rhrhrh
Oleh :
RR. AYUDHIA SAVITRI ZAKARIA
PAMEKASAN - JAWA TIMUR
PKL
Praktek Kerja Lapang sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Perikanan pada Program Studi Budidaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga
Oleh :
RR. AYUDHIA SAVITRI ZAKARIA
060510211 P
PKL
Mengetahui,
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
RINGKASAN
PKL
penebaran benih yaitu seleksi benih secara visual serta aklimatisasi, pengukuran dan
menjaga kualitas air, pemberian pakan berupa pellet, pemberantasan hama dan
penyakit dan pembesaran.
Teknik budidaya udang vannamei di tambak ini sudah memenuhi persyaratan
teknik budidaya yang benar dan pengembangan usaha sudah mulai dilakukan. Hal ini
dapat dilihat dengan analisis usaha yang menguntungkan yang dapat dilihat dari B/C
Rasio sebesar 1,1 yang artinya setiap penggunaan biaya produksi sebesar Rp. 1,00
akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 1,10 dan rencana pembangunan lahan
baru.
PKL
SUMMARY
PKL
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya, sehingga
laporan Praktek Kerja Lapang tentang Manajemen Budidaya Udang Vannamei
(Litopenaeus vannamei) ini dapat terselesaikan. Laporan ini disusun berdasarkan hasil
Praktek Kerja Lapang yang telah dilaksanakan di Tambak Udang Binaan Dinas
Perikanan Kabupaten Pamekasan, Madura pada 28 Juli sampai 5 September 2008.
Pada kesempatan kali ini, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Keluarga besar yang selalu memberikan dukungan doa, semangat dan dana.
2. Ibu Prof. Dr. Drh. Hj. Sri Subekti, DEA. selaku Dekan Fakultas Perikanan dan
Kelautan, Universitas Airlangga.
3. Bapak Akhmad Taufiq Mukti, S.Pi., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan, petunjuk dan bimbingan sejak penyusunan usulan hingga
selesainya penysunan laporan ini.
4. Ibu Nurul, M.Si., Ir. selaku Kepala Dinas Perikanan Pamekasan yang telah
memberi kesempatan untuk bisa melaksanakan Praktek Kerja Lapang ini.
5. Bapak Nurul, Bapak Sono dan pegawai Dinas Perikanan lainnya yang telah
membantu terlaksananya Praktek Kerja Lapang.
6. Bapak Haji Iksan dan Bapak Mulyono sebagai pemilik tambak.
7. Mas Hendro sebagai Teknisi tambak yang telah membimbing selama pelaksanaan
Praktek Kerja Lapang.
8. Teman-teman yang telah memberikan dukungan dan semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu yang telah ikut membantu sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan ini.
PKL
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah PKL ini masih belum sempurna,
sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan
dan kesempurnaan karya ilmiah PKL ini.. Akhirnya penulis berharap semoga karya
ilmiah PKL ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi bagi semua pihak.
Penulis
PKL
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ..............................................................................................
iv
PKL
SUMMARY .................................................................................................
vi
vii
xi
xii
I PENDAHULUAN ....................................................................................
10
10
11
11
12
14
16
18
18
18
III PELAKSANAAN
19
19
19
19
19
20
PKL
22
22
22
22
23
24
24
24
24
25
26
27
27
30
33
34
34
36
36
36
36
38
39
39
39
DAFTAR PUSTAKA .
40
LAMPIRAN ...
41
DAFTAR TABEL
Tabel
PKL
Halaman
14
30
DAFTAR GAMBAR
Gambar
PKL
Halaman
27
29
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
PKL
Halaman
40
41
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produksi budidaya udang di dunia meningkat secara signifikan sejak usaha
budidaya udang diperkenalkan pertama kali lebih dari lima abad yang lalu. Tahun
1986, produksi budidaya udang dunia mencapai 120.000 ton atau enam persen dari
total udang yang dipasarkan di dunia. Tahun 1988, ada lebih dari 40 negara yang
memproduksi udang budidaya dan hasilnya meningkat tajam, diperkirakan mencapai
450.000 ton atau 22 persen dari total udang yang dipasarkan di dunia (Brown, 1991).
Ada lebih kurang 343 spesies udang yang potensial untuk dikembangkan
secara komersial. Setidaknya ada 110 spesies yang masuk dalam genus Penaeid
(Haliman dan Adijaya, 2005). Spesies udang dari genus ini yang paling banyak
dibudidayakan akhir-akhir ini. Spesies yang paling banyak dibudidayakan, antara
lain : Penaeus monodon, Penaeus stylirostris, Penaeus japonicus dan Litopenaeus
vannamei. Spesies ini banyak dibudidayakan karena pertimbangan tingkat
pertumbuhan yang cepat, toleransi terhadap lingkungan yang cukup tinggi dan daya
serap pasar tinggi (Brown, 1991).
