Anda di halaman 1dari 26

CASE REPORT

GENERAL ANESTESI PADA PASIEN PRIA 66 TAHUN


DENGAN APPENDICITIS PERFORASI

Oleh :
Erytromisin C, S.Ke
Guntur Arianto W, S. Ked
Yunita Permatasari, S. Ked
M. Alfian Zaini Adhim, S.Ked

J 500 070 001


J 500 080 056
J 500 090 009
J 500 000 091

Ramayana DG Situru, S.Ked

J 500 090 095

PEMBIMBING :
dr. I Nyoman Sumertha, Sp.An
dr. Suko Basuki, M.Kes, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK STASE ANAESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013

CASE REPORT

GENERAL ANESTESI PADA PASIEN PRIA 66 TAHUN


DENGAN APPENDICITIS PERFORASI
Yang Diajukan Oleh :
Erytromisin C, S.Ked
Guntur Arianto W, S. Ked
Yunita Permatasari, S. Ked
M. Alfian Zaini Adhim, S.Ked
Ramayana DG Situru, S.Ked

J 500 070 001


J 500 080 056
J 500 090 009
J 500 000 091
J 500 090 095

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari Selasa, 26 November 2013
Pembimbing :
dr. I Nyoman Sumertha, Sp.An

()

Pembimbing :
dr. Suko Basuki, M.Kes Sp.An

()

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANAESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
2

Nama pasien

: Tn. G

Umur

: 66 tahun

Jenis kelamin

: Laki-Laki

Alamat

: Munggu, Bungkal Ponorogo

Pekerjaan

: Petani

Status perkawinan

: Menikah

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Tgl masuk RS

: 19 November 2013

No. rekam medik

: 30-29-XX

Bangsal

: Flamboyan

Dokter yang merawat

: dr.Saut Idoan Sijabat, Sp.B

Dokter Anestesi

: dr. Suko Basuki,M.Kes, Sp.An

Co-Asisten

:Erytromisin Cahyanintyas, S.Ked


Guntur Arianto Wibowo, S.Ked
Yunita Permatasari, S.Ked
Ramayana DG Situru, S.Ked
M. Alfian Zaini Adhim, S.Ked

Diagnosis Pre Operatif

: Appendicitis Perforasi

Macam Operasi

: Laparotomy

Macam Anestesi

: General Anestesi

Tanggal Operasi

: 21 Juli 2013

II. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI


1. Anamnesis
Keluhan Utama :
Nyeri perut kholik.
3

a. Riwayat Penyakit Sekarang


Data diambil melalui autoanamnesis pada Kamis, 22 November 2013. Dari
anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluh sakit diseluruh perutnya. Kemudian
pasien pergi berobat ke puskesmas Bungkal, namun sakitnya yang dirasakannya
semakin bertambah, terasa sebah, dan tidak bisa buang angin, oleh dokter
puskesmas pasien langsung di rujuk ke RSUD Dr. Hardjono Ponorogo. Rasa sakit
pada perut disertai nyeri tekan, perut membestar, tegang, dan tidak dapat buang
angin. Pasien menagatakan ingin buang air besar namun tidak dapat keluar. Pasien
mengaku sakit perut ini baru beberapa jam yang lalu dan sebelumnya tidak pernah
sakit perut seperti ini. Pasien datang tidak disertai penurunan kesadaran, tidak ada
mual, tidak muntah, tidak nyeri kepala.
b. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit serupa


Riwayat Stroke
Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes melitus
Riwayat asma
Riwayat alergi
Riwayat sakit jantung
Riwayat Operasi sebelumnya
Riwayat Batuk lama

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

c. Riwayat Pribadi

Merokok

: diakui

Minum-minuman beralkohol

: disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat hipertensi
Riwayat diabetes mellitus
Riwayat asma
Riwayat alergi
Riwayat penyakit jantung

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

e. Anamnesis Sistem

Cerbrospinal : Penurunan kesadaran (-), Nyeri kepala /wajah (-), demam (-)

Cardiovaskular : Keringat dingin (-), Nyeri dada (-)


4

Respirasi : Batuk (-). Pilek (-), sesak nafas (-)

Gastrointestinal : Mual (-), Muntah (-), sebah (+), sulit BAB (+), Sulit BAK
(-), nyeri perut (+), sebah (+), kembung (+)

Muskuloskletal : Kelemahan anggota gerak (-)

Integumentum : Ruam (-), gatal (-), suhu raba hangat (-)

Urogenital :disuria (-) nyeri pada saat kencing (-), urin jernih (+)

Genital : Perdarahan (-)

2. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan Umum
a. KU
b. BB/TB
c. Gizi

: Baik, GCS : E4 V5 M6
: 56 Kg/165cm
: Cukup

B. Vital Sign
Tekanan darah
Nadi

: 190/80 mmHg
: 80 x/menit

RR

: 22 x/menit

Suhu

: 38,10C

Kepala
Leher
Thorax

: Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), takipnea (-)


: Retraksi suprasternal (-/-), deviasi trakea (-), JVP (-), PKGB (-/-)
:

1. Jantung :

Inspeksi ictus cordis tidak tampak.

