Oleh :
Erytromisin C, S.Ke
Guntur Arianto W, S. Ked
Yunita Permatasari, S. Ked
M. Alfian Zaini Adhim, S.Ked
PEMBIMBING :
dr. I Nyoman Sumertha, Sp.An
dr. Suko Basuki, M.Kes, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK STASE ANAESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
CASE REPORT
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari Selasa, 26 November 2013
Pembimbing :
dr. I Nyoman Sumertha, Sp.An
()
Pembimbing :
dr. Suko Basuki, M.Kes Sp.An
()
Nama pasien
: Tn. G
Umur
: 66 tahun
Jenis kelamin
: Laki-Laki
Alamat
Pekerjaan
: Petani
Status perkawinan
: Menikah
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Tgl masuk RS
: 19 November 2013
: 30-29-XX
Bangsal
: Flamboyan
Dokter Anestesi
Co-Asisten
: Appendicitis Perforasi
Macam Operasi
: Laparotomy
Macam Anestesi
: General Anestesi
Tanggal Operasi
: 21 Juli 2013
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
c. Riwayat Pribadi
Merokok
: diakui
Minum-minuman beralkohol
: disangkal
Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat asma
Riwayat alergi
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
e. Anamnesis Sistem
Cerbrospinal : Penurunan kesadaran (-), Nyeri kepala /wajah (-), demam (-)
Gastrointestinal : Mual (-), Muntah (-), sebah (+), sulit BAB (+), Sulit BAK
(-), nyeri perut (+), sebah (+), kembung (+)
Urogenital :disuria (-) nyeri pada saat kencing (-), urin jernih (+)
2. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan Umum
a. KU
b. BB/TB
c. Gizi
: Baik, GCS : E4 V5 M6
: 56 Kg/165cm
: Cukup
B. Vital Sign
Tekanan darah
Nadi
: 190/80 mmHg
: 80 x/menit
RR
: 22 x/menit
Suhu
: 38,10C
Kepala
Leher
Thorax
1. Jantung :
Perkusi redup
2. Paru
Perkusi :
Depan
Sonor
Sonor
Belakang
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
5
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Auskultasi:
Depan
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Belakang
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
+
+
3.Pemeriksaan Laboratorium
Tangggal : 19 November 2013
Hemoglobin
WBC
PLT
CT
BT
SGOT
SGPT
Kreatinin
Ureum
Glukosa Sewaktu
9,4
17600
12
8 menit
2 menit
22,5
26,7
0,66
22,29
103
14.0 - 17.5
4000 - 10.000
11-16
5-11 menit
1-5 menit
0-38
0-40
0,7-1.4
10-50
<140
4. Pemeriksaan Penunjang
USG abdomen dan BOF (suspect appendicitis abses), Foto Thorax (dalam batas
normal)
5. Kesimpulan
Seorang pria usia 66 tahun dengan diagnosis appendicitis perforasi yang
akan dilakukan tindakan operasi laparotomi. Hasil laboratorium terjadi peningkatan
leukosit (WBC). Hasil pemeriksaan tambahan USG abdomen didapatkan adanya
appendicitis abses.
Kegawatan Bedah
ASA
: (-)
: III
infus RL 2500cc
Jenis Operasi
: Laparotomy dan appendictomy
Jenis anestesi
: General Anestesi
Teknik Anestesi
: Intravena dan inhalasi
Obat Anestesi Regional: Propofol 50mg, Ketalar 50mg, Ethrane, Atracurium
2,5ml
6. Maintenance
: N2/ 02 3 liter.menit
7. Monitoring tanda vital selama anestesi setiap 5 menit
8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan
IV. TATA LAKSANA ANESTESI
1. Di Ruang Operasi
a. Cek Persetujuan Operasi
b. Periksa tanda vital dan keadaan umum
c. Lama Puasa preoperasi 8 jam
d. Cek obat-obatan dalam alat anestesi
e. Infus RL loading
f. Posisi Supine
g. ET terpasang
h. Katater : Terpasang
2. Di Ruang Operasi
Anestesi mulai
10.50
Operasi mulai
: 10.55
11.40
Operasi selesai
: 11.30
Anestesi selesai
a. Jam 10.40 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang,
tekanan darah 190/110 mmHg, HR 105 x/menit, Saturasi oksigen 99 %
b. Jam 10.50 mulai dilakukan anestesi umum dengan prosedur sebagai berikut:
i.
Pasien diminta berbaring posisi supine.
ii. Dilakukan tindakan antiseptis menggunakan alkhohol 70 %pada
iii.
iv.
