Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun diluar rumah sakit tidak
tertutup kemungkinan timbul konflik Konflik tersebut dapat terjadi antara tenaga kesehatan
dengan pasien dan antara sesama tenaga kesehatan (baik satu profesi maupun antar profesi).
Hal yang lebih khusus adalah dalam penanganan gawat darurat fase pra-rumah sakit terlibat
pula unsur-unsur masyarakat non-tenaga kesehatan. Untuk mencegah dan mengatasi konflik
biasanya digunakan etika dan norma hukum yang mempunyai tolok ukur masing-masing.
Oleh karena itu dalam praktik harus diterapkan dalam dimensi yang berbeda. Artinya pada
saat kita berbicara masalah hukum, tolok ukur norma hukumlah yang diberlakukan.
Kejadian tidak terduga bisa saja terjadi saat di dalam klinik yang menyebabkan kondisi
kegawatdaruratan dimana tenaga medis baik dokter, perawat, maupun tim kesehatan yang
lain dituntut harus melakukan tindakan yang sesegera mungkin untuk menolong pasien.
Misalnya saja di klinik kedokteran gigi, pada saat melakukan perawatan saluran akar
operator kurang berhati hati dan tidak menggunakan rubber dam sehingga tidak sengaja
reamer atau K-file tertelan. Tentu ini sangat membahayakan pasien jika tenaga kesehatan
tidak sigap dan segera menolong pasien.
Selain itu perlu diperhatikan apabila saat pencabutan gigi dan pasien memiliki riwayat
penyakit sistemik yang akan membahayakan diri pasien, sehingga tenaga kesehatan perlu
memahami cara penanganan pasien gawat darurat sebelum di tangani oleh tenaga medis
yang lebih professional.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana aspek legal keperawatan gawat darurat dalam menangani pasien gawat darurat?
C. Tujuan
Mengetahui aspek legal

dalam kegawat daruratan medis dan keperawatan untuk

panduan tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan etika medis dan
keperawatan.
BAB II
PEMBAHASAN
1

A. Pengertian Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan disebut juga critical care, artinya adalah pemberian asuhan
keperawatan kepada klein

/ pasien yang mengalami keadaan gawat darurat melalui

pendekatan proses keperawatan dengan menerapkan peran dan fungsi perawat secara
professional, atau suatu upaya melalui proses keperawatan dengan pemberian asuhan
keperawatan klien / pasien yang mengalami keadaan krisis / emergency untuk mencegah
kematian dan atau kecacatan.
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan
kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum
kesehatan terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa ( Herkutanto,
2007 ).
B. Peran Perawat Dalam Kegawat Daruratan
Menurut konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 peran perawat terdiri dari :
1. Sebagai pemberi asuhan keperawatan
Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar
manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan. Pemberian asuhan
keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks.
2. Sebagai advokat klien
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien & keluarg dalam menginterpretasikan
berbagai informasi dari pemberi pelayanan khususnya dalam pengambilan persetujuan
atas tindakan keperawatan. Perawat juga berperan dalam mempertahankan & melindungi
hak-hak pasien meliputi :
- Hak atas pelayanan sebaik-baiknya
- Hak atas informasi tentang penyakitnya
- Hak atas privacy
- Hak untuk menentukan nasibnya sendiri
- Hak menerima ganti rugi akibat kelalaian.
3. Sebagai educator
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan
kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan sehingga terjadi perubahan
perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
4. Sebagai koordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi


pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberi pelayanan kesehatan dapat
terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.
5. Sebagai kolaborator
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter,
fisioterapi, ahli gizi dll dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang
diperlukan.
6. Sebagai konsultan
Perawat berperan sebagai tempat konsultasi dengan mengadakan perencanaan, kerjasama,
perubahan yang sistematis & terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan
keperawatan
7. Sebagai pembaharu
Perawat mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis & terarah sesuai
dengan metode pemberian pelayanan keperawatan
C. Karakteristik Pelayanan Gawat Darurat
Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda
dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu
khusus dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan
akan menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat
( Herkutanto, 2007 ).
D. Fungsi Perawat Dalam Kegawat Daruratan
1. Fungsi Independen
Merupakan fungsi mandiri & tidak tergantung pada orang lain, dimana perawat dalam
melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam
melakukan tindakan untuk memenuhi KDM.
2. Fungsi Dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan atau instruksi
dari perawat lain sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Biasanya dilakukan
oleh perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat
pelaksana.
3. Fungsi Interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan diantara
tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan

membutuhkan kerjasama tim dalam pemebrian pelayanan. Keadaan ini tidak dapat diatasi
dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun lainnya.
Keperawatan adalah bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan biopsiko sosial dan spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, kelompok dan
masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh daur kehidupan manusia.
Keperawatan merupakan ilmu terapan yang menggunakan keterampilan intelektual,
keterampilan teknikal dan keterampilan interpersonal serta menggunakan proses keperawatan
dalam membantu klien untuk mencapai tingkat kesehatan optimal.
Kiat keperawatan (nursing arts) lebih difokuskan pada kemampuan perawat untuk
memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif dengan sentuhan seni dalam arti
menggunakan kiat kiat tertentu dalam upaya memberikan kenyaman dan kepuasan pada
klien. Kiat kiat itu adalah :
1. Caring , menurut Watson (1979) ada sepuluh faktor dalam unsur unsur karatif yaitu :
nilai nilai humanistic altruistik, menanamkan semangat dan harapan, menumbuhkan
kepekaan terhadap diri dan orang lain, mengembangkan ikap saling tolong menolong,
mendorong dan menerima pengalaman ataupun perasaan baik atau buruk, mampu
memecahkan masalah dan mandiri dalam pengambilan keputusan, prinsip belajar
mengajar, mendorong melindungi dan memperbaiki kondisi baik fisik, mental ,
sosiokultural dan spiritual, memenuhi kebutuhan dasr manusia, dan tanggap dalam
menghadapi setiap perubahan yang terjadi.
2. Sharing artinya perawat senantiasa berbagi pengalaman dan ilmu atau berdiskusi dengan
kliennya.
3. Laughing, artinya senyum menjadi modal utama bagi seorang perawat untuk meningkatkan
rasa nyaman klien.
4. Crying artinya perawat dapat menerima respon emosional diri dan kliennya.
5. Touching artinya sentuhan yang bersifat fisik maupun psikologis merupakan komunikasi
simpatis yang memiliki makna (Barbara, 1994)
6. Helping artinya perawat siap membantu dengan asuhan keperawatannya
7. Believing in others artinya perawat meyakini bahwa orang lain memiliki hasrat dan
kemampuan untuk selalu meningkatkan derajat kesehatannya.
8. Learning artinya perawat selalu belajar dan mengembangkan diri dan keterampilannya.
9. Respecting artinya memperlihatkan rasa hormat dan penghargaan terhadap orang lain
dengan menjaga kerahasiaan klien kepada yang tidak berhak mengetahuinya.
10. Listening artinya mau mendengar keluhan kliennya

11. Feeling artinya perawat dapat menerima, merasakan, dan memahami perasaan duka ,
senang, frustasi dan rasa puas klien.
12. Accepting artinya perawat harus dapat menerima dirinya sendiri sebelum menerima orang
lain
E. Tujuan Perawatan Kegawat Daruratan
1. Mencegah kematian dan kecacatan (to save life and limb) pada penderita gawat darurat,
hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam masyarakat sebagaimana mestinya.
2. Merujuk penderita . gawat darurat melalui sistem rujukan untuk memperoleh penanganan
yang Iebih memadai.
3. Menanggulangi korban bencana.
F. Prinsip Perawatan Kegawat Daruratan
1. Penanganan cepat dan tepat
2. Pertolongan segera diberikan oleh siapa saja yang menemukan pasien tersebut
Meliputi tindakan :
a. Non medis : Cara meminta pertolongan, transportasi, menyiapkan alat-alat.
b. Medis : Kemampuan medis berupa pengetahuan maupun ketrampilan
G. Lingkup PPGD (Penanggulangan Penderita Gawat Darurat)
1. Melakukan Primary Survey, tanpa dukungan alat bantu diagnostik kemudian dilanjutkan
dengan Secondary Survey
2. Menggunakan tahapan ABCDE
A : Airway management
B : Breathing management
C : Circulation management
D : Drug, Defibrilator, dan Disability
E : EKG, dan Exposure
3. Resusitasi pada kasus dengan henti napas dan henti jantung
Pada kasus-kasus tanpa henti napas dan henti jantung, maka upaya penanganan harus
dilakukan untuk mencegah keadaan tsb, misal pasien koma dan pasien dengan trauma
inhalasi atau luka bakar grade II-III pada daerah muka dan leher.
H. Pengaturan Staf dalam Instalasi Gawat Darurat
Ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah memadai adalah syarat yang harus dipenuhi
oleh IGD. Selain dokter jaga yang siap di IGD, rumah sakit juga harus menyiapkan spesialis
lain (bedah, penyakit dalam, anak, dll) untuk memberikan dukungan tindakan medis
spesialistis bagi pasien yang memerlukannya. Dokter spesialis yang bertugas harus siap dan
bersedia menerima rujukan dari IGD. Jika dokter spesialis gagal memenuhi kewajibannya