Palpasi ictus cordis tidak kuat angkat.

Perkusi redup

Auskultasi : bunyi jantung S I-II irama regular, bising jantung (-)

2. Paru

Inspeksi : simetris, tidak ada ketinggalan gerak di paru, dan tidak


ditemukannya retraksi intercostae.

Palpasi : Fremitus sama depan dan belakang

Perkusi :
Depan
Sonor
Sonor

Belakang
Sonor
Sonor

Sonor
Sonor

Sonor
Sonor
5

Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Auskultasi:
Depan
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler

Belakang
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler

Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler

Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler

Suara tambahan: Whezing (-/-) , ronkhi (-/-)


Abdomen :
Inspeksi : bentuk abdomen simetris, ukuran lebih tinggi dari dinding dada,

tidak ada darm contour.


Auskultasi : peristaltik usus normal
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : distensi (+), nyeri tekan (+) seluruh lapang pandang,ascites (-),

hepar-lien tidak teraba


Ekstremitas :
Clubbing finger tidak ditemukan
Tidak ditemukan edem
Akral hangat
+

+
+

3.Pemeriksaan Laboratorium
Tangggal : 19 November 2013
Hemoglobin
WBC
PLT
CT
BT
SGOT
SGPT
Kreatinin
Ureum
Glukosa Sewaktu

9,4
17600
12
8 menit
2 menit
22,5
26,7
0,66
22,29
103

14.0 - 17.5
4000 - 10.000
11-16
5-11 menit
1-5 menit
0-38
0-40
0,7-1.4
10-50
<140

4. Pemeriksaan Penunjang
USG abdomen dan BOF (suspect appendicitis abses), Foto Thorax (dalam batas
normal)

5. Kesimpulan
Seorang pria usia 66 tahun dengan diagnosis appendicitis perforasi yang
akan dilakukan tindakan operasi laparotomi. Hasil laboratorium terjadi peningkatan
leukosit (WBC). Hasil pemeriksaan tambahan USG abdomen didapatkan adanya
appendicitis abses.
Kegawatan Bedah
ASA

: (-)
: III

III. RENCANA ANESTESI


1. Persiapan operasi yakni persetujuan operasi tertulis, puasa 8 jam preoperative,
2.
3.
4.
5.

infus RL 2500cc
Jenis Operasi
: Laparotomy dan appendictomy
Jenis anestesi
: General Anestesi
Teknik Anestesi
: Intravena dan inhalasi
Obat Anestesi Regional: Propofol 50mg, Ketalar 50mg, Ethrane, Atracurium

2,5ml
6. Maintenance
: N2/ 02 3 liter.menit
7. Monitoring tanda vital selama anestesi setiap 5 menit
8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan
IV. TATA LAKSANA ANESTESI
1. Di Ruang Operasi
a. Cek Persetujuan Operasi
b. Periksa tanda vital dan keadaan umum
c. Lama Puasa preoperasi 8 jam
d. Cek obat-obatan dalam alat anestesi
e. Infus RL loading
f. Posisi Supine
g. ET terpasang
h. Katater : Terpasang
2. Di Ruang Operasi
Anestesi mulai

10.50

Operasi mulai

: 10.55

11.40

Operasi selesai

: 11.30

Anestesi selesai

a. Jam 10.40 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang,
tekanan darah 190/110 mmHg, HR 105 x/menit, Saturasi oksigen 99 %
b. Jam 10.50 mulai dilakukan anestesi umum dengan prosedur sebagai berikut:
i.
Pasien diminta berbaring posisi supine.
ii. Dilakukan tindakan antiseptis menggunakan alkhohol 70 %pada
iii.

selang infuse yang telah terpasang intravena pada tangan pasien.


Dilakukan anestesi umum (General Anestesi) menggunakan propafol
50mg, ketalar 50mg, antracurium 2,5ml secara intravena.

iv.

Pasien dipasang endotrakeal tube ukuran No.7 dan mayo tube untuk

v.

airway.
Pasang oksigen banding N2O2 yakni 3:3 melalui sungkup muka

vi.

(facial mask).
Selama operasi pasien diobservasi vital sign tiap 5 menit dan

vii.

monitoring cairan RL.


Ketika operasi menjelang selesai, pasien diinjeksi prostigmin dan

atropine untuk mengembalikan respirasi spontannya.


