Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR


Diare dan Hepatitis A

Kelompok 10
IKM A2 2015
Imraatul Hasni

1511212001

Igel Purnama Sari

1511212002

Qhasmawati Nayli

1511212036

Rafida Meilsa

1511212037

Meisyatul Khadijah 1511212068

Dosen Pengampu: dr. Fauziah Elytha, M.Si

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
membahas tentang Diare dan Hepatitis A tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Epidemiologi
Penyakit Menular. Dengan terselesaikannnya makalah ini penulis mengucapkan
terimakasih kepada Ibudr. Fauziah Elytha, Msi selaku pembimbing yang telah
membimbing penulis dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwasanya kesempurnaan bukanlah milik manusia.
Mungkin terdapat kekurangan yang perlu diperbaiki dalam pembuatan makalah
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran penulis harapkan sebagai bahan revisi untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
membawa hasanah pengetahuan bagi kita semua.

Padang,

September 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................1
1.3 Tujuan......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
2.1 DIARE.....................................................................................................2
2.1.1 Definisi........................................................................................2
2.1.2 Penyebab......................................................................................2
2.1.3 Alur Penularan.............................................................................3
2.1.4 Epidemiologi................................................................................4
2.1.5 Pencegahan dan Penanggulangan..............................................10
2.2 HEPATITIS A........................................................................................14
2.2.1 Defenisi......................................................................................14
2.2.2 Penyebab....................................................................................14
2.2.3 Alur Penularan...........................................................................16
2.2.4 Epidemiologi..............................................................................16
2.2.5 Pencegahan dan Penanggulangan..............................................18
BAB III PENUTUP...............................................................................................20
3.1 Kesimpulan............................................................................................20
3.2 Saran......................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................21

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Penyakit diare masih menjadi penyebab kematian balita (bayi dibawah 5

tahun) terbesar didunia. Menurut catatan UNICEF, setiap detik 1 balita meninggal
karena diare. Diare sering kali dianggap sebagai penyakit sepele, padahal di tingkat
global dan nasional fakta menunjukkan sebaliknya. Menurut catatan WHO, diare
membunuh 2 juta anak didunia setiap tahun, sedangkan di Indonesia, menurut
Surkesnas (2001) diare merupakan salah satu penyebab kematian ke 2 terbesar pada
balita.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2007 dari Kementerian Kesehatan,
tingkat kematian bayi berusia 29 hari hingga 11 bulan akibat diare mencapai 31,4
persen. Adapun pada bayi usia 1-4 tahun sebanyak 25,2 persen. Bayi meninggal
karena kekurangan cairan tubuh. Diare masih merupakan masalah kesehatan di
Indonesia. Walaupun angka mortalitasnya telah menurun tajam, tetapi angka
morbiditas masih cukup tinggi. Kematian akibat penyakit diare di Indonesia juga
terukur lebih tinggi dari pneumonia (radang paru akut) yang selama ini
didengungkan sebagai penyebab tipikal kematian bayi.
Hepatitis A merupakan infeksi hati akut. Karena sifat menularnya maka
penyakit ini disebut juga hepatitis infeksiosa. Penyakit ini merupakan masalah
kesehatan di Indonesia karena masih sering menyebabkan Kejadian Luar Biasa
(KLB). Penyakit ini termasuk common source yang penularan utamanya melalui
makanan dan sumber air, namun bisa juga ditularkan melalui hubungan seksual.

1.2

Rumusan Masalah
Adapun

rumusan masalah dalam makalah

ini adalah bagaimana

epidemiologi dari penyakit diare dan hepatitis A.


1.3

Tujuan
Tujuan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui mengenai penyakit

diare dan hepatitis A beserta epidemiologinya.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

DIARE

2.1.1

Definisi
Diare adalah perubahan frekuensi dan konsistensi tinja. WHO pada tahun

1984 mendefinisikan diare sebagai berak cair tiga kali atau lebih dalam sehari
semalam (24 jam). Para ibu mungkin mempunyai istilah tersendiri seperti lembek,
cair, bredarah, berlendir, atau dengan muntah (muntaber). Penting untuk
menanyakan kepada orangtua mengenai frekuensi dan konsistensi tinja anak yang
dianggap sudah tidak normal lagi.
Diare dibedakan menjadi dua berdasarkan waktu serangan (onset), yaitu :
1. Diare akut (<2 minggu)
2. Diare kronis (>2 minggu)
2.1.2

Penyebab
Penyebab diare dapat dikelompokkan meliputi :
1. Virus

: Rotavirus (40-60%), Adenovirus.

2. Bakteri

: Escherichia coli (20-30%), Shigella sp (1-2%),

Vibrio

cholerea, dan lain-lain.


3. Parasit

Entamoeba

histolytica

(<1%),

Giardia

lamblia,

Cryptosporidium (4-11%).
4. Keracunan makanan.
5. Malabsorpsi : karbohidrat, lemak, dan protein.
6. Alergi

: makanan, susu sapi.