Budidaya udang Penaeid memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
perolehan devisa negara dan udang yang awalnya menjadi primadona di Indonesia
adalah udang windu (Penaeus monodon). Namun, tahun 1994, White Spot Syndrome
Virus (WSSV) mulai mewabah dan menimbulkan kematian massal pada udang windu
di Indonesia. Akibat gangguan penyakit viral tersebut, tahun 2000 lebih dari 50 persen
total areal tambak di Indonesia diperkirakan merugi dan tidak beroperasi, sehingga
para petambak mencoba untuk membudidayakan udang jenis lain yang waktu itu
mulai diperkenalkan di Indonesia, yaitu udang putih pasifik yang dikenal sebagai
udang vannamei sebagai komoditas alternatif. Peresmian udang vannamei
PKL
dilakukan oleh pemerintah pada tanggal 14 Juli 2001 melalui Surat Keputusan (SK)
Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP. 41/MEN/2001. Salah satu tujuan
diperkenalkannya jenis udang tersebut adalah untuk memacu produksi udang nasional
yang selama beberapa tahun mengalami penurunan (Taukhid dkk., 2006).
Berkembangnya spesies ini disebabkan oleh keunggulan yang dimiliki udang
vannamei dibandingkan dengan udang windu, antara lain : a) pertumbuhan lebih
cepat, terutama pada 60 hari pertama, sehingga masa pemeliharaan relatif lebih
pendek untuk memperoleh ukuran pasar (ukuran 60-80), b) umumnya dapat diperoleh
ukuran panen yang lebih seragam, c) pakan buatan untuk pembesaran udang
vannamei harganya relatif lebih murah dengan rasio konversi pakan yang lebih
rendah, d) produktifitas per satuan luas lahan lebih tinggi, karena hidup di seluruh
kolom air, sehingga kepadatannya dapat ditingkatkan sampai lebih dari seratus
ekor/m2 dan e) udang vannamei yang masuk ke Indonesia berasal dari populasi yang
Spesific Pathogen Free (SPF), terutama terhadap infeksi Taura Syndrome Virus (TSV)
dan lebih resisten terhadap infeksi WSSV (Taukhid dkk., 2006).
Kualitas dan ketersediaan induk dan benih memegang peranan yang penting
dalam keberhasilan budidaya udang vannamei, karena akan menentukan kualitas
udang setelah dipanen (Haliman dan Adijaya, 2005). Selain kualitas benih dan induk,
keberhasilan produksi juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang terkait dengan
metode pemeliharaan yang digunakan, antara lain : sistem pemeliharaan secara
intensif, semi intensif dan secara tradisional (ekstensif) (Suyanto dan Mudjiman,
2001).
Suatu usaha budidaya, pasti akan ditemui beberapa kendala atau hambatan.
Kendala dalam usaha pembesaran udang vannamei seringkali terbentur pada kurang
terkontrolnya
PKL
aspek-aspek
teknis
budidaya
(Haliman
dan
Adijaya,
2005).
Aspek-aspek teknis dari suatu budidaya, antara lain : komoditas yang dibudidayakan,
pakan alami dan pakan buatan yang dimanfaatkan, penanganan hama dan atau
penyakit, kontrol kualitas dan kuantitas air, pola budidaya, pemupukan dan atau
pengapuran, panen dan pasca panen (Mukti dkk., 2006).
Kegiatan yang dilakukan dalam pembesaran udang vannamei ini meliputi
pengadaan benih, penebaran, meningkatkan produksi pakan alami, pemberian pakan
buatan, kontrol terhadap hama, parasit dan atau penyakit, pasca panen, pemasaran,
monitoring dan evaluasi serta analisis usaha (Mukti dkk., 2006). Keterampilan dan
pengetahuan tentang manajemen pembesaran udang vannamei yang baik dapat
menunjang keberhasilan dalam usaha tersebut, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kualitas dan produktifitas udang vannamei (Haliman dan Adijaya,
2005). Salah satu usaha yang dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tersebut
adalah melakukan Praktek Kerja Lapang tentang manajemen pembesaran udang
vannamei di Desa Montok, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Madura.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapang ini adalah :
1. Mempelajari, memahami dan mempraktekkan secara langsung tentang manajemen
pembesaran udang vannamei (Litopenaeus vannamei) di Desa Montok,
Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Madura.
2. Mempelajari manajemen kualitas air dalam usaha pembesaran udang vannamei
(Litopenaeus vannamei) di Desa Montok, Kecamatan Larangan, Kabupaten
Pamekasan, Madura.
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi usaha pembesaran udang vannamei
(Litopenaeus vannamei) di Desa Montok, Kecamatan Larangan, Kabupaten
Pamekasan, Madura.
PKL
1.3 Manfaat
Manfaat dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapang ini adalah :
1. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan menambah wawasan di bidang
perikanan, khususnya manajemen pembesaran udang vannamei.
2. Membandingkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didapat dari perkuliahan
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diterapkan di lapangan serta
menelaah persamaan dan perbedaan yang ada.
3. Melatih mahasiswa untuk bekerja secara mandiri di lapangan dan sekaligus
melatih mahasiswa untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lapangan pekerjaan
yang nantinya akan ditekuni apabila telah lulus.
PKL
II TINJAUAN PUSTAKA
: Animalia
: Metazoa
: Arthropoda
: Crustacea
: Malacostraca
: Eumalacostraca
: Eucarida
: Decapoda
: Dendrobranchiata
: Penaeidae
: Litopenaeus
: Litopenaeus vannamei
PKL
menyatunya bagian kepala dan dada serta bagian belakang (perut) yang disebut
abdomen dan terdapat ekor (uropod) di ujungnya (Suyanto dan Mudjiman, 2001).
