Anda di halaman 1dari 584














BAB III. TATA CARA PERIZINAN USAHA SEKTOR KEHUTANAN................


A. Mekanisme Pengajuan Perizinan.........................................
B. Tata Cara Perizinan...........................................................
1. Izin Pemanfaatan Kayu (IPK)........................................
2. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK)........................................................................
3. Izin Pengusahaan Pariwisata Alam.................................
4. Izin Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL).........
5. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan..................................

19
19
21
21

LAMPIRAN............................................................................................

53

31
35
38
43

Perizinan Usaha Sektor Kehutanan

iii









Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan


Raya dan Taman Wisata Alam.
13. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menhut-II/2010 tentang
Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau IUPHHK Hutan
Tanaman Industri pada Hutan Produksi.
14. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.14/Menhut-II/2011 tentang
Izin Pemanfaatan Kayu.
15. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.17/Menhut-II/2011 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.33/MenhutII/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi.
16. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
17. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Nomor P.24/Menhut-II/2011 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2009
tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan
Restorasi Ekosistem.
18. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.44/Menhut-II/2011 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.33/MenhutII/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi.
19. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.53/Menhut-II/2011 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008
tentang Hutan Desa.
20. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.55/Menhut-II/2011 tentang
Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Rakyat
dalam Hutan Tanaman.
21. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.3/Menhut-II/2012 tentang
Rencana Kerja pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan, Hutan Kayu, Hutan Tanaman
Rakyat.
22. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.4/Menhut-II/2012 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang
Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan
Raya dan Taman Wisata Alam.
23. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.22/Menhut-II/2012 tentang
Pedoman Kegiatan Usaha Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Lindung.
24. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.31/Menhut-II/2012 tentang
Lembaga Konservasi.





25. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.12/Menhut-II/2013 tentang


Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat.
26. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang
Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.

vi





2

6) Bagi bidang usaha yang dipersyaratkan kemitraan :


a) Kesepakatan/perjanjian

kerjasama

tertulis

mengenai

kesepakatan bermitra dengan usaha kecil, yang antara lain


memuat nama dan alamat masing-masing pihak, pola kemitraan
yang akan digunakan, hak dan kewajiban masing-masing pihak,
dan bentuk pembinaan yang diberikan kepada usaha kecil.
b) Akte pendirian atau perubahan atau risalah Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) mengenai penyertaan usaha kecil
sebagai pemegang saham, apabila kemitraan dalam bentuk
penyertaan saham.
c) Surat pernyataan di atas materai dari usaha kecil yang
menerangkan bahwa yang bersangkutan memenuhi kriteria
usaha kecil sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2008.
d) Bagi permohonan yang memenuhi persyaratan, Kepala BKPM
atau Ketua BKPMD Propinsi akan menerbitkan Surat Persetujuan
Penanaman Modal Dalam Negeri (SP-PMDN).

2. Surat Persetujuan Penggabungan Perusahaan/Merger (Formulir model


III/D)
Persyaratan

untuk

mendapatkan

persetujuan

penggabungan

perusahaan/Merger :
a. Rekaman Izin Usaha Tetap (IUT) atau Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
bagi yang telah berproduksi komersial tetapi belum memiliki IUT dari
masing-masing perusahaan (PMDN) atau surat izin usaha bagi Non
PMDN.
b. Rekaman surat persetujuan dan perubahannya untuk masing-masing
perusahaan PMDN.
c.

Rekaman

Akta

Pendirian

Perusahaan

dan

perubahannya dengan

pengesahannya dari Kementerian Hukum dan HAM untuk masing-masing


perusahaan.
d. Rekaman risalah RUPS yang diketahui oleh Notaris atau Pernyataan
Keputusan Rapat/Berita Acara Rapat dalam bentuk Akta Notaris, tentang

4

persetujuan penggabungan dari pemegang saham masing-masing


perusahaan.
e. Rekaman Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) terakhir bagi
perusahaan yang akan meneruskan kegiatan usaha.
f.

Surat Kuasa bermaterai cukup, bila penandatangan dan/atau yang


mengurus permohonan tidak dilakukan oleh pemohon sendiri.

3. Surat Persetujuan Perubahan Status PMA menjadi PMDN (Formulir Model


III/A)
a. Risalah

Rapat

Umum

Pemegang

Saham

(RUPS)/Keputusan

Sirkular/Kesepakatan Para Pemegang Saham, yang ditandatangani oleh


seluruh pemegang saham yang diketahui oleh notaris atau Pernyataan
Keputusan Rapat/Berita Acara Rapat dalam bentuk Akta Notaris, yang
memuat perjanjian kesepakatan perubahan modal perseroan.
b. Rekaman Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir.
c.

Surat Persetujuan/Izin Usaha Tetap (IUT) yang telah dimiliki perusahaan.

d. Surat Kuasa bermaterai cukup, bila penandatangan dan/atau yang


mengurus permohonan tidak dilakukan oleh pemohon sendiri.

4. Surat Persetujuan Perluasan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri


(Formulir model II/PMDN)
a. Rekaman IUT atau BAP, kecuali jika proyek perluasan yang dimohonkan
berbeda lokasi, atau berbeda bidang usaha dan/atau jenis produksi
dengan proyek sebelumnya.
b. Uraian proses produksi/kegiatan untuk bidang usaha yang tidak sejenis
dengan bidang usaha yang disebut dalam IUT/BAP dalam proyek
sebelumnya, dilengkapi :
1) Diagram alur proses dan uraian proses produksi serta jenis bahan
baku/penolong bagi industri pengolahan, atau
2) Uraian kegiatan usaha bagi kegiatan bidang usaha jasa.
c.

Rekaman LKPM periode terakhir dan surat persetujuan BKPM.

d. Surat kuasa bermaterai cukup, bila penandatangan dan/atau yang


mengurus permohonan tidak dilakukan oleh pemohon sendiri.




5

5. Surat Persetujuan Perpanjangan Waktu Penyelesaian Proyek PMDN dan PMA


(Formulir model III/C)
a. Rekaman Surat Persetujuan Pabean bagi perusahaan yang sudah
dimiliki.
b. Rekaman

Surat Persetujuan

PMDN atau

Surat

Persetujuan PMA

beserta perubahannya.
c.

Rekaman Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir.

d. Surat Kuasa bermaterai cukup, bila penandatangan dan/atau yang


mengurus permohonan tidak dilakukan oleh pemohon sendiri.

6. Surat Permohonan Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) dan


Rekomendasi TA-01 Dalam Rangka PMDN/PMA baru, Perpanjangan dan
Pindah Jabatan (Formulir IMTA).
a. Lampiran Bagi Permohonan Rekomendasi TA.01
1) Rekaman paspor lengkap yang masih berlaku dari TKWNAP yang
bersangkutan.
2) Riwayat hidup terakhir (asli) yang ditandatangani oleh yang
bersangkutan.
3) Rekaman ijazah dan/atau sertifikat serta bukti pengalaman kerja
dalam bahasa Inggris atau terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh
penerjemah tersumpah.
4) Rekaman akta atau risalah RUPS tentang penunjukan/ pengangkatan
untuk jabatan direksi.
5) Rekaman SK RPTK yang berlaku.
6) Rekaman Surat Keputusan perusahaan tentang pengangkatan
sebagai karyawan dan penunjukan sebagai TKI pendamping.
7) Rekaman KTP TKI pendamping yang masih berlaku.
8) Bukti Exit Permit Only (EPO)/copy IMTA untuk TKWNAP yang pernah
bekerja di Indonesia sebelumnya.
9) Surat Kuasa bermaterai cukup, bila penandatangan dan/atau yang
mengurus permohonan tidak dilakukan oleh pemohon sendiri.

6

b. Lampiran Bagi Permohonan IMTA Baru


1) Pas Photo 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar,
2) Rekaman SP PMDN/PMA dan perubahannya,
3) Rekaman paspor lengkap yang masih berlaku,
4) Bukti pembayaran Dana Pengembangan Keahlian dan Ketrampilan
(DPKK) dari Nota Kredit,
5) Program pendidikan dan pelatihan TKI pendamping,
6) Surat Kuasa bermaterai cukup, bila penandatanganan dan/atau yang
mengurus permohonan tidak dilakukan oleh pemohon sendiri.
c.

Lampiran Bagi Permohonan Perpanjangan IMTA


1) Surat Keputusan Izin Memperkerjakan Tenaga Asing (IMTA),
2) Rekaman paspor lengkap yang masih berlaku,
3) Bukti pembayaran Dana Pengembangan Keahlian dan Ketrampilan
(DPKK) dari Nota Kredit,
4) Rekaman RPTK yang masih berlaku,
5) Pas Photo 4x6 sebanyak 2 (dua) lembar,
6) Laporan realisasi pelaksanaan program pendidikan dan latihan
dan/atau program pengindonesiaan tenaga kerja,
7) Surat Kuasa bermaterai cukup, bila penandatangan dan/atau yang
mengurus permohonan tidak dilakukan oleh pemohon sendiri.

7. Surat Permohonan Untuk Mendapatkan Izin Usaha/Izin Usaha Tetap Dalam


Rangka PMDN (formulir IUT)
a. Rekaman

akta

pendirian

dan

perubahan

serta

pengesahan/

persetujuan/tanda penerimaan laporan dari Kementerian Hukum dan


HAM.
b. Bukti penguasaan/penggunaan tanah atas nama perusahaan :
1) Rekaman

sertifikat

Hak

Atas Tanah (HGB atau HGU atau Hak

Pakai) atau akta jual beli tanah oleh PPAT, atau


2) Rekaman perjanjian sewa menyewa tanah.
c.

Bukti penguasaan/penggunaan gedung/bangunan :


1) Rekaman Izin Mendirikan Bangunan (IMB), atau




7

2) Rekaman

akta

jual

beli/perjanjian

sewa

menyewa

gedung/

bangunan, atau
3) Bukti sah lainnya.
d. Rekaman NPWP.
e. Rekaman izin Undang-Undang Gangguan (UUG)/HO bagi bidang usaha
selain perdagangan dan jasa konsultasi, kecuali yang diwajibkan AMDAL.
f.

Rekaman Surat Izin Tempat Usaha (SITU) bagi jasa perdagangan dan
jasa konsultasi.

g. Rekaman persetujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan


Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) bagi perusahaan yang kegiatan
usahanya wajib analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau
Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) atau Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL)
bagi perusahaan yang kegiatan usahanya tidak wajib AMDAL.
h. Rekaman Surat Persetujuan PMA/PMDN yang dimiliki.
i.

Rekaman Izin Usaha Tetap yang dimiliki (untuk permohonan IUT


perluasan/Merger/Alih Status).

j.

Surat Kuasa bermaterai cukup, bila penandatangan dan/atau yang


mengurus permohonan tidak dilakukan oleh pemohon sendiri.

k. Rekaman LKPM-LI semester akhir.


l.

Persyaratan lain sebagaimana tercantum di dalam Surat Persetujuan


dan/atau Daftar Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan
(Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 atau perubahannya).

8. Izin-izin Pelaksanaan Penanaman Modal


a. Diperoleh di Pusat (BKPM atas nama Menteri Teknis)
1) Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT),
2) Rencana Penempatan Tenaga Kerja (RPTK),
3) TA.01,
4) Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA),
5) SP Pabean barang modal/bahan baku,

8

b. Diperoleh di Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota)


1) Izin Lokasi,
2) Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
3) Izin Undang-Undang Gangguan (UUG)/Hinder Odoratie (HO),
4) Hak Atas Tanah,
5) Izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),
6) Izin usaha sektor kehutanan :
a) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK),
b) Izin Pemanfaatan Kayu (IPK),
c) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK),
d) Izin Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Taman Hutan Raya Dan Taman Wisata Alam,
e) Izin Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL).

Izin-izin yang diperoleh di Pusat dan Daerah dilampirkan sebagai persyaratan


permohonan Izin Usaha Tetap (IUT).

B. Penanaman Modal Asing (PMA)


Permohonan Penanaman Modal baru dalam rangka PMA dapat diajukan oleh :
x

WNA dan/atau,

Badan Hukum Asing dan/atau,

Perusahaan PMA dan/atau,

Warga Negara Asing dan/atau Badan Hukum Asing dan/atau perusahaan


PMA bersama dengan WNI dan/atau Badan Hukum Indonesia (dalam
bentuk Joint Venture).

Persyaratan dan prosedur investasi yang harus dimiliki oleh Penanam Modal
Asing (PMA) sebagai berikut :
1. Surat Persetujuan PMA/SP-PMA (formulir model I/PMA)
a. Bagi Peserta Asing :
1) Akta pendirian perusahaan dalam bahasa Inggris atau bahasa
Indonesia; atau
2) Foto copy Paspor bagi perorangan.




9

b. Bagi perusahaan PMA yang sedang berjalan :


1) Akta pendirian perusahaan dan perubahan apa saja,
2) Pengesahan dari Menkumham,
3) NPWP,
4) Foto copy Pengesahan Penanaman Modal (SP/IUT BKPM).
c.

Bagi Peserta Indonesia :


1) Akta pendirian perusahaan dan perubahan apa saja dan pengesahan
dari Menkumham; atau,
2) KTP bagi perorangan,
3) NPWP.

d. Bagi perusahaan PMA yang baru bergabung (PT. PMA)


1) Akta pendirian perusahaan,
2) Pengesahan dari Menkumham.
e. Bagan arus dan uraian proses produksi serta perlengkapan bahan baku
bagi industri pengolahan atau uraian/penjelasan kegiatan usaha bagi
sektor pelayanan.
f.

Surat rekomendari dari menteri teknis atau badan-badan lain yang


terkait, bila diperlukan.

g. Bila rekomendasi tersebut belum ada, perusahaan boleh menyerahkan


permohonan penanaman modal kepada BKPM dengan melampirkan
fotocopy surat rekomendasi dari menteri teknis atau bahan-bahan yang
terkait termasuk bukti penerimaan dari instansi terkait. BKPM akan
mengirim sepucuk surat ke instansi terkait mengenai permohonan
rekomendasi dari perusahaan, dan bila dalam 17 (tujuh belas) hari kerja
tidak ada respon atau rekomendasi, BKPM akan menerbitkan surat
Pengesahan Penanaman Modal.
h. Surat Kuasa kepada yang menandatangani dan/atau menyerahkan
permohonan tersebut jika peserta diwakilkan oleh pihak lain.

10

2. Surat Persetujuan pendirian kantor perwakilan di Indonesia (formulir model


KPPA)
a. Surat penunjukan dari perusahaan induk.
b. Surat kuasa untuk menandatangani permohonan jika peserta diwakilkan
kepada pihak lain.
c.

Akta pendirian perusahaan dari perusahaan induk dan perubahan apa


saja.

d. Fotocopy paspor yang sah (bagi orang asing) atau fotocopy KTP (bagi
orang Indonesia) yang akan diusulkan menjadi seorang eksekutif
perwakilan.
e. Surat pernyataan mengenai keinginan tinggal, dan hanya bekerja
sebagai jabatan eksekutif kantor perwakilan tanpa melakukan bisnis lain
di Indonesia.

3. Surat Persetujuan Perubahan Status PMDN atau Non PMDN/PMA menjadi


PMA (Formulir model III/B)
a. Dokumen Perusahaan PMDN yang menjual saham, meliputi :
1) Rekaman

Surat Persetujuan PMDN beserta perubahannya atau

Rekaman Izin Usaha/Izin Usaha Tetap bagi perusahaan yang telah


berproduksi,
2) Rekaman

Akta

Pendirian Perusahaan dan

Perubahannya

yang

telah disahkan Kementerian Hukum dan HAM,


3) Risalah

Rapat

Umum

Pemegang

Saham

(RUPS)/Keputusan

Sirkular/Kesepakatan Para Pemegang Saham, yang ditandatangani


oleh seluruh pemegang saham yang diketahui oleh Notaris atau
pernyataan Keputusan Rapat/Berita Acara Rapat dalam bentuk Akta
Notaris, yang memuat perjanjian kesepakatan penjualan saham dan
perubahan status perusahaan menjadi PMA,
4) Rekaman Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode
terakhir.




11

b. Dokumen perusahaan Non PMDN/PMA yang menjual saham, meliputi:


1) Rekaman Akta Pendirian Perusahaan dan Perubahannya yang telah
disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM,
2) Rekaman

Persetujuan

Prinsip

dari

Kementerian

Teknis

bagi

perusahaan yang belum berproduksi atau Izin Usaha/Izin Usaha


Tetap bagi perusahaan yang telah berproduksi,
3) Risalah

Rapat

Umum

Pemegang

Saham

(RUPS)/Keputusan

Sirkular/Kesepakatan Para Pemegang Saham, yang ditandatangani


oleh seluruh pemegang saham dan diketahui oleh Notaris atau
Pernyataan Keputusan Rapat/Berita Acara Rapat dalam bentuk Akta
Notaris, serta memuat perjanjian kesepakatan penjualan saham dan
perubahan status perusahaan menjadi PMA,
4) Rekaman NPWP.
c.

Dokumen Perusahaan PMA yang membeli saham, meliputi :


1) Rekaman Surat Persetujuan dan/atau Izin Usaha/Izin Usaha Tetap,
2) Rekaman LKPM periode terakhir,
3) Risalah

Rapat

Umum

Pemegang

Saham

(RUPS)/Keputusan

Sirkular/Kesepakatan Para Pemegang Saham, yang ditandatangani


oleh seluruh pemegang saham dan diketahui oleh Notaris atau
Pernyataan Keputusan Rapat/Berita Acara Rapat dalam bentuk Akta
Notaris, serta memuat perjanjian kesepakatan pembeli saham,
4) Rekaman Akta Pendirian Perusahaan dan perubahannya yang telah
disahkan Kementerian Hukum dan HAM.
d. Dokumen Warga Negara Asing dan/atau Badan hukum asing yang
membeli saham, meliputi :
1) Rekaman paspor yang masih berlaku bagi perorangan Warga Negara
Asing,
2) Rekaman Akta Pendirian dan perubahannya serta terjemahannya
dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
e. Surat rekomendasi dari instansi terkait, jika dipersyaratkan. Dalam hal
surat

rekomendasi

belum

ada,

perusahaan

dapat

mengajukan

permohonan penanaman modal ke BKPM dengan melampirkan surat


permohonan rekomendasi kepada instasi teknis disertai dengan tanda

12

terima surat permohonan tersebut. Selanjutnya BKPM akan mengirim


surat kepada instansi teknis tentang rekomendasi tersebut dan apabila
dalam jangka waktu paling lama 17 (tujuh belas) hari kerja rekomendasi
tersebut belum dikeluarkan atau tidak ada tanggapan, maka BKPM akan
mengeluarkan Surat Persetujuan Penanaman Modal yang bersangkutan.
f.

Surat Kuasa bermaterai cukup, bila penandatangan dan/atau yang


mengurus permohonan tidak dilakukan oleh pemohon sendiri.

4. Surat Persetujuan Perluasan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing


(formulir model II/PMA)
a. Rekaman IUT atau BAP, kecuali jika proyek perluasan yang dimohonkan
berbeda lokasi, atau berbeda bidang usaha dan/atau jenis produksi
dengan proyek sebelumnya.
b. Uraian proses produksi/kegiatan untuk bidang usaha yang tidak sejenis
dengan bidang usaha yang disebut dalam IUT/BAP dalam proyek
sebelumnya, dilengkapi :
1) Diagram alur proses dan uraian proses produksi serta jenis bahan
baku/penolong bagi industri pengolahan, atau
2) Uraian kegiatan usaha bagi kegiatan bidang usaha jasa.
c.

Rekaman LKPM periode terakhir dan surat persetujuan BKPM.

d. Surat kuasa bermaterai cukup, bila penandatangan dan/atau yang


mengurus permohonan tidak dilakukan oleh pemohon sendiri.

5. Surat Persetujuan Perpanjangan Waktu Penyelesaian Proyek PMA (formulir


model III/C)
a. Rekaman Surat Persetujuan Pabean bagi perusahaan yang sudah
dimiliki;
b. Rekaman Surat Persetujuan PMDN atau Surat Persetujuan PMA beserta
perubahannya;
c.

Rekaman Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir;

d. Surat Kuasa bermaterai cukup, bila penandatangan dan/atau yang


mengurus permohonan tidak dilakukan oleh pemohon sendiri.




13

6. Surat Permohonan Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) dan


Rekomendasi TA-01 Dalam Rangka PMA baru, Perpanjangan dan Pindah
Jabatan (Formulir IMTA)
a. Lampiran bagi Permohonan Rekomendasi TA.01
1) Rekaman paspor lengkap yang masih berlaku dari TKWNAP yang
bersangkutan,
2) Riwayat hidup terakhir (asli) yang ditandatangani oleh yang
bersangkutan,
3) Rekaman ijazah dan/atau sertifikat serta bukti pengalaman kerja
dalam Bahasa Inggris atau terjemahannya dalam Bahasa Indonesia
oleh penerjemah tersumpah,
4) Rekaman akta atau risalah RUPS tentang penunjukan/ pengangkatan
untuk jabatan Direksi,
5) Rekaman SK RPTK yang berlaku,
6) Rekaman Surat Keputusan perusahaan tentang pengangkatan
sebagai karyawan dan penunjukan sebagai TKI pendamping,
7) Rekaman KTP TKI pendamping yang masih berlaku,
8) Bukti Exit Permit Only (EPO)/copy IMTA untuk TKWNAP yang pernah
bekerja di Indonesia sebelumnya,
9) Surat Kuasa bermaterai cukup, bila penandatangan dan/atau yang
mengurus permohonan tidak dilakukan oleh pemohon sendiri.
b. Lampiran bagi Permohonan IMTA Baru
1) Pas photo 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar,
2) Rekaman SP PMDN/PMA dan perubahannya,
3) Rekaman paspor lengkap yang masih berlaku,
4) Bukti pembayaran Dana Pengembangan Keahlian dan keterampilan
(DPKK) dari Nota Kredit,
5) Program pendidikan dan pelatihan TKI pendamping,
6) Surat Kuasa bermaterai cukup, bila penandatangan dan/atau yang
mengurus permohonan tidak dilakukan oleh pemohon sendiri.
c.

Lampiran bagi Permohonan Perpanjangan IMTA


1) Surat Keputusan Izin Memperkerjakan Tenaga Asing (IMTA),
2) Rekaman paspor lengkap yang masih berlaku,

14

3) Bukti pembayaran Dana Pengembangan Keahlian dan Ketrampilan


(DPKK) dari Nota Kredit,
4) Rekaman RPTK yang masih berlaku,
5) Pas photo 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar,
6) Laporan realisasi pelaksanaan program pendidikan dan latihan
dan/atau program pengindonesiaan tenaga kerja,
7) Surat Kuasa bermaterai cukup, bila penandatangan dan/atau yang
mengurus permohonan tidak dilakukan oleh pemohon sendiri.

7. Surat Permohonan Untuk Mendapatkan Izin Usaha/Izin Usaha Tetap Dalam


Rangka PMA (formulir IUT)
a. Rekaman

Akta

Pendirian

Perusahaan

dan

perubahan

pengesahan/persetujuan/tanda penerimaan laporan dari

serta

Kementerian

Hukum dan HAM.


b. Bukti penguasaan/penggunaan tanah atas nama perusahaan :
1) Rekaman sertifikat Hak Atas Tanah (HGB atau HGU atau Hak Pakai
atau akta jual beli tanah oleh PPAT), atau
2) Rekaman perjanjian sewa menyewa tanah.
c.

Bukti penguasaan/penggunaan gedung/bangunan :


1) Rekaman Izin Mendirikan Bangunan (IMB), atau
2) Rekaman

akta

jual

beli/perjanjian

sewa

menyewa

gedung/

bangunan, atau
3) Bukti sah lainnya.
d. Rekaman NPWP.
e. Rekaman izin Undang-Undang Gangguan (UUG)/HO bagi bidang usaha
selain perdagangan dan jasa konsultasi, kecuali yang diwajibkan AMDAL.
Rekaman Surat Izin Tempat Usaha (SITU) bagi jasa perdagangan dan
jasa konsultasi.
f.

Rekaman persetujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan


Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) bagi perusahaan yang kegiatan
usahanya wajib Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau
Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan




15

Lingkungan (UPL) atau Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL)


bagi perusahaan yang kegiatan usahanya tidak wajib AMDAL.
g. Rekaman Surat Persetujuan PMA yang dimiliki.
h. Rekaman Izin Usaha Tetap yang dimiliki (untuk permohonan IUT
perluasan/Merger/Alih Status).
i.

Surat Kuasa bermaterai cukup, bila penandatangan dan/atau yang


mengurus permohonan tidak dilakukan oleh pemohon sendiri.

j.

Rekaman LKPM-LI semester akhir.

k. Persyaratan lain sebagaimana tercantum di dalam Surat Persetujuan


dan/atau Daftar Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan
(Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 atau perubahannya).
8. Izin-izin Pelaksanaan Penanaman Modal
Perizinan/persetujuan yang diperlukan dalam rangka PMA adalah :
Surat Persetujuan PMA/SP-PMA (formulir Model I PMA)
a. SP-PMA dipergunakan sebagai dasar pengurusan persetujuan/perizinan
pelaksanaan lain baik di pusat maupun di daerah.
b. Permohonan PMA baru diajukan kepada Kepala BKPM dengan lampiran
bukti diri (paspor).
c.

Bagi permohonan yang memenuhi persyaratan maka Kepala BKPM


selambat-lambatnya dalam 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan
diterima dengan lengkap dan benar akan menerbitkan Surat Persetujuan
Penanaman Modal Asing (SP-PMA). SP-PMA digunakan untuk melengkapi
izin-izin pelaksanaan penanaman modal.

Izin izin Pelaksanaan dalam rangka PMA ada yang diurus di Pusat dan ada
yang diurus di daerah. Izin pelaksanaan tersebut meliputi :
a. Diperoleh di Pusat (BKPM atas nama Menteri Teknis)
Perizinan/persetujuan PMA yang diurus/dikeluarkan di BKPM atas nama
Menteri Teknis terkait adalah :
1) Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT),
2) Rencana Penempatan Tenaga Kerja (RPTK),
3) TA.01,
4) Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA),
5) Surat Persetujuan Pabean Barang Modal/Bahan Baku.
16

b. Diperoleh di Pusat (Instansi selain BKPM)


1) Akte Pendirian Perusahaan (Kementerian Hukum dan Hak Azasi
Manusia),
2) NPWP (Kementerian Keuangan),
3) Kartu

Izin

Tinggal

Terbatas

(KITAS)

untuk

tenaga

asing

(Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia).


c.

Diperoleh di Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota)


Perizinan/persetujuan PMA yang diurus/dikeluarkan di daerah adalah :
1) Izin Lokasi,
2) Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
3) UUG/HO,
4) Hak Atas Tanah,
5) Izin Amdal,
6) Izin usaha sektor kehutanan :
a) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK),
b) Izin Pemanfaatan Kayu (IPK),
c) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK),
d) Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan (IUIPHH)
e) Izin Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Taman Hutan Raya Dan Taman Wisata Alam,
f)

Izin Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL).

Izin-izin yang diperoleh di Pusat dan Daerah dilampirkan sebagai persyaratan


permohonan Izin Usaha Tetap (IUT).




17

Dalam rangka mendorong pertumbuhan investasi sektor kehutanan dan peningkatan


perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar hutan, Undang-Undang Nomor 41 tahun
1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2008 mengatur secara garis besar bentuk pemanfaatan hutan yang wajib disertai
izin usaha pemanfatan hutan meliputi:
x

Pemanfaatan Kawasan (IUPK)

Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL);

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu (IUPHHK dan IUPHHBK); dan

Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu (IPHHK dan IPHHBK).

Bidang usaha potensial kehutanan selama ini telah diupayakan peningkatannya melalui
pelayanan perijinan usaha oleh Kementerian Kehutanan yang seyogyanya juga didukung
oleh iklim usaha yang kondusif bagi investor guna menghindari permasalahan yang
menghambat perkembangan investasi pada sektor kehutanan, seperti:
x

Aspek legal, tumpang tindih kewenangan terkait otonomi.

Aspek land, klaim masyarakat setempat (tenurial).

Aspek labour, UU tenaga kerja yang disempurnakan.

Aspek infrastruktur.

Pemberian pinjaman/kredit.

Tekanan dunia internasional.

Kementerian Kehutanan telah mengatur mekanisme dan tata cara perizinan usaha sektor
kehutanan sebagai berikut :
A. Mekanisme Pengajuan Perizinan
Mekanisme/bagan alir pelayanan perizinan dibuat sesederhana mungkin, sehingga
masyarakat cepat bisa memahami dalam mengurus perizinan dibutuhkan. Adapun
bagan alir/mekanisme perizinan di Kementerian Kehutanan adalah sebagai berikut :

18

Pemohon pertama-tama mengakses situs web pelayanan perizinan online dan


melakukan registrasi/pendaftaran online.

Pemohon setelah melakukan registrasi, admin perizinan akan mengecek berkas


yang diberikan oleh pemohon.

Jika persyaratan yang diberikan lengkap/memenuhi syarat maka pemohon akan di


kirimkan USER ID dan Password melalui E-mail.

Jika persyaratan tidak lengkap/tidak memenuhi syarat maka pemohon akan


dikirimkan pemberitahuan ketidakvalidan persyaratan melalui E-mail.

Mekanisme Perizinan Online


Mekanisme/bagan alir pelayanan perizinan dibuat sesederhana mungkin, sehingga
masyarakat cepat bisa memahami dalam mengurus perizinan dibutuhkan. Adapun
bagan alir/mekanisme perizinan di Kementerian Kehutanan adalah sebagai berikut :




19

Pemohon pertama-tama mengakses situs web portal perizinan dan melakukan


permohonan izin.

Pemohon mengirimkan persyaratan-persyaratan terkait perizinan yang dipilih secara


online melalui situs web portal perizinan.

Selanjutnya admin system akan menerima berkas dari pemohon dan cek
kelengkapan persyaratan.

Jika persyaratan tidak lengkap/tidak memenuhi syarat maka pemohon akan


dikirimkan pemberitahuan ketidaklengkapan data persyaratan melalui E-mail oleh

admin system
x

Jika persyaratan pemohon lengkap, admin system akan mengirimkan berkas


pemohon kepada admin perizinan yang dipilih.

Admin perizinan akan melakukan validasi sesuai dengan peraturan yang sudah
ditetapkan terkait perizinan yang dipilih.

Jika data persyaratan pemohon tidak valid maka admin perizinan akan memberikan
informasi kepada pemohon.

Jika data pemohon valid maka admin perizinan akan memberikan informasi kepada
pemohon dan memberikan surat izin.

B. Tata Cara Perizinan


1. Izin Pemanfaatan Kayu (IPK)
Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu merupakan izin untuk

20

memanfaatkan kayu dan/atau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dapat
dikonversi dan telah dilepas, dengan cara tukar menukar kawasan hutan,
penggunaan kawasan hutan pada hutan produksi atau hutan lindung dengan izin
pinjam pakai, dan dari Areal Penggunaan Lain yang telah diberikan izin peruntukan.
a. Kegiatan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK)
Kegiatan IPK dibedakan menjadi :
1) IPK pada APL yang telah dibebani izin peruntukan;
2) IPK pada HPK yang telah dikonversi atau tukar menukar kawasan hutan;
3) Kayu tidak ekonomis untuk IPK.

b. Pelaku Izin Pemanfaatan Kayu (IPK)


Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dapat dilakukan oleh :
1) Perorangan;
2) Koperasi;
3) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
4) Badan Usaha Milik Swasta (BUMS).

c.

Persyaratan Permohonan Pengajuan IPK


Pengajuan permohonan IPK harus dilengkapi dengan persyaratan sebagai
berikut :
1) Fotokopi Kartu Tanda Penduduk untuk pemohon perorangan atau Akte
Pendirian perusahaan pemohon beserta perubahannya;
2) Fotokopi izin peruntukan penggunaan lahan seperti izin bidang pertanian,
perkebunan, pemukiman, pembangunan transportasi, sarana prasarana
wilayah,

pembangunan

sarana

komunikasi

dan

informasi,

kuasa

pertambangan, PKP2B yang diterbitkan dan dilegalisir oleh pejabat yang


berwenang;
3) Peta lokasi yang dimohon.

d. Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Permohonan


Tata cara permohonan pengajuan IPK terbagi menjadi :
1) IPK pada APL yang telah dibebani izin peruntukan dilakukan dengan cara :




21

a) Pengajuan permohonan IPK pada areal yang telah ditentukan kepada


pejabat penerbit IPK dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi,
Kepala Balai, dan Kepala BPKH.
b) Permohonan IPK yang tidak memenuhi persyaratan, permohonan akan
ditolak oleh penerbit IPK dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari
kerja sejak permohonan diterima, apabila permohonan IPK memenuhi
persyaratan, maka pejabat penerbit IPK meminta pertimbangan teknis
kepada Kepala Dinas Provinsi dengan tembusan Kepala Balai dengan
melampirkan persyaratan permohonan.
c) Kepala Dinas Provinsi menerbitkan pertimbangan teknis atau penolakan
kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal, Bupati/Walikota, dan Kepala Balai dalam jangka
waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan pertimbangan
teknis.
d) Berdasarkan pertimbangan

teknis, Pejabat Penerbit IPK mewajibkan

kepada pemohon untuk :


x Melakukan timber cruising pada areal yang dimohon dengan
intensitas 5% untuk seluruh pohon dalam jangka waktu paling
lambat 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak diterimanya surat
perintah, dan membuat Rekapitulasi Laporan Hasil Cruising (RLHC);
dan
x Menuangkan RLHC dalam Berita Acara dan ditandatangani oleh
pengurus perusahaan dilengkapi Pakta Integritas yang berisi nama,
jabatan, alamat, dan pernyataan kebenaran pelaksanaan timber
cruising.
e) Apabila permohonan telah memenuhi persyaratan, maka Pejabat
Penerbit IPK memberikan surat persetujuan IPK sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan yang akan diteruskan dengan
penerbitan Keputusan Pemberian IPK.
f)

Apabila pemohon tidak melaksanakan kewajibannya, dalam waktu 50


(lima puluh) hari kerja, surat persetujuan IPK dibatalkan dengan
tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal, Direktur Jenderal
Planologi Kehutanan, Kepala Dinas Provinsi, dan Kepala Balai.

22

2) IPK pada HPK yang telah dikonversi atau tukar menukar kawasan hutan
dilakukan dengan cara :
a) Mengajukan

permohonan

kepada

pejabat

penerbit

IPK

dengan

tembusan kepada Direktur Jenderal, Direktur Jenderal Planologi


Kehutanan, Kepala Dinas Kabupaten/Kota, Kepala Balai, dan Kepala
BPKH.
b) Permohonan IPK yang tidak memenuhi persyaratan, maka Pejabat
Penerbit IPK menolak permohonan dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari kerja sejak permohonan diterima.
c) Apabila permohonan IPK memenuhi persyaratan, maka Pejabat
Penerbit IPK meminta pertimbangan teknis kepada Direktur Jenderal,
dengan tembusan kepada Kepala Balai yang dilampiri dengan
persyaratan permohonan.
d) Kepala Balai menyampaikan hasil penelaahan kegiatan fisik lapangan
kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak
tanggal diterimanya tembusan permintaan pertimbangan teknis.
e) Penerbitan pertimbangan teknis atau penolakan oleh Direktur Jenderal
kepada Pejabat Penerbit IPK dilakukan dalam jangka waktu 7 (tujuh)
hari kerja sejak tanggal diterimanya hasil penelaahan kegiatan fisik
lapangan yang ditembuskan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota,
Kepala Balai, dan Kepala BPKH.
f)

Pada areal yang telah diberikan dispensasi pada proses permohonan


pelepasan kawasan hutan pada HPK, dapat diberikan IPK dengan
mengacu pada ketentuan IPK pada HPK yang dikonversi sesuai
peraturan.

3) Kayu Tidak Ekonomis Untuk IPK


Permohonan kayu tidak ekonomis untuk IPK yaitu :
a) Untuk potensi kayu tidak ekonomis tidak memerlukan IPK dan dapat
melakukan kegiatan termasuk pembukaan lahan dan penebangan
pohon.
b) Potensi kayu tidak ekonomis apabila volume tegakan diameter30cm
dan paling banyak 50 m dalam satu calon IPK.




23

c) Potensi kayu tetap dikenakan kewajiban membayar penggantian nilai


tegakan yang didasarkan hasil timber cruising dengan intensitas 100%
untuk kayu berdiameter 30cm oleh Dinas Kabupaten/Kota dengan
penerbitan surat dari Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota.
d) Kayu hasil tebangan apabila telah dilunasi kewajiban terhadap negara
(penggantian nilai tegakan, PSDH dan DR) dapat diangkut dengan
dilengkapi dokumen angkutan sesuai peraturan perundangan.
e) Dokumen pengangkutan kayu hasil penebangan kayu tidak ekonomis
menggunakan

dokumen

SKSKB

yang

diterbitkan

secara

official

assessment oleh petugas Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota yang


ditunjuk dan FA-KB yang diterbitkan secara self-assessment.
f)

IPK diberikan paling lama untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang 1 (satu) kali, permohonan perpanjangan disampaikan
kepada Pejabat Penerbit IPK sesuai kewenangannya yang dilakukan
pada 2 (dua) bulan sebelum IPK berakhir.

e.

Berakhirnya Jangka Waktu IPK


IPK tidak berlaku lagi apabila :
1) Berakhirnya jangka waktu IPK;
2) Pencabutan IPK oleh pemberi izin sebagai sanksi;
3) Penyerahan kembali kepada pemberi izin sebelum jangka waktu izin
berakhir.

Pemberian Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dibedakan berdasarkan kawasan hutan


yang diusahakan sebagai berikut :
a. Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA)
1) Persyaratan administrasi

24

copy KTP/Akte Pendirian Perusahaan

Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

pernyataan bersedia membuka kantor cabang di hadapan notaris

rencana lokasi yang dimohon

rekomendasi Gubernur

pertimbangan teknis Bupati

analisis fungsi kawasan hutan dari Kepala Dinas Kehutanan

analisis fungsi kawasan hutan dari Kepala Balai Pemantapan Kawasan


Hutan

2) Persyaratan Teknis
Proposal Teknis
x Kondisi Umum
x Usulan Teknis

3) Prosedur
x Pendaftaran
x Penilaian Persyaratan Administrasi dan Teknis
x Penerbitan SP-1 (Penyusunan AMDAL)
x Penerbitan SP-2 (Penetapan
x

Working Area)

Drafting (Konsep) SK IUPHHK HA

x Pemenuhan Kewajiban (Pembayaran Iuran IUPHHK HA)


x Penerbitan SK

4) Waktu dan Biaya


Maksimum

waktu

yang

diperlukan

Kementerian

Kehutanan

untuk

memproses satu permohonan IUPHHK-HA adalah 125 hari kerja, dan tidak
dipungut biaya.




25

26

b. Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri
(IUPHHK-HTI)
1) Persyaratan Administrasi
x Permohonan IUPHHK-HTI
x Akte Pendirian Koperasi/Badan Usaha
x Surat Izin Usaha Dari Instansi Yang Berwenang
x Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
x pernyataan yang dibuat di hadapan notaris yang menyatakan kesediaan

untuk membuka kantor cabang di provinsi dan atau kabupaten/kota


x rencana lokasi yang di mohon yang dibuat oleh pemohon
x rekomendasi Gubernur
x pertimbangan Bupati
x pertimbangan teknis Kepala Dinas Kehutanan Kab/Kota
x analisis fungsi kawasan hutan oleh Kepala Dinas Kehutanan
x analisis fungsi kawasan hutan dari Kepala BPKH

2) Persyaratan Teknis
Proposal Teknis
x kondisi umum
x usulan teknis

3) Prosedur
x pendaftaran
x penilaian persyaratan administrasi dan teknis
x penerbitan SP-1 (penyusunan AMDAL)
x penerbitan SP-2 (penetapan
x

working area)

drafting (konsep) SK IUPHHK HTI

x pemenuhan kewajiban (pembayaran iuran IUPHHK HTI)


x penerbitan SK

4) Waktu dan Biaya


Maksimum waktu yang diperlukan Kementerian Kehutanan untuk memproses satu
permohonan IUPHHKHTI adalah 125 hari kerja, dan tidak dipungut biaya.




27

28

c.

Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Restorasi Ekosistem (IUPHHKRE)
1) Persyaratan Administrasi
x Copy KTP/Akte Pendirian Perusahaan beserta perubahannya
x Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Dari Instansi Yang Berwenang
x Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
x Pernyataan Bersedia Membuka Kantor Cabang di Provinsi dan atau

Kabupaten/Kota
x Rencana Lokasi Yang Dimohon Dengan Dilampiri Peta Skala Minimal 1 :

100.000 Untuk Luasan Diatas 100.000 Hektar Atau Skala 1 : 50.000


Untuk Luasan di Bawah 100.000 Hektar
x Rekomendasi

Gubernur

yang

Telah

Mendapatkan

Pertimbangan

Bupati/Walikota, Analisis Fungsi Kawasan dari Kadishut dan KBPKH, dan


Dilampiri Peta Lokasi skala 1 : 100.000
x Analisis Fungsi Kawasan Hutan Dari Dishut dan BPKH

2) Persyaratan Teknis
Proposal Teknis
x Kondisi Umum
x Usulan Teknis

3) Prosedur
x Pendaftaran
x Penilaian Persyaratan Administrasi dan Teknis
x Penerbitan SP-1 (Penyusunan AMDAL atau UKL-UPL)
x Penerbitan SP-2 (Penetapan
x

Working Area)

Drafting (Konsep) SK IUPHHK RE

x Pemenuhan Kewajiban (Pembayaran Iuran IUPHHK RE)


x Penerbitan SK

4) Waktu dan Biaya


Maksimum waktu yang diperlukan Kementerian Kehutanan untuk memproses satu
permohonan IUPHHK-RE adalah 125 hari kerja, dan tidak dipungut biaya.




29

30

2. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK)


Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu

dapat dilakukan di kawasan

hutan alam (HA) atau Hutan Tanaman (HT) dalam kawasan Hutan Produksi
sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/MenhutII/2008 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Dalam Hutan
Alam (IUPHHBK-HA) Atau Dalam Hutan Tanaman (IUPHHBK-HT) Pada Hutan
Produksi.

a. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan HHBK yaitu :


1) Dalam Hutan Alam
x Pemanenan;
x Pengayaan;
x Pemeliharaan;
x Pengamanan; dan
x Pemasaran hasil.
2) Dalam Hutan Tanaman
x Penanaman;
x Pemeliharaan;
x Pemanenan;
x Pengamanan; dan
x Pemasaran hasil.

Sistem budidaya HHBK dapat dilakukan melalui teknik bercocok tanam, mulai dari
memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman, dan
memanen sehingga menjadi satu siklus tertutup sebagai jaminan kelestarian hasil.
Komoditas yang merupakan HHBK dalam hutan alam yaitu : rotan, sagu, nipah,
bambu, getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, sena gaharu.

b. Pelaku Usaha Pemanfaatan HHBK


Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Dalam Hutan Alam atau
Hutan Tanaman dapat dilakukan oleh :




31

1) Perorangan;
2) Koperasi;
3) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
4) Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) Indonesia.

c.

Persyaratan dan Tata Cara Perizinan


1) Persyaratan permohonan IUPHHBK-HA atau IUPHHBK-HT
Dalam mengajukan permohonan izin usaha pemanfaatan HHBK dalam
hutan alam atau hutan tanaman, pelaku usaha diwajibkan untuk memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan yaitu :
x Copy KTP untuk perorangan, atau akte pendirian Koperasi/Badan Usaha
beserta perubahan-perubahannya diutamakan bergerak di bidang usaha
kehutanan/pertanian/perkebunan;
x Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
x Rekomendasi Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota apabila kewenangan

pemberian izin ada pada Menteri;


x Rekomendasi Bupati/Walikota apabila kewenangan pemberian izin ada

pada Gubernur;
x Rekomendasi

Kepala

Dinas

Kabupaten/Kota

apabila

kewenangan

pemberian izin ada pada Bupati/Walikota;


x Menyusun proyek proposal.

2) Ketentuan Khusus
Pada IUPHHBK dalam Hutan Tanaman terdapat ketentuan khusus
mengenai luas kawasan yang diperbolehkan untuk dikelola yaitu :
a) Rekomendasi Bupati, terbagi menjadi 2 (dua) sesuai dengan pelaku
usaha yaitu:
(1)

Perorangan dengan luas maksimal 10 (sepuluh) hektar

untuk

HHBK gaharu, kemiri, kayu putih, sagu, rotan, bambu, dan


gondorukem;
(2)

Koperasi, BUMN, BUMD, BUMS Indonesia luas maksimal 30 (tiga


puluh) hektar untuk HHBK gaharu, kemiri, kayu putih, rotan,
bambu, dan gondorukem, kecuali untuk sagu seluas 50 (lima
puluh) hektar.

32

b) Rekomendasi Menteri, luas areal yang diberikan lebih luas dari


rekomendasi Bupati.
c) Jangka waktu IUPHHBK-HA dan IUPHHBK-HT paling lama 25 (dua
puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi yang
dilakukan setiap 1 (satu) tahun oleh pemberi izin.

d. Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
(IUPHHBK) Dalam Hutan Alam (HA) atau Hutan Tanaman (HT)
1) Calon investor mengajukan permohonan IUPHHBK-HA atau IUPHHBK-HT
dengan kelengkapan persyaratan yang telah ditentukan kepada :
x Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Menteri Kehutanan, Gubernur,
Kepala Dinas Provinsi, dan Kepala BP2HP;
x Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Kehutanan, Bupati/Walikota
dan Kepala BP2HP;
x Menteri dengan tembusan kepada Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala
BP2HP.
2) Berdasarkan kelengkapan persyaratan yang telah ditentukan kepada
pemohon izin, maka permohonan IUPHHBK akan dilakukan penilaian oleh:
x Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk permohonan yang diajukan kepada
Bupati;
x Kepala Dinas Provinsi untuk permohonan yang diajukan kepada
Gubernur;
x Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan untuk permohonan yang
diajukan kepada Menteri
3) Apabila hasil penilaian tidak memenuhi persyaratan, maka pejabat penilai
akan mengeluarkan surat penolakan atas nama pejabat pemberi izin.
Namun apabila penilaian telah memenuhi persyaratan, maka hasil penilaian
akan disampaikan kepada pejabat pemberi izin untuk diterbitkan Keputusan
pemberian izin.
4) Penyelesaian proses perizinan sejak penilaian permohonan dan penerbitan
izin tidak boleh melebihi 30 (tiga puluh) hari kerja.
5) Pemegang IUPHHBK berhak melakukan kegiatan dan memperoleh hasil
usahanya sesuai dengan izin yang diperolehnya.




33

3. Izin Pengusahaan Pariwisata Alam


Izin pengusahaan pariwisata alam diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka
Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
a. Kegiatan yang dilakukan dalam pengusahaan pariwisata alam
Areal usaha pariwisata alam dapat dilaksanakan pada kawasan suaka
margasatwa, taman nasional (kecuali zona inti), taman wisata alam, dan taman
hutan raya dengan jenis usaha yang dilakukan yaitu :
1) Penyediaan jasa wisata alam (Ijin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam)
2) Penyediaan sarana wisata alam (Ijin Usaha Penyediaan Sarana Wisata
Alam)
b. Pelaku usaha pengusahaan pariwisata alam
1) Permohonan IUPJWA yang dilakukan di suaka margasatwa, taman nasional,
taman wisata alam dan taman hutan raya yaitu :
x Pada suaka margasatwa ijin diberikan pada perorangan.
x Pada taman nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya
diberikan pada perorangan, BUMN, BUMD, BUMS, dan koperasi.
2) Permohonan IUPSWA yang dilakukan di taman nasional, taman wisata alam
dan taman hutan raya diberikan pada BUMN, BUMD, BUMS, dan koperasi.

c.