7. Imunodefisiensi : AIDS.
Penyebab diare akut terbesar adalah ineksi virus dari golongan rotavirus.
Genus rotavirus merupakan virus golongan RNA yang termasuk dalam family
Reoviridae. Ada 7 spesies yang sudah berhasil diidentifikasi, yaitu Rotavirus A
(RV-A), B, C, D, E, F, dan G. Diameter virus dapat mencapai 100nm. Virus
mengandung 11 segmen RNA yang dilapisi oleh 3 lapisan protein yang berfungsi
menahan asam lambung dan enzim-enzim pencerna.

2.1.3

Alur Penularan
Penyakit diare sebagian besar (75%) disebabkan oleh kuman seperti virus

dan bakteri. Penularan penyakit diare melalui orofekal terjadi dengan mekanisme
berikut ini
1. Melalui air yang merupakan media penularan utama. Diare dapat terjadi bila
seseorang menggunakan air minum yang sudah tercemar, baik tercemar dari
sumbernya, tercemar selama perjalanan sampai ke rumah-rumah, atau
tercemar pada saat disimpan di rumah. Pencemaran di rumah terjadi bila
tempat penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan yang tercemar
menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan.
2. Melalui tinja terinfeksi. Tinja yang sudah terinfeksi mengandung virus atau
bakteri dalam jumlah besar. Bila tinja tersebut dihinggapi oleh binatang dan
kemudian binatang tersbut hinggap di makanan, maka makanan itu dapat
menularkan diare ke orang yang memakannya.
3. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko diare adalah :
a. Pada usia 4 bulan bayi sudah tidak diberi ASI eksekutif lagi. (ASI
eksklusif adalah pemberian ASI saja sewaktu bayi berusia 0-4 bulan).
Hal ini akan meningkatkan risiko kesekaitan dan kematian karena diare,
karena ASI banyak mengandung zat-zat kekebalan terhadap infeksi.
b. Memberikan susu formula dalam botol kepada bayi. Pemakaian botol
akan meningkatkan risiko pencemaram kuman, dan susu akan
terkontamiasi oleh kuman dari botol. Kuman akan cepat berkembang
bila susu tidak segera diminum.
c. Menyimpan makanan pada suhu kamar. Kondisi tersbut akan
menyebabkan permukaan makanan mengalami kontak dengan peralatan
makan yang merupakan media yang sangat baik bagi perkembangan
mikroba.

Tidak mencuci tangan pada saat memasak, makan, atau sesudah buang
air besar (BAB) akan memungkinkan kontaminasi langsung.

2.1.4

Epidemiologi
Sekitar lima juta anak di seluruh dunia meninggal karena diare akut. Di

Indonesia pada tahun 70-80an, prevalensi penyakit diare sekitar 200-400 per 1000
penduduk per tahun. Dari angka prevalensi tersebut, 70-80% menyerang anak di
bawah usia lima tahun (balita). Golongan usia ini mengalami 2-3 episode diare per
tahun. Diperkirakan kematian anak akibat diare sekitar 200-250 ribu setiap
tahunnya.
Angka CFR diare menurun dari tahun ke tahun, pada tahun 1975 CFR
sebesar 40-50%, tahun 1980-an CFR sebesar 24%. Berdasarkan hasil survei
kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1986 CFR sebesar 15%, tahun 1990 CFR
sebesar 12%, dan diharapkan pada tahun 1999 akan menurun menjadi 9%.
Di Indonesia, laporan yang masuk ke Departemen Kesehatan menunjukkan
bahwa setiap anak mengalami serangan diare sebanyak 1,6-2 kali setahun. Angka
kesakitan dan kematian akibat diare mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Tabel di bawah menggambarkan penurunan angka kesakitan diare dari
29,79 per 1000 penduduk pada tahun 1990 mencapai angka terendah 23,57 per
1000 penduduk pada tahun 1996, tetapi meningkat lagi menjadi 26,13 per 1000
penduduk pada tahun 1999. Demikian pula dengan angka kematian, terjadi
penurunan dari 0,024% pada tahun 1990 menjadi 0,006% pada tahun 1999. Angka
ini relative lebih rendah dibandingkan angka hasil SKRT karena sistem pencatatan
dan pelaporan yang masih lemah.
Angka kesakitan dan kematian akibat diare (semua umur) tahun 1990-1999
Tahun
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999

Angka Kesakitan per 1000


Penduduk
29,79
25,64
25,41
28,77
26,64
24,26
23,57
26,20
25,30
26,13

CFR (%)
0,024
0,027
0,017
0,015
0,019
0,021
0,019
0,012
0,009
0,006

Sumber : Profil Kesehatan Indonesia 2000.

Masih seringnya terjadi wabah atau kejadian luar biasa (KLB) diare
menyebabkan pemberantasannya menjadi suatu hal yang sangat penting. Di
Indonesia, KLB diare masih terus terjadi hamper di setiap musim sepanjang tahun.
Data KLB diare dapat dilihat pada table berikut.
Kejadian luar biasa (KLB) diare di Indonesia tahun 1996-2000
Tahun
Penderita
Meninggal
CFR (%)
1996
6.139
161
2,62
1997
17.890
184
1,08
1998
11.818
275
2,33
1999
5.159
76
1,47
2000
5.680
109
1,92
Sumber : Profil Kesehatan Indonesia 2000.

