. Diantara sel - sel stratum spinosum mengandung
banyak glikogen
e. Stratum basale
Terdiri atas sel sel berbentuk kubus (kolumnar) yang

tersusun

vertical pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar.


Merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Sel - sel basal ini
mengadakan mitosis dan berfungsi reduktif. Lapisan ini terdiri atas 2
jenis sel yaitu :

a) Sel sel berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti


lonjong dan besar, di hubungkan dengan jembatan antarsel
b) Sel pembentuk melanin (melanosit) / clear cell berwarna muda,
dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir
pigmen ( melanosomes)

2. Lapisan dermis
Lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis.
Lapisan ini terdiri atas lapisan elastic dan fibrosa padat dengan elemenelemen selulaer dan folikel rambut. Di bagi menjadi 2 bagian :
a. Pars papilare
Bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan
pembuluh darah
b. Pars retikuler
Bagian di bawahnya yang menonjol ke arah subkutan, bagian ini
terdiri atas serabut serabut penunjang misalnya : serabutkolagen,
elastin, dan retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini terdriri atas cairan

kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat, di bagian ini terdapat


pula fibroblas.
Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas, membentuk ikatan (bundel)
yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda
bersifat lentur dengan bertambahnya umur menjadi kurang larut
sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut elastin
biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah mengenbang
serta lebih elastis.

3. Lapisansubkutis
Kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel sel lemak
di dalamnya, sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke
pinggir sioplasma lemak yang bertambah.
Sel sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang
lainya oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel sel lemak disebut
panikulus adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan
lapisan ini terrdapat ujung ujung saraf tepi, pembuluh darah dan getah
bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama, bergantung lokasinya.
Vaskularisasi di kulit di atur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di
atas dermis ( pleksus superficialis) dan terletak di subkutis (pleksus
profunda). Pleksus di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil
dermis, pleksus yang terletak di subkutis dan di pars retikulare juga
mengadakan anastomosis, di bagian ini pembuluh darah berukuran lebih
besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat saluran getah
bening.

ADNEKSA KULIT
Adneksa kulit terdiri atas kelenjar- kelnjar kulit, rambut , dan kuku.
1. Kelenjarkulit,
Kelenjar kulit terdapat di lapisan dermis, yang terdiri atas :
a. Kelenjar keringat
a) Kelenjar ekrin : kecil, di dermis, di pengaruhi oleh saraf
kolinergik, factor panas, dan stress emosional
b) Kelenjar apokrin : besar, sekret, dipengaruhi oleh saraf
adrenergic
b. Glandula sebasea
Terletak di seluruh permukaan kulit manusia kecuali telapak tangan
dan kaki. Kelenjar sebasea disebut juga kelenjar holokrin karena
tidak berlumen dan sekret kelenjar ini berasal dari dekomposisi sel
sel kelenjar.

Kelenjar ini biasanya terletak di samping akar rambut dan


muaranya terdapat pada lumen akar rambut (folikel rambut).
Sebum mengandung trigliserida, asam lemak bebas, skualen, wax
ester, dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi oleh hormon androgen
2. Kuku
Adalah bagian terminal lapisan tanduk (stratum korneum) yang menebal.
Kecepatan tumbuh kuku kira-kira 1 mm per minggu Terdapat bagian
bagian dari kuku terdiri atas :
a. Nail root : bagian yang terbenam dalam kulit
b. Nail plate :bagianterbukadiatasjaringanlunak
c. Nail groove : alur kuku
d. Eponikium : kulit tipis yang menutupi kuku bagian proksimal disebut
e. Hiponikium : kulit yang di tutupi bagian kuku bebas disebut

