S1 2015 280713 Chapter1
S1 2015 280713 Chapter1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kosmetik
merupakan
rahasia
penampilan.
Ketika
berbicara
tentang
mungkin secara tidak langsung dapat merubah segala aspek pria. Alasannya, pria
yang sebelumnya identik dengan pekerjaan di luar ruangan pada zaman cowboy,
kini harus berada di dalam ruangan hampir sepanjang hari. Pekerjaan yang
sebelumnya identik dengan kebutuhan fisik mumpuni, kini bergeser ke balik meja.
Segala perubahan kondisi tersebut mungkin turut mempengaruhi pola pikir pria
dalam memandang maskulinitas, khususnya kebutuhan penampilan.
Perubahan tersebut juga turut mempengaruhi media dalam memandang
maskulinitas. Seiring berjalannya waktu, media perlahan melunak dan pada
akhirnya media jugalah yang menjadikan kosmetik sebagai kebutuhan pria,
dengan mengekspos kesuksesan dan kebintangan para pria yang berpenampilan
menarik. Munculnya pria-pria menarik tersebut kemudian memicu para pria untuk
mulai memperhatikan penampilan, dan juga para perempuan yang mengidolakan
para bintang tersebut mendorong para kekasih, suami, hingga anaknya untuk
berpenampilan serupa.
Namun, barulah di akhir 90-an pria sangat memperhatikan urusan penampilan.
Salah satu penyebabnya adalah kemunculan pria metroseksual, yaitu pria yang
menaruh perhatian lebih pada penampilan layaknya perempuan. Berbeda dengan
pria-pria lain di era sebelumnya, pria metroseksual secara terang-terangan
menggunakan kosmetik untuk menunjang penampilan mereka. Kemunculan pria
metroseksual perlahan mempengaruhi pria lain yang non-metroseksual untuk turut
memperhatikan penampilan. Hal tersebut diperkuat dengan dukungan media, yang
melahirkan model-model maskulinitas dalam berbagai produk media, seperti
buku, majalah, iklan, dan film. Mulai dari sosok cowboy, pria berotot seperti
Rambo, pria petualang seperti Indiana Jones, pria kalem namun mematikan seperti
James Bond, pria romantis seperti Richard Gere, hingga sosok atlit seperti David
Beckham, semua mampu menciptakan penggemar masing-masing, baik kaum
perempuan maupun pria itu sendiri.
Kemunculan sosok-sosok idola tersebut, sedikit banyak memicu para
penonton atau penggemar untuk mengikuti jejak mereka, yang paling mudah
adalah penampilan. Akhirnya, para pria mulai memperhatikan penampilan mereka
dengan lebih baik, salah satunya melalui perawatan dengan menggunakan
Tamara Abraham. 2012. Is That His Eye Cream or Hers? The Number of Men Buying WOMEN'S Beauty
Products Soars by 76per cent. http://www.dailymail.co.uk/femail/article-2166060/Is-eye-cream-Thenumber-men-buying-WOMENS-beauty-products-soars-76per-cent.html. Diakses pada 8/2/2014.
6 Kabar Bisnis. 2011. Bersihkan Wajah, 41% Pria Gunakan Produk Wanita.
http://www.kabarbisnis.com/read/2819454. Diakses pada 8/2/2014.
7 Rifatul Mahmudah. 2013. Ponds Men, Inovasi Produk Perawatan Pria. http://swa.co.id/businessstrategy/ponds-men-inovasi-produk-perawatan-kulit-pria. Diakses pada 9/2/2014.
maskulinitas
B. Rumusan Masalah
Dari segala penjabaran di atas, ditemukan satu permasalahan yang dapat
dirumuskan, yaitu bagaimana maskulinitas pria pengguna kosmetik perempuan di
mata pria?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pria menilai,
memandang, serta mengevaluasi maskulinitas sesama pria, terkait penggunaan
produk perawatan atau kosmetik perempuan di kalangan kaum pria itu sendiri.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai:
1. Referensi bagi peneliti maupun praktisi untuk mengetahui pandangan pria
terhadap maskulinitas pria pengguna komsetik perempuan.
2. Memberikan landasan bagi yang tertarik melakukan penelitian lanjutan.
E. Objek Penelitian
Penelitian ini bertujuan mencari bagaimana pria menilai, memandang, serta
mengevaluasi maskulinitas sesama pria, khususnya pria pengguna kosmetik
perempuan. Artinya, penelitian ini merupakan penelitian yang mengeksplorasi
para pria. Sehingga, objek penelitian ini sudah tentu adalah pria, baik pria
pengguna kosmetik perempuan, maupun bukan pengguna. Dengan demikian,
diharapkan dapat muncul berbagai variasi jawaban terkait rumusan permasalahan
penelitian.