Persyaratan Perizinan
Persyaratan administrasi yang diajukan oleh pemohon IUPJWA yaitu :
1) Untuk perorangan meliputi :
x Kartu tanda penduduk
x Nomor pokok wajib pajak
x Mengisi formulir yang disediakan oleh UPT
x Sertifikasi keahlian untuk jasa interpreter
2) Untuk BUMN, BUMD, BUMS atau koperasi meliputi :
x Akte pendirian badan usaha atau koperasi
x Surat izin usaha perdagangan
x Nomor pokok wajib pajak
x Surat keterangan kepemilikan modal atau referensi bank

34

x Profil perusahaan
x Rencana kegiatan usaha jasa yang akan dilakukan

d. Tata Cara Permohonan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam


1) Permohonan IUPJWA
x Permohonan IUPJWA di suaka margasatwa, taman nasional dan taman
wisata alam diajukan pada Kepala UPT dengan tembusan Kepala SKPD
yang membidangi urusan kepariwisataan setempat yang dilengkapi
dengan persyaratan administrasi sebagaimana tersebut di atas.
x Permohonan yang telah diajukan selambat-lambatnya 10 hari kerja sejak
diterima, Kepala UPT melakukan penilaian atas persyaratan dimaksud.
x Apabila

hasil

penilaian

tidak

sesuai

maka

Kepala

UPT

akan

mengembalikan permohonan kepada pemohon.


x Apabila permohonan telah sesuai dengan persyaratan, maka Kepala UPT
selambat-lambatnya

10

hari

kerja

menerbitkan

Surat

Perintah

Pembayaran Iuran IUPJWA (SPP-IUPJWA) kepada pemohon.


x SPP-IUPJWA harus dilunasi selambat-lambatnya 14 hari kerja setelah
diterima.
x Berdasarkan bukti pembayaran, Kepala UPT dalam waktu selambatlambatnya 10 hari kerja menerbitkan IUPJWA.
x Permohonan IUPJWA yang berada di lintas kabupaten/kota diajukan
kepada Kepala UPTD provinsi dengan tembusan kepada Kepala SKPD
yang membidangi urusan kepariwisataan di provinsi.
x Permohonan IUPJWA yang terdapat di 1 kabupaten/kota diajukan
kepada Kepala UPTD kabupaten/kota dengan tembusan kepada Kepala
SKPD yang membidangi urusan kepariwisataan di kabupaten/kota.

2) Permohonan IUPSWA
x Permohonan IUPSWA yang dilengkapi persyaratan administrasi dan
teknis (pertimbangan dari Kepala UPT setempat dan Kepala SKPD yang
membidangi kepariwisataan di provinsi, kabupaten/kota setempat)
diajukan kepada Menteri Kehutanan dengan tembusan kepada Sekretaris
Jenderal, Direktur Jenderal PHKA, Kepala UPTD yang membidangi urusan




35

kehutanan

di

bupati/walikota

provinsi,

kabupaten/kota

setempat,

dan

Kepala

setempat,
SKPD

gubernur

yang

atau

membidangi

kepariwisataan di provinsi, kabupaten/kota setempat.


x Selambat-lambatnya 10 hari sejak permohonan diterima, Menteri
Kehutanan menugaskan Direktur Jenderal PHKA untuk melakukan
penilaian persyaratan.
x Jika dianggap perlu Direktur Jenderal PHKA dapat menugaskan Direktur
Teknis terkait untuk melakukan penilaian permohonan.
x Apabila hasil penilaian tidak sesuai persyaratan, maka Menteri Kehutanan
atau

Direktur

Jenderal

PHKA

selambat-lambatnya

10

hari

kerja

mengembalikan permohonan.
x Apabila penilaian sesuai dengan persyaratan, Direktur Jenderal PHKA
selambat-lambatnya dalam waktu 10 hari kerja menyampaikan hasil
penialaian kepada Menteri Kehutanan.
x Menteri Kehutanan dalam waktu selambat-lambatnya 5 hari kerja sejak
diterimanya hasil penilaian menerbitkan persetujuan prinsip IUPSWA.
x Persetujuan prinsip diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 tahun
sejak diterbitkan oleh Menteri Kehutanan.

4. Izin Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL)


Izin pemanfaatan TSL diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan
Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
a. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan TSL yaitu :
1) Pemanfaatan non komersial untuk tujuan pengkajian, penelitian, dan
pengembangan, peragaan non komersial, pertukaran, perburuan dan
pemeliharaan untuk kesenangan.
2) Pemanfaatan komersial untuk tujuan penangkaran, perdagangan, peragaan
komersial dan budidaya tanaman obat.
b. Pelaku usaha pemanfaatan TSL :
1) Pemanfaatan non komersial dapat dilakukan oleh
x Perorangan;

36

x Koperasi;
x Lembaga konservasi;
x Lembaga penelitian;
x Perguruan tinggi;
x Lembaga swadaya masyarakat (organisasi non pemerintah) yang
bergerak dalam bidang konservasi sumber daya alam hayati.
2) Pemanfaatan komersial dapat dilakukan oleh pengedar TSL dalam negeri
atau luar negeri yang berbentuk :
x Perusahaan perorangan;
x Koperasi;
x Badan Usaha Milik Negara;
x Badan Usaha Milik Daerah; atau
x Badan Usaha Milik Swasta.

c.

Persyaratan perizinan :
Pengajuan permohonan pemanfaatan TSL harus dilengkapi dengan persyaratan
sebagai berikut :
1) Akte pendirian perusahaan;
2) Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang ditujukan khusus untuk
spesimen jenis TSL;
3) Surat Izin Tempat Usaha (SITU) atau Surat Keterangan berdasarkan
Undang-Undang Ganguan (UUG), bahwa usaha tersebut tidak menimbulkan
gangguan bagi lingkungan manusia;
4) Proposal untuk permohonan baru atau Rencana Kerja Tahunan untuk
permohonan perpanjangan;
5) Memuat nama jenis (ilmiah dan lokal), jumlah, ukuran, dan wilayah;
6) BAP persiapan teknis;
7) Rekomendasi Kepala Seksi Wilayah.

d. Tata Cara dan Prosedur Perizinan


1) Izin pengambilan atau penangkapan TSL non komersial dari habitat alam
untuk jenis yang tidak dilindungi dan yang dilindungi yang ditetapkan
sebagai satwa buru :




37

x Permohonan diajukan kepada Kepala Balai KSDA yang memuat informasi


mengenai jenis, jumlah, jenis kelamin, umur atau ukuran, wilayah
pengambilan, dan deskripsi rinci mengenai tujuan pengambilan atau
penangkapan;
x Kepala Balai KSDA menelaah permohonan dan memeriksa silang dengan
ketersediaan spesimen dalam kuota dan lokasi penangkapan atau
pengambilan yang ditetapkan;
x Berdasarkan penelaahan, Kepala Balai KSDA dapat menyetujui atau
menolak menerbitkan izin dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja
setelah permohonan diterima;
x Khusus untuk tujuan pengkajian, penelitian dan pengembangan, dalam
hal kuota bagi jenis yang dimohonkan telah habis, maka Kepala Balai
KSDA wajib berkonsultasi dengan Direktur Jenderal PHKA;
x Berdasarkan hasil konsultasi Kepala Balai KSDA, Direktur Jenderal PHKA
meminta rekomendasi dari otoritas keilmuan bahwa pengambilan atau
penangkapan tidak akan merusak populasi di habitat alam;
x Berdasarkan rekomendasi, Direktur Jenderal memerintahkan Kepala Balai
KSDA untuk menyetujui atau menolak menerbitkan izin.
2) Izin pengambilan atau penangkapan TSL non komersial dari habitat alam
untuk jenis yang dilindungi dan atau jenis yang termasuk dalam Appendiks
I CITES atau jenis yang tidak dilindungi yang tidak terdapat di dalam
kuota :
x Permohonan diajukan oleh pemohon kepada Menteri Kehutanan yang
memuat informasi mengenai jenis, jumlah, jenis kelamin, umur atau
ukuran, dan wilayah pengambilan, serta dilengkapi dengan rencana kerja
atau proposal dengan tembusan kepada Direktur Jenderal dan otoritas
keilmuan;
x Apabila permohonan tidak dilengkapi dengan rekomendasi dari otoritas
keilmuan maka Direktur Jenderal meminta rekomendasi dari otoritas
keilmuan bahwa pengambilan atau penangkapan yang dimohonkan tidak
akan merusak populasi di habitat alam;
x Berdasarkan penilaian terhadap permohonan dan kelengkapan, Menteri
Kehutanan dapat menyetujui atau menolak menerbitkan izin berdasarkan

38

saran dari Direktur Jenderal PHKA dan rekomendasi dari otoritas


keilmuan bahwa pengambilan atau penangkapan yang dimohonkan tidak
akan merusak populasi di habitat alam.
3) Izin pengambilan atau penangkapan TSL komersial dari habitat alam untuk
jenis yang tidak dilindungi dan yang dilindungi yang ditetapkan sebagai
satwa buru :
x Permohonan diajukan kepada Kepala Balai KSDA yang memuat informasi
mengenai jenis, jumlah, jenis kelamin, umur atau ukuran, wilayah
pengambilan serta deskripsi rinci mengenai tujuan pengambilan atau
penangkapan;
x Kepala Balai KSDA menelaah permohonan dan memeriksa silang dengan
ketersediaan spesimen dalam kuota dan lokasi pengambilan atau
penangkapan yang telah ditetapkan;
x Berdasarkan penelaahan, Kepala Balai KSDA dapat menyetujui atau
menolak menerbitkan izin dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja
setelah permohonan diterima;
x Izin berlaku maksimum 1 tahun;
x Izin hanya dapat diterbitkan bagi jenis-jenis TSL yang terdapat di dalam
kuota pengambilan atau penangkapan.
4) Izin pemanfaatan non komersial dalam negeri untuk tujuan pengkajian,
penelitian dan pengembangan :
x Permohonan diajukan kepada Kepala Balai KSDA untuk jenis yang tidak
dilindungi dan kepada Menteri Kehutanan dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal PHKA untuk jenis yang dilindungi dan dilampiri dengan
proposal pengkajian, penelitian dan pengembangan;
x Kepala Balai KSDA atau Direktur Jenderal PHKA menelaah permohonan
dan proposal pengkajian, penelitian dan pengembangan;
x Berdasarkan penelaahan, untuk jenis yang tidak dilindungi Kepala Balai
KSDA dapat menyetujui atau menolak menerbitkan izin dalam waktu
selambat-lambatnya 14 hari kerja setelah permohonan diterima;
x Untuk jenis yang dilindungi, Direktur Jenderal PHKA membuat telaahan
mengenai

dampak

konservasi

dari

kegiatan

tersebut

dan

merekomendasikannya kepada Menteri Kehutanan.




39

5) Izin pemanfaatan non komersial dalam negeri untuk tujuan pertukaran :


x Permohonan diajukan kepada Kepala Balai KSDA untuk jenis yang tidak
dilindungi dan kepada Menteri Kehutanan dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal untuk jenis yang dilindungi dan dilampiri dengan
proposal pertukaran;
x Kepala Balai KSDA atau Direktur Jenderal PHKA menelaah permohonan
dan proposal pertukaran;
x Berdasarkan penelaahan, untuk jenis yang tidak dilindungi, Kepala Balai
KSDA dapat menyetujui atau menolak menerbitkan izin dalam waktu
selambat-lambatnya 14 hari kerja setelah permohonan diterima;
x Untuk jenis yang dilindungi, Menteri Kehutanan dapat menerima atau
menolak memberikan izin berdasarkan saran dari Direktur Jenderal
PHKA.
6) Izin pemanfaatan non komersial dalam negeri untuk tujuan pemeliharaan
untuk kesenangan :
x Permohonan diajukan kepada Kepala Balai KSDA;
x Kepala Balai KSDA menelaah permohonan yang diajukan;
x Berdasarkan penelaahan, Kepala Balai KSDA dapat menyetujui atau
menolak menerbitkan izin dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja
setelah permohonan diterima.
7) Izin pemanfaatan non komersial dalam negeri untuk tujuan peragaan :
x Permohoan diajukan kepada Menteri Kehutanan dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal PHKA untuk jenis yang dilindungi atau Kepala
Balai KSDA untuk jenis yang tidak dilindungi dengan dilampiri proposal
atau rencana kerja peragaan;
x Direktur Jenderal PHKA atau Kepala Balai KSDA menelaah permohonan
yang diajukan;
x Berdasarkan penelaahan, untuk jenis yang tidak dilindungi, Kepala Balai
KSDA dapat menyetujui atau menolak menerbitkan izin dalam waktu
selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah permohonan diterima;
x Untuk jenis yang dilindungi, Menteri Kehutanan dapat menerima atau
menolak memberikan izin berdasarkan saran dari Direktur Jenderal
PHKA.

40

5. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan


Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang
Pedoman Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.38/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
a. Kegiatan yang dilakukan dalam ijin pinjam pakai kawasan :
1) Kegiatan religi (tempat ibadah, tempat pemakaman dan wisata rohani);
2) Kegiatan pertambangan (pertambangan minyak dan gas bumi, mineral,
batubara dan panas bumi termasuk sarana dan prasarana);
3) Instalasi pembangkit, transmisi dan distribusi listrik serta teknologi energi
baru dan terbarukan;
4) Jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi;
5) Jalan umum, jalan tol dan jalur kereta api;
6) Prasarana

transportasi

yang

tidak

dikategorikan

sebagai

prasarana

transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi;


7) Sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air
dan saluran air bersih dan/atau air limbah;
8) Fasilitas umum;
9) Industri selain industri primer hasil hutan;
10) Pertahanan dan keamanan, antara lain pusat latihan tempur, stasiun radar
dan menara pengintai;
11) Prasarana penunjang keselamatan umum antara lain keselamatan lalu lintas
laut, udara dan sarana meteorologi, klimatologi dan geofisika; atau
12) Penampungan sementara korban bencana alam.
13) Pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan; atau
14) Pertanian tertentu dalam rangka ketahanan energi.

b. Pemohon ijin pinjam pakai kawasan hutan


Ijin pinjam pakai kawasan hutan dapat diajukan kepada Menteri Kehutanan
oleh :
1) Menteri atau pejabat setingkat menteri;
2) Gubernur;
3) Bupati/Walikota;




41

4) Pimpinan badan usaha; atau


5) Ketua yayasan.

c.

Persyaratan Perizinan
Terdapat 2 persyaratan perizinan dalam ijin pinjam pakai kawasan hutan yaitu :
1) Persyaratan administrasi sebagai berikut :
Surat permohonan yang dilampiri dengan peta lokasi kawasan hutan yang
dimohon;
a) Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi (IUP Eksplorasi/Izin Usaha
Pertambangan

Operasi

Produksi

(IUP

Operasi

Produksi)

atau

perizinan/perjanjian lainnya yang telah diterbitkan oleh pejabat sesuai


kewenangannya, kecuali untuk kegiatan yang tidak wajib memiliki
perizinan/perjanjian;
b) Rekomendasi :
x

Gubernur untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar


bidang kehutanan yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan
Pemerintah; atau

Bupati/Walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan


di luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh Gubernur; atau

Bupati/Walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan yang tidak


memerlukan perizinan sesuai bidangnya.

c) Pernyataan dalam bentuk akta notaris yang menyatakan :


x

Kesanggupan untuk memenuhi semua kewajiban dan kesanggupan


menanggung seluruh biaya sehubungan dengan permohonan;

Semua dokumen yang dilampirkan dalam permohonan adalah sah;


dan

Tidak melakukan kegiatan di lapangan sebelum ada izin dari


Menteri Kehutanan.

d) Akta pendirian dan perubahan bagi badan usaha/yayasan;


e) Dalam permohonan yang diajukan oleh badan usaha atau yayasan
selain

persyaratan

yang

telah

persyaratan :
x

42

Profil badan usaha/yayasan;

disebutkan

di

atas,

ditambah

f)

Nomor Pokok Wajib Pajak; dan

Laporan keuangan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

Rekomendasi Gubernur atau Bupati/Walikota yang memuat persetujuan


atas

penggunaan

pertimbangan

kawasan

teknis

hutan

yang

Dinas

Provinsi

Kepala

dimohon,
atau

berdasarkan
Kepala

Dinas

Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan dan Kepala Balai


Pemantapan Kawasan Hutan setempat.
d. Pertimbangan teknis yang memuat :
1) Untuk kegiatan pertambangan :
x Rencana kerja penggunaan kawasan hutan dilampiri dengan peta lokasi
skala 1 : 50.000 dengan informasi luas kawasan hutan yang dimohon;
x Citra satelit terbaru paling lama liputan 2 (dua) tahun terakhir dengan
resolusi minimal 15 meter dan pernyataan bahwa citra satelit dan hasil
penafsiran benar;
x Pertimbangan teknis Direktur Jenderal yang membidangi mineral dan
batubara

pada

Kementerian

ESDM

untuk

perizinan

kegiatan

pertambangan yang diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota


sesuai dengan kewenangannya.
2) Untuk kegiatan survei, kelengkapan persyaratan teknis tidak termasuk citra
satelit dan dokumen AMDAL, kecuali kegiatan eksplorasi yang melakukan
pengambilan contoh ruah;
3) Surat permohonan dan rencana kerja penggunaan kawasan untuk izin
kegiatan

religi,

pertahanan

dan

keamanan,

prasarana

penunjang

keselamatan umum, dan penampungan sementara korban bencana alam.

e. Tata Cara Perizinan


1) Menteri Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 15 hari kerja setelah
menerima permohonan memerintahkan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Planologi Kehutanan untuk melakukan penilaian persyaratan
administrasi dan teknis serta mengkoordinasikan pertimbangan teknis dari
Eselon I lingkup Kementerian Kehutanan dan Direktur Utama Perum
Perhutani apabila berada dalam areal kerja Perum Perhutani;




43

2) Apabila

permohonan

tidak

memenuhi persyaratan,

Dirjen

Planologi

Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 5 hari kerja menerbitkan surat
pemberitahuan atas persyaratan yang tidak lengkap berikut pengembalian
berkas permohonan;
3) Apabila memenuhi persyaratan permohonan, Dirjen Planologi Kehutanan
dalam jangka waktu paling lama 15 hari kerja menyampaikan surat
pertimbangan teknis kepada :
x Dirjen PHKA apabila lokasi berada pada kawasan hutan lindung;
x Dirjen Bina Usaha Kehutanan apabila lokasi berada pada kawasan hutan
produksi;
x Dirut Perum Perhutani apabila lokasi berada pada wilayah kerja Perum
Perhutani.
4) Berdasarkan surat permintaan di atas Dirjen PHKA dan Dirjen BUK atau
Dirut Perum Perhutani dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja
menyampaikan pertimbangan teknis kepada Dirjen Planologi Kehutanan;
5) Apabila

pertimbangan

penyampaian

teknis

pertimbangan

belum

teknis

diterima

telah

dan

berakhir,

jangka
Dirjen

waktu

Planologi

Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 15 hari kerja memprakarsai


rapat pembahasan dalam rangka memberikan pertimbangan teknis kepada
Menteri Kehutanan;
6) Berdasarkan pertimbangan teknis atau hasil pembahasan, Dirjen Planologi
Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja menyampaikan
pertimbangan atas permohonan pinjam pakai kawasan hutan kepada
Menteri.
7) Apabila

permohonan

tidak

memenuhi

ketentuan,

Dirjen

Planologi

Kehutanan atas nama Menteri Kehutanan menerbitkan surat penolakan;


8) Menteri Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 15 hari kerja setelah
menerima pertimbangan teknis menerbitkan surat persetujuan prinsip
penggunaan kawasan hutan;
9) Berdasarkan pemenuhan kewajiban dalam persetujuan prinsip kawasan
hutan, pemegang ijin prinsip penggunaan kawasan hutan mengajukan
permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan;

44

10) Dalam jangka waktu paling lama 15 hari kerja setelah menerima
permohonan, Menteri Kehutanan memerintahkan secara tertulis Dirjen
Planologi Kehutanan untuk melakukan penilaian pemenuhan kewajiban;
11) Apabila permohonan belum memenuhi seluruh kewajiban, Dirjen Planologi
Kehutanan dalam jangka waktu 15 hari kerja menerbitkan surat
pemberitahuan kekurangan pemenuhan kewajiban;
12) Apabila permohonan telah memenuhi seluruh kewajiban, Dirjen Planologi
Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja menyampaikan
usulan penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan, melakukan telaahan
hukum dan menyampaikan konsep Keputusan izin pinjam pakai kawasan
hutan dan peta lampiran kepada Menteri Kehutanan;
13) Dalam jangka waktu paling lama 15 hari kerja setelah menerima konsep,
Menteri Kehutanan menerbitkan keputusan izin pinjam pakai kawasan
hutan.

f.

Terdapat beberapa mekanisme permohonan perizinan dalam pinjam pakai


kawasan hutan sebagai berikut :
1) Pelepasan Kawasan HPK
a) Persyaratan Administrasi
x

Surat Permohonan dan Peta Lokasi

Izin Lokasi dan Rekomendasi Dari Bupati

Ijin Usaha Perkebunan (IUP) Sesuai Ketentuan Yang Berlaku

Rekomendasi Gubernur

Akta Notaris Tentang Pernyataan Bahwa Pemohon Sanggup


Melaksanakan Usahanya

Akta Notaris Tentang Pernyataan Bahwa Areal Yang Dimohon


Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Usahanya Tidak Akan Pemohon
Alihkan

Kepada

Pihak

Lain

Dalam

Bentuk

Apapun

Tanpa

Persetujuan Menteri Kehutanan




Profil Perusahaan

Akta Pendirian Berikut Perubahannya

NPWP

Laporan Keuangan Yang Telah Diaudit Akuntan Publik

45

Project Proposal

Laporan dan Berita Acara Hasil Survei Lapangan Yang Dilakukan


Oleh Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kabupaten/Kota dsn Balai
Pemantapan Kawasan Hutan

Peta Penafsiran Citra Satelit Liputan Paling Lama 2 (dua) Tahun


Terakhir

Atas

Pernyataan

Kawasan

Dari

HPK

Pemohon

Yang

Bahwa

Dimohon
Hasil

Disertai

Penafsiran

Surat
Dijamin

Kebenarannya
b) Prosedur
x

Pendaftaran

Penilaian Persyaratan Administrasi dan Teknis

Penerbitan Persetujuan Prinsip

Penetapan Tata Batas dan Pembuatan BATB

Drafting (Konsep) SK Pelepasan Kawasan HPK

Penerbitan SK

c) Waktu dan Biaya


Maksimum waktu yang diperlukan Kementerian Kehutanan untuk
memproses satu permohonan Pelepasan Kawasan Hutan Produksi
Republik yang dapat dikonversi adalah 187 hari kerja, dan tidak
dipungut biaya.














46












47

2) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk Kegiatan Operasi Produksi


Pertambangan/Non-Tambang
a) Persyaratan
(1) Persyaratan Administrasi
x Surat Permohonan Yang Dilampiri Dengan Peta Lokasi Kawasan

Hutan Yang Dimohon


x Izin Atau Perjanjian Dibidang Pertambangan
x Rekomendasi Gubernur Bagi Perijinan Yang Berkaitan Dengan

Penggunaan Kawasan Hutan Yang Diterbitkan Oleh


Bupati/Walikota dan Pemerintah Pusat
x Pernyataan Bermaterai Cukup Yang Memuat :
Kesanggupan Untuk Memenuhi Semua Kewajiban Dan
Kesanggupan

Menanggung

Seluruh

Biaya

Sehubungan

Dengan Permohonan;
Semua Dokumen Yang Dilampirkan dalam Permohonan
Adalah Sah; dan
Belum Melakukan Kegiatan Dilapangan dan Tidak Akan
Melakukan Kegiatan Sebelum Ada Izin dari Menteri.
x Akta pendiri dan perubahannya bagi badan usaha/yayasan.
x Dalam hal permohonan diajukan oleh badan usaha/yayasan :

Profil badan usaha/yayasan;


Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
Laporan keuangan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan
publik.
(2) Persyaratan Teknis
x Rencana Kerja Penggunaan Kawasan Hutan Dilampiri Dengan

Peta Lokasi Skala 1:50.000 atau Skala Terbesar Pada Lokasi


Tersebut Dengan Informasi Luas Kawasan Hutan Yang Dimohon
x Citra Satelit terbaru paling lama lipatan 2 tahun terakhir dan hasil

penafsiran citra satelit yang mempunyai kompetensi di bidang


penafsiran citra satelit (Resolusi minimal 15 m), ditandatangan
pemohon, dengan mencantumkan sumber citra satelit

48


x AMDAL Yang Telah Disahkan Oleh Instansi Yang Berwenang
x Pertimbangan Teknis Direktur Jenderal Yang Membidangi Mineral

Batubara dan Panas Bumi


b) Prosedur
x Pendaftaran
x Penilaian Persyaratan Administrasi dan Teknis
x Penerbitan Persetujuan Prinsip
x Pemenuhan Kewajiban
x Penilaian Pemenuhan Kewajiban
x

Drafting (Konsep) SK Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk Kegiatan


Operasi Produksi

x Penerbitan SK

c) Waktu dan Biaya


Maksimum waktu yang diperlukan Kementerian Kehutanan untuk
memproses satu permohonan IPPKH Produksi adalah 245 hari kerja,
dan tidak dipungut biaya.




49


50

3) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk Kegiatan Survei/Eksplorasi


a) Persyaratan
(1)

Persyaratan Administrasi
(a) Surat Permohonan Yang Dilampiri Dengan Peta Lokasi
Kawasan Hutan Yang Dimohon.
(b) Izin Atau Perjanjian Dibidang Pertambangan.
(c) Rekomendasi Gubernur Bagi Perijinan Yang Berkaitan Dengan
Penggunaan

Kawasan

Hutan

Yang

Diterbitkan

Oleh

Bupati/Walikota dan Pemerintah Pusat


(d) Pernyataan Bermaterai Cukup Yang Memuat :
x Kesanggupan Untuk Memenuhi Semua Kewajiban Dan
Kesanggupan Menanggung Seluruh Biaya Sehubungan
Dengan Permohonan;
x Semua Dokumen Yang Dilampirkan dalam Permohonan
Adalah Sah; dan
x Tidak melakukan kegiatan di lapangan dan tidak akan
melakukan kegiatan sebelum ada izin dari Menteri.
(e) Akta pendiri dan perubahannya bagi badan usaha/yayasan.
(f) Dalam hal permohonan diajukan oleh badan usaha/yayasan:
x

Profile badan usaha /yayasan;

Nomor Pokok Wajib Pajak; dan

Laporan keuangan terakhir yang telah di audit oleh


akuntan publik.

(2)

Persyaratan Teknis
x Rencana Kerja Penggunaan Kawasan Hutan Dilampiri Dengan

Peta Lokasi Skala 1:50.000 atau Skala Terbesar Pada Lokasi


Tersebut

Dengan

Informasi

Luas

Kawasan

Hutan

Yang

Dimohon.
x Pertimbangan

Teknis Direktur Jenderal Yang Membidangi

Mineral Batubara dan Panas Bumi.




51

(3)

Prosedur
x Pendaftaran
x Penilaian Persyaratan Administrasi dan Teknis
x

Drafting (Konsep) SK Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk


Survei atau Eksplorasi

(4)

Penerbitan SK

Waktu dan Biaya


Maksimum waktu yang diperlukan Kementerian Kehutanan untuk
memproses permohonan IPPKH Survai adalah 155 hari kerja, dan
tidak dipungut biaya. 

52








1.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008


tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 20 TAHUN 2008
TENTANG
USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

: a. bahwa masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar Negara Republik Tahun 1945 harus diwujudkan melalui
pembangunan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi;
b. bahwa sesuai dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor XVI/MPR-RI/1998 tentang Politik Ekonomi dalam
rangka Demokrasi Ekonomi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah perlu
diberdayakan sebagai bagian integral ekonomi rakyat yang mempunyai
kedudukan, peran, dan potensi strategis untuk mewujudkan struktur
perekonomian nasional yang makin seimbang, berkembang, dan berkeadilan;
c. bahwa pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagaimana
dimaksud dalam huruf b, perlu diselenggarakan secara menyeluruh, optimal,
dan berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang kondusif,
pemberian
kesempatan
berusaha,
dukungan,
perlindungan,
dan
pengembangan usaha seluas-luasnya, sehingga mampu meningkatkan
kedudukan, peran, dan potensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam
mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan peningkatan
pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan;
d. bahwa sehubungan dengan perkembangan lingkungan perekonomian yang
semakin dinamis dan global, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang
Usaha Kecil, yang hanya mengatur Usaha Kecil perlu diganti, agar Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah di Indonesia dapat memperoleh jaminan kepastian
dan keadilan usaha;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-undang tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Mengingat

: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menetapkan

: UNDANG-UNDANG TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH


BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :


1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang
memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
2.

Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang ini.

3.

Usaha Menengah adalah usaha produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan
tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

4.

Usaha Besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah
kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari usaha menengah, yang meliputi
usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan
kegiatan ekonomi di Indonesia.

5.

Dunia Usaha adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar yang
melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia dan berdomisili di Indonesia.

6.

Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

7.

Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

8.

Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan
masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan usaha
terhadap Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi
usaha yang tangguh dan mandiri.

9.

Iklim usaha adalah kondisi yang diupayakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk
memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah secara sinergis melalui penetapan berbagai
peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan,
perlindungan, dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya.

10. Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia
Usaha, dan masyarakat untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah melalui
pemberian fasilitas bimbingan pendampingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan kemampuan dan daya saing Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
11. Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan
masyarakat melalui bank, koperasi, dan lembaga keuangan bukan bank, untuk
mengembangkan dan memperkuat permodalan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
12. Penjaminan adalah pemberian jaminan pinjaman Usaha Mikro, Kecil dan Menengah oleh
lembaga penjamin kredit sebagai dukungan untuk memperbesar kesempatan memperoleh
pinjaman dalam rangka memperkuat permodalannya.
13. Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung,
atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang
melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dengan Usaha Besar.
14. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah.
15. Menteri Teknis adalah menteri yang secara teknis bertanggung jawab untuk mengembangkan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam sektor kegiatannya.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah berasaskan :
a. kekeluargaan;
b. demokrasi ekonomi;
c. kebersamaan;
d. efisiensi berkeadilan;
e. berkelanjutan;
f. berwawasan lingkungan;
g. kemandirian;
h. keseimbangan kemajuan; dan
i. kesatuan ekonomi nasional.
Pasal 3
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam
rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan.
BAB III
PRINSIP DAN TUJUAN PEMBERDAYAAN
Bagian Kesatu
Prinsip Pemberdayaan
Pasal 4
Prinsip Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah :
a. Penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah


b.
c.
d.
e.

untuk berkarya dengan prakarsa sendiri;


Perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan;
Pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan
kompetensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;
Peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; dan
Penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.
Bagian Kedua
Tujuan Pemberdayaan
Pasal 5

Tujuan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah :


a. Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang dan berkeadilan;
b. Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menjadi
usaha yang tangguh dan mandiri; dan
c. Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan
lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari
kemiskinan.
BAB IV
KRITERIA
Pasal 6
(1) Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut :
a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.00,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut :
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.00,00 (tiga ratus juta rupiah)
sampai paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
(3) Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut :
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,00 (lima
paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah)
bangunan tempat usaha; atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.00,00
rupiah) sampai paling banyak Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh

ratus juta rupiah) sampai


tidak termasuk tanah dan
(dua milyar lima ratus juta
milyar rupiah).

(4) Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan ayat (2) huruf a, huruf b,
serta ayat (3) huruf a, huruf b nilai nominalnya dapat diubah sesuai dengan perkembangan
perekonomian yang diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB V
PENUMBUHAN IKLIM USAHA
Pasal 7
(1) Pemerintah dan Pemerintah daerah menumbuhkan iklim usaha dengan menetapkan peraturan


perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek :


a. pendanaan;
b. sarana dan prasarana;
c. informasi usaha;
d. kemitraan;
e. perizinan usaha;
f. kesempatan berusaha;
g. promosi dagang; dan
h. dukungan kelembagaan.
(2) Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif membantu menumbuhkan iklim usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
Aspek pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a ditujukan untuk :
a. memperluas sumber pendanaan dan memfasilitasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah untuk
dapat mengakses kredit perbankan dan lembaga keuangan selain bank;
b. memperbanyak lembaga pembiayaan dan memperluas jaringannya sehingga dapat diakses oleh
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;
c. memberikan kemudahan dalam memperoleh pendanaan secara cepat, tepat, murah, dan tidak
diskriminatif dalam pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
d. membantu para pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil untuk mendapatkan pembiayaan dan
jasa/produk keuangan lainnya yang disediakan oleh perbankan dan lembaga keuangan bukan
bank, baik yang menggunakan sistem konvensional maupun sistem syariah dengan jaminan
yang disediakan oleh Pemerintah.
Pasal 9
Aspek sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b ditujukan
untuk :
a. mengadakan prasarana umum yang dapat mendorong dan mengembangkan pertumbuhan
Usaha Mikro dan Kecil; dan
b. memberikan keringanan tarif prasarana tertentu bagi Usaha Mikro dan Kecil.
Pasal 10
Aspek informasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c ditujukan untuk :
a. membentuk dan mempermudah pemanfaatan bank data dan jaringan informasi bisnis;
b. mengadakan dan menyebarluaskan informasi mengenai pasar, sumber pembiayaan, komoditas,
penjaminan, desain dan teknologi, dan mutu; dan
c. memberikan jaminan transparansi dan akses yang sama bagi semua pelaku Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah atas segala informasi usaha.
Pasal 11
Aspek kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d ditujukan untuk :
a. mewujudkan kemitraan antar-Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;
b. mewujudkan kemitraan antar-Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Usaha Besar;
c. mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam pelaksanaan transaksi
usaha antar-Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;
d. mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan dalam pelaksanaan transaksi
usaha antar-Usaha Mikro, Kecil, menengah dan Usaha Besar;
e. mengembangkan kerjasama untuk meningkatkan posisi tawar Usaha Mikro, Kecil dan


f.
g.

Menengah;
mendorong terbentuknya struktur pasar yang menjamin tumbuhnya persaingan usaha yang
sehat dan melindungi konsumen; dan
mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang perorangan atau
kelompok tertentu yang merugikan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Pasal 12

(1) Aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e ditujukan untuk :
a. Menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan usaha dengan sistem pelayanan terpadu
satu pintu; dan
b. Membebaskan biaya perizinan bagi Usaha Mikro dan memberikan keringanan biaya perizinan
bagi Usaha Kecil.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara permohonan izin usaha diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1) Aspek kesempatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f ditujukan
untuk :
a. menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang
pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, lokasi
yang wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya;
b. menetapkan alokasi waktu berusaha untuk Usaha Mikro dan Kecil di sub sektor perdagangan
retail;
c. mencadangkan bidang dan jenis kegiatan usaha yang memiliki kekhususan proses, bersifat
padat karya, serta mempunyai warisan budaya yang bersifat khusus dan turun temurun;
d. menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta
bidang usaha yang terbuka untuk Usaha Besar dengan syarat harus bekerja sama dengan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;
e. melindungi usaha tertentu yang strategis untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;
f. mengutamakan penggunaan produk yang dihasilkan oleh Usaha Mikro dan Kecil melalui
pengadaan secara langsung;
g. memprioritaskan pengadaan barang atau jasa dan pemborongan kerja Pemerintah dan
Pemerintah Daerah; dan
h. memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengawasan dan
pengendalian oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 14
(1) Aspek promosi dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf g, ditujukan untuk :
a. meningkatkan promosi produk Usaha Mikro, Kecil dan menengah di dalam dan di luar negeri;
b. memperluas sumber pendanaan untuk promosi produk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di
dalam dan di luar negeri;
c. memberikan insentif dan tata cara pemberian insentif untuk Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah yang mampu menyediakan pendanaan secara mandiri dalam kegiatan promosi
produk di dalam dan di luar negeri; dan
d. memfasilitasi pemilikan hak atas kekayaan intelektual atas produk dan desain Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah dalam kegiatan usaha dalam negeri dan ekspor.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah dan


Pemerintah Daerah.
Pasal 15
Aspek dukungan kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h ditujukan
untuk mengembangkan dan meningkatkan fungsi inkubator, lembaga layanan, pengembangan
usaha, konsultan keuangan mitra bank, dan lembaga profesi sejenis lainnya sebagai lembaga
pendukung pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
BAB VI
PENGEMBANGAN USAHA
Pasal 16
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang :
a. produksi dan pengolahan;
b. pemasaran;
c. sumber daya manusia; dan
d. desain dan teknologi.
(2) Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif melakukan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembangan, prioritas, intensitas, dan jangka
waktu pengembangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Pengembangan dalam bidang produksi dan pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf a dilakukan dengan cara :
a. meningkatkan teknik produksi dan pengolahan serta kemampuan manajemen bagi Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah;
b. memberikan kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana, produksi dan pengolahan,
bahan baku, bahan penolong, dan kemasan bagi produk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah;
c. mendorong penerapan standardisasi dalam proses produksi dan pengolahan; dan
d. meningkatkan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan bagi Usaha Menengah.
Pasal 18
Pengembangan dalam bidang pemasaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b
dilakukan dengan cara :
a. melaksanakan penelitian dan pengkajian pemasaran;
b. menyebarluaskan informasi pasar;
c. meningkatkan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran;
d. menyediakan sarana pemasaran yang meliputi penyelenggaraan uji coba pasar, lembaga
pemasaran, penyediaan rumah dagang, dan promosi Usaha Mikro dan Kecil;
e. memberikan dukungan promosi produk, jaringan pemasaran, dan distribusi; dan
f. menyediakan tenaga konsultan profesional dalam bidang pemasaran.
Pasal 19
Pengembangan dalam bidang sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf c dilakukan dengan cara :
a. memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan;


b.
c.

meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial; dan


membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan dan pelatihan untuk melakukan
pendidikan, pelatihan, penyuluhan, motivasi dan kreativitas bisnis, dan penciptaan wirausaha
baru.
Pasal 20

Pengembangan dalam bidang desain dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf d dilakukan dengan :
a. meningkatkan kemampuan di bidang desain dan teknologi serta pengendalian mutu;
b. meningkatkan kerjasama dan alih teknologi;
c. meningkatkan kemampuan Usaha Kecil dan Menengah di bidang penelitian untuk
mengembangkan desain dan teknologi baru;
d. memberikan insentif kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang mengembangkan teknologi
dan melestarikan lingkungan hidup; dan
e. mendorong Usaha Mikro, Kecil dan Menengah untuk memperoleh sertifikat hak atas kekayaan
intelektual.
BAB VII
PEMBIAYAAN DAN PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Pembiayaan dan Penjaminan Usaha Mikro dan Kecil
Pasal 21
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil.
(2) Badan Usaha Milik Negara dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan
yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman,
penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya.
(3) Usaha Besar nasional dan asing dapat menyediakan pembiayaan yang dialokasikan kepada
Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan
lainnya.
(4) Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Dunia Usaha dapat memberikan hibah, mengusahakan
bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat
untuk Usaha Mikro dan Kecil.
(5) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dalam bentuk kemudahan
persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada dunia usaha yang
menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil.
Pasal 22
Dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil, Pemerintah
melakukan upaya :
a. pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank;
b. pengembangan lembaga modal ventura;
c. pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang;
d. peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi simpan pinjam dan
koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah; dan


e.

pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.


Pasal 23

(1) Untuk meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap sumber pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22, Pemerintah dan Pemerintah Daerah :
a. menumbuhkan, mengembangkan dan memperluas jaringan lembaga keuangan bukan bank;
b. menumbuhkan, mengembangkan dan memperluas jangkauan lembaga penjamin kredit; dan
c. memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh
pembiayaan.
(2) Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif meningkatkan akses Usaha Mikro dan
Kecil terhadap pinjaman atau kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
cara :
a. meningkatkan kemampuan menyusun studi kelayakan usaha;
b. meningkatkan pengetahuan tentang prosedur pengajuan kredit atau pinjaman; dan
c. meningkatkan pemahaman dan keterampilan teknis serta manajerial usaha.
Bagian Kedua
Pembiayaan dan Penjaminan Usaha Menengah
Pasal 24
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan Usaha Menengah dalam bidang
pembiayaan dan penjaminan dengan :
a. memfasilitasi dan mendorong peningkatan pembiayaan modal kerja dan investasi melalui
perluasan sumber dan pola pembiayaan, akses terhadap pasar modal, dan lembaga pembiayaan
lainnya; dan
b. mengembangkan lembaga penjamin kredit, dan meningkatkan fungsi lembaga penjamin ekspor.
BAB VIII
KEMITRAAN
Pasal 25
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan masyarakat memfasilitasi, mendukung, dan
menstimulasi kegiatan kemitraan yang saling membutuhkan, mempercayai, memperkuat, dan
menguntungkan.
(2) Kemitraan antar-Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan Kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah dengan Usaha Besar mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan
pengolahan, pemasaran, permodalan, sumberdaya manusia, dan teknologi.
(3) Menteri dan menteri teknis mengatur pemberian insentif kepada Usaha Besar yang melakukan
kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah melalui inovasi dan pengembangan produk
berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah
lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.
Pasal 26
Kemitraan dilaksanakan dengan pola :
a. inti plasma;
b. subkontrak;


c.
d.
e.
f.

Waralaba;
perdagangan umum;
distribusi dan keagenan; dan
bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti : bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan (joint
venture), dan penyumberluaran (outsourcing).
Pasal 27

Pelaksanaan kemitraan dengan pola inti plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a,
Usaha Besar sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yang
menjadi plasmanya dalam :
a. penyediaan dan penyiapan lahan;
b. penyediaan sarana produksi;
c. pemberian bimbingan teknis produksi dan manajemen usaha;
d. perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan;
e. pembiayaan;
f. pemasaran;
g. penjaminan;
h. pemberian informasi; dan
i. pemberian bantuan lain yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas dan
wawasan usaha.
Pasal 28
Pelaksanaan kemitraan usaha dengan pola subkontrak sebagaimana dimaksud Pasal 26 huruf b,
untuk memproduksi barang dan/atau jasa, Usaha Besar memberikan dukungan berupa :
a. kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan/atau komponennya;
b. kesempatan memperoleh bahan baku yang diproduksi secara berkesinambungan dengan jumlah
dan harga yang wajar;
c. bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen;
d. perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan;
e. pembiayaan dan pengaturan sistem pembayaran yang tidak merugikan salah satu pihak; dan
f. upaya untuk tidak melakukan pemutusan hubungan sepihak.
Pasal 29
(1) Usaha Besar yang memperluas usahanya dengan cara waralaba sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 huruf c, memberikan kesempatan dan mendahulukan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah yang memiliki kemampuan.
(2) Pemberi waralaba dan penerima waralaba mengutamakan penggunaan barang dan/atau bahan
hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang
disediakan dan/atau dijual berdasarkan perjanjian waralaba.
(3) Pemberi waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan
operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada penerima waralaba
secara berkesinambungan.
Pasal 30
(1) Pelaksanaan kemitraan dengan pola perdagangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 huruf d, dapat dilakukan dalam bentuk kerjasasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha,
atau penerimaan pasokan dari Usaha Mikro, Kecil dan Menengah oleh Usaha Besar yang
dilakukan secara terbuka.


(2) Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang diperlukan oleh Usaha Besar dilakukan dengan
mengutamakan pengadaan hasil produksi Usaha kecil atau Usaha Mikro sepanjang memenuhi
standar mutu barang dan jasa yang diperlukan.
(3) Pengaturan sistem pembayaran dilakukan dengan tidak merugikan salah satu pihak.
Pasal 31
Dalam pelaksanaan kemitraan dengan pola distribusi dan keagenan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 huruf e, Usaha Besar dan/atau Usaha Menengah memberikan hak khusus untuk
memasarkan barang dan jasa kepada Usaha Mikro dan/atau Usaha Kecil.
Pasal 32
Dalam hal Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menyelenggarakan usaha dengan modal patungan
dengan pihak asing, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
Pelaksanaan kemitraan usaha yang berhasil, antara Usaha Besar dengan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah dapat ditindaklanjuti dengan kesempatan pemilikan saham Usaha Besar oleh Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah.
Pasal 34
(1) Perjanjian kemitraan dituangkan dalam perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya mengatur
kegiatan usaha, hak dan kewajiban masing-masing pihak, bentuk pengembangan, jangka
waktu, dan penyelesaian perselisihan.
(2) Perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada pihak yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan
prinsip dasar kemandirian Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta tidak menciptakan
ketergantungan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah terhadap Usaha Besar.
(4) Untuk memantau pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), Menteri
dapat membentuk lembaga koordinasi kemitraan usaha nasional dan daerah.
Pasal 35
(1) Usaha Besar dilarang memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai
mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26.
(2) Usaha Menengah dilarang memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro dan/atau Usaha Kecil
mitra usahanya.
Pasal 36
(1) Dalam melaksanakan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 para pihak mempunyai
kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia.
(2) Pelaksanaan kemitraan diawasi secara tertib dan teratur oleh lembaga yang dibentuk dan


bertugas untuk mengawasi persaingan usaha sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan.
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
KOORDINASI DAN PENGENDALIAN PEMBERDAYAAN
USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH
Pasal 38
(1) Menteri melaksanakan koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah.
(2) Koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara nasional dan daerah yang meliputi : penyusunan
dan pengintegrasian kebijakan dan program, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, serta
pengendalian umum terhadap pelaksanaan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah,
termasuk penyelenggaraan kemitraan usaha dan pembiayaan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan koordinasi dan pengendalian pemberdayaan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
SANKSI ADMINISTRATIF DAN KETENTUAN PIDANA
Bagian Kesatu
Sanksi Administratif
Pasal 39
(1) Usaha Besar yang melanggar ketentuan Pasal 35 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan izin usaha dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah) oleh instansi yang berwenang.

(2) Usaha Menengah yang melanggar ketentuan Pasal 35 ayat (2) dikenakan sanksi administratif
berupa pencabutan izin usaha dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah) oleh instansi yang berwenang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana
Pasal 40
Setiap orang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan mengaku atau memakai
nama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sehingga mendapatkan kemudahan untuk memperoleh


dana, tempat usaha, bidang dan kegiatan usaha, atau pengadaan barang dan jasa untuk
pemerintah yang diperuntukkan bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah).
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang ini ditetapkan paling lambat 12 bulan
(dua belas) bulan atau 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.
Pasal 42
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun
1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 3611) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 43
Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan Usaha Kecil dan Menengah dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-undang ini.
Pasal 44
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan


penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Juli 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Juli 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 93

PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2008
TENTANG
USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH
I.