maka tanggungjawab terletak pada dokter itu dan juga rumah sakit karena tidak mampu
mendisiplinkan dokternya.
I.

Aspek Hukum Dalam Kegawat Daruratan


Pemahaman terhadap aspek hukum dalam kegawatdaruratan

bertujuan meningkatkan

kualitas penanganan pasien dan menjamin keamanan serta keselamatan pasien. Aspek hukum
menjadi penting karena konsensus universal menyatakan bahwa pertimbangan aspek legal
dan etika tidak dapat dipisahkan dari pelayanan medik yang baik.
Tuntutan hukum dalam praktek kegawatdaruratan biasanya berasal dari :
1. Kegagalan komunikasi
2. Ketidakmampuan mengatasi dillema dalam profesi
Permasalahan etik dan hukum kegawatdaruratan merupakan isu yang juga terjadi pada
etika dan hukum dalam kegawatdaruratan medik yaitu :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Diagnosis keadaan gawat darurat


Standar Operating Procedure
Kualifikasi tenaga medis
Hak otonomi pasien : informed consent (dewasa, anak)
Kewajiban untuk mencegah cedera atau bahaya pada pasien
Kewajiban untuk memberikan kebaikan pada pasien (rasa sakit, menyelamatkan)
Kewajiban untuk merahasiakan (etika >< hukum)
Prinsip keadilan dan fairness
Kelalaian
Malpraktek akibat salah diagnosis, tulisan yang buruk dan kesalahan terapi : salah

obat, salah dosis


k. Diagnosis kematian
l. Surat Keterangan Kematian
m. Penyidikan medikolegal untuk forensik klinik : kejahatan susila, child abuse, aborsi
dan kerahasiaan informasi pasien
J. Peraturan Perundang - Undangan yang Berkaitan dengan Pelayanan Gawat Darurat
Peraturan perundang - undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat
adalah UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988
tentang Rumah Sakit ( Herkutanto, 2007 ).
K. Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Gawat Darurat
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur
dalam pasal 51 UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, dimana seorang dokter wajib
6

melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam


UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun
secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap
orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4).
Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa Pemerintah bertugas menyelenggarakan
upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat , termasuk fakir miskin,
orang terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat
darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat ( swasta ).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan
gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam
pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan
pemberian pelayanan. Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase
pra-rumah sakit dan fase rumah sakit.
Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam
Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23
telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat
selama 24 jam per hari. Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik.
Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU
No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik
untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk peraturan tersebut seyogyanya
adalah peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor kesehatan
( Herkutanto, 2007 ).
L. Masalah Lingkup Kewenangan Personil dalam Pelayanan Gawat Darurat
Hal yang perlu dikemukakan adalah pengertian tenaga kesehatan yang berkaitan
dengan lingkup kewenangan dalam penanganan keadaan gawat darurat. Pengertian tenaga
kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992 tentang Kesehatan sebagai berikut:6
tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Melihat