Lokus penelitian ini terletak di ranah penerima pesan, dalam hal ini adalah
para pria. Fokus penelitian mengutamakan efek yang diterima oleh objek
penelitian ini, yaitu sikap objek penelitian, dalam bentuk cara pandang terhadap
suatu hal, dalam hal ini adalah cara pandang terhadap maskulinitas.
F. Kerangka Teori
1. Archetype maskulinitas
Men are from Mars, women are from Venus. Sebuah idiom terkenal yang
menggambarkan betapa berbedanya sosok pria dan wanita. Idiom tersebut berasal
dari judul buku karya seorang relationship counselor, John Gray, Ph.D8. Dalam
bukunya, Gray menuliskan bahwa pola pikir pria dan perempuan secara umum
sangat berbeda sehingga mempengaruhi berbagai aspek lain dalam kehidupan,
termasuk ketika menghadapi berbagai permasalahan, mengatasi stress, menjalin
hubungan asmara, dan sebagainya. Berbagai perbedaan tersebut kemudian
menjadi rahasia umum dan menciptakan konsep gender yang membedakan
keduanya, yaitu maskulin dan feminin, dimana kedua konsep gender tersebut
mengatur cara hidup dan segala aspek masing-masing gender.
Fakih (2001) menyatakan bahwa dalam memahami konsep gender, harus
mengerti perbedaan kata gender dan jenis kelamin/sex terlebih dahulu. Jenis
kelamin atau sex mengacu pada bentuk fisik dan fungsi biologis yang melekat
pada manusia, khususnya pada organ reproduksi. Sedangkan gender mengacu
pada sifat yang melekat pada kaum pria maupun perempuan yang telah
8
Gray, John. 2013. Men are from Mars, Women are from Venus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tabel 1.1
Tabel Stereotype Gender
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa stereotype yang tercipta antara pria dan
perempuan sejak dahulu selalu berkebalikan, dimana pria selalu lebih unggul
sedangkan perempuan lebih lemah. Dalam teori The Cult of True Womanhood,
dapat dilihat bahwa perempuan dianggap lebih pasif, rapuh, lemah, lembut,
bergantung pada orang lain, dan berposisi sebagai pengurus rumah tangga.
Sedangkan pria sebaliknya, teori Male Sex Role Identity menggambarkan pria
sebagai sosok yang lebih agresif, mandiri, haus akan kesuksesan, tangguh,
percaya diri, berkepribadian keras, serta pantang berperilaku yang menunjukkan
sifat sissy atau keperempuan-perempuanan. Berbagai stereotype tersebut pada
akhirnya telah menjadi semacam panduan hidup maskulin bagi para pria,
membentuk hegemoni dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan pria, mulai
dari kehidupan bernegara, bermasyarakat, berkeluarga, berteman, berkomunikasi,
hingga hal-hal yang lebih kecil seperti penampilan, gesture tubuh, dan lain
sebagainya.
Perkembangan tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran media dalam
kehidupan sehari-hari. Media memegang peranan besar dalam menciptakan
dan
ketidakberdayaan
perempuan,
sedangkan
di
sisi
lain
10
11
10
The Hero tipe pria yang reputasi atau kebintangannya merupakan hasil
dari kesuksesan bisnis, kekuatan politik, pelayanan militer, ataupun
prestasi atletik. Kehebatannya dalam suatu bidang menjadikan pria
tersebut sebagai hero atau pahlawan penyelamat.
The Outdoorsman pria yang menguasai alam, merajai para hewan, dan
menguasai segala hal yang terlihat liar.
The Family Man pria yang aktif berperan di rumah tangga, sebagai ayah
maupun sebagai kepala keluarga. Umumnya digambarkan sebagai pria
yang mengutamakan segalanya untuk keluarga.
The Man at Work sosok pria yang mengejar karir dan bidang
keahliannya.
The Erotic Male sosok pria sensual, ideal, bahkan kadang dalam bentuk
telanjang untuk ditampilkan.
11
The Quiescent Man sosok pria kalem, yang melakukan aktifitas rekreasi
ringan seperti bermain video game, mengikuti tour, dan sebagainya, atau
sama sekali tidak melakukan apapun.