UMUM
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang
merata material dan spiritual berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
merdeka, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang
aman, tertib, dan dinamis dalam lingkungan yang merdeka, bersahabat, dan damai.
Pembangunan nasional yang mencangkup seluruh aspek kehidupan bangsa diselenggarakan
bersama oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat menjadi pelaku utama pembangunan,
dan pemerintah berkewajiban menagrahkan, membimbing, melindungi, serta menumbuhkan
suasana dan iklim yang menunjang.
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas
lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan
dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat,
mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional.
Selain itu, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah salah satu pilar utama ekonomi
nasionalyang harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan
pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok
usaha ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan Badan Usaha Milik
Negara.
Meskipun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah telah menunjukkan peranannya dalam
perekonomian nasional, namun masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik
yang bersifat internal maupun eksternal, dalam hal produksi dan pengolahan, pemasaran,
sumber daya manusia, desain dan teknologi, permodalan, serta iklim usaha.
Untuk meningkatkan kesempatan, kemampuan, dan perlindungan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah, telah ditetapkan berbagai kebijakan tentang pencadangan usaha, pendanaan, dan
pengembangannya namun belum optimal. Hal ini dikarenakan kebijakan tersebut belum dapat
memberikan perlindungan, kepastian berusaha, dan fasilitas yang memadai untuk
pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Sehubungan dengan itu Usaha Mikro, Kecil dan Menengah perlu diberdayakan dengan cara :
a. penumbuhan iklim usaha yang mendukung pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah; dan
b. pengembangan dan pembinaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dan peran serta kelembagaan Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah dalam perekonomian nasional, maka pemberdayaan tersebut perlu

dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat secara
menyeluruh, sinergis, dan berkesinambungan.
Dalam memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, seluruh peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah merupakan suatu
kesatuan yang saling melengkapi dengan Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini disusun dengan maksud untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah. Secara umum struktur dan materi dari Undang-Undang ini memuat tentang
ketentuan umum, asas, prinsip dan tujuan pemberdayaan, kriteria, penumbuhan iklim usaha,
pengembangan usaha, pembiayaan dan penjaminan, kemitraan, dan koordinasi
pemberdayaan, sanksi administratif dan ketentuan pidana.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas kekeluargaan adalah asas yang melandasi upaya
pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai bagian dari perekonomian
nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional untuk kesejahteraan seluruh
rakyat Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas demokrasi ekonomi adalah pemberdayaan Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah diselenggarakan sebagai kesatuan dari pembangunan perekonomian
nasional untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas kebersamaan adalah asas yang mendorong peran seluruh
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan dunia usaha secara bersama-sama dalam
kegiatannya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas efisiensi berkeadilan adalah asas yang mendasari
pelaksanaan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dengan mengedepankan
efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan
berdaya saing.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan adalah asas yang secara terencana
mengupayakan berjalnnya proses pembangunan melalui pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil


dan Menengah yang dilakukan secara


perekonomian yang tangguh dan mandiri.

berkesinambungan

sehingga

terbentuk

Huruf f
Yang dimaksud dengan asas berwawasan lingkungan adalah asas pemberdayaan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan
mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.
Huruf g
Yang dimaksud asas kemandirian adalah asas pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah yang dilakukan dengan tetap menjaga dan mengedepankan potensi,
kemampuan, dan kemandirian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Huruf h
Yang dimaksud dengan asas keseimbangan kemajuan adalah asas pemberdayaan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi
wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional.
Huruf i
Yang dimaksud dengan asas kesatuan ekonomi nasional adalah asas pemberdayaan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang merupakan bagian dari pembangunan kesatuan
ekonomi nasional.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan kekayaan bersih adalah hasil pengurangan total nilai kekayaan
usaha (asset) dengan total nilai kewajiban, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha.
Huruf b
Yang dimaksud dengan hasil hasil penjualan tahunan adalah hasil penjualan bersih
(netto) yang berasal dari penjualan barang dan jasa usahanya dalam satu tahun buku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.


Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan memberikan keringanan tarif prasarana tertentu adalah
pembedaan perlakuan tarif berdasarkan ketetapan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
baik yang secara langsung maupun tidak langsung dengan memberikan keringanan.
Pasal 10
Huruf a
Yang dimaksud dengan bank data dan jaringan informasi bisnis adalah berbagai pusat
data bisnis dan system informasi bisnis yang dimiliki pemerintah atau swasta.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Posisi tawar dalam ketentuan ini dimaksudkan agar dalam melakukan kerjasama usaha
dengan pihak lain mempunyai posisi yang sepadan dan saling menguntungkan.
Huruf f
Cukup jelas.


Huruf g
Penguasaan pasar dan pemusatan usaha harus dicegah agar tidak merugikan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan, adalah
memberikan kemudahan persyaratan dan tata cara perizinan serta informasi yang
seluas-luasnya.
Yang dimaksud dengan sistem pelayanan terpadu satu pintu adalah proses
pengelolaan perizinan usaha yang dimulai dari tahap permohonan sampai dengan
tahap terbitnya dokumen, dilakukan dalam satu tempat berdasarkan prinsip
pelayanan sebagai berikut:
a. kesederhanaan dalam proses;
b. kejelasan dalam persyaratan;
c. kepastian waktu penyelesaian;
d. kepastian biaya;
e. keamanan tempat pelayanan;
f. tanggung jawab petugas pelayanan;
g. kelengkapan sarana dan prasarana pelayanan;
h. kemudahan akses pelayanan; dan
i. kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan pelayanan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.


Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan memprioritaskan adalah untuk memperdayakan Usaha
Kecil dan Menengah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan incubator adalah lembaga yang menyediakan layanan
penumbuhan wirausaha baru dan perkuatan akses sumber daya kemajuan usaha kepada
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagai mitra usahanya. Inkubator yang
dikembangkan meliputi: incubator teknologi, bisnis, dan incubator lainnya sesuai dengan
potensi dan sumber daya ekonomi local.
Yang dimaksud dengan lembaga layanan pengembangan usaha (bussines development
services-providers) adalah lembaga yang memberikan jasa konsultasi dan pendampingan
untuk mengembangkan Usaha Mikro, Kecil dan menengah.
Yang dimaksud dengan konsultasi keuangan mitra bank adalah konsultan pada
lembaga pengembangan usaha yang tugasnya melakukan konsultasi dan pendampingan
kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah agar mampu mengakses kredit perbankan
dan/atau pembiayaan dari lembaga keuangan selain bank.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat konsistensi dalam menjaga kualitas
produk.
Huruf d


Yang dimaksud dengan kemampuan rancang bangun adalah kemampuan untuk


mendesain suatu kegiatan usaha.
Yang dimaksud dengan kemampuan perekayasaan (engineering) adalah
kemampuan untuk mengubah suatu proses, atau cara pembuatan suatu produk
dan/atau jasa.
Pasal 18
Huruf a
Penelitian dan pengkajian pemasaran yang dilakukan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah meliputi kegiatan pemetaan potensi dan kekuatan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah yang ditujukan untuk menetapkan kebijakan
Pemerintah dan pemerintah Daerah guna pengembangan usaha serta perluasan
dan pembukaan usaha baru.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.


Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan pembiayaan untuk Usaha mikro berdasarkan
Undang-Undang ini dapat dikembangkan lembaga keuangan untuk Usaha Mikro
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan kesempatan pemilikan saham adalah bahwa Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah mendapat prioritas dalam kepemilikan saham usaha besar yang terbuka
(go public).
Pasal 34
Cukup jelas.


Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4866





2.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999


tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 7 TAHUN 1999
TENTANG
PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya alam yang tidak
ternilai harganya sehingga kelestariannya perlu dijaga melalui upaya pengawetan
jenis;
b. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, dipandang perlu untuk menetapkan peraturan tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa dengan Peraturan Pemerintah.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 167 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2823);
3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun
1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3419);
5. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3478);

6. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan


Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3482);
7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Tahun 1994
Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);
8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3544);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3776);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN
DAN SATWA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pengawetan adalah upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya tidak
punah.
2. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya adalah upaya menjaga
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa agar tidak punah.
3. Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan
dan atau satwa di luar habitatnya (ex situ), baik berupa lembaga pemerintah
maupun lembaga non pemerintah.

4. Identifikasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengenal jenis, keadaan
umum, status populasi dan tempat hidupnya yang dilakukan di dalam habitatnya.
5. Inventarisasi jenis tumbuhan atau satwa adalah upaya mengetahui kondisi dan
status populasi secara lebih rinci serta daerah penyebarannya yang dilakukan di
dalam dan di luar habitatnya maupun di lembaga konservasi.
6. Jenis tumbuhan atau satwa adalah jenis yang secara ilmiah disebut species atau
anak-anak jenis yang secara ilmiah disebut sub-species baik di dalam maupun di
luar habitatnya.
7. Populasi adalah kelompok individu dari jenis tertentu di tempat tertentu yang
secara alami dan dalam jangka panjang mempunyai kecenderungan untuk
mencapai keseimbangan populasi secara dinamis sesuai dengan kondisi habitat
beserta lingkungannya.
8. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan.
Pasal 2
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk :
a. menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya kepunahan;
b. menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa;
c. memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada;
agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.
BAB II
UPAYA PENGAWETAN
Pasal 3
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui upaya :
a. penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;
b. pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya;
c. pemeliharaan dan pengembangbiakan.
BAB III
PENETAPAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
Pasal 4
1. Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan :
a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi;

2. Jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini.
3.

Perubahan dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi
dan sebaliknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat
pertimbangan Otoritas Keilmuan (Scientific Authority).
Pasal 5

1.

Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi
apabila telah memenuhi kriteria :
a. mempunyai populasi yang kecil;
b. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam;
c. daerah penyebaran yang terbatas (endemik).

2.

Terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi kriteria sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan upaya pengawetan.
Pasal 6

Suatu jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dapat diubah statusnya menjadi tidak
dilindungi apabila populasinya telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu sehingga
jenis yang bersangkutan tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
BAB IV
PENGELOLAAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA SERTA HABITATNYA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan
Pemerintah ini tidak mengurangi arti ketentuan tentang pengelolaan jenis tumbuhan
dan satwa pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai kawasan suaka alam dan
kawasan pelestarian alam.
Pasal 8
1.

Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di


dalam habitatnya (in situ).

2.

Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan


kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk menambah dan
memulihkan populasi.

3.

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ) dilakukan
dalam bentuk kegiatan :
a. Identifikasi;
b. Inventarisasi;
c. Pemantauan;
d. Pembinaan habitat dan populasinya;
e. Penyelamatan jenis;
f. Pengkajian, penelitian dan pengembangannya.

4.

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya (ex situ) dilakukan
dalam bentuk kegiatan :
a. Pemeliharaan;
b. Pengembangbiakan;
c. Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
d. Rehabilitasi satwa;
e. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.
Bagian Kedua
Pengelolaan dalam Habitat (In Situ)
Pasal 9

1.

Pemerintah melaksanakan identifikasi di dalam habitat sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a untuk kepentingan penetapan golongan jenis
tumbuhan dan satwa.

2.

Ketentuan lebih lanjut mengenai identifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) diatur oleh Menteri.
Pasal 10

1.

Pemerintah melaksanakan inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat


(3) huruf b, untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa.

2.

Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi survei dan


pengamatan terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa.

3.

Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan


pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

4.

Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 11

(1) Pemerintah melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat


(3) huruf c, untuk mengetahui kecenderungan perkembangan populasi jenis
tumbuhan dan satwa dari waktu ke waktu.
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui survei
dan pengamatan terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa secara berkala.
(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan
pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat(2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 12
(1) Pemerintah melaksanakan pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) huruf d, untuk menjaga keberadaan populasi jenis
tumbuhan dan satwa dalam keadaan seimbang dengan daya dukung habitatnya.
(2) Pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan melalui kegiatan :
a. Pembinaan padang rumput untuk makan satwa;
b. Penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung dan sarang satwa, pohon
sumber makan satwa;
c. Pembuatan fasilitas air minum, tempat berkubang dan mandi satwa;
d. Penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi satwa;
e. Penambahan tumbuhan atau satwa asli;
f. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.
(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan habitat dan populasi tumbuhan dan
satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh
Menteri.

Pasal 13
(1) Pemerintah melaksanakan tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e, terhadap jenis tumbuhan
dan satwa yang terancam bahaya kepunahan yang masih berada di habitatnya.
(2) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan melalui pengembangbiakan, pengobatan, pemeliharaan dan atau
pemindahan dari habitatnya ke habitat di lokasi lain.
(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melakukan tindakan
penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 14
(1) Pemerintah melaksanakan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis
tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f, untuk
menunjang tetap terjaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber daya jenis
tumbuhan dan satwa secara lestari.
(2) Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa
sebagaimana dalam ayat (1) dilaksanakan melalui pengkajian terhadap aspekaspek biologis dan ekologis baik dalam bentuk penelitian dasar, terapan dan
ujicoba.
(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat melaksanakan kegiatan
pengkajian, penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Pengelolaan di Luar Habitat (Ex Situ)
Pasal 15
(1) Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a, dilaksanakan untuk menyelamatkan sumber daya
genetik dan populasi jenis tumbuhan dan satwa.

(2) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi juga koleksi jenis
tumbuhan dan satwa di lembaga konservasi.
(3) Pemeliharaan jenis di luar habitat wajib memenuhi syarat :
a. Memenuhi standar kesehatan tumbuhan dan satwa;
b. Menyediakan tempat yang cukup luas, aman dan nyaman;
c. Mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan
pemeliharaan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan jenis di luar habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 16
(1) Pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b dilaksanakan untuk pengembangan
populasi di alam agar tidak punah.
(2) Kegiatan pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
dengan tetap menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik.
(3) Pengembangbiakan jenis di luar habitatnya wajib memenuhi syarat :
a. Menjaga kemurnian jenis;
b. Menjaga keanekaragaman genetik;
c. Melakukan penandaan dan sertifikasi;
d. Membuat buku daftar silsilah (studbook).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa di
luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
diatur oleh Menteri.
Pasal 17
(1) Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf c dilakukan sebagai upaya
untuk menunjang tetap terjaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber
daya jenis tumbuhan dan satwa secara lestari.
(2) Kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui pengkajian terhadap
aspek-aspek biologis dan ekologis baik dalam bentuk penelitian dasar, terapan dan
ujicoba.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis
tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 18
(1) Rehabilitasi satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat
(4) huruf d dilaksanakan untuk mengadaptasikan satwa yang karena suatu sebab
berada di lingkungan manusia, untuk dikembalikan ke habitatnya.
(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui kegiatankegiatan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit, mengobati dan memilih
satwa yang layak untuk dikembalikan ke habitatnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi satwa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 19
(1) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan habitatnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf e dilaksanakan untuk mencegah
kepunahan lokal jenis tumbuhan dan satwa akibat adanya bencana alam dan
kegiatan manusia.
(2) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan melalui kegiatan-kegiatan :
a. memindahkan jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya yang lebih baik;
b. mengembalikan ke habitatnya, rehabilitasi atau apabila tidak mungkin,
menyerahkan atau menitipkan di Lembaga Konservasi atau apabila rusak, cacat
atau tidak memungkinkan hidup lebih baik memusnahkannya.
Pasal 20
(1) Pengelolaan di luar habitat jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat
dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan
pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 21
(1) Jenis tumbuhan dan satwa hasil pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15, Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 19 dapat dilepaskan kembali ke habitatnya
dengan syarat :

a. habitat pelepasan merupakan bagian dari sebaran asli jenis yang dilepaskan;
b. tumbuhan dan satwa yang dilepaskan harus secara fisik sehat dan memiliki
keragaman genetik yang tinggi;
c. memperhatikan keberadaan penghuni habitat.
(2) Ketentuan labih lanjut mengenai pelepasan kembali jenis tumbuhan dan satwa ke
habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
BAB V
LEMBAGA KONSERVASI
Pasal 22
(1) Lembaga Konservasi mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan atau
penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian
jenisnya.
(2) Disamping mempunyai fungsi utama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Lembaga Konservasi juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan dan
penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan.
(3) Lembaga Konservasi dapat berbentuk Kebun Binatang, Museum Zoologi, Taman
Satwa Khusus, Kebun Botani, Herbarium dan Taman Tumbuhan Khusus.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 23
(1) Dalam rangka menjalankan fungsinya, Lembaga Konservasi dapat memperoleh
tumbuhan dan atau satwa baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi meliputi :
a. pengambilan atau penangkaran dari alam;
b. hasil sitaan;
c. tukar menukar;
d. pembelian, untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh tumbuhan dan satwa
untuk Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh
Menteri.

Pasal 24
(1) Dalam rangka pengembangbiakan dan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa,
Lembaga Konervasi dapat melakukan tukar menukar tumbuhan atau satwa yang
dilindungi dengan lembaga sejenis di luar negeri.
(2) Tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan
jenis-jenis yang nilai konservasinya dan jumlahnya seimbang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
BAB VI
PENGIRIMAN ATAU PENGANGKUTAN TUMBUHAN DAN SATWA
YANG DILINDUNGI
Pasal 25
(1) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dari jenis yang dilindungi dari
dan ke suatu tempat di wilayah Republik Indonesia atau dari dan keluar wilayah
Republik Indonesia dilakukan atas dasar ijin Menteri.
(2) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus :
a. dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dari instansi yang
berwenang;
b. dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku.
(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengiriman atau pengangkutan jenis
tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
oleh Menteri.
BAB VII
SATWA YANG MEMBAHAYAKAN KEHIDUPAN MANUSIA
Pasal 26

(1) Satwa yang karena suatu sebab keluar dari habitatnya dan membahayakan
kehidupan manusia, harus digiring atau ditangkap dalam keadaan hidup untuk
dikembalikan ke habitatnya atau apabila tidak memungkinkan untuk dilepaskan
kembali ke habitatnya, satwa dimaksud dikirim ke Lembaga Konservasi untuk
dipelihara.

(2) Apabila cara sebagaimana dimaksud alam ayat (1) tidak dapat dilaksanakan, maka
satwa yang mengancam jiwa manusia secara langsung dapat dibunuh.
(3) Penangkapan atau pembunuhan satwa yang dilindungi sebagaimana dalam ayat
(1) dan ayat (2) dilakukan oleh petugas berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai petugas dan perlakuan terhadap satwa yang
membahayakan kehidupan manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
BAB VIII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 27
(1) Dalam rangka pengawetan tumbuhan dan satwa, dilakukan melalui pengawasan
dan pengendalian.
(2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang berwenang sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan
melalui tindakan :
a. preventif; dan
b. represif.
(4) Tindakan preventif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a meliputi :
a. penyuluhan;
b. pelatihan penegakan hukum bagi aparat-aparat hukum;
c. penerbitan buku-buku manual identifikasi jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi dan yang tidak dilindungi.
(5) Tindakan represif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b meliputi tindakan
penegakan hukum terhadap dugaan adanya tindakan hukum terhadap usaha
pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka segala peraturan pelaksanaan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan

dan satwa yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dicabut atau diganti
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Januari 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Januari 1999
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
AKBAR TANDJUNG

3.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2008


tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman
Modal Di Bidang Bidang Usaha Tertentu dan/atau Di Daerah
Daerah Tertentu.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 62 TAHUN 2008
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 1 TAHUN 2007
TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI
BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH
TERTENTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

: a. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kegiatan investasi langsung


guna mendorong pertumbuhan ekonomi, serta untuk pemerataan
pembangunan dan percepatan pembangunan bagi bidang usaha
tertentu dan/atau daerah tertentu, perlu mengubah Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-daerah Tertentu;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu;

Mengingat

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4675);

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN


PEMERINTAH NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG FASILITAS PAJAK
PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA
TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007
tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidangbidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4675) diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 4
Apabila Wajib Pajak yang telah mendapatkan fasilitas tidak lagi
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dan/atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, maka :
a. fasilitas yang telah diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah
ini dicabut;
b. dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan; dan
c. tidak dapat lagi diberikan fasilitas berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini.
2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A
yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 4A
Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri semen
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah ini,
yang melakukan rekonstruksi akibat bencana tsunami di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera
Utara, dapat memperoleh fasilitas berdasarkan Peraturan Pemerintah
ini terhitung sejak tanggal 1 Januari 2005.
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 5
(1) Pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini akan dievaluasi dalam
waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim
yang dibentuk dengan Keputusan Menteri Koordinator Bidang

Perekonomian.
4. Lampiran I diubah sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran I Peraturan Pemerintah ini, yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
5. Lampiran II diubah sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran II Peraturan Pemerintah ini, yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 132

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 62 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 1 TAHUN 2007
TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI
BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU
I.

UMUM
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di
Daerah-daerah Tertentu, Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidangbidang usaha tertentu dan/atau di daerah tertentu dapat memperoleh fasilitas Pajak
Penghasilan. Dalam rangka lebih meningkatkan kegiatan investasi langsung guna
mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan percepatan
pembangunan untuk bidang usaha tertentu dan/atau daerah tertentu yang sudah
dilakukan oleh Wajib Pajak, perlu mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang
Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu dengan melakukan penyesuaian
terhadap cakupan bidang usaha dan daerah tertentu.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal I
Angka 1
Pasal 4
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 4A
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4892

4.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2011


tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun

2007

tentang

Fasilitas

Pajak

Penghasilan

Untuk

Penanaman Modal Di Bidang Bidang Usaha Tertentu dan/atau


Di Daerah Daerah Tertentu.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 52 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 1 TAHUN 2007
TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI
BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH
TERTENTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kegiatan investasi langsung
guna mendorong pertumbuhan ekonomi, serta untuk pemerataan
pembangunan dan percepatan pembangunan bagi bidang usaha
tertentu dan/atau daerah tertentu, perlu mengubah Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau
di Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas
Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerah-daerah tertentu;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidangbidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu;
Mengingat

: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undangundang 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4675), sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidangbidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 132,
Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 4892);
MEMUTUSKAN
Menetapkan

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN KEDUA


ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 1 TAHUN 2007
TENTANG
FASILITAS
PAJAK
PENGHASILAN
UNTUK
PENANAMAN MODAL DI BIDANG-BIDANG USAHA TERTENTU
DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2007, tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di
Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 1,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4675),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62
Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah
Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4892),
diubah sebagai berikut;

1.

Ketentuan Pasal 2 ayat (2) diubah dan di antara ayat (2) dan ayat
(3) Pasal 2 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a), sehingga Pasal 2
berbunyi sebagai berikut;

Pasal 2
(1). Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan
terbatas dan koperasi yang melakukan penanaman modal
pada;
a. bidang-bidang usaha tertentu sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran I Peraturan Pemerintah ini; atau
b. bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan
pemerintah ini,
dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.
(2). Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi :
a. pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh
persen) dari jumlah Penanaman Modal, dibebankan selama 6
(enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) per
tahun;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat sebagai berikut :
Kelompok Aktiva Tetap
Berwujud

Masa
Manfaat
menjadi

Tarif Penyusutan dan


amortisasi
berdasarkan metode
Garis
Saldo
Lurus
Menurun

I. Bukan Bangunan :
Kelompok I
2 Tahun

50%

100%
(dibebankan
sekaligus)

Kelompok II

4 Tahun

25%

50%

Kelompok III

8 Tahun

12,5%

25%

Kelompok IV

10 Tahun

10%

20%

II.Bangunan :
Permanen
Tidak Permanen

10 Tahun

10%

5 Tahun

20%

c. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan


kepada subjek pajak luar negeri sebesar 10% (sepuluh
persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku; dan

d. kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun


tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun dengan ketentuan :
1) tambahan 1 tahun

apabila penanaman modal baru


pada bidang usaha yang diatur
pada ayat (1) huruf a dilakukan
di
kawasan
industri
dan
kawasan berikat;

2) tambahan 1 tahun

apabila
mempekerjakan
sekurang - kurangnya 500 (lima
ratus) orang tenaga kerja
Indonesia selama 5 (lima)
tahun berturut-turut;

3) tambahan 1 tahun

apabila penanaman modal baru


memerlukan
investasi/pengeluaran
untuk
infrastruktur ekonomi dan sosial
di lokasi usaha paling sedikit
sebesar
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah);

4) tambahan 1 tahun

5) tambahan 1 tahun

: apabila mengeluarkan biaya


penelitian dan pengembangan
di dalam negeri dalam rangka
pengembangan produk atau
efisiensi produksi paling sedikit
5% (lima persen) dari investasi
dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun; dan/atau
:

apabila menggunakan bahan


baku dan/atau komponen hasil
produksi dalam negeri paling
sedikit 70% (tujuh puluh
persen) sejak tahun ke 4
(empat).

(2a) Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dapat dimanfaatkan setelah Wajib Pajak merealisasikan
rencana penanaman modal paling sedikit 80% (delapan
puluh persen).

(3) Menteri Keuangan menerbitkan keputusan pemberian


fasilitas Pajak Penghasilan setelah mempertimbangkan
usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
2.

Di antara Pasal 4A dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal


4B, yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 4B
Bagi Wajib Pajak yang telah memiliki izin penanaman modal sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dapat diberikan fasilitas Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sepanjang :
a. memiliki
rencana
penanaman
modal
paling
sedikit
Rp.1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); dan
b. belum beroperasi secara komersial pada saat Peraturan
Pemerintah ini berlaku.

3.

Diantara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal


7A, yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 7A
Wajib Pajak yang telah mendapatkan keputusan pemberian fasilitas
Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha
Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu, sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Daerahdaerah Tertentu sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, tidak
berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2a).

4.

Lampiran I diubah menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran


I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah ini.

5.

Lampiran II diubah menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran


II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal II

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2011
D

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 133
Sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Perekonomian,
ttd
SETIO SAPTO NUGROHO

PENJELASAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 52 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 1 TAHUN 2007
TENTANG FASILITAS PAJAK PENGHASILAN UNTUK PENANAMAN MODAL DI
BIDANG USAHA-USAHA TERTENTU DAN/ATAU DI DAERAH-DAERAH TERTENTU
I.

UMUM
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 tahun 2008 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman modal Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di
Daerah-daerah Tertentu, Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang
usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu dapat memperoleh fasilitas Pajak
Penghasilan.
Dalam rangka lebih meningkatkan kegiatan investasi langsung guna mendorong
pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan percepatan pembangunan
untuk bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu yang sudah dilakukan
oleh Wajib Pajak, perlu melakukan perubahan kedua Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62
Tahun 2008 dengan Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidangbidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu dengan melakukan
penyesuaian terhadap cakupan bidang usaha dan daerah tertentu.

II.

PASAL DEMI PASAL


Pasal I

Angka 1
Pasal 2
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 4B
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 7A

Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5264

Lampiran I
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
Nomor 62 Tahun 2011
Tanggal 22 Desember 2011

No.
1.

BIDANG USAHA TERTENTU


BIDANG
KBLI
CAKUPAN PRODUK
PERSYARATAN
USAHA
KEHUTANAN
DAN
PENEBANGAN
KAYU
Pengusahaan 02111 Penyiapan
lahan,
pembibitan, 5000 Ha
Kayu jati
penanaman,
pemeliharaan,
pemanenan, dan pemasaran produk
tanaman hutan jati

Lampiran II
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
Nomor 62 Tahun 2011
Tanggal 22 Desember 2011
BIDANG USAHA TERTENTU DAN DAERAH TERTENTU
No. BIDANG USAHA KBLI
1.

CAKUPAN
PRODUK

DAERAH/PROVINSI PERSYARATAN

KEHUTANAN
DAN
PENEBANGAN
KAYU
Pengusahaan
Hutan Pinus

02112 Kegiatan
Penyiapan
lahan,
pembibitan,
penanaman,
pemeliharaan,
pemanenan dan
pemasaran
produk
tanaman pinus

Aceh,
Sumatera Minimal 5.000
Utara, Riau, Jambi, Ha
Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat,
Kalimantan
Tengah,
Kalimantan
Selatan,
Kalimantan Timur,
Maluku,
Papua,
Papua Barat

2.

Pengusahaan
Hutan Mahoni

02113 Kegiatan
penyiapan
lahan,
pembibitan,
penanaman,
pemeliharaan,
pemanenan dan
pemasaran
produk
tanaman
mahoni

Aceh,
Sumatera Minimal 5.000
Utara, Riau, Jambi, Ha
Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat,
Kalimantan
Tengah,
Kalimantan
Selatan,
Kalimantan Timur,
Maluku,
Papua,
Papua Barat

3.

Pengusahaan
Hutan
Sonokeling

02114 Kegiatan
penyiapan
lahan,
pembibitan,
penanaman,
pemeliharaan,
pemanenan dan
pemasaran
produk
tanaman

Aceh,
Sumatera Minimal 5.000
Utara, Riau, Jambi, Ha
Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat,
Kalimantan
Tengah,
Kalimantan
Selatan,
Kalimantan Timur,
Maluku,
Papua,

Sonokeling

Papua Barat

4.

02115 Kegiatan
Pengusahaan
Hutan
penyiapan
Albasia/Jeunjing
lahan,
pembibitan,
penanaman,
pemeliharaan,
pemanenan dan
pemasaran
produk
tanaman
Albasia/Jeunjing

Aceh,
Sumatera Minimal 5.000
Utara, Riau, Jambi, Ha
Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat,
Kalimantan
Tengah,
Kalimantan
Selatan,
Kalimantan Timur,
Maluku,
Papua,
Papua Barat

5.

Pengusahaan
Hutan Cendana

02116 Kegiatan
penyiapan
lahan,
pembibitan,
penanaman,
pemeliharaan,
pemanenan dan
pemasaran
produk
tanaman
Cendana

Aceh,
Sumatera Minimal 5.000
Utara, Riau, Jambi, Ha
Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat,
Kalimantan
Tengah,
Kalimantan
Selatan,
Kalimantan Timur,
Maluku,
Papua,
Papua Barat

6.

Pengusahaan
Hutan Akasia

02117 Kegiatan
penyiapan
lahan,
pembibitan,
penanaman,
pemeliharaan,
pemanenan dan
pemasaran
produk
tanaman Akasia

Aceh,
Sumatera Minimal 5.000
Utara, Riau, Jambi, Ha
Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat,
Kalimantan
Tengah,
Kalimantan
Selatan,
Kalimantan Timur,
Maluku,
Papua,
Papua Barat

7.

Pengusahaan
Hutan Ekaliptus

02118 Kegiatan
penyiapan
lahan,
pembibitan,
penanaman,
pemeliharaan,
pemanenan dan
pemasaran
produk
tanaman
Ekaliptus

Aceh,
Sumatera Minimal 5.000
Utara, Riau, Jambi, Ha
Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat,
Kalimantan
Tengah,
Kalimantan
Selatan,
Kalimantan Timur,
Maluku,
Papua,
Papua Barat

8.

Pengusahaan
Hutan Lainnya

02119 Kegiatan
penyiapan
lahan,
pembibitan,
penanaman,
pemeliharaan,
pemanenan dan
pemasaran
produk
tanaman
Sungkai, kayu
karet, gmelina,
dan/atau
meranti

Aceh,
Sumatera Minimal 5.000
Utara, Riau, Jambi, Ha
Sumatera Selatan,
Kalimantan Barat,
Kalimantan
Tengah,
Kalimantan
Selatan,
Kalimantan Timur,
Maluku,
Papua,
Papua Barat





5.

Pemerintah Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2007


tentang

Perubahan

Peraturan

Menteri

Kehutanan

P.53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi.

Nomor

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


PERATURAN MENTERI KEHUTANAN
NOMOR : P.01/Menhut-II/2007
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN
NOMOR P.53/Menhut-II/2006
TENTANG LEMBAGA KONSERVASI
MENTERI KEHUTANAN,
Menimbang : a.

bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.


53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi telah ditetapkan
bahwa lembaga konservasi dapat diberikan kepada lembaga
pemerintah dalam bentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);

b. bahwa sebelum diterbitkannya Peraturan Menteri Kehutanan


Nomor P.53/Menhut-II/2006 terdapat lembaga konservasi yang
berbentuk kebun binatang yang pengelolaannya dilakukan oleh
Pemerintah daerah;
c.

bahwa untuk mendirikan BUMD sebagaimana huruf a, diperlukan


waktu yang cukup lama sehingga akan menghambat kelangsungan
pengelolaan lembaga konservasi sebagaimana dimaksud huruf b;

d. bahwa untuk kesinambungan pengelolaan lembaga konservasi


dimaksud, Pemerintah Daerah dapat melakukan pendaftaran sampai
terbentuknya BUMD untuk mengelola lembaga konservasi tersebut;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf b,c dan d di atas, maka
dipandang perlu menetapkan Peraturan Menteri kehutanan tentang
Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 53/Menhut-II/2006
tentang Lembaga Konservasi.

Mengingat

: 1.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;

2. Undang-undang Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan


Konvensi PBB Mengenai Keanekaragaman Hayati;
3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak;
4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
6. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif Atas
jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Departemen Kehutanan dan Perkebunan;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar;
10. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom;
11. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan
dan Penggunaan Kawasan Hutan;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan;
13. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian
Negara Republik Indonesia;
14. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik
Indonesia;

15. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1978


tentang Pengesahan Convention on Internasional Trade in
Endangered Spesies (CITES) of Wild Fauna and Flora;
16. Keputusan Presiden
Nomor 187/M
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;

Tahun

2004

tentang

17. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 104/Kpts-II/2003 tentang


Penunjukan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam sebagai Otorita Pengelola (Management Authority) CITES di
Indonesia;
18. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 355/Kpts-II/2003 tentang
Penandaan Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar;
19. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 Tentang
Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran
Tumbuhan dan Satwa Liar;
20. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005 jis
P.17/Menhut-II/2005 dan P.35/Menhut-II/2005 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Departemen Kehutanan;
21. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang
Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
22. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/Menhut-II/2006 tentang
Lembaga Konservasi.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PERUBAHAN
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.53/MenhutII/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI.
Pasal I
Menambah 2 (dua) ayat pada Pasal 38 yaitu :
(6) Pendaftaran sebagai Lembaga Konservasi dapat diberikan kepada Pemerintah
Daerah cq. Dinas Pariwisata atau Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), apabila

kebun binatang yang dikelolanya didirikan sebelum diterbitkannya Peraturan


Menteri Kehutanan Nomor P.53/Menhut-II/2006.
(7)

Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak pendaftaran sebagai Lembaga


Konservasi, Pemerintah Daerah harus membentuk BUMD untuk mengelola
Lembaga Konservasi dimaksud, dan melaporkan pelaksanaannya kepada Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Pasal II

(1) Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi, masih tetap berlaku sepanjang
tidak diubah dengan Peraturan ini.
(2) Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal : 22-1-2007
MENTERI KEHUTANAN
ttd
H.M.S. KABAN, SE, M.Si.
Salinan Peraturan ini disampaikan kepada :
1. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu;
2. Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan;
3. Inspektur Jenderal Departemen Kehutanan;
4. Para Direktur Jenderal/Kepala Badan Lingkup Departemen Kehutanan;
5. Gubernur seluruh Indonesia;
6. Bupati/Walikota seluruh Indonesia;
7. Kepala Balai KSDA seluruh Indonesia.





6.

Peraturan

Menteri

Kehutanan

tentang Hutan Kemasyarakatan.

Nomor

P.37/Menhut-II/2007

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN


Nomor : P. 37/Menhut-II/2007
TENTANG
HUTAN KEMASYARAKATAN
MENTERI KEHUTANAN,
Menimbang

bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 93 ayat (2),


Pasal 94 ayat (3), Pasal 95 ayat (2), Pasal 96 ayat (8), dan Pasal 98
ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan
tentang Hutan Kemasyarakatan;

Mengingat

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun
1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3699);
3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Ketentuan
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi Undang-undang;
4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

5. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan


Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana
Reboisasi;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Hutan;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan

PERATURAN MENTERI
KEMASYARAKATAN

KEHUTANAN

TENTANG

HUTAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud :
1. Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan
untuk memberdayakan masyarakat setempat.
2. Pemberdayaan masyarakat setempat adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan
dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumberdaya
hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses
dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
3. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas
tanah.
4. Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik
Indonesia yang tinggal di dalam dan/atau di sekitar hutan, yang bermukim di dalam
dan/atau di sekitar kawasan hutan yang memiliki komunitas sosial dengan kesamaan
mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan aktivitasnya dapat berpengaruh
terhadap ekosistem hutan.
5. Kelompok masyarakat setempat adalah kumpulan dari sejumlah individu dari
masyarakat setempat yang memenuhi ketentuan kriteria sebagai kelompok
masyarakat setempat dan ditetapkan oleh Bupati/Walikota untuk diberdayakan.

6. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh
Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
7. Areal kerja hutan kemasyarakatan adalah satu kesatuan hamparan kawasan hutan
yang dapat dikelola oleh kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat
secara lestari.
8. Penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan adalah pencadangan areal kawasan
hutan oleh Menteri untuk areal kerja hutan kemasyarakatan.
9. Fasilitasi adalah upaya penyediaan kemudahan dalam memberdayakan masyarakat
setempat dengan cara pemberian status legalitas, pengembangan kelembagaan,
pengembangan usaha, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, akses terhadap
pasar, serta pembinaan dan pengendalian.
10. Kawasan Pengelolaan Hutan adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok
dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
11. Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan yang selanjutnya disingkat IUPHKm,
adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan sumber daya hutan pada
kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan produksi.
12. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Kemasyarakatan yang
selanjutnya disingkat IUPHHK HKm adalah izin usaha yang diberikan untuk
memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam areal kerja IUPHKm pada hutan
produksi.
13. Pemanfaatan kawasan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh yang
membentuk strata tajuk lengkap sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat
sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi
utamanya.
14. Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa
lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya.
15. Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan
mengusahakan hasil hutan berupa kayu hasil penanaman dengan tidak merusak
lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.
16. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan
mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan
tidak mengurangi fungsi pokoknya.
17. Pemungutan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan berupa
kayu di hutan produksi dengan batasan waktu, luas dan/atau volume tertentu yang
tersedia secara alami.
18. Pemungutan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan
bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/atau volume tertentu yang tersedia
secara alami atau hasil budidaya.

19. Pohon serbaguna (Multi Purpose Trees Species) adalah tumbuhan berkayu dimana
buah, bunga, getah, daun, dan/atau kulit dapat dimanfaatkan bagi penghidupan
masyarakat, disamping berfungsi sebagai tanaman lindung, pencegah erosi, banjir,
longsor. Budidaya tanaman tersebut tidak memerlukan pemeliharaan intensif.
20. Rencana kerja IUPHKm adalah rencana kerja yang terdiri dari rencana umum dan
rencana operasional dalam hutan kemasyarakatan.
21. Rencana kerja IUPHHK HKm adalah rencana operasional pemanfaatan kayu yang
disusun berdasarkan rencana umum dalam hutan kemasyarakatan.
22. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
kehutanan.
23. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat
pemerintahan daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan.
24. Pemerintah Pusat selanjutnya disingkat Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Bagian Kedua
Azas dan Prinsip
Pasal 2
(1) Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan berazaskan :
a. manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya;
b. musyawarah-mufakat;
c. keadilan.
(2) Untuk melaksanakan azas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan prinsip :
a. tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan;
b. pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan dari hasil kegiatan
penanaman;
c. mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya;
d. menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa;
e. meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan;
f. memerankan masyarakat sebagai pelaku utama;
g. adanya kepastian hukum;
h. transparansi dan akuntabilitas publik;
i. partisipatif dalam pengambilan keputusan.
Bagian Ketiga
Maksud, Tujuan dan Ruang Lingkup
Pasal 3
Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan

pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari
guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk
memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat.
Pasal 4
Hutan kemasyarakatan bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat
melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan
tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.
Pasal 5
Ruang lingkup pengaturan hutan kemasyarakatan meliputi :
a. penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan;
b. perizinan dalam hutan kemasyarakatan;
c. hak dan kewajiban;
d. pembinaan, pengendalian dan pembiayaan;
e. sanksi.
BAB II
PENETAPAN AREAL KERJA HUTAN KEMASYARAKATAN
Bagian Kesatu
Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan
Pasal 6
Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah
kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi.
Pasal 7
Kawasan hutan lindung dan hutan produksi dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan
kemasyarakatan dengan ketentuan :
a. belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan
b. menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat.
Bagian Kedua
Tata Cara Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan
Pasal 8
(1) Kelompok masyarakat setempat mengajukan permohonan izin kepada :
a. Gubernur, pada areal kerja hutan kemasyarakatan lintas kabupaten/kota yang ada
dalam wilayah kewenangannya;
b. Bupati/Walikota, pada areal kerja hutan kemasyarakatan lintas kabupaten/kota
yang ada dalam wilayah kewenangannya.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan sketsa areal
kerja yang dimohon dan surat keterangan kelompok yang memuat data dasar

kelompok masyarakat dari Kepala Desa.


(3) Sketsa areal kerja antara lain memuat informasi mengenai wilayah administrasi
pemerintahan, potensi kawasan hutan, koordinat dan batas-batas yang jelas serta
dapat diketahui luas arealnya.
(4) Berdasarkan permohonan-permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
selanjutnya :
a. Gubernur atau Bupati/Walikota mengajukan usulan penetapan areal kerja hutan
kemasyarakatan kepada Menteri setelah diversifikasi oleh tim yang dibentuk
Gubernur atau Bupati/Walikota.
b. Pedoman verifikasi ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota selambatlambatnya satu bulan setelah berlakunya Peraturan Menteri ini.
(5) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) butir (a) dilakukan sebagai berikut :
a. Verifikasi dilakukan oleh tim yang terdiri dari unsur Dinas Provinsi atau unsur Dinas
Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan.
b. Tim sebagaimana dimaksud pada butir a dapat didampingi oleh para pihak terkait
terutama LSM yang menjadi fasilitator.
c. Verifikasi dilakukan atas dasar kesesuaian dengan rencana pengelolaan yang telah
disusun oleh KPH atau pejabat yang ditunjuk.
d. Tim melengkapi hasil inventarisasinya dengan data dasar masyarakat dan data
potensi kawasan.
e. Verifikasi antara lain meliputi : keabsahan surat Kepala Desa serta kesesuaian areal
untuk kegiatan Hutan Kemasyarakatan.
(6) Berdasarkan dari hasil verifikasi yang telah dilakukan oleh Tim Verifikasi maka :
a. Tim verifikasi dapat menolak atau menerima untuk seluruh atau sebagian
permohonan penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan.
b. Terhadap permohonan yang ditolak sebagaimana dimaksud pada butir (a), tim
verifikasi melaporkan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota.
c. Terhadap permohonan yang diterima untuk seluruh atau sebagian sebagaimana
butir (a) tim verifikasi menyampaikan rekomendasi kepada Gubernur dan/atau
Bupati/Walikota.
(7) Berdasarkan hasil verifikasi, Gubernur atau Bupati/Walikota menyampaikan usulan
penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan kepada Menteri Kehutanan dilengkapi
dengan peta lokasi calon areal kerja hutan kemasyarakatan dengan skala paling kecil
1 : 50.000, berdasarkan peta dasar yang tersedia (peta rupa bumi), deskripsi wilayah
antara lain keadaan fisik wilayah, data sosial ekonomi dan potensi kawasan hutan,
yang diusulkan.
Pasal 9
(1) Terhadap usulan Gubernur atau Bupati/Walikota, dilakukan verifikasi oleh tim verifikasi
yang dibentuk oleh Menteri.
(2) Tim verifikasi beranggotakan unsur-unsur Eselon I terkait lingkup Departemen
Kehutanan yang dikoordinasikan oleh Kepala Badan Planologi Kehutanan dan
bertanggung jawab kepada Menteri.

(3) Kepala Badan Planologi Kehutanan sebagai koordinator Tim Verifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menugaskan UPT Departemen Kehutanan terkait untuk
melakukan verifikasi ke lapangan.
(4) Verifikasi meliputi : kepastian hak atau ijin yang telah ada serta kesesuaian dengan
fungsi kawasan.
Pasal 10
(1) Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 9, tim verifikasi dapat
menolak, menerima untuk seluruh atau sebagian usulan penetapan areal kerja hutan
kemasyarakatan.
(2) Terhadap usulan yang ditolak sebagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tim
verifikasi menyampaikan pemberitahuan penolakan tersebut kepada Gubernur
dan/atau Bupati/Walikota.
(3) Terhadap usulan yang diterima untuk seluruh atau sebagian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Menteri menetapkan areal kerja hutan kemasyarakatan.
BAB III
PERIZINAN HUTAN KEMASYARAKATAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 11
Perizinan dalam hutan kemasyarakatan dilakukan melalui tahapan :
a. Fasilitasi; dan
b. Pemberian izin.
Bagian Kedua
Fasilitasi
Pasal 12
(1) Fasilitasi bertujuan untuk :
a. Meningkatkan kemampuan masyarakat setempat dalam mengelola organisasi
kelompok;
b. Membimbing masyarakat mengajukan permohonan izin sesuai ketentuan yang
berlaku;
c. Meningkatkan kemampuan masyarakat setempat dalam menyusun rencana kerja
pemanfaatan hutan kemasyarakatan;
d. Meningkatkan kemampuan masyarakat setempat dalam melaksanakan budidaya
hutan melalui pengembangan teknologi yang tepat guna dan peningkatan nilai
tambah hasil hutan;
e. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia masyarakat setempat melalui
pengembangan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan;
f. Memberikan informasi pasar dan modal dalam meningkatkan daya saing dan akses

masyarakat setempat terhadap pasar dan modal;


g. Meningkatkan kemampuan masyarakat setempat dalam mengembangkan usaha
pemanfaatan hutan dan hasil hutan.
(2) Jenis fasilitasi meliputi :
a. Pengembangan kelembagaan kelompok masyarakat setempat.
b. Pengajuan permohonan izin.
c. Penyusunan rencana kerja hutan kemasyarakatan.
d. Teknologi budidaya hutan dan pengolahan hasil hutan.
e. Pendidikan dan latihan.
f. Akses terhadap pasar dan modal.
g. Pengembangan usaha.
(3) Fasilitasi sebagaimana tersebut dalam ayat (2) wajib dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota yang dapat dibantu oleh Pemerintah dan Pemerintah Provinsi.
(4) Pelaksanaan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibantu oleh pihak
lain, antara lain :
a. Perguruan tinggi/lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat;
b. Lembaga swadaya masyarakat;
c. Lembaga keuangan;
d. Koperasi; dan
e. BUMN/BUMD/BUMS.
(5) Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat melakukan fasilitasi sepanjang
memiliki kesepakatan dengan masyarakat setempat dan melakukan koordinasi dengan
Pemerintah Kabupaten/Kota setempat.
Bagian Ketiga
Pemberian Izin
Pasal 13
(1) IUPHKm bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan.
(2) IUPHKm sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dipindahtangankan,
diagunkan, atau digunakan untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan yang
telah disahkan, serta dilarang merubah status dan fungsi kawasan hutan.
Paragraf 1
Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm)
Pasal 14
IUPHKm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dapat diberikan kepada kelompok
masyarakat setempat yang telah mendapat fasilitasi pada kawasan hutan yang telah
ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan Surat Keputusan Menteri.