Monitoring Selama Anestesi
Jam
10.50
10.55
11.00
11.05
11.10
11.15
11.20
11.25
11.30
11.35
11.40

Nadi
95
95
90
95
100
95
90
95
90
90
90

TD
190/110
185/110
180/105
180/100
180/110
185/100
190/110
195/105
190/110
185/115
190/150

Sp02

Frekuensi

Volume

Inspirasi :

98%
98%
98%
98%
98%
98%
98%
98%
99%
99%
99%

Nafas
14
14
14
14
14
14
14
14
14
14
14

Tidal
400
400
400
400
400
400
500
400
500
400
400

Respirasi
1:2
1:2
1:2
1:2
1:2
1:2
1:2
1:2
1:2
1:2
1:2

Intake Cairan :
Infus RL : 2500cc
Cairan Keluar :
a. Urine : 800cc
b. Darah : 800cc
3. Di Recovery Room
Pasien masuk Ruang RR pukul 11.55 dalam Posisi Supine (terlentang),
dimonitoring tanda vital, resusitasi cairan dengan infuse RL
TD : 210/110, Nadi : 110 x/menit, Suhu: 36,2C
Masuk RR terapi yang diberikan :
a. .Injeksi Ceftriaxon 2x1 ampule
b. Metronidasol 3x500
c. Ketorolac 3x30
d. Transamil 3x1
e. Infuse RL 20 tpm
f. O2 3liter/menit
BAB II
8

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI UMUM (GENERAL ANESTESI)


Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh
Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat reversible.Anestesi umum yang sempurna menghasilkan
ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan
dari pasien.
I.

TEORI ANESTESI UMUM


Ada beberapa teori yang membicarakan tentang kerja anestesi umum, diantaranya :
a. Meyer dan Overton (1989) mengemukakan teori kelarutan lipid (Lipid Solubity
Theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya berhubungan langsung dengan
kelarutan dalam lemak. Makin mudah larut di dalam lemak, makin kuat daya
anestesinya. Ini hanya berlaku pada obat inhalasi (volatile anaesthetics), tidak pada
obat anestetika parenteral.
b. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas Effect). Potensi
analgesia gas gas yang lembab dan menguap terbalik terhadap tekanan gas gas
dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia. Jadi tergantung dari konsentrasi molekul
molekul bebas aktif.
c. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikrohidrat (The Hidrat Micro-crystal
Theory). Obat anestetika berpengaruh terutama terhadap interaksi molekul molekul
obatnya dengan molekul molekul di otak.
d. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan interaksi dengan
membrana lipid meningkatkan keenceran (mengganggu membran).
Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang selanjutnya
menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah jaringan yang banyak
vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan kesadaran dan rasa sakit hilang.
Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor respirasi, sirkulasi, dan sifat
fisik obat itu sendiri.
9

II.

TUJUAN ANESTESI UMUM


Tujuan anestesi umum adalah hipnotik,

analgesik,

relaksasi dan stabilisasi

otonom.
III.
a.
b.
c.
d.
e.
f.

SYARAT, KONTRAINDIKASI DAN KOMPLIKASI ANESTESI UMUM


Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :
Memberi induksi yang halus dan cepat.
Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons
Timbulkan keadaan amnesia
Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.
Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup untuk tindakan operasi.
Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO yang berlangsung
lama.
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis derajat III

IV, AV blok derajat II total (tidak ada gelombang P). Kontraindikasi Relatif berupa
hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis,
GNA.
Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan.Pada
pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian obat yang bersifat
hepatotoksik.Pada pasien dengan gangguan jantung, obat obatan yang mendepresi
miokard atau menurunkan aliran koroner harus dihindari atau dosisnya diturunkan.Pasien
dengan gangguan ginjal, obat obatan yang diekskresikan melalui ginjal harus
diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang memicu sekresi paru, sedangkan pada
bagian endokrin hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah, obat yang merangsang
susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes basedow karena dapat menyebabkan
peningkatan kadar gula darah.
Sedangkan komplikasi kadang kadang tidak terduga walaupun tindakan anestesi
telah dilakukan dengan sebaik baiknya.Komplikasi dapat dicetuskan oleh tindakan
anestesi ataupun kondisi pasien sendiri.Komplikasi dapat timbul pada waktu
pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi kardiovaskular berupa hipotensi
dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 % dari sebelumnya,
hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada periode induksi dan pemulihan
anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada penyakit jantung karena
jantung bekerja keras dengan kebutuhan kebutuhan miokard yang meningkat yang
dapat menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak tercukupi kebutuhannya.
Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi, tidak sadar , hipersensitifitas ataupun
adanya peningkatan suhu tubuh.
10

IV.