Dalam ilmu komunikasi, dikenal sebuah teori bernama social cognitive theory
(SCT) yang merupakan sebuah teori efek media yang dikembangkan dari teori
psikologi yang dipublikasikan oleh Neal E. Miller dan John Dollard di tahun 1941
(Miller, 2002:237) yaitu social learning theory. Teori tersebut menjelaskan bahwa
jika manusia termotivasi untuk belajar suatu hal tertentu, maka mereka akan
mempelajarinya dari model atau contoh yang tersedia, dan akan mengikuti
model tersebut. Teori dasar tersebut kemudian diaplikasikan oleh Bandura dalam
social cognitive theory (1977), dimana perilaku manusia dapat dibentuk melalui
pembelajaran
manusia
terhadap
model-model
atau
contoh
yang
12
penambah stamina yang diisi oleh sosok the breadwinner, film laga yang diisi
oleh sosok pria the hero, serta novel atau film drama romantis yang dilakoni oleh
sosok the erotic male atau the family man, dan sebagainya (selengkapnya pada
Bab II). Pada akhirnya, dengan kemunculan para pria tersebut di berbagai media,
setiap
archetype mampu
meniru dan
bahwa
penampilan
juga
layaknya
media
pertama
yang
13
keindahan, tentu erat dengan dunia perempuan, bukan pria. Dalam pasar kosmetik
sendiri, sudah menjadi rahasia umum jika dikatakan bahwa kosmetik merupakan
produk yang ditujukan untuk perempuan. Sejak dahulu hingga hari ini, kosmetik
merupakan atribut yang lekat dengan dunia perempuan yang identik dengan
keindahan dan kecantikan, sebagaimana fungsi kosmetik sebagai alat untuk
merawat dan memperindah tubuh penggunanya.
Bagaimana dengan pria? Dewasa ini, pria yang umumnya lebih cuek tentang
penampilan, juga mulai menggunakan kosmetik untuk dirinya dalam kehidupan
sehari-hari, bahkan sanggup menciptakan pasar baru yang memiliki pertumbuhan
luar biasa. Hal tersebut seakan menjelaskan adanya pergeseran makna seorang
pria, sekaligus membuktikan bahwa maskulinitas kini mengalami kebingungan
atau krisis. Darnell dan Wilson menggambarkan krisis maskulinitas sebagai the
notion that men are confused about the roles and identities to which they should
aspire at a time when cultural definitions of manhood are ambiguous and in
transition (2006:444). Artinya, krisis maskulinitas terjadi saat pria bingung
mengenai peran dan identitas yang harus mereka capai ketika definisi pria menjadi
tidak pasti dan dalam perubahan (selengkapnya pada Bab II).
Ketika berbicara pria yang peduli pada penampilan, sulit meninggalkan pria
metroseksual (metrosexual man). Berdasar riset yang dilakukan oleh Markplus &
Co. dalam Kertajaya (2006:196), kini pria terbagi dalam tiga jenis, yaitu
conservative man, status-oriented man, dan metrosexual man dengan persentase
47,4%; 36,9% dan 15,7%. Conservative man atau pria konservatif (atau
tradisional), merupakan tipe pria yang menganggap bahwa dirinya adalah sumber
utama mencari nafkah, dan masih berpikir tentang perbedaan peran gender.
Sedangkan status-oriented man, merupakan tipe pria yang sudah meyakini adanya
persamaan hak gender.
Terakhir adalah pria metroseksual. Hal yang menonjol dari pria metroseksual
adalah rasa cinta kepada penampilan. Kata metroseksual pertama kali
dicetuskan oleh Mark Simpson dalam artikel yang ditulisnya untuk surat kabar
The Independent pada 15 November 1994:
14
Metrosexual man, the single young man with a high disposable income,
living or working in the city (because thats where all the best shops are), is
perhaps the most promising consumer market of the decade. In the Eighties he
was only to be found inside fashion magazines such as GQ. In the Nineties,
hes everywhere and hes going shopping.12
Meski demikian, istilah pria metroseksual mulai booming di masyarakat
setelah beberapa tahun berlalu, yaitu di awal era 2000-an. Kala itu, sosok
pesepakbola David Beckham, menjadi buah bibir karena penampilan yang
terkesan genit untuk ukuran pria. Namun rupanya, Beckham justru
menginspirasi pria lainnya untuk mengikuti dan menjadikannya panutan dalam
berpenampilan. Merujuk pada perkembangan tersebut, pada tahun 2002, Simpson
kembali menulis sebuah artikel di salon.com untuk mendefinisikan pria
metroseksual:
The typical metrosexual is a young man with money to spend, living in or
within easy reach of a metropolis because thats where all the best shops,
clubs, gyms and hairdressers are. He might be officially gay, straight or
bisexual, but this is utterly immaterial because he has clearly taken himself as
his own love object and pleasure as his sexual preference.13
Sesuai dengan pendapat Featherstone bahwa tubuh berperan sebagai alat untuk
mengekspresikan diri, yang diperkuat oleh konsumerisme (1991), perkembangan
kelompok pria metroseksual pada akhirnya memicu perubahan signifikan dalam
industri kosmetik dengan menciptakan lahan bisnis baru, yaitu kosmetik pria.