Pasal 15
IUPHKm yang berada pada :
a. Hutan lindung, meliputi kegiatan :
1. pemanfaatan kawasan;
2. pemanfaatan jasa lingkungan;
3. pemungutan hasil hutan bukan kayu.
b. Hutan produksi meliputi kegiatan :
1. pemanfaatan kawasan;
2. penanaman tanaman hutan berkayu;
3. pemanfaatan jasa lingkungan;
4. pemanfaatan hasil hutan bukan kayu;
5. pemungutan hasil hutan kayu; dan
6. pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pasal 16
(1) Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
huruf a angka 1, dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha :
a. budidaya tanaman obat;
b. budidaya tanaman hias;
c. budidaya jamur;
d. budidaya lebah;
e. budidaya pohon serbaguna;
f. budidaya burung walet;
g. penangkaran satwa liar;
h. rehabilitasi hijauan makanan ternak.
(2) Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 huruf a angka 2, dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha :
a. pemanfaatan jasa aliran air;
b. wisata alam;
c. perlindungan keanekaragaman hayati;
d. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau
e. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
(3) Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 huruf a, dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha :
a. rotan;
b. bambu;
c. madu;
d. getah;
e. buah; atau
f. jamur.
Pasal 17
(1) Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
huruf b angka 1, dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha :
a. budidaya tanaman obat;

b.
c.
d.
e.
f.

budidaya tanaman hias;


budidaya jamur;
budidaya lebah;
penangkaran satwa; dan
budidaya sarang burung walet.

(2) Penanaman tanaman hutan berkayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b
angka 2, dalam hutan tanaman, dapat berupa :
a. tanaman sejenis; dan
b. tanaman berbagai jenis.
(3) Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 huruf b angka 3, dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha :
a. pemanfaatan jasa aliran air;
b. pemanfaatan air;
c. pariwisata alam;
d. perlindungan keanekaragaman hayati;
e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; dan
f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
(4) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b
angka 4 dalam hutan alam, antara lain berupa pemanfaatan :
a. Rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan,
pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil;
b. Getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan,
pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil;
(5) Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b
angka 4 dalam hutan tanaman, antara lain berupa pemanfaatan :
a. rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan,
pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil;
b. getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan penanaman,
pemeliharaan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
(6) Pemungutan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 huruf b angka 5
dalam hutan alam pada hutan produksi diberikan hanya untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan fasilitas umum kelompok masyarakat setempat dengan ketentuan
paling banyak 50 (lima puluh) meter kubik dan tidak untuk diperdagangkan, dan
dikerjakan selama jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(7) Pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 huruf b
angka 6 dalam hutan produksi, dapat berupa pemungutan rotan, madu, getah, buah
atau biji, daun, gaharu, kulit kayu, tanaman obat, dan umbi-umbian, dengan
ketentuan paling banyak 20 (dua puluh) ton untuk setiap pemegang izin.
Pasal 18
Kegiatan pemanfaatan hasil hutan dalam hutan kemasyarakatan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat
(4), ayat (5), ayat (6), ayat (7) dilakukan secara terintegrasi dalam pola wanatani

(agroforestry) dengan stratifikasi tajuk untuk menjamin kesinambungan manfaat dan


kelestarian fungsi hutan.
Pasal 19
Berdasarkan penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan dan fasilitasi, maka :
a. Gubernur, pada areal kerja hutan kemasyarakatan lintas kabupaten/kota yang ada
dalam wilayah kewenangannya memberikan IUPHKm dengan tembusan Menteri Cq.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Bupati/Walikota, dan
Kepala KPH.
b. Bupati/Walikota, pada areal kerja hutan kemasyarakatan yang ada dalam wilayah
kewenangannya memberikan IUPHKm dengan tembusan kepada Menteri Cq. Direktur
Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Gubernur dan Kepala KPH.
Pasal 20
(1) Kelompok masyarakat yang telah memiliki IUPHKm dan akan melanjutkan untuk
mengajukan permohonan IUPHHK HKm wajib membentuk koperasi dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun setelah diberikannya izin.
(2) IUPHKm diberikan untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat
diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 (lima) tahun.
Paragraf 2
IUPHHK HKm
Pasal 21
(1) Permohonan IUPHHK HKm diajukan oleh pemegang IUPHKm yang telah berbentuk
koperasi kepada Menteri.
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat
menerima atau menolak.
(3) Terhadap permohonan yang ditolak Menteri menyampaikan surat pemberitahuan.
(4) Terhadap permohonan yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri
mengeluarkan IUPHHK HKm.
(5) Menteri dapat menugaskan penerbitan IUPHHK HKm kepada Gubernur.
Pasal 22
(1) IUPHHK HKm hanya dapat dilakukan pada hutan produksi.
(2) IUPHHK HKm pada hutan produksi diberikan untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan
tanaman berkayu yang merupakan hasil penanamanannya.

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak
Paragraf 1
Hak Pemegang IUPHKm
Pasal 23
Pemegang IUPHKm berhak :
a. mendapat fasilitas;
b. memanfaatkan hasil hutan non kayu;
c. memanfaatkan jasa lingkungan;
d. memanfaatkan kawasan;
e. memungut hasil hutan kayu.
Paragraf 2
Hak Pemegang IUPHHK HKm
Pasal 24
(1) Pemegang IUPHHK HKm berhak :
a. menebang hasil hutan kayu yang merupakan hasil penanamannya untuk jangka
waktu 1 tahun sesuai dengan rencana kerja tahunan IUPHHK HKm.
b. menebang hasil hutan kayu yang merupakan hasil penanamannya sesuai dengan
rencana operasional.
c. mendapat pelayanan dokumen sahnya hasil hutan sesuai ketentuan.
(2) Apabila jangka waktu IUPHHK HKm telah berakhir, dan dalam areal IUPHKm masih
terdapat tanaman yang akan ditebang, maka pemegang IUPHKm dapat mengajukan
permohonan IUPHHK HKm yang baru.
Bagian Kedua
Kewajiban
Paragraf 1
Kewajiban Pemegang IUPHKm
Pasal 25
Pemegang IUPHKm wajib :
a. melakukan penataan batas areal kerja;
b. menyusun rencana kerja;
c. melakukan penanaman, pemeliharaan dan pengamanan;
d. membayar provisi sumber daya hutan sesuai ketentuan;
e. menyampaikan laporan kegiatan pemanfaatan hutan kemasyarakatan kepada pemberi
izin.

Paragraf 2
Kewajiban pemegang IUPHHK HKm
Pasal 26
Pemegang IUPHHK HKm wajib :
a. membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH);
b. menyusun rencana kerja pemanfaatan hasil hutan kayu selama berlakunya izin;
c. melaksanakan penataan batas areal pemanfaatan hasil hutan kayu;
d. melakukan pengamanan areal tebangan antara lain pencegahan kebakaran,
melindungi pohon-pohon yang tumbuh secara alami (tidak menebang pohon yang
bukan hasil tanaman);
e. melaksanakan penatausahaan hasil hutan sesuai tata usaha kayu hutan tanaman;
f. menyampaikan laporan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu kepada pemberi izin.
Bagian Ketiga
Rencana Kerja
Paragraf 1
Umum
Pasal 27
(1) Rencana kerja dalam hutan kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
dimaksudkan sebagai acuan bagi pemegang IUPHKm dalam melaksanakan kegiatan
pengelolaan hutan dan alat pengendalian bagi pemerintah, provinsi dan
kabupaten/kota.
(2) Jenis rencana kerja dalam hutan kemasyarakatan terdiri dari :
a. Rencana umum; dan
b. Rencana operasional.
(3) Penyusunan rencana umum dan rencana operasional dalam hutan kemasyarakatan
dilakukan oleh pemegang IUPHKm dengan difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
atau pihak lain.
(4) Dalam penyusunan rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat
dapat meminta fasilitasi kepada pemerintah daerah pemberi izin atau pihak lain.
(5) Rencana umum disahkan oleh :
a. Gubernur, untuk areal kerja hutan kemasyarakatan lintas Kabupaten/Kota yang ada
dalam wilayah kerjanya;
b. Bupati/Walikota, untuk areal kerja hutan kemasyarakatan yang ada dalam wilayah
kerjanya.
(6) Rencana operasional disahkan oleh :
a. Pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur, untuk areal kerja hutan kemasyarakatan lintas
Kabupaten/Kota yang ada dalam wilayah kerjanya;
b. Pejabat yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota, untuk areal kerja hutan
kemasyarakatan yang ada dalam wilayah kerjanya.

(7) Rencana umum dan rencana operasional disampaikan kepada pemerintah daerah dan
pemberi izin sebagai bahan untuk pengendalian.
Paragraf 2
Rencana Umum
Pasal 28
(1) Rencana umum dalam hutan kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (2) huruf a, merupakan rencana pemanfaatan hutan kemasyarakatan yang
menjamin kelestarian fungsinya secara ekonomi, ekologi dan sosial.
(2) Rencana umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penataan hutan yang
meliputi penataan batas areal kerja dan penataan batas areal kerja masing-masing
anggota kelompok, rencana penanaman, rencana pemeliharaan, rencana
pemanfaatan, rencana perlindungan yang disusun dan dipahami oleh kelompok
masyarakat penyusunnya.
(3) Rencana umum disusun oleh kelompok atau gabungan kelompok pemegang izin yang
dilakukan secara partisipatif dalam satu kesatuan izin pemanfaatan hutan
kemasyarakatan untuk satu periode jangka waktu izin pemanfaatan hutan
kemasyarakatan.
(4) Dalam penyusunan rencana umum pengelolaan hutan, masyarakat dapat meminta
fasilitasi dari pemerintah daerah dan pemberi izin atau pihak lain.
Paragraf 3
Rencana Operasional
Pasal 29
(1) Rencana operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b,
merupakan penjabaran lebih rinci dari rencana umum yang memuat kegiatan-kegiatan
yang akan dilaksanakan dan target-target yang akan dicapai dalam jangka waktu 1
(satu) tahun ke depan.
(2) Rencana operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat rencana-rencana
kegiatan tahunan anggota kelompok pemegang izin dalam mengelola hutan
kemasyarakatan yang mengacu pada rencana umum.
Paragraf 4
Rencana Kerja IUPHHK HKm
Pasal 30
(1) Dalam hal pemanfaatan hasil hutan kayu disusun rencana kerja IUPHHK HKm.
(2) Rencana kerja IUPHHK HKm sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rencana
operasional yang memuat rencana pemanfaatan kayu yang meliputi luas dan volume
dalam waktu tertentu.

Bagian Keempat
Pelaporan
Pasal 31
(1) Pemegang IUPHKm dan IUPHHK HKm menyusun dan menyampaikan laporan kinerja
secara periodik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26, kepada pemberi
izin :
a. Gubernur, dengan tembusan kepada Menteri dan Bupati/Walikota; dan/atau
b. Bupati/Walikota, dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri; dan/atau
c. Menteri, dengan tembusan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota.
(2) Laporan kinerja secara periodik disampaikan paling sedikit satu kali dalam satu tahun.
(3) Laporan kinerja secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang memuat
antara lain :
a. Rencana kerja dan realisasi kegiatan periodik dan kumulatif :
- Tata batas areal kerja;
- Penanaman;
- Pemeliharaan;
- Pemanfaatan; dan
- Rencana perlindungan;
b. Kendala dalam pelaksanaan :
- Teknis; dan
- Administrasi;
c. Tindak lanjut.
BAB V
PERPANJANGAN DAN HAPUSNYA IZIN
Bagian Kesatu
Perpanjangan Izin
Pasal 32
Permohonan perpanjangan IUPHKm diajukan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota
paling lambat 3 (tiga) tahun sebelum izin berakhir.
Bagian Kedua
Hapusnya Izin
Pasal 33
(1) IUPHKm hapus apabila :
a. jangka waktu izin telah berakhir;
b. izin dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi yang dikenakan kepada pemegang izin;
c. izin diserahkan kembali oleh pemegang izin dengan pernyataan tertulis kepada
pemberi izin sebelum jangka waktu izin berakhir;
d. dalam jangka waktu izin yang diberikan, pemegang izin tidak memenuhi kewajiban
sesuai ketentuan;

e. secara ekologis, kondisi hutan semakin rusak.


(2) Sebelum izin hapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu diaudit oleh
pemberi izin.
(3) Hapusnya izin atas dasar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
membebaskan pemegang izin untuk melunasi seluruh kewajiban finansial serta
memenuhi seluruh kewajiban lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah, provinsi dan
kabupaten/kota.
BAB VI
PEMBINAAN, PENGENDALIAN DAN PEMBIAYAAN
Bagian Kesatu
Pembinaan dan Pengendalian
Pasal 34
(1) Pembinaan dan pengendalian dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya
pemanfaatan hutan kemasyarakatan yang efektif sesuai tujuan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemberian :
a. pedoman;
b. bimbingan;
c. pelatihan;
d. arahan; dan/atau
e. supervisi.
(3) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan :
a. monitoring; dan/atau
b. evaluasi.
Pasal 35
(1) Pembinaan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota.
(2) Pembinaan dan pengendalian oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. Menteri, berwenang membina dan mengendalikan kebijakan hutan kemasyarakatan
yang dilaksanakan Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota;
b. Gubernur, berwenang membina dan mengendalikan kebijakan hutan
kemasyarakatan yang dilaksanakan oleh Bupati/Walikota.
(3) Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai kewenangannya melakukan pembinaan
dan pengendalian terhadap pelaksanaan pemanfaatan hutan kemasyarakatan yang
dilakukan oleh pemegang izin :
a. Menteri,
menyusun
pedoman
penyelenggaraan
pemanfaatan
hutan
kemasyarakatan, melakukan monitoring dan evaluasi;
b. Gubernur, memberikan bimbingan, arahan dan supervisi, monitoring, dan evaluasi;

c. Bupati/Walikota, melakukan fasilitasi sebagaimana tersebut pada pasal 12 melalui


kegiatan pendampingan, monitoring dan evaluasi secara partisipatif.
Pasal 36
(1) Pembinaan dan pengendalian terhadap pelaksanaan pemanfaatan hutan
kemasyarakatan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Hasil pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai bahan
evaluasi, perbaikan perencanaan, pelaksanaan pemanfaatan hutan kemasyarakatan,
dan perbaikan terhadap kebijakan hutan kemasyarakatan.
Bagian Kedua
Pembiayaan
Pasal 37
Pembiayaan untuk penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dapat bersumber dari :
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan/atau
c. Sumber-sumber lain yang tidak mengikat.
BAB VII
SANKSI
Pasal 38
(1) Sanksi berupa penghentian sementara kegiatan di lapangan terhadap pemegang izin
usaha dalam Hutan Kemasyarakatan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26.
(2) Sanksi berupa pencabutan izin dikenakan kepada pemegang izin usaha dalam hutan
kemasyarakatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
(1) Dengan berlakunya peraturan ini maka :
a. Terhadap kegiatan hutan kemasyarakatan yang sudah mendapatkan izin sementara
berdasarkan ketentuan peraturan sebelum Peraturan Menteri Kehutanan ini,
dilakukan evaluasi oleh Tim yang dibentuk oleh Menteri.
b. Berdasarkan evaluasi, Bupati/Walikota menetapkan izin usaha pemanfaatan hutan
kemasyarakatan atau membatalkan izin sementara.
c. Terhadap izin sementara yang dibatalkan oleh Bupati/Walikota, selanjutnya dapat
diproses melalui permohonan baru sesuai ketentuan peraturan ini.
d. Areal hutan kemasyarakatan yang pernah ditetapkan sebagai areal kerja proyek
pembangunan hutan kemasyarakatan dan areal kerja social forestry yang tercantum
dalam Rencana Teknik Social Forestry, ditetapkan sebagai areal kerja Hutan

e.

f.

g.

h.
i.

Kemasyarakatan oleh Menteri setelah dilakukan evaluasi oleh Tim yang dibentuk
Menteri.
Terhadap areal kegiatan hutan kemasyarakatan yang telah dilakukan proses
pendampingan oleh pemerintah daerah dan pihak lain berdasarkan SK Menteri
Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995, SK Menhutbun No. 677/Kpts-II/1998 dan SK
Menhut No. 31/Kpts-II/2001, ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan
oleh Menteri setelah dilakukan evaluasi oleh Tim yang dibentuk Menteri.
IUPHHK HKm pada areal kerja hutan kemasyarakatan sebagaimana butir a dan d
diberikan kepada koperasi masyarakat setempat pemegang izin usaha pemanfaatan
hutan kemasyarakatan dalam hutan produksi.
Terhadap kawasan hutan yang pernah diusulkan sebagai areal kegiatan hutan
kemasyarakatan oleh Bupati/Walikota, dilakukan evaluasi oleh Tim yang dibentuk
oleh Menteri.
Berdasarkan hasil evaluasi kawasan hutan yang diusulkan sebagaimana dimaksud
pada huruf g, Menteri dapat menetapkan areal kerja hutan kemasyarakatan.
Terhadap areal yang pernah dicadangkan oleh Kakanwil sebagai areal hutan
kemasyarakatan berdasarkan SK 677/Kpts-II/1998 dievaluasi oleh Tim yang
dibentuk Menteri untuk ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan.

(2) Setelah Menteri menetapkan areal kerja hutan kemasyarakatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), Gubernur atau Bupati/Walikota memberikan IUPHKm sesuai
ketentuan peraturan ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Dengan ditetapkannya peraturan ini maka Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
31/Kpts-II/2001 tentang penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan dan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di
Dalam dan/atau di Sekitar Hutan dalam rangka Social Forestry, dinyatakan tidak berlaku
lagi.

Pasal 41
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 7 September 2007
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM DAN ORGANISASI

MENTERI KEHUTANAN,

ttd
Suparno, SH
NIP 080068472

H. M.S. KABAN

Salinan Peraturan ini disampaikan kepada Yth :


1. Menteri Kabinet Indonesia Bersatu;
2. Pejabat Eselon Satu Lingkup Departemen Kehutanan;
3. Gubernur di seluruh Indonesia;
4. Bupati/Walikota di seluruh Indonesia;
5. Kepala Dinas yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan Provinsi
di seluruh Indonesia;
6. Kepala Dinas yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan
Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia;
7. Kepala Unit Pelaksana Teknis Lingkup Departemen Kehutanan di seluruh Indonesia.

7.

Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia

Nomor

P.35/Menhut-II/2008 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil


Hutan.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN


Nomor : P.35/Menhut-II/2008
TENTANG
TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN
MENTERI KEHUTANAN,
Menimbang

: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 107 ayat (4), Pasal 110
ayat (3), Pasal 111 ayat (3), Pasal 113 ayat (3), Pasal 114 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Nomor 3 Tahun 2008,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Izin Usaha
Industri Primer Hasil Hutan.

Mengingat

: 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1984 tentang


Perindustrian;
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19
Tahun 2004;
4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah;
5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal;
7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas;
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 jo.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan;

10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007


tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota;
11. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2007
tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang
Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di
Bidang Penanaman Modal;
12. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007
tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang
Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, yang
telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
111 Tahun 2007;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004
tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Nomor 31/P Tahun
2007;
14. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Nomor 94 Tahun 2006;
15. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005
tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara
Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Nomor 17 Tahun 2007;
16. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi;
17. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.13/Menhut-II/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kehutanan, sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Nomor P.15/Menhut-II/2008;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG


USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN

IZIN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1
2
3
4

10
11
12

Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) adalah pengolahan kayu bulat dan/atau
kayu bulat kecil menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK) adalah pengolahan hasil hutan
bukan kayu menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
Kayu Bulat (KB) adalah bagian dari pohon yang ditebang dan dipotong menjadi
batang dengan ukuran diameter 30 (tiga puluh) centi meter atau lebih.
Kayu Bulat Kecil (KBK) adalah pengelompokan kayu yang terdiri dari kayu dengan
diameter kurang dari 30 (tiga puluh) centi meter, berupa cerucuk, tiang jermal,
tiang pancang, galangan rel, cabang kayu bakar, bahan arang, dan kayu bulat
dengan diameter 30 (tiga puluh) centi meter atau lebih berupa kayu sisa
pembagian batang (panjang kurang dari 1,30 meter), tonggak atau kayu yang
direduksi karena mengalami cacat/busuk bagian teras/gerowong lebih dari 40%
(empat puluh persen).
Kayu limbah pembalakan adalah kayu-kayu dengan beragam jenis, bentuk dan
ukuran yang tertinggal di dalam hutan/tidak dimanfaatkan dan hanya layak
diusahakan secara komersial apabila dilakukan pengolahan terlebih dahulu di dalam
hutan, yang menurut sortimennya dikelompokkan ke dalam KBK.
Pengolahan kayu limbah pembalakan adalah kegiatan mengolah kayu limbah
pembalakan di dalam hutan menjadi kayu olahan bernilai tambah lebih tinggi
sehingga menjadi layak dimanfaatkan/diusahakan secara komersial.
Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) adalah izin untuk mengolah
kayu bulat dan atau kayu bulat kecil menjadi satu atau beberapa jenis produk pada
satu lokasi tertentu yang diberikan kepada satu pemegang izin oleh pejabat yang
berwenang.
Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu (IUIPHHBK) adalah izin untuk
mengolah hasil hutan bukan kayu menjadi satu atau beberapa jenis produk pada
satu lokasi tertentu yang diberikan kepada satu pemegang izin oleh pejabat yang
berwenang.
Tanda Daftar Industri (TDI) adalah izin untuk mengolah hasil hutan bukan kayu
menjadi satu atau beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang diberikan
kepada satu pemegang izin oleh pejabat yang berwenang bagi industri skala kecil.
Industri primer hasil hutan kayu skala kecil adalah industri yang memiliki tenaga
kerja kurang dari 50 orang.
Industri primer hasil hutan kayu skala menengah adalah industri yang memiliki
tenaga kerja antara 50 sampai dengan 100 orang.
Industri primer hasil hutan kayu skala besar adalah industri yang memiliki tenaga
kerja lebih dari 100 orang.

13
14

15

16

17
18
19

20

21

22

23
24
25
26
27
28

Kapasitas produksi adalah jumlah/kemampuan produksi maksimum setiap tahun


yang diperkenankan berdasarkan izin dari pejabat yang berwenang.
Kapasitas produksi sampai dengan 2.000 (dua ribu) meter kubik per-tahun adalah
jumlah kapasitas total kapasitas produksi dari satu atau beberapa jenis produksi
IPHHK dari satu pemegang izin yang terletak di satu lokasi tidak lebih dari 2.000
(dua ribu) meter kubik per-tahun.
Kapasitas produksi di atas 2.000 (dua ribu) sampai dengan 6.000 (enam ribu)
meter kubik per-tahun adalah jumlah total kapasitas produksi dari satu atau
beberapa jenis produksi IPHHK dari satu pemegang izin yang terletak di satu lokasi
lebih besar dari 2.000 (dua ribu) sampai dengan 6.000 (enam ribu) meter kubik
per-tahun.
Kapasitas produksi di atas 6.000 (enam ribu) meter kubik per-tahun adalah jumlah
total kapasitas produksi dari satu atau beberapa jenis produksi IPHHK dari satu
pemegang izin yang terletak di satu lokasi lebih besar dari 6.000 (enam ribu) meter
kubik per-tahun.
Kapasitas terpasang adalah kapasitas mesin-mesin produksi utama yang ditetapkan
dalam tata letak (lay-out) industri primer hasil hutan.
Mesin produksi utama adalah mesin-mesin produksi pada jenis industri tertentu
yang berpengaruh langsung terhadap kapasitas produksi.
Perusahaan Industri adalah perusahaan yang melakukan kegiatan di bidang usaha
industri primer hasil hutan yang dapat berbentuk perorangan, koperasi, BUMSI,
BUMN, atau Badan Usaha Milik Daerah.
Perluasan Industri Primer Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disebut perluasan
adalah penambahan kapasitas produksi dan/atau penambahan jenis produksi yang
menyebabkan jumlah total kapasitas produksi bertambah dari yang telah diizinkan.
Perubahan komposisi jenis produksi dan/atau kapasitas izin produksi adalah
produksi dan/atau kapasitas izin produksi tanpa menambah kebutuhan bahan baku
dan jumlah total kapasitas izin produksi.
Peremajaan mesin (retooling/reengineering) adalah penggantian atau penambahan
mesin dengan tujuan untuk mengganti mesin yang rusak/tua dan tidak efisien,
diversifikasi bahan baku, serta untuk pemanfaatan limbah/sisa produksi, tanpa
menambah kapasitas produksi.
Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
kehutanan.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan bertanggung
jawab di bidang Bina Produksi Kehutanan.
Direktur adalah Direktur yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang
pengolahan dan pemasaran hasil hutan.
Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang
Kehutanan di wilayah Provinsi.
Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di
bidang kehutanan di wilayah Kabupaten/Kota.
Balai adalah Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP).

Pasal 2
(1).

(2).

(3).

Jenis industri primer hasil hutan kayu (IPHHK), terdiri dari :


a. Industri Penggergajian Kayu;
b. Industri Serpih Kayu (Wood Chip);
c. Industri Vinir (Veneer);
d. Industri Kayu Lapis (Plywood); dan
e. Laminated Veneer Lumber (LVL).
Industri primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk industri primer yang
dibangun dengan industri kayu lanjutannya yang menggunakan bahan baku kayu
bulat dan/atau kayu bulat kecil;
Jenis industri primer hasil hutan bukan kayu (IPHHBK) adalah pengolahan bahan
baku bukan kayu yang langsung dipungut dari hutan, yang meliputi antara lain
industri pengolahan rotan, sagu, nipah, bambu, getah, kulit kayu, daun, buah atau
biji, dan getah.
BAB II
IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU
Bagian Kesatu
IUIPHHK dengan Kapasitas Produksi sampai dengan
6.000 (enam ribu) Meter Kubik per-tahun
Pasal 3

(1).

(2).

IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan 6.000 (enam ribu) meter kubik
per-tahun, dapat diberikan kepada perorangan, Koperasi, BUMS, BUMN, dan BUMD,
kecuali untuk IUI penggergajian kayu dengan kapasitas produksi sampai dengan
2.000 (dua ribu) meter kubik per-tahun hanya dapat diberikan kepada perorangan
dan koperasi.
Persyaratan permohonan IUIPHHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
dari:
a. Mengisi Daftar Isian Permohonan sebagaimana pada lampiran 2 peraturan ini;
b. Rekomendasi/pertimbangan teknis Bupati bila lokasi industri berada di
Kabupaten atau Walikota bila lokasi industri berada di kota;
c. Akte pendirian Perusahaan/Koperasi yang telah disahkan pejabat yang
berwenang beserta perubahannya atau copy KTP untuk pemohon perorangan.
d. NPWP;
e. Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. Izin Gangguan;
g. Izin Lokasi;
h. Izin Tempat Usaha;
i. Laporan kelayakan investasi pembangunan industrinya;
j. Jaminan pasokan bahan baku.

(3).

(4).

(5).

(6).

(7).

(8).

(9).

Permohonan IUIPHHK kapasitas produksi sampai dengan 6.000 (enam ribu) meter
kubik per-tahun beserta lampirannya disampaikan kepada Gubernur dengan
tembusan kepada Menteri dan Bupati/Walikota.
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi,
Gubernur menerbitkan surat penolakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak permohonan diterima.
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipenuhi, Gubernur
menerbitkan IUIPHHK kepada pemohon selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak permohonan diterima.
Berdasarkan IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Pemegang IUI wajib
membangun industri sesuai ketentuan dan batas waktu yang telah ditetapkan
dalam IUI, dan menyampaikan laporan kemajuan realisasi pembangunan pabrik
dan sarana produksi tiap bulan kepada Kepala Dinas Provinsi.
Kepala Dinas Provinsi menugaskan Tim untuk melakukan pemeriksaan lapangan
realisasi pembangunan pabrik dan sarana produksi, dan hasilnya dituangkan dalam
Berita Acara Pemeriksaan dan disampaikan kepada Gubernur melalui Kepala Dinas
Provinsi.
Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(7), pemegang IUI merealisasikan pembangunan industri sesuai ketentuan dan
batas waktu yang telah ditetapkan dalam IUI, maka IUI nya tetap berlaku.
Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(7), pemegang IUI tidak merealisasikan pembangunan industri sesuai ketentuan
dan batas waktu yang telah ditetapkan dalam IUI, maka Gubernur mencabut IUI
setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu 30
(tiga puluh) hari kerja yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Provinsi atas nama
Gubernur, dengan tembusan kepada Menteri dan Bupati/Walikota.
Pasal 4

(1).

(2).

Gubernur dapat melimpahkan kewenangan penerbitan IUIPHHK dengan kapasitas


produksi sampai dengan 2.000 (dua ribu) meter kubik per-tahun kepada
Bupati/Walikota.
Dalam hal kewenangan penerbitan IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai
dengan 2.000 (dua ribu) meter kubik per-tahun dilimpahkan kepada
Bupati/Walikota :
a. Permohonan beserta lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
disampaikan kepada Bupati/Walikota.
b. Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) tidak
dipenuhi, Bupati/Walikota menerbitkan surat penolakan selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima.
c. Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dipenuhi,
Bupati/Walikota menerbitkan Izin Usaha Industri kepada pemohon selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima, dengan
tembusan kepada Menteri dan Gubernur.

d. Berdasarkan IUI sebagaimana dimaksud pada huruf c, Pemegang IUI wajib


membangun industri sesuai sesuai ketentuan dan batas waktu yang telah
ditetapkan dalam IUI, dan menyampaikan laporan kemajuan realisasi
pembangunan pabrik dan sarana produksi tiap bulan kepada Kepala Dinas
Kabupaten/Kota.
e. Kepala Dinas Kabupaten/Kota menugaskan Tim untuk melakukan pemeriksaan
lapangan realisasi pembangunan pabrik dan sarana produksi, dan hasilnya
dituangkan dalam BAP dan disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Kepala
Dinas Kabupaten/Kota.
f. Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada
huruf e, Pemegang IUI merealisasikan pembangunan industri sesuai ketentuan
dan batas waktu yang telah ditetapkan dalam IUI, maka IUI- nya tetap berlaku.
g. Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada
huruf e, Pemegang IUI tidak merealisasikan pembangunan industri sesuai
ketentuan dan batas waktu yang telah ditetapkan dalam IUI, maka
Bupati/Walikota mencabut IUI setelah memberikan peringatan tertulis sebanyak
3 (tiga) kali dengan selang waktu 30 (tiga puluh) hari kerja yang diterbitkan
oleh Kepala Dinas Kabupaten atas nama Bupati atau Kepala Dinas Kota atas
nama Walikota, dengan tembusan kepada Menteri dan Gubernur.
Bagian Kedua
IUIPHHK Kapasitas Produksi sampai dengan 6.000 (enam ribu) Meter Kubik
per-tahun
Pasal 5
(1).

(2).

IUIPHHK dengan Kapasitas Produksi sampai dengan 6.000 (enam ribu) meter kubik
per-tahun, dapat diberikan kepada :
a. Perorangan;
b. Koperasi;
c. BUMS;
d. BUMD;
e. BUMN.
Persyaratan permohonan IUIPHHK kapasitas produksi di atas 6.000 (enam ribu)
meter kubik per-tahun terdiri dari :
a. Mengisi Daftar Isian Permohonan sebagaimana pada lampiran 2 peraturan ini;
b. Rekomendasi/pertimbangan teknis Gubernur;
c. Rekomendasi/pertimbangan teknis Bupati bila lokasi industri berada di
Kabupaten atau Walikota bila lokasi industri berada di kota;
d. Dokumen upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan
lingkungan (UPL) atau AMDAL sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
e. Laporan kelayakan investasi pembangunan industrinya;
f. Jaminan pasokan bahan baku;

(3).

(4).

(5).

(6).

(7).

(8).

(9).

g. NPWP;
h. Izin Gangguan;
i. Izin Lokasi;
j. Izin Tempat Usaha.
Permohanan IUIPHHK kapasitas produksi di atas 6.000 (enam ribu) meter kubik
per-tahun beserta lampirannya disampaikan kepada Menteri, dengan tembusan
kepada Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian, Gubernur, dan
Bupati/Walikota.
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi,
Menteri menyampaikan surat penolakan kepada pemohon selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima.
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipenuhi, Menteri
menerbitkan IUIPHHK kepada pemohon selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak permohonan diterima.
Berdasarkan IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemegang IUI wajib
membangun industri sesuai ketentuan dan batas waktu yang telah ditetapkan
dalam IUI dan menyampaikan laporan kemajuan realisasi pembangunan pabrik dan
sarana produksi tiap bulan kepada Direktur.
Direktur menugaskan Tim untuk melaksanakan pemeriksaan lapangan realisasi
pembangunan pabrik dan sarana produksi, dan hasilnya dituangkan dalam BAP dan
disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(7), pemegang IUI merealisasikan pembangunan industri sesuai ketentuan dan
batas waktu yang telah ditetapkan dalam IUI, maka IUI-nya tetap berlaku.
Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(7), pemegang IUI tidak merealisasikan pembangunan industri sesuai ketentuan
dan batas waktu yang telah ditetapkan dalam IUI, maka Menteri mencabut IUI
setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu 30
(tiga puluh) hari kerja yang ditertibkan oeh Direktur Jenderal atas nama Menteri,
dengan tembusan kepada Menteri yang bertanggung jawab di bidang Perindustrian,
Gubernur dan Bupati/Walikota.
BAB III
Izin Perluasan IPHHK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6

(1).
(2).

Pemegang IUIPHHK wajib mengajukan izin perluasan apabila perluasan produksi


melebihi 30% (tiga puluh perseratus) dari kapasitas izin produksi yang diberikan.
Pemegang IUIPHHK dapat melakukan perluasan produksi sampai dengan 30% (tiga
puluh perseratus) dari kapasitas produksi yang diizinkan tanpa izin perluasan,

dengan ketentuan tidak menambah bahan baku dan wajib menyampaikan laporan
kepada pemberi IUI.
Bagian Kedua
Izin Perluasan IPHHK dengan Total Kapasitas Produksi sampai dengan 6.000
(enam ribu) Meter Kubik per-tahun
Pasal 7
(1).

(2).

(3).

(4).

(5).

(6).

(7).

(8).

Persyaratan permohonan izin perluasan IPHHK dengan total kapasitas produksi


sampai dengan 6.000 (enam ribu) meter kubik per-tahun terdiri dari :
a. Mengisi Daftar Isian Permohonan sebagaimana pada lampiran 4 Peraturan ini;
b. Rekomendasi/pertimbangan teknis Kepala Dinas Kabupaten bila lokasi industri
berada di kabupaten atau Kepala Dinas Kota bila lokasi industri berada di kota;
c. Dokumen Revisi Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Laporan kelayakan investasi untuk perluasan industri;
e. Jaminan pasokan bahan baku;
f. Lokasi perluasan berada dalam satu kecamatan dengan industri awal.
Permohonan izin perluasan IPHHK dengan total kapasitas produksi sampai dengan
6.000 (enam ribu) meter kubik per-tahun diajukan kepada Gubernur, dengan
tembusan kepada Menteri dan Bupati/Walikota.
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi,
Gubernur menerbitkan surat penolakan permohonan izin perluasan selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak sejak permohonan diterima.
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi, Gubernur
menerbitkan izin perluasan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
permohonan diterima, dengan tembusan kepada Menteri dan Bupati/Walikota.
Berdasarkan izin perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemegang Izin
wajib melaksanakan perluasan industrinya sesuai ketentuan dan batas waktu yang
telah ditetapkan dalam izin perluasan, dan menyampaikan laporan kemajuan realisasi
perluasan industri tiap bulan kepada Kepala Dinas Provinsi.
Kepala Dinas Provinsi menugaskan Tim untuk melakukan pemeriksaan lapangan atas
realisasi perluasan industri, yang hasilnya dituangkan dalam BAP dan disampaikan
kepada Gubernur melalui Kepala Dinas Provinsi.
Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Pemegang IUI merealisasikan perluasan industri sesuai ketentuan dan batas waktu
yang telah ditetapkan dalam izin perluasan maka izin perluasannya tetap berlaku.
Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Pemegang Izin tidak merealisasikan perluasan industri sesuai ketentuan dan batas
waktu yang telah ditetapkan dalam izin perluasan, Gubernur mencabut izin perluasan
setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu 30
(tiga puluh) hari kerja yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Provinsi atas nama
Gubernur, dengan tembusan kepada Menteri dan Bupati/Walikota.

Pasal 8
(1).

(2).

Gubernur dapat melimpahkan kewenangan penerbitan izin perluasan dengan


kapasitas produksi sampai dengan 2.000 (dua ribu) meter kubik per-tahun kepada
Bupati/Walikota.
Dalam hal kewenangan pemberian izin perluasan usaha industri kapasitas produksi
sampai dengan 2.000 (dua ribu) meter kubik per-tahun dilimpahkan kepada
Bupati/Walikota, maka kewenangan penerbitan izin perluasan diberikan oleh
Bupati/Walikota, dengan ketentuan :
a.
Permohonan beserta persyaratan sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (1)
disampaikan kepada Bupati/Walikota.
b.
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) tidak
dipenuhi, Bupati/Walikota menerbitkan surat penolakan selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima.
c.
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) dipenuhi,
Bupati/Walikota menerbitkan izin perluasan kepada pemohon selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima.
d.
Berdasarkan izin perluasan sebagaimana dimaksud pada huruf c, Pemegang
Izin wajib melaksanakan perluasan industrinya sesuai ketentuan dan batas
waktu yang telah ditetapkan dalam izin perluasan, dan menyampaikan laporan
kemajuan realisasi perluasan industri tiap bulan kepada Kepala Dinas
Kabupaten/Kota.
e.
Kepala Dinas Kabupaten/Kota menugaskan Tim untuk melakukan pemeriksaan
lapangan realisasi perluasan industri, yang hasilnya dituangkan dalam BAP dan
disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
f.
Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada
huruf e, Pemegang Izin merealisasikan perluasan industri sesuai ketentuan dan
batas waktu yang telah ditetapkan dalam Izin Perluasan, maka Izin
Perluasannya tetap berlaku.
g.
Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada
huruf e, Pemegang Izin
tidak merealisasikan perluasan industri sesuai
ketentuan dan batas waktu yang telah ditetapkan dalam Izin Perluasan, maka
Bupati/Walikota mencabut izin perluasan setelah diberikan peringatan tertulis
sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu 30 (tiga puluh) hari kerja yang
diterbitkan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Wlikota,
dengan tembusan kepada Menteri dan Gubernur.

Bagian Ketiga
Izin Perluasan IPHHK dengan Total Kapasitas Produksi di atas 6.000 (enam
ribu) Meter Kubik per-tahun
Pasal 9
(1). Persyaratan permohonan izin perluasan IPHHK dengan total kapasitas produksi di
atas 6.000 (enam ribu) meter kubik per-tahun terdiri dari:
a. Mengisi Daftar Isian Permohonan sebagaimana pada lampiran 4 Peraturan ini;
b. Rekomendasi/pertimbangan teknis Kepala Dinas Provinsi;
c. Rekomendasi/pertimbangan teknis Kepala Dinas Kabupaten bila lokasi industri
berada di kabupaten atau Kepala Dinas Kota bila lokasi industri berada di kota;
d. Dokumen Revisi Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Laporan kelayakan investasi perluasan industri;
f. Jaminan pasokan bahan baku;
g. Lokasi perluasan berada dalam satu kecamatan dengan industri awal.
(2). Permohonan perluasan kapasitas izin produksi di atas 6.000 (enam ribu) meter kubik
per-tahun diajukan kepada Menteri dengan tembusan kepada Menteri yang
bertanggung jawab di bidang Perindustrian, Gubernur, Bupati/Walikota setempat,
dan Kepala Balai.
(3). Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, Menteri
menerbitkan surat penolakan permohonan izin perluasan selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima.
(4). Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi, Menteri
menerbitkan izin perluasan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
permohonan diterima.
(5). Berdasarkan izin perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pemegang Izin
wajib melaksanakan perluasan industri sesuai ketentuan dan batas waktu yang telah
ditetapkan dalam izin perluasan, dan menyampaikan laporan kemajuan realisasi
perluasan industri tiap bulan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada
Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Balai.
(6). Direktur menugaskan Tim dan/atau Kepala Balai untuk melaksanakan pemeriksaan
lapangan realisasi perluasan industri, dan hasilnya dituangkan dalam BAP dan
disampaikan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
(7). Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Pemegang Izin merealisasikan perluasan industri sesuai ketentuan dan batas waktu
yang telah ditetapkan dalam izin perluasan, maka izin perluasannya tetap berlaku.
(8). Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Pemegang Izin tidak merealisasikan perluasan industri sesuai ketentuan dan batas
waktu yang telah ditetapkan dalam izin perluasan, Menteri mencabut izin perluasan
setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu 30
(tiga puluh) hari kerja yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri,
dengan tembusan kepada Gubernur dan Bupati/Wlikota.

BAB IV
IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Pasal 10
(1). Industri primer hasil hutan bukan kayu skala kecil wajib memiliki Tanda Daftar
Industri (TDI) yang diperlakukan sebagai IUIPHHBK.
(2). Setiap pendirian atau perluasan industri primer hasil hutan bukan kayu skala
menengah dan skala besar wajib memiliki izin usaha industri atau izin perluasan.
(3). Tanda Daftar Industri untuk industri primer hasil hutan bukan kayu, hanya dapat
diberikan kepada :
a.
perorangan; atau
b.
koperasi.
(4). IUIPHHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada :
a.
perorangan;
b.
koperasi;
c.
BUMS;
d.
BUMD;
e.
BUMN.
(5). Persyaratan pemberian TDI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut :
a.
Untuk perorangan berupa copy KTP, surat keterangan tanah (milik/sewa),
NPWP, izin/keterangan yang berkaitan dengan bangunan yang digunakan, dan
daftar tenaga kerja;
b.
Untuk koperasi berupa akte pendirian koperasi yang telah disahkan pejabat
yang berwenang beserta perubahannya, surat keterangan tanah (milik/sewa),
NPWP, izin/keterangan yang berkaitan dengan bangunan yang digunakan, dan
daftar tenaga kerja.
(6). Persyaratan pemberian IUIPHHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai
berikut :
a.
Mengisi daftar isian permohonan sebagaimana pada lampiran 2 peraturan ini;
b.
Akte pendirian perusahaan/koperasi, atau copy/KTP untuk perorangan;
c.
Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) atau AMDAL sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
d.
Laporan kelayakan investasi pembangun industrinya;
e.
Jaminan pasokan bahan baku;
f.
NPWP;
g.
Izin Gangguan;
h. Izin Lokasi;
i.
Izin Tempat Usaha;
(7). Permohonan TDI dan IUIPHHBK diajukan kepada Bupati atau Walikota, dengan
tembusan kepada Direktur dan Kepala Dinas Provinsi.

(8). Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau ayat (6), tidak
dipenuhi, Bupati/Walikota menerbitkan surat penolakan selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak permohonan diterima.
(9). Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau ayat (6) dipenuhi,
Bupati atau Walikota menerbitkan TDI atau IUPHHBK kepada pemohon selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima.
(10). Berdasarkan TDI atau IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Pemegang Izin
wajib membangun pabrik dan sarana produksi sesuai ketentuan dan batas waktu
yang telah ditetapkan dalam IUI, dan menyampaikan laporan kemajuan realisasi
pembangunan pabrik dan sarana produksi tiap bulan kepada Kepala Dinas
Kabupaten/Kota.
(11). Kepala Dinas Kabupaten/Kota menugaskan Tim untuk melaksanakan pemeriksaan
lapangan realisasi pembangunan pabrik dan sarana produksi, dan hasilnya
dituangkan dalam BAP dan disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Kepala
Dinas Kabupaten/Kota.
(12). Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(11), Pemegang TDI atau IUI merealisasikan pembangunan industri sesuai ketentuan
dan batas waktu yang telah ditetapkan dalam TDI atau IUI, maka TDI atau IUI-nya
tetap berlaku.
(13). Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(11), Pemegang Izin tidak merealisasikan pembangunan industri sesuai ketentuan
dan batas waktu yang telah ditetapkan dalam TDI atau IUI, maka Bupati/Walikota
mencabut TDI atau IUI setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali
dengan selang waktu 30 (tiga puluh) hari kerja yang diterbitkan oleh Kepala Dinas
Kabupaten/Kota, dengan tembusan kepada Direktur dan Kepala Dinas Provinsi.
BAB V
IZIN PERLUASAN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Pasal 11
(1). Pemegang IUIPHHBK dan TDI wajib mengajukan izin perluasan apabila perluasan
produksi melebihi 30% (tiga puluh perseratus) dari kapasitas izin produksi yang
diberikan.
(2). Pemegang IUIPHHBK dan TDI dapat melakukan perluasan produksi sampai dengan
30% (tiga puluh perseratus) dari kapasitas produksi yang diizinkan tanpa izin
perluasan, dengan ketentuan tidak menambah bahan baku dan wajib menyampaikan
laporan kepada pemberi IUI.
Pasal 12
(1). Persyaratan permohonan izin perluasan usaha industri primer hasil hutan bukan kayu
sebagai berikut :

a.
b.

(2).
(3).

(4).

(5).

(6).

(7).

(8).

Mengisi daftar isian permohonan sebagaimana pada lampiran 4 peraturan ini;


Dokumen revisi Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.
Laporan kelayakan investasi perluasan industri;
d.
Jaminan pasokan bahan baku;
e.
Lokasi perluasan berada dalam satu kecamatan dengan industri awal.
Permohonan izin perluasan diajukan kepada Bupati atau Walikota, dengan tembusan
kepada Direktur dan Kepala Dinas Provinsi.
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi,
Bupati/Walikota menerbitkan surat penolakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak sejak permohonan diterima.
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi,
Bupati/Walikota izin perluasan kepada pemohon selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak sejak permohonan diterima.
Berdasarkan izin perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pemegang izin
wajib merealisasikan perluasan usaha industri sesuai ketentuan dan batas waktu
yang telah ditetapkan dalam izin perluasan, dan menyampaikan laporan kemajuan
realisasi perluasan usaha industri tiap bulan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
Kepala Dinas Kabupaten/Kota menugaskan Tim untuk melaksanakan pemeriksaan
lapangan realisasi perluasan usaha industri, dan hasilnya dituangkan dalam BAP dan
disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
pemegang izin perluasan merealisasikan perluasan usaha industri sesuai ketentuan
dan jangka waktu yang ditetapkan dalam izin perluasan maka izin perluasannya
tetap berlaku.
Dalam hal berdasarkan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
pemegang izin tidak merealisasikan perluasan usaha industri sesuai ketentuan dan
batas waktu yang telah ditetapkan dalam izin perluasan, maka Bupati/Walikota
mencabut izin perluasan setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali
dengan selang waktu 30 (tiga puluh) hari kerja yang diterbitkan oleh Kepala Dinas
Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota, dengan tembusan kepada Direktur dan
Kepala Dinas Provinsi.
BAB VI
MASA BERLAKU IUIPHH
Pasal 13

(1). IUIPHHK dan izin perluasan IPHHK, tanda daftar industri primer hasil hutan bukan
kayu, izin usaha dan izin perluasan industri primer hasil hutan bukan kayu, berlaku
selama industri yang bersangkutan beroperasi.
(2). Beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila industri berproduksi secara
kontinyu, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam
3 (tiga) tahun.