ketentuan tersebut nampak bahwa profesi kesehatan memerlukan kompetensi tertentu dan
kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan mengandung risiko yang tidak kecil.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan
dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa pelaksanaan pengobatan
dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang
tidak mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengobatan/perawatan,
sehingga akibat yang dapat merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat
dihindari, khususnya tindakan medis yang mengandung risiko.
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik diatur
dalam pasal 50 UU No.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa tenaga
kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan
bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Pengaturan di
atas menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya
setiap dokter memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk
tindakan spesifik dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan
oleh tenaga kesehatan maka yang bersangkutan harus menerapkan standar profesi sesuai
dengan situasi (gawat darurat) saat itu. Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit
umumnya tindakan pertolongan pertama dilakukan oleh masyarakat awam baik yang tidak
terlatih maupu yang terlatih di bidang medis. Dalam hal itu ketentuan perihal kewenangan
untuk melakukan tindakan medis dalam undang-undang kesehatan seperti di atas tidak akan
diterapkan, karena masyarakat melakukan hal itu dengan sukarela dan dengan itikad yang
baik. Selain itu mereka tidak dapat disebut sebagai tenaga kesehatan karena pekerjaan
utamanya bukan di bidang kesehatan. Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh
tenaga terampil yang telah mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat darurat
dan yang memang tugasnya di bidang ini (misalnya petugas 118), maka tanggungjawab
hukumnya tidak berbeda dengan tenaga kesehatan di rumah sakit. Penentuan ada tidaknya
kelalaian dilakukan dengan membandingkan keterampilan tindakannya dengan tenaga yang
serupa.
M. Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien Gawat Darurat

Hal - hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi
hubungan hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat
karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi
tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat.
Menurut The American Hospital Association ( AHA ) pengertian gawat darurat
adalah : kegawatdaruratan adalah suatu kondisi berdasarkan penilaian pasien, keluarga atau
anggapan siapa saja yang membawa pasien ke rumah sakit untuk memeroleh perawatan
segera. Kondisi ini berlanjut hingga penetapan dibuat oleh tenaga medis profesional apakah
pasien hidup atau kesejahteraan tidak terancam.
Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat darurat
walaupun sebenarnya tidak demikian. Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan antara
false emergency dengan true emergency yang pengertiannya adalah :
True emergency adalah kondisi yang ditetapkan secara klinis yang memerlukan
pemeriksaan medis segera. Kondisi tersebut berkisar dari yang memerlukan perawatan luas
secara segera dan masuk ke rumah sakit untuk orang-orang yang masalah diagnostik dan
mungkin atau tidak mungkin memerlukan pengakuan setelah work- up dan observasi/
pengamatan.
Selain itu perlu pula dibedakan antara penanganan kasus gawat darurat fase prarumah sakit dengan fase di rumah sakit.4 Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat
berbeda, di mana pada fase pra-rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang
awam, sedangkan pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga kesehatan,
khususnya tenaga medis dan perawat. Kewenangan dan tanggungjawab tenaga kesehatan
dan orang awam tersebut telah dibicarakan di atas. Kecepatan dan ketepatan tindakan pada
fase pra-rumah sakit sangat menentukan survivabilitas pasien ( Herkutanto, 2007 ).
N. Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundangundangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan dalam
fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik menolong
seseorang dalam keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien dilarang

menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya. Dua syarat
utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah:
1. Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau
keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila
pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak
berlaku.
2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang
dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan
trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan penolong. Dalam hal
pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan karena
diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak
pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab
kerugiannya/cacat (proximate cause).5 Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam
situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat
peristiwa tersebut terjadi.2 Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu
dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada situasi dan
kondisi yang sama pula. Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari
pasien (informed consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992
tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera
dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien,
tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan
No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersebut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis,
maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis
O. Kematian pada Instalasi Gawat Darurat
Pada prinsipnya setiap pasien yang meninggal pada saat dibawa ke IGD (Death on
Arrival) harus dilaporkan kepada pihak berwajib. Di negara Anglo-Saxon digunakan sistem
koroner, yaitu setiap kematian mendadak yang tidak terduga (sudden unexpected death)
apapun penyebabnya harus dilaporkan dan ditangani oleh Coroner atau Medical Examiner.
Pejabat tersebut menentukan tindakan lebih lanjut apakah jenazah harus diautopsi untuk
pemeriksaan lebih lanjut atau tidak. Dalam keadaan tersebut surat keterangan kematian (death
certificate) diterbitkan oleh Coroner atau Medical Examiner.
10