Secara umum, kosmetik pria merupakan produk perawatan yang dikreasikan
khusus untuk pria dan disesuaikan untuk pria. Produk perawatan kulit pria
memiliki komposisi bahan yang berbeda dengan produk perawatan kulit
perempuan, parfum pria memiliki aroma yang lebih maskulin dibanding parfum
perempuan, dan sebagainya. Terhitung sejak tahun 2010, perkembangan industri
kosmetik pria secara global mengalami peningkatan hingga 420%.14
12
Mark Simpson. 1994. Here Come The Mirror Man: Why The Future Is Metrosexual.
http://www.marksimpson.com/here-come-the-mirror-men. Diakses pada 10/5/2014.
13 Mark Simpson. 2002. Meet The Metrosexual. http://www.salon.com/2002/07/22/metrosexual. Diakses
pada 10/5/2014.
14 Tamara Abraham. 2012. Is That His Eye Cream or Hers? The Number of Men Buying WOMEN'S Beauty
Products Soars by 76per cent. http://www.dailymail.co.uk/femail/article-2166060/Is-eye-cream-Thenumber-men-buying-WOMENS-beauty-products-soars-76per-cent.html. Diakses pada 8/2/2014.
15
Perkembangan tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengaruh media. Dalam satu
dekade terakhir, pria telah menjadi konsumsi media dan berbagai budaya populer.
Tubuh pria, yang sebelumnya tidak pernah diperhatikan, kini dipamerkan, mulai
dari pria-pria berotot dalam film laga, hingga sosok pria sixpacks yang
menghiasi sampul Mens Health, dan superwaifs15 di majalah gaya masa kini
(Tasker, 1993; Edwards, 1997; Nixon, 1996). Hal tersebut sesuai dengan dengan
pendapat Turner bahwa we have become flaneurs, who survey and consume
others bodies in the airport departure lounge of postmodern society (2000:42).
Artinya, kita telah menjadi penikmat yang mempelajari dan mengonsumsi tubuh
orang lain.
Henwood, Gill & McLean (2005:4) juga menyatakan bahwa telah menjadi
kesepakatan umum bahwa telah terjadi perubahan signifikan, dimana tubuh pria
berubah dari hampir tidak terlihat (invisible), menjadi sangat terlihat (hypervisible) hanya dalam satu dekade. Tubuh pria kini telah menjadi objek pandangan,
bukan lagi sekadar pendukung penampilan. Hal tersebut terlihat dari berbagai
exposure media terkait tubuh pria, misalkan saja atlit yang menjadi brand
ambassador bagi produk parfum atau kosmetik tertentu dengan menampilkan
bentuk tubuh mereka. Perlahan namun pasti, perubahan tersebut kini
mempengaruhi cara pandang pria terhadap penampilan, khususnya perawatan
tubuh. Sebagai buktinya, kita menyaksikan hasrat yang luar biasa pada bentuk otot
dalam diri pria muda masa kini, tepat pada saat pekerjaan yang membutuhkan
kekuatan fisik atau otot semakin berkurang (Henwood, Gill & McLean, 2005:5).
Hasrat tersebut melahirkan gagasan bagi Henwood, Gill & McLean yang
disebut body project, yang menurut Featherstone: attempts to construct and
maintain a coherent and viable sense of self-identity through attention to the body,
particularly the bodys surface (Featherstone, 1991, dalam Henwood, Gill &
McLean, 2005:5). Gagasan tersebut pada dasarnya mengindikasikan bahwa
tubuh telah menjadi identitas diri pria, khususnya permukaan tubuh (bodys
surface). Segala hal akan dilakukan demi membentuk penampilan yang
15
Sebuah istilah untuk menyebut para model yang bertubuh sangat kurus, layaknya waif (yatim). Sumber:
http://www.wordplays.com/definition/superwaif. Diakses pada 11/8/2014.
16
diidamkan, seperti pendapat Giddens, we have become responsible for the design
of our body (1991:109).
Dari berbagai fakta yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa terdapat
hubungan yang unik antara pria dan kosmetik. Hubungan yang awalnya saling
membenci, kemudian perlahan saling tertarik, hingga kini menjadi seperti
simbiosis mutualisme, dimana keduanya saling membutuhkan dan saling memberi
manfaat. Pria membutuhkan kosmetik untuk tampil prima, dan kosmetik
membutuhkan pasar untuk terus bertumbuh besar hingga saat ini.
Meski demikian, pria tidak menjadi satu-satunya pelaku dalam perkembangan
tersebut. Terdapat banyak faktor lainnya, misalkan media, lingkungan pergaulan,
dan terakhir adalah perempuan. Pertama, media berperan membentuk opini
masyarakat mengenai penampilan, dalam hal ini adalah budaya populer. Media
menjadikan budaya populer sebagai panutan bagi masyarakat. Sebagai contoh,
seorang David Beckham, Ewan McGregor, Pierce Brosnan maupun Arnold
Schwarzenegger tidak akan menjadi panutan dan ikon pria jika media tidak
mengekspos gaya hidup mereka.