KLB diare menyerang hampIr semua propinsi di Indonesia. Angka kematian


yang jauh lebih tinggi daripada kejadian kasus diare biasa membuat perhatian pada
ahli kesehatan masyarakat tercurah pada penanggulangan KLB diare secara cepat.
A. Distribusi dan Frekuensi Penyakit Diare

1. Menurut Orang
Penyakit diare akut lebih sering terjadi pada bayi daripada anak yang lebih
besar. Kejadian diare akut pada anak laki-laki hampir sama dengan anak
perempuan. Hasil survei Program Pemberantasan (P2) Diare di Indonesia
menyebutkan bahwa angka kesakitan diare di Indonesia pada tahun 2000 sebesar
301 per 1.000 penduduk dengan episode diare balita adalah 1,0 1,5 kali per
tahun. Survei Departemen Kesehatan tahun 2003 penyakit diare menjadi
penyebab kematian nomor dua pada balita, nomor tiga pada bayi, dan nomor
lima pada semua umur. Kejadian diare pada golongan balita secara proporsional
lebih banyak dibandingkan kejadian diare pada seluruh golongan umur yakni
sebesar 55 %.
Perbedaan sifat keadaan karateristik personal/individu secara tidak langsung
dapat memberikan perbedaan pada sifat/keadaan keterpaparan faktor resiko
penyakit diare maupun derajat resiko penyakit diare serta reaksi individu
terhadap setiap keadaan keterpaparan, sangat berbeda dan dipengaruhi oleh
berbagai sifat karateristik tertentu. Sifat karateristik itu antara lain: umur, jenis

kelamin, kelas sosial, jenis pekerjaan, penghasilan, golongan etnik, status


perkawinan, besarnya keluarga, struktur keluarga, dan paritas.

2. Tempat
Penyakit diare tidak hanya terdapat di negara-negara berkembang atau
terbelakang saja, akan tetapi juga dijumpai di negara industri bahkan di negara
yang sudah maju sekalipun, hanya saja di negara maju keadaan penyakit diare
infeksinya jauh lebih kecil.
Berdasarkan Ditjen PPM & PL tahun 2005 bahwa KLB diare yang paling
tinggi yang paling besar terjadi pada daerah NTT dengan jumlah penderita 2.194
orang dengan CFR sebesar 1,28% diikuti oleh Kota Banten dengan jumlah
pederita 1.371 orang dan CFR 1,9% . Hali ini di sebabkan tingkat sanitasi
masyarakat yang msih rendah, dimana pada daerah NTT tersebut terjadi
kekurangan air, sehingga aktivitas mereka terbatasi dengan minimnya persediaan
air.
Pada tahun 2004, di Indonesia diare merupakan penyakit dengan frekuensi
KLB kelima setelah DBD, Campak, Tetanus Neonatorum dan keracunan
makanan. Angka kesakitan diare di Kalimantan Tengah dari tahun 2000-2004
fluktuatif dari 15,87 sampai 23,45. Pada tahun 2005 kasus diare 37,53% terjadi
pada balita.

3. Waktu
Masih seringnya terjadi wabah atau Kejadian Luar Biasa (KLB) diare
menyebabkan pemberantasannya menjadi suatu hal yang sangat penting. Di
Indonesia, KLB diare masih terus terjadi hampir di setiap musim sepanjang
tahun. Angka kesakitan diare tahun 2000 berdasarkan Survei Ditjen PPM-PL
adalah 301 per 1.000 penduduk dan episode pada balita 1,3 kali per tahun. Pada
tahun 2003 angka kesakitan diare meningkat menjadi 374 per 1.000 penduduk
dan episode pada balita 1,08 kali per tahun. Cakupan penderita diare yang
dilayani dan dilaporkan selama lima tahun terakhir cenderung menurun.
Sementara itu jumlah penderita diare yang dapat dihimpun dalam lima tahun
terakhir ditemukan bahwa jumlah penderita yang dilaporkan paling tinggi yakni

pada tahun 2000 sebesar 4.771.340 penderita, sedangkan jumlah penderita yang
dilaporkan paling rendah yakni pada tahun 2004 sebesar 596.050 penderita.
B. Determinan Penyakit Diare
1. Host (Penjamu)
a. Umur
Survei Departemen Kesehatan tahun 2003 penyakit diare menjadi
penyebab kematian nomor dua pada balita, nomor tiga pada bayi, dan
nomor lima pada semua umur.
b. Jenis Kelamin
Penyakit diare akut lebih sering terjadi pada bayi daripada anak yang
lebih besar. Kejadian diare akut pada anak laki-laki hampir sama
dengan anak perempuan.
Penelitian Efrida Yanthi (2001) di Kecamatan Padang Bolak Julu
Kabupaten