3. Rambut
Terdiri atas akar rambut dan batang rambut. Macam macam tipe rambut :
a. Lanugo : rambut halus , tidak mengandung pigmen, terdapat pada
bayi
b. Terminal : lebih kasar, banyak pigmen, mempunyai medula,
terdapat pada orang dewasa
Rambut tumbuh secara siklik, melalui fase fase, yaitu :
a. Fase anagen : pertumbuhan 2-6 tahun

b. Fase telogen : istirahat


c. Fase katagen : involusi temporer

FISIOLOGI KULIT
1. Fungsi Proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap :
a. Gangguan fisis/ mekanis Mis.tekanan, gesekan, tarikan
b. Gangguan kimiawi, misalnya :zat-zat kimia terutama yang bersifat
iritan. Contoh : lisol, karbol, dll
c. Gangguan yang bersifat panas,

mis.radiasi,sengatan

sinar

ultraviolet
d. Gangguan infeksi luarkuman/bakteri maupun jamur
Hal tersebut dimungkinkan karena adanya :
a. Bantalan lemak tebalnya lapisan kulit dan serabut-serabut jaringan
penunjang yang berperan sebagai pelindung terhadap gangguan
fisis.
b. Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi karena stratum korneum
yang impermeabel terhadap pelbagai zat kimia dan air, dismping
itu terdapat lapisan keasaman kulit yang melindungi kontak zat-zat
kimia dengan kulit. (terbentuk dari hasil eskresi keringat dan
sebum)

c. Keasaman kulit menyebabkan pH kulit berkisar pada pH 5-6.5 ,


sehingga merupakan perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri
maupun jamur
d. Proses keratinisasi sebagai sawar mekanis karena sel-sel mati
melepaskan diri secara teratur
2. Fungsi Absorbsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi
cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut
lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2,CO2,dan uap air memungkinkan
kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi.
Kemampuan absorbsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi,
kelembapan, metabolisme dan jenis vehikulum.
Penyerapan dapat berlangsung melalui celah antara sel, menembus sel-sel
epidermis atau melalui muara saluran kelenjar; tetapi lebih banyak yang
melalui sel-sel epidermis daripada yang melalui muara kelenjar.
3. Fungsi Ekskresi
kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi/sisa
metabolisme dalam tubuh berupa NaCl,urea, as.urat,amonia.
4. Fungsi Persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis :
a. Terhadap rangsangan panasbadan-badan Ruffini di dermis dan
subkutis
b. Terhadap rangsangan dinginbadan-badan Krause di dermis
c. Terhadap rabaan halusbadan taktil Meissner di papilla dermis
d. Terhadap rabaan kasarbadan Merkel Ranvier di epidermis
e. Terhadap tekananbadan Paccini di epidermis

5. Fungsi Pengatur Suhu Tubuh


Kulit melakukan peran ini dengan cara mengeluarkan keringat dan
mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit
6. Fungsi Pembentukan Pigmen
Sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak di lappisan basal, dan sel ini
berasal dari rigi saraf. Pada pulasan H.E. sel ini jernih berbentuk bulat dan
merupakan sel dendrit, disebut pula sebagai clear cell.
Melanosom dibentuk oleh alat Golgi dengan bantuan enzim tirosinase,ion
Cu dan O2. Pajanan sinar matahari memperngaruhi produksi melanosom.
Pigmen disebar ke epidermis melalui tangan-tangan dendrit, sedangkan ke
lapisan dibawahnya dibawa oleh sel melanofag (melanofor)
Nb: warna kulit tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pigmen kulit,
melainkan juga oleh tebal tipisnya kulit, reduksi Hb, oksi Hb, dan karoten.
7. Fungsi Keratinisasi
Keratinosit dimulai dari sel basal mengadakan pembelahan, sel basal yang
lain akan berpindah keatas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum,
makin ke atas sel menjadi makin gepeng dan bergranula menjadi sel

granulosum. Makin lama inti menghilang dan keratinosit ini menjadi sel
tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung seumur hidup.
8. Fungsi Pembentukan Vitamin D
Dimungkinkan dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan
pertolongan sinar matahari. Tetapi kebutuhan tubuh akan vit.D tidak cukup
hanya dari hal tersebut, sehingga pemberian vit.D sistemik masih tetap
diperlukan.
Nb: pada manusia kulit dapat pula mengespresikan emosi karena adanya
pembuluh darah, kelenjar keringat, dan otot-otot dibawah kulit.