PERSIAPAN UNTUK ANESTESI UMUM


Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum pasien

menjalani suatu tindakan operasi.Pada saat kunjungan, dilakukan wawancara (anamnesis)


sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi sebelumnya, adakah penyakit
penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat.Kemudian pada pemeriksaan fisik,
dilakukan pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan
pendek.Perhatikan pula hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan
penyakit yang sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa
pendarahan, masa pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan
status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
ASA I
: Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
ASA II
: Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya: pasien batu ureter dengan hipertensi
sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
ASA III
: Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan
septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.
ASA IV
: Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehidupannya. Contohnya: Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.
ASA V
: Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi
atau tidak. Contohnya: pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik
karena ruptur hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan
tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE
Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi lambung
karena regurgutasi

atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung

dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 6 jam, bayi 3 4 jam. Pada pembedahan
darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau
dengan cara lain yaitu menetralkan asam lambung dengan memberikan antasida
(magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (ranitidin).Kandung kemih juga harus
dalam keadaan kosong sehingga boleh perlu dipasang kateter.Sebelum pasien masuk
dalam kamar bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin
pembedahan secara tertulis (informed concent).
Premedikasi sendiri ialah pemberian obat - 1 jam sebelum induksi anestesia
dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, menghilangkan
11

rasa khawatir,membuat amnesia, memberikan analgesia dan mencegah muntah, menekan


refleks yang tidak diharapkan, mengurasi sekresi saliva dan saluran napas.
Obat obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain :
Gol. Antikolinergik
Atropin.Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah, antimual dan
muntah, melemaskan tonus otot polos organ organ dan menurunkan spasme

gastrointestinal. Dosis 0,4 0,6 mg IM bekerja setelah 10 15 menit.


Gol. Hipnotik sedatif
Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital).Diberikan untuk sedasi dan
mengurangi kekhawatiran sebelum operasi.Obat ini dapat diberikan secara oral atau
IM.Dosis dewasa 100 200 mg, pada bayi dan anak 3 5 mg/kgBB.Keuntungannya
adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan efek depresannya yang lemah

terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah.
Gol. Analgetik narkotik
Morfin.Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan menjelang
operasi.Dosis premedikasi dewasa 10 20 mg. Kerugian penggunaan morfin ialah
pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan bronkus pada pasien asma, mual dan
muntah pasca bedah ada.
Pethidin.Dosis premedikasi dewasa 25 100 mg IV.Diberikan untuk menekan
tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos.Pethidin juga berguna

mencegah dan mengobati menggigil pasca bedah.


Gol. Transquilizer
Diazepam (Valium).Merupakan golongan benzodiazepine.Pemberian dosis rendah
bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik.Dosis premedikasi dewasa 0,2
mg/kgBB IM.

V.

METODE PEMBERIAN ANESTESI UMUM


Obat obat anestesi umum bisa diberikan melalui Perenteral (Intravena,

Intramuscular), perektal (melalui anus) biasanya digunakan pada bayi atau anak-anak
dalam bentuk suppositoria, tablet, semprotan yang dimasukan ke anus.Perinhalasi
melalui isapan, pasien disuruh tarik nafas dalam kemudian berikan anestesi perinhalasi
secara perlahan.
VI.

STADIUM ANESTESI
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa analgesia sampai

kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3 dan stdium 4 sampai henti napas dan
henti jantung.
Stadium I

12

Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat
anestetik sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).Tindakan pembedahan ringan,
seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.Stadium ini
berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks
tersebut bisa kita raba bulu mata).
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai
dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+), pergerakan
bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya
reflekss menelan dan kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga hilangnya
pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan, hilangnya
reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan
mudah.
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera diikuti
kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak
mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.
TANDA REFLEKS PADA MATA
Refleks pupil
Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila anestesinya
dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya cukup dan baik/ stadium yang
paling baik untuk dilakukan pembedahan, midriasis maksimal menandakan pasien mati.
Refleks bulu mata
Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi.Apabila saat
dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada stadium 1.
Refleks kelopak mata
Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan untuk
memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya adalah kita tarik palpebra
atas ada respon tidak, kalau tidak berarti menandakan pasien sudah masuk stadium 1
ataupun 2.
13

Refleks cahaya
Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon saat kita
beri rangsangan cahaya.
VII.
TEKNIK ANESTESI UMUM
a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
Tindakan singkat ( - 1 jam)
Keadaan umum baik (ASA I II)
Lambung harus kosong
Prosedur :

Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik

Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)

Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang) efek
sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll

Induksi

Pemeliharaan

b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan


Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal
tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi; operasi lama, sulit mempertahankan
airway (operasi di bagian leher dan kepala)
Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn durasi
singkat)
2. Intubasi setelah induksi dan suksinil
3. Pemeliharaan
Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:
S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope
T = Tubes. Pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon(cuffed)
A = Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring) yang
digunakanuntuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menymbat jalan
napas
T = Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah dimasukkan
C = Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia
S = Suction. Penyedot lendir dan ludah

14

Teknik Intubasi
1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin fasikulasi (+)
3. Bila fasikulasi (-) ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala
sedikit ekstensi mulut membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit,
menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau angkat
epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )
8. Temukan pita suara warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ET melalui rima glottis
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas( alat
resusitasi )
Klasifikasi Mallampati :
Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :

c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)


Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol
pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12-20 x permenit.Setelah operasi
selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek

anestesinya.
Teknik sama dengan diatas
15

Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)


Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.