Tapanuli

Selatan

dengan

desain

cross

sectional

menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara jenis kelamin anak


balita dengan kejadian diare.
c. Status Gizi
Penderita gizi buruk akan mengalami penurunan produksi antibodi serta
terjadinya atropi pada dinding usus yang menyebabkan berkurangnya
sekresi berbagai enzim sehingga memudahkan masuknya bibit penyakit
ke dalam tubuh terutama penyakit diare.
Hasil penelitian Elmi Haryuni (2005) dengan desain case control di
wilayah kerja Puskesmas Bandar Khalifah Kecamatan Percut Sei Tuan
Kabupaten Deli Serdang menunjukkan terdapat hubungan yang
signifikan antara status gizi balita dengan kejadian diare.
d. Status Imunisasi
Diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian imunisasi
campak juga dapat mencegah diare. Untuk itu anak harus segera diberi
imunisasi campak ketika berumur 9 bulan sampai anak berusia 1 tahun.
Hasil penelitian Efrida Yanthi (tahun 2001) di Kecamatan Padang Bolak
Julu Kabupaten Tapanuli Selatan, yang melakukan analisis faktor resiko

10

terhadap kejadian diare yang menggunakan desain penelitian cross


sectional menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status
imunisasi dengan kejadian diare. Ini berarti balita yang tidak imunisasi
memiliki kemungkinan lebih besar untuk menderita diare.
e. ASI Eksklusif
Pemberian makanan berupa ASI sampai bayi mencapai usia 4-6 bulan,
akan memberikan kekebalan kepada bayi terhadap berbagai macam
penyakit karena ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan
tubuh yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi
bakteri, virus, jamur dan parasit. Oleh karena itu, dengan adanya zat
anti infeksi dari ASI, maka bayi ASI eksklusif akan terlindungi dari
berbagai macam infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur
dan parasit. Hasil penelitian Dina Kamalia (2005) tentang hubungan
pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi usia 1-6 bulan
di wilayah kerja Puskesmas Kedungwuni I yang menggunakan desain
cross sectional, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara
pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian diare.
2. Agent
Beberapa penyebab diare dapat dibagi menjadi :
a. Peradangan usus oleh:
1) Bakteri, seperti : Escheria coli, Salmonella typhi, Salmonella
paratyphi A, B, C, Shigella flexneri, Vibrio cholera, Vibrio eltor,
Vibrio parahemolytius, Clostridium perferingens, Campilobacter,
Staphilococcus, Streptococcus, Coccidiosis.
2) Parasit, seperti : Protozoa (Entamoeba histolyca, Giardia lambia,
Trichomonashominis isospora), cacing (Ascaris lumbricoides,
Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Trichuris tricura,
Vermiccularis, Taenia saginata, Taenia solium), jamur (Candida).
3) Virus, seperti : Rotavirus, Farvovirus, Adenovirus, Norwalk.
b. Makanan, yaitu:
1) Sindroma malaborsi : malabsorpsi karbohidrat, lemak dan protein.

11

2) Keracunan makanan dan minuman yang disebabkan bakteri


(Clostridium bottulinus, Staphilococcus) atau bahan kimia.
3) Alergi, misalnya tidak tahan pada makanan tertentu seperti susu
kaleng atau susu sapi.
4) Kekurangan energi protein (KEP).
c. Immunodefisiensi terutama SIg A (secretory immunoglobulin A) yang
mengakibatkan berlipat gandanya bakteri/flora usus dan jamur terutama
Candida.
d. Psikologis : rasa takut dan cemas. Walaupun jarang, dapat menimbulkan
diare terutama pada anak yang lebih besar.
3. Environment (Lingkungan)
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan.
Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja.
Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia.
Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta
berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu melalui
makanan dan minuman maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare.
a. Ketersediaan Jamban
Penelitian Dewi Ratnawati dkk (tahun 2006) di Kabupaten Kulon Progo
Yogyakarta dengan desain penelitian case control, menunjukkan bahwa
penggunaan jamban yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan
meningkatkan risiko 2,550 kali lebih besar balitanya untuk terkena diare
akut dibandingkan dengan penggunaan jamban yang memenuhi syarat
dan secara statistik bermakna.
b. Penyediaan Air Bersih
Penelitian Dewi Ratnawati dkk (tahun 2006) di Kabupaten Kulon Progo
Yogyakarta dengan desain penelitian case control, menunjukkan bahwa
penggunaan sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan
meningkatkan risiko 1,310 kali lebih besar balitanya untuk terkena diare
akut dibandingkan dengan penggunaan sarana air bersih yang memenuhi
syarat namun secara statistik tidak bermakna.

12

c. Sanitasi Lingkungan
Rendahnya mutu sanitasi lingkungan merupakan keadaan yang potensial
untuk menjadi sumber penularan penyakit diare. Hasil penelitian Efrida
Yanthi (tahun 2001) yang melakukan analisis hubungan sanitasi
lingkungan dengan kejadian diare yang menggunakan desain penelitian
cross sectional menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara sanitasi lingkungan dengan kejadian diare.
2.1.5

Pencegahan dan Penanggulangan


Penyakit diare dapat dicegah melalui promosi kesehatan, antara lain:

1. Menggunakan air bersih. Tanda-tanda air bersih adalah 3 Tidak, yaitu


tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau.
2. Memasaka air sampai mendidih sebelum diminum untuk mematikan
sebagian besar kuman penyakit.
3. Mencuci tangan dengan sabun pada waktu sebelum makan, sesudah makan,
dan sesudah buang air besar.
4. Memberikan ASI pada anak sampai berusia dua tahun.
5. Menggunakan jamban yang sehat.
6. Membuang tinja bayi dan anak dengan benar.
Program Pemberantasan
1.