Kedua adalah faktor lingkungan. Dalam lingkungan pergaulan, kemungkinan
seseorang untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh teman-teman dalam
pergaulan tersebut sangat besar. Seseorang yang besar di lingkungan yang gaul
kemunginan besar akan terbawa menjadi seorang yang gaul, seseorang yang
tumbuh di lingkungan yang agamis kemungkinan besar akan terbawa menjadi
seorang yang agamis pula, dan seterusnya. Selain itu, lingkungan juga
mengajarkan sesuatu yang disebut stereotype, atau anggapan/penyamarataan
kepada suatu hal tertentu.
Faktor berikutnya adalah perempuan. Rendahnya pengetahuan pria atas
kosmetik menjadikan perempuan sebagai sumber referensi pria dalam
berkonsultasi. Selain itu, kemunculan para pria berpenampilan menarik di layar
kaca bisa saja memicu perempuan agar suami, teman, pacar, atau anaknya untuk
berpenampilan menarik juga. Perempuan menjadi eksekutor dalam pembelian
kosmetik pria. Berdasar riset Nielsen dalam kurun 2012-2013, pembeli tertingggi
kosmetik pria adalah perempuan usia 40 tahun ke atas (41,8%), kemudian disusul
17
oleh perempuan berusia 25-39 tahun dengan 26,8%, dan 7,9% adalah pria berusia
40 tahun ke atas. Menurut Hellen Katherina, Director of Home Panel Service,
Nielsen Indonesia, Fakta ini mengindikasikan bahwa wanita masih menjadi
pelaksana belanja rumah tangga. Wanita yang membeli produk perawatan pria
kebanyakan membeli untuk suami atau anak laki-laki mereka yang beranjak
remaja dan mulai menggunakan produk perawatan khusus pria tersebut16.
Kesimpulannya, kosmetik kini bukan hanya menjadi milik perempuan,
melainkan juga pria. Perkembangan zaman merubah pandangan pria mengenai
penampilan, sesuatu yang sebelumnya dianggap tidak terlalu penting bagi pria.
Jika dahulu pria identik dengan penampilan seadanya, kini pria juga harus pandai
merawat penampilan. Bahkan, tidak sedikit pria yang menganggap bahwa
penampilan merupakan kunci kesuksesan. Munculnya angggapan tersebut
menjadikan penampilan sebagai suatu kebutuhan pria, yang menyebabkan garis
pembatas antara artibut maskulin dan feminin perlahan pudar.
G. Kerangka Konsep
Penelitian ini berjudul Maskulinitas Pria Pengguna Kosmetik Perempuan di
Mata Pria (Survey Deskriptif Terhadap Archetype Pria Pengguna Kosmetik
Perempuan). Maka, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan para
pria terhadap maskulinitas pria pengguna kosmetik perempuan yang kini mulai
marak. Menurut paham atau teori-teori maskulinitas terdahulu, penggunaan
kosmetik saja dinilai sebagai tindakan yang sissy, atau keperempuanperempuanan. Kali ini, justru muncul fenomena pria menggunakan kosmetik
perempuan. Artinya, ada sebuah kegiatan yang dilakukan pria masa kini yang
dapat dianggap melanggar nilai-nilai maskulinitas. Sehingga, para pria dalam
penelitian ini diminta untuk memberikan pendapat dan evaluasi terhadap nilainilai maskulinitas pria di masa kini, khususnya maskulinitas pria pengguna
kosmetik perempuan. Sedikitnya terdapat dua konsep yang digunakan sebagai
pendukung sekaligus batasan dalam penelitian ini. Sebagaimana telah diulas
16
18
dalam kerangka teori di atas, kedua konsep tersebut adalah konsep archetype
maskulinitas, serta konsep pria dan kosmetik.
Konsep pertama adalah konsep archetype maskulinitas. Archetype dapat
diartikan sebagai model dasar atau model standar yang dijadikan acuan,
sedangkan maskulinitas merupakan segala asosiasi, atribut, serta perilaku yang
melekat pada diri pria sehingga bisa disebut cowok banget, seperti dominasi,
aktif, berani, tangguh, pantang terlihat lemah, dan sebagainya. Sehingga,
archetype maskulinitas merupakan model dasar atau model standar dari berbagai
maskulinitas yang beredar di masyarakat. Dalam penelitian ini, konsep archetype
maskulinitas yang digunakan adalah temuan Rohlinger (2002:66-67), yaitu
sembilan tipe pria yang kerap muncul di media. Maskulinitas sendiri memiliki
nilai yang relatif, karena tidak semua pria memegang satu prinsip maskulinitas
yang serupa. Sehingga, nilai maskulinitas masing-masing archetype memiliki
muatan yang berbeda bagi setiap pria.