PITIRIASIS ROSEA
Pitiriasis Rosea adalah penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya
yang dimulai dengan sebuah lesi perimer yang dikarakteristikkan dengan
gambaran herald patch berbentuk eritema dan skuama halus yang kemudian
diikuti dengan lesi sekunder yang mempunyai gambaran khas.
Istilah Pitiriasis Rosea pertama kali dideskripsikan oleh Robert Willan
pada tahun 1798 dengan nama Roseola Annulata, kemudian pada tahun 1860,
Gilbert memberi nama Pitiriasis Rosea yang berarti skuama berwarna merah muda
( rosea ).
Insiden tertinggi pada usia antara 15 40 tahun 1. Wanita lebih sering
terkena dibandingkan pria dengan perbandingan 1.5 : 1.
Diagnosis Pitiriasis Rosea dapat ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
memastikan diagnosis apabila sulit menegakkan diagnosis Pitiriasis Rosea.
Biasanya Pitiriasis Rosea didahului dengan gejala prodromal ( lemas, mual, tidak
nafsu akan, demam, nyeri sendi, pembesaran kelenjar limfe ). Setelah itu muncul
gatal dan lesi dikulit. Banyak penyakit yang memberikan gambaran seperti
Pitiriasis Rosea seperti dermatitis numularis, sifilis sekunder, dan sebagainya
Pitiriasis Rosea merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, oleh
karena itu, pengobatan yang diberikan adalah pengobatan suportif. Obat yang

10

diberikan dapat berupa kortikosteroid, antivirus, dan obat topikal untuk


mengurangi pruritus.
Pada referat kali ini akan dibahas secara keseluruhan tentang Pitiriasis
Rosea meliputi definisi hingga penatalaksaan serta prognosisnya

DEFINISI
Pitiriasis Rosea berasal dari kata pityriasis yang berari skuama halus dan
rosea yang berarti berwarna merah muda4.
Pitiriasis Rosea adalah erupsi kulit yang dapat sembuh sendiri, berupa plak
berbentuk oval, soliter dan berskuama pada trunkus ( herald patch ) dan
umumnya asimptomatik.

Menurut Andrew ( 2006 ), Pitiriasis Rosea adalah

peradangan kulit berupa eksantema yang ditandai dengan lesi makula-papula


berwarna kemerahan ( salmon colored ) berbentuk oval, circinate tertutup skuama
collarette, soliter dan lama kelamaan menjadi konfluen. Ketika lesi digosok
menurut aksis panjangnya, skuama cenderung terlipat melewati garis gosokan (
hanging curtain sign ).

EPIDEMIOLOGI
Pitiriasis Rosea terjadi pada seluruh ras yang ada di dunia. Prevalensi
Pitiriasis Rosea adalah 0,13% pada laki-laki dan 0,14% pada wanita per total
penduduk dunia dengan usia antara 10-34 tahun.
Penyakit ini lebih banyak terjadi pada anak-anak dan usia dewasa muda
dengan rentang usia antara 15-40 tahun. Jarang terjadi pada bayi dan orang lanjut
usia.

ETIOLOGI
Watanabe et al melakukan penelitian dan mempercayai bahwa Pitiriasis
Rosea disebabkan oleh virus. Mereka melakukan replikasi aktif dari Herpes Virus
( HHV )-6 dan -7 pada sel mononuklear dari kulit yang mengandung lesi,
kemudian mengidentifikasi virus pada sampel serum penderita. 3 Jadi, Pitiriasis
11

Rosea ini merupakan reaksi sekunder dari reaktivasi virus yang didapatkan pada
masa lampau dan menetap pada fase laten sebagai sel mononuklear.1 Pitiriasis
Rosea juga dapat disebabkan oleh obat-obatan atau logam, misalnya arsenik,
bismut, emas, methopromazine, metronidazole, barbiturat, klonidin, kaptopril dan
ketotifen.1,3 Hipotesis lain menyebutkan peranan autoimun, atopi dan predisposisi
genetik dalam kejadian Pitiriasis Rosea.