Bentuk morfologi udang vannamei dapat dilihat pada Gambar 1.
7. Pleopod
8. Rostrum
9. Antennal spine
10. Supraorbital Spine
11. Orbital Spine
12. Hepatic Spirse
PKL
dengan pertumbuhan udang, karena saat mengalami molting sebagian pigmen yang
terdapat pada kulit akan ikut terbuang. Keberadaan pigmen ini memberikan warna
putih kemerahan pada tubuh udang (Haliman dan Adijaya, 2005). Udang jantan dan
betina dapat dibedakan dengan melihat alat kelamin luarnya. Alat kelamin luar jantan
disebut petasma, yang terletak di dekat kaki renang pertama, sedangkan lubang
saluran kelaminnya terletak di antara pangkal kaki jalan keempat dan kelima
(Adiyodi, 1970).
PKL
PKL
Stadia mysis memiliki durasi waktu yang sama dengan stadia sebelumnya dan
memiliki tiga sub stadia, yaitu mysis 1, mysis 2 dan mysis 3. Perkembangan tubuhnya
dicirikan dengan semakin menyerupai udang dewasa serta terbentuk telson dan
pleopods. Benih pada stadia ini sudah mampu berenang dan mencari makanan, baik
fitoplankton maupun zooplankton (Brown, 1991).
Saat stadia post larva (PL), benih udang sudah tampak seperti udang dewasa.
Umumnya, perkembangan dari telur menjadi stadia post larva dibutuhkan waktu
berkisar antara 12-15 hari, namun semua itu tergantung dari ketersediaan makanan
dan suhu (Brown, 1991). Hitungan stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari.
PL I berarti post larva berumur satu hari. Saat stadia ini, udang sudah mulai aktif
bergerak lurus ke depan dan sifatnya cenderung karnivora. Umumnya, petambak akan
melakukan tebar dengan menggunakan udang yang sudah masuk dalam stadia antara
PL10-PL15 yang sudah berukuran rata-rata sepuluh millimeter (Haliman dan Adijaya,
2005).
2.4 Ekologi
Di alam, populasi udang vannamei dapat ditemukan di Pantai Pasifik Barat,
sepanjang Peru bagian Utara, melalui Amerika Tengah dan Selatan sampai Meksiko
bagian Utara, yang mempunyai suhu air normal lebih dari 20 C sepanjang tahun.
Udang vannamei hidup di habitat laut tropis. Udang dewasa hidup dan memijah di
laut lepas dan larva akan bermigrasi dan menghabiskan masa larva sampai post larva
di pantai, laguna atau daerah mangrove. Secara umum, udang Penaeid membutuhkan
kondisi lingkungan dengan suhu berkisar antara 23-32 C, kelarutan oksigen lebih
dari 3 ppm, pH 8 dan salinitas berkisar antara 10-30 ppt (Brown, 1991).
Udang vannamei sangat toleran dan dapat bertahan hidup pada suhu yang
rendah (di bawah 15 C), walaupun pertumbuhannya akan sedikit terganggu. Sifat ini
PKL
PKL
tambak dan pantai. Sementara persyaratan non teknis lokasi tambak udang vannamei
adalah dekat dengan produsen benih udang vannamei, dekat dengan sumber tenaga
kerja,
pokok untuk produksi udang dan lokasi bisa dijangkau oleh saluran penerangan dan
alat komunikasi (Haliman dan Adijaya, 2005).
petakan, kedalaman air, saluran air masuk dan saluran pembuangan (Haliman dan
Adijaya, 2005).
Bentuk petakan yang ideal adalah bujur sangkar. Ukuran panjang dan lebar
disesuaikan dengan luas lahan yang tersedia. Kedalaman air tambak yang baik untuk
budidaya udang vannamei berkisar antara 150-180 cm. Saluran air dalam tambak
terdiri dari dua saluran, yaitu saluran air masuk (inlet) dan saluran air keluar (outlet).
Kedua saluran tersebut harus terpisah satu sama lain. Saluran pembuangan air tengah
(central drainage) berfungsi untuk membuang lumpur dan kotoran dari dasar tengah
kolam (Haliman dan Adijaya, 2005).
2.5.3 Penebaran
Benur udang vannamei yang akan ditebar dan dibudidayakan harus dipilih
yang terlihat sehat. Kriteria benur sehat dapat diketahui dengan melakukan observasi
berdasarkan pengujian visual, mikroskopik dan ketahanan benur. Hal tersebut bisa
dilihat dari warna, ukuran panjang dan bobot sesuai umur Post Larva (PL), kulit dan
PKL
tubuh bersih dari organisme parasit dan patogen, tidak cacat, tubuh tidak pucat, gesit,
merespon cahaya, bergerak aktif dan menyebar di dalam wadah (Haliman dan
Adijaya, 2005).
Persiapan yang harus dilakukan sebelum penebaran adalah penumbuhan pakan
alami dengan pemupukan. Persiapan lain yang perlu dilakukan yaitu pengukuran
kualitas air, seperti suhu, salinitas, pH, DO, ammonia dan nitrit. Selain itu,
aklimatisasi atau proses adaptasi benur terhadap suhu maupun salinitas juga
merupakan hal yang penting dalam penebaran benur (Haliman dan Adijaya, 2005).
Udang vannamei dapat dibudidayakan dengan kepadatan yang relatif tinggi sampai
lebih dari 150 ekor/m2, bahkan dapat ditebarkan sampai 400 ekor/m2 dalam bak kultur
dengan sistem resirkulasi. Namun, banyaknya padat tebar tergantung dari sistem
budidaya yang dipakai (Brown, 1991).
PKL
Pakan alami lebih banyak digunakan saat udang masih berukuran kecil. Saat
fase zoea, udang akan bersifat herbivora dan memakan fitoplankton. Saat fase mysis,
udang akan bersifat karnivora, sehingga pakan yang dikonsumsi berupa zooplankton.
Pakan buatan berbentuk pellet dapat mulai dilakukan sejak benur ditebar hingga
udang siap panen. Namun, ukuran dan jumlah pakan yang diberikan harus dilakukan
secara cermat dan tepat, sehingga udang tidak mengalami kekurangan pakan maupun
kelebihan pakan (Haliman dan Adijaya, 2005).
Pakan tambahan digunakan sebagai nutrisi pelengkap pakan alami dan pakan
buatan. Selain itu, pakan tambahan dapat berfungsi merangsang nafsu makan udang,
mempercepat proses molting, memperkecil konversi rasio pakan dan sebagai pupuk
organik (Haliman dan Adijaya, 2005). Contoh dari pakan tambahan adalah vitamin,
immunostimulan, mineral, HUFA, karotenoid dan astaxanthin (Brown, 1991).
Frekuensi pemberian pakan pada udang kecil cukup 2-3 kali sehari karena masih
mengandalkan pakan alami. Setelah terbiasa dengan pakan buatan bentuk pellet,
frekuensi pemberian dapat ditambah menjadi 4-6 kali sehari (Topan, 2007).
Udang vannamei termasuk golongan omnivora. Beberapa sumber pakan udang
vannamei, antara lain : udang kecil (rebon), fitoplankton, copepoda, polychaeta, larva
kerang dan lumut. Udang ini juga termasuk dalam pemangsa sejenis (kanibalisme).
Udang vannamei ini mencari dan mengenali pakan menggunakan sinyal kimiawi
berupa getaran dengan bantuan organ sensor yang terdiri dari bulu-bulu halus (setae)
yang terdapat pada ujung anterior antennulae, bagian mulut, capit, antenna dan
maxilliped. Udang akan berenang menggunakan kaki jalan yang memiliki capit untuk
mendekati sumber pakan. Pakan langsung dijepit menggunakan capit kaki jalan,
kemudian pakan dimasukkan ke dalam mulut. Selanjutnya pakan yang berukuran
kecil masuk ke dalam kerongkongan dan esofagus. Bila pakan yang dikonsumsi
PKL
berukuran lebih besar, akan dicerna secara kimiawi terlebih dahulu oleh maxilliped di
dalam mulut (Haliman dan Adijaya, 2005).
Waktu uji
Test kit
2. Fosfat
Test kit
3. Alkalinitas
4. Besi (Fe)
5. H2S
6. pH
pH
meter
kertas pH
7. Salinitas
8. DO
Refraktometer
DO meter
Angka referensi
26-30 C
7,5-8,5
0,1 ppm
1-3 ppm
150 ppm
1 ppm
7 ppb
7,5-8,5
15-30 ppt
3 ppm
PKL
tambak mengalami titik jenuh pada kadar yang berkisar antara 7-8 ppm. Namun
udang dapat tumbuh baik pada kadar oksigen minimum berkisar antara 4-6 ppm
(Suyanto dan Mudjiman, 2001).
Salinitas dan pH air di tambak berhubungan erat dengan keseimbangan ionik
dan proses osmoregulasi di dalam tubuh udang. Udang muda yang berumur antara
1-2 bulan memerlukan kadar garam yang berkisar antara 15-25 ppt agar
pertumbuhannya dapat optimal. Setelah umurnya lebih dari dua bulan, pertumbuhan
relatif baik pada kisaran salinitas 5-30 ppt. Pada waktu-waktu tertentu seperti saat
musim kemarau, salinitas air tambak dapat menjadi hypersaline (berkadar garam
tinggi, lebih dari 40 ppt). Air tambak memiliki pH ideal berkisar antara 7,5-8,5.
Umumnya perubahan pH air dipengaruhi oleh sifat tanahnya (Haliman dan Adijaya,
2005). pH air tambak dapat berubah menjadi asam karena meningkatnya benda-benda
membusuk dari sisa pakan atau yang lain. pH air yang asam dapat diubah menjadi
alkalis dengan penambahan kapur (Suyanto dan Mudjiman, 2001).
Kadar gas-gas yang mencemarkan perairan, seperti ammonia (NH3), gas
methan dan asam sulfida (H2S) harus selalu dipantau dan diperhatikan (Suyanto dan
Mudjiman, 2001). Ammonia berasal dari hasil ekskresi atau pengeluaran kotoran
udang. Oleh karena ammonia dan nitrit adalah senyawa beracun, maka harus diubah
menjadi nitrat. Salah satu cara untuk meningkatkan nitrifikasi dan denitrifikasi adalah
dengan meningkatkan jumlah bakteri, yaitu dengan aplikasi probiotik yang
mengandung bakteri yang dibutuhkan (Roffi, 2006). Kekeruhan air tambak
berhubungan erat dengan banyaknya fitoplankton yang tumbuh dalam tambak. Batas
kekeruhan air tambak yang dianggap cukup adalah bila angka seichi disk berkisar
antara 25-45 cm (Suyanto dan Mudjiman, 2001).
2.5.6 Penanggulangan Hama dan Penyakit
PKL
PKL
antibiotika
seperti
chloramphenicol
dan
nitrofuran
telah
dilarang
PKL
2.5.7 Pemanenan
Panen merupakan akhir dari suatu periode budidaya yang sangat ditunggu para
petambak (Haliman dan Adijaya, 2005).
tergantung dari ukuran dan sistem pemeliharaan yang digunakan serta ketersediaan
tenaga kerja (Brown, 1991). Udang vannamei dapat dipanen setelah berumur sekitar
120 hari dengan berat tubuh berkisar antara 16-20 gram/ekor. Pemanenan umumnya
dilakukan pada malam hari untuk menghindari terik matahari dan mengurangi resiko
udang ganti kulit selama panen akibat stres (Haliman dan Adijaya, 2005).
2.5.8 Pemasaran
Pemasaran udang vannamei dapat dilakukan di dalam negeri, maupun luar
negeri (ekspor). Permintaan udang vannamei di dunia meningkat dari tahun ke tahun.
Negara-negara tujuan ekspor udang vannamei yang diproduksi Indonesia adalah
Jepang, Cina, Uni Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara lainnya (Haliman dan
Adijaya, 2005).
budidaya udang
vannamei. Analisis usaha ini dihitung untuk satu tahun. Kelayakan usaha udang
vannamei dapat dilihat dari cash flow, rentabilitas ekonomi, B/C rasio, payback
period dan break event point (Haliman dan Adijaya, 2005).
PKL
III PELAKSANAAN
A. Observasi
Observasi atau pengamatan secara langsung adalah pengambilan data dengan
menggunakan indera mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan
PKL
Wawancara
Wawancara merupakan cara mengumpulkan data dengan cara tanya jawab
sepihak yang dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan kegiatan.
Wawancara memerlukan komunikasi yang baik dan lancar antara pelaku kegiatan
dengan subyek, sehingga pada akhirnya bisa didapatkan data yang dapat
dipertanggungjawabkan secara keseluruhan (Nasution, 1990). Wawancara dilakukan
dengan tanya jawab dengan pegawai dan atau teknisi mengenai latar belakang
berdirinya tambak udang tersebut, struktur organisasi, permodalan, produksi,
pemasaran dan permasalahan yang dihadapi dalam menjalankan usaha dan
kemungkinan dikembangkan usaha pembesaran udang vannamei yang lebih efisien.
C.
Partisipasi Aktif
Partisipasi aktif adalah keterlibatan dalam suatu kegiatan yang dilakukan secara
PKL
perikanan, pustaka, laporan pihak swasta, masyarakat dan pihak lain yang
berhubungan dengan usaha pembesaran udang vannamei.
PKL
PKL
terletak dekat dengan pemukiman penduduk dan dekat dengan sentra perekonomian,
sehingga dengan mudah mendapatkan berbagai bahan untuk proses produksi.
Namun, ada juga persyaratan lokasi yang tidak dapat terpenuhi, yaitu jenis
tanah pasir, sehingga air dalam petakan mudah sekali mengalami kebocoran dan tidak
tersedianya sumber air tawar di sekitar lokasi sehingga kebutuhan air tawar dipenuhi
dengan menyalurkan air tawar dari sumur bor di desa terdekat dengan pipa paralon
sepanjang satu kilometer. Namun, lokasi ini mudah dijangkau saluran penerangan dan
komunikasi. Di sekitar lokasi banyak pula usaha pertambakan, baik itu tambak udang
vannamei secara intensif, semi intensif, tambak bandeng tradisional maupun tambak
garam. Adapun gambar denah dari lokasi tambak udang vannamei ini dapat dilihat
pada Lampiran1.
PKL
PKL
PKL
PKL
PKL
PKL
PKL
dalam 20 liter air. Setelah rebusan tersebut dingin, kemudian dituangkan dalam 80
liter air dan diaerasi. Setelah itu starter bakteri dapat ditebarkan ke dalam wadah
tersebut. Starter yang digunakan adalah probiotik yang dijual di pasaran dengan nama
dagang Pond Plus. Bakteri probiotik hasil kultur ini dapat digunakan selama sekitar
dua minggu pemeliharaan. Namun aerasi harus selalu dinyalakan untuk mensuplai
kebutuhan bakteri tersebut akan oksigen. Probiotik hasil kultur dapat dilihat pada
Gambar 4.
PKL
Um
ngg
ur
(har
ke-
i)
1.
ADG (gr/hari)
II
III
IV
II
III
IV
II
III
IV
60
128,5
142,7
132,3
127,8
7,7
7,56
7,8
0,25
0,57
0,2
0,21
2.
67
113,3
128
122
113,3
8,8
7,8
8,19
8,82
0,15
0,11
0,09
0,14
3.