Konsep kedua yaitu konsep pria dan kosmetik. Meskipun terkesan sepele,
namun penampilan merupakan media untuk membentuk kesan terhadap
seseorang, termasuk maskulin atau tidaknya seorang pria. Karena itulah,
penampilan
merupakan
hal
yang
penting
dalam
mengkomunikasikan
maskulinitas. Dalam konsep ini, pria moderen dihadapkan pada dua hal, yaitu
kebutuhan penampilan yang prima dan maskulinitas yang melekat pada sosok
pria. Di satu sisi, memperhatikan penampilan merupakan hal yang feminin,
sedangkan pria adalah makhluk maskulin. Namun perkembangan zaman perlahan
menuntut seorang pria untuk turut memperhatikan penampilan. Salah satu jalan
untuk merawat penampilan adalah dengan menggunakan kosmetik. Perubahan
tersebut seolah menghapus batas definisi maskulinitas dalam stereotype yang
selama ini menahan pria untuk bersolek. Pada akhirnya, hubungan keduanya kini
layaknya simbiosis mutualisme yang saling membutuhkan dan menguntungkan.
Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengaruh media. Dalam Kerangka
Teori, sempat disinggung sekilas mengenai social cognitive theory (SCT) oleh
Bandura (1977, Miller (2002:240)), yang menjelaskan bahwa media mampu
merubah perilaku seseorang dengan menunjukkan model-model dasar atau standar
19
bagi mereka. Dalam penelitian ini, SCT tidak menjadi teori utama, tetapi menjadi
pendukung yang memperkuat bahwa kesembilan archetype maskulinitas yang
digunakan dalam penelitian ini dapat mempengaruhi setiap pria, karena mereka
muncul setiap hari dalam berbagai bentuk media.
Lebih lanjut, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif mengenai
archetype maskulinitas pria pengguna kosmetik perempuan di mata pria.
Penelitian deskriptif sendiri digunakan untuk mencari teori, bukan menguji teori
(Rakhmat, 1991:23). Artinya, penelitian ini tidak bermaksud untuk menguji atau
membuktikan sebuah hipotesis, tetapi menemukan sebuah jawaban atas suatu
pertanyaan. Maka, tujuan penelitian ini bukan mencari kebenaran atau menguji
teori maskulinitas tertentu, melainkan mencari tanggapan, pandangan atau
evaluasi para pria terkait maskulinitas pria yang menggunakan kosmetik
perempuan dalam archetype maskulinitas, dalam hal ini adalah archetype
maskulinitas temuan Rohlinger (2002:66-67) mengenai sembilan maskulinitas
dalam media.
Seperti telah disebutkan dalam Latar Belakang, pada penelitian-penelitian
terkait maskulinitas yang telah dilakukan sebelumnya, umumnya membahas
mengenai berbagai jenis konstruksi citra maskulin dalam media tertentu, seperti
iklan, film, atau media cetak. Maka, penelitian ini dapat disebut sebagai
kelanjutan dari penelitian-penelitian tersebut. Memanfaatkan efek dari konstruksi
maskulinitas oleh media, melalui penelitian ini, peneliti akan berusaha mengetahui
pandangan pria pengguna kosmetik perempuan dalam archetype maskulinitas
yang telah terkonstruksi dari berbagai media, langsung dari sudut pandang pelaku,
korban, dan pencipta maskulinitas itu sendiri, yaitu para pria. Lebih dalam,
penelitian ini juga berusaha melihat kemungkinan perbedaan pendapat dari pria
pengguna kosmetik perempuan maupun bukan pengguna. Adapun kerangka
konsep dalam penelitian ini disajikan dalam bagan berikut ini.
20
Dari bagan kerangka konsep di atas, dapat dilihat bahwa temuan Rohlinger
(2002:66-67) mengenai sembilan representasi pria yang kerap muncul di media,
yaitu: The Hero, The Outdoorsman, The Urban Man, The Family Man, The
Breadwinner, Man at Work, The Erotic Male, The Consumer, dan The Quiescent
Man, digunakan sebagai panduan konsep archetype maskulinitas dalam penelitian
ini. Artinya, para responden akan diminta untuk menilai para pria pengguna
kosmetik perempuan dalam ranah archetype maskulinitas di atas.
Archetype pertama adalah the hero yang merupakan tipe pria yang
kehebatannya dalam suatu bidang (atletik, militer, bisnis, politik) menjadikan pria
tersebut sebagai hero atau pahlawan penyelamat. Di media, tipe pria ini
digambarkan sebagai sosok yang tidak terkalahkan, yang muncul di saat-saat
terakhir untuk melakukan penyelamatan, dan umumnya dibekali dengan suatu
kelebihan.
The outdoorsman menggambarkan sosok pria yang dekat dengan alam,
mampu menjinakkan para hewan, dan menguasai segala hal yang terlihat liar.
