Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk Tuhan tidak bisa dipisahkan dari keberagaman dan pluralitas.
Keberagaman itu sendiri juga tidak bisa dipisahkan dari kemanusiaan dan ini sudah menjadi ketentuan
Allah. Keberagaman dan pluralitas inilah yang menjadi keindahan bagi kemanusiaan itu sendiri.
Namun kekerasan bernuansa agama di negara ini telah mengoyak kemanusiaan dengan
keberagamannya itu. Seringkali keberagaman agama menjadi background tersendiri akan munculnya
konflik-konflik sosial dan akademis.
Dalam ilmu tasawuf terdapat konsep yang disebut dengan insan kamil. Insan kamil diartikan
sebagai manusia sempurna atau manusia paripurna. Menurut ahli tasawuf falsafi Ibnu arabi dan Abd
al-Jilli, insan kamil yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam.
Khalayak biasanya mengartikan "insan kamil" sebagai manusia sempurna, Sebagai aktualisasi
dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini adalah sosok Rasulullah Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam. Tapi sayang sosok Nabi yang agung ini hanya dilihat dan diikuti dari
segi fisik dan ketubuhan beliau saja. Artinya Beliau hanya dilihat secara parsial saja, padahal kita mau
membicarakan kesempurnaan beliau. Lalu para pakar Islam dari masa ke masa menulis,
menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf "wajib", kepada umat Islam
untuk mengikuti contoh "perilaku" Nabi Muhammad.
Bagaimana konsep insan kamil dalam ilmu tasawuf dan kehidupan pluralitas yang lebih
spesifik, akan dijelaskan pada makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


1.

Apa pengertian insan kamil?

2.

Bagaimana konsep insan kamil menurut para tokoh tasawuf?

3.

Bagaimana insan kamil dalam Al-quran dan hadits?

4.

Bagaimana karakteristik atau ciri-ciri insan kamil ?

5.

Apa pengertian pluralitas?

6.

Bagaimana pandangan Islam terhadap pluralitas?

7.

Bagaimana pluralitas agama di Indonesia?

1.3 Tujuan
1.

Mengetahui pengertian insan kamil.

2.

Mengetahui konsep insan kamil menurut para tokoh tasawuf.

3.

Mengetahui insan kamil dalam Al-quran.

4.

Mengetahui karakteristik insan kamil.

5.

Mengetahui pengertian pluralitas.

6.

Mengetahui pandangan Islam terhadap pluralitas.

7.

Mengetahui pluralitas agama di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Insan Kamil
1. Pengertian
Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah,
Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti
manusia yang sempurna.
Selanjutnya Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang
secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab
kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya.
Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti
manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia.
Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk
menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah
potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.
2. Insan Kamil Menurut Para Tokoh Tasawuf
Beberapa tokoh tasawuf menjelaskan tentang konsep insan kamil dalam ajarannya. Yaitu:
1.

Insan Kamil Menurut Muhyiddin Ibnu Arabi

Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya.
Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan,
yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi
pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari
kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut marifat.
Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan bertajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al-Muhammadiyah). Hakikat
Muhammad merupakan wadah tajalli Tuhan yang sempurna.
Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sementara
disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap
realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika.
2.

Insan Kamil Menurut Abd Al-Karim Al-Jilli

Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai
sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam
pengertian Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang
menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat
dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan
3

karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Marifah al-Awakir wa al-Awail (Manusia
Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali
pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.
a.

Insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna.

Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang
dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni
yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin
memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.
b.
Insan kamil terkait dengan keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan sempurna itu
mencakup Asma sifat dan hakikatNya.
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan
pendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai
tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan,
dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.
Al-Jili membagi insan kamil atas tiga tingkatan.
1)
Tingkat permulaan (al-bidyah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma
dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.
2)
Tingkat menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat
kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqiq ar-rahmniyah). Sementara itu,
pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan
biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.
3)
Tingkat terakhir (al-khitm). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan
secara utuh. Dengan demikian pada insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar biasa.
3. Konsep Insan Kamil menurut Al-Quran dan Hadits
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam disebut sebagai teladan insan kamil yang
tertulis seperti di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
Allah Subhanahu Wa Taala tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai
tersebut semaunya, berstandar seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam merupakan
insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya
selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia.
Sebagaimana firman Allah Subhana Wa Taala:
Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia. (QS. AlQolam:4)

Nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad adalah sebagai seorang Rasulullah
Rahmatan Lilalamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi penutup semua
nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang
kehidupan mendatang di akhirat sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wa Taala :
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan
kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan
(dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang
terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (Al Maidah 15-16)
Firman Allah itu menjelaskan tentang nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad
sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lilalamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu
menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan
pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat.
Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan
pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk
menjadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin
bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah. (Al Ahzab: 45-47).
Rasulullah Shallallahu Alahi Wasallam bersabda sehubungan dengan akhlaq, hati dan lisan:
Iman seorang hamba tidaklah lurus sehingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hati seorang
hamba sehingga lurus lisannya. (H.R. Ahmad).
Sehubungan dengan hubungan sosial, beliau bersabda:
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya, dan barang
siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamunya, dan barang siapa beriman
kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi ibrah lainnya dari kehidupan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,
yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan akhlaq beliau, baik akhlaq terhadap diri sendiri,
terhadap sesama manusia, terhadap makhluk lainnya dan tentunya akhlaq terhadap Khaliqnya sebagai
insan kamil.
4. Karakteristik Insan Kamil
Menurut Murthadho Muttari manusia sempurna (Insan Kamil) yakni mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
1.

Jasmani yang sehat serta kuat dan berketerampilan.

Orang islam perlu memiliki jasmani yang sehat serta kuat, terutama berhubungan dengan
penyiaran dan pembelaan serta penegakkan agama islam. Dalam surah al-Anfal : 60, disebutkan agar
orang islam mempersiapkan kekuatan dan pasukan berkuda untuk menghadapi musuh-musuh Allah.
Jasmani yang sehat serta kuat berkaitan pula dengan menguasai keterampilan yang diperlukan dalam
mencari rezeki untuk kehidupan.
2.

Cerdas serta pandai.


5

Cerdas ditandai oleh adanya kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat,
sedangkan pandai ditandai oleh banyak memiliki pengetahuan (banyak memiliki informasi). Didalam
surah az-Zumar : 9 disebutkan sama antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui,
sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
3.

Ruhani yang berkualitas tinggi.

Kalbu yang berkualitas tinggi itu adalah kalbu yang penuh berisi iman kepada Allah, atau
kalbu yang taqwa kepada Allah. Kalbu yang iman itu ditandai bila orangnya shalat, ia shalat dengan
khusuk, bila mengingat Allah kulit dan hatinya tenang bila disebut nama Allah bergetar hatinya bila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mereka sujud dan menangis.
Sifat-sifatnya manusia yang sempurna terdiri dari : Keimanan, Ketaqwaan, Keadaban,
Keilmuan, Kemahiran, Ketertiban, Kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran, Persaudaraan,
Persepakatan dalam hidup, Perpaduan umah. Untuk cara-cara mencapainya ialah dengan car istigfar
kepada Allah SWT, ikhlas, sabar, cermat, optimis serta Syukur.
Adapun beberapa ciri ciri atau kriteria Insan Kamil yang dapat kita lihat pada diri
Rasulullah SAW yakni 4 sifat yakni :
a)

Sifat amanah (dapat dipercaya)

Amanah / dapat dipercaya maksudnya ialah dapat memegang apa yang dipercayakan
seseorang kepadanya. Baik itu sesuatu yang berharga maupun sesuatu yang kita anggap kurang
berharga.
b)

Sifat fathanah (cerdas)

Seseorang yang memiliki kepintaran di dalam bidang fomal atau di sekolah belum tentu dia
dapat cerdas dalam menjalani kehidupannya. Cerdas ialah sifat yang dapat membawa seseorang dalam
bergaul, bermasyarakat dan dalam menjalani kehidupannya untuk menuju yang lebih baik.
c)

Sifat siddiq (jujur)

Jujur adalah sebuah kata yang sangat sederhana sekali dan sering kita jumpai, tapi sayangnya
penerapannya sangat sulit sekali di dalam bermasyarakat. Sifat jujur sering sekali kita temui di dalam
kehidupan sehari hari tapi tidak ada sifat jujur yang murni maksudnya ialah, sifat jujur tersebut
mempunyai tujuan lain seperti mangharapkan sesuatu dari seseorang barulah kita bisa bersikap jujur.
d)

Sifat Tabligh (menyampaikan)

Maksudnya tabligh disini ialah menyampaikan apa yang seharusnya di dengar oleh orang lain
dan berguna baginya. Tentunnya sesuatu yang akan disampaikan itu pun haruslah sesuatu yang benar
dan sesuai dengan kenyataan.