Pihak rumah sakit harus

menjaga keutuhan jenazah dan benda-benda yang berasal dari tubuh jenazah (pakaian dan
benda lainnya) untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Indonesia tidak menganut sistem tersebut, sehingga fungsi semacam coroner diserahkan
pada pejabat kepolisian di wilayah tersebut. Dengan demikian pihak POLRI yang akan
menentukan apakah jenazah akan diautopsi atau tidak.Dokter yang bertugas di IGD tidak
boleh menerbitkan surat keterangan kematian dan menyerahkan permasalahannya pada
POLRI.
Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sesuai dengan Keputusan Kepala Dinas Kesehatan
DKI Nomor 3349/1989 tentang berlakunya Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan dan Pelaporan
kematian di Puskesmas, Rumah Sakit, RSB/RB di wilayah DKI Jakarta yang telah
disempurnakan tanggal 9 Agustus 1989 telah ditetapkan bahwa semua peristiwa kematian
rudapaksa dan yang dicurigai rudapaksa dianjurkan kepada keluarga untuk dilaporkan kepada
pihak kepolisian dan selanjutnya jenazah harus dikirim ke RS Cipto Mangunkusumo untuk
dilakukan visum et repertum.
Kasus yang tidak boleh diberikan surat keterangan kematian adalah:
- meninggal pada saat dibawa ke IGD
- meninggal akibat berbagai kekerasan
- meninggal akibat keracunan
- meninggal dengan kaitan berbagai peristiwa kecelakaan
Kematian yang boleh dibuatkan surat keterangan kematiannya adalah yang cara
kematiannya alamiah karena penyakit dan tidak ada tanda-tanda kekerasan.
P. Pembiayaan dalam Pelayanan Gawat Darurat
Dalam pelayanan kesehatan prestasi yang diberikan tenaga kesehatan sewajarnyalah
diberikan kontra-prestasi, paling tidak segala biaya yang diperlukan untuk menolong
seseorang. Hal itu diatur dalam hukum perdata. Kondisi tersebut umumnya berlaku pada fase
pelayanan gawat darurat di rumah sakit. Pembiayaan pada fase ini diatasi pasien tetapi dapat
juga diatasi perusahaan asuransi kerugian, baik pemerintah maupun swasta. Di sini nampak
bahwa jasa pelayanan kesehatan tersebut merupakan private goods sehingga masyarakat
(pihak swasta) dapat diharapkan ikut membiayainya.
Kondisi tersebut berbeda dengan pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit yang juga
berupa jasa, namun lebih merupakan public goods. Jasa itu dapat disejajarkan dengan
prasarana umum (misalnya jalan raya) yang harus diselenggarakan dan dibiayai oleh
pemerintah. Pihak swasta sulit diharapkan untuk membiayai sesuatu yang bersifat prasarana
11

Q.

umum. Dengan demikian pelayanan gawat darurat pada fase pra-rumah sakit sewajarnyalah
dibiayai dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Realisasi pembiayaan melalui pengaturan
secara hukum yang mewajibkan anggaran untuk pelayanan yang bersifat public goods
tersebut. Bentuk peraturan perundang-undangan tersebut dapat berupa peraturan pemerintah
yang merupakan jabaran dari UU No.23/ 1992 dan atau peraturan daerah tingkat I (Perda
Tk.I).
Kegawatdaruratan dalam Keperawatan
Perawat yang membantu korban dalam situasi emergency harus menyadari
konsekuensi hukum yang dapat terjadi sebagai akibat tindakan yang mereka berikan. Banyak
negara-negara yang telah memberlakukan undang-undang untuk melindungi kesehatan yang
menolong korban-korban kecelekaan . Undang-undang ini bervariasi diberbagai Negara,
salah satu diantaranya memberlakukan undang-undang Good Samaritan yang berfungsi
untuk mengidentifikasikan bahasa/istilah hukum orang-orang atau situasi yang memberikan
kekebalan tanggung jawab tertentu, banyak diantaranya ditimbulkan oleh adanya undangundang yang umum.
Perawatan yang dapat dipertanggung jawabkan diberikan oleh perawat pada tempat
kecelakaan biasanya dinilai sebagai perawatan yang diberikan oleh perawatan serupa lainnya
dalam kondisi-kondisi umum yang berlaku. Maka,perawatan yang diberikan tidaklah
dianggap sama dengan perawatan yang diberikan di ruangan emergency.
Perawat-perawat yang bekerja di emergency suatu rumah sakit harus menyadari
implikasi hukum dari perawatan yang diberikan seperti memberikan persetujuan dan
tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan dalam membantu kondisi mencari bukti-bukti.
R. Prinsip Etik dalam Pelayanan Kesehatan dan Keperawatan
1. Autonomy
Perawat yang mengikuti prinsip autonomy akan menghargai hak klien untuk
mengambil keputusan sendiri. Dengan hal ini, berarti perawat menyadari keunikan
individu secara holistik.
2. Non-maleficence (do no harm)
Tindakan yang dilakukan perawat tidak menyebabkan bahaya bagi klien. Prinsip ini
adalah prinsip dasar sebagian kode etik keperawatan.
12