Tujuan umum
a. Balita : menurunkan CFR dan prevalensi episode serangannya.
b. Semua umur :

2.

Menurunkan prevalensi

Menurunkan CFR di rumah sakit

Menurunkan CFR pada KLB.

Kebijaksanaan
Meningkatkan kualitas dan pemerataan pelayanan dengan meningkatkan
kerjasama lintas program (LP) dan lintas sektor (LS).

3.

Strategi
a. Tata laksana pasien di rumah

13

Meningkatkan pemberian cairan rumah tangga (CRT) seperti air


tajin, larutan gula garam, dan air kelapa.

Meneruskan pemberian makanan lunak dan tidak bersifat


merangsang lambung, ditambah makanan esktra setelah diare.

Membawa pasien ke saran kesehatan bila :


-

Buang air besar makin sering dan banyak

Makin kehausan

Tidak dapat makan atau minum

Demam

Ditemukan darah pada tinja

Kondisi makin memburuk dalam 24 jam

b. Tata laksana penderita di sarana kesehatan

Rehidrasi oral

Memberi infus dengan Ringer laktat (RL)

Menggunakan obat yang rasional

Memberi nasihat tentang makanan, rujukan, dan pencegahan.

c. Pencegahan penyakit

Menanamkan hygiene pribadi (perilaku mencuci tangan sebelum


makan dan sesudah buang air)

4.

Merebus air minum sebelum digunakan

Menjaga kebersihan lingkungan (WC dan SPAL)

Langkah-langkah
Untuk mencapai tujuan di atas diperhatikan :
a. Kerjasama lintas program (LP) dan lintas sektor (LS)
b. Pelatihan atau penyegaran tentang diare
c. Pemnatapan manajemen serta pencatatan dan pelaporan (reporting
recording, RR) kasus diare
d. Pemantapan manajemen persediaan oralit
e. Peningkatan sistem kewaspadaan dini (SKD) dalam kejadian luar biasa
(KLB)
f. Peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE).

14

5.

Kegiatan
a. Penemuan dan pengobatan pasien sedini mungkin

Penemuan pasien oleh sarana kesehatan (penemuan pasif)

Penemuan pasien oleh kader dan petugas (penemuan aktif)

Pemberian oralit kepada pasien oleh kader.

b. Penanggulangan pasien saat KLB

Jangka pendek
-

Menemukan dan mengobati pasien

Melakukan rujukan dengan cepat

Melakukan kaporisasi sumber air dan disinfeksi kotoran yang


tercemar

Memberi

penyuluhan

tentang

hygiene

dan

sanitasi

lingkungan

6.

Melakukan koordinasi lintas program dan lintas sektor.

Jangka panjang
-

Memperbaiki faktor lingkungan

Mengubah kebiasaan tidak sehat menjadi kebiasaan sehat

Pelatihan petugas

Pencacatan dan pelaporan


Dilakukan oleh kader dan petugas sarana kesehatan

7.

Pemantauan dan evaluasi

Pengobatan
Pengobatan diare berdasarkan derajat dehidrasinya :
1.

Tanpa dehidrasi, dengan terapi A


Pada keadaan ini, buang air besar terjadi 3-4 kali sehari atau disebut mulai
mencret. Anak yang mengalami kondisi ini masih lincah dan masih mau
makan dan minum seperti biasa. Pengobatan dapat dilakukan di rumah oleh
ibu atau anggota keluarga lainnya dengan memberikan makanan dan
minuman yang ada di rumah seperti air kelapa, larutaan gula garam (LGG),

15

air tajin, air teh, maupun oralit. Istilah oengobatan ini adalah dengan
menggunakan terapi A.
Ada tiga cara pemberian cairan yang dapat dilakukan di rumah.
a. Memberikan anak lebih banyak cairan.
b. Memberikan makanan terus menerus.
c. Membawa ke petugas kesehatan bila anak tidak membaik dalam tiga
hari.
2.

Dehidrasi ringan atau sedang, dengan terapi B


Diare dengan dehidrasi ringan ditandai dengan hilangnya cairan sampai 5%
dari berat badan, sedangkan pada diare sedang terjadi kehilangan cairan 610% dari berat badan. Untuk mengobati penyakit diare pada derajat
dehidrasi ringan atau sedang digunakan terapi B, yaitu sebagai berikut :
Pada tiga jam pertama jumlah oralit yang digunakan :
Usia
Jumlah oralit

<1 tahun
300 mL

1-4 tahun
600 mL

>5 tahun
1200 mL

Setelah itu, tambahkan setiap kali mencret :


Usia
Jumlah oralit

<1 tahun
100 mL

1-4 tahun
200 mL

>5 tahun
400 mL

3. Diare berat, dengan terapi C


Diare dengan dehidrasi berat ditandai dengan mencret terus menerus,
biasanya lebih dari 10 kali disertai muntah, kehilangan cairan lebih dari
10% berat badan. Diare ini diatasi dengan terapi C, yaitu perawatan di
puskesmas atau rumah sakit untuk diinfus RL (Ringer laktat).
4. Teruskan pemberian makan
Pemberian makanan seperti semula diberikan sedini mungkin dan
disesuaikan dengan kebutuhan. Makanan tambahan diperlukan pada masa
penyembuhan. Untuk bayi, ASI tetap diberikan bila sebelumnya
mendapatkan ASI, namun bila sebelumnya tidak mendapatkan ASI dapat
diteruskan dengan memberikan susu formula.

