Anda di halaman 1dari 4

PENGEMBANGAN OBAT TRADISIONAL INDONESIA MENJADI

FITOFARMAKA

Disusun Oleh
Marzuki (1608020126)

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2016

Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka

Obat tradisional Indonesia atau obat asli Indonesia yang lebih dikenal dengan nama
jamu, umumnya campuran obat herbal, yaitu obat yang berasal dari tanaman. Sedangkan
Fitofarmaka adalah obat dari bahan alam terutama dari alam nabati, yang khasiatnya jelas dan
terbuat dari bahan baku, baik berupa simplisia atau sediaan galenik yang telah memenuhi
persyaratan minimal, sehingga terjamin keseragaman komponen aktif, keamanan dan
kegunaannya.
Berdasarkan tingkat pembuktian khasiat, persaratan bahan baku yang digunakan, dan
pemanfaatannya, obat bahan alam Indonesia dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
jamu, obat herbal terstandar, dan fitofamaka

Standarisasi dan Persaratan Mutu Simplisia


Dalam rangka pengembangan obat tradisional Indonesia menjadi obat herbal
terstandar dan fitofarmaka, standarisasi dan persyaratan mutu simplisia obat tradisional
merupakan hal yang perlu diperhatikan. Standarisasi simplisia dibutuhkan karena kandungan
kimia tanaman obat sangat bervariasi tergantung banyak faktor seperti telah dikemukakan
sebelumnya. Standarisasi simplisia diperlukan untuk mendapatkan efek yang dapat diulang
(reproducible).

Untuk pengembangan obat tradisional menjadi obat herbal terstandardisasi dan


fitofarmaka, simplisia harus memenuhi persaratan mutu agar dapat menimbulkan efek dan
aman. Parameter standar mutu simplisia antara lain mencakup kadar abu, kadar zat
terekstraksi air, kadar zat terekstraksi etanol, bahan organik asing, cemaran mikroba termasuk
bakteri patogen, cemaran jamur/kapang, cemaran aflatoksin, cemaran residu pestisida,
cemaran logam berat, kadar air, kadar zat aktif/zat identitas.
Tahapan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia
Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal/profesi dokter,
maka hasil data empirik harus didukung oleh bukti ilmiah adanya khasiat dan keamanan
penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut hanya dapat diperoleh dari penelitian yang
dilakukan secara sistematik. Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka
adalah sebagai berikut.
1. Seleksi
Jenis obat tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan
adalah:
Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka
kejadiannya (berdasarkan pola penyakit)
Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.
2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik
Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk melihat
toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan
coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia.
Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas
khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji
toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang
mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik
pada organ, dan cara kematian. Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama
satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam
bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek
toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Uji toksisitas khusus tidak
merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional agar masuk ke tahap uji

klinik.
Uji Farmakodinamik

Penelitian

farmakodinamik

obat

tradisional

bertujuan

untuk meneliti

efek

farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat
tradisional tersebut.
3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar
Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan menentukan
bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat mempengaruhi efek yang
ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknya dibandingkan dengan bahan yang telah
dikeringkan. Proses pengolahan seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif tertentu
yang bersifat termolabil. Ekstrak yang diproduksi dengan jenis pelarut yang berbeda dapat
memiliki efek terapi yang berbeda karena zat aktif yang terlarut berbeda.
4. Uji klinik
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/obat herbal harus dibuktikan
khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Uji klinik pada manusia hanya dapat
dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat
pada uji preklinik.
Uji klinik dibagi empat fase yaitu:
Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan tolerabilitas

obat tradisional
Fase II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding
Fase II akhir: dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding
Fase III : uji klinik definitif
Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau yang
lambat timbulnya
Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak

menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat langsung
dilakukan uji klinik dengan pembanding. Untuk obat tradisional yang belum digunakan
secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui tolerabilitas
pasien terhadap obat tradisional tersebut.

Anda mungkin juga menyukai