GAMBARAN HISTOPATOLOGIK
Gambaran histopatologik dari Pitiriasis Rosea tidak spesifik sehingga
penderita dengan Pitiriasis Rosea tidak perlu dilakukan biopsi lesi untuk
menengakkan diagnosis. Pemeriksaan histopatologi dapat membantu dalam
menegakkan diagnosis Pitiriasis Rosea dengan gejala atipikal. Pada lapisan
epidermis ditemukan adanya parakeratosis fokal, hiperplasia, spongiosis fokal,
eksositosis limfosit, akantosis ringan dan menghilang atau menipisnya lapisan
granuler. Sedangkan pada dermis ditemukan adanya ekstravasasi eritrosit serta
beberapa monosit.

Akantosis
Spongiosis

Infiltrat limfohistiosit

Gambar histologik non spesifik tipikal dari Pitiriasis Rosea,


menunjukkan parakeratosis, hilangnya lapisan granular, akantosis ringan,
spongiosis, dan infiltrat limfohistiosit pada dermis superficial 2

GAMBARAN KLINIS
Tempat predileksi Pitiriasis Rosea adalah badan, lengan atas bagian proksimal
dan paha atas sehingga membentuk seperti gambaran pakaian renang. 2 Sinar
matahari mempengaruhi distribusi lesi sekunder, lesi dapat terjadi pada daerah
12

yang terkena sinar matahari, tetapi pada beberapa kasus, sinar matahari
melindungi kulit dari Pitiriasis Rosea. Pada 75% penderita biasanya timbul gatal
didaerah lesi dan gatal berat pada 25% penderita.
1. Gejala klasik
Gejala klasik dari Pitiriasis Rosea mudah untuk dikenali. Penyakit dimulai
dengan lesi pertama berupa makula eritematosa yang berbentuk oval atau
anular dengan ukuran yang bervariasi antara 2-4 cm, soliter, bagian tengah
ditutupi oleh skuama halus dan bagian tepi mempunyai batas tegas yang
ditutupi oleh skuama tipis yang berasal dari keratin yang terlepas yang
juga melekat pada kulit normal ( skuama collarette ). Lesi ini dikenal
dengan nama herald patch.1,2,3

Herald Patch

Gambar herald patch3

13

skuama

Gambar plak primer tipikal ( herald patch )


menunjukkan bentuk lonjong dengan skuama halus di tepi bagian dalam plak 4

Pada lebih dari 69% penderita ditemui adanya gejala prodromal berupa
malaise, mual, hilang nafsu makan, demam, nyeri sendi, dan
pembengkakan kelenjar limfe.4 Setelah timbul lesi primer, 1-2 minggu
kemudian akan timbul lesi sekunder generalisata. Pada lesi sekunder akan
ditemukan 2 tipe lesi. Lesi terdiri dari lesi dengan bentuk yang sama
dengan lesi primer dengan ukuran lebih kecil ( diameter 0,5 1,5 cm )
dengan aksis panjangnya sejajar dengan garis kulit dan sejajar dengan
kosta sehingga memberikan gambaran Christmas tree. Lesi lain berupa
paul-papul kecil berwarna merah yang tidak berdistribusi sejajar dengan
garis kulit dan jumlah bertambah sesuai dengan derajat inflamasi dan
tersebar perifer. Kedua lesi ini timbul secara bersamaan.2

14

Gambaran menyerupai pine tree (http://www.mayoclinic.com/health/medical/IM00515 )

15

2. Gejala atipikal
Terjadi pada 20% penderita Pitiriasis Rosea. Ditemukannya lesi yang tidak
sesuai dengan lesi pada Pitiriasis Rosea pada umunya. Berupa tidak
ditemukannya herald patch atau berjumlah 2 atau multipel. Bentuk lesi
lebih bervariasi berupa urtika, eritema multiformis, purpura, pustul dan
vesikuler.3 Distribusi lesi biasanya menyebar ke daerah aksila, inguinal,
wajah, telapak tangan dan telapak kaki. Adanya gejala atipikal membuat
diagnosis dari Pitiriasis Rosea menjadi lebih sulit untuk ditegakkan
sehingga diperlukan pemeriksaan lanjutan.