Pasien dipasang endotrakeal tube ukuran No.7 dan mayo tube untuk
v.
airway.
Pasang oksigen banding N2O2 yakni 3:3 melalui sungkup muka
vi.
(facial mask).
Selama operasi pasien diobservasi vital sign tiap 5 menit dan
vii.
Nadi
95
95
90
95
100
95
90
95
90
90
90
TD
190/110
185/110
180/105
180/100
180/110
185/100
190/110
195/105
190/110
185/115
190/150
Sp02
Frekuensi
Volume
Inspirasi :
98%
98%
98%
98%
98%
98%
98%
98%
99%
99%
99%
Nafas
14
14
14
14
14
14
14
14
14
14
14
Tidal
400
400
400
400
400
400
500
400
500
400
400
Respirasi
1:2
1:2
1:2
1:2
1:2
1:2
1:2
1:2
1:2
1:2
1:2
Intake Cairan :
Infus RL : 2500cc
Cairan Keluar :
a. Urine : 800cc
b. Darah : 800cc
3. Di Recovery Room
Pasien masuk Ruang RR pukul 11.55 dalam Posisi Supine (terlentang),
dimonitoring tanda vital, resusitasi cairan dengan infuse RL
TD : 210/110, Nadi : 110 x/menit, Suhu: 36,2C
Masuk RR terapi yang diberikan :
a. .Injeksi Ceftriaxon 2x1 ampule
b. Metronidasol 3x500
c. Ketorolac 3x30
d. Transamil 3x1
e. Infuse RL 20 tpm
f. O2 3liter/menit
BAB II
8
TINJAUAN PUSTAKA
II.
analgesik,
otonom.
III.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
IV, AV blok derajat II total (tidak ada gelombang P). Kontraindikasi Relatif berupa
hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis,
GNA.
Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan.Pada
pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian obat yang bersifat
hepatotoksik.Pada pasien dengan gangguan jantung, obat obatan yang mendepresi
miokard atau menurunkan aliran koroner harus dihindari atau dosisnya diturunkan.Pasien
dengan gangguan ginjal, obat obatan yang diekskresikan melalui ginjal harus
diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang memicu sekresi paru, sedangkan pada
bagian endokrin hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah, obat yang merangsang
susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes basedow karena dapat menyebabkan
peningkatan kadar gula darah.
Sedangkan komplikasi kadang kadang tidak terduga walaupun tindakan anestesi
telah dilakukan dengan sebaik baiknya.Komplikasi dapat dicetuskan oleh tindakan
anestesi ataupun kondisi pasien sendiri.Komplikasi dapat timbul pada waktu
pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi kardiovaskular berupa hipotensi
dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 % dari sebelumnya,
hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada periode induksi dan pemulihan
anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada penyakit jantung karena
jantung bekerja keras dengan kebutuhan kebutuhan miokard yang meningkat yang
dapat menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak tercukupi kebutuhannya.
Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi, tidak sadar , hipersensitifitas ataupun
adanya peningkatan suhu tubuh.
10
IV.
dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 6 jam, bayi 3 4 jam. Pada pembedahan
darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau
dengan cara lain yaitu menetralkan asam lambung dengan memberikan antasida
(magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (ranitidin).Kandung kemih juga harus
dalam keadaan kosong sehingga boleh perlu dipasang kateter.Sebelum pasien masuk
dalam kamar bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin
pembedahan secara tertulis (informed concent).
Premedikasi sendiri ialah pemberian obat - 1 jam sebelum induksi anestesia
dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, menghilangkan
11
terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah.
Gol. Analgetik narkotik
Morfin.Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan menjelang
operasi.Dosis premedikasi dewasa 10 20 mg. Kerugian penggunaan morfin ialah
pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan bronkus pada pasien asma, mual dan
muntah pasca bedah ada.
Pethidin.Dosis premedikasi dewasa 25 100 mg IV.Diberikan untuk menekan
tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos.Pethidin juga berguna
V.
Intramuscular), perektal (melalui anus) biasanya digunakan pada bayi atau anak-anak
dalam bentuk suppositoria, tablet, semprotan yang dimasukan ke anus.Perinhalasi
melalui isapan, pasien disuruh tarik nafas dalam kemudian berikan anestesi perinhalasi
secara perlahan.
VI.
STADIUM ANESTESI
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa analgesia sampai
kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3 dan stdium 4 sampai henti napas dan
henti jantung.
Stadium I
12
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat
anestetik sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).Tindakan pembedahan ringan,
seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.Stadium ini
berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks
tersebut bisa kita raba bulu mata).