B. Pluralitas
1.
Pengertian Pluralitas

Pluralitas berasal dari bahasa inggris plural yang berarti banyak, majemuk. Dalam beberapa
kamus bahasa Inggris, tedapat tiga pengertian yaitu :
1. Pengertian kegerejaan, sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur
kegerejaan, memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan baik bersifat kegerejaan maupun non
kegerejaan.
2. Pengertian filosofis, sistem pemikiran yang tidak hanya berlandaskan pada satu hal.
3. Pengertian sosio-politis, mengakui adanya perbedaan dalam segala hal dengan tetap menjunjung
tinggi aspek-aspek perbedaan diantara kelompok-kelompok tersebut.
Sedangkan dalam kamus ilmiah popular, pluralitas adalah kejamakan, orang banyak. Atau
bisa juga diartikan sebagai keberagaman. Jadi, pluralitas adalah keberadaan dari sejumlah orang atau
kelompok dalam satu masyarakat yang berasal dari latar belakang yang berbeda.
Al-Quran sendiri juga mengakui adanya pluralitas, yang tercantum dalam Q.S. Ar Rum: 22 :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan berlainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
bagi orang-orang yang mengetahui.
Ayat ini menunjukkan bahwa keberagaman suku, bangsa, bahasa, warna kulit adalah hal yang
menjadi sunnatullah. Inilah yang dikatakan pluralitas menurut islam. Sebagaimana diciptakannya
berbagai suku dan budaya di penjuru dunia.
2.

Pluralisme dalam Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain adalah
mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman(pluralitas). Namun anggapan bahwa
semua agama adalah sama (pluralisme) tidak diperkenankan, dengan kata lain tidak menganggap
bahwa Tuhan yang 'kami' (Islam) sembah adalah Tuhan yang 'kalian' (non-Islam) sembah. Pada 28
Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa melarang paham pluralisme dalam
agama Islam. Dalam fatwa tersebut, pluralisme didefiniskan sebagai ""Suatu paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif;
oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar
sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan
masuk dan hidup dan berdampingan di surga".
Namun demikian, paham pluralisme ini banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh kalangan
Muslim itu sendiri. Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui
perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin).
Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan
sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada.
Allah Subhanahu Wa Taala melalui wahyunya telah memberikan petunjuk yang jelas tentang
bagaimana seharusnya seorang hamba berinteraksi dengan sesamanya. Begitu juga hal ini telah di
contohkan oleh utusan-Nya Muhamad Shallallahu Alaihi Wasallam. Dan fatwa MUI di atas dirasa

telah cukup untuk mewakili bagaimana sebenarnya Islam mengajarkan umatnya menyikapi masalah
pluralitas.
Dalam hal Aqidah dan Ibadah, umat Islam diperintahkan untuk tidak berkompromi dengan
orang kafir. Umat Islam dilarang meyakini kebenaran agama lain selain Islam. Umat Islam dilarang
juga mencampuradukan konsep peribadahan dengan agama lain diluar Islam (sinkretisme). Diantara
ayat al Quran yang membahas masalah ini adalah QS al Kaafirun [109] : 1-6 :
Katakanlah: Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah.
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.
Dari awal sampai akhir ayat diatas dengan sangat jelas melarang umat Islam melakukan
kompromi Aqidah dan ibadah dengan orang-orang kafir. Umat Islam diperintahkan untuk mengatakan
kepada orang kafir bahwa kita bukanlah penyembah dan tidak akan pernah menjadi penyembah apa
yang mereka sembah. Sebaliknya, orang kafir bukanlah penyembah dan tidak akan pernah menjadi
penyembah apa yang orang Islam sembah.
Penolakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam kepada ajakan Quraisy diatas menunjukan
bahwa tidak ada kompromi bagi umat Islam dengan agama lain dalam hal Aqidah dan Ibadah. Namun,
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam juga mengajarkan tetap berkompromi dan bergaul dengan
masyarakat diluar agama Islam dalam hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan. Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam tetap berinteraksi (inklusif) dan tidak menutup diri (eksklusif) dengan
orang-orang diluar agama Islam.
3. Pluralitas Agama di Indonesia
Seperti yang diketahui bahwa indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan
kebudayaan. Seperti motto negara negara kita Bhinneka Tunggal Ika yang artinya Berbeda-beda tetapi
tetap satu. Karena itulah di Indonesia terdapat bermacam macam agama. Yang diakui oleh pemerintah
ada 5 agama, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Islam sendiri menjadi agama yang paling
banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Selain kelima agama yang diakui pemerintah tadi masih
banyak agama lain yang tidak diakui oleh pemerintah. Setiap warga negara Indonesia diwajibkan
untuk memeluk salah satu dari kelima agama yang diakui oleh pemerintah. Sesuai dengan sila 1
pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap warga negara memiliki kebebasan dalam memilih
agama yang ingin mereka peluk dan semua diatur dalam Undang-undang. Karena itu seorang warga
negara Indonesia tidak boleh dipaksa dalam memilih suatu agama.
Banyak yang pro dan kontra dengan konsep pluralitas agama di Indonesia ini.
a. Pro pluralitas.
Bagi yang pro pruralitas agama, keberagaman agama ini dianggap sebagai hal yang positif. Ini
disebabkan karena keberagaman di Indonesia ini bisa menjadikan Indonesia sebagai contoh yang baik
bagaimana kehidupan kerukunan antar agama. Dan keberagaman agama di Indonesia memang berasal
dari masa lalu yang tidak bisa dirubah. Sehingga keberagaman ini memang harus dipertahankan dan
setiap umat agama harus bisa menghormati umar agama lain. Selain itu bagi kelompok pro prutalitas
beranggapan bahwa islam juga harus mencerminkan salah satu ajarannya yakni sikap toleransi.