(3). Apabila industri tidak beroperasi selama satu tahun dikenakan sanksi pencabutan izin
usaha industrinya.
(4). Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan pedoman yang
ditetapkan dalam peraturan Menteri secara tersendiri.
BAB VII
PERUBAHAN KOMPOSISI JENIS PRODUKSI, PENURUNAN KAPASITAS
PRODUKSI, SERTA PEREMAJAAN MESIN
Bagian Kesatu
Perubahan Komposisi Jenis Produksi
Pasal 14
(1). Perubahan komposisi jenis produksi dan/atau kapasitas izin produksi tanpa
menambah kebutuhan bahan baku dan jumlah total kapasitas izin produksi dapat
dilakukan oleh pemegang IUI dengan mengajukan permohonan kepada :
a. Direktur untuk IPHHK kapasitas di atas 6.000 meter kubik per-tahun;
b. Kepala Dinas Provinsi untuk IPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan
6.000 meter kubik per-tahun;
c. Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk IPHHK kapasitas produksi sampai dengan
2.000 (dua ribu) meter kubik per-tahun dalam hal pemberian IUIPHHK
dilimpahkan kepada Bupati/Walikota.
(2). Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur atau
Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota menyampaikan surat
pemberitahuan kepada pemohon dapat segera melakukan perubahan komposisi jenis
produksi dan/atau kapasitas izin produksi dengan kewajiban menyampaikan laporan
kemajuan realisasi tiap bulan.
(3). Berdasarkan laporan kemajuan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Direktur atau Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota menugaskan
Tim untuk melakukan pemeriksaan lapangan perubahan komposisi jenis produksi
dan/atau kapasitas izin produksi yang hasilnya dituangkan dalam BAP dan
disampaikan kepada Direktur atau Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas
Kabupaten/Kota.
(4). Berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan, Direktur atau Kepala Dinas Provinsi atau
Kepala Dinas Kabupaten/Kota menerbitkan persetujuan perubahan komposisi jenis
produksi dan/atau kapasitas izin produksi.
Bagian Kedua
Penurunan Kapasitas Produksi
Pasal 15
Penurunan kapasitas izin produksi dapat dilakukan berdasarkan :
a.
Usulan pemegang IUI;
b.
Hasil evaluasi.

Pasal 16
(1). Dalam hal pemegang IUI melakukan penurunan kapasitas izin produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 huruf a, wajib mengajukan permohonan kepada :
a. Direktur untuk IPHHK dengan kapasitas di atas 6.000 meter kubik per-tahun;
b. Kepala Dinas Provinsi untuk IPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan
6.000 meter kubik per-tahun;
c. Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk IUIPHHK kapasitas produksi sampai dengan
2.000 (dua ribu) meter kubik per-tahun dalam hal pemberian IUIPHHK
dilimpahkan kepada Bupati/Walikota;
d. Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk IUIPHHBK.
(2). Berdasarkan permohonan pemegang IUI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan surat pemberitahuan
kepada pemegang IUI dapat segera melakukan penurunan kapasitas produksi dan
menyampaikan laporan realisasi penurunan kapasitas produksi.
(3). Berdasarkan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur atau
Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota menugaskan Tim untuk
melakukan pemeriksaan lapangan penurunan kapasitas produksi yang hasilnya
dituangkan dalam BAP dan disampaikan kepada Direktur atau Kepala Dinas Provinsi
atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
(4). Berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan, Direktur atau Kepala Dinas Provinsi atau
Kepala Dinas Kabupaten/Kota menerbitkan persetujuan penurunan kapasitas
produksi.
Pasal 17
(1). Penurunan kapasitas produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b,
dilakukan oleh pemberi IUI berdasarkan hasil evaluasi.
(2). Pedoman evaluasi industri primer hasil hutan diatur dengan Peraturan Menteri
tersendiri.
Bagian Ketiga
Peremajaan Mesin
Pasal 18
(1). Peremajaan Mesin (reengineering) dapat dilakukan dengan :
a. penggantian mesin-mesin yang rusak/tua dan tidak efisien untuk tujuan
peningkatan efisiensi dan produktivitas industri;
b. penggantian atau penambahan mesin untuk tujuan diverifikasi bahan baku
industri;
c. penggantian atau penambahan mesin untuk tujuan pengurangan atau
pemanfaatan limbah/sisa produksi.
(2). Pemegang IUI yang melakukan peremajaan (reengineering) mesin produksi utama
wajib mengajukan permohonan kepada :

a. Direktur untuk IPHHK dengan kapasitas di atas 6.000 meter kubik per-tahun;
b. Kepala Dinas Provinsi untuk IPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan
6.000 meter kubik per-tahun;
c. Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk IUIPHHK kapasitas produksi sampai dengan
2.000 (dua ribu) meter kubik per-tahun dalam hal pemberian IUIPHHK
dilimpahkan kepada Bupati/Walikota;
(3). Mesin produksi utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah mesin-mesin
produksi pada jenis industri tertentu yang berpengaruh langsung terhadap kapasitas
produksi, yaitu :
a. pada industri penggergajian kayu : break down saw, band saw;
b. pada industri vinir (veneer) : rotary lathe, slicer;
c. pada industri kayu lapis (plywood) dan laminated veneer lumber : rotary lathe,

slicer, hot press;


d. pada industri serpih kayu (wood chip) : chipper.
(4). Berdasarkan surat permohonan peremajaan mesin sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Direktur atau Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota
menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang IUI untuk segera melakukan
peremajaan mesin dan menyampaikan laporan realisasi peremajaan mesin tiap
bulan.
(5). Berdasarkan laporan realisasi peremajaan mesin sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Direktur atau Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota
menugaskan Tim untuk melakukan pemeriksaan lapangan peremajaan mesin yang
hasilnya dituangkan dalam BAP dan disampaikan kepada Direktur atau Kepala Dinas
Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
(6). Berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan, Direktur atau Kepala Dinas Provinsi atau
Kepala Dinas Kabupaten/Kota menerbitkan persetujuan reengineering mesin
sepanjang tidak menambah kapasitas produksi.
BAB VIII
IZIN USAHA INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU DALAM AREAL
IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU
Pasal 19
(1). Dalam rangka meningkatkan efisiensi, kepada pemegang Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang telah memperoleh Sertifikat Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari secara mandatory dengan peringkat baik dan sangat baik dan atau
memperoleh Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari secara voluntary, dapat
diberikan IUIPHHK di dalam areal kerjanya.
(2). Ketentuan permohonan dan pemberian izin usaha, izin perluasan, penurunan
kapasitas, dan peremajaan mesin bagi IUIPHHK di dalam areal IUPHHK, diberlakukan
ketentuan IUIPHHK di luar areal IUPHHK.

(3). IUIPHHK di dalam areal IUPHHK berlaku paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat
diperpanjang atau disesuaikan dengan jangka waktu IUPHHK yang dimiliki.
(4). Kepala Balai melakukan pengawasan sekurang-kurangnya tiga bulan sekali terhadap
penggunaan bahan baku kepada IUIPHHK yang berada di dalam areal IUPHHK pada
hutan alam dan hasilnya disampaikan kepada Direktur Jenderal c.q. Direktur.
Pasal 20
(1). Dalam rangka meningkatkan efisiensi bahan baku Pemegang Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang telah mempunyai IUIPHHK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 atau Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang telah memperoleh Sertifikat Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari secara mandatory dengan peringkat baik dan sangat baik dan atau
memperoleh Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari secara voluntary yang
belum memiliki IUIPHHK, dapat diberikan izin pengolahan limbah pembalakan di
dalam areal kerjanya.
(2). Pengolahan limbah pembalakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diizinkan
melalui tahap izin uji coba.
Pasal 21
(1). Pemegang IUPHHK-Hutan Alam dapat diberikan izin uji coba pengolahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dengan menggunakan mesin
pengolah kayu yang tidak bergerak (non-portable) di areal kerjanya.
(2). Pemegang IUPHHK-Hutan Tanaman dapat diberikan izin uji coba pengolahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dengan menggunakan mesin
pengolah kayu yang bergerak (portable) atau tidak bergerak (non-portable) di areal
kerjanya.
(3). Jenis mesin pengolah kayu yang bergerak (portable) sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah :
a. portable band atau portable circular saw;
b. portable rotary peeler dan portable slicer;
c. portable chipper.
Pasal 22
Pemegang IUPHHK Hutan Tanaman dapat mengajukan permohonan izin uji coba
pengolahan menggunakan mesin portable sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
dengan persyaratan sebagai berikut :
a.
Areal IUPHHK-HT telah memiliki tegakan tanaman yang siap panen;
b.
Pemegang IUPHHK-HT telah memiliki Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu (RKUPHHK);
c.
Pemegang IUPHHK-HT telah memiliki RKT satu tahun terakhir dan/atau tahun
berjalan.

Pasal 23
(1). Permohonan izin uji coba pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(2) diajukan kepada Menteri dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala
Dinas Provinsi, Kepala Dinas Kabupaten/Kota, dan Kepala Balai.
(2). Permohonan izin uji coba pengolahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri
dengan :
a.
Dokumen AMDAL IUPHHK dalam Hutan Alam/Hutan Tanaman;
b.
Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari;
c.
Laporan kelayakan investasi pengolahan limbah pembalakan;
d.
Akta pendirian perusahaan dan perubahannya, serta NPWP;
e.
Sertifikat lacak balak, akte pendirian perusahaan dan perubahannya serta
NPWP dari industri pengguna/penerima kayu olahan hasil uji coba pengolahan.
(3). Berdasarkan permohonan izin uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Direktur Jenderal melakukan penilaian.
(4). Direktur Jenderal menugaskan Tim untuk melakukan penilaian dari aspek sosial,
ekonomi dan lingkungan, dan hasilnya disampaikan kepada Direktur Jenderal.
(5). Dalam hal permohonan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan dan/atau
berdasarkan hasil penilaian memiliki dampak sosial, dampak ekonomi dan dampak
lingkungan yang lebih buruk, Menteri menyampaikan surat penolakan.
(6). Dalam hal permohonan memenuhi kelengkapan persyaratan dan berdasarkan hasil
penilaian memiliki dampak sosial, dampak ekonomi dan dampak lingkungan yang
lebih baik, Menteri menyampaikan persetujuan Izin Uji Coba Pengolahan Limbah
Pembalakan.
Pasal 24
Masa berlaku Persetujuan Izin Uji Coba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (6)
adalah paling lama 1 (satu) tahun setelah pemasangan alat di lapangan dan tidak dapat
diperpanjang.
Pasal 25
Permohonan Izin Usaha Industri bagi Pemegang Izin Uji Coba Pengolahan Limbah
Pembalakan sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 ayat (6) diajukan kepada Menteri
paling lama 4 (empat) bulan sebelum izin uji coba berakhir.
BAB IX
HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN PEMEGANG IZIN USAHA INDUSTRI
Pasal 26
Setiap pemegang izin usaha industri hasil hutan memiliki hak untuk :
a.
Memperoleh kepastian dalam menjalankan usahanya; dan
b.
Mendapatkan pelayanan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Pasal 27
(1). Pemegang izin usaha industri primer hasil hutan kayu dan bukan kayu, wajib :
a. menjalankan usaha industri sesuai dengan izin yang dimiliki;
b. mengajukan izin perluasan, apabila melakukan perluasan produksi melebihi 30%
(tiga puluh perseratus) dari kapasitas produksi yang diizinkan;
c. menyusun dan menyampaikan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri
(RPBBI) setiap tahun;
d. menyusun dan menyampaikan laporan bulanan realisasi pemenuhan dan
penggunaan bahan baku serta produksi;
e. membuat atau menyampaikan laporan mutasi kayu bulat (LMKB) laporan mutasi
hasil hutan bukan kayu (LMHHBK);
f. membuat dan menyampaikan laporan mutasi hasil hutan olahan (LMHHO);
g. melakukan kegiatan usaha industri sesuai dengan yang ditetapkan dalam izin;
h. melapor secara berkala kegiatan dan hasil industrinya kepada pemberi izin dan
instansi yang diberikan kewenangan dalam pembinaan dan pengembangan
industri primer hasil hutan;
i. mempekerjakan tenaga pengukuran dan pengujian hasil hutan yang bersertifikat
dalam hal industri dengan kapasitas sampai dengan 6.000 m (enam ribu meter
kubik) per-tahun jika pemegang izin tidak memiliki tenaga pengukuran dan
pengujian hasil hutan yang bersertifikat; dan
j. memiliki tenaga pengukuran dan pengujian hasil hutan bersertifikat, untuk industri
hasil hutan kayu dengan kapasitas lebih dari 6.000 m (enam ribu meter kubik).
(2). Ketentuan pedoman penyusunan dan penyampaian Rencana Pemenuhan Bahan
Baku Industri (RPBBI) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 28
Pemegang IUIPHH dilarang :
a.
memperluas usaha industri tanpa izin;
b.
memindahkan lokasi usaha industri tanpa izin;
c.
melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan terhadap
lingkungan hidup yang melampaui batas baku mutu lingkungan;
d.
menadah, menampung, atau mengolah bahan baku hasil hutan yang berasal dari
sumber bahan baku yang tidak sah (illegal); atau
e.
melakukan kegiatan industri yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.

BAB X
PERUBAHAN DAN PENGGANTIAN NAMA PEMEGANG IZIN
Pasal 29
(1). Nama pemegang izin dalam izin usaha industri dapat diubah/diganti dengan dua
sebab :
a. Perubahan nama tanpa mengubah badan hukum pemegang izin; atau
b. Penggantian nama dengan mengubah/ganti badan hukum pemegang izin.
(2). Pemegang IUI yang melakukan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, wajib mengajukan permohonan perubahan nama yang tercantum dalam IUI
kepada pemberi izin, dengan dilengkapi persyaratan :
a. Dalam hal pemegang IUI berbentuk CV atau Firma melampirkan Akta Notaris
tentang perubahan nama perusahaan;
b. Dalam hal pemegang IUI berbentuk Perseroan Terbatas melampirkan Akta
Perubahan Nama Perusahaan yang telah disahkan oleh Menteri Kehakiman dan
HAM;
c. Dalam hal pemegang IUI berbentuk koperasi melampirkan akta perubahan nama
yang telah dilaporkan kepada pejabat yang berwenang.
(3). Permohonan penggantian nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
diajukan kepada pemberi izin, dengan ketentuan :
a. Dalam hal penggantian nama terjadi karena proses jual beli langsung,
permohonan diajukan oleh pembeli dengan melampirkan persyaratan :
1) Akte Jual Beli yang dibuat di hadapan Notaris;
2) Akte pendirian perusahaan beserta perubahannya yang telah disahkan oleh
pejabat yang berwenang untuk perseroan terbatas dan koperasi;
3) Kronologis yang melatarbelakangi penggantian nama.
b. Dalam hal penggantian nama terjadi karena pailit dan/atau penjaminan sehingga
dilakukan pelelangan aset, permohonan diajukan oleh pemenang lelang dengan
melampirkan :
1) Berita Acara Lelang dan dokumen-dokumen yang mendasari pelelangan;
2) Akte pendirian perusahaan pemenang lelang beserta perubahannya yang
telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;
3) Kronologis yang melatarbelakangi penggantian nama.
(4). Permohonan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan diterbitkan Keputusan
tentang perubahan/penggantian nama, yang diterbitkan oleh :
a. Gubernur untuk IUIPHHK kapasitas produksi sampai dengan 6.000 m per-tahun;
b. Menteri untuk IUIPHHK kapasitas produksi di atas 6.000 m per-tahun;
c. Bupati/Walikota untuk IUIPHHK kapasitas produksi sampai dengan 2.000 m pertahun dalam hal penerbitan IUIPHHK dilimpahkan kepada Bupati/Walikota;

d. Bupati/Walikota untuk IUIPHHBK.

BAB XI
JAMINAN PASOKAN BAHAN BAKU
Pasal 30
(1). Setiap permohonan izin usaha dan permohonan izin perluasan industri primer hasil
hutan wajib menyampaikan Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB).
(2). Sumber bahan baku industri primer hasil hutan dapat berasal dari hutan alam, hutan
tanaman, hutan hak, perkebunan, dan impor.
Pasal 31
(1). JPBB dari sumber bahan baku kayu hutan alam/tanaman berupa kontrak kerjasama
suplai/jual beli bahan baku dengan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu.
(2). Kontrak kerjasama suplai/jual beli bahan baku sebagaimana dimaksud ayat (1)
diketahui oleh Kepala Dinas Provinsi.
(3). Kontrak kerjasama suplai/jual beli bahan baku dilengkapi/dilampiri dengan copy
dokumen Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada hutan produksi dan
Rencana Karya Tahunan.
(4). Dalam hal jangka waktu kontrak telah habis masa berlakunya, pemegang IUI wajib
membuat kontrak baru/perpanjangan dan menyampaikan kepada Pemberi IUI.
Pasal 32
(1). JPBB dari sumber bahan baku kayu yang berasal dari hutan hak/hutan rakyat atau
kebun rakyat berupa kontrak kerjasama suplai/jual beli bahan baku dengan
pemasok/pemilik.
(2). Kontrak kerjasama suplai/jual beli bahan baku sebagaimana dimaksud ayat (1)
diketahui oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
(3). JPBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan rencana pengadaan
bibit, penanaman di lahan sendiri atau kerjasama penanaman di lahan masyarakat.
Pasal 33
(1). JPBB dari sumber bahan baku kayu perusahaan perkebunan berupa kontrak
kerjasama suplai/jual beli bahan baku dengan pemegang izin usaha perkebunan atau
pemilik kayu.
(2). Kontrak kerjasama suplai/jual beli bahan baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diketahui oleh Kepala Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang
perkebunan di wilayah Kabupaten/Kota.
(3). JPBB dari sumber bahan baku kayu impor berupa perjanjian kontrak/jual beli kayu
impor, diketahui oleh Kepala Dinas Provinsi.
(4). Dalam hal jangka waktu kontrak telah habis masa berlakunya, pemegang IUI wajib
membuat kontrak baru/perpanjangan dan menyampaikan kepada pemberi IUI.

Pasal 34
(1). JPBB untuk hasil hutan kayu berupa kontrak kerjasama suplai/jual beli hasil hutan
bukan kayu dengan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu atau
izin pemungutan hasil hutan kayu, atau izin pemanfaatan hutan lain sesuai ketentuan
peraturan perundangan yang berlaku.
(2). JPBB untuk hasil hutan bukan kayu yang berasal dari hutan hak/hutan rakyat atau
kebun rakyat berupa kontrak kerjasama suplai/jual beli bahan baku dengan
pemasok/pemilik.
(3). Kontrak kerjasama suplai/jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diketahui oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota asal bahan baku.
BAB XII
SANKSI
Pasal 35
(1). Pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan di luar pelanggaran pidana yang
diatur dalam Pasal 78 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, dikenakan sanksi
administratif.
(2). Sanksi dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
tersendiri dengan Peraturan Menteri Kehutanan.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 36
Apabila IUI dan/atau Izin Perluasan yang telah diterbitkan, hilang atau rusak, atau tidak
terbaca, pemegang izin usaha industri yang bersangkutan wajib melaporkan kepada
pejabat pemberi IUI untuk mendapatkan salinan.
Pasal 37
Pemberian IUI dan Izin Perluasan tetap tunduk pada ketentuan tetang bidang usaha
tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu bagi penanaman
modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 38
(1). Izin uji coba dan izin usaha industri primer hasil hutan yang diterbitkan sebelum
diterbitkannya peraturan ini dinyatakan tetap berlaku.
(2). Permohonan izin yang telah mendapatkan persetujun prinsip atau dalam proses
perpanjangan persetujuan prinsip sebelum terbitnya Peraturan ini, diterbitkan IUI.

(3). Permohonan izin perluasan yang telah diajukan sebelum diterbitkannya peraturan ini,
dan telah mendapatkan Rekomendasi Gubernur, Bupati/Walikota, proposal, revisi
UKL-UPL, diterbitkan izin perluasan.
(4). Permohonan izin yang telah diajukan sebelum diterbitkannya peraturan ini, yang
belum mendapatkan persetujuan prinsip dan telah mendapatkan Rekomendasi
Gubernur, Bupati/Walikota, proposal, izin gangguan, izin lokasi, dan Dokumen UKLUPL, diterbitkan IUI.
Pasal 39
(1). Berdasarkan pemeriksaan administrasi dan/atau pemeriksaan lapangan terhadap
permohonan pendaftaran ulang izin usaha industri yang telah diajukan sampai
dengan tanggal 31 Oktober 2007, penyelesaiannya sebagai berikut :
a. Izin usaha industri lanjutan yang terdapat peralatan/mesin-mesin pengolah kayu
bulat/industri primer hasil hutan yang diterbitkan bertentangan dengan
Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000, ditolak permohonan pendaftaran
ulangnya.
b. Izin usaha industri lanjutan yang terdapat peralatan/mesin-mesin pengolah kayu
bulat/industri primer hasil hutan kayu yang telah memenuhi persyaratan sesuai
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 300/Menhut-II/2003 sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.70/Menhut-II/2006 dan penerbitannya tidak bertentangan dengan Keputusan
Presiden Nomor 96 Tahun 2000, diproses dan diterbitkan pembaharuan
IUIPHHK.
c. Izin usaha industri primer hasil hutan kayu yang diterbitkan bertentangan
dengan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000, ditolak permohonan
pendaftaran ulangnya.
d. Izin usaha industri kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang tidak mempunyai
kewenangan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002.
1) IUI diterbitkan sebelum tanggal 8 Juni 2002, diproses dan diterbitkan
pembaharuan IUIPHHK sepanjang telah memenuhi persyaratan sesuai
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 300/Menhut-II/2003 sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.70/Menhut-II/2006.
2) IUI diterbitkan setelah tanggal 8 Juni 2002, ditolak permohonan pendaftaran
ulangnya.
e. Izin usaha industri kayu yang diterbitkan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan, namun tidak aktif, ditolak permohonan pembaharuan izin dengan
terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan lapangan yang hasilnya dituangkan dalam
BAP.
(2). Pemberian pembaharuan IUIPHHK dan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh pejabat yang berwenang sesuai ketentuan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 300/Menhut-II/2003 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.70/Menhut-II/2006.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
(1). Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
125/Kpts-II/2003 dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2). Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 9 Juni 2008
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
ttd.
Suparno
NIP. 080 068 472

MENTERI KEHUTANAN,
ttd.
H.M.S. KABAN.

Salinan Peraturan ini disampaikan kepada Yth. :


1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
2. Menteri Perindustrian;
3. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;
4. Gubernur seluruh Indonesia;
5. Bupati/Walikota seluruh Indonesia;
6. Pejabat Eselon I Lingkup Departemen Kehutanan;
7. Kepala Dinas Provinsi yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Kehutanan di
seluruh Indonesia;
8. Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang
Kehutanan di seluruh Indonesia;
9. Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi di seluruh Indonesia.

8.

Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia

Nomor

P.36/Menhut-II/2008 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil


Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHBK-HA) atau dalam
Hutan Tanaman (IUPHHBK-HT) pada Hutan Produksi.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : P.36/Menhut-II/2008
TENTANG
IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU DALAM HUTAN ALAM
(IUPHHBK-HA) ATAU DALAM HUTAN TANAMAN (IUPHHBK-HT) PADA HUTAN
PRODUKSI
MENTERI KEHUTANAN
Menimbang : a.

Mengingat

bahwa sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 43 dan Pasal 44 ayat (1)
huruf a dan huruf b, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Jo.
Nomor 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, diamanatkan untuk
mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Bukan Kayu Dalam Hutan Alam (IUPHHBK-HA) atau Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Dalam Hutan Tanaman (IUPHHBKHT) pada Hutan Produksi;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kehutanan tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Bukan Kayu Dalam Hutan Alam (IUPHHBK-HA) atau Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Dalam Hutan Tanaman (IUPHHBKHT) pada Hutan Produksi.
: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup;
3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Nomor 19
Tahun 2004;
4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

5.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan


Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan jo.
Nomor 3 Tahun 2008;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
7. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan
Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;
8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Nomor 94 Tahun 2006;
9. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan
Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Nomor 17 Tahun 2007;
10. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005 tentang
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan, sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Nomor P.15/Menhut-II/2008.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG IZIN USAHA
PEMANFAATAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU DALAM HUTAN ALAM
(IUPHHBK-HA) ATAU DALAM HUTAN TANAMAN (IUPHHBK-HT)
PADA HUTAN PRODUKSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan :
1. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi
yang selanjutnya disebut IUPHHBK-HA adalah hutan alam pada hutan produksi melalui
kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
2. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman pada hutan
produksi yang selanjutnya disebut IUPHHBK-HT adalah izin usaha yang diberikan untuk
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi melalui
kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.

3.
4.

5.
6.
7.
8.
9.

Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam antara lain berupa pemanfaatan
rotan, sagu, nipah, bambu, getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, serta gaharu.
Sistem budidaya hasil hutan bukan kayu adalah sistem teknik bercocok tanam hasil hutan
bukan kayu mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara
tanaman dan memanen sehingga menjadi satu siklus tertutup sebagai jaminan
kelestarian hasil.
Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di
bidang Bina Produksi Kehutanan.
Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang
kehutanan di wilayah Provinsi.
Dinas Kabupaten adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang
kehutanan di wilayah Kabupaten/Kota.
Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi adalah Balai yang berada dibawah dan
bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
BAB II
PERSYARATAN PERMOHONAN
Pasal 2

Areal yang dapat dimohon IUPHHBK-HA atau IUPHHBK-HT terletak pada hutan produksi.
Pasal 3
Yang dapat mengajukan permohonan IUPHHBK-HA atau IUPHHBK-HT adalah :
a. Perorangan;
b. Koperasi;
c. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
d. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) Indonesia.
Pasal 4
Persyaratan permohonan IUPHHBK-HA atau IUPHHBK-HT :
a. Copy KTP untuk perorangan, atau akte pendirian Koperasi/Badan Usaha beserta
perubahan-perubahannya
diutamakan
bergerak
di
bidang
usaha
kehutanan/pertanian/perkebunan;
b. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
c. Rekomendasi Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota apabila kewenangan pemberian izin
ada pada Menteri.
d. Rekomendasi Bupati/Walikota apabila kewenangan pemberian izin ada pada Gubernur.

e.
f.

Rekomendasi Kepala Dinas Kabupaten/Kota apabila kewenangan pemberian izin ada


pada Bupati/Walikota.
Menyusun proyek proposal.
BAB III
PEMBERI IZIN TATA CARA PEMBERIAN IZIN
Pasal 5

(1) Pemberi IUPHHBK-HA adalah :


a. Bupati/Walikota, yang arealnya berada dalam wilayah Kabupaten/Kota;
b. Gubernur, yang arealnya berada pada lintas Kabupaten/Kota;
c. Menteri, yang arealnya berada pada lintas provinsi.
(2) Pemberi IUPHHBK-HT adalah :
a. Bupati untuk :
1. Perorangan dengan luas maksimal 10 (sepuluh) Ha untuk HHBK antara lain Gaharu,
Kemiri, Kayu Putih, Sagu, Rotan, Bambu, dan Gondorukem.
2. Koperasi, BUMN, BUMD, BUMS Indonesia dengan luas maksimal 30 (tiga puluh) Ha
untuk HHBK antara lain gaharu, kemiri, kayu putih, rotan, bambu, dan
gondorukem, kecuali untuk sagu seluas 50 (lima puluh) Ha.
b. Menteri untuk permohonan yang luas arealnya lebih luas dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a.
Pasal 6
(1) Permohonan IUPHHBK-HA atau IUPHHBK-HT diajukan kepada :
a. Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Menteri Kehutanan, Gubernur, Kepala Dinas
Provinsi dan Kepala BP2HP;
b. Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Kehutanan, Kepala Dinas Provinsi dan
Kepala BP2HP;
c. Menteri dengan tembusan kepada Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala BP2HP;
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi dengan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 7
(1) Penilaian permohonan IUPHHBK-HA atau IUPHHBK-HT dilakukan kepada :
a. Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk permohonan yang diajukan kepada Bupati;
b. Kepala Dinas Provinsi untuk permohonan yang diajukan kepada Gubernur;

c. Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan untuk permohonan yang diajukan kepada
Menteri.
(2) Penilaian permohonan dilaksanakan atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 dan dalam pelaksanaannya untuk menjamin tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance), Kepala Dinas Kabupaten/Kota atau Kepala Dinas Provinsi atau Direktur
Jenderal dapat membentuk tim penilai.
(3) Dalam hal hasil penilaian tidak memenuhi persyaratan pejabat penilai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menerbitkan surat penolakan atas nama pejabat pemberi izin.
(4) Dalam hal hasil penilaian memenuhi persyaratan, hasil penilaian dimaksud disampaikan
kepada pejabat pemberi izin untuk diterbitkan Keputusan pemberi izin.
Pasal 8
Penilaian proposal teknis meliputi penilaian :
a. Tujuan pemegang IUPHHBK-HA atau IUPHHBK-HT terhadap kelestarian alam atau hutan
tanaman sebagai penyangga kelestarian HHBK dan pemanenan HHBK tidak boleh
melebihi kemampuan regeneratif dan HHBK yang dimanfaatkan atau dibudidayakan.
b. Rencana pemanfaatan meliputi rencana budidaya HHBK sebagaimana pasal 1 ayat (4),
pengelolaan dan pemasaran.
c. Rencana penggunaan atau mempekerjakan tenaga ahli.
d. Perhitungan pembiayaan/cash flow dalam bentuk benefit cash ratio (B/C).
e. Rencana perlindungan hutan dan HHBK.
Pasal 9
Jangka waktu IUPHHBK-HA atau IUPHHBK-HT paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan
dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi yang dilakukan setiap 1 (satu) tahun oleh pemberi
izin.
Pasal 10
Penyelesaian proses perizinan sejak penilaian permohonan dan penerbitan izin tidak boleh
melebihi dari 30 (tiga puluh) hari kerja.

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 11
Pemegang IUPHHBK berhak melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil
usahanya sesuai dengan izin yang diperolehnya.
Pasal 12
Pemegang izin wajib :
a. Menyusun rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (RKUPHHBK) jangka
panjang 10 (sepuluh) tahunan paling lambat 1 (satu) tahun setelah izin diberikan, untuk
diajukan kepada pemberi izinnya guna mendapat persetujuan;
b. Menyusun rencana kerja tahunan (RKT) berdasarkan RKUPHHBK untuk disahkan oleh
kepala KPH atau Kepala Dinas Kabupaten untuk IUPHHBK yang diberikan oleh
Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Provinsi untuk IUPHHBK yang diberikan oleh Gubernur
atau Menteri;
c. Mengajukan RKT paling lambat 2 (dua) bulan sebelum RKT berjalan;
d. Melakukan pengukuran dan pengujian hasil hutan bukan kayu;
e. Melaksanakan kegiatan nyata di lapangan untuk paling lambat 6 (enam) bulan sejak izin
diberikan;
f. Membayar iuran atau dana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
g. Bagi BUMN/BUMS melakukan kerjasama dengan koperasi masyarakat setempat, paling
lambat 1 (satu) tahun setelah diterimanya izin.
Pasal 13
(1)

Pemegang IUPHHBK-HA atau IUPHHBK-HT dilarang menebang tegakan hutan alam


yang ada.

(2)

Hutan alam yang ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan media hidup
atau penyangga kehidupan HHBK yang diusahakan.
BAB V
BIMBINGAN TEKNOLOGI DAN PENGAWASAN
Pasal 14

(1)

Direktur Jenderal, Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota


melaksanakan bimbingan teknis dan pengawasan terhadap hak dan kewajiban

pemegang izin sesuai perizinan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5.
(2)

Direktur Jenderal dapat melimpahkan bimbingan teknis dan pengawasan kepada kepala
UPT.

BAB VI
SANKSI
Pasal 15
Pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 12,
dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Terhadap permohonan IUPHHBK-HA atau IUPHHBK-HT, atau Hak Pengusahaan HTI Non
Kayu yang diajukan sebelum terbitnya Peraturan ini dan telah mendapat SP 1 atau SP 2,
dilanjutkan ke penerbitan keputusan tentang pemberian IUPHHBK.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
PASAL 17
Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi

ttd.
S U P A R N O, SH.
NIP. 080068472

Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 9 Juni 2008
MENTERI KEHUTANAN
ttd.
H. M.S. KABAN

Salinan Peraturan ini disampaikan kepada Yth :


1. Menteri Dalam Negeri;
2. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
3. Menteri Perindustrian;
4. Pejabat Eselon I Lingkup Departemen Kehutanan;
5. Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional I s/d IV.
6. Gubernur di seluruh Indonesia;
7. Bupati/Walikota di seluruh Indonesia;
8. Kepala Dinas Provinsi yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Kehutanan di
seluruh Indonesia;
9. Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang
Kehutanan di seluruh Indonesia;
10. Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah I s.d XVIII.

9.

Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa.

Indonesia

Nomor

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN


Nomor : P.49/Menhut-II/2008
Tentang
HUTAN DESA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN,
Menimbang

: a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan


sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan
yang adil dan lestari, hutan negara dapat dikelola untuk
kesejahteraan desa melalui hutan desa;
b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Pasal 86
ayat (2), Pasal 87 ayat (4), Pasal 88 ayat (2), Pasal 89 ayat
(5), Pasal 91 ayat (3) dan Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan
tentang Hutan Desa;

Mengingat

: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi


Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3699);
3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
167 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888), sebagaimana

4.

5.

6.

7.
8.
9.

10.

telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004


tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4412);
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8
Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Republik Indonesa Tahun 2005 Nomor
108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4548);
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesa Tahun 2007
Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4833);
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana
Reboisasi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2007;
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Hutan;
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Pemerintahan Desa;
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008;
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan

: PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG HUTAN


DESA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam peraturan yang dimaksud dengan :
(1). Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh
Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan Tetap.
(2). Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak
atas tanah.
(3). Hutan Lindung adalah Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah.
(4). Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan.
(5). Masyarakat Setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari Warga Negara
Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan/atau di sekitar hutan, yang
bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang memiliki komunitas
sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan
aktifitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.
(6). Desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(7). Hutan Desa adalah Hutan Negara yang dikelola oleh Desa dan dimanfaatkan
untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin atau hak.
(8). Lembaga Desa Pengelola Hutan Desa yang selanjutnya disebut Lembaga Desa
adalah Lembaga Kemasyarakatan yang ditetapkan dengan Peraturan Desa
yang bertugas untuk mengelola Hutan Desa yang secara fungsional berada
dalam Organisasi Desa dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa.
(9). Pemberdayaan Masyarakat setempat adalah upaya untuk meningkatkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan
manfaat Sumber Daya Hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan
kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan
masyarakat setempat.
(10). Areal Kerja Hutan Desa adalah satu kesatuan hamparan kawasan hutan yang
dapat dikelola oleh Lembaga Desa secara lestari.

(11). Fasilitas adalah upaya penyediaan kemudahan dalam memberikan Hak


Pengelolaan Hutan Desa dengan cara pengembangan kelembagaan,
pengembangan usaha, bimbingan teknologi, pendidikan dan latihan, serta
akses terhadap pasar.
(12). Kawasan Pengelolaan Hutan adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi
pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
(13). Hak Pengelolaan Hutan Desa adalah hak yang diberikan kepada desa untuk
mengelola hutan negara dalam batas waktu dan luasan tertentu.
(14). Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam hutan desa adalah izin usaha
yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam hutan
desa pada hutan produksi melalui kegiatan penanaman, pemeliharaan,
pemanenan, dan pemasaran.
(15). Pemanfaatan kawasan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh
sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi
secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya.
(16). Pemanfaatan Jasa Lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi
jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi
utamanya.
(17). Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan
mengusahakan hasil hutan berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan
tidak mengurangi fungsi pokoknya.
(18). Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan
dan mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak
lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.
(19). Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan/atau Bukan Kayu adalah kegiatan untuk
mengambil hasil hutan baik berupa kayu dan/atau bukan kayu dengan batasan
waktu, luas dan/atau volume tertentu.
(20). Penetapan areal kerja hutan desa adalah pencadangan areal kawasan hutan
oleh Menteri untuk areal kerja hutan desa.
(21). Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggungjawab dibidang
kehutanan.
(22). Pemerintahan Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik
Indonesia sebagai dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
(23). Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan Perangkat
Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Bagian Kedua
Maksud, Tujuan, dan Ruang Lingkup
Pasal 2
(1). Penyelenggaraan Hutan Desa dimaksudkan untuk memberikan akses kepada
masyarakat setempat melalui lembaga desa dalam memanfaatkan sumber daya
hutan secara lestari.
(2). Penyelenggaraan Hutan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat secara berkelanjutan.
Pasal 3
Ruang lingkup pengaturan hutan desa meliputi :
a.
penetapan areal kerja;
b.
fasilitasi;
c.
perizinan;
d.
rencana kerja pengelolaan hutan desa;
e.
pelimpahan wewenang; dan
f.
pembinaan dan pengendalian.
BAB II
PENETAPAN AREAL KERJA HUTAN DESA
Bagian Kesatu
Areal Kerja Hutan Desa

(1).

(2).

Pasal 4
Kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa
adalah Hutan Lindung dan Hutan Produksi yang :
a. belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan;
b. berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan.
Ketentuan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas
rekomendasi dari Kepala KPH atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang diserahi
tugas dan bertanggung jawab dibidang kehutanan.
Bagian Kedua
Tata Cara Penetapan Areal Kerja Hutan Desa

Pasal 5
Penetapan areal kerja hutan desa dilakukan oleh Menteri berdasarkan usulan
Bupati/Walikota.
Pasal 6
(1). Bupati/Walikota mengusulkan penetapan areal kerja Hutan Desa kepada
Menteri berdasarkan permohonan Kepala Desa, dengan dilampiri :

a. peta dengan skala paling kecil 1:50.000; dan


b. kondisi kawasan hutan antara lain fungsi hutan, topografi, potensi;
(2). Usulan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan
kepada Gubernur setempat.

(1).
(2).

(3).

(4).
(5).
(6).
(7).

Pasal 7
Usulan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dilakukan
verifikasi oleh Tim Verifikasi yang dibentuk oleh Menteri.
Tim Verifikasi beranggotakan unsur-unsur Eselon I terkait lingkup Departemen
Kehutanan yang dikoordinasikan oleh Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial, dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial sebagai koordinator
Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menugaskan UPT
Departemen Kehutanan terkait untuk melakukan verifikasi ke lapangan.
UPT Departemen Kehutanan terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat.
Hasil verifikasi UPT Departemen Kehutanan terkait dilaporkan kepada Tim
Verifikasi, sebagai bahan pertimbangan.
Verifikasi sebagaimana dimasud pada ayat (3) meliputi : kepastian hak atau
izin yang telah ada serta kesesuaian dengan fungsi kawasan.
Ketentuan lebih lanjut tentang verifikasi diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.

Pasal 8
(1). Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5), Tim
Verifikasi dapat menolak atau menerima seluruh atau sebagian usulan
penetapan areal kerja hutan desa.
(2). Terhadap usulan penetapan areal kerja hutan desa yang ditolak, Tim Verifikasi
atas nama Menteri menyampaikan pemberitahuan kepada Bupati/Walikota
dengan tembusan kepada Gubernur setempat.
(3). Terhadap usulan penetapan areal kerja hutan desa yang diterima, Menteri
menetapkan areal kerja hutan desa.
(4). Penetapan areal kerja hutan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota setempat.
BAB III
FASILITASI
Pasal 9
(1). Fasilitasi dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas lembaga desa dalam
pengelolaan hutan.
(2). Jenis fasilitas meliputi :
a. pendidikan dan latihan;

b. pengembangan kelembagaan;
c. bimbingan penyusunan rencana kerja hutan desa;
d. bimbingan teknologi;
e. pemberian informasi pasar dan modal; dan
f. pengembangan usaha.
(3). Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 10
(1). Pelaksanaan fasilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dapat dibantu oleh
pihak lain, antara lain :
a. perguruan tinggi/lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat;
b. lembaga swadaya masyarakat;
c. lembaga keuangan;
d. koperasi; atau
e. BUMN/BUMD/BUMS.
(2). Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan fasilitasi
sepanjang mendapat persetujuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau
Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya.
(3). Kegiatan fasilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilakukan mulai dari
tahap pengusulan penetapan areal Hutan Desa sampai dengan pengelolaan
Hutan Desa.
BAB IV
HAK PENGELOLAAN HUTAN DESA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 11
(1). Hak pengelolaan hutan desa bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan
hutan, dan dilarang memindahtangankan atau mengagunkan, serta mengubah
status dan fungsi kawasan hutan.
(2). Hak pengelolaan hutan desa dilarang digunakan untuk kepentingan lain di luar
rencana pengelolaan hutan dan harus dikelola berdasarkan kaedah-kaedah
pengelolaan hutan lestari.

Bagian Kedua
Sosialisasi
Pasal 12
(1). Terhadap areal kerja hutan desa yang telah ditetapkan oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), Bupati/Walikota
mensosialisasikan kepada Kepala Desa yang wilayah administrasinya ditetapkan
sebagai areal kerja Hutan Desa.
(2). Kepala Desa mensosialisasikan kepada masyarakat desa tentang penetapan
areal kerja hutan desa.
(3). Berdasarkan sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Desa
membentuk Lembaga Desa yang mengelola hutan desa yang dituangkan dalam
peraturan desa.
Bagian Ketiga
Tata Cara Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa
Pasal 13
(1). Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa diajukan oleh Lembaga Desa kepada
Gubernur melalui Bupati/Walikota dengan melampirkan persyaratan :
a. peraturan desa tentang penetapan lembaga desa;
b. surat pernyataan dari kepala desa yang menyatakan wilayah administrasi
desa yang bersangkutan yang diketahui Camat;
c. luas areal kerja yang dimohon; dan
d. rencana kegiatan dan bidang usaha Lembaga Desa.
(2). Bupati/Walikota meneruskan permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa kepada
Gubernur dengan melampirkan surat rekomendasi yang menerangkan bahwa
Lembaga Desa telah :
a. mendapatkan fasilitasi;
b. siap mengelola hutan desa; dan
c. ditetapkan areal kerja oleh Menteri.
Pasal 14
(1). Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
Gubernur melakukan verifikasi.
(2). Verifikasi paling sedikit dilakukan terhadap : keabsahan lembaga desa,
pernyataan kepala desa, kesesuaian areal kerja, kesuaian kerja.
(3). Terhadap hasil verifikasi yang tidak memenuhi syarat, Gubernur menyampaikan
surat pemberitahuan kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(4). Terhadap hasil verifikasi yang memenuhui syarat, Gubernur memberikan hak
pengelolaan hutan desa.
(5). Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman verifikasi diatur oleh Gubernur.

Pasal 15
(1). Hak pengelola Hutan Desa diberikan dalam bentuk Surat Keputusan Pemberian
Hak Pengelolaan Hutan Desa.
(2). Surat Keputusan pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa memuat :
a. luas hutan desa;
b. wilayah administrasi hutan desa;
c. fungsi hutan;
d. lembaga pengelola hutan desa;
e. jenis kegiatan pemanfaatan kawasan;
f. hak dan kewajiban; dan
g. jangka waktu hak pengelolaan.
(3). Gubernur dapat memerintahkan kewenangan pemberian hak pengelolaan
Hutan Desa kepada Bupati/Walikota.
Pasal 16
Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa disampaikan oleh
Gubernur kepada Lembaga Desa dengan tembusan kepada Menteri dan
Bupati/Walikota.
Bagian Keempat
Jangka Waktu Hak Pengelolaan Hutan Desa
Pasal 17
(1). Hak Pengelolaan hutan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan
dapat diperpanjang.
(2). Hak Pengelolaan hutan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang berdasarkan evaluasi yang dilakukan paling lama setiap 5 (lima)
tahun satu kali oleh pemberi hak.
Bagian Kelima
IUPHHK dalam Hutan Desa
Pasal 18
(1). Lembaga Desa Pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa
IUPHHK dalam hutan desa yang terdiri dari IUPHHK Hutan
Hutan Tanaman.
(2). IUPHHK Hutan Alam atau IUPHHK Hutan Tanaman dalam
dapat diajukan pada areal kerja Hak Pengelolaan Hutan
dalam Hutan Produksi.

dapat mengajukan
Alam atau IUPHHK
Hutan Desa hanya
Desa yang berada

(3). Dalam hal di areal Hak Pengelolaan Hutan Desa terdapat hutan alam yang
berpotensi hasil hutan kayu, maka Lembaga Desa dapat mengajukan
permohonan IUPHHKK Hutan Alam dalam Hutan Desa.
(4). Dalam hal di areal Hak Pengelolaan Hutan Desa dapat dikembangkan hutan
tanaman, maka Lembaga Desa dapat mengajukan permohonan IUPHHK Hutan
Tanaman dalam Hutan Desa.

(1).

(2).

Pasal 19
Permohonan IUPHHK dalam Hutan Desa diajukan oleh Lembaga Desa kepada
Menteri dengan melengkapi persyaratan :
a. foto copy peraturan desa tentang penetapan Lembaga Desa;
b. foto copy Surat Keputusan penetapan areal kerja Hutan Desa yang terkait;
c. foto copy Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa;
d. rencana Kerja Hutan Desa yang sudah disahkan; dan
e. akta Penetapan Lembaga Desa sebagai Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Terhadap persyaratan yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Menteri membentuk Tim untuk melakukan penilaian.

Pasal 20
(1). Berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan oleh Tim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 Ayat (2) Menteri dapat menerima atau menolak.
(2). Terhadap hasil penilaian yang ditolak, Menteri menyampaikan surat
pemberitahuan.
(3). Terhadap hasil penilaian yang diterima, Menteri menetapkan IUPHHK Hutan
Alam dalam Hutan Desa atau IUPHHK Hutan Tanaman dalam Hutan Desa.
Pasal 21
(1). Menteri dapat melimpahkan wewenang penerbitan IUPHHK Hutan Alam dalam
Hutan Desa kepada Gubernur.
(2). Menteri dapat melimpahkan wewenang penerbitan IUPHHK Hutan Tanaman
dalam Hutan Desa kepada Bupati/Walikota.
Pasal 22
(1). Jangka waktu IUPHHK Hutan Desa berlaku sejak diterbitkan sampai
berakhirnya Hak Pengelolaan Hutan Desa, kecuali dicabut oleh pemberi izin.
(2). IUPHHK Hutan Desa dilakukan evaluasi paling sedikit satu kali setiap satu
tahun.

BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG HAK
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 23
Pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa berhak :
a. Pada Hutan Lindung berhak untuk memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan,
pemungutan hasil hutan bukan kayu;
b. Pada Hutan Produksi berhak untuk memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan,
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan
bukan kayu.
Pasal 24
Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
huruf a, dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha :
a. budidaya tanaman obat;
b. budidaya tanaman hias;
c. budidaya jamur;
d. budidaya lebah;
e. penangkaran satwa liar; atau
f. budidaya hijauan makanan ternak.
Pasal 25
Pemanfaatan jasa lingkungan pada Hutan Lindung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 huruf a, dilakukan antara lain melakukan kegiatan usaha :
a. pemanfaatan jasa aliran air;
b. pemanfaatan air;
c. wisata alam;
d. perlindungan keanekaragaman hayati;
e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; dan
f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Pasal 26
Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 huruf a, dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha :
a. rotan;
b. madu;
c. getah;
d. buah;
e. jamur; atau
f. sarang walet.