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai
dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+), pergerakan
bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya
reflekss menelan dan kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga hilangnya
pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan, hilangnya
reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan
mudah.
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera diikuti
kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak
mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.
TANDA REFLEKS PADA MATA
Refleks pupil
Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila anestesinya
dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya cukup dan baik/ stadium yang
paling baik untuk dilakukan pembedahan, midriasis maksimal menandakan pasien mati.
Refleks bulu mata
Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi.Apabila saat
dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada stadium 1.
Refleks kelopak mata
Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan untuk
memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya adalah kita tarik palpebra
atas ada respon tidak, kalau tidak berarti menandakan pasien sudah masuk stadium 1
ataupun 2.
13
Refleks cahaya
Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon saat kita
beri rangsangan cahaya.
VII.
TEKNIK ANESTESI UMUM
a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
Tindakan singkat ( - 1 jam)
Keadaan umum baik (ASA I II)
Lambung harus kosong
Prosedur :
Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang) efek
sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll
Induksi
Pemeliharaan
14
Teknik Intubasi
1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin fasikulasi (+)
3. Bila fasikulasi (-) ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala
sedikit ekstensi mulut membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit,
menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau angkat
epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )
8. Temukan pita suara warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ET melalui rima glottis
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas( alat
resusitasi )
Klasifikasi Mallampati :
Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :
anestesinya.
Teknik sama dengan diatas
15
VIII.
suatu
rapid
acting
nonbarbiturat
general
16
2. Anestetik inhalasi
a. N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara.N2O biasanya tersimpan
dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan penguapan pada
suhu kamar 50 atmosfir.N2O mempunyai efek analgesic yang baik,
dengan inhalasi 20% N2O dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg
morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek analgesic maksimum
35% .gas ini sering digunakan pada partus yaitu diberikan 100% N2O pada
waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi
kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi untuk mencegah
terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan secara intermiten
untuk mendapatkan analgesic pada saat proses persalinan dan Pencabutan
gigi. H2O digunakan secara umum untuk anestetik umum, dalam kombinasi
dengan zat lain
b. Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah
terbakar
dan
tidak
mudah
meledak
meskipun
dicampur
dengan
propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg morfin atau 0,1 mg
fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia diatasi terlebih dulu. Penurunan
volume semenit dapat diatasi dengan mengatur dosis.Pada anestesi yang
dalam dengan isofluran tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada
pemberian enfluran. Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar
labih dari 1,1 MAC (minimal Alveolar Concentration) dan meningkatkan
tekanan intracranial.
d. Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling
disukai untuk induksi inhalasi.
IX.
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernafasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
B. TERAPI CAIRAN DAN ELEKTROLIT
I. Cairan Tubuh
Tubuh manusia terdiri dari zat padat dan zat cair. Distribusi cairan tubuh manusia
dewasa:
1. Zat padat
2. Zat cair
Cairan intrasel
: 40% dari BB
Cairan ekstrasel
: 20% dari BB, terdiri dari:
- cairan intravaskuler
: 5% dari BB
- cairan interstisial
: 15% dari BB
Cairan transselular (1-3% BB), terdiri dari:
- LCS, sinovial, gastrointestinal dan intraorbital
Bayi mempunyai cairan ekstrasel lebih besar dari intrasel. Perbandingan ini akan
berubah sesuai dengan perkembangan tubuh, sehingga pada dewasa cairan intrasel dua kali
cairan ekstrasel.
Ginjal berfungsi mengatur jumlah cairan tubuh, osmolaritas cairan ekstrasel,
konsentrasi ion-ion penting dan keseimbangan asam basa. Fungsi ginjal sempurna setelah
anak mencapai umur satu tahun, sehingga komposisi cairan tubuh harus diperhatikan pada
saat terapi cairan.
Dalam cairan tubuh terlarut elektrolit. Elektrolit yang terpenting dalam:
Ekstrasel
Intrasel
Cairan intravaskuler (5% BB) bila ditambah eritrosit (3% BB) menjadi darah. Jadi
volume darah sekitar 8% dari berat badan. Jumlah darah bila dihitung berdasarkan
estimated blood volume (EBV) adalah:
Neonatus
= 90 ml/kg BB
Bayi
= 80 ml/kg BB
Anak dan dewasa
= 70 ml/kg BB
Kebutuhan Air dan Elektrolit setiap hari
1. Dewasa:
Air
Na+
K+
0-10 kg
10-20 kg
>20 kg
: 2 mEq/kg
K+
: 2 mEq/kg
Cairan masuk:
Minum
: 800-1700 ml
Makanan
: 500-1000 ml
Hasil metabolisme:
- Dewasa
: 5 ml/kg/hari
- Anak
: 2-14 tahun
= 5-6 ml/kg/hari
: 7-11 tahun
= 5-7 ml/kg/hari
: 5-7 tahun
= 8-8,5 ml/kg/hari
- Balita
Cairan keluar:
- Urin
= 8 ml/kg/hari
: normal > 0,5-1 ml/kg/jam
20
- Feses
: 1 ml/hari
- Invisble loss :
- dewasa : 15 ml/kg/hari
- anak : {30-usia (tahun)} ml/kg/hari
Tekanan hidrostatik
Tekanan onkotik
Tekanan osmotik
= mencapai keseimbangan
Cairan yang mengandung zat dengan BM rendah (< 8000 Dalton) dengan atau
tanpa glukosa.