Sosok pria ini kerap digambarkan dengan menunggang hewan liar atau terlihat
hidup di tengah hutan atau lautan dengan segala permasalahan yang akan muncul.
21
Ketiga adalah the urban man, yaitu sosok pria yang terlibat dalam berbagai
kemewahan hidup di metropolitan, mulai dari fashion, kehidupan sosial, dan
berbagai perkumpulan. Tipe pria ini kerap digambarkan dengan penampilan
terkini dengan gaya hidup khas metropolitan.
Berikutnya adalah the family man, seorang kepala keluarga yang aktif
berperan dalam kehidupan rumah tangga. Sosok ini kerap digambarkan sebagai
sosok yang memiliki sifat kebapakan dan mejadi sosok kepala keluarga. Kelima
adalah the breadwinner, yaitu pria yang bertanggungjawab sebagai pencari nafkah
utama, baik untuk dirinya sendiri maupun orang-orang terdekatnya. Umumnya,
tipe pria ini digambarkan sebagai sosok yang memiliki kehidupan dan pekerjaan
yang berat.
The man at work merupakan sosok pria yang mengutamakan karir dan bidang
keahlian tertentu. Tipe pekerjaan yang dilakukan oleh pria ini umumnya
digambarkan dengan pekerjaan di gedung-gedung perkantoran, sebagai sosok
eksekutif.
Lebih lanjut, ada sosok the erotic male yang menggambarkan sosok pria
sensual yang mengumbar bentuk tubuh dan bahkan kadang ditampilkan dalam
bentuk telanjang untuk menarik perhatian. Tipe pria ini kerap digambarkan
sebagai sosok playboy dengan tubuh yang menggoda untuk mendominasi
perempuan atau pasangannya dengan sensualitas.
Urutan kedelapan adalah pria the consumer yang digambarkan sebagai
pengguna produk, memiliki kebutuhan terhadap produk, atau ditampilkan sebagai
konsumen yang puas akan produk tertentu. Terakhir adalah the quiescent man,
yang digambarkan sebagai sosok pria kalem, tidak neko-neko, melakukan
aktifitas rekreasi ringan seperti bermain video game, mengikuti tour, dsb, atau
sama sekali tidak melakukan apapun.
Adapun pendekatan yang digunakan dalam kuesioner penelitian ini adalah
pendekatan dengan bahasa negatif terhadap pria pengguna kosmetik perempuan.
Hal tersebut bukan dilakukan dengan sengaja atau untuk memojokkan pria
pengguna kosmetik perempuan, melainkan dilandaskan pada anggapan bahwa pria
22
dalam
penelitian
ini,
selengkapnya
disajikan
dalam
tabel
Tabel 1.2
Tabel Operasionalisasi Konsep
Konsep
Dimensi
Item
Skala
Business success
The Hero
Professional athleticism
Political power
Skala Likert
Military services
Conquers nature
The
Outdoorsman
Archetype
Survival skill
Maskulinitas
Fashion
The Urban
Modern lifestyle
Man
Up-to-date
Skala Likert
Skala Likert
Outings
Fatherhood
The Family
Protective
Man
Skala Likert
Loves kids
23
The
Responsible
Breadwinner
Struggleful
Skala Likert
Loyalty
Man at Work
Initiative
Leadership
Skala Likert
Creativity
The Erotic
Male
Sensuality
Ideal body
Skala Likert
Sex appeal
User of a product
The Consumer
Skala Likert
Consumptive
The Quiescent
Light activities
Inactive
Skala Likert
H. Definisi Operasional
Dalam penelitian ini hanya terdapat satu konsep, yaitu archetype maskulinitas.
Berikut adalah definisi operasional dari konsep archetype maskulinitas beserta
indikatornya:
1. The Hero menggambarkan sosok pria yang dianggap seperti pahlawan
dengan kemampuannya di bidang bisnis, atletik, politik, ataupun militer.
Dimensi ini diukur dengan (1) business success, (2) professional
athleticism, (3) political power, dan (4) military service.
2. The Outdoorsman menggambarkan sosok pria pecinta alam dan segala
sesuatu yang alamiah. Dimensi ini diukur dengan (1) conquers nature, (2)
reign over the animal kingdom, (3) has control over wild environment, dan
(4) survival skill.
3. The Urban Man menggambarkan pria yang terlibat dalam kemewahan
metropolitan. Dimensi ini diukur dengan (1) fashion, (2) modern lifestyle,
(3) up-to-date, dan (4) outings.
24
I. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan metode penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui achretype maskulinitas pria
pengguna kosmetik perempuan di mata pria. Demi mencapai tujuan tersebut,
dibutuhkan berbagai data dari objek penelitian, karena itu metode yang peneliti
rasa cocok untuk digunakan adalah metode survey dengan pendekatan kuantitatif.
Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang tidak mementingkan kedalaman data,
yang penting dapat merekam data sebanyak-banyaknya dari populasi yang luas
(Masyhuri dan Zainuddin, 2008:13).
Metode survey cocok untuk penelitian ini, karena metode survey mampu
mengumpulkan dan memperoleh data secara langsung dari sumber lapangan
penelitian, biasanya melalui kuesioner dan wawancara baik secara lisan maupun
25
tertulis yang memerlukan adanya kontak secara tatap muka antara peneliti dengen
repondennya (Ruslan, 2003:22). Alasan penelitian ini menggunakan metode
survey adalah demi memungkinkan peneliti untuk melakukan generalisasi suatu
gejala sosial atau variabel sosial tertentu kepada gejala sosial atau variabel sosial
dengan populasi yang lebih besar (Bungin, 2005:35).
sumber
pengumpulan data. Berikut merupakan populasi dan sampel dalam penelitian ini:
a. Populasi
Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri dari subjek atau
objek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono,
2006:72). Menurut Arikunto (2006:108), populasi merupakan keseluruhan dari
subjek penelitian. Sehingga dapat disimpulkan populasi merupakan segala
objek dan subjek yang diteliti dalam penelitian.
Dalam penelitian ini, populasi yang diteliti adalah pria berusia 20-30
tahun. Alasan pemilihan populasi tersebut merujuk pada studi psikologi pria
yang menyatakan bahwa pria di usia 20-30 tahun kurang siap dalam
menghadapi perkembangan dan kekurangan fisiknya (Oktaviana, 2004:2).
Hurlock (1990) menambahkan bahwa hanya sedikit remaja yang merasa puas
pada tubuhnya atau kateksis. Ketidakpuasan inilah yang kemudian memacu
kecenderungan untuk melihat kekurangan pada tubuhnya sendiri, sehingga
akhirnya mengunakan berbagai cara, termasuk penggunaan kosmetik untuk
menutupi kekurangannya. Idealnya, populasi yang akan diteliti ditentukan
melalui:
26
b. Sampel
Melihat populasi yang begitu besar di atas, sulit bagi peneliti untuk
meneliti lingkup sebesar itu, karenanya peneliti perlu mencari sampel untuk
mewakili
populasi.
Sampel
merupakan
bagian
dari
populasi
yang
Keterangan:
n
ukuran sampel
ukuran populasi
27
28
5. Uji validitas
Dalam sebuah penelitian, konsep validitas amatlah penting, karena terkandung
makna tingkat kesesuaian hasil penelitian atau cerminan keadaan yang
sesungguhnya dalam hasil penelitian yang dilakukan (Idrus, 2009:124). Semakin
valid
sebuah
instrumen
penelitian,
semakin
tepat
dan
dapat
6. Uji reliabilitas
Selain valid, sebuah instrumen dalam penelitian juga harus memiliki
reliabilitas, atau dapat dipercaya. Maksudnya, sebuah instrumen harus dapat
digunakan berkali-kali dan menjanjikan konsistensi atau hasil yang sama meski
digunakan oleh siapapun dan kapanpun. Untuk mengetahuinya, harus dilakukan
uji coba berkali-kali demi memperoleh ketepatan. Jika hasilnya menunjukkan
ketepatan, maka instrumen tersebut dinyatakan reliabel. Adapun pengujian ini
didasarkan pada nilai Cronbach Alpha, dimana ketentuannya nilai Cronbach
Alpha > 0.6. Uji reliabilitas dalam penelitian ini akan dibahas lebih lanjut pada
Bab IV, yaitu Bab Pembahasan.
29
teknik dalam menganalisis data agar dapat dalam memproses data lebih sederhana
sehingga mudah dibaca dan interpretasikan. Dalam penelitian ini, hanya terdapat
satu variabel, karenanya peneliti akan menggunakan teknik analisis deskriptif.
Analisis deskriptif menurut Sugiyono (2006) dilakukan untuk mengetahui
nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat
perbandingan, atau menghubungkan antara variabel satu dengan variabel yang
lain. Poin menarik dari analisis deskriptif adalah analisis deskriptif digunakan
untuk mencari teori, bukan menguji teori (Rakhmat, 1991:23).
Masih
menurut
Rakhmat,
analisis
deskriptif
bertujuan
untuk:
(1)
mengumpulkan informasi actual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2)
mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang
berlaku, (3) membuat perbandingan atau evaluasi, dan (4) menentukan apa yang
dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari
pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang
akan datang. Sehingga, bisa disimpulkan bahwa statistik deskriptif digunakan
untuk menganalisis data dengan mendeskripsikan dan menggambarkan data yang
telah terkumpul tanpa mencari hubungan, membuat hipotesis, atau menarik
kesimpulan.
30