VIII.

OBAT OBAT DALAM ANESTESI UMUM


Jenis obat anestesi umum diberikan dalam bentuk suntikan intravena atau inhalasi.
1. Anestetik intravena
Penggunaan
:
Untuk induksi
Obat tunggal pada operasi singkat
Tambahan pada obat inhalasi lemah
Tambahan pada regional anestesi
Sedasi
Cara pemberian :
Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat
Suntikan berulang (intermiten)
Diteteskan perinfus
Obat anestetik intravena meliputi :
a. Benzodiazepine
Sifat : hipnotik sedative, amnesia anterograd, atropine like effect, pelemas
otot ringan, cepat melewati barier plasenta.
Kontraindikasi : porfiria dan hamil.
Dosis : Diazepam : induksi 0,2 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi : 0,15
0,45 mg/kg IV.
b. Propofol
Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting. Propofol
dapat menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan pemberian
barbiturat secara inutravena, dan waktu pemulihan yang lebih cepat. Dosis : 2
2,5 mg/kg IV.
c. Ketamin
Ketamin
adalah

suatu

rapid

acting

nonbarbiturat

general

anaesthetic.Indikasi pemakaian ketamin adalah prosedur dengan pengendalian


jalan napas yang sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien resiko
tinggi dan asma. Dosis pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2 mg/kgBB dan
pada pemberian IM 3 10 mg/kgBB.
d. Thiopentone Sodium
Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan dalam air
menjadi larutan 2,5%atau 5%. Indikasi pemberian thiopental adalah induksi
anestesi umum, operasi singkat, sedasi anestesi regional, dan untuk mengatasi
kejang.Keuntungannya :induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan
napas. Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.

16

2. Anestetik inhalasi
a. N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara.N2O biasanya tersimpan
dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan penguapan pada
suhu kamar 50 atmosfir.N2O mempunyai efek analgesic yang baik,
dengan inhalasi 20% N2O dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg
morfin. Kadar optimum untuk mendapatkan efek analgesic maksimum
35% .gas ini sering digunakan pada partus yaitu diberikan 100% N2O pada
waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa mengurangi
kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi untuk mencegah
terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan secara intermiten
untuk mendapatkan analgesic pada saat proses persalinan dan Pencabutan
gigi. H2O digunakan secara umum untuk anestetik umum, dalam kombinasi
dengan zat lain
b. Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah
terbakar

dan

tidak

mudah

meledak

meskipun

dicampur

dengan

oksigen.Halotan bereaksi dengan perak, tembaga, baja, magnesium,


aluminium, brom, karet dan plastic.Karet larut dalam halotan, sedangkan
nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga pemberian obat ini harus
dengan alat khusus yang disebut fluotec.Efek analgesic halotan lemah tetapi
relaksasi otot yang ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman waktu
10 menit untuk induksi sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4
volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.
c. Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar.Secara
kimiawi mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda. Isofluran
berbau tajam sehingga membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap oleh
penderita karena penderita menahan nafas dan batuk. Setelah pemberian
medikasi preanestetik stadium induksi dapat dilalui dengan lancer dan
sedikit eksitasi bila diberikan bersama N2O dan O2.isofluran merelaksasi
otot sehingga baik untuk intubasi. Tendensi timbul aritmia amat kecil sebab
isofluran tidak menyebabkan sensiitisasi jantung terhadap ketokolamin.
Peningkatan frekuensi nadi dan takikardiadihilangkan dengan pemberian
17

propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik (8-10 mg morfin atau 0,1 mg
fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia diatasi terlebih dulu. Penurunan
volume semenit dapat diatasi dengan mengatur dosis.Pada anestesi yang
dalam dengan isofluran tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada
pemberian enfluran. Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar
labih dari 1,1 MAC (minimal Alveolar Concentration) dan meningkatkan
tekanan intracranial.
d. Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling
disukai untuk induksi inhalasi.

IX.

SKOR PEMULIHAN PASCA ANESTESI


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama
yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih
dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau

masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).


A. Aldrete Score
Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
B. Steward Score (anak-anak)
Pergerakan
18

Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Pernafasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan nafas 1
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
B. TERAPI CAIRAN DAN ELEKTROLIT
I. Cairan Tubuh
Tubuh manusia terdiri dari zat padat dan zat cair. Distribusi cairan tubuh manusia
dewasa:
1. Zat padat

: 40% dari berat badan

2. Zat cair

: 60% dari berat badan

Zat cair (60% BB), terdiri dari:

Cairan intrasel
: 40% dari BB
Cairan ekstrasel
: 20% dari BB, terdiri dari:
- cairan intravaskuler
: 5% dari BB
- cairan interstisial
: 15% dari BB
Cairan transselular (1-3% BB), terdiri dari:
- LCS, sinovial, gastrointestinal dan intraorbital