16

5. Antibiotic bila perlu


Sebagian besar penyebab diare adalah Rotavirus yang tidak memerlukan
antibiotic dalam penatalaksanaan kasus diare karena tidak bermanfaat dan
efek sampingnya bahkan merugikan penderita.

2.2

HEPATITIS A

2.2.1

Defenisi
Hepatitis A adalah penyakit yang mengenai sel-sel hati yang disebabkan

oleh virus hepatitis A (VHA). Self-limiting dan memberikan kekebalan seumur


hidup. Menurut WHO (2012) Hepatitis A adalah penyakit hati yang disebabkan
oleh virus hepatitis A. Virus ini menyebar terutama bila (dan tidak divaksinasi)
tidak terinfeksi orang ingests makanan atau air yang terkontaminasi dengan tinja
orang yang terinfeksi. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kurangnya air
bersih, sanitasi yang tidak memadai dan kebersihan pribadi yang buruk
2.2.2

Penyebab
Hepatitis A biasanya bersifat jinak dan merupakan self limited disease. Virus

hepatitis A tidak memiliki envelop lipid, sehingga resisten lisis oleh karena
pengaruh asam empedu di usus. Virus ini dapat bertahan lama pada air laut, air
sumur/minum, air limbah, dan tanah. Infeksi utamanya adalah melalui rute fecaloral.
Hepatitis A terjadi di seluruh dunia dan endemik di negara-negara yang
memiliki sanitasi sub-standar. Risiko infeksi yang tinggi adalah pada wisatawan
yang pergi ke negara-negara tersebut yang belum divaksin hepatitis A. HAV masuk
melalui oral hingga terinokulasi di intestinum, dan dapat menembus epitel
intestinum dengan mekanisme yang belum diketahui secara pasti. HAV terbawa
aliran vena mesentrica menuju hepar, hingga akhirnya dapat masuk ke dalam
hepatosit dan melakukan replikasi. HAV memiliki inkubasi yang cepat, yaitu 15-50
hari, dan rata-ratanya 25-30 hari. Virus ini bereplikasi di hepar, diekskresi di
empedu, dan keluar melalui feses. Pengeluaran melalui feses ini terjadi 2-3 minggu

17

sebelum terjadinya gejala, dan berakhir 1 minggu sebelum terjadinya ikterik. Pada
periode ini, orang yang terinfeksi bersifat infeksius. Hepatitis A umumnya tidak
ditransimisi melalui jalur darah, ataupun derivatif plasma, karena masa viremianya
sebentar dan terjadi pada saat timbulnya gejala. Oleh karena itu, apabila terlihat
gejala sakit, donasi darah tidak diperbolehkan. Anak-anak berusia kurang dari 6
tahun biasanya asimptomatik. Pada dewasa, umumnya menimbulkan gejala dan
ikterik terjadi pada 70% kasus. Gejala biasanya mereda setelah 2 bulan, namun
bisa lebih lama lagi. Infeksi HAV umumnya tidak menyebabkan hepatitis kronis.
Manifestasi Klinis
Hepatitis viral akut terjadi setelah periode inkubasi dari agen virus hepatitis.
Pada hepatitis A, masa inkubasinya adalah 15-45 hari. Gejala prodromal dari
hepatitis viral akut bersifat sistemik dan sangat beragam. Beberapa gejala tersebut
antara lain anorexia, mual dan muntah, lelah, malaise, arthralgia, myalgia, sakit
kepala, photophobia, faringitis, batuk dan coryza. Umumnya gejala-gejala ini
terjadi 1-2 minggu sebelum munculnya ikterik. Demam pada hepatitis A dan E
lebih sering terjadi daripada infeksi hepatitis B dan C.
Demam rendah (38C 39C) terjadi pada hepatitis A dan E. Urin berwarna
kuning gelap, dan feses berwarna keabuan (seperti tanah) dapat terlihat 1-5 hari
sebelum onset ikterik. Ketika terjadi onset ikterik, gejala-gejala prodromal biasanya
sudah mulai berkurang, namun beberapa pasien mengalami penurunan berat badan
yang ringan (2.5 5 kg). Hepar dapat membesar dan terasa nyeri; nyeri ini
seringkali diasosiasikan sebagai nyeri atau rasa tidak nyaman pada kuadran atas
kanan. Dua gejala tersebut, ikterik dan hepatomegali, merupakan gejala yang paling
sering ditemui pada pasien infeksi HAV. Pasien dapat juga datang dengan keadaan
cholestatic, yang mengindikasikan adanya obstruksi empedu extrahepatic, namun
jarang terjadi. Splenomegali dan adenopati cervical ditemukan pada 10-20% pasien
yang mengalami hepatitis.
Beberapa gejala ekstra-hepatik yang dapat ditemui pada kasus infeksi akut
HAV antara lain vasculitis, arhtritis, neuritis optik, myelitis, trombositopenia,
anemia aplastik dan aplasia eritrosit. Pada fase recovery, gejala konstitusional telah
hilang, namun pembesaran hepar ataupun hasil biokimia hepar yang abnormal