Gambar Diagram skematik plak primer ( herald patch ) dan distribusi tipikal plak sekunder
sepanjang garis kulit pada trunkus dalam susunan Christmas tree3

DIAGNOSIS BANDING
a. Sifilis sekunder
Adalah penyakit yang disebabkan oleh Treponema pallidum, merupakan
lanjutan dari sifilis primer yang timbul setelah 6 bulan timbulnya chancre.
Gejala klinisnya berupa lesi kulit dan lesi mukosa. Lesi kulitnya non
purpura, makula, papul, pustul atau kombinasi, walaupun umumnya
makulopapular

lebih

sering

muncul

disebut

makula

sifilitika.2

Perbedaannya dengan Pitiriasis Rosea adalah sifilis memiliki riwayat


primary chancre ( makula eritem yang berkembang menjadi papul dan
pecah sehingga mengalami ulserasi di tengah ) berupa tidak ada herald
patch, limfadenopati, lesi melibatkan telapak tangan dan telapak kaki, dari
tes laboratorium VDRL (+).10
b. Tinea korporis
Adalah lesi kulit yang disebabkan oleh dermatofit Trichophyton rubrum
pada daerah muka, tangan, trunkus atau ekstremitas. Gejala klinisnya
adalah gatal, eritema yang berbentuk cincin dengan pinggir berskuama dan
penyembuhan di bagian tengah. Perbedaan dengan Pitiriasis Rosea adalah
pada Tinea korporis, skuama berada di tepi, plak tidak berbentuk oval, dari
pemeriksaan penunjang didapatkan hifa panjang pada pemeriksaan KOH
10%.10
c. Dermatitis numuler

Adalah dermatitis yang umumnya terjadi pada dewasa yang ditandai


dengan plak berbatas tegas yang berbentuk koin ( numuler ) dan dapat
ditutupi oleh krusta. Kulit sekitarnya normal. Predileksinya di ekstensor.
Perbedaan dengan Pitiriasis Rosea adalah pada Dermatitis Numuler, lesi
berbentuk bulat, tidak oval, papul berukuran milier dan didominasi vesikel
serta tidak berskuama.2
d. Psoriasis gutata
Adalah jenis psoriasis yang ditandai dengan eupsi papul di trunkus bagian
superior dan ekstremitas bagian proksimal. Perbedaan dengan Pitiriasis
Rosea adalah pada Psoriasis gutata, aksis panjang lesi tidak sejajar dengan
garis kulit, skuama tebal.2

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Umumnya untuk menegakkan diagnosis Pitiriasis Rosea tidak dibutuhkan
pemeriksaan penunjang. Namun dalan hal diagnosis susah ditegakkan, kita
membutuhkan pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan diagnosis banding
lain.
Dapat dilakukan RPR ( Rapid Plasma Reagin ) dan FTA-Abs( Fluoresent
Treponemal Antibody Absorbed ) untuk skrining sifilis.8

PENATALAKSANAAN
1. Umum
Walaupun Pitiriasis Rosea bersifat self limited disease ( dapat sembuh
sendiri ), bukan tidak mungkin penderita merasa terganggu dengan lesi
yang muncul. Untuk itu diperlukan penjelasan kepada pasien tentang :
-

Pitiriasis Rosea akan sembuh dalam waktu yang lama

Lesi kedua rata-rata berlangsung selama 2 minggu, kemudian menetap


selama sekitar 2 minggu, selanjutnya berangsur hilang sekitar 2

minggu. Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa Pitiriasis Rosea


berlangsung hingga 3-4 bulan
-

Penatalaksanaan yang penting pada Pitiriasis Rosea adalah dengan


mencegah bertambah hebatnya gatal yang ditimbulkan. Pakaian yang
mengandung wol, air, sabun, dan keringat dapat menyebabkan lesi
menjadi bertambah berat.