Pasal 27
Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
huruf b, dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha :
a. budidaya tanaman obat;
b. budidaya tanaman hias;
c. budidaya jamur;
d. budidaya lebah;
e. penangkaran satwa; atau
f. budidaya sarang burung walet.
Pasal 28
Penetapan jasa lingkungan pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 huruf b, dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha :
a. pemanfaatan jasa aliran air;
b. pemanfaatan air;
c. wisata alam;
d. perlindungan keanekaragaman hayati;
e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau
f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Pasal 29
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi dalam hutan alam
sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 huruf b, antara lain berupa pemanfaatan :
a. rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi penanaman, pemanenan, pengayaan,
pemeliharaan, pengamanan, dan pamasaran hasil.
b. getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan
pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
Pasal 30
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi dalam hutan tanaman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b, antara lain berupa pemanfaatan :
a. rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan,
pemanenan, pengamanan, dan pamasaran hasil.
b. getah, kulit kayu, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan,
pemeliharaan, pemanenan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
Pasal 31
Pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi setelah
mendapat Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan dalam pemanfaatannya
mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam maupun hutan tanaman.

Pasal 32
Dalam hal kegiatan pemungutan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 huruf b, dibatasi paling banyak 50 m3 (lima puluh meter kubik) per lembaga
desa per tahun.
Pasal 33
Pemungutan hasil hutan kayu pada hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 huruf b, dapat berupa pemungutan rotan, madu, getah, buah atau biji,
daun, gaharu, kulit kayu, tanaman obat, dan umbi-umbian, dengan ketentuan paling
banyak 20 (dua puluh) ton untuk setiap lembaga desa.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 34
(1). Lembaga Desa sebagai Pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa memiliki
kewajiban :
a. melaksanakan penataan batas hak pengelolaan hutan desa;
b. menyusun rencana kerja hak pengelolaan hutan desa selama jangka waktu
berlakunya hak pengelolaan hutan desa;
c. melakukan perlindungan hutan;
d. melaksanakan rehabilitasi areal kerja hutan desa; dan
e. melaksanakan pengkayaan tanaman areal kerja hutan desa.
(2). Lembaga Desa sebagai pemegang IUPHHK dalam hutan desa memiliki
kewajiban :
a. untuk IUPHHK Hutan Tanaman dalam Hutan Desa, Lembaga Desa wajib
melaksanakan ketentuan sebagaimana pemegang izin IUPHHK Hutan
Tanaman sesuai peraturan perundang-undangan;
b. untuk IUPHHK Hutan Alam dalam Hutan Desa, Lembaga Desa wajib
melaksanakan ketentuan sebagaimana pemegang izin IUPHHK Hutan
Alam sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB V
RENCANA KERJA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 35
(1). Rencana kerja Hak Pengelolaan Hutan Desa dimaksudkan sebagai acuan bagi
pemegang hak dalam pengelolaan Hutan Desa dalam melaksanakan kegiatan

pengelolaan hutan dan alat pengendalian bagi Pemerintah, Provinsi, dan


Kabupaten/Kota.
(2). Rencana Kerja Hak Pengelolaan Hutan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri dari :
a. Rencana Kerja Hutan Desa (RKHD); dan
b. Rencana Tahunan Hutan Desa (RTHD).
Pasal 36
Dalam menyusun Rencana Kerja Hak Pengelolaan Hutan Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) Lembaga Desa dapat meminta fasilitasi kepada
Pemerintah, Pemerintah Daerah atau pihak lain.
Bagian Kedua
Rencana Kerja Hutan Desa (RKHD)
Pasal 37
RKHD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a, merupakan rencana
pengelolaan hutan desa selama jangka waktu pemberian hak 35 tahun yang
menjamin berlangsungnya kelestarian fungsi hutan secara ekonomi, ekologi, sosial
dan budaya setempat.
Pasal 38
(1). RKHD meliputi aspek-aspek :
a. Kelola kawasan;
b. Kelola kelembagaan;
c. Kelola usaha; dan
d. Kelola sumber daya manusia.
(2). RKHD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Lembaga Desa yang
dilakukan secara partisipatif dalam satu kesatuan hak pengelolaan hutan desa.
Pasal 39
(1). RKHD disahkan oleh Gubernur yang dapat didelegasikan kepada Kepala Dinas
Provinsi yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan.
(2). Lembaga Desa menyampaikan RKHD yang telah disahkan Gubernur kepada
Menteri dengan tembusan kepada Bupati/Walikota.
Pasal 40
(1). RKHD dapat direvisi oleh Lembaga Desa berdasarkan hasil musyawarah.
(2). RKHD hasil revisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disahkan oleh
Gubernur dan disampaikan kepada Menteri, dan Bupati/Walikota.

Bagian Ketiga
Rencana Tahunan Hutan Desa (RTHD)
Pasal 41
(1). RTHD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf b merupakan
penjabaran lebih rinci dari RKHD yang memuat kegiatan-kegiatan yang akan
dilaksanakan dan target-target yang akan dicapai dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun ke depan.
(2). RTHD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat rencana yang meliputi :
a. Rencana tata batas areal kerja;
b. Rencana penanaman;
c. Rencana Pemeliharaan;
d. Rencana Pemanfaatan; dan
e. Rencana perlindungan.

(1).

(2).

Pasal 42
RTHD disahkan oleh Bupati/Walikota yang dapat didelegasikan kepada Dinas
yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di
Kabupaten/Kota.
Lembaga Desa menyampaikan RTHD yang telah disahkan kepada Gubernur
dengan tembusan kepada Menteri.
BAB VII
PELAPORAN

(1).

(2).
(3).

Pasal 43
Lembaga Desa selaku Pemegang Hak Pengelolaan Hutan Desa atau
Pemegang IUPHHK dalam Hutan Desa menyusun dan menyampaikan laporan
kinerja secara periodik, kepada :
a. Gubernur dengan tembusan kepada Menteri dan Bupati/Walikota terhadap
Pemegang HPH Desa.
b. Menteri dengan tembusan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota terhadap
pemegang IUPHHK Hutan Desa.
Laporan kinerja secara periodik disampaikan paling sedikit satu kali dalam
satu tahun.
Laporan kinerja secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memuat antara lain :
(1). Rencana kerja dan realisasi kegiatan periodik dan komulatif;
1) Tata batas areal kerja;
2) Penanaman;
3) Pemeliharaan;
4) Pemanfaatan; dan

5) Rencana perlindungan.
(2). Kendala dalam pelaksanaan
1) Teknis; dan
2) Administrasi.
(3). Laporan kinerja merupakan bahan pengendalian dan evaluasi terhadap
pelaksanaan pengelolaan hutan desa.
BAB VIII
PEMBINAAN, PENGENDALIAN DAN PEMBIAYAAN
Bagian Kesatu
Pembinaan dan Pengendalian

(1).
(2).

(3).

Pasal 44
Pembinaan dan pengendalian dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya
pengelolaan hutan desa yang efektif sesuai tujuan.
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemberian :
a. Pedoman;
b. Bimbingan;
c. Pelatihan;
d. Arahan; dan/atau
e. Supervisi.
Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kegiatan :
a. Monitoring; dan/atau
b. Evaluasi.
Pasal 45

(1).
(2).

(3).

Pembinaan dan Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44


dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota.
Pembinaan dan pengendalian oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. Menteri, berwenang membina dan mengendalikan kebijakan hutan desa
yang dilaksanakan Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota;
b. Gubernur, berwenang membina dan mengendalikan kebijakan hutan desa
yang dilaksanakan oleh Bupati/Walikota;
Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota sesuai kewenangannya melakukan
pembinaan dan pengendalian terhadap pelaksanaan hutan desa yang
dilaksanakan oleh pemegang hak atau izin :
a. Menteri, menyusun pedoman pengelolaan hutan desa, monitoring dan
evaluasi;
b. Gubernur, memberikan bimbingan arahan dan supervisi, monitoring dan
evaluasi;

c.

(1).
(2).

Bupati/Walikota, melakukan pelatihan, monitoring, dan evaluasi;

Pasal 46
Pembinaan dan pengendalian terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan desa
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hasil pembinaan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan sebagai bahan evaluasi dan perbaikan perencanaan dan
pelaksanaan pengelolaan hutan desa, dan/atau perbaikan terhadap kebijakan
hutan desa.
Bagian Kedua
Pembiayaan

(1).
(2).

Pasal 47
Pembiayaan untuk pelaksanaan pengelola hutan desa dibebankan kepada Kas
Desa.
Pembiayaan untuk fasilitasi, pembinaan dan pengendalian dalam
penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat melalui Hutan Desa dibebankan
kepada :
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan/atau
c. Sumber-sumber lain yang tidak mengikat.
BAB IX
SANKSI

(1).

(2).

Pasal 48
Hak Pengelolaan Hutan Desa hapus, apabila :
a. Jangka waktu hak pengelolaan telah berakhir;
b. Hak pengelolaan dicabut oleh pemberi hak sebagai sanksi yang dikenakan
kepada pemegang hak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Hak pengelolaan diserahkan kembali oleh pemegang hak pengeloalaan
dengan pernyataan tertulis kepada pemberi hak sebelum jangka waktu
hak pengelolaan berakhir; atau
d. Pemegang hak pengelolaan tidak memenuhi kewajiban sesuai ketentuan.
Proses penghapusan dilakukan berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan
bersama antara pemberi dan pemegang hak.

Pasal 49
Hapusnya hak pengelolan hutan desa atas dasar ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak membebaskan pemegang hak untuk melunasi seluruh kewajiban

finansial serta memenuhi seluruh kewajiban lainnya yang ditetapkan oleh


Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota.

(1).

(2).

Pasal 50
Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan di lapangan,
terhadap pemegang hak pengelolaan hutan desa yang melanggar;
a. Tidak menyusun rencana kerja hak pengelolaan hutan desa selama
jangka waktu berlakunya hak pengelolaan hutan desa (RKHD);
b. Tidak melaksanakan penataan batas; atau
c. Tidak melakukan perlindungan hutan.
Sanksi administratif berupa pencabutan izin, terhadap pemegang hak
pengelolaan hutan desa apabila :
a. Memindahtangankan atau mengagunkan serta mengubah status dan
fungsi kawasan hutan;
b. Menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan lain di luar rencana
pengelolaan hutan;
c. Tidak mengelola berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari;
atau
d. Tidak melaksanakan penatausahaan hasil hutan.

Pasal 51
Untuk IUPHHK Hutan Alam dalam Hutan Desa atau IUPHHK Hutan Tanaman dalam
Hutan Desa, Lembaga Desa dikenakan sanksi sebagaimana sanksi yang dikenakan
terhadap pemegang IUPHHK Hutan Alam atau Pemegang IUPHHK Hutan Tanaman
sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 52
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan


dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Agustus 2008
MENTERI KEHUTANAN,
ttd
H.M.S. KABAN
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 5 September 2008
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 39
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
ttd
SUPARNO,SH
NIP. 080068472

10. Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia

Nomor

P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan


Kriteria Pengelolaan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan
Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
(KPHP).

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : P.6/Menhut-II/2010
TENTANG
NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN
HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL)
DAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

: a.

b.

Mengingat

: 1.

2.

3.

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 21 ayat (3)


Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2008, perlu diatur mengenai pengelolaan hutan pada
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dengan peraturan Menteri;
bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kehutanan tentang Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria Pengelolaan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan
Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP);
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3419);
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun
2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undangundang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun
2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548);
4. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
5. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4814);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi, dan
Pemerintahan Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4741);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4833);
11. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan, sebagaimana
telah beberapa kali disempurnakan terakhir dengan Nomor
P.64/Menhut-II/2008 (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 80
Tahun 2008);
12. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang
Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) (Berita
Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2009);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN
MENTERI
KEHUTANAN
TENTANG
NORMA,
STANDAR, PROSEDUR, DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN
PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN
KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP).

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungannya,
yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
2. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh
pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
3. Pengelolaan Hutan adalah kegiatan yang meliputi tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan; penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi dan
reklamasi hutan; perlindungan hutan dan konservasi alam.
4. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan,
memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta
memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk
kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.
5. Penggunaan kawasan hutan merupakan penggunaan untuk kepentingan pembangunan
di luar kehutanan tanpa mengubah status dan fungsi pokok kawasan hutan.
6. Rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan
meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan
peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
7. Reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan
vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan
peruntukannya.
8. Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan,
kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,
kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga
hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan,
investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
9. Tata Batas dalam wilayah KPH adalah melakukan penataan batas dalam wilayah kelola
KPH berdasarkan pembagian blok dan petak.
10. Inventarisasi hutan adalah rangkaian kegiatan pengumpulan data untuk mengetahui
keadaan dan potensi sumber daya hutan serta lingkungannya secara lengkap.
11. Blok adalah bagian wilayah KPH yang dibuat relatif permanen untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pengelolaan.
12. Petak adalah bagian dari blok dengan luasan tertentu dan menjadi unit usaha
pemanfaatan terkecil yang mendapat perlakuan pengelolaan atau silvikultur yang sama.
13. Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disebut KPH adalah wilayah pengelolaan hutan
sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
14. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung selanjutnya disebut KPHL adalah KPH yang luas
wilayahnya seluruh atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan lindung.
15. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi selanjutnya disebut KPHP adalah KPH yang luas
wilayahnya seluruh atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan produksi.
16. Wilayah tertentu adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum menarik bagi
pihak ketiga untuk mengembangkan usaha pemanfaatannya.
17. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
kehutanan.

Pasal 2
Maksud dan Tujuan
(1) Maksud pengaturan pengelolaan hutan pada KPHL dan KPHP adalah sebagai acuan
dalam penyelengaraan pengelolaan hutan oleh KPHL dan KPHP.
(2) Tujuan pengaturan pengelolaan hutan pada KPHL dan KPHP adalah menjamin
terselenggaranya pengelolaan hutan yang bermanfaat dan lestari.
BAB II
TUGAS DAN FUNGSI KPHL DAN KPHP
Pasal 3
Organisasi KPHL dan KPHP mempunyai tugas dan fungsi :
a. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi :
1. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
2. pemanfaatan hutan;
3. penggunaan kawasan hutan;
4. rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan
5. perlindungan hutan dan konservasi alam.
b. Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang
kehutanan untuk diimplementasikan;
c. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian;
d. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan
di wilayahnya;
e. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
BAB III
TATA HUTAN DAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN
Bagian Kesatu
Tata Hutan
Pasal 4
(1) Tata hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 1, dilakukan
pada setiap KPHL dan KPHP.
(2) Kegiatan Tata Hutan di KPHL dan KPHP terdiri dari :
a. inventarisasi hutan;
b. pembagian ke dalam blok;
c. pembagian petak;
d. tata batas dalam wilayah KPHL dan KPHP; dan
e. pemetaan.
(3) Kegiatan tata hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan uraian
sebagai berikut :
a. Kegiatan awal dalam kegiatan tata hutan dalam KPHL dan KPHP adalah inventarisasi
hutan.
b. Atas dasar hasil inventarisasi hutan tersebut pengelola KPHL dan KPHP membuat
rancangan pembagian blok dan petak.
c. Atas dasar rancangan pembagian blok dan petak dilakukan penataan batas pada blok
dan petak tersebut.
d. Batas wilayah kelola KPHL dan KPHP, dan hasil penataan batas sebagaimana
dimaksud pada butir a dan d di atas dituangkan peta tata hutan.

(4) Gubernur mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan tata hutan pada KPHL dan KPHP
lintas kabupaten/kota.
(5) Bupati/Walikota mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan tata hutan pada KPHL dan
KPHP dalam kabupaten/kota.
(6) Unit Eselon I yang bertanggung jawab di bidang tata hutan melakukan supervisi dan
fasilitasi kegiatan tata hutan pada KPHL dan KPHP.
Pasal 5
(1) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dilaksanakan
untuk memperoleh informasi potensi, karakteristik, bentang alam, kondisi sosial
ekonomi, serta informasi lain pada wilayah kelola KPHL dan KPHP.
(2) Aspek pelaksanaan inventarisasi hutan diarahkan untuk mendapatkan data dan
informasi berkenaan dengan :
a. status, penggunaan dan penutupan lahan;
b. jenis tanah, kelerengan lapangan/topografi;
c. iklim;
d. hidrologi (tata air), bentang alam dan gejala-gejala alam;
e. kondisi sumber daya manusia dan demografi;
f. jenis, potensi dan sebaran flora;
g. jenis, populasi dan habitat fauna; dan
h. kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat.
(3) Pelaksanaan inventarisasi dilakukan dengan cara survei melalui penginderaan jauh
dan/atau terestris.
(4) Inventarisasi hutan dilaksanakan paling sedikit satu kali dalam 5 (lima) tahun.
(5) Data dan informasi hasil inventarisasi hutan disajikan dalam bentuk deskriptif, numerik,
peta dan lain-lain, yang meliputi :
a. data pokok berupa potensi tegakan kayu, potensi sumber daya tumbuhan non kayu
yang meliputi jenis/sub jenis, penyebaran, populasi dan status, keanekaragaman
jenis pohon, riap tegakan untuk plot-plot permanen apabila telah dilakukan
pengukuran berulang, habitat, penyebaran, populasi dan status, potensi objek wisata
dan jasa lingkungan, pengelompokkan jenis satwa yang dilindungi sesuai dengan
peraturan pemerintah baik pusat maupun daerah, macam dan bentuk-bentuk
pengelolaan hutan, peta hasil kegiatan skala minimal 1:50.000; dan
b. data penunjang berupa infrastruktur yang mendukung pengelolaan hutan, kondisi
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, informasi kondisi DAS dan sub DAS.
Pasal 6
(1) Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dilakukan
pembagian blok.
(2) Pembagian blok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memperhatikan :
a. karakteristik biofisik lapangan;
b. kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar;
c. potensi sumber daya alam; dan
d. keberadaan hak-hak atau izin usaha pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan.
(3) Dalam pembagian blok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimungkinkan untuk
menetapkan blok sebagai wilayah tertentu.
Pasal 7
(1) Berdasarkan pembagian blok sebagaimana dimaksud Pasal 6, dilakukan pembagian
petak.

(2) Pembagian petak sebagaimana ayat (1), memperhatikan :


a. produktivitas dan potensi areal/lahan;
b. keberadaan kawasan lindung, yang meliputi kawasan bergambut, kawasan resapan
air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan
sekitar mata air, kawasan cagar budaya, kawasan rawan bencana alam, kawasan
perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, dan kawasan pantai
berhutan bakau; dan
c. rancangan areal yang akan direncanakan antara lain untuk pemanfaatan hutan,
penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, pemberdayaan
masyarakat.
(3) Dalam hal wilayah yang bersangkutan telah ada izin atau hak, pembagian petak
menyesuaikan dengan petak yang telah dibuat oleh pemegang izin atau hak.
(4) Pembagian petak diarahkan sesuai dengan peruntukan berdasarkan identifikasi lokasi
dan potensi wilayah tertentu, antara lain :
a. wilayah yang akan diberikan izin, dan
b. wilayah untuk pemberdayaan masyarakat.
Pasal 8
(1) Tata batas dalam wilayah KPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d
dilaksanakan untuk kepastian batas blok dan petak.
(2) Tata batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan :
a. persiapan peta penataan batas, berdasarkan hasil pembagian blok dan petak yang
telah dilaksanakan serta dipetakan;
b. penyiapan trayek-trayek batas;
c. pelaksanaan penataan batas berdasarkan trayek batas;
d. penyajian peta tata batas dalam wilayah KPHL dan KPHP, berdasarkan hasil
penataan batas sebagaimana huruf c.
Pasal 9
(1) berdasarkan kegiatan tata batas, inventarisasi, pembagian blok, pembagian petak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8, dilakukan pemetaan
KPHL dan KPHP.
(2) Pemetaan KPHL dan KPHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat unsurunsur antara lain :
a. batas wilayah KPHL dan KPHP yang telah ditetapkan Menteri;
b. pembagian batas blok;
c. pembagian batas petak; dan
d. peta dengan skala minimal 1:50.000.
(3) kegiatan pemetaan pada KPHL dan KPHP, dilakukan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Rencana Pengelolaan Hutan
Pasal 10
(1) Hasil tata hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 9
digunakan sebagai bahan penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.
(2) Materi rencana pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. arahan-arahan pengelolaan hutan pada wilayah KPHL dan KPHP; dan
b. rencana pembangunan KPHL dan KPHP memuat perencanaan organisasi yang di
dalamnya memuat pengembangan SDM, pengadaan sarana dan prasarana,

pembiayaan kegiatan, dan kegiatan lainnya.


(3) Rencana pengelolaan hutan meliputi :
a. rencana pengelolaan hutan jangka panjang 10 tahun; dan
b. rencana pengelolaan hutan jangka pendek 1 tahun.
(4) Unit Eselon I yang bertanggung jawab di bidang rencana pengelolaan hutan melakukan
supervisi dan fasilitasi kegiatan penyusunan rencana pengelolaan hutan pada KPHL dan
KPHP.
Pasal 11
(1) Rencana pengelolaan hutan jangka panjang untuk KPHL dan KPHP disusun oleh Kepala
KPHL dan KPHP dinilai oleh Gubernur dan disahkan oleh Menteri atau pejabat yang
ditunjuk.
(2) Rencana pengelolaan hutan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan :
a. mengacu pada rencana kehutanan nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota; dan
b. memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan.
(3) Rencana pengelolaan hutan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat unsur-unsur :
a. tujuan yang akan dicapai KPH;
b. kondisi yang dihadapi;
c. strategi serta kelayakan pengembangan pengelolaan hutan, yang meliputi tata
hutan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi
hutan, dan perlindungan hutan dan konservasi alam; dan
d. arahan kegiatan pembangunan jangka panjang KPH.
Pasal 12
(1) Berdasarkan rencana pengelolaan hutan jangka panjang KPHL dan KPHP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf a, disusun rencana pengelolaan hutan jangka
pendek untuk jangka pendek untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
(2) Rencana pengelolaan hutan jangka pendek KPHL dan KPHP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala KPHL dan KPHP, dinilai
dan disahkan oleh Kepala KPHL dan KPHP.
(3) Dalam proses penyusunan rencana pengelolaan hutan jangka pendek dilaksanakan
melalui pembahasan yang melibatkan para pemangku kepentingan.
(4) Rencana pengelolaan hutan jangka pendek KPHL dan KPHP sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), memuat unsur-unsur sebagai berikut :
a. tujuan pengelolaan hutan lestari dalam skala KPHL dan KPHP yang bersangkutan;
b. evaluasi hasil rencana jangka pendek sebelumnya;
c. target yang akan dicapai;
d. basis data dan informasi;
e. kegiatan yang akan dilaksanakan;
f. status neraca sumber daya hutan;
g. pemantauan evaluasi dan pengendalian kegiatan;
h. partisipasi pemangku kepentingan; dan
i. arahan rencana pembangunan tahunan KPHL dan KPHP.
Pasal 13
(1) Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang menjadi pedoman dan acuan seluruh
kegiatan pengelolaan hutan jangka panjang di wilayah KPHL dan KPHP yang
bersangkutan.
(2) Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Pendek menjadi pedoman dan acuan seluruh

kegiatan pengelolaan hutan jangka pendek di wilayah KPHL dan KPHP yang
bersangkutan.
(3) Format Rencana Pengelolaan Hutan sebagaimana tercantum pada lampiran peraturan
ini.
BAB IV
PEMANFAATAN HUTAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 14
(1) Penyelenggaraan pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan
jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat.
(2) Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan
melalui kegiatan :
a. pemanfaatan kawasan;
b. pemanfaatan jasa lingkungan;
c. pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan/atau
d. pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(3) Pemanfaatan hutan pada KPHL dan KPHP yang kawasan hutannya berfungsi Hutan
Lindung (HL), hanya dapat dilakukan kegiatan berupa :
a. pemanfaatan kawasan;
b. pemanfaatan jasa lingkungan; dan/atau
c. pemungutan hasil hutan bukan kayu.
(4) Pemanfaatan hutan pada KPHL dan KPHP yang kawasan hutannya berfungsi Hutan
Produksi (HP) dapat dilakukan semua jenis kegiatan pemanfaatan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(5) Kegiatan pemanfaatan hutan wajib disertai izin pemanfaatan hutan yang diatur sesuai
peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
(1) Dalam hal izin pemanfaatan hutan di wilayah KPHL dan KPHP telah hapus atau berakhir,
Kepala KPHL dan KPHP bertanggung jawab atas pengamanan dan perlindungan hutan
di bekas areal kerja yang bersangkutan.
(2) Hapus atau berakhirnya izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
(1) Kepala KPHL dan KPHP wajib melaksanakan pembinaan, pemantauan dan evaluasi atas
pelaksanaan izin pemanfaatan hutan di wilayah KPH-nya.
(2) Pembinaan, pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri dengan tembusan kepada Gubernur dan
Bupati/Walikota.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 17
Terhadap permohonan dan/atau perpanjangan izin pemanfaatan hutan dalam wilayah KPHL
dan KPHP, maka pemberian rekomendasi oleh dinas yang menangani urusan kehutanan

provinsi atau kabupaten/kota harus mempertimbangkan rencana pengelolaan hutan yang


telah disusun oleh KPHL dan KPHP.
Bagian Kedua
Pemanfaatan Wilayah Tertentu
Pasal 18
(1) Pemanfaatan wilayah tertentu oleh KPHL dan KPHP dilakukan melalui penugasan oleh
Menteri.
(2) Bentuk pemanfaatan wilayah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
melaksankaan pemanfaatan hutan yang di dalamnya termasuk kegiatan penjualan
tegakan.
(3) KPHL dan KPHP yang dapat melakukan aktifitas pemanfaatan wilayah tertentu adalah
organisasi KPHL dan KPHP yang telah menerapkan pola pengelolaan Badan Layanan
Umum.
BAB V
PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
Pasal 19
(1) Kepala KPHL dan KPHP wajib melaksanakan pembinaan, pemantauan dan evaluasi atas
pelaksanaan izin penggunaan kawasan hutan di wilayah KPH-nya.
(2) Pembinaan, pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri dengan tembusan kepada Gubernur dan
Bupati/Walikota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 20
Terhadap permohonan dan/atau perpanjangan izin penggunaan kawasan hutan dalam
wilayah KPH, maka pemberian rekomendasi oleh dinas yang menangani urusan kehutanan
provinsi atau kabupaten/kota harus mempertimbangkan rencana pengelolaan hutan yang
telah disusun oleh KPHL dan KPHP.
Pasal 21
(1) Dalam hal izin penggunaan kawasan hutan di wilayah KPHL dan KPHP telah hapus atau
berakhir, maka Kepala KPHL dan KPHP bertanggung jawab atas pengamanan dan
perlindungan hutan di bekas areal kerja yang bersangkutan.
(2) Hapus atau berakhirnya izin penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB VI
REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN
Bagian Kesatu
Rehabilitasi Hutan
Pasal 22
(1) Rehabilitasi hutan di wilayah KPHL dan KPHP diselenggarakan oleh KPHL dan KPHP.

(2) Rehabilitasi hutan di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui kegiatan :
a. reboisasi;
b. pemeliharaan tanaman;
c. pengayaan tanaman;
d. penerapan teknik konservasi tanah.
(3) Rehabilitasi hutan diselenggarakan sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
(1) Rehabilitasi hutan pada wilayah KPHL dan KPHP yang telah dibebani izin/hak
pemanfaatan hutan kepada pihak ketiga, pelaksanaannya dilakukan oleh pemegang
izin/hak yang bersangkutan.
(2) Rehabilitasi hutan pada wilayah KPHL dan KPHP yang wilayahnya tidak dibebani izin/hak
pemanfaatan hutan kepada pihak ketiga, pelaksanaannya dilakukan oleh KPHL dan
KPHP.
Pasal 24
(1) Kepala KPHL dan KPHP wajib melaksanakan pembinaan, pemantauan dan evaluasi atas
pelaksanaan rehabilitasi hutan di wilayah KPH-nya.
(2) Pembinaan, pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri dengan tembusan kepada Gubernur dan
Bupati/Walikota.
(3) Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Pasal 25
(1) Pemanfaatan hasil rehabilitasi hutan yang dibiayai oleh pemerintah, pemerintah provinsi
atau pemerintah kabupaten/kota diatur sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Pemanfaatan hasil rehabilitasi hutan yang dilaksanakan oleh pemegang hak atau izin
diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Reklamasi Hutan
Pasal 26
(1) Reklamasi hutan dilakukan pada lahan dan vegetasi hutan pada kawasan hutan yang
telah mengalami perubahan permukaan tanah dan perubahan penutupan tanah.
(2) Reklamasi hutan dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab pemegang izin penggunaan
kawasan hutan sesuai ketentuan perundang-undangan.
(3) Dalam hal pemegang izin penggunaan kawasan hutan telah melaksanakan reklamasi
hutan, maka Kepala KPHL dan KPHP bertanggung jawab atas pengamanan dan
perlindungan atas reklamasi hutan yang bersangkutan.
Pasal 27
(1) Kepala KPHL dan KPHP wajib melaksanakan pembinaan, pemantauan dan evaluasi atas
pelaksanaan reklamasi hutan di wilayah KPH-nya.
(2) Pembinaan, pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri dengan tembusan kepada Gubernur dan

Bupati/Walikota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB VII
PERLINDUNGAN HUTAN
Pasal 28
Penyelenggaraan perlindungan hutan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan
lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara
optimal dan lestari.
Pasal 29
Prinsip-prinsip perlindungan hutan meliputi :
a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang
disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan
penyakit; dan
b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, perorangan atas hutan,
kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan
pengelolaan hutan.
Pasal 30
(1) Perlindungan hutan di wilayah KPHL dan KPHP diselenggarakan oleh KPHL dan KPHP.
(2) Perlindungan hutan pada wilayah KPHL dan KPHP yang wilayahnya telah dibebani
izin/hak pemanfaatan hutan kepada pihak ketiga, pelaksanaannya dilakukan oleh
pemegang izin/hak yang bersangkutan.
(3) Perlindungan hutan pada wilayah KPHL dan KPHP yang wilayahnya tidak dibebani
izin/hak pemanfaatan hutan kepada pihak ketiga, pelaksanaannya dilakukan oleh KPHL
dan KPHP.
(4) Perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. mengamankan areal kerjanya yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan termasuk tumbuhan dan satwa;
b. mencegah kerusakan hutan dari perbuatan manusia dan ternak, kebakaran hutan,
hama dan penyakit serta daya-daya alam;
c. mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap adanya gangguan keamanan
hutan di areal kerjanya;
d. melaporkan setiap adanya kejadian pelanggaran hukum di areal kerjanya kepada
instansi kehutanan yang terdekat;
e. menyediakan sarana dan prasarana, serta tenaga pengamanan hutan yang sesuai
dengan kebutuhan.
(5) Pelaksanaan perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai
peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
PEMBINAAN, PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN
Pasal 31
(1) Menteri melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan teknis atas
penyelenggaraan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan
hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan dan perlindungan
hutan oleh KPHL dan KPHP.

(2) Menteri dapat menugaskan kepada Gubernur untuk melakukan pembinaan,


pengendalian dan pengawasan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas.
BAB IX
PENUTUP
Pasal 32
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Januari 2010
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Pebruari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 62
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
ttd.
SUPARNO, SH
NIP.19500514 198303 1 001

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


Nomor
: P.6/Menhut-II/2010
Tanggal
: 26 Januari 2010
FORMAT RENCANA PENGELOLAAN HUTAN
A. KERANGKA RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Sampul
Halaman Judul
Lembar Pengesahan
Peta Situasi
Ringkasan Eksekutif
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Lampiran
Daftar Lampiran Peta
I.

PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang, tujuan, sasaran, ruang lingkup dan batasan
pengertian.

II.

DESKRIPSI KAWASAN
Berisi Informasi :
a. Risalah wilayah KPH yang meliputi al : letak, luas, aksesibilitas kawasan,
batas-batas, sejarah wilayah KPH.
b. Potensi wilayah KPH (al : penutupan vegetasi, potensi kayu/non kayu,
keberadaan flora dan fauna langka, potensi jasa lingkungan dan wisata alam).
c. Informasi sosial budaya masyarakat di dalam dan sekitar hutan, termasuk
keberadaan masyarakat hukum adat.
d. Informasi ijin-ijin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan yang
ada di wilayah kelola.
e. Kondisi posisi KPH dalam perspektif tata ruang wilayah dan pembangunan
daerah.
f. Informasi kegiatan pembangunan kehutanan yang pernah dilaksanakan pada
wilayah KPH.
g. Informasi lain yang relevan.
h. Isu strategis, kendala, permasalahan.

III. KEBIJAKAN
Memuat : arah strategis dan kebijakan pengembangan KPH di masa yang akan
datang.

IV.

VISI DAN MISI PENGELOLAAN HUTAN

V.

ANALIS DAN PROYEKSI


Memuat analisis data dan informasi yang saat ini tersedia (baik data primer hasil
dari inventarisasi hutan dan penataan hutan, maupun data sekunder) serta
proyeksi kondisi wilayah KPH di masa yang akan datang.

VI.

RENCANA KEGIATAN
Memuat rencana kegiatan strategis selama jangka waktu Rencana Pengelolaan
ini, antara lain :
a. Inventarisasi berkala wilayah kelola serta penataan hutannya.
b. Pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu.
c. Pemberdayaan masyarakat.
d. Pembinaan dan pemantauan (controlling) pada areal KPH yang telah ada hak
atau izin pemanfaatan maupun penggunaan kawasan hutan.
e. Penyelenggaraan rehabilitasi pada areal di luar ijin.
f. Pembinaan dan pemantauan (controlling) pelaksanaan rehabilitasi dan
reklamasi pada areal yang sudah ada hak atau izin pemanfaatan dan
penggunaan kawasan hutannya.
g. Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam.
h. Penyelenggaraan koordinasi dan sinkronisasi antar pemegang ijin.
i. Koordinasi dan sinergi dengan instansi dan pemangku kepentingan.
j. Penyediaan dan peningkatan kapasitas SDM.
k. Penyediaan sarana dan prasarana.
l. Pengembangan database.
m. Rasionalisasi wilayah kelola.
n. Review Rencana Pengelolaan (minimal 5 tahun sekali).
o. Pengembangan investasi.
p. Kegiatan lain yang relevan.

VII. PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN


VIII. PEMANTAUAN, EVALUASI DAN PELAPORAN
IX.

PENUTUP
Lampiran-lampiran
- Peta wilayah KPH
- Peta penutupan lahan
- Peta DAS
- Peta sebaran potensi wilayah KPH dan aksesibilitas
- Peta penataan hutan (blok, petak)
- Peta penggunaan lahan
- Peta keberadaan ijin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan

Peta tanah, iklim, geologi

B. KERANGKA RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PENDEK


Sampul
Halaman Judul
Lembar Pengesahan
Peta Situasi
Ringkasan Eksekutif
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Lampiran
Daftar Lampiran Peta
I.

PENDAHULUAN
Berisi latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup, batasan pengertian.

II.

ANALISIS DAN PROYEKSI


Memuat analisis dan proyeksi rencana kegiatan yang bersifat operasional dalam
jangka waktu 1 tahun.

III. RENCANA KEGIATAN


Memuat rencana kegiatan tahunan, kebutuhan dana, tata waktu pelaksanaan.
IV.

MONITORING DAN EVALUASI

V. PENUTUP
Lampiran-lampiran
C. SKALA PETA
a. Untuk wilayah KPH < 50.000 Ha, skala peta minimal 1:50.000.
b. Untuk wilayah KPH 50.000 100.000 Ha, skala peta minimal 1:100.000.
c. Untuk wilayah KPH > 100.000 Ha, skala peta minimal 1:250.000.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
ttd.
SUPARNO,SH
NIP.19500514 198303 1 001

MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ZULKIFLI HASAN

11. Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia

Nomor

P.33/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan


Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi .

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : P.33/Menhut-II/2010
TENTANG
TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI
YANG DAPAT DIKONVERSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 19


ayat (5), Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (3), Pasal 26, dan Pasal
28 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Tata Cara
Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi;

Mengingat

1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3844);
3. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725);

4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4452);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4453), sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 137, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5056);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5097);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5098);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
13. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009
tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
14. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun
2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;

15. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010


tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara
serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I;
16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan
yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.64/Menhut-II/2008 (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 80);
17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2009
tentang Penggantian Nilai Tegakan dari Izin Pemanfaatan Kayu
dan/atau dari Penyiapan Lahan dalam Pembangunan Hutan
Tanaman (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 289);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG TATA CARA


PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT
DIKONVERSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan :


1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
2. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh
Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
3. Hutan tetap adalah kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya
sebagai kawasan hutan, terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung, hutan
produksi terbatas, dan hutan produksi tetap.
4. Hutan produksi yang dapat dikonversi yang selanjutnya disebut HPK adalah
kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi
pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
5. Izin penggunaan kawasan hutan adalah izin yang diberikan oleh Menteri untuk
menggunakan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan
melalui pinjam pakai kawasan hutan.
6. Izin pemanfaatan hutan adalah izin yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang yang terdiri dari izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
dan/atau bukan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan
kayu pada areal hutan yang telah ditentukan.

7. Perubahan peruntukan kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan


menjadi bukan kawasan hutan.
8. Pelepasan kawasan hutan adalah perubahan peruntukan kawasan HPK menjadi
bukan kawasan hutan.
9. Persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan adalah persetujuan awal
pelepasan kawasan hutan untuk digunakan bagi pembangunan di luar kegiatan
kehutanan yang diberikan oleh Menteri.
10. Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan adalah keputusan penetapan pelepasan
kawasan HPK untuk digunakan bagi pembangunan di luar kegiatan kehutanan
yang ditetapkan oleh Menteri berdasarkan Berita Acara Tata Batas (BATB) yang
telah ditandatangani oleh Panitia Tata Batas.
11. Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas,
pemancangan patok batas, pengumuman inventarisasi, dan penyelesaian hakhak pihak ketiga, pemasangan pal batas, pengukuran dan pemetaan serta
pembuatan BATB atas kawasan hutan yang akan dilepaskan untuk digunakan
bagi pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
12. Panitia Tata Batas Kawasan Hutan adalah Panitia yang dibentuk oleh
Bupati/Walikota.
13. Penggantian nilai tegakan adalah penggantian nilai tegakan dari kegiatan IPK
pelepasan HPK.
14. Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) adalah izin yang diberikan oleh pejabat yang
berwenang untuk melaksanakan penebangan dan pemanfaatan kayu dari
kawasan hutan yang dilepaskan untuk pembangunan di luar kegiatan
kehutanan.
15. Yayasan adalah yayasan yang berbadan hukum Indonesia.
16. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kehutanan.
17. Sekretaris Jenderal adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan.
18. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan bertanggung
jawab di bidang planologi kehutanan.
19. Kepala Dinas Provinsi adalah Kepala Dinas yang diserahi tugas dan tanggung
jawab di bidang kehutanan di provinsi.
20. Kepala Dinas Kabupaten/Kota adalah Kepala Dinas yang diserahi tugas dan
bertanggung jawab di bidang kehutanan di kabupaten/kota.
21. Kepala Balai adalah Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
Bagian Kedua
Umum
Pasal 2
(1) Pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan
kehutanan hanya dapat dilakukan pada HPK.
(2) HPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria :
a. fungsi HPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak dibebani izin penggunaan kawasan hutan, izin pemanfaatan hutan
dan/kayu perizinan lainnya dari Menteri;
c. dalam kondisi berhutan maupun tidak berhutan; dan

d. berada pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh
perseratus).
Pasal 3
Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud
dalam asal 2 ayat (1), termasuk sarana penunjang, antara lain :
a. penempatan korban bencana alam;
b. waduk dan bendungan;
c. fasilitas pemakaman;
d. fasilitas pendidikan;
e. fasilitas keselamatan umum;
f. rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat;
g. kantor pemerintah dan/atau pemerintah daerah;
h. permukiman dan/atau perumahan;
i. transmigrasi;
j. bangunan industri;
k. pelabuhan;
l. bandar udara;
m. stasiun kereta api;
n. terminal;
o. pasar umum;
p. pengembangan/pemekaran wilayah;
q. pertanian tanaman pangan;
r. budidaya pertanian;
s. perkebunan;
t. perikanan;
u. peternakan; atau
v. sarana olah raga.
Pasal 4
(1) Luas kawasan HPK yang dilepaskan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan :
a. pembangunan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf s,
diberikan:
1. paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektar, untuk satu perusahaan atau
grup perusahaan, dengan ketentuan diberikan secara bertahap dengan
luas paling banyak 20.000 (dua puluh ribu) hektar dan pemberian
berikutnya setelah dilakukan evaluasi pelaksanaan pada tahap
sebelumnya;
2. untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, paling banyak 200.000
(dua ratus ribu) hektar untuk satu perusahaan atau grup perusahaan,
dengan ketentuan diberikan secara bertahap dengan luas paling banyak
40.000 (empat puluh ribu) hektar dan pemberian berikutnya setelah
dilakukan evaluasi pelaksanaan pada tahap sebelumnya.
b. pembangunan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf s
untuk komoditas tebu, diberikan :

1. paling banyak 150.000 (seratus lima puluh ribu) hektar untuk satu
perusahaan atau grup perusahaan dengan ketentuan diberikan secara
bertahap dengan luas paling banyak 40.000 (empat puluh ribu) hektar
dan pemberian berikutnya setelah dilakukan evaluasi pelaksanaan pada
tahap sebelumnya ;
2. untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, paling banyak 300.000
(tiga ratus ribu) hektar untuk satu perusahaan atau grup perusahaan,
dengan ketentuan diberikan secara bertahap dengan luas paling banyak
40.000 (empat puluh ribu) hektar dan pemberian berikutnya setelah
dilakukan evaluasi pelaksanaan pada tahap sebelumnya.
c. kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf s diberikan sesuai dengan standar teknis
kebutuhan.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Dinas
Provinsi, antara lain :
a. proses pengurusan HGU;
b. pembangunan kebun.
BAB II
TATA CARA PERMOHONAN
Bagian Kesatu
Permohonan
Pasal 5
(1) pelepasan kawasan HPK dilakukan berdasarkan permohonan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh :
a. menteri atau pejabat setingkat menteri;
b. Gubernur;
c. Bupati/Walikota;
d. pimpinan badan usaha; atau
e. ketua yayasan.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri,
dengan tembusan disampaikan kepada :
a. Sekretaris Jenderal;
b. Direktur Jenderal; dan
c. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan.
(4) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, meliputi :
a. badan usaha milik negara;
b. badan usaha milik daerah;
c. badan usaha milik swasta yang berbadan hukum Indonesia; dan
d. koperasi.

Bagian Kedua
Persyaratan Permohonan
Pasal 6
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal harus memenuhi persyaratan :
a. administrasi; dan
b. teknis.
Pasal 7
(1) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, meliputi:
a. surat permohonan yang dilampiri dengan peta kawasan hutan yang dimohon
pada peta dasar dengan skala minimal 1 : 100.000;
b. izin lokasi dari Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya;
c. izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. rekomendasi Gubernur atau Bupati/Walikota, dilampiri peta kawasan hutan
yang dimohon pada peta dasar dengan skala minimal 1 : 100.000; dan
e. pernyataan kesanggupan dalam bentuk Akta Notaris kecuali permohonan oleh
Pemerintah, untuk :
1. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. tidak akan mengalihkan persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan
yang diperoleh tanpa persetujuan Menteri.
(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, untuk permohonan
yang diajukan oleh Gubernur diberikan oleh Bupati/Walikota dan permohonan
yang diajukan oleh Bupati/Walikota diberikan oleh Gubernur.
(3) Rekomendasi Gubernur atau Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d memuat persetujuan atas pelepasan kawasan HPK menjadi bukan
kawasan hutan sesuai dengan permohonan berdasarkan pertimbangan teknis
Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota serta tidak
mencantumkan jangka waktu rekomendasi.
(4) Dalam hal permohonan diajukan oleh badan usaha atau yayasan, selain
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah persyaratan :
a. profile badan usaha/yayasan;
b. akta pendirian berikut akta perubahannya;
c. Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
d. Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Pasal 8
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, meliputi :
a. proposal, rencana teknis dan/atau rencana induk yang ditandatangani oleh
menteri, pejabat setingkat menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, pimpinan badan
usaha atau pimpinan yayasan;

b. Laporan dan Berita Acara hasil survey lapangan yang dilakukan oleh unsur
instansi yang membidangi urusan kehutanan di provinsi dan kabupaten/kota,
instansi terkait di provinsi dan kabupaten/kota dan Kepala Balai;
c. Hasil penafsiran citra satelit liputan paling lama 2 (dua) tahun terakhir atas
kawasan HPK yang dimohon yang disertai dengan pernyataan dari pemohon
bahwa hasil penafsiran dijamin kebenarannya.
BAB III
TATA CARA PENYELESAIAN PERMOHONAN
Bagian Kesatu
Penelaahan Permohonan
Pasal 9
(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dalam Pasal ayat (3) Direktur Jenderal
dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak
diterimanya permohonan melakukan penelaahan terhadap :
a. persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dan Pasal 8;
b. kawasan hutan yang dimohon yang meliputi :
1. fungsi kawasan hutan berdasarkan peta penunjukkan kawasan hutan
dan/atau penetapan provinsi berikut perubahannya;
2. ada atau tidak adanya perizinan pemanfaatan kawasan hutan;
3. ada atau tidak adanya perizinan penggunaan kawasan hutan; dan
4. ada atau tidak adanya persetujuan prinsip pelepasan HPK.
(2) Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 25
(dua puluh lima) hari kerja sejak diterimanya tembusan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (3), menyampaikan pertimbangan
teknis kepada Menteri dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal.
(3) Direktur Jenderal dalam melakukan penelaahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dapat meminta pemohon untuk melakukan paparan.
(4) Dalam hal hasil penelaahan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi
syarat, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan surat penolakan.
Pasal 10
(1) Dalam hal hasil penelaahan dan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) memenuhi syarat, Direktur Jenderal
menyampaikan usulan penerbitan surat persetujuan prinsip pelepasan kawasan
HPK dan peta lampiran kepada Sekretaris Jenderal.
(2) Sekretaris Jenderal dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak
menerima usulan penerbitan surat persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK

dan peta lampiran dari Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan konsep surat persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK dan
peta lampiran kepada Menteri.
(3) Menteri dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima
konsep dari Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menerbitkan surat persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK dan peta
lampiran.
Bagian Kedua
Persetujuan Prinsip Pelepasan Kawasan HPK
Pasal 11
(1) Persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (3) memuat kewajiban :
a. menyelesaikan tata batas kawasan HPK yang disetujui; dan
b. mengamankan kawasan HPK yang disetujui.
(2) Persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak
diterbitkannya persetujuan prinsip.
Bagian Ketiga
Tata Batas
Pasal 12
(1) Berdasarkan persetujuan prinsip pelepasan HPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1), Direktur Jenderal dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh)
hari kerja sejak diterbitkannya persetujuan prinsip, menerbitkan surat
pemberitahuan untuk pelaksanaan tata batas HPK yang disetujui dan dilampiri
peta rencana tata batas pelepasan kawasan HPK kepada Kepala Balai dan
pemohon.
(2) Pelaksanaan tata batas kawasan HPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib diselesaikan oleh pemohon dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun
sejak diterimanya persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK.
(3) Kegiatan tata batas kawasan HPK yang disetujui sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan yang secara
teknis dikoordinasikan oleh Kepala Balai.
(4) Pelaksanaan kegiatan tata batas kawasan HPK sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), secara teknis dapat dilakukan oleh konsultan yang mempunyai kompetensi
di bidang pengukuran dan pemetaan.
(5) Biaya pelaksanaan tata batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan
kepada pemegang persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK.