Dengan mencerminkan sikap toleransi ini maka umat Islam juga dapat mencerminkan ajaran
agamanya kepada penganut agama lain, bahwa islam itu toleran dan tidak radikal.
Selain itu bagi kelompok pro pluralitas ini mereka juga mengutamakan kesatuan dari NKRI.
Sesuai dengan sejarah perumusan sila pancasila pertama bahwa pada saat itu para pendiri bangsa juga
sempat berdebat apakah Indonesia akan dijadikan negara Islam atau negara dengan keberagaman
agama. Tapi pada akhirnya Indonesia dijadikan negara dengan keberagaman budaya dan agama. Dan
kelompok pro pluralitas beranggapan bahwa warisan sejarah dari para pendiri bangsa ini harus
dipertahankan. Karena itu setiap kebijakan dalam pemerintahan haruslah menguntungkan semua umat
beragama dan jangan hanya menguntungkan satu umat saja.
b. Kontra Pluralitas
Bagi kelompok kontra pluralitas, pluralitas dianggap bisa mengancam kemurnian ajaran suatu
agama. Ini disebabkan karena pada dasarnya setiap agama memiliki ajaran masing masing yang
berbeda dari agama lain. Dan ketakutan para kelompok kontra pluralitas ini adalah bahwa nantinya
ajaran setiap agama akan saling bercampur baur dengan ajaran agama lain. Selain itu jika dilihat dari
praktek dilapangan, sangat jelas bahwa pengaplikasian toleransi masih belum dapat dilaksanakan
dengan baik. Kerukunan antar umat beragama bisa dibilang masih jauh dari yang diharapkan. Sebagai
contoh adalah ketakutan kristenisasi di daerah islam dan islamisasi di daerah kristen membuat setiap
penganut agama akan sedikit menutup diri dari penganut agama lain.

BAB 3
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata Insan dan kamil. Secara harfiah,
Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil
berarti manusia yang sempurna.

2. Menurut Ibnu Arabi, insan kamil merupakan wadah terbukanya tabir yang menghalangi
hamba dengan-Nya sehingga hamba menyaksikan tanda-tanda kekuasaan dan keagunganNya (tajalli) Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari
segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam
semesta, baik alam fisika maupun metafisika.
3. Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasallam sebagai sebuah contoh manusia ideal.
4. Dalam Al-Quran menerangkan bahwa nabi Muhammad adalah figur insan kamil yang
patut dicontoh oleh umat manusia.
5. Pluralitas dan pluralisme memang sudah selayaknya ditanamkan pada diri setiap manusia.
Hal ini mengingat bahwa kedua hal tersebut merupakan hal pokok yang mendasari sikap
kerukunan dalam masyarakat. Terlebih jika ditambah kata "agama" dibelakangnya, yang
sebagian orang tidak memahami hal tersebut. Sehingga yang ada hanyalah mengakui bahwa
agama mereka yang paling benar dan cenderung merendahkan (bahkan kekerasan fisik)
agama lain. Memang, meyakini bahwa agama kita yang paling benar itu tidaklah salah,
karena itu merupakan keyakinan yang tidak dapat diganggu gugat. Akan tetapi,
menganggap remeh agama orang lain sampai-sampai merendahkan pemeluknya adalah
sesuatu yang fatal.
6. Dalam sejarah Islam, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sangat menghargai pemeluk
agama lain (selama mereka tidak memerangi ataupun merendahkan Islam). Terbukti bahwa
antara umat muslim dan nonmuslim kala itu hidup rukun tanpa ada konflik yang berarti.
Dengan tetap meyakini agama masing-masing. Perjanjian hudaibiyah menjadi salah satu
buktinya.

10

Anda mungkin juga menyukai