Bayi mempunyai cairan ekstrasel lebih besar dari intrasel. Perbandingan ini akan
berubah sesuai dengan perkembangan tubuh, sehingga pada dewasa cairan intrasel dua kali
cairan ekstrasel.
Ginjal berfungsi mengatur jumlah cairan tubuh, osmolaritas cairan ekstrasel,
konsentrasi ion-ion penting dan keseimbangan asam basa. Fungsi ginjal sempurna setelah
anak mencapai umur satu tahun, sehingga komposisi cairan tubuh harus diperhatikan pada
saat terapi cairan.
Dalam cairan tubuh terlarut elektrolit. Elektrolit yang terpenting dalam:

Ekstrasel
Intrasel

: Na+ dan Cl: K+ dan PO419

Cairan intravaskuler (5% BB) bila ditambah eritrosit (3% BB) menjadi darah. Jadi
volume darah sekitar 8% dari berat badan. Jumlah darah bila dihitung berdasarkan
estimated blood volume (EBV) adalah:
Neonatus
= 90 ml/kg BB
Bayi
= 80 ml/kg BB
Anak dan dewasa
= 70 ml/kg BB
Kebutuhan Air dan Elektrolit setiap hari
1. Dewasa:
Air

: 30-35 ml/kg, kenaikan 1 derajat Celcius ditambah 10-5%

Na+

: 1,5 mEq/kg (100 mEq/hari atau 5,9g)

K+

: 1 mEq/kg (60 mEq/hari atau 4,5g)

2. Bayi dan anak:


Air

0-10 kg

: 4 ml/kg/jam (100 ml/kg)

10-20 kg

: 40 ml + 2 ml/kg/jam setiap kg di atas 10 kg (1000 ml + 50

ml/kg di atas 10 kg)

>20 kg

: 60 ml + 1 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg (1500 ml + 20

ml/kg di atas 20 kg)


Na+

: 2 mEq/kg

K+

: 2 mEq/kg

Cairan masuk:

Minum

: 800-1700 ml

Makanan

: 500-1000 ml

Hasil oksidasi : 200-300 ml

Hasil metabolisme:

- Dewasa

: 5 ml/kg/hari

- Anak

: 2-14 tahun

= 5-6 ml/kg/hari

: 7-11 tahun

= 5-7 ml/kg/hari

: 5-7 tahun

= 8-8,5 ml/kg/hari

- Balita
Cairan keluar:

- Urin

= 8 ml/kg/hari
: normal > 0,5-1 ml/kg/jam
20

- Feses

: 1 ml/hari

- Invisble loss :

- dewasa : 15 ml/kg/hari
- anak : {30-usia (tahun)} ml/kg/hari

Perpindahan cairan tubuh dipengaruhi oleh:

Tekanan hidrostatik

Tekanan onkotik

Tekanan osmotik

= mencapai keseimbangan

Gangguan kesimbangan cairan tubuh umumnya menyangkut extracell fluid atau


cairan ekstrasel. Tekanan hidrostatik adalah tekanan yang mempengaruhi pergerakan air
melalui dinding kapiler. Bila albumin rendah maka tekanan hidrostatik akan meningkat dan
tekanan onkotik akan menurun sehingga cairan intravaskuler akan didorong mauk ke
interstisial yang berakibat edema.
Tekanan onkotik atau tekanan osmotik koloid adalah tekanan yang mencegah
pergerakan air. Albumin menghasilkan 80% dari tekanan onkotik plasma, sehingga bila
albumin cukup pada cairan intravaskuler maka cairan tidak akan mudah masuk ke
interstisial.

II. Jenis Cairan


Cairan intravena ada tiga jenis:
1. Cairan kristaloid

Cairan yang mengandung zat dengan BM rendah (< 8000 Dalton) dengan atau
tanpa glukosa.

Tekanan onkotik rendah, sehingga cepat terdistribusi ke seluruh ruang ekstraselular.

2. Cairan koloid

Cairan yang mengandung zat dengan BM tinggi (> 8000 Dalton), misal: protein

Tekanan onkotik tinggi, sehingga sebagian besar akan tetap tinggal di ruang
intravaskuler.

3. Cairan khusus

Digunakan untuk koreksi atau indikasi khusus, seperti NaCl 3%, Bicnat, Manitol
21

Cairan Kristaloid
1. Ringer laktat
Cairan paling fisiologis jika sejumlah volume besar diperlukan. Banyak digunakan
sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, luka
bakar. Laktat yang terdapat di dalam RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat
untuk memperbaiki keadaan seperti metabolik asidosis.
Kalium yang terdapat di dalam RL pula tidak cukup untuk maintenance sehari-hari,
apalagi untuk kasus defisit kalium. RL juga tidak mengandung glukosa sehingga bila akan
dipakai sebagai cairan maintenance harus ditambah glukosa untuk mencegah terjadinya
ketosis.
2. Ringer
Komposisinya mendekati fisiologis tetapi bila dibandingkan dengan RL ada
beberapa kekurangan, seperti:

Kadar Cl- terlalu tinggi, sehingga bila dalam jumlh besar dapat menyebabkan
asidosis dilusional dan asidosis hiperkloremia.