2. Cairan koloid
Cairan yang mengandung zat dengan BM tinggi (> 8000 Dalton), misal: protein
Tekanan onkotik tinggi, sehingga sebagian besar akan tetap tinggal di ruang
intravaskuler.
3. Cairan khusus
Digunakan untuk koreksi atau indikasi khusus, seperti NaCl 3%, Bicnat, Manitol
21
Cairan Kristaloid
1. Ringer laktat
Cairan paling fisiologis jika sejumlah volume besar diperlukan. Banyak digunakan
sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, luka
bakar. Laktat yang terdapat di dalam RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat
untuk memperbaiki keadaan seperti metabolik asidosis.
Kalium yang terdapat di dalam RL pula tidak cukup untuk maintenance sehari-hari,
apalagi untuk kasus defisit kalium. RL juga tidak mengandung glukosa sehingga bila akan
dipakai sebagai cairan maintenance harus ditambah glukosa untuk mencegah terjadinya
ketosis.
2. Ringer
Komposisinya mendekati fisiologis tetapi bila dibandingkan dengan RL ada
beberapa kekurangan, seperti:
Kadar Cl- terlalu tinggi, sehingga bila dalam jumlh besar dapat menyebabkan
asidosis dilusional dan asidosis hiperkloremia.
retensi kalium
Cairan pilihan untuk kasus trauma kepala
Dipakai untuk mengencerkan sel darah merah sebelum transfusi
pada pasien trauma kapitis (neuro trauma). Dextrose dan air dapat berpindah secara bebas
ke dalam sel otak. Sekali berada dalam sel otak, dextrose akan dimetabolisme dengan sisa
air yang menyebabkan edema otak.
5. Darrow
Digunakan pada defisiensi kalium untuk mengantikan kehilangan harian, kalium
banyak terbuang (diare, diabetik asidosis).
Cairan Koloid
Yang termasuk golongan ini adalah:
1. Albumin
2. Bloood product: RBC
3. Plasma protein fraction: plasmanat
4. Koloid sintetik: dextran, hetastarch
Berdasarkan tujuan pemberian cairan, ada 3 jenis:
1. Cairan rumatan
Cairan hipotonis: D5%, D5%+1/4NS dan D5%+1/2NS
2. Cairan pengganti
Cairan hipotonis: RL, NaCl 0,9%, koloid
3. Cairan khusus
Cairan hipertonis: NaCl 3%, Manitol 20%, Bicnat
Kristaloid dibanding Koloid
Resusitasi dengan kristaloid akan menyebabkan ekspansi ke ruang interstisial,
sedangkan koloid yang hiperonkotik akan cenderung menyebabkan ekspansi ke volume
intravaskuler dengan menarik cairan dari ruang interstitial. Koloid isoonkotik akan mengisi
ruang intravaskuler tanpa mengurangi volume interstisial.
Secara fisiologis kristaloid akan lebih menyebabkan edema dibandingkan koloid.
Pada keadaan permeabilitas yang meningkat, koloid ada kemungkinan akan merembes ke
dalam ruang interstisial dan akan meningkatkan tekananan onkotik plasma. Peningkatan
tekanan onkotik plasma ini dapat menghambat kehilangan cairan dari sirkulasi.
23
Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia 2009.
Omuigui . The Anaesthesia Drugs Handbook, 2nded, Mosby year Book Inc, 1995.
Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
FK UI. Jakarta
Leksana E. Terap Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
Karijadi, Chasnak S, Rahardjo E, Wahyu Prajitno B. Simposium dan Penanganan Syok.
Surabaya, 1990, 10 Februari.
Sunatrio S. Terapi Cairan Kristaloid dan Koloid untuk Resusitasi Pasien Kritis. Second
Fundamental Course on Fliud Therapy. PT Widatra Bhakti: Jakarta, 2003.
26