18

masih dapat ditemukan. Durasi dari fase posticteric adalah 2-12 minggu. Pada
hepatitis A dan E, hasil biokimia darah dan gejala klinis akan kembali normal
setelah 1-2 bulan setelah onset ikterik.
2.2.3

Alur Penularan
Rute transmisi HAV adalah fecal-oral. Virus diekskresi dalam jumlah yang

banyak di feses (108dosis infeksius/gram) dan dapat menyebar dari manusia ke


manusia dengan cara kontak dekat (akibat dari buruknya hand hygine), maupun
kontak intim (anal sex), ataupun karena kontaminasi pada makanan dan air.
Hepatitis A memiliki waktu inkubasi kurang lebih 4 minggu. Virus dapat ditemukan
di feses 10 minggu sebelum gejala muncul. Replikasinya terbatas hanya pada hepar
saja, namun virus dapat juga ditemukan di hepar, empedu, feses, dan darah pada
fase akhir inkubasi dan pada fase preicteric. Antibodi terhadap HAV (anti-HAV)
dapat dideteksi pada saat fase akut, yakni ketika aktivitas aminotransferase serum
meningkat dan HAV masih keluar di feses. Antibodi yang merespon pada fase ini
umumnya adalah dari kelas IgM, dan dapat bertahan hingga beberapa bulan, namun
jarang hingga 6-12 bulan. Pada fase konvalesen, anti-HAV dari kelas IgG yang
paling banyak terdeteksi seumur hidup, sehingga pasien yang sudah memiliki antiHAV di serum, imun terhadap reinfeksi.
Faktor Risiko
1) Beberapa faktor yang meningkatkan risiko terinfeksi HAV antara lain:
2) Kontak seksual dengan orang yang terinfeksi HAV
3) Aktivitas homoseksual.
4) Makanan atau minuman yang tercemar HAV (di Indonesia seringkali dari
air banjir) dan tinggal di daerah endemis
5) Penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan berganti-gantian
6) Paramedis atau dokter di pusat layanan kesehatan
7) Orang-orang yang tinggal serumah dengan pasien hepatitis A.
2.2.4

Epidemiologi
Diperkirakan sekitar 1,5 juta kasus klinis dari hepatitis A terjadi di seluruh

dunia setiap tahun, tetapi rasio dari infeksi hepatits A yang tidak terdeteksi dapat
mencapai sepuluh kali lipat dari jumlah kasus klinis tersebut. Seroprevalensi dari

19

hepatitis A virus beragam dari beberapa negara di Asia. Pada negara dengan
endemisitas sedang seperti Korea, Indonesia, Thailand, Srilanka dan Malaysia, data
yang tersedia menunjukan apabila rasio insidensi mungkin mengalami penurunan
pada area perkotaan, dan usia pada saat infeksi meningkat dari awal masa kanakkanak menuju ke akhir masa kanak-kanak, dimana meningkatkan resiko terjadinya
wabah hepatitis A. Di Amerika Serikat, angka kejadian hepatitis A telah turun
sebanyak 95% sejak vaksin hepatitis A pertama kali tersedia pada tahun 1995. Pada
tahun 2010, 1.670 kasus hepatitis A akut dilaporkan; Incidence rate sebanyak
0,6/100.000, rasio terendah yang pernah tercatat. Setelah menyesuaikan untuk
infeksi asimtomatik dan kejadian yang tidak dilaporkan, perkiraan jumlah infeksi
baru ialah sekitar 17.000 kasus.

Insidensi hepatitis A di Amerika Serikat


Hepatitis A masih merupakan suatu masalah kesehatan di negara
berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit,
hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang
dirawat yaitu berkisar dari 39,8-68,3% populasi sering kali berfluktuasi selama
beberapa tahun silam. Suatu studi di Jakarta melaporkan bahwa anti-HAV kadang
kadang ditemukan pada bayi baru lahir, dan ditemukan pada 20% bayi. Angka
prevalensi ini terus meningkat pada usia di atas 20 tahun.
Di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010, KLB hepatitis A terjadi di 2 desa
dengan jumlah penderita sebanyak 32 orang dengan attack rate sebesar 1,35%,

20

kondisi ini mengalami peningkatan dimana pada tahun 2009 kasus hepatitis A
menyerang pada satu desa. Sementara di Kota Semarang selama tahun 2011 tidak di
temukan KLB hepatitis A. Pada tahun 2013, kasus hepatitis di Kota Semarang
meningkat tajam. Menurut Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang, ada 47 kasus
hepatitis yang diketahui hingga bulan Agustus tahun 2013.
2.2.5