3. Beneficence (do good)


Perawat

memiliki

kewajiban

untuk

melakukan

hal

dengan

baik,

yaitu

mengimplementasikan tindakan yang menguntungkan klien dan keluarga. Beneficence itu


dimaksudkan untuk menentukan cara terbaik yang dapat meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan klien. Perawat harus selalu melakukan hal dengan baik, termasuk dalam hal
pemberian asuhan keperawatan guna membantu mempercepat proses penyembuhan klien.
4. Informed Consent
Merupakan persetujuan seseorang untuk mengizinkan dilakukannya sesuatu terhadap
dirinya. Dalam informed consent berisi pemberitahuan tentang resiko penting yang
potensial, keuntungan, dan alternatif yang ada.
5. Justice (perlakuan adil)
Perawat harus selalu berlaku adil kepada semua klien.
6. Kejujuran, kerahasiaan, dan kesetiaan
Prinsip mengatakan yang sebenarnya (kejujuran) mengarahkan praktisi untuk
menghindari melakukan kebohongan atau menipu klien. Dalam hal ini perawat harus
menginformasikan semua hal yang berkaitan dengan kondisinya.
Kerahasiaan adalah suatu tindakan dari perawat untuk menghindari pembicaraan
mengenai kondisi klien dengan siapapun yang tidak terlibat secara langsung terlibat
dalam perawatan klien.
Kesetiaan menyatakan bahwa perawat harus memegang janji yang dibuatnya pada
klien. Ketika seorang perawat jujur dan memegang janjinya, maka seorang pasien akan
menaruh kepercayaan pada perawat, dengan hai itu perawat dapat dengan mudah
melakukan intervensi.

BAB III
PENUTUP
13

A. Simpulan
Kegawatdaruratan disebut juga critical care, artinya adalah pemberian asuhan keperawatan
kepada klein / pasien yang mengalami keadaan gawat darurat melalui pendekatan proses
keperawatan dengan menerapkan peran dan fungsi perawat secara professional, atau suatu
upaya melalui proses keperawatan dengan pemberian asuhan keperawatan klien / pasien
yang mengalami keadaan krisis / emergency untuk mencegah kematian dan atau kecacatan.
Peran perawat dalam kegawat daruratan yaitu : sebagai pemberi asuhan keperawatan,
sebagai advokat klien, sebagai educator, sebagai koordinator, sebagai kolaborato, sebagai
konsultan, sebagai pembaharu. Undang-undang yang berkaitan dengn pelayanan gawat
darurat yaitu : Peraturan perundang - undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat
darurat adalah UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan
No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan
No.159b/1988 tentang Rumah Sakit ( Herkutanto, 2007 ). UU No.23/1992 tentang
Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat upaya
penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk
memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4).
Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam
Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23
telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat
selama 24 jam per hari. Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik.
Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU
No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik
untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk peraturan tersebut seyogyanya
adalah peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor kesehatan
( Herkutanto, 2007 ).

B. Saran
Sebagai seorang tenaga kesehatan kita harus mengetahui aspek legal dalam kegawat
daruratan medis dan keperawatan untuk panduan bagi kita tenaga kesehatan dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan etika medis dan keperawatan.
14

DAFTAR PUSTAKA
Herkutanto, 2007, Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat vol. 57, Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

15

Veronica Komalawati, 2002. Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terepeutik


(Persetuajuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien); Suatu Tinjauan Yuridis, PT Citra Aditya
bakti, Bandung
Purbacaraka P, Soekanto S. Perihal kaedah hukum. Bandung:Alumni; 1979.
Soekanto S, Herkutanto. Pengantar hukum kesehatan. Jakarta:CV Remadja Karya; 1987.
Mancini MR, Gale AT. Emergency care and the law. Maryland:Aspen Publication; 1981.
Pusponegoro AD. Perbedaan pengelolaan kasus gawat darurat prarumah sakit dan di rumah sakit.
Bandung: PKGDI; 1992.
Holder AR. Emergency room liability. JAMA 1972;220:5.
Undang-undang No 23/1992 tentang Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis
Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/1989 tentang Rekam Medis
Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit
Undang-undang No. 29/ tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

16

Anda mungkin juga menyukai