Tidak mengandung laktat yang dapat dikonversi menjadi bikarbonat untuk


memperingan asidosis.

Dapat digunakan pada keadaan dehidrasi dengan hiperkloremia, muntah-muntah


dan lain-lain.

3. NaCl 0,9% (normal saline)


Dipakai sebagai cairan resusitasi (replacement therapy) terutama pada kasus:
Kadar Na+ yang rendah
Keadaan di mana RL tidak cocok untuk digunakan seperti pada alkalosis,

retensi kalium
Cairan pilihan untuk kasus trauma kepala
Dipakai untuk mengencerkan sel darah merah sebelum transfusi

Tetapi jika memiliki beberapa kekurangan yaitu:


Tidak mengandung HCO3 Tidak mengandung K+
Kadar Na+ dan Cl- relatif lebih tinggi sehingga dapat terjadi asidosis
hiperkloremia, asidosis delusional dan hipernatremia.
4. Dextrose 5% dan 10%
22

Digunakan sebagai cairan maintenance pada pasien dengan pembatasan intake


natrium atau cairan pengganti pada pure water deficit. Penggunaan perioperatif untuk:
Berlangsungnya metabolisme
Menyediakan kebutuhan air
Mencegah hipoglikemia
Mempertahankan protein yang ada, dibutuhkan minimal 100g karbohidrat untuk

mencegah dipecahnya kandungan protein tubuh


Menurunkan level asam lemak bebas dan keton
Mencegah ketosis, dibutuhkan minimal 200g karbohidrat
Cairan infus mengandung dextrose, khususnya dextrose 5% tidak boleh diberikan

pada pasien trauma kapitis (neuro trauma). Dextrose dan air dapat berpindah secara bebas
ke dalam sel otak. Sekali berada dalam sel otak, dextrose akan dimetabolisme dengan sisa
air yang menyebabkan edema otak.
5. Darrow
Digunakan pada defisiensi kalium untuk mengantikan kehilangan harian, kalium
banyak terbuang (diare, diabetik asidosis).
Cairan Koloid
Yang termasuk golongan ini adalah:
1. Albumin
2. Bloood product: RBC
3. Plasma protein fraction: plasmanat
4. Koloid sintetik: dextran, hetastarch
Berdasarkan tujuan pemberian cairan, ada 3 jenis:
1. Cairan rumatan
Cairan hipotonis: D5%, D5%+1/4NS dan D5%+1/2NS
2. Cairan pengganti
Cairan hipotonis: RL, NaCl 0,9%, koloid
3. Cairan khusus
Cairan hipertonis: NaCl 3%, Manitol 20%, Bicnat
Kristaloid dibanding Koloid
Resusitasi dengan kristaloid akan menyebabkan ekspansi ke ruang interstisial,
sedangkan koloid yang hiperonkotik akan cenderung menyebabkan ekspansi ke volume
intravaskuler dengan menarik cairan dari ruang interstitial. Koloid isoonkotik akan mengisi
ruang intravaskuler tanpa mengurangi volume interstisial.
Secara fisiologis kristaloid akan lebih menyebabkan edema dibandingkan koloid.
Pada keadaan permeabilitas yang meningkat, koloid ada kemungkinan akan merembes ke
dalam ruang interstisial dan akan meningkatkan tekananan onkotik plasma. Peningkatan
tekanan onkotik plasma ini dapat menghambat kehilangan cairan dari sirkulasi.
23