74
99,4
103,5
104,6
94,3
10
9,66
14,5
10,6
0,17
0,18
0,18
0,25
4.
81
84,5
86,4
92
83,1
11,8
11,5
10,86
12
0,25
0,26
0,19
0,2
5.
88
74
75,4
78
71,4
13,5
13,2
12,28
14
0,24
0,24
0,27
0,28
6.
95
65,5
71,55
71,05
66,7
15,4
13,9
14
14,99
0,24
0,1
0,17
0,14
Data yang tercantum dalam Tabel 2 memperlihatkan bahwa pertumbuhan ratarata udang vannamei per hari adalah 0,2 gram atau dapat diartikan bahwa
pertumbuhannya adalah 1,5 gram per minggu. Konversi rasio pakannya biasanya
berkisar antara 1:1,3 sampai 1:1,5 dengan kelangsungan hidup 80-90 persen. Haliman
dan Adijaya (2005) menjelaskan bahwa konversi rasio pakan adalah jumlah pakan
yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram udang. Konversi rasio pakan dan
tingkat kehidupannya biasanya dihitung saat panen setelah tonase hasil panen
diketahui. Sintasan yang dicapai masih sangat tinggi dan kondisi udang dalam kondisi
yang sehat dan bagus. Hal ini ditandai dengan kondisi tubuh bagian luar udang yang
bersih, anggota tubuh yang masih lengkap, serta udang responsif terhadap pakan dan
responsif terhadap adanya rangsang dari luar.
PKL
Sedangkan sumber air tawar didapatkan dari sumur bor sejauh satu kilometer dari
lokasi budidaya.
Solis dan Ibarra (1994) menjelaskan bahwa kualitas air tambak akan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan udang vannamei oleh karena itu,
kualitas air tambak perlu diperiksa secara seksama. Parameter-parameter kualitas air
yang diukur dalam pelaksanaan PKL di lokasi tersebut adalah : suhu, salinitas, pH,
kekeruhan, oksigen terlarut, amonia, nitrit dan alkalinitas. Parameter-parameter
tersebut akan mempengaruhi proses metabolisme tubuh udang, seperti keaktifan
mencari pakan, proses pencernaan dan pertumbuhan udang (Haliman dan Adijaya,
2005).
Suhu diukur pada setiap pagi dan sore hari. Hasil yang didapat dari
pengukuran parameter tersebut adalah berkisar pada 27-28,5 C pada pagi hari dan
29-31 C pada sore hari. Suhu yang terjadi pada tambak tersebut masih merupakan
suhu yang optimal bagi pertumbuhan udang, sehingga memacu pertumbuhan udang
secara maksimal. Suhu optimal yang diperlukan oleh udang vannamei adalah berkisar
antara 26-32 C (Arief, 2007). Jika suhu melebihi kisaran itu, maka metabolisme
dalam tubuh udang akan berlangsung cepat, sehingga kebutuhan oksigen terlarut akan
meningkat (Briggs, 2004). Penanggulangannya adalah kincir diaktifkan, sehingga
kandungan oksigen terlarut yang dibutuhkan dapat tercukupi.
Salinitas air pada seluruh petakan tambak berkisar antara 10-27 ppt dengan
rincian salinitas pada petak I berkisar antara 18-20 ppt, petak II berkisar antara
25-27 ppt, petak III berkisar antara 10-15 ppt dan petak IV berkisar antara 25-27 ppt.
Salinitas terendah terdapat pada petak III, yaitu 10 ppt. Padahal kandungan air laut
yang terdiri dari garam-garam mineral sangat bermanfaat untuk mempercepat
pengerasan kulit udang setelah molting (Arief, 2007). Oleh karena itu, sebaiknya
PKL
salinitas ditingkatkan menjadi kisaran 15 ppt atau lebih, karena kisaran salinitas
optimal untuk pertumbuhan udang vannamei adalah 15-30 ppt. Langkah yang dapat
dilakukan untuk mengatasi rendahnya salinitas tersebut adalah dengan menambah
input air laut. Sebaliknya jika salinitas terlalu tinggi, salinitas diturunkan dengan
membuang sebagian air di dalam tambak dan menggantinya dengan air tawar
sehingga salinitas optimal dapat dicapai (Suyanto dan Mudjiman, 1991).
Besarnya pH pada tambak berkisar pada nilai 7,7-8,1 pada pagi hari
dan 8,3-8,9 pada sore hari. Haliman dan Adijaya (2005) menjelaskan bahwa air
tambak yang ideal mempunyai pH berkisar antara 7,5-8,5 dan umumnya pH air
tambak pada sore hari lebih tinggi daripada pagi hari. Hal ini karena adanya
penyerapan karbondioksida (CO 2 ) akibat fotosintesis fitoplankton. Sedang pada pagi
hari CO 2 melimpah karena dihasilkan dari respirasi udang serta organisme lain yang
hidup dalam tambak tersebut.
Plankton juga mempengaruhi kekeruhan air tambak. Kekeruhan pada air
tambak tersebut berkisar antara 10-20 cm. Tingkat kekeruhan perlu diperhatikan agar
tidak terlalu keruh, karena walaupun plankton mempunyai banyak fungsi, antara lain
sebagai pakan alami, penyangga (buffer) terhadap intensitas cahaya matahari dan
bioindikator kestabilan lingkungan air media pemeliharaan, bahan organik yang
menumpuk dalam jumlah banyak juga merupakan sarang bakteri dan vibrio yang
merugikan budidaya udang vannamei (Solis dan Ibarra, 1994). Hal ini diatasi dengan
melakukan pembuangan dan penggantian dengan air yang baru serta aplikasi
probiotik yang dapat mengurai bahan-bahan organik.
Suyanto dan Mudjiman (1991) menjelaskan bahwa terlalu tingginya populasi
plankton akan membahayakan udang pada malam hari, karena hal tersebut akan
mempengaruhi tingkat ketersediaan oksigen terlarut dalam air dan akan menjadi
PKL
kompetitor udang dalam mengambil oksigen. Pada tambak tersebut, besarnya oksigen
terlarut pada malam hari berkisar antara 1,6-3 ppm. Hal ini tentu sangat
mengkhawatirkan karena nilai oksigen terlarut yang dianjurkan adalah lebih dari tiga
ppm. Masalah ini diantisipasi dengan pemasangan kincir. Satu unit kincir satu lengan
dengan daun kincir 10-14 buah dapat menyuplai oksigen untuk 1,2 ton udang. Namun
pada prakteknya kincir tersebut relatif kurang untuk mencukupi kebutuhan udang
dengan berat 1,2 ton. Hal ini disebabkan karena adanya kompetisi antara udang
dengan plankton maupun bahan organik dalam perairan tambak yang sama-sama
membutuhkan oksigen.
Nilai alkalinitas total, nitrit dan amonia diukur dengan menggunakan test kit.
Nilai alkalinitas total pada tambak ini adalah 750 ppm, sedangkan nilai amonianya 0,5
ppm. Amonia berasal dari hasil ekskresi atau pengeluaran kotoran udang yang
berbentuk gas. Selain itu, amonia bisa berasal dari pakan yang tidak termakan oleh
udang vannamei sehingga larut dalam air (Briggs, 2004). Usaha untuk memperkecil
kandungan amonia pada petakan adalah dengan cara meningkatkan jumlah bakteri
pengurai, yaitu dengan aplikasi probiotik (Adiwidjaya, 2007). Karena itu aplikasi
probiotik dilakukan di lokasi setiap dua hari sekali dengan pemberian Biosolution,
Super PS dan probiotik kultur secara bergantian dengan dosis sepuluh ppm dan
langsung ditebar setelah diencerkan atau dicampur dengan air. Peranan bakteri
pengurai pada budidaya organisme perairan cukup memberikan nilai tambah, baik
untuk meningkatkan kelangsungan hidup maupun pertumbuhan. Bakteri pengurai
memiliki kemampuan untuk menjadi organisme terpenting yang berperan dalam
proses penguraian dan dekomposisi (Roffi, 2006).
PKL
PKL
Namun, normalnya panenan dilakukan pada umur sekitar 100 hari saat
ukuran udang mencapai 60-70 ekor per kilogram. Waktu pelaksanaannya ialah pada
malam atau pagi hari untuk menghindari terik matahari sehingga udang tidak stres
terhadap perubahan suhu yang mengakibatkan moltingnya udang (Haliman dan
Adijaya, 2005). Udang yang berganti kulit saat panen akan mengurangi harga jualnya.
Oleh karena itu, sebelum panen ada aplikasi pemberian kaptan dan semen putih
sebanyak kurang lebih 400-500 kg/ha untuk mengeraskan karapaks udang.
Proses pemanenan dilakukan dengan tahap-tahap antara lain : air dalam
petakan dipompa keluar dan saat ketinggian air mencapai lutut orang dewasa,
beberapa pekerja menyaring udang-udang tersebut menggunakan alat penyaring yang
dirancang khusus untuk panen. Setelah air menyusut, sisa-sisa udang di dasar tambak
dipungut belakangan. Udang yang telah dipanen kemudian dicuci sampai bersih
dengan cara disemprot air berulang-ulang. Udang yang sudah dicuci bersih kemudian
dikelompokkan oleh petugas yang mengelompokkan udang berdasar besar dan
kualitasnya. Pengelompokan udang ini berfingsi untuk memisahkan udang yang
mempunyai kualitas bagus dengan udang yang mengalami molting. Setelah melewati
proses ini, udang dimasukkan dalam keranjang-keranjang besar dan ditimbang.
Sampling panen untuk penentuan ukuran udang dilakukan oleh kedua belah
pihak, yaitu pihak pemilik tambak dan pihak pembeli udang. Udang yang sudah
ditimbang lalu dimasukkan dalam kontainer fiber di atas truk/pick up dan dicampur
dengan es. Susunannya berurutan antara es dengan udang. Perlakuan udang pasca
panen perlu diperhatikan, karena udang termasuk produk makanan yang mudah sekali
rusak (Haliman dan Adijaya, 2005).
Tenaga kerja dari proses pemanenan sampai pengelompokan adalah dari
kedua belah pihak, sedangkan proses pengangkutan dilakukan oleh pembeli yang
PKL
merupakan penyalur untuk cold storage. Tenaga yang digunakan saat panen mulai
dari proses penjaringan udang dalam tambak sampai pengelompokan dan penempatan
udang di dalam kontainer pendingin pada truk sebanyak lebih kurang 20-30 orang.