Pencegahan dan Penanggulangan


Pencegahan
Isolasi ketat dari pasien hepatitis A tidak perlu dilakukan, namun yang perlu

diperhatikan adalah menjaga hand hygine, baik bagi pasien hepatitis A maupun
orang terdekatnya. Orang-orang yang belum di vaksinasi dan terpapar HAV perlu
segera mendapatkan profilaksis dosis tunggal vaksin HAV ataupun immunoglobulin
(0.02 mL/kg). Vaksin (virus yang dilemahkan) lebih baik diberikan pada orang
sehat berusia antara 1 tahun hingga 40 tahun. Immunoglobulin diberikan pada bayi
berusia kurang dari 1 tahun, dan dewasa lebih dari 40 tahun, serta untuk orangorang immunocompromised yang mengalami penyakit hepar kronis.
Vaksin hepatitis A (virus hepatitis A yang diinaktivasi) direkomendasikan
untuk orang-orang yang akan berpergian ke daerah endemis, pasien dengan
penyakit hepar kronis, pasien dengan kelainan faktor pembekuan yang mendapat
terapi dengan konsentrat, laki-laki yang melakukan hubungan sex sama gender,
para pekerja yang berhubungan langsung dengan makanan.
Pencegahan Hepatitis A dilakukan dengan cara seperti misalnya dengan
menyajikan makanan dan minuman yang higienis, memastikan setiap makanan
sudah dimasak dengan betul, pola hidup sehat, mencuci tangan sebelum makan.
Menjaga kebersihan perorangan seperti mencuci tangan dengan baik dan benar.
Cuci tangan yanng baik dan benar dengan memakai sabun adalah cara sehat dan
pencegahan yang paling sederhana dan paling penting. Tetapi sayangnya perilaku
hidup sehat yang baik itu belum membudaya di sebagian kelompok masyarakat.
Padahal bila dilakukan dengan baik dapat mencegah berbagai penyakit menular
seperti penyakit Hepatitis A. Perilaku dan kebiasaan cuci tangan bila dilakukan
dengan kegiatan lain misalnya tidak buang air sembarangan, buang sampah pada

21

tempatnya dan pengelolaan air minum yang benar maka dapat lebih meminimalkan
tertularnya virus Heptitis A.
Kontak dengan penderita atau orang yang dekat dengan penderita mungkin
memerlukan terapi imunoglobulin. Bagi mereka yang terkena HAV, globulin imun
(IG) harus diberikan sesegera mungkin dan selambat-lambatnya 2 minggu setelah
paparan awal.
Saat ini sudah tersedia vaksin hepatitis A untuk pencegahan terkena
penularan penyakit tersebut. Vaksin dibuat dari virus yang dimatikan dan dapat
diberikan pada usia mulai dari 2 tahun. Imunisasi hepatitis A dilakukan dua kali,
yaitu vaksinasi dasar dan booster yang dilakukan 6-12 bulan kemudian. Imunisasi
hepatitis A dianjurkan bagi orang yang potensial terinfeksi seperti pengguna
menyuntik narkoba ilegal, pramusaji, terutama mereka yang memiliki makanan
yang kurang hygienitas, orang yang tinggal di asrama atau kontak dekat dengan
orang lain, anak-anak yang tinggal di masyarakat yang memiliki tingkat tinggi
hepatitis, anak-anak dan pekerja di pusat-pusat penitipan, orang yang melakukan
anal oral seks, orang dengan penyakit hati kronis dan mereka yang sering jajan di
luar rumah.

22

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Diare adalah perubahan frekuensi dan konsistensi tinja. WHO pada tahun

1984 mendefinisikan diare sebagai berak cair tiga kali atau lebih dalam sehari
semalam (24 jam). Diare masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia.
Walaupun angka mortalitasnya telah menurun tajam, tetapi angka morbiditas masih
cukup tinggi. Kematian akibat penyakit diare di Indonesia juga terukur lebih tinggi
dari pneumonia (radang paru akut) yang selama ini didengungkan sebagai penyebab
tipikal kematian bayi.
Hepatitis A adalah penyakit yang mengenai sel-sel hati yang disebabkan
oleh virus hepatitis A (VHA). Hepatitis A masih merupakan suatu masalah
kesehatan di negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data yang berasal
dari rumah sakit, hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus
hepatitis akut yang dirawat yaitu berkisar dari 39,8-68,3% populasi sering kali
berfluktuasi selama beberapa tahun silam. Suatu studi di Jakarta melaporkan bahwa
anti-HAV kadang kadang ditemukan pada bayi baru lahir, dan ditemukan pada 20%
bayi. Angka prevalensi ini terus meningkat pada usia di atas 20 tahun.
3.2

Saran
Disarankan kepada penulis selanjutnya agar dapat membahas dan

menjelaskan lebih rinci dan menambah sumber dari buku-buku yang terpercaya.

23

DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Situasi dan Analisis Hepatitis.
Puspa R. 2011. Pendekatan Diagnostik Dan Hepatitis Akut. Arjawinangun
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20108/4/Chapter%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai