Anda di halaman 1dari 13

BAB II

ISI

A. Definisi
Gangguan tic merupakan kejadian gerakan secara tiba-tiba, cepat
dan involunter yang meilputi beberapa grup otot rangka (tic motorik) dan
dapat diikuti dengan adanya vokalisasi seperti batuk ataupun berdehem (tic
vokal), yang terjadi dalam suatu rangkaian siklus. Gangguan tic sendiri
terbagi atas tic simplek dan komplek3.
Tic motorik dapat terjadi pada berbagai kelompok otot rangka,
meliputi otot wajah seperti gerakan menyengir ataupun berkedip berulang
hingga tic yang terjadi pada otot ektremitas seperti gerakan membungkuk
ataupun seperti gerakan berdoa. Pada kasus ekstrim, tic motorik dapat
berupa gerakan tubuh seperti membuka celana (copropaxia), ataupun
melakukan gerakan yang menyakiti diri sendiri. Pada beberapa kasus,
ditemukan juga penderita gangguan tic mencontoh gerakan dari orang lain
yang di observasi oleh penderita (echopraxia).
Tic vokal merupakan ucapan/suara berulang yang dihasilkan oleh
pasien, dapat berupa teriakan, berdehem, batuk, kata hingga kalimat. Tic
vokal sangat khas ditemukan pada sindrom Tourette, yaitu kumpulan
gejala tic yang meliputi tic motorik dan vokal yang dapat terjadi
bersamaan ataupun terjadi pada waktu sebelumnya. Pada beberapa kasus,

penderita akan mengulangi secara terus menerus kata yang telah


diucapkannya (paralalia) ataupun menirukan kata-kata orang lain
(echolalia). Secara lebih lanjut, berbagai contoh tic motoric dan vokal
dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Tic vokal dan motorik


B. Etiologi dan Patofisiologi
Sampai saat ini etiologi yang jelas dari gangguan tic masih belum
diketahui. Suatu hipotesis yang telah diteliti, diungkapkan bahwa
gangguan tic terjadi sebagai akibat adanya interkasi antara faktor eksternal
dengan faktor genetik pada penderita tic. Pada penelitian, disebutkan
bahwa interaksi faktor eksternal dan genetik ini menimbulkan respon yang
berlebihhan pada axis hipotalmus-hipofisis-glandula adrenal. Respon ini
akan mengahsilkan hormon dan neurotransmiter yang berhubungan
dengan kejadian tic. Pada penelitian yang membadingkan fungsi axis
hipotalamus-hipofisis-adrenal pada pasien dengan gangguan tic dan orang

normal, didapatkan adanya hiperaktivitas respon noradrenergik-simpatik


pada pasien dengan tic dibanding kontrol9.
Adanya ganggguan fungsi genetik yang terjadi pada kasus tic telah
dieliti oleh Paul et al10. Pada penelitian tersebut diyngkapkan bahwa
kejadian tic lebih besar kemungkinannya terjadi pada kembar monozigotik
dibandingkan dizygotik, dimana hal ini menunjukan adanya aktivitas gen
tertentu yang menyebabkan terjadinya gangguan tic. Pada penelitian lain
juga disebutkan bahwa gangguan tic, sindrom Tourette, obsesif kompulsif
dan ADHD memilki keterlibatan fungsi genetik dalam lingkup keluarga11.
Pada penelitian lebih lanjut, pada anak dengan gangguan tic dan sindrom
Tourette ditemukan adanya mutasi genetik pada kromosom 11q23, 4q dan
8p12.
Pada penelitian genetik lebih lanjut, didapatkan bukti bahwa
adanya mutasi genetik pada kromosom 7 yang berfungsi dalam mengkode
sintesis protein contactin. Gen ini berperan dalam proses sintesis protein
contactin (protein membran) yang terdapat padan nodus ranvier akson
yang berfungsi dalam sintesis dan distrubusi kanal ion K + yang berfungsi
dalam proses repolarisasi impuls listrik dalam neuron13. Adanya mutasi
pada gen tersebut menyebabkan terjadinya gangguan repolarisasi sehingga
menyebabkan eksitasi yang berulang sepanjang neuron sehingga
menghasilkan manifestasi motorik atau vokal.

Beberapa faktor eksternal yang berkontribusi pada kejadian tic


meliputi stress psikososial, seperti paparan terhadap kemarahan/cacian
yang terjadi baik pada masa gestasi maupun perinatal, respon inflamasi,
paparan terhadap hormon androgen, paparan terhadap panas dan kelelahan
serta repson imun pasca infeksi . Hipoksia yang terjadi pada massa
perinatal berhubungan dengan kejadian tic dan sindrom Tourette 14.Pada
penelitian restrospektik, ibu yang merokok pada masa gestasi berpotensi
memilki anak dengan gangguan tic15.
Paparan androgen yang tinggi, yang terutama terjadi pada fetus
laku-laki pada massa kehamilan berpotensi tinggi menyebabkan terjadinya
gangguan tic pada massa anak-anak16. Hal ini berhubungan denn angka
epidemiologi kasus tic yang terjadi lebih banyak anak dengan jenis
kelamin laki-laki dibandigkan perempuan. Walaupun hipotesis terhadap
terjadinya tic yang mayorias terjadi lebih banyak pada anak laki-laki
dibandingkan perempuan disebabkan oleh adanya paparan androgen, pada
penelitian lebih lanjut, dikemukakan pula bahwa terjadinya tic pada anak
laki-laki berhubungan dengan adanya pola spesifik dari gen tertentu pada
neuron yang yang terkait sex dan berhubungan dengan diferensiasi fungsi
yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan17.
Tingkat stress yang tinggi berhubungan dengan kejadia tic pada
anak. Pada penelitian yang menilai respon stress melalui sekresi hormon
kortikotropin, didapatkan peningkatan level kortikotropin yang signifikan
pada cairan sereborspinal anak dengan gangguan tic dan sindrom Tourette
7

dibandingkan dengan kelompok anak normal. Hal ini sesuai dengan


hipotesis dari penelitian Lin et al18, yang menyatakan bahwa adanya
respon stress secara teruss menerus dan brulang akan mendorong
timbulnya gangguan tic dan sindrom Tourette pada masa yang akan
datang.
Adanya disregulasi pada suhu tubuh berkontribusi pada kejadian
tic pada anak. Proses ini terkait dengan fungsi hipotalamus yang
mensekresikan dopamin, yang terbukti menstimulasi terjadinya tic.
Hipotesis ini dibenarkan oleh penelitian Scahill et al19, yang mendapatkan
adanya hubungan linear antara peningkatan suhu tubuh dengan episode
gangguan tic.
Penelitian terhadap respon imun pasca infeksi yang berhubungan
dengan kejadian tic masih dalam kontroversi20. Dari beberapa studi kasus,
disimpulkan bahwa anak yang pernah mengalami infeksi bakteri
Streptococcus grup a hemoliticus seperti penyakit jantung rematik dan
glomerulonefritis, infeksi Mycoplasma dan pneumonia secara signifikan
berpotensi menalami tic dimasa yang akan datang. Mekanisme spesifik
dari prosses ini masih belum jelas, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa repson imunitas pasca infeksi berkontibusi terhadap munculnya tic
melalui mekanisme ganggguan produksi sitokin, gangguan fungsi supresi
respon imun dan adanya mimikri molekul sitokin2.

C. Epidemiologi
Berdasarkan data epidemiologi, angka kejadian gangguan tic
mencakup 4-12 % pada masa tumbuh kembang, dan 3-4 % berkelanjutan
hingga menjadi gangguan tic kronik3. Anak-anak memilki kecendrungan
untuk mengalami gangguan tic hingga 10 kali lipat dibandingkan dewasa.
Hal ini diduga disebabkan oleh adanya remisi spontan pada umur dewasa
muda. Anak laki-laki memilki kecendrugan untuk mengalami gangguan tic
3-4 kali lebih besar dibandingkan anak perempuan 4. Angka kejadian
sindrom Tourette sendiri mencapai 4-6 kasus / 1000 anak di Eropa dan
Asia14.
Kejadian gangguan tic umumnya terjadi pada rentang umur 2-15
tahun, dengan puncak umur kejadian antara 6-8 tahun. Pada penelitian
lain, didapatkan bahwa prevalensi tertinggi dari kasus tic terjadi antara
umur 3-5 tahun, dengan tingkat keparahan kejadian tic yang paling tinggi
terjadi antara rentang umur 9-12 tahun21.
D. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Anamnesis yang lengkap diperlukan untuk mengetahui informasi
yang membantu dalam penegakan diagnosis. Penggunaan

Child

Behavioral Checklist terbukti dapat membantu dalam penarikan informasi


dalam mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tic22.
Penggunaan

kuesioner

lain

yang

lebih

muthakir

ialah

dengan

menggunnakan Strengh and Difficulties Questionaire23. Pada kasus yang

dicurigai sebagai sindrom Tourette dapat menggunakan kuesioner


Tourettes Syndrome Severity Scale (TSSS)24.
Pemeriksa fisik, neurologis dan penunjang juga diperlukan dalam
mengeksklusi diagnosis banding pada kasus tic. Pemeriksaan penunjang
yang dapat digunakan ialah EEG yang penting untuk mengetahui apakah
adanya gangguan gerakan tersebut merupakan bentuk kejang mioklonik
atau tidak. Penggunaan pemeriksaan neuro imajing seperti MRI dan CT
scan tidak direkomendasikan kecuali bila terdapat abnormalitas lesi
intrakranial.
Berdasarkan rekomendasi dari DSM-IV-TR ( Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder), terdapat 4 klasifikasi dari
gangguan tic25, meliputi Tourette Disorder, Chronic vocal or motoric
disorder, transient tic disorder, dan tic disorder, not otherwise specified.
Berdasarkan rekomendasi tersebut, penegakan diagnosis ganggguan tic
didasarkan atas adanya gangguan motorik dan vokal involunter, durasi dari
gejala tic, onset umur, dan ada tidaknya penggunaan obat-obatan tertentu.
Secara lebih lanjut, kriteria diagnosis dari gangguan tic dan klasifikasinya
dapat dilihat pada tabel 225 :