4.4.2 Pemasaran
Tambak-tambak udang di daerah ini sudah memiliki pembeli tetap dari
Pasuruan yang biasa membeli udang hasil panen mereka. Harga udang berubah-ubah,
tergantung dari harga udang di pasaran. Setiap saat memungkinkan terjadinya
kenaikan maupun penurunan harga, jadi para petambak harus bisa melihat saat yang
tepat untuk memanen udangnya. Harga udang saat ini adalah Rp.38.000,00 pada
ukuran 70. Yang dimaksud ukuran disini adalah banyaknya udang dalam satu
kilogram. Jadi misalnya ukuran udang adalah 70, maka artinya dalam satu kilogram
terdapat 70 ekor udang. Harga tersebut berkurang Rp.200,00 jika ukuran udang
bertambah satu (Rp.37.800,00 pada ukuran 71).
PKL
PKL
5.1 Simpulan
Hasil dari karya ilmiah PKL dapat disimpulkan bahwa manajemen
pembesaran udang vannamei di Desa Montok, Kecamatan Larangan, Kabupaten
Pamekasan, Madura ini menggunakan sistem budidaya semi intensif. Manajemen
kualitas air yang diterapkan adalah dengan adanya pergantian air, penebaran kaptan,
pemberian probiotik dan pengoperasian kincir secara berkala. Faktor-faktor yang
mempengaruhi usaha pembesaran udang vannamei di Desa Montok, Kecamatan
Larangan, Kabupaten Pamekasan, Madura, antara lain : faktor alam, kualitas benur
yang ditebar, ketersediaan air dan dana. Usaha udang vannamei tersebut memiliki
peluang usaha yang sangat menjanjikan, namun mengalami beberapa kendala. Baik
itu dalam permodalan, pembinaan maupun ketersediaan air tawar.
5.2 Saran
Disarankan kepada pihak Dinas Perikanan sebagai pembina dapat menangani
permasalahan tersebut dengan memberikan bantuan modal, membina dan mengawasi
serta memfasilitasi pembangunan saluran air tawar, sehingga para petambak tidak lagi
mengalami kesulitan mendapatkan air tawar untuk menunjang dan mengembangkan
usahanya.
PKL
LAMPIRAN
Keterangan :
1. Jalan desa
2. Mangrove
3. Tambak
4. Tandon
5. Gudang penyimpanan sarana dan prasarana
PKL
Berikut ini adalah analisis usaha budidaya udang vannamei di lokasi PKL.
Analisis usaha ini dihitung untuk satu tahun (tiga kali musim tebar) dengan size
udang sekitar 70.
1. Luas lahan
2. Padat tebar
: 50 ekor/meter persegi
3. Jumlah benur
4. SR
: 85%
5. Hasil panen
: 425.000 ekor
6. Ukuran
: 70 ekor/Kg
7. Tonase
: 6071 Kg
8. FCR
: 1:1,3
9. Kebutuhan pakan
: 8000 Kg @ Rp.12.000,00
: Rp.38.000,00
A BIAYA
1 Modal Investasi
PKL
Rp.
2.000.000,00
b. Pembuatan kolam
Rp.
20.000.000,00
30.000.000,00
Jumlah
52.000.000,00
Rp.
Lampiran 2 (lanjutan)
2 Penyusutan Modal Investasi
5% x modal investasi
Rp.
2.600.000,00
Rp.
15.000.000,00
Rp.
96.000.000,00
Rp.
7.800.000,00
Rp.
5.000.000,00
Rp.
30.000.000,00
Jumlah
Rp. 153.800.000,00
4 Biaya Total
Biaya Total = Biaya Tetap + Biaya Operasional
= Rp. 54.600.000,00 + Rp. 153.800.000,00
= Rp. 208.400.000,00
B PENERIMAAN DAN LABA
1 Penerimaan
Penerimaan = Volume Produksi x Harga Jual
= 6071 Kg x Rp. 38.000,00
= Rp. 230.698.000,00
PKL
Lampiran 2 (lanjutan)
2 Laba
Laba Operasional = Penerimaan Biaya Operasional
= Rp. 230.698.000,00 Rp. 153.800.000,00
= Rp. 76.898.000,00
Laba per Siklus
PKL
Lampiran 2 (lanjutan)
2 B/C Rasio
B/C Rasio = Penerimaan
Biaya total
= Rp. 230.698.000,00
Rp. 208.400.000,00
= 1,1
Artinya dengan penggunaan biaya produksi sebesar Rp.1,00 akan diperoleh
keuntungan sebesar Rp.1,10.
3 Payback Period
PP = Modal Investasi + Biaya Operasional
Cash Flow
= Rp.52.000.000,00 + Rp.153.800.000,00
Rp.118.894.000,00
= 1,73 tahun
Artinya dalam jangka waktu 1,73 tahun modal usaha yang diinvestasikan pada
usaha budidaya udang vannamei akan kembali.
4 BEP
BEP
= Biaya Total
Jumlah Produksi
= Rp.208.400.000,00
6071 Kg
= Rp.34.327,00
Artinya titik impas dalam usaha budidaya udang vannamei tersebut akan
tercapai jika harga jual udang vannamei per kilogram adalah Rp.34.327.000,00.
PKL