Keunggulan koloid terhadap respons metabolik adalah meningkatkan pengiriman


oksigen ke jaringan (DO2) dan konsumsi oksigen (VO2) serta menurunkan laktat serum.
DO2 dan VO2 dapat menjadi indikator untuk mengetahui prognosis pasien.
Efek terhadap Volume Intravaskuler
Antara ruang intravaskuler dan interststial dibatasi oleh dinding kapiler yang
permiabel terhadap air dan elektrolit tetapi impermeabel terhadap makro (protein plasma).
Cairan dapat melewati dinding kapiler akibat adanya tekanan hidrostatik. Bila tekanan
onkotik menurun maka tekanan hidrostatik lebih besar, sehingga akan mendorong cairan
dari intervaskuler ke interstisial.
Efek kristaloid terhadap volume intravaskuler jauh lebih singkat dibanding koloid.
Ini karena kristaloid dengan mudah didistribusi ke cairan ekstraseluler, hanya sekitar 20%
elektrolit yang diberikan akan tinggal di ruang intravaskuler. Waktu paruh intravaskuler
yang lama sering dianggap sebagai sifat koloid yang menguntungkan. Hal ini akan
merugikan jika terjadi hemodilusi yang berlebihan atau terjadi hipovolemia yang tidak
sengaja, khususnya pada pasien penyakit jantung.
Kristaloid akan menyebabkan terjadinya hipovolemia pasca resusitasi. Resusitasi
dengan kristaloid dan koloid sampai saat ini masih kontroversi. Untuk menentukan apakah
diberikan kristaloid, harus dilihat kasus per kasus.
Efek terhadap Volume Interstitial
Pasca syok hemoragik akan terjadi perubahan cairan interstitial. Pada syok terjadi
defisit cairan interstitial, pendapat lain yang menyatakan volume cairan interstitial
meningkat pasca syok hemoragik. Kedua pendapat yang bertentangan ini mungkin bias
diterima, karena pada syok hemoragik dini dapat terjadi defisit cairan interstitial sedangkan
pada syok hemoragik lanjut atau syok septik akan terjadi perubhan permeabilitas kapiler
sehingga volume cairan interstitial meningkat. Pada keadaan volume cairan interstitial
berkurang maka kristaloid lebih efektif untuk mengantikan defisit volume dibanding
koloid.
Distribusi koloid berbeda antara volume intravaskuler dan interstitial. Jika volume
cairan interstitial bertambah, maka garam hipertonik atau albumin 25% akan lebih efektif,
karena cairan interstitial akan berpindah ke ruang intravaskuler. Pada pemberian koloid
dapat terjadi reaksi-reaksi yang tidak diinginkan, seperto gangguan hemostasis yang
berhubungan dengan dosis. Pada umumnya pemberian koloid maksimal adalah 33 ml/kg
BB.
Darah
24

Transfusi darah masih mempunyai peranan penting pada penanganan syok


hemoragik dan diperlukan bila kehilangan darah mencapau 25% volume darah sirkulasi.
Pada syok lainnya darah berguna untuk mengembalikan curah jantung bila hematokrit
rendah atau bila cairan gagal mempertahankan perfusi. Transfusi darah mempunyai banyak
resiko, seperti penularan penyakit dan reaksi transfusi lainnya.
Kadar hemoglobin merupakan faktor penentu utama pada pengiriman oksigen ke
jarinagan. Pengiriman oksigen ditentukan oleh cardiac output dan kandungan oksigen
arterial (CaO2) berkaitan dengan saturasi oksigen arterial (SO2) dan Hb.
VO2 (oksigen uptake = demand = consumption) dapat digunakan untuk menilai
adequate tissue oxygenation. VO2 meningkat setelah cardiac output meningkat, tetapi VO 2
tidak akan meningkat setelah peningkatan hematokrit pasca transfusi darah.
Ini menunjukkan bahwa oksigen uptake (VO2) lebih rasinal dipakai sebagai
petunjuk untuk dilakukan transfusi dibanding serum hemoglobin secara individual.
III. Elektrolit
Gangguan elektrolit yang sering mengancam kehidupan pada pasien keadaan kritis
adalah kalium, natrium, kalsium, magnesium dan fosfat. Urgensi terapi tergantung pada
keadaan klinis, bukan kadar absolut (absolute electrolyte value).
a. Kalium
o Kalium penting untuk mempertahankan membran potensial elektrik.
o Gangguan kadar kalium terutama mempengaruhi system kardiovaskuler,
neuromuskuler dan gastrointestinal
o Kadar normal: 3,5-5,5 mEq/L
b. Natrium
o Natrium penting dalam menentukan osmolaritas darah, berperan pada
regulasi volume ekstrasel
o Gangguan natrium mempengaruhi neuronal dan neuromuscular junction
o Kadar normal: 135-145 mg/L
c. Kalsium
o Kalsium berfungsi untuk kontraski otot, transmisi impuls saraf, sekresi
hormone, pembekuan darah, pembelahan dan pergerakan sel dan
penyembuhan luka
o Kadar kalsium sebaiknya dinilai dari ionized calcium
o Kadar normal: 1-1,25 m.mol/L
d. Fosfat
o Berperan dalam metabolism energy
e. Magnesium
o Berfungsi untuk transver energy dan stabilitas elektrik.
DAFTAR PUSTAKA
25

Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia 2009.
Omuigui . The Anaesthesia Drugs Handbook, 2nded, Mosby year Book Inc, 1995.
Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
FK UI. Jakarta
Leksana E. Terap Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
Karijadi, Chasnak S, Rahardjo E, Wahyu Prajitno B. Simposium dan Penanganan Syok.
Surabaya, 1990, 10 Februari.
Sunatrio S. Terapi Cairan Kristaloid dan Koloid untuk Resusitasi Pasien Kritis. Second
Fundamental Course on Fliud Therapy. PT Widatra Bhakti: Jakarta, 2003.

26

Anda mungkin juga menyukai