10

Tabel 2. Kriteria dan klasifikasi gangguan tic

11

Terdapat beberapa diagnosis banding yang menyerupai gangguan


tic. Gangguan tersebut antara lain stereotype, balissmus, dystonia, chorea,
dan kejang myoklonik. Secara lebih lanjut, diagnosis bandding tersebut
dapat dilihat pada tabel 3 :

Tabel 3. Diagnosis banding gangguan tic


E. Terapi

12

Langkah terapi awal yang dapat dilakukan ialah melalui


psikoedukasi dan mencari serta menatalaksanai penyebab dari terjadinya
gangguan tic. Pengumpulan informasi dialkukan secara detail baik pada
lingkungan rumah maupun sekolah pasien, guna menentukan penyebab
dari tic dan melakukan terapi spesifiknya.
Pada terapi psikoedukasi, langkah awal yang paling efektif
dilakukan ialah melalui Cognitive Behavioral Therapy. Langkah tersebut
meliputi26 :

Habit Reversel Training, yaitu pasien diminta untuk mendeteksi gejala


awal akan munculnya serangan tic, dan meminta pasien untuk

melawan kebiasaan untuk melakukan tic tersebut


Exposure and Response Prevention
Langkah ini bertujuan untuk memutus rantai hubungan antara pencetus
dan respon tic yang dapat muncul. Pada langkah ini pasien akan dilatih
untuk tidak membiasakan diri dalam merespon stimulus menjadi

gerakan tic.
Realaxation Training
Seiring dengan temuan ilmiah bahwa serangan tic terjadi sebagai
akibat adanya respon terhadap stres dan ansietas, maka pelatihan untuk
tetap dalam kondisi relax penting guna mencegah timbulnya respon tic.
Proses ini meliputi penarikan nafas dalam, relaksasi otot dan
membayangkan kondisi yang terbebas dari tekanan dan stress.
Terapi medikamentosa pada kasus tic diindikasikan bila
gangguan tic telah menyebabkan adanya rasa tidak nyaman pada diri

13

sendiri eperti nyeri pada otot ataupun cedera, gangguan fungsi sosial di
masyarakat (isolasi maupun penindasan), maupun gangguan emosional
dan penurunan performa akademis27. Sebelum memulai terapi
medikamentosa, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang guna
mencegah efek samping obat, antara lain pemeriksaan EEG, darah
rutin dan fungsi hepar,kadar prolaktin dan EKG.
Prinsip terapi awal ialah inisiasi dengan dosis rendah dan
ditingkatka perlahan hingga efektivitas terapi tercapai. Ketika dosis
efektif telah tercapai, terapi dilanjutkan secara terus menerus hingga 1
tahun untuk kemudiann dilakukan evaluasi guna menghentikan
pengobatan.

Beberapa

lini

terapi

medikamentosa

yang

direkomendasikan untuk terapi tic antara lain27 :

Haloperidol
Obat ini merupakan satu-satunya obat yang direkomendasikan untuk
penatalaksanaan tic di Eropa. Melalui aktivitas antidopaminergic,
haloperidol dapat menekan angka kejadian tic hingga 80%. Kendati
demikian,

efek

samping

berupa

sindrom

ekstra

piramidal

menyebabkan obat ini bukan lini pertama terapi


Tiapride
Merupakan antagonis dopamin yang memilki efek sindrom ekstra
piramidal yanng lebih kecil. Obat ini memilki efikasi terapi yang baik
dengan efek samping yang minimal, seperti peningkatan berat badan,
hiperprolaktinemia, tetapi tidak menyebabkan penurunan fungsi

14

kognitif. Tiapride merupakan lini terapi pertama yang digunakan

terhadap penatalaksanaan tic dan sinddrom Tourette di Eropa


Risperidone
Merupakan obat anti psikotik yang berisfat antagonis dopamin dan
5HT. Obat ini memilki efikasi yang mirip dengan haloperidol, tetapi

memilki efek samping yang lebih besar


Aripiprazole
Merupakan obat yang bekerja dengan menghambat reseptor dopamin
dan 5HT2A tetapi bersifat agonis terhadap reseptor 5HT1A. obat ini
memilki efek paling poten dan digunakan bila lini terapi lain tidak
memberikan hasil yang adekuat.

Medication

Indication

Start dosage (mg)

Halloperidol

TS

0.25 0.5

Tiapride

TS

50 100 (2mg/kg BB) 2-10 mg/ kg BB

Risperidone

TS/DBD

Aripiprazole

TS

0.25
2.50

Therapeutic range (mg)


0.25 -15.0
0.25 6.0
2.5 30

Tabel 4. Dosis terapi ganguan TIC pada anak


Adapun alur terapi yang dapat dilakukan dalam penatalaksanaan
gaangguan tic dapatt dilihat pada gambar 127:

15

16

Anda mungkin juga menyukai