2. Khusus
-

Topikal
Untuk mengurangi rasa gatal dapat menggunakan zink oksida, kalamin
losion atau 0,25% mentol. Pada kasus yang lebih berat dengan lesi
yang luas dan gatal yang hebat dapat diberikan glukokortikoid topikal
kerja menengah ( bethametasone dipropionate 0,025% ointment 2 kali
sehari ).2,9

Sistemik
Pemberian antihistamin oral sangat bermanfaat untuk mengurangi rasa
gatal.4 Untuk gejala yang berat dengan serangan akut dapat diberikan
kortikosteroid sistemik atau pemberian triamsinolon diasetat atau
asetonid 20-40 mg yang diberikan secara intramuskuler.
Penggunaan eritromisin masih menjadi kontroversial. eritromisin oral
pernah dilaporkan cukup berhasil pada penderita Pitiriasis Rosea yang
diberikan selama 2 minggu3. Dari suatu penelitian menyebutkan bahwa
73% dari 90 penderita pitiriasis rosea yang mendapat eritromisin oral
mengalami kemajuan dalam perbaikan lesi. Eritomisin diduga
mempunyai efek sebagai anti inflamasi5,6. Namun dari penelitian di
Tehran, Iran yang dilakukan oleh Abbas Rasi et al menunjukkan tidak
ada perbedaan perbaikan lesi pada pasien yang menggunakan
eritromisin oral dengan pemberian plasebo.7
Asiklovir dapat diberikan untuk mempercepat penyembuhan. Dosis
yang dapat diberikan 5x800mg selama 1 minggu.2 Pemakaian sinar
radiasi ultraviolet B atau sinar matahari alami dapat mengurangi rasa

gatal dan menguranngu lesi.2 Penggunaan sinar B lebih ditujukan pada


penderita dengan lesi yang luas, karena radiasi sinar ultraviolet B
( UVB ) dapat menimbulkan hiperpigmentasi post inflamasi.2

PROGNOSIS
Prognosis pada penderita Pitiriasis Rosea adalah baik karena
penyakit ini bersifat self limited disease sehingga dapat sembuh spontan
dalam waktu 3-8 minggu.

DAFTAR PUSTAKA
1. James, William D., Timothy G.B, Dirk M. Epityriasis Rosea. In: James WD
Berger TG, Eston DM. Andrews diseases of the skin, 10th ed. WB
Saunders Company, Canada.2006; 207-216.
2. Blauvelt, Andrew. Pityriasis Rosea In: Dermatology in General Medicine
Fitzpatricks. The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008; 362-265.
3. Sterling, J.C. Viral Infections. In : Rooks textbook of dermatology.7th
ed. 2004. 25.79-82.

4. Lichenstein, A. Pityriasis Rosea. Diunduh dari www. Emedicine.com pada


tanggal 15 Agustus 2010.
5. Broccolo F, Drago F, Careddu AM, et al. Additional evidence that
pityriasis rosea is associated with reactivation of human herpesvirus-6
and -7. J Invest Dermatol. 2005; 124:1234-1240.
6. Stulberg,
D. L.,
Jeff W. Pityriasis
Rosea.
Am
Physician. 2004 Jan 1;69(1):87-91.
Diunduh
www.aafp.org/20040101/p47.html pada tanggal 15 Agustus 2010.

Fam
dari

7. Chuh, A et al. 2004. Pityriasis Rosea evidence for and against at


infectious disease. Cambridge University Press :Cambridge Journal
132:3:381-390.
8. Galvan, S V et al. 2009. Atypical Pityriasis Rosea in a black child : a case
report. Cases Journal Vol 2 : 6796.
9. Zawar, Vijay. 2010. Giant Pityriasis Rosea. Indian Journal Dermatology.
Aprl-Jun; 55(2): 192194.
10. McPhee, S J, Maxine A P. 2009. Current Medical Diagnosis and

Treatment forty eighth edition. Mc Graw Hill Companies:USA.

Anda mungkin juga menyukai