(6) Hasil kegiatan tata batas kawasan HPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
atau ayat (4) dituangkan dalam BATB dan Peta Hasil tata Batas yang
ditandatangani oleh Panitia Tata Batas kawasan hutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(7) Kepala Balai dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak
menerima BATB dan Peta Hasil Tata Batas sebagaimana dimaksud pada ayat
(6), menyampaikan BATB dan Peta Hasil Tata Batas kepada Direktur Jenderal.
Bagian Keempat
Perpanjangan Persetujuan Prinsip Pelepasan Kawasan HPK
Pasal 13
(1) Persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (2) dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali masing-masing untuk
jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.
(2) Perpanjangan persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal penyelesaian pelaksanaan tata
batas akan melebihi jangka waktu yang diberikan.
(3) Perpanjangan persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pemegang persetujuan prinsip dalam
jangka waktu paling sedikit 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum berakhirnya
persetujuan prinsip kepada Menteri dengan tembusan kepada Direktur Jenderal
atau Kepala Balai.
(4) Kepala Balai dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak
diterimanya tembusan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menyampaikan laporan kepada Direktur Jenderal tentang perkembangan
pelaksanaan tata batas.
(5) Direktur Jenderal dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja
sejak diterimanya laporan dari Kepala Balai sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), kepada Menteri menyampaikan :
a. konsep surat perpanjangan persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK,
dalam hal terdapat perkembangan pelaksanaan tata batas; atau
b. konsep surat penolakan perpanjangan persetujuan prinsip pelepasan kawasan
HPK, dalam hal tidak terdapat perkembangan pelaksanaan tata batas.
(6) Menteri dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya
konsep dari Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) :
a. menerbitkan surat perpanjangan persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK;
atau
b. menerbitkan surat penolakan perpanjangan persetujuan prinsip pelepasan
kawasan HPK.

Bagian Kelima
Penerbitan Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan
Pasal 14
(1) Direktur Jenderal dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak menerima BATB dan Peta Hasil Tata Batas dari Kepala Balai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (7), menyampaikan telaahan teknis pelepasan
kawasan HPK yang dilampiri dengan peta pelepasan kawasan HPK kepada
Sekretaris Jenderal.
(2) Sekretaris Jenderal dalam jangka waktu palng lama 7 (tujuh) hari kerja sejak
menerima telaahan teknis dan peta pelepasan kawasan HPK dari Direktur
Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan konsep
Keputusan tentang pelepasan kawasan HPK dan peta pelepasan kawasan HPK
kepada Menteri.
(3) Menteri dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima
konsep dari Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menerbitkan Keputusan tentang pelepasan kawasan HPK dan peta pelepasan
kawasan HPK.
Pasal 15
Terhadap kawasan HPK yang telah dilepas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (3), pengurusan selanjutnya menjadi tanggung jawab instansi di bidang
pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Pelepasan HPK dalam rangka penyelenggaraan transmigrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
DISPENSASI
Pasal 17
(1) Berdasarkan persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), pemohon dapat mengajukan permohonan
dispensasi kepada Menteri.
(2) Dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan dalam
rangka kegiatan persiapan, berupa :
a. pembibitan;
b. persemaian, dan/atau;
c. prasarana dengan luasan yang sangat terbatas.

(3) Luas kawasan hutan yang dapat diberikan dispensasi dalam rangka persiapan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan seluas 10% (sepuluh
perseratus) dari luas kawasan hutan yang telah diberikan persetujuan prinsip.
(4) Dalam hal luas dispensasi 10% (sepuluh perseratus) dari luas kawasan hutan
yang telah diberikan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
luasnya lebih besar dari 200 (dua ratus) hektar, maka dispensasi dapat diberikan
paling banyak seluas 200 (dua ratus) hektar.
(5) Kawasan hutan yang dapat dimohon untuk dispensasi diprioritaskan pada areal
yang tidak berhutan, berupa tanah kosong, padang alang-alang, dan semak
belukar dengan mendapat pertimbangan teknis dari Kepala Dinas
Kabupaten/Kota.
(6) Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), dan
pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal
atas nama Menteri dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
menerbitkan surat persetujuan dispensasi atau surat penolakan.
BAB V
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 18
(1) Direktur Jenderal bersama Kepala Dinas Provinsi, Kepala Dinas Kabupaten/Kota
dan/atau Kepala Balai melaksanakan monitoring dan evaluasi.
(2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap pemenuhan kewajiban yang tertuang dalam persetujuan prinsip
pelepasan kawasan HPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(3) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun setelah diterbitkannya
persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK.
(4) Biaya pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dibebankan pada anggran Kementerian Kehutanan.
BAB VI
PEMANFAATAN KAYU
Pasal 19
Pemanfaatan kayu pada kawasan HPK yang telah dilepaskan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (3) dan pemanfaatan kayu pada areal dispensasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 dilakukan setelah memperoleh izin pemanfaatan kayu
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII
SANKSI
Pasal 20
(1) Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18, Menteri dapat membatalkan persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) apabila pemegang persetujuan
prinsip pelepasan kawasan HPK :
a. tidak memenuhi ketentuan atau kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) dalam jangka waktu yang telah ditentukan; dan/atau
b. memindahtangankan persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan kepada
pihak lain tanpa persetujuan Menteri.
(2) Pembatalan persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan setelah melalui peringatan tertulis oleh Direktur Jenderal
atas nama Menteri sebanyak 3 (tiga) kali masing-masing dalam jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja untuk setiap kali peringatan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku :
a. permohonan pelepasan kawasan hutan yang belum memperoleh persetujuan
prinsip, penyelesaiannya diproses sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan
Menteri ini;
b. permohonan pelepasan kawasan hutan yang telah memperoleh persetujuan
prinsip tetapi belum memperoleh keputusan pelepasan kawasan hutan dari
Menteri, wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini;
c. permohonan pelepasan kawasan hutan yang telah memperoleh Keputusan
Menteri tentang pelepasan kawasan hutan yang ditetapkan sebelum
ditetapkannya Peraturan Menteri ini dinyatakan tetap berlaku;
d. persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK yang telah diterbitkan oleh Menteri
dan telah berumur 5 (lima) tahun atau lebih namun pemegang persetujuan
prinsip tidak melaksanakan kewajibannya, maka Menteri membatalkan
persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK tanpa didahului surat peringatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
(1) Pada saat Peraturan Menteri ini dinyatakan mulai berlaku :
a. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 418/Kpts-II/1993 tentang Penetapan
Tambahan Persyaratan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan

Usaha Pertanian;
b. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 250/Kpts-II/1996 tentang Perubahan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 418/Kpts-II/1993 tentang Penetapan
Tambahan Persyaratan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan
Usaha Pertanian;
c. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 146/Kpts-II/2003 tentang Pedoman
Evaluasi Penggunaan Kawasan Hutan/Ex Kawasan Hutan untuk
Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan;
d. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.31/Menhut-II/2005 tentang Pelepasan
Kawasan Hutan Dalam Rangka Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan;
e. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/Menhut-II/2008 tentang
Optimalisasi Peruntukan Areal Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK);
f. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.22/Menhut-II/2009 tentang Perubahan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.31/Menhut-II/2005 tentang Pelepasan
Kawasan Hutan Dalam Rangka Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan;
dan
g. Ketentuan yang mengatur tentang pelepasan kawasan hutan dalam
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan
Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan yang telah
diubah dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 48/Menhut-II/2004;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2) Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 364/Kpts-II/1990, Nomor 519/Kpts/HK.050/7/90,
dan Nomor 23-VIII-1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan
Pemberian Hak Guna Usaha Untuk Pengembangan Usaha Pertanian, dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.
Pasal 23
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan


dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juli 2010
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 377
Salinan sesuai dengan aslinya
Plt. Kepala Biro Hukum dan Organisasi
ttd.
MUDJIHANTO SOEMARMO
NIP. 19540711 198203 1 002


12. Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia

Nomor

P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di


Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan
Taman Wisata Alam.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : P.48/Menhut-II/2010
TENTANG
PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA,
TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA DAN TAMAN WISATA ALAM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 7 ayat (4), Pasal 20, Pasal 22, Pasal 24 ayat
(4), Pasal 25 ayat (5), dan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun
2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, perlu ditetapkan
Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka
Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

Mengingat

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam


Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran
Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3687);
3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4412);
4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) yang telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);


5. Undang-undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
6. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5059);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3776);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya
dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5116);
10. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PENGUSAHAAN


PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL,
TAMAN HUTAN RAYA DAN TAMAN WISATA ALAM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :


1. Pariwisata Alam adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk usaha
pemanfaatan obyek dan daya tarik serta usaha-usaha yang terkait dengan wisata alam.
2. Pengusahaan Pariwisata Alam adalah suatu kegiatan untuk menyelenggarakan usaha pariwisata
alam di suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
berdasarkan rencana pengelolaan.
3. Usaha Pariwisata Alam adalah keseluruhan kegiatan yang bertujuan untuk menyediakan barang
dan jasa yang diperlukan oleh wisatawan/pengunjung dalam pelaksanaan kegiatan wisata alam,
mencakup usaha obyek dan daya tarik, penyediaan jasa, usaha sarana, serta usaha lain yang
terkait dengan wisata alam.
4. Wisata Alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan
secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di
kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
5. Kawasan Suaka Margasatwa adalah kawasan yang dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan
penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas dan kegiatan
lainnya yang menunjang budidaya.



6. Izin Pengusahaan Pariwisata Alam adalah izin usaha yang diberikan untuk mengusahakan kegiatan
pariwisata alam di areal suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata
alam.
7. Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam yang selanjutnya disebut IUPJWA adalah izin usaha yang
diberikan untuk penyediaan jasa wisata alam pada kegiatan pariwisata alam.
8. Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam yang selanjutnya disebut IUPSWA adalah izin usaha
yang diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana serta pelayanannya yang diperlukan dalam
kegiatan pariwisata alam.
9. Zona Pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan tempat pariwisata
alam dan kunjungan wisata.
10. Blok Pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman wisata alam dan taman hutan raya yang
dijadikan tempat pariwisata alam dan kunjungan wisata.
11. Rencana Pengelolaan adalah suatu rencana makro yang bersifat indikatif strategis, kualitatif, dan
kuantitatif serta disusun dengan memperhatikan partisipasi, aspirasi, budaya masyarakat, kondisi
lingkungan dan rencana pembangunan daerah/wilayah dalam rangka pengelolaan suaka
margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
12. Rencana Pengusahaan Pariwisata Alam adalah suatu rencana kegiatan untuk mencapai tujuan
usaha pemanfaatan pariwisata alam yang dibuat oleh pengusaha pariwisata alam yang didasarkan
pada rencana pengelolaan suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman
wisata alam.
13. Areal Pengusahaan Pariwisata Alam adalah areal dengan luas tertentu pada suaka margasatwa,
taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam yang dikelola untuk memenuhi
kebutuhan pengusahaan pariwisata alam.
14. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.
15. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
perlindungan hutan dan konservasi alam.
16. Direktur Teknis adalah Direktur yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang wisata alam.
17. Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disebut UPT adalah UPT Direktorat Jenderal yang
membidangi perlindungan hutan dan konservasi alam, yang mengelola suaka margasatwa, taman
nasional, dan taman wisata alam.
18. Unit Pelaksana Teknis Daerah yang selanjutnya disebut UPTD adalah UPT Pemerintah Daerah
(provinsi atau kabupaten/kota) yang mengelola taman hutan raya dan/atau membidangi
kehutanan.
19. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD adalah unit kerja Pemerintah
daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang membidangi kepariwisataan.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Ruang lingkup peraturan ini meliputi :
a. usaha pariwisata alam;
b. peralihan kepemilikan izin;
c. kerjasama pariwisata alam;
d. pengawasan, evaluasi dan pembinaan; dan
e. sanksi.




BAB III
USAHA PARIWISATA ALAM
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) Usaha pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi :
a. areal usaha;
b. jenis usaha; dan
c. pemberian izin usaha.
(2) Usaha pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), direncanakan sesuai dengan desain
tapak pengelolaan pariwisata alam.
(3) Desain tapak pengelolaan pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun oleh
Kepala UPT/UPTD dan disahkan oleh direktur teknis.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai desain tapak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Kedua
Areal Usaha
Pasal 4
Areal usaha pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dapat dilaksanakan pada
kawasan :
a. suaka margasatwa;
b. taman nasional kecuali zona inti;
c. taman wisata alam; dan
d. taman hutan raya.
Bagian Ketiga
Jenis Usaha
Paragraf 1
Umum
Pasal 5
Jenis usaha pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b meliputi :
a. penyediaan jasa wisata alam; dan
b. penyediaan sarana wisata alam.




Paragraf 2
Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam
Pasal 6
(1) Usaha penyediaan jasa wisata alam sebagaimana dimaksud Pasal 5 huruf a antara lain terdiri
atas jasa :
a. informasi pariwisata;
b. pramuwisata;
c. transportasi;
d. perjalanan wisata;
e. cinderamata; dan
f. makanan dan minuman.
(2) Usaha penyediaan jasa informasi pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat
berupa usaha penyediaan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian mengenai
kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak dan/atau elektronik.
(3) Usaha penyediaan jasa pramuwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa
usaha penyediaan dan/atau mengkoordinasikan tenaga pemandu wisata atau interpreter untuk
memenuhi kebutuhan wisatawan dan/atau kebutuhan biro perjalanan wisata.
(4) Usaha penyediaan jasa transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c pada suaka
margasatwa, dapat berupa usaha penyediaan kuda porter, perahu tidak bermesin, dan sepeda.
(5) Usaha penyediaan jasa transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c pada zona
pemanfaatan taman nasional, blok pemanfaatan taman wisata alam dan blok pemanfaatan
taman hutan raya, dapat berupa usaha penyediaan kuda, porter, perahu bermesin, kendaraan
darat bermesin maksimal 3000 (tiga ribu) cc khusus untuk lokasi dengan kelerengan 30% (tiga
puluh per seratus).
(6) Usaha penyediaan jasa perjalanan wisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dapat
berupa usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan wisata dan/atau jasa pelayanan dan
penyelenggaraan pariwisata, dalam hal ini termasuk jasa pelayanan yang menggunakan sarana
yang dibangun atas dasar kerjasama antara pengelola dan pihak ketiga.
(7) Usaha penyediaan jasa cinderamata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, merupakan
usaha jasa penyediaan cinderamata atau souvenir untuk keperluan wisatawan yang didukung
dengan perlengkapan berupa kios atau kedai usaha.
(8) Usaha penyediaan jasa makanan dan minuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f,
merupakan usaha jasa penyediaan makanan dan minuman yang didukung dengan perlengkapan
berupa kedai makanan/minuman.
(9) Usaha penyediaan jasa wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat difasilitasi oleh
UPT/UPTD.
Pasal 7
Pada kawasan suaka margasatwa hanya dapat dilakukan usaha penyediaan jasa wisata alam terbatas
meliputi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan
huruf d.



Paragraf 3
Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam
Pasal 8
(1) Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b, meliputi :
a. wisata tirta;
b. akomodasi;
c. transportasi; dan
d. wisata petualangan.
(2) Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan
huruf d, dapat dilakukan pada zona pemanfaatan taman nasional, blok pemanfaatan taman
wisata alam dan blok pemanfaatan taman hutan raya.
(3) Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat
dilakukan pada semua zona/blok kecuali zona inti taman nasional.
Bagian Keempat
Pemberian Izin
Paragraf 1
Umum
Pasal 9
(1) Pengusahaan pariwisata alam diberikan dalam bentuk IUPJWA dan/atau IUPSWA.
(2) Pada wilayah yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diprioritaskan diberikan kepada masyarakat setempat.
Paragraf 2
Pemberian IUPJWA
Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam
Pasal 10
(1) Permohonan IUPJWA di suaka margasatwa hanya dapat diajukan oleh perorangan.
(2) Permohonan IUPJWA di taman nasional dan taman wisata alam, dapat diajukan oleh :
a. perorangan;
b. badan usaha milik negara;
c. badan usaha milik daerah;
d. badan usaha milik swasta; atau
e. koperasi.
(3) Pemberian IUPJWA perorangan diprioritaskan bagi masyarakat sekitar kawasan termasuk
masyarakat setempat.




Pasal 11
(1) Permohonan IUPJWA di suaka margasatwa, taman nasional dan taman wisata alam diajukan oleh
pemohon kepada UPT dengan tembusan kepada Kepala SKPD yang membidangi urusan
kepariwisataan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan persyaratan administrasi.
(3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk perorangan meliputi :
a. kartu tanda penduduk;
b. nomor pokok wajib pajak;
c. mengisi formulir yang disediakan oleh UPT;
d. sertifikasi keahlian untuk jasa interpreter; dan
e. rekomendasi dari forum yang diakui oleh UPT untuk bidang usaha jasa yang dimohon.
(4) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta atau koperasi meliputi :
a. akte pendirian badan usaha atau koperasi;
b. surat izin usaha perdagangan;
c. nomor pokok wajib pajak;
d. surat keterangan kepemilikan modal atau referensi bank;
e. profil perusahaan; dan
f. rencana kegiatan usaha jasa yang akan dilakukan.
Pasal 12
(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (1), selambat-lambatnya
dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, Kepala UPT melakukan
penilaian atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) atau ayat (4).
(2) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan
persyaratan, Kepala UPT dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja mengembalikan permohonan
kepada pemohon.
(3) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan persyaratan,
Kepala UPT dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja menerbitkan Surat Perintah
Pembayaran Iuran IUPJWA (SPP-IUPJWA) kepada pemohon.
(4) SPP-IUPJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilunasi pemohon dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya SPP-IUPJWA.
(5) Berdasarkan bukti pembayaran SPP-IUPJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala UPT
dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja menerbitkan IUPJWA.
Pasal 13
(1) Pemegang IUPJWA sebagaiman dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) mempunyai kewajiban :
a. membayar pungutan hasil usaha penyediaan jasa wisata alam;
b. ikut serta menjaga kelestarian alam;
c. melaksanakan pengamanan terhadap kawasan beserta potensinya;
d. melaksanakan pengamanan terhadap setiap pengunjung;



e. merehabilitasi kerusakan yang ditimbulkan akibat dari pelaksanaan kegiatan usahanya;


f. menjaga kebersihan lingkungan;
g. menyampaikan laporan kegiatan usaha kepada pemberi IUPJWA.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf g, dikecualikan bagi
pemegang IUPJWA perorangan.
Paragraf 3
Pemberian IUPJWA di Taman Hutan Raya
Pasal 14
(1) Permohonan IUPJWA di taman hutan raya dapat diajukan oleh :
a. perorangan;
b. badan usaha milik negara;
c. badan usaha milik daerah;
d. badan usaha milik swasta; atau
e. koperasi.
(2) Permohonan IUPJWA sebagaiman dimaksud pada ayat (1) yang berada di lintas kabupaten/kota
diajukan oleh pemohon kepada Kepala UPTD provinsi dengan tembusan kepada Kepala SKPD
yang membidangi urusan kepariwisataan di provinsi.
(3) Permohonan IUPJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada di 1 (satu)
kabupaten/kota diajukan oleh pemohon kepada Kepala UPTD kabupaten/kota dengan tembusan
kepada Kepala SKPD yang membidangi urusan kepariwisataan di kabupaten/kota.
Pasal 15
(1) Permohonan IUPJWA untuk perorangan, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,
badan usaha milik swasta atau koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
dilengkapi dengan persyaratan administrasi.
(2) Persyaratan administrasi untuk perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. kartu tanda penduduk;
b. nomor pokok wajib pajak;
c. mengisi formulir yang disediakan oleh Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan;
d. sertifikasi keahlian untuk jasa interpreter; dan
e. rekomendasi dari forum yang diakui oleh UPTD untuk bidang usaha jasa yang dimohon.
(3) Persyaratan administrasi untuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan
usaha milik swasta atau koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. akte pendirian badan usaha atau koperasi;
b. surat izin usaha perdagangan;
c. nomor pokok wajib pajak;
d. surat keterangan kepemilikan modal atau referensi bank;
e. profil perusahaan; dan
f. rencana kegiatan usaha jasa yang akan dilakukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan IUPJWA di taman hutan raya diatur
dengan Peraturan Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan.



Paragraf 4
Pemberian IUPSWA
di Taman Nasional dan Taman Wisata Alam
Pasal 16
(1) Permohonan IUPSWA di taman nasional dan taman wisata alam dapat diajukan oleh :
a. badan usaha milik negara;
b. badan usaha milik daerah;
c. badan usaha milik swasta; atau
d. koperasi.
(2) Permohonan IUPSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan oleh pemohon kepada
Menteri, dengan tembusan kepada :
a. Sekretaris Jenderal;
b. Direktur Jenderal;
c. Kepala UPTD yang membidangi urusan kehutanan di provinsi, kabupaten/kota setempat;
d. Gubernur atau Bupati/Walikota setempat; dan
e. Kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan di provinsi, kabupaten/kota setempat.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan persyaratan administrasi
dan teknis.
(4) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas :
a. akte pendirian badan usaha atau koperasi;
b. surat izin usaha perdagangan;
c. nomor pokok wajib pajak;
d. surat keterangan kepemilikan modal atau referensi bank;
e. profil perusahaan; dan
f. proposal rencana kegiatan usaha sarana yang akan dilakukan.
(5) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa pertimbangan teknis dari :
a. Kepala UPT setempat; dan
b. Kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan di provinsi, kabupaten/kota setempat.
(6) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) selambat-lambatnya dalam waktu 30
(tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan mendapat keputusan dari Kepala
UPT/Kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan di provinsi, kabupaten/kota setempat.
(7) Dalam waktu pemberian pertimbangan teknis, Kepala UPT/Kepala SKPD yang membidangi
kepariwisataan di provinsi, kabupaten/kota setempat lebih dari 30 (tiga puluh) hari kerja maka
permohonan pengajuan IUPSWA dapat dilanjutkan dengan tanpa pertimbangan teknis.
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (4) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.




Pasal 18
(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), selambat-lambatnya
dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, Menteri menugaskan
Direktur Jenderal untuk melakukan penilaian atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (4) dan ayat (5).
(2) Dalam hal dianggap perlu, Direktur Jenderal dapat menugaskan Direktur Teknis terkait
melakukan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak sesuai dengan
persyaratan, Menteri atau Direktur Jenderal selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari
kerja mengembalikan permohonan kepada pemohon.
(4) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai persyaratan,
Direktur Jenderal selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja menyampaikan hasil
penilaian kepada Menteri.
(5) Menteri selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya hasil penilaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menerbitkan persetujuan prinsip IUPSWA.
(6) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diberikan untuk jangka waktu paling
lama 1 (satu) tahun sejak diterbitkan oleh Menteri.
Pasal 19
(1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) pemohon
mempunyai kewajiban :
a. membuat peta areal rencana kegiatan usaha yang akan dilakukan dengan skala paling besar
1:5.000 (satu banding lima ribu) dan paling kecil 1:25.000 (satu banding dua puluh lima ribu)
yang diketahui Kepala UPT;
b. membuat rencana pengusahaan pariwisata alam dan disahkan oleh Direktur Jenderal;
c. melakukan pemberian tanda batas yang dilaksanakan oleh UPT setempat pada areal yang
dimohon;
d. menyusun dan menyampaikan dokumen upaya pengelolaan lingkungan dan upaya
pemantauan lingkungan.
(2) Dalam penilaian rencana pengusahaan pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, apabila dipandang perlu dapat dilakukan peninjauan lapangan atau pembahasan dengan
instansi terkait.
(3) Biaya yang diperlukan dalam melakukan pemberian tanda batas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c, dibebankan pada pemohon.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian tanda batas diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal.
Pasal 20
(1) Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) telah dipenuhi, Direktur
Jenderal dalam waktu 5 (lima) hari kerja menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Iuran IUPSWA
(SPP-IIUPSWA).



(2) SPP-IIUPSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilunasi selambat-lambatnya dalam
waktu 24 (dua puluh empat) hari kerja setelah diterimanya SPP-IIUPSWA.
(3) IIUPSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dihitung berdasarkan luas areal yang diizinkan
untuk usaha penyediaan sarana wisata alam.
(4) Tata cara pembayaran IIUPSWA dan tarif IIUPSWA diatur berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 21
Dalam hal waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (6), kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) belum dipenuhi, Menteri mengeluarkan surat
pembatalan persetujuan prinsip.
Pasal 22
Dalam hal pemohon yang telah melunasi SPP-IIUPSWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (2), Menteri menerbitkan IIUPSWA selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak
diterimanya pemenuhan kewajiban.
Paragraf 5
Kewajiban Pemegang IUPSWA
Pasal 23
Berdasarkan IUPSWA yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, pemegang IUPSWA
mempunyai kewajiban :
a. merealisasikan pembangunan sarana wisata alam sesuai dengan RKT yang telah disahkan paling
lambat 1 (satu) tahun setelah IUPSWA diterbitkan;
b. membayar Pungutan Hasil Usaha Penyediaan Sarana Pariwisata Alam (PHUPSWA) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan pengamanan kawasan dan potensinya serta pengamanan pengunjung pada areal
IUPSWA;
d. menjaga kebersihan lingkungan tempat usaha termasuk pengelolaan limbah dan sampah;
e. merehabilitasi kerusakan yang terjadi akibat kegiatan IUPSWA;
f. memberi akses kepada petugas pemerintah yang ditunjuk untuk melakukan pemantauan,
pengawasan, evaluasi dan pembinaan kegiatan IUPSWA;
g. memelihara aset negara bagi pemegang izin yang memanfaatkan sarana milik pemerintah;
h. melibatkan tenaga ahli di bidang konservasi alam dan pariwisata alam, serta masyarakat
setempat dalam melaksanakan kegiatan IUPSWA sesuai izin yang diberikan;
i.
membuat laporan kegiatan usaha penyediaan sarana wisata alam secara periodik kepada
Menteri; dan
j.
menyusun dan menyerahkan rencana karya lima tahunan dan rencana karya tahunan.




Paragraf 6
Pemberian IUPSWA di Taman Hutan Raya
Pasal 24
(1) Permohonan IUPSWA di taman hutan raya dapat diajukan oleh :
a. badan usaha milik negara;
b. badan usaha milik daerah;
c. badan usaha milik swasta; atau
d. koperasi.
(2) Permohonan IUPSWA di taman hutan raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk areal
usaha yang berada di lintas kabupaten/kota permohonan izin diajukan kepada Gubernur sesuai
kewenangan dengan tembusan kepada :
a. Kepala UPTD yang membidangi urusan kehutanan di provinsi; dan
b. Kepala SKPD yang membidangi urusan kepariwisataan di provinsi.
(3) Permohonan IUPSWA di taman hutan raya sebagaimna dimaksud pada ayat (1) untuk areal
usaha yang berada di 1 (satu) kabupaten/kota, permohonan izin diajukan kepada
Bupati/Walikota sesuai kewenangan dengan tembusan kepada :
a. Kepala UPTD kabupaten/kota; dan
b. Kepala SKPD yang membidangi urusan kepariwisataan di kabupaten/kota;
Pasal 25
(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilengkapi dengan persyaratan administrasi
dan teknis.
(2) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas :
a. akte pendirian badan usaha atau koperasi dan perubahannya;
b. surat izin usaha perdagangan;
c. nomor pokok wajib pajak;
d. surat keterangan kepemilikan modal atau referensi bank;
e. profil perusahaan; dan
f. proposal/rencana kegiatan usaha sarana yang akan dilakukan.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa pertimbangan teknis dari :
a. Kepala UPTD yang membidangi urusan kehutanan di provinsi atau kabupaten/kota;
b. Kepala SKPD yang membidangi urusan kepariwisataan di provinsi atau kabupaten/kota; dan
c. Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan IUPSWA di taman hutan raya diatur
dengan Peraturan Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan.
Bagian Kelima
Pembangunan Sarana Wisata Alam
Pasal 26
(1) Luas areal yang diizinkan untuk dibangun sarana wisata alam maksimal 10% (sepuluh per
seratus) dari luas areal yang ditetapkan dalam izin.



(2) Bentuk bangunan sarana wisata alam untuk wisata tirta dan akomodasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dan huruf b, dibangun semi permanen dan bentuknya disesuaikan
dengan arsitektur budaya setempat.
Pasal 27
(1) Pembangunan sarana untuk menunjang fasilitas sarana wisata tirta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, antara lain meliputi pemandian alam, tempat pertemuan/pusat
informasi, gudang penyimpanan alat untuk kegiatan wisata tirta, tempat sandar/tempat berlabuh
alat transportasi wisata tirta.
(2) Pembangunan sarana akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, antara
lain meliputi :
a. penginapan/pondok wisata/pondok apung/rumah pohon;
b. bumi perkemahan;
c. tempat singgah karavan;
d. fasilitas akomodasi; dan
e. fasilitas pelayanan umum dan kantor.
(3) Fasilitas akomodasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d antara lain meliputi :
a. ruang pertemuan;
b. ruang makan dan minum;
c. fasilitas untuk bermain anak;
d. spa; dan
e. gudang.
(4) Fasilitas pelayanan umum dan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e antara lain
meliputi fasilitas :
a. pelayanan informasi;
b. pelayanan telekomunikasi;
c. pelayanan administrasi;
d. pelayanan angkutan;
e. pelayanan penukaran uang;
f. pelayanan cucian;
g. ibadah;
h. pelayanan kesehatan;
i. keamanan antara lain menara pandang, pemadam kebakaran;
j. pelayanan kebersihan; dan
k. mess karyawan.
(5) Sarana wisata petualangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d antara lain
berupa :
a. outbond;
b. jembatan antar tajuk pohon (canopy trail);
c. kabel luncur (flying fox);
d. balon udara;
e. paralayang; dan
f. jalan hutan (jungle track).




Pasal 28
Selain sarana wisata alam yang dibangun sebagaimana dimaksud pada Pasal 27, dapat dibangun juga
fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan antara lain berupa :
a. jalan wisata;
b. papan petunjuk;
c. jembatan;
d. areal parkir;
e. jaringan listrik;
f. jaringan air bersih;
g. jaringan telepon;
h. jaringan internet;
i. jaringan drainase/saluran;
j. toilet;
k. sistem pembuangan limbah;
l. dermaga; dan
m. landasan helikopter (helipad).
Pasal 29
(1) Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jalan wisata sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a meliputi :
a. jalan dengan lebar badan maksimal 5 (lima) meter ditambah bahu jalan 1 (satu) meter kiri dan
kanan, dengan sistem pengerasan menggunakan batu dan lapisan permukaan aspal.
b. jalan kereta listrik dan/atau kereta gantung dengan sistem yang disesuaikan dengan teknologi
yang sesuai dengan kondisi setempat.
(2) Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa papan petunjuk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b yang dapat dibangun dapat berupa :
a. papan nama;
b. papan informasi;
c. papan petunjuk arah;
d. papan larangan/peringatan;
e. papan bina cinta alam; dan
f. papan rambu lalu lintas.
(3) Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jembatan, dermaga dan landasan
helikopter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c, huruf l dan huruf m,
dibangun dengan berpedoman pada ketentuan teknis yang menyangkut keselamatan dan
keamanan dari instansi yang berwenang, dengan lokasi berdasarkan rencana pengelolaan.
(4) Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa areal parkir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) huruf d dibangun dengan ketentuan :
a. tidak menebang pohon;
b. dibangun di areal terluar lokasi IUPSWA;
c. pengerasan areal harus dilakukan dengan kontruksi yang tidak mengganggu penyerapan air
dalam tanah.
(5) Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jaringan listrik, air bersih dan telepon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e, huruf f dan huruf g dibangun dengan
ketentuan :



a. diupayakan dibangun dalam tanah;


b. pelaksanaan pembangunannya berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi yang
berwenang.
(6) Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jaringan drainase/saluran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf i dibangun dengan ketentuan :
a. dibangun dengan cara terbuka dan menggunakan pengerasan;
b. dalam hal tidak memungkinkan dibangun dengan cara terbuka maka dapat dilakukan dengan
sistem tertutup atau pengerasan dengan memperhatikan kaidah konservasi.
(7) Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa sistem pembuangan dan pengolahan
limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf k terdiri atas :
a. sistem pembuangan dan pengolahan limbah padat; atau
b. sistem pembuangan dan pengolahan limbah cair.
Pasal 30
Bangunan sarana wisata alam dan fasilitas kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan
Pasal 28 harus memperhatikan :
a. kaidah konservasi;
b. ramah lingkungan;
c. sistem sanitasi yang memenuhi standar kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan;
d. efisien dalam penggunaan lahan;
e. memiliki teknologi pengolahan dan pembuangan limbah;
f. konstruksi yang memenuhi persyaratan bagi keselamatan;
g. hemat energi; dan
h. berpedoman pada ketentuan teknis yang menyangkut keselamatan dan keamanan dari instansi
yang berwenang sesuai dengan rencana pengelolaan dan siteplan.
Pasal 31
(1) Bahan bangunan untuk pembangunan sarana wisata alam dan fasilitas yang menunjang
kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 diutamakan menggunakan
bahan-bahan dari daerah setempat.
(2) Dalam hal bahan bangunan tidak terdapat di daerah setempat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dapat dipergunakan bahan bangunan dari luar daerah setempat yang tidak merusak
kelestarian lingkungan.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud pada
Pasal 27 dan Pasal 28 diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.




Bagian Keenam
Hak Pemegang Izin, Jangka Waktu, Perpanjangan Izin dan Berakhirnya Izin
Paragraf 1
Hak Pemegang Izin
Pasal 33
Pemegang izin pengusahaan pariwisata alam berhak :
a. melakukan kegiatan usaha sesuai izin;
b. menjadi anggota asosiasi pengusahaan pariwisata alam;
c. mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha; dan
d. memanfaatkan fasilitas pariwisata alam yang menjadi milik negara.
Paragraf 2
Jangka Waktu dan Perpanjangan
Pasal 34
(1) IUPJWA diberikan untuk jangka waktu :
a. 2 (dua) tahun bagi pemohon perorangan;
b. 5 (lima) tahun bagi pemohon badan usaha atau koperasi.
(2) IUPJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diperpanjang untuk jangka waktu 2
(dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu berikutnya.
(3) IUPJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat diperpanjang untuk jangka waktu 3
(tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu berikutnya.
(4) Perpanjangan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diberikan oleh
Kepala UPT, atau Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan berdasarkan hasil evaluasi
terhadap izin usaha.
Pasal 35
(1) IUPSWA diberikan untuk jangka waktu 55 (lima puluh lima) tahun.
(2) IUPSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua
puluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu berikutnya.
(3) Perpanjangan IUPSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diberikan oleh menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangan berdasarkan hasil evaluasi kegiatan.




Paragraf 3
Berakhirnya Izin
Pasal 36
Izin
a.
b.
c.
d.
e.
f.

pengusahaan pariwisata alam berakhir apabila :


jangka waktu izin berakhir dan tidak diperpanjang lagi;
izinnya dicabut;
pemegang izin mengembalikan secara sukarela kepada pemberi izin;
badan usaha atau koperasi pemegang izin bubar;
badan usaha pemegang izin dinyatakan pailit; atau
pemegang izin perorangan meninggal dunia.
Paragraf 4
Tata Cara Perpanjangan Izin
Pasal 37

(1) Permohonan perpanjangan IUPJWA disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum


berakhirnya izin untuk perorangan atau 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya izin untuk pemohon
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta atau koperasi.
(2) Permohonan perpanjangan IUPJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk perorangan
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta atau koperasi
dapat diajukan kepada :
a. Kepala UPT dengan tembusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
b. Kepala UPTD Provinsi dengan tembusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); atau
c. Kepala UPTD kabupaten/kota dengan tembusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(3).
(3) Permohonan perpanjangan IUPJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selain harus dilengkapi
dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 15
ayat (2) dan ayat (3), juga dilengkapi dengan persyaratan tambahan :
a. hasil evaluasi dari pengelola kawasan dan rekomendasi SKPD yang membidangi
kepariwisataan;
b. rencana kegiatan usaha jasa lanjutan.
(4) Tata cara permohonan perpanjangan IUPJWA sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 dan Pasal 15.
Pasal 38
(1) Permohonan perpanjangan IUPSWA di taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam
dapat diajukan oleh pemohon paling cepat 2 (dua) tahun dan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
sebelum berakhirnya izin.
(2) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada :
a. Menteri dengan tembusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), untuk taman
nasional dan taman wisata alam;
b. Gubernur atau Bupati/Walikota dengan tembusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(2) dan ayat (3) untuk taman hutan raya.



(3) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selain harus dilengkapi dengan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 25 ayat (2)
dan ayat (3), juga dilengkapi dengan persyaratan tambahan :
a. laporan akhir kegiatan usaha penyediaan sarana wisata alam;
b. rencana pengusahaan pariwisata alam lanjutan;
c. bukti pembayaran pungutan hasil usaha penyediaan sarana wisata alam; dan
d. laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik pada 1 (satu) tahun sebelum
berakhirnya izin.
(4) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipenuhi pemohon, Direktur
Jenderal dalam waktu 5 (lima) hari kerja menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Iuran IUPSWA
(SPP-IIUPSWA).
(5) SPP-IIUPSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilunasi selambat-lambatnya dalam
waktu 24 (dua puluh empat) hari kerja setelah diterimanya SPP-IIUPSWA.
(6) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dipenuhi pemohon, Menteri
menerbitkan IIUPSWA.
(7) Pemegang IIUPSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dibebani kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23.
(8) Tata cara permohonan perpanjangan IIUPSWA di taman hutan raya berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
BAB IV
PERALIHAN KEPEMILIKAN
Pasal 39
(1) Sarana dan fasilitas kepariwisataan tidak bergerak pada izin yang telah berakhir kepemilikannya
beralih menjadi milik negara, kecuali bagi pemegang izin yang telah mendapat perpanjangan.
(2) Terhadap sarana kepariwisataan yang tidak bergerak yang telah berakhir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan inventarisasi oleh Kepala UPT atau Kepala UPTD provinsi atau
kabupaten/kota sesuai kewenangan.
(3) Kegiatan inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk mengetahui antara
lain jumlah, jenis, nilai teknis dan nilai ekonomis sarana dan fasilitas kepariwisataan.
Pasal 40
(1) Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3), sarana dan
fasilitas kepariwisataan pada izin yang telah berakhir dialihkan kepemilikannya kepada Kepala
UPT atau Kepala UPTD provinsi atau kabupaten/kota sesuai kewenangan.
(2) Pengalihan kepemilikan sarana dan fasilitasi kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan inventarisasi oleh Kepala UPT atau Kepala UPTD provinsi atau kabupaten/kota sesuai
kewenangan.
(3) Kepala UPT atau Kepala UPTD provinsi atau kabupaten/kota sesuai kewenangan, selambatlambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah penandatanganan Berita Acara sebagaimana



dimaksud pada ayat (2) melaporkan kepada Menteri cq. Direktur Jenderal, Gubernur,
Bupati/Walikota sesuai kewenangan.
(4) Berdasarkan laporan dari Kepala UPT atau Kepala UPTD sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Menteri atau Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan melaporkan kepada Menteri
Keuangan atau Menteri BUMN selambat-lambatnya dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja.
BAB V
KERJASAMA PARIWISATA ALAM
Pasal 41
Kerjasama pariwisata alam dapat dilakukan antara :
a. pengelola kawasan dengan pemegang IUPJWA atau IUPSWA;
b. pemegang IUPJWA dengan pemegang IUPSWA; atau
c. pengelola kawasan, pemegang IUPSWA atau IUPSWA dengan pihak lain.
Pasal 42
(1) Kerjasama pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 antara lain meliputi :
a. kerjasama teknis;
b. kerjasama pemasaran;
c. kerjasama permodalan;
d. kerjasama penggunaan fasilitas sarana pariwisata alam.
(2) Kerjasama teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi konsultasi teknis dan
pembangunan sarana wisata alam.
(3) Kerjasama teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa kerjasama
membangun sarana penunjang pemanfaatan jasa seperti antara lain kedai/kios, tempat sandar
perahu, jalan setapak.
(4) Kerjasama pemasaran sebagaimna dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi promosi pariwisata
melalui media massa, media elektronik, banner, baliho, pamflet.
(5) Kerjasama permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi investasi di bidang
pembangunan sarana pariwisata alam beserta penunjangnya.
(6) Kerjasama penggunaan fasilitas sarana pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, meliputi penggunaan fasilitas jalan wisata di areal izin.
Pasal 43
(1) Kerjasama pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 dituangkan
dalam perjanjian kerjasama yang diketahui :
a. Direktur Jenderal untuk di taman nasional dan taman wisata alam.
b. Gubernur atau Bupati/Walikota untuk di taman hutan raya.
(2) Kerjasama pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengubah hak pemegang
IUPJWA atau IUPSWA yang telah diberikan Menteri atau Gubernur atau Bupati/Walikota.



BAB VI
PENGAWASAN, EVALUASI DAN PEMBINAAN
Bagian Kesatu
Pengawasan
Pasal 44
(1) Pengawasan dilakukan oleh UPT/UPTD provinsi, kabupaten/kota sesuai kewenangan meliputi :
a. pemeriksaan langsung di lapangan;
b. pemeriksaan kondisi sarana yang diusahakan; dan
c. pemeriksaan laporan pemegang izin usaha.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh :
a. Kepala UPT/UPTD untuk kegiatan sarana pariwisata alam; dan
b. Kepala seksi UPT/UPTD untuk kegiatan jasa wisata alam.
(3) Dalam rangka pengawasan, Kepala UPT/UPTD provinsi, kabupaten/kota bekerjasama dengan
lembaga pengawas independent yang terakreditasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan oleh lembaga pengawas independent yang
terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 45
(1) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), dilaporkan kepada :
a. Menteri cq Direktur Jenderal, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan untuk
kegiatan sarana wisata alam; atau
b. Kepala UPT/UPTD untuk kegiatan jasa wisata alam.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dilakukan sekurang-kurangnya
sekali dalam 6 (enam) bulan.
(3) Tindak lanjut hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai
bahan pengenaan sanksi administrasi dan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bagian Kedua
Evaluasi
Pasal 46
(1) Evaluasi dilaksanakan oleh :
a. Direktur Jenderal, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan; atau
b. Kepala UPT/UPTD provinsi, kabupaten/Walikota sesuai kewenangan.
(2) Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan
langsung ke lokasi dan tidak langsung terhadap laporan kegiatan yang disusun oleh pemegang
IUPJWA dan IUPSWA.



(3) Dalam hal hasil evaluasi pengusahaan pariwisata alam menunjukkan kinerja baik, penghargaan
dapat diberikan kepada pemegang izin berupa :
a. prioritas pengembangan usaha di lokasi lain;
b. sertifikat yang dikeluarkan oleh Menteri atau Gubernur atau Bupati/Walikota; dan/atau
c. insentif berupa perpanjangan izin usaha yang dinyatakan atau diberitahukan kepada
pemegang izin sebelum ketentuan tata waktu permohonan perpanjangan izin usaha diajukan.
(4) Pengusahaan pariwisata alam yang mempunyai kinerja baik sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) dengan ketentuan :
a. tidak melakukan pelanggaran ketentuan perundangan yang berakibat pidana;
b. tidak pernah mendapat surat peringatan yang berakibat pada dicabutnya izin usaha;
c. keuntungan finansial yang diperoleh pemegang izin selama 5 (lima) tahun berturut-turut
menunjukkan peningkatan yang signifikan.
(5) Kegiatan evaluasi dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dan hasil
evaluasi dijadikan bahan dalam melaksanakan pembinaan serta menentukan kebijakan.
Bagian Ketiga
Pembinaan
Pasal 47
(1) Pembinaan dilakukan oleh :
a. Direktur Jenderal, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan; atau
b. Kepala UPT/UPTD provinsi, kabupaten/kota sesuai kewenangan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengaturan, bimbingan,
penyuluhan, penghargaan dan teguran kepada pemegang izin.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun.
(4) Hasil pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan bahan dalam menentukan
kebijakan.
Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan evaluasi, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB VII
SANKSI
Pasal 49
(1) Setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1) dan pasal 23, dikenakan sanksi administrasi.
(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan
c. pencabutan izin.



(3) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan oleh pemberi izin sesuai
dengan kewenangan.
Pasal 50
(1) Sanksi administrasi berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2)
huruf a, dikenakan kepada setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan pasal 23.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sebanyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dengan tenggat waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari kerja.
(3) Dalam hal surat peringatan pertama tidak mendapatkan tanggapan dari pemegang izin dan/atau
substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, pemberi izin menerbitkan surat peringatan
kedua.
(4) Dalam hal surat peringatan kedua tidak mendapatkan tanggapan dari pemegang izin dan/atau
substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, pemberi izin menerbitkan surat peringatan
ketiga.
(5) Dalam hal surat peringatan ketiga tidak mendapatkan tanggapan dari pemegang izin dan/atau
substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, pemberi izin menetapkan penghentian
sementara kegiatan.
Pasal 51
Dalam hal surat peringatan pertama ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya sudah sesuai
dengan surat peringatan, maka tidak perlu diterbitkan peringatan berikutnya dan pemberi izin
menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap dapat melakukan aktivitas
sebagai pemegang izin.
Pasal 52
(1) Dalam hal surat peringatan kedua ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya sudah sesuai
dengan surat peringatan, maka tidak perlu diterbitkan peringatan ketiga dan pemberi izin
menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap dapat melakukan
aktivitas sebagai pemegang izin.
(2) Dalam hal surat peringatan kedua ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya tidak sesuai
dengan surat peringatan, maka diterbitkan surat peringatan ketiga.
(3) Dalam hal surat peringatan ketiga tidak ditanggapi oleh pemegang izin dalam tenggat waktu 30
(tiga puluh) hari kerja, maka diterbitkan surat penghentian sementara kegiatan.
Pasal 53
(1) Dalam hal surat peringatan ketiga ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya sudah sesuai
dengan surat peringatan, maka tidak perlu dilakukan tindakan penghentian sementara kegiatan
dan pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap dapat
melakukan aktivitas sebagai pemegang izin.


.
(2) Dalam hal surat peringatan ketiga ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya tidak sesuai
dengan surat peringatan, maka pemberi izin menetapkan penghentian sementara kegiatan.
(3) Dalam hal surat peringatan ketiga tidak ditanggapi oleh pemegang izin dalam tenggat waktu 30
(tiga puluh) hari, maka pemberi izin menetapkan penghentian sementara kegiatan.
(4) Dalam hal pemegang izin dalam tenggat waktu 30 (tiga puluh) hari sejak penghentian sementara
kegiatan diterima tidak ada upaya klarifikasi kepada pemberi izin, pemberi izin menetapkan
keputusan pencabutan izin.
(5) Dalam hal pemegang menyampaikan klarifikasi kepada pemberi izin dalam tenggat waktu 30
(tiga puluh) hari dan substansinya diterima oleh pemberi izin, pemberi izin menyampaikan surat
pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap melaksanakan kegiatan sebagai pemegang
izin.
(6) Dalam hal pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya setelah 30 (tiga puluh) hari
peringatan tertulis ketiga diterima pemegang izin, pemegang izin dikenakan sanksi penghentian
sementara kegiatan.
(7) Dalam hal penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) pemegang izin
tidak melaksanakan kewajibannya, maka pemegang izin dikenakan sanksi pencabutan.
Pasal 54
(1) Selain dicabut izinnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (7), bagi pemegang izin yang
kegiatan usahanya menimbulkan kerusakan pada suaka margasatwa, taman nasional, taman
hutan raya atau taman wisata alam, dikenakan kewajiban melakukan rehabilitasi dan
pembayaran ganti rugi sesuai dengan kerusakan yang ditimbulkan.
(2) Pengenaan kewajiban rehabilitasi dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
(3) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tuntutan pidana atas
tindak pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 55
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka :
a. Setiap orang yang memasuki kawasan pengusahaan pariwisata alam dikenakan pungutan oleh
Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan.
b. Izin pengusahaan pariwisata alam yang telah diberikan tetap berlaku sampai dengan izinnya
berakhir.
c. Permohonan izin pengusahaan pariwisata alam yang masih dalam proses, mengikuti ketentuan
dalam Peraturan Menteri ini.




BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini maka :
a. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 167/Kpts-II/1994 tentang Sarana dan Prasarana
Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Pelestarian Alam;
b. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 446/Kpts-II/1996 tentang Tata Cara Permohonan,
Pemberian dan Pencabutan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam;
c. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/1996 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Pengusahaan Pariwisata Alam;
d. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 448/Kpts-II/1996 tentang Pengalihan Kepemilikan Sarana
dan Prasarana Kepariwisataan Kepada Negara;
e. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 441/Kpts-II/1998 tentang Pengenaan Iuran Usaha di Hutan
Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Laut;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 57
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di jakarta
Pada tanggal 3 Desember 2010
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 595
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
ttd
KRISNA RYA SH, MH
NIP.19590730 199003 1 001







13. Peraturan

Menteri

P.50/Menhut-II/2010

Kehutanan
tentang

Republik
Tata

Cara

Indonesia

Nomor

Pemberian

dan

Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu


(IUPHHK) dalam Hutan Alam, IUPHHK Restorasi Ekosistem, atau
IUPHHK Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : P.50/Menhut-II/2010
TENTANG
TATA CARA PEMBERIAN DAN PERLUASAN AREAL KERJA IZIN USAHA
PEMANFFATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) DALAM HUTAN ALAM,
IUPHHK RESTORASI EKOSISTEM, ATAU IUPHHK HUTAN TANAMAN
INDUSTRI PADA HUTAN PRODUKSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

: a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 38


ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan,
ditetapkan ketentuan usaha pemanfaatan hasil kayu pada
hutan alam, restorasi ekosistem, hutan tanaman diatur
dengan Peraturan Menteri Kehutanan;
b. bahwa sebagai tindak lanjut ketentuan huruf a, telah
diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/MenhutII/2007 sebagaimana telah diubah dengan Nomor
P.11/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara Pemberian Izin dan
Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
pada Hutan Tanaman Industri Dalam Hutan Tanaman pada
Hutan Produksi dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.20/Menhut-II/2007 sebagaimana telah diubah dengan
Nomor P.12/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara Pemberian
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam
pada Hutan Produksi dan Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor P.61/Menhut-II/2008 tentang Ketentuan dan Tata


Cara Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Restorasi Ekosistem Dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi
melalui Permohonan;
c.

bahwa dalam rangka memberikan kepastian dan kemudahan


berinvestasi, serta menghindari tingginya biaya investasi,
maka proses pemberian izin usaha pemanfaatan hutan
sebagaimana diatur pada huruf b perlu disederhanakan;

d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu


menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Tata Cara
Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan kayu (IUPHHK) Dalam Hutan Alam, IUPHHK
Restorasi Ekosistem, atau IUPHHK Hutan Tanaman Industri
pada Hutan Produksi.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekositemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menjadi Undang-undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007

Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia


Nmor 4725);
5. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan
dan Perlindungn Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5059);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Nomor 16,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4814);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
8. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
9. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara Republik
Indonesia;
10. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta
Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian
Negara;
11. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 63/Menhut-II/2008
tentang Tata Cara Pemberian Rekomendasi Gubernur Dalam
Rangka Permohonan Atau Perpanjangan IUPHHK Hutan Alam
atau Hutan Tanaman;

12. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010


tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan

: PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG TATA CARA


PEMBERIAN IZIN DAN PERLUASAN AREAL KERJA IZIN
USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK)
DALAM HUTAN ALAM, IUPHHK RESTORASI EKOSISTEM,
ATAU IUPHHK HUTAN TANAMAN INDUSTRI PADA HUTAN
PRODUKSI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan :


1.
Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan.
2.
Hutan Produksi yang tidak produktif adalah hutan yang dicadangkan oleh
Menteri sebagai areal pembangunan hutan tanaman.
3.
Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan
mengusahakan hasil hutan berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan
tidak mengurangi fungsi pokoknya.
4.
Areal perluasan adalah areal yang dimohon oleh pemegang IUPHHK sebagai
areal perluasan/penambahan dari areal IUPHHK yang ditetapkan oleh Menteri.
5.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam yang selanjutnya
disingkat IUPHHK-HA yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
adalah izin memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari
penebangan, pengangkutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan,
pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu.
6.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam
Hutan Tanaman pada Hutan Produksi yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTI
yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) atau Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) atau Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HTI) adalah izin usaha untuk
membangun hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh
kelompok industri untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi
dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku potensi dan kualitas hutan
produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri.
7.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam hutan
alam yang selanjutnya disingkat IUPHHK-RE adalah izin usaha yang diberikan

8.

9.
10.
11.
12.
13.

untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang
memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan
keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan
ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran
satwa, pelestarian flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora
dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu
kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan
ekosistemnya.
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan
hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip
koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas
kekeluargaan.
Perorangan adalah Warga Negara Republik Indonesia yang cakap bertindak
menurut hukum.
Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
kehutanan.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan
bertanggung jawab di bidang bina usaha kehutanan.
Kepala Dinas Provinsi adalah Kepala Dinas Provinsi yang diserahi tugas dan
bertanggung jawab di bidang kehutanan.
Kepala Dinas Kabupaten/Kota adalah Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang
diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan di wilayah
Kabupaten/Kota.
BAB II
PERSYARATAN AREAL DAN SUBYEK PEMOHON
Bagian Kesatu
Persyaratan Areal
Pasal 2

(1). Areal yang dimohon adalah kawasan hutan produksi tidak dibebani izin/hak.
(2). Untuk IUPHHK-HTI dan IUPHHK-RE diutamakan pada hutan produksi yang
tidak produktif dan dicadangkan/ditunjuk oleh Menteri sebagai areal untuk
pembangunan hutan atau untuk restorasi ekosistem.

Bagian Kedua
Subyek Pemohon
Pasal 3
(1). Pemohon yang dapat mengajukan permohonan IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, dan
IUPHHK-RE adalah
a. Perorangan;
b. Koperasi;
c. Badan Usaha Swasta Indonesia (BUMSI);
d. Badan Usaha Milik Negara (BUMN); atau
e. Badan Usaha Milik Daerah.
(2). Dalam hal permohonan IUPHHK-HTI, untuk permohonan perorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak diperbolehkan.
(3). Permohonanan IUPHHK-HTI, BUMS Indonesia dapat berupa perseroan terbatas
yang berbadan hukum Indonesia dan modalnya dapat berasal dari investor
atau modal asing.
BAB III
PERMOHONAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Permohononan
Pasal 4
(1). Persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri dari :
a.
Untuk perorangan harus berbentuk CV atau Firma dan dilengkapi Akte
Pendirian.
b.
Akte Pendirian Koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta Indonesia beserta
perubahan-perubahannya yang disahkan instansi berwenang;
c.
Surat Izin Usaha dari instansi yang berwenang;
d.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
e.
Pernyataan yang dibuat di hadapan Notaris, yang menyatakan kesediaan
untuk membuka kantor cabang di Provinsi dan atau Kabupaten/Kota;
f.
Rencana lokasi yang dimohon dengan dilampiri peta skala minimal
1:100.000 untuk luasan di atas 100.000 hektar atau skala 1 : 50.000
untuk luasan di bawah 100.000 hektar;
g.
Rekomendasi Gubernur yang dilampiri peta lokasi sekurang-kurangnya
skala 1 : 100.000, dengan didasarkan pada :

1)

Pertimbangan Bupati/Walikota yang didasarkan pada pertimbangan


teknis Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, bahwa areal
dimaksud tidak dibebani hak-hak lain;
2) Analisis fungsi kawasan hutan dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi
dan Kepala Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan, yang berisi fungsi
kawasan hutan sesuai Keputusan Menteri Kehutanan tentang
penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi dan data lain yang
teredia antara lain tata batas, uraian penutupan vegetasi,
penggunaan, pemanfaatan, perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan yang dituangkan dalam data numerik dan spasial.
h.
Proposal teknis yang berisi antara lain :
1). Kondisi umum areal yang dimaksud dan kondisi perusahaan;
2). Usulan teknis yang terdiri dari maksud dan tujuan, rencana
pemanfaatan, sistem silvikultur yang diusahakan organisasi/tata
laksana, pembiayaan/cashflow dan perlindungan hutan.
(2). Dalam hal pertimbangan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf g, dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan
tidak diterima oleh Gubernur, maka Gubernur tetap memberikan rekomendasi.
(3). Dalam hal Gubernur tidak memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dan setelah dimintakan konfirmasi 3 (tiga) kali dengan tenggang
waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari kerja, Menteri memproses permohonan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4). Permohonan IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI atau IUPHHK-RE mengacu pada
areal yang telah dialokasikan dan dapat dilihat dalam website
www.dephut.go.id dengan alamat Bina Usaha Kehutanan.
Pasal 5
(1). Permohonan diajukan oleh Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
kepada Menteri, dengan tembusan kepada :
a.
Direktur Jenderal;
b.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;
c.
Gubernur;
d.
Bupati/Walikota; dan
e.
Kepala Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan.
(2). Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi dengan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

Bagian Kedua
Penilaian Permohonan
Pasal 6
(1). Direktur Jenderal melalui Direktur sesuai tugas pokok dan fungsinya,
melakukan pemeriksaan atas kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4.
(2). Apabila satu areal telah dimohon dan memenuhi kelengkapan persyaratan,
maka dalam tenggang waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak pemohon pertama
menyampaikan permohonan dan lengkap persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diberi kesempatan kepada pemohon lain untuk mengajukan
permohonan pada areal yang sama.
(3). Dalam hal permohonan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan
surat penolakan.
(4). Dalam hal permohonan memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Direktur Jenderal melakukan penilaian proposal teknis
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tenggang waktu 10 (sepuluh) hari kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), melalui Tim Penilai dan hasilnya
disampaikan kepada Menteri.
(5). Tim Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dibentuk oleh Direktur
Jenderal dengan anggota Tim disesuaikan tugas pokok dan fungsinya.
Pasal 7
(1). Dalam hal hasil penilaian proposal teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (4) tidak lulus, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan surat
penolakan.
(2). Dalam hal hasil penilaian proposal teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (4) dinyatakan lulus, Direktur Jenderal menyampaikan hasil penilaian
kepada Menteri.
(3). Atas dasar penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat
menolak atau menerima permohonan.
Pasal 8
(1). Berdasarkan hasil penilaian proposal teknis terhadap pemohon yang dinyatakan
lulus dan diterima Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3),
Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan Surat Perintah Pertama
(SP-1) kepada pemohon untuk menyusun dan menyampaikan Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sesuai dengan ketentuan peraturan


perundang-undangan.
(2). AMDAL yang telah mendapatkan persetujuan atau pengesahan dari pejabat
yang berwenang, selanjutnya disampaikan oleh pemohon kepada Menteri
melalui Direktur Jenderal.
(3). Dalam hal penilaian proposal teknis IUPHHK-RE dinyatakan lulus, pemohon
diharuskan menyusun UKL dan UPL sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 9
(1). AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), diselesaikan dalam
jangka waktu paling lama 150 (seratus lima puluh) hari kerja dan UKL-UPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), diselesaikan dalam jangka
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja.
(2). Dalam hal waktu penyelesaian AMDAL atau UKL dan UPL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pemohon dapat mengajukan
permohonan perpanjangan waktu kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal,
dengan disertai alasan keterlambatan.
(3). Direktur Jenderal atas nama Menteri dapat menerima atau menolak
permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian AMDAL atau UKL dan
UPL, dengan mempertimbangkan alasan keterlambatan penyelesaian AMDAL
atau UKL dan UPL.
(4). Dalam hal permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian AMDAL atau
UKL dan UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima, Direktur Jenderal
atas nama Menteri menerbitkan perpanjangan waktu penyelesaian AMDAL atau
UKL dan UPL.
(5). Dalam hal pemohon telah diberikan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan pemohon tetap tidak dapat menyelesaikan kewajibannya, maka
SP-1 menjadi batal dengan sendirinya dan tidak berlaku lagi.
Pasal 10
(1). Berdasarkan AMDAL atau UKL dan UPL yang diterima sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), Direktur Jenderal atas nama Menteri
menerbitkan Surat Perintah kedua (SP-2) kepada Direktur Jenderal Planologi
Kehutanan untuk menyiapkan peta areal kerja (working area/WA), paling
lambat 15 (lima belas) hari kerja, dan menyampaikan hasilnya kepada Direktur
Jenderal.
(2). Dalam penyampaian peta areal kerja (working area/WA) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), disertakan dengan Bahan Penetapan Tebangan Tahunan
(BPTT) kecuali IUPHHK-HA.

(3). Dalam hal IUPHHK-HA, Bahan Penetapan Tebangan Tahunan (BPTT)/Annual


Allowable Cut ditetapkan berdasarkan Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala
(IHMB) pada waktu penyusunan Rencana Kerja Usaha (RKU) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
(1). Berdasarkan peta areal kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Direktur
Jenderal menyiapkan dan menyampaikan konsep Keputusan Menteri tentang
pemberian IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI atau IUPHHK-RE kepada Menteri
melalui Sekretaris Jenderal.
(2). Sekretaris Jenderal menelaah aspek hukum terhadap konsep Keputusan
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lama
7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya konsep Keputusan Menteri dan
menyampaikan kepada Menteri.
(3). Berdasarkan konsep Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Menteri menerbitkan Keputusan tentang Pemberian IUPHHK-HA atau IUPHHKHTI atau IUPHHK-RE.
Bagian Ketiga
Persyaratan dan Pemberian Izin Perluasan
Pasal 12
(1). Pemegang IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI atau IUPHHK-RE, dapat diberikan :
a.
Perluasan areal kerja pada lokasi yang berada di sekitarnya, sepanjang
tidak dibebani izin usaha pemanfaatan hutan dengan luasan tidak
melebihi izin yang telah diberikan.
b.
IUPK atau IUPJL di areal kerjanya.
(2). Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3). Dalam hal wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) sudah
dibentuk, perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diutamakan
dalam wilayah KPHP yang sama.
(4). Perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak diberikan
kepada pemegang IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI atau IUPHHK-RE dalam hutan
produksi yang berkinerja buruk sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(5). Permohonan izin perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
diajukan kepada Menteri dengan tembusan kepada :
a.
Direktur Jenderal;
b.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;
c.
Kepala Dinas Provinsi.

(6). Dalam hal pemohon telah memiliki sertifikat PHPL mandatory atau voluntary
dengan kategori tidak buruk permohonan diproses tanpa harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, kecuali persyaratan Pasal 4
ayat (1) huruf f.
(7). Dalam hal pemohon belum memiliki sertifikat PHPL mandatory atau voluntary,
pemohon harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf f dan huruf h.
(8). Proposal teknis sebagaimana dimaksud dalam persyaratan pada ayat (7), dinilai
oleh pejabat struktural Direktorat Jenderal BUK sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya.
(9). Dalam hal permohonan perluasan yang lokasi arealnya berdampingan dalam
satu kesatuan disetujui, pemohon IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI menyusun
UKL dan UPL sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(10). Dalam hal permohonan perluasan yang lokasi arealnya tidak berada dalam 1
(satu) Kabupaten/Kota atau tidak dalam satu Daerah Aliran Sungai disetujui,
pemohon IUPHHK-HA atau IUPHHK-HTI menyusun AMDAL sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(11). Dalam hal permohonan perluasan IUPHHK-RE yang lokasi arealnya tidak
berada dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota atau tidak dalam satu Daerah Aliran
Sungai disetujui, pemohon IUPHHK-RE menyusun UKL dan UPL sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Pembayaran Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH)
Pasal 13
(1). Keputusan tentang Pemberian, Perluasan Areal Kerja, IUPHHK-HA, IUPHHKHTI dan IUPHHK-RE diserahterimakan kepada pemohon setelah yang
bersangkutan membayar lunas IIUPH
(2). Tata cara pengenaan, pemungutan, dan pembayaran IIUPH sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan-undangan.
(3). Penyerahan Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui
jasa pos tercatat.

BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 14
Dalam hal penyelesaian AMDAL sebagai persyaratan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2007 dan Nomor P.11/MenhutII/2008; Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2007 dan Nomor
P.12/Menhut-II/2008 tidak selesai dalam kurun waktu yang ditentukan selama 150
(seratus lima puluh) hari kerja dan telah mengajukan perpanjangan, namun selama
dalam masa permohonan perpanjangan tersebut AMDAL telah disetujui/disahkan
oleh Pejabat yang berwenang, maka AMDAL tersebut dapat digunakan sebagai
bahan lebih proses lebih lanjut sesuai ketentuan Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.19/Menhut-II/2007 dan Nomor P.11/Menhut-II/2008; Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2007 dan Nomor P.12/Menhut-II/2008.
Bagian Kedua
Permohonan IUPHHK-HA
Pasal 15
Permohonan IUPHHK-HA dan permohonan perluasan IUPHHK-HA yang diajukan
berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2007 jo.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2008 dan telah memenuhi
persyaratan, tahap selanjutnya diproses sesuai Peraturan ini.
Bagian Ketiga
Permohonan IUPHHK-HTI
Pasal 16
(1). Permohonan IUPHHK-HTI yang diajukan berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2007 jo. Nomor P.11/Menhut-II/2008 dan
telah mendapatkan SP-1 (untuk membuat AMDAL), SP-2 (membuat working
area) dapat diproses lebih lanjut tanpa memperbaharui persyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan ini.
(2). Permohonan IUPHHK-HTI atau permohonan tambahan (perluasan) IUPHHKHTI yang diajukan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.19/Menhut-II/2007 jo. Nomor P.11/Menhut-II/2008 dan belum memperoleh

SP-1, proses selanjutnya mengikuti persyaratan sesuai dengan ketentuan


Peraturan ini.
Pasal 17
(1). Dalam hal permohonan IUPHHK-HTI yang diajukan berdasarkan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2007 jo. Nomor P.11/MenhutII/2008 dan telah memperoleh SP-1 atau SP-2, dan ternyata sebagian besar
areal yang dimohon merupakan :
a.
Areal bekas tebangan/log over areal (LOA), maka areal tersebut dijadikan
untuk IUPHHK-HTI dengan sistem silvikultur setelah dilakukan deliniasi
makro dan deliniasi mikro sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; atau
b.
Hutan alam primer, maka areal tersebut dijadikan untuk IUPHHK-HA
dengan tidak diwajibkan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4.
(2). Pemberian IUPHHK-HA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan setelah
pemohon IUPHHK-HTI menyampaikan surat pernyataan yang dibuat dihadapan
notaris yang berisi bahwa pemohon bersedia menerima dan tidak keberatan
dari areal yang dimohon IUPHHK-HTI diberikan menjadi IUPHHK-HA.
(3). Pemberian IUPHHK-HA atas permohonan IUPHHK-HTI sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), tidak dapat diberlakukan terhadap pemohon BUMSI yang
berbentuk Perseroan Terbatas yang berbadan hukum Indonesia dan modalnya
berasal dari investor atau modal asing.
Bagian Keempat
Permohonan IUPHHK-RE
Pasal 18
(1). Areal hutan produksi yang telah dicadangkan/ditunjuk sebagai arahan lokasi
restorasi ekosistem sebelum ditetapkannya Peraturan ini, dinyatakan tetap
berlaku.
(2). Permohonan IUPHHK-RE yang diajukan berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.61/Menhut-II/2008 dan sudah sampai pada tingkat SP-1
(untuk membuat UKL dan UPL) penyelesaian izinnya diproses sesuai Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.61/Menhut-II/2008.

BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 19
(1). Dalam hal disatu Kabupaten/Kota belum dicadangkan HTR oleh Menteri, maka
terhadap permohonan IUPHHK-HTI di Kabupaten/Kota tersebut, Menteri
mengalokasikan seluas 20% dari areal yang dimohon untuk HTR.
(2). Dalam hal permohonan IUPHHK-HTI diterima, Pemegang IUPHHK-HTI
melakukan pembinaan HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3). Dalam hal di Kabupaten/Kota terdapat HTR yang berdampingan dengan
IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, dan IUPHHK-RE, pemegang izin wajib membina
HTR.
Pasal 20
Jika dalam proses permohonan IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, atau IUPHHK-RE,
berdasarkan laporan tertulis dengan kondisi areal, khususnya terkait dengan tata
batas, penutupan vegetasi, penggunaan , pemanfaatan, perubahan peruntukan dan
fungsi kawasan, Menteri dapat memerintahkan kepada Direktur Jenderal Planologi
Kehutanan untuk dilakukan pengecekan lapangan.
Pasal 21
Dalam hal permohonan sedang dalam proses penyelesaian, dan rekomendasi
Gubernur sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 berakhir, proses penyelesaian tetap
dilakukan tanpa harus memperbaharui rekomendasi.
Pasal 22
(1). Dalam hal Menteri tidak dapat melaksanakan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap atas areal yang sudah tidak layak untuk
dibebani IUPHHK-HA, maka penerbitan keputusan Menteri tentang pemberian
izin atau perpanjangan IUPHHK-HA dapat diubah menjadi IUPHHK-HTI atau
IUPHHK-RE dengan persetujuan yang bersangkutan.
(2). Pemberian atau perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanpa
harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, kecuali
Pasal 4 ayat (1) huruf f.
Pasal 23
(1). Dalam hal Menteri tidak dapat melaksakan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap atas areal yang telah berubah keadaan atau
kondisi areal yang mengakibatkan luas areal yang ditetapkan dalam putusan

menjadi berkurang atau hapus/hilang sama sekali yang disebabkan karena


areal tersebut telah dibebani/diberikan kepada pihak lain, maka Menteri
menyediakan areal pengganti.
(2). Areal pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan di luar
Provinsi.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, maka Peraturan Menteri Kehutanan :
(1). Nomor P.19/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Pemberian Izin dan Perluasan
Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
Industri Dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi;
(2). Nomor P.11/Menhut-II/2008 tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Pemberian Izin dan
Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Tanaman Industri Dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi;
(3). Nomor P.20/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Melalui
Permohonan;
(4). Nomor P.12/Menhut-II/2008 tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Pemberian Izin
Usaha Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Melalui
Permohonan; dan
(5). Nomor P.61/Menhut-II/2008 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem Dalam Hutan Alam
pada Hutan Produksi Melalui Permohonan;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 25
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada Tanggal 31 Desember 2010
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 705
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
Ttd
KRISNA RYA SH, MH
NIP. 19590730 199003 1 001





14. Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia

P.14/Menhut-II/2011 tentang Izin Pemanfaatan Kayu.

Nomor

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : P. 14/Menhut-II/2011
TENTANG
IZIN PEMANFAATAN KAYU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :

a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 Peraturan Pemerintah


Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan
Fungsi Kawasan Hutan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan
terkait pemanfaatan kayu;
b. bahwa berdasarkan Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan, dalam kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan
penggunaan kawasan hutan dengan status pinjam pakai dapat diterbitkan
izin pemanfaatan kayu/izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dengan
menggunakan ketentuan-ketentuan izin usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu atau bukan kayu pada hutan alam sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini;
c. bahwa sebagai tindak lanjut huruf b, telah ditetapkan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2009 tentang Penggantian Nilai
Tegakan dari Izin Pemanfaatan Kayu Dan Atau Dari Penyiapan Lahan
Dalam Pembangunan Hutan Tanaman;
d. bahwa dengan telah diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, perlu penyesuaian
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Mehut-II/2009 tentang
Penggantian Nilai Tegakan Dari Izin Pemanfaatan Kayu Dan Atau Dari
Penyiapan Lahan Dalam Pembangunan Hutan Tanaman tersebut huruf c;
e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut, dipandang perlu
menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Izin Pemanfaatan
Kayu;

Mengingat : 1. Undang - undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan
Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 36; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4412);
4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844);
5. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 140);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1999 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 3643);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 67; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4207), sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2007 (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 15; Tambahan Lembaran


Negara Republik Indonesia Nomor 4813);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696), sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4814);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 15; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5097);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Fungsi
Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
30; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5112);
13. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Orginasasi Kementerian Negara Republik Indonesia;
14. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan
Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi
Eselon I Kementerian Negara;
15. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan
Kabinet Indonesia Bersatu II;
16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang
Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk Pengangkutan Hasil
Hutan Kayu yang berasal dari Hutan Hak, sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/MenhutII/2007;
17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2007 tentang
Petunjuk Teknis Tata Cara Pengenaan, Pemungutan dan Pembayaran
Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi;
18. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang
Penatausahaan Hasil Hutan yang berasal dari Hutan Negara, sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan
P.45/Menhut-II/2009 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 215);

19. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/Menhut-II/2009 tentang


Pemasukan dan Penggunaan Alat Untuk Kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan
Hutan Atau Izin Pemanfaatan Kayu (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 265);
20. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2010 tentang Tata
Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 377);
21. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan

PERATURAN
MENTERI
PEMANFAATAN KAYU.

KEHUTANAN

TENTANG

IZIN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Izin Pemanfaatan Kayu yang selanjutnya disebut IPK adalah izin untuk memanfaatkan
kayu dan/atau bukan kayu dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan telah
dilepas, kawasan hutan produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan, penggunaan
kawasan hutan pada hutan produksi atau hutan lindung dengan pinjam pakai, dan areal
Pengunaan Lain yang telah diberikan izin peruntukan.
2. IUPHHK-HA adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa
kayu dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau
penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran.
3. IUPHHK-HT adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa
kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan lahan,
pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran.
4. IUPHHBK-HT adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa
bukan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan lahan,
pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran.
5. Penggantian nilai tegakan adalah salah satu kewajiban selain PSDH dan DR yang harus
dibayar kepada negara akibat dari izin pemanfaatan kayu, penggunaan kawasan hutan
melalui izin pinjam pakai, kegiatan penyiapan lahan dalam pembangunan hutan tanaman,
dan dari areal kawasan hutan yang telah dilepas dan dibebani HGU yang masih terdapat
hasil hutan kayu dari pohon yang tumbuh secara alami sebelum terbitnya HGU.
6. Nilai tegakan adalah harga yang dibayar berdasarkan Laporan Hasil Produksi.

7.
8.
9.

10.

11.

12.

13.
14.

15.

16.

17.
18.

19.

20.
21.
22.

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Menteri
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
Penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan
peruntukan kawasan hutan tersebut.
Areal Penggunaan Lain yang selanjutnya disebut APL yang telah dibebani izin peruntukan
adalah areal hutan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang
Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi, atau berdasarkan Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) menjadi bukan kawasan hutan.
Hutan Produksi yang dapat dikonversi yang selanjutnya disebut HPK adalah kawasan
hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar
kegiatan kehutanan.
Tukar menukar kawasan adalah perubahan kawasan hutan produksi tetap dan/atau hutan
produksi terbatas menjadi bukan kawasan hutan yang diimbangi dengan memasukan
lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan.
Pelepasan kawasan hutan adalah perubahan peruntukan kawasan hutan produksi yang
dapat dikonversi menjadi bukan kawasan hutan.
Pinjam pakai kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada
pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah
status, peruntukan dan fungsi kawasan hutan;
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum
koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas azas kekeluargaan.
Timber Cruising adalah kegiatan pengukuran, pengamatan dan pencatatan terhadap
pohon yang direncanakan akan ditebang yang dilaksanakan dengan intensitas sebesar
5 % (lima persen).
RKT adalah rencana kerja dengan jangka waktu 1 (satu) tahun yang merupakan
penjabaran dari RKUPHHK (Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu).
Surat Perintah Pembayaran Penggantian Nilai Tegakan yang selanjutnya disebut SPP-GR
adalah dokumen yang memuat besarnya kewajiban penggantian nilai tegakan yang harus
dibayar oleh Wajib Bayar.
Bendahara Penerima Kementerian Kehutanan adalah Pegawai Negeri Sipil Kementerian
Kehutanan yang ditetapkan oleh Menteri dan diberi tugas serta wewenang untuk
menerima dan menyetor ke Kas Negara dan mengadministrasikan penggantian nilai
tegakan.
Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan.
Sekretaris Jenderal adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di
bidang bina usaha kehutanan.

23. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan
tanggung jawab di bidang planologi kehutanan.
24. Gubernur adalah Kepala penyelenggara pemerintahan daerah Provinsi sesuai dengan
wilayah kerjanya.
25. Bupati/Walikota adalah Kepala penyelenggara pemerintah daerah Kabupaten/Kota sesuai
dengan wilayah kerjanya.
26. Dinas Provinsi adalah Dinas yang diberi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di
daerah provinsi.
27. Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diberi tugas dan tanggung jawab dibidang
kehutanan di daerah kabupaten/kota.
28. Kepala Balai adalah Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi sesuai dengan
wilayah kerjanya dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal.
29. Pejabat Penagih SPP-GR adalah pejabat yang ditetapkan oleh Kepala Balai.
30. APHI adalah Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia.
BAB II
PERSYARATAN AREAL DAN PEMOHON SERTA KEWENANGAN PEMBERIAN
IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK)
Bagian Kesatu
Persyaratan areal dan pemohon
Pasal 2
(1) Persyaratan areal yang dapat dimohon IPK meliputi :
a. HPK yang telah dikonversi dengan cara pelepasan kawasan hutan atau kawasan hutan
produksi dengan cara tukar menukar kawasan hutan;
b. Penggunaan kawasan hutan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan; atau
c. APL yang telah diberikan izin peruntukan.
(2) Pemohon yang dapat mengajukan IPK adalah :
a. Perorangan;
b. Koperasi;
c. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
d. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); atau
e. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS)
(3) Areal pada penggunaan kawasan hutan dengan cara pinjam pakai sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, izin pinjam pakai kawasan hutan melekat dan berlaku sebagai IPK.
(4) Permohonan IPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, dikecualikan
terhadap pemanfaatan kayu yang ekonomis.

Pasal 3
Izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), meliputi :
a. Izin pinjam pakai untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan produksi.
b. Izin pinjam pakai untuk kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan lindung bagi 13 (tiga
belas) izin pertambangan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 41
Tahun 2004 sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004.
c. Izin pinjam pakai kawasan hutan selain untuk kegiatan pertambangan, baik pada kawasan
hutan produksi maupun pada kawasan hutan lindung.
Bagian Kedua
Kewenangan Pemberian IPK

(1)

(2)

Pasal 4
IPK pada areal sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) huruf a, diberikan oleh
Kepala Dinas Provinsi selaku Pejabat Penerbit IPK.
IPK pada areal sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) huruf c, diberikan oleh
Kepala Dinas Kabupaten/Kota selaku pejabat Penerbit IPK.
BAB III
TATA CARA PERMOHONAN DAN PENYELESAIAN PERMOHONAN
Bagian Kesatu
Izin Pemanfaatan Kayu Pada APL Yang Telah Dibebani Izin Peruntukan

Pasal 5
(1) Permohonan IPK pada areal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c,
diajukan oleh pemohon kepada pejabat penerbit IPK dengan tembusan kepada :
a. Kepala Dinas Provinsi;
b. Kepala Balai; dan
c. Kepala BPKH.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi persyaratan :
a. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk untuk pemohon perorangan atau Akte Pendirian
perusahaan pemohon beserta perubahannya.
b. Fotocopy izin peruntukan penggunaan lahan seperti izin pertanian, perkebunan,
perikanan, pemukiman, pembangunan transportasi, sarana prasarana wilayah,
pembangunan sarana komunikasi dan informasi Kuasa Pertambangan, PKP2B yang
diterbitkan dan dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
c. Peta lokasi yang dimohon.

(1)

Pasal 6
Permohonan IPK yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2), Pejabat Penerbit IPK menolak permohonan dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari kerja sejak permohonan diterima.

(2)

Permohonan IPK yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2), Pejabat Penerbit meminta pertimbangan teknis kepada Kepala Dinas Provinsi, dengan
tembusan kepada Kepala Balai.

(3)

Permintaan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilampiri dengan
persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2).

(1)

(2)

(1)

(2)

Pasal 7
Kepala Dinas Provinsi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya
permintaan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2),
menerbitkan pertimbangan teknis atau penolakan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota
dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Bupati/Walikota, dan Kepala Balai.
Pertimbangan teknis Kepala Dinas Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
didasarkan hasil penelaahan terhadap status kawasan hutan dan kondisi perusahaan
pemegang izin peruntukan.
Pasal 8
Berdasarkan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pejabat Penerbit
IPK memerintahkan kepada pemohon untuk :
a. Melakukan timber cruising pada areal yang dimohon dengan intensitas 5% (lima
persen) untuk seluruh pohon dan diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 25
(dua puluh lima) hari kerja sejak diterimanya surat perintah dan membuat Rekapitulasi
Laporan Hasil Cruising (RLHC); dan
b. Menuangkan RLHC sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam Berita Acara dan
ditandatangani oleh pengurus perusahaan dilengkapi Pakta Integritas yang berisi nama,
jabatan, alamat, dan pernyataan kebenaran pelaksanaan timber cruising.
Rekapitulasi LHC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, digunakan sebagai dasar
penentuan taksiran volume tebangan untuk :
a. Dituangkan dalam Keputusan IPK; dan
b. Penetapan Bank Garansi dari bank pemerintah yang besarnya 3/12 (tiga per dua belas)
dari taksiran volume tebangan.

(3)

Dalam hal permohonan telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pejabat Penerbit IPK memberikan surat persetujuan IPK dan kepada pemohon diwajibkan
untuk :
a. Membuat Rencana Penebangan dalam jangka waktu 50 (lima puluh) hari kerja, sejak
diterimanya Surat Perintah;
b. Melaksanakan penataan batas blok tebangan IPK, dan diselesaikan paling lambat 50
(lima puluh) hari kerja, sejak diterimanya Surat Perintah; dan
c. Menyampaikan Bank Garansi dari bank pemerintah.

(4)

Dalam hal memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diterbitkan
Keputusan Pemberian IPK.

(5)

Dalam hal pemohon tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), dalam waktu 50 (lima puluh) hari kerja, surat persetujuan IPK dibatalkan.

Pasal 9
Keputusan Pemberian IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) atau surat
pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5), salinan/tembusannya disampaikan
kepada :
a. Direktur Jenderal BUK;
b. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;
c. Kepala Dinas Provinsi; dan
d. Kepala Balai.

(1)

(2)

(1)
(2)
(3)

Pasal 10
Berdasarkan keputusan pemberian IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4)
pemegang IPK melakukan kegiatan penebangan, penyaradan, pembagian batang,
pembuatan LHP di TPn, pemuatan, pengangkutan, dan pembongkaran di tempat
penimbunan kayu (TPK) yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
Berdasarkan LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan pembayaran
penggantian nilai tegakan.
Pasal 11
Pemegang IPK wajib membayar penggantian nilai tegakan dari IPK.
Volume kayu untuk perhitungan penggantian nilai tegakan dihitung berdasarkan volume
pada Laporan Hasil Produksi (LHP).
Berdasarkan LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Penagih SPP-GR
menerbitkan SPP-GR kepada pemegang IPK.

(4)

Selain membayar penggantian nilai tegakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemegang IPK tetap diwajibkan membayar PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan), DR
(Dana Reboisasi) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Izin Pemanfaatan Kayu pada HPK Yang Telah Dikonversi
Atau Tukar Menukar Kawasan Hutan

(1)

(2)

(1)

Pasal 12
Permohonan IPK pada HPK yang telah dikonversi atau tukar menukar kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, diajukan oleh pemohon kepada
pejabat penerbit IPK dengan tembusan kepada :
a. Direktur Jenderal BUK;
b. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;
c. Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
d. Kepala Balai; dan
e. Kepala BPKH.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi persyaratan :
a. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk untuk pemohon perorangan atau Akte Pendirian
perusahaan pemohon beserta perubahannya.
b. Fotocopy Keputusan Menteri tentang pelepasan kawasan hutan yang telah dilegalisir
oleh pejabat yang berwenang; dan
c. Peta lokasi yang dimohon.
Pasal 13
Permohonan IPK yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2), Pejabat Penerbit IPK menolak permohonan tersebut dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima.

(2)

Permohonan IPK yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12


ayat (2), Pejabat Penerbit IPK meminta pertimbangan teknis kepada Direktur Jenderal,
dengan tembusan kepada Kepala Balai;

(3)

Permintaan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilampiri dengan
persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).

(1)

Pasal 14
Berdasarkan tembusan permintaan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2), Kepala Balai dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal

diterimanya tembusan permintaan pertimbangan teknis menyampaikan hasil penelaahan


terhadap kegiatan fisik di lapangan kepada Direktur Jenderal.
(2)

(1)

Direktur Jenderal dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya hasil
penelaahan terhadap kegiatan fisik di lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
menerbitkan pertimbangan teknis atau penolakan kepada Pejabat Penerbit IPK dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota, Kepala Balai, dan Kepala BPKH.
Pasal 15
Berdasarkan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
Pejabat Penerbit IPK memerintahkan kepada pemohon untuk :
a. Melakukan timber cruising pada areal yang dimohon dengan intensitas 5% (lima
persen) untuk semua pohon dan diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 25
(dua puluh lima) hari kerja sejak diterimanya surat perintah dan membuat
Rekapitulasi Laporan Hasil Cruising (RLHC); dan
b. menuangkan rekapitulasi LHC sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam Berita
Acara dan ditandatangani oleh pengurus perusahaan dilengkapi Pakta Intergritas
yang berisi nama, jabatan, alamat, pernyataan kebenaran pelaksanaan timber
cruising.

(2)

Rekapitulasi LHC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, digunakan sebagai dasar
penentuan taksiran volume tebangan untuk :
a. Dituangkan dalam Keputusan IPK; dan
b. Penetapan Bank Garansi dari bank pemerintah yang besarnya 3/12 (tiga per dua
belas) dari taksiran volume tebangan.

(3)

Dalam hal pemohon telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pejabat Penerbit IPK memberikan surat persetujuan IPK dan kepada pemohon
diwajibkan untuk :
a. Membuat Rencana Penebangan dalam jangka waktu 50 (lima puluh) hari kerja sejak
diterimanya Surat Perintah;
b. Melaksanakan penataan batas blok tebangan IPK, dan diselesaikan paling lambat 50
(lima puluh) hari kerja sejak diterimanya Surat Perintah; dan
c. Menyampaikan Bank Garansi dari bank pemerintah.

(4)

Dalam hal ini memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diterbitkan
Keputusan Pemberian IPK.

(5)

Dalam hal pemohon tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), dalam waktu 50 (lima puluh) hari kerja surat persetujuan IPK dibatalkan.

Pasal 16
Keputusan Pemberian IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (14) atau surat
pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5), salinan/tembusannya disampaikan
kepada :
a. Direktur Jenderal;
b. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;
c. Kepala Dinas Kabupaten/Kota; dan
d. Kepala Balai.
Pasal 17
(1) Berdasarkan Keputusan Pemberian IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4),
pemegang IPK melakukan kegiatan penebangan, penyadaran, pembagian batang,
pembuatan LHP di TPn, pemuatan, pengangkutan, dan pembongkaran di tempat
penimbunan kayu (TPK) yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota dan dibuat
Laporan Hasil Produksi (LHP).
(2) Berdasarkan LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan pembayaran
penggantian nilai tegakan.
Pasal 18
(1) Pemegang IPK wajib membayar penggantian nilai tegakan dari IPK.
(2) Volume kayu untuk perhitungan penggantian nilai tegakan dihitung berdasarkan volume
pada Laporan Hasil Produksi (LHP).
(3) Berdasarkan LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Penagih SPP-GR
menerbitkan SPP-GR kepada pemegang IPK.
(4) Selain membayar penggantian nilai tegakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemegang IPK tetap diwajibkan membayar PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan), DR (Dana
Reboisasi) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
Keputusan Pemberian IPK oleh Pejabat Penerbit IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(8) atau Keputusan Pemberian IPK oleh Pejabat Penerbit IPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (4), sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama serta alamat pemegang izin;
b. Luas dan letak lokasi IPK;
c. Jumlah, volume dan per kelompok jenis kayu bulat yang akan diproduksi;
d. Peralatan-peralatan yang akan digunakan;
e. Hak, kewajiban dan larangan pemegang IPK;

f.
g.
h.
i.

Jangka waktu berlakunya IPK;


Tempat dan tanggal terbitnya IPK;
Nama, dan tandatangan pejabat penerbit IPK; dan
Stempel/cap instansi/pejabat penerbit IPK.

Pasal 20
Pada areal yang telah diberikan dispensasi dalam rangka proses permohonan pelepasan
kawasan hutan pada HPK, dapat diberikan IPK dengan mengacu pada ketentuan IPK pada HPK
yang telah dikonversi sesuai Peraturan ini.
Bagian Ketiga
Kayu Tidak Ekonomis Untuk IPK
Pasal 21
(1) Dalam hal pada Areal Penggunaan Lain (APL) yang telah dibebani izin peruntukan, pada
HPK yang telah dikonversi atau pada tukar menukar kawasan hutan, potensi kayunya tidak
ekonomis untuk dijadikan satu izin IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4),
maka tidak memerlukan IPK dan dapat melakukan kegiatan termasuk pembukaan lahan
dan penebangan pohon.
(2) Tidak ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila volume tegakan diameter
 30 cm dan paling banyak 50 meter kubik dalam satu calon IPK.
(3) Potensi kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dikenakan kewajiban membayar
penggantian nilai tegakan yang didasarkan pada hasil timber cruising dengan intensitas
100% (seratus persen) untuk kayu berdiameter  30 cm, yang dilakukan oleh Dinas
Kabupaten/Kota.
(4) Terhadap potensi kayu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diterbitkan surat Kepala
Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota.
(5) Terhadap kayu hasil tebangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah dilunasi
kewajibannya kepada negara berupa penggantian nilai tegakan, PSDH dan DR dapat
diangkut dengan dilengkapi dokumen angkutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 22
(1) Sebelum melakukan pembukaan lahan dan penebangan pohon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, pemegang izin peruntukan atau pada HPK yang telah dikonversi wajib
melaporkan rencana penebangan kayu tidak ekonomis kepada Kepala Dinas Kehutanan
Kabupaten/Kota.

(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dinas Kehutanan
Kabupaten/Kota melakukan pemeriksaan lapangan guna memastikan rencana penebangan
sesuai yang dilaporkan.
(3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), telah sesuai,
dapat dilakukan kegiatan penebangan dan semua kayu hasil penebangan baik berupa
kayu bulat maupun kayu bulat kecil dibuatkan LHP.
(4) LHP sebagaimana pada ayat (3), digunakan sebagai dasar perhitungan kewajiban
pembayaran PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan.
(5) Dokumen pengangkutan kayu hasil penebangan kayu tidak ekonomis, menggunakan
dokumen SKSKB yang diterbitkan secara official assessment oleh petugas Dinas Kehutanan
Kabupaten/Kota yang ditunjuk dan FA-KB yang diterbitkan secara self assessment.
BAB IV
AREAL PADA PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN CARA
PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DAN AREAL KAWASAN HUTAN
YANG TELAH DILEPAS DAN DIBEBANI HAK GUNA USAHA (HGU)
Bagian Kesatu
Areal Pada Penggunaan Kawasan Hutan dengan Cara
Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Pasal 23
(1) Berdasarkan keputusan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan Pasal 2 ayat (3), pemegang izin pinjam pakai
kawasan hutan dapat melakukan penebangan pohon dalam rangka pembukaan lahan,
yang pelaksanaannya wajib dilakukan secara bertahap sesuai dengan rencana kerja
pembukaan lahan tahunan, dengan membayar lunas kewajiban PSDH, DR dan
penggantian nilai tegakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pembukaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan penebangan
pohon, penyaradan, pembagian batang, pengukuran, pengumpulan kayu, dan pelaporan
di dalam arealnya.
(3) Pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan oleh Tenaga Teknis
pengukuran yang dimiliki oleh perusahaan atau menggunakan dari pihak lain.

Pasal 24
Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan diwajibkan menyampaikan Bank Garansi dari bank
pemerintah yang besarnya 3/12 (tiga per dua belas) dari taksiran volume tebangan
berdasarkan rekapitulasi LHC pada saat persetujuan prinsip izin pinjam pakai kawasan hutan.
Pasal 25
Dalam hal areal izin pinjam pakai berada di kawasan hutan yang tidak dibebani atau dibebani
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, kayu hasil penebangan dalam rangka pembukaan
lahan menjadi milik pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan.
Pasal 26
Prosedur pengenaan PSDH, DR dan pengganti nilai tegakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1), sebagai berikut :
a. Kayu hasil penebangan dalam rangka pembukaan lahan wajib dilakukan pengukuran yang
hasilnya dicatat ke dalam buku ukur.
b. Berdasarkan buku ukur, pemegang izin pinjam pakai wajib membuat usulan LHP.
c. Usulan LHP sebagaimana tersebut huruf b, dilaporkan untuk dimintakan pengesahan oleh
pemegang izin pinjam pakai kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota dengan
tembusan Kepala Dinas Provinsi, Kepala Balai, dan Kepala BPKH dengan dilampiri :
1. Fotocopy izin pinjam pakai;
2. Laporan hasil produksi; dan
3. Bukti penyampaian Bank Garansi dari bank pemerintah.
d. Berdasarkan laporan tersebut, Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat memerintahkan
Pejabat Pengesah Laporan Hasil Produksi (P2LHP) untuk dilakukan pemeriksaan atas
kesesuaian :
1. Areal penebangan berdasarkan lokasi sesuai izin pinjam pakai; dan
2. LHP dengan fisik kayu.
e. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan telah sesuai, P2LHP melakukan pengesahan LHP
sebagai dasar pengenaan PSDH, DR, dan pengganti nilai tegakan.
f. Berdasarkan LHP yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada huruf e, Pejabat
Penagih menerbitkan SPP-PSDH, SPP-DR dan SPP-GR.
g. Setelah terbitnya SPP sebagaimana dimaksud huruf f, maka paling lambat 6 (enam) hari
kerja Wajib Bayar harus melunasi melalui Bank Persepsi yang telah ditetapkan.
Pasal 27
Dalam hal pembayaran PSDH, DR, penggantian nilai tegakan dan kewajiban-kewajiban lain
telah dipenuhi, diterbitkan dokumen Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB)/FA-KB sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Areal Kawasan Hutan Yang Telah Dilepas Dan Dibebani Hak Guna Usaha (HGU)
Pasal 28
(1) Dalam hal pada areal kawasan hutan yang telah dilepas dan dibebani HGU masih terdapat
hasil hutan kayu dari pohon yang tumbuh secara alami sebelum terbitnya HGU, tetap
dikenakan PSDH, DR dan pengganti nilai tegakan, tanpa melalui IPK.
(2) Hasil hutan kayu dari pohon yang tumbuh secara alami sebelum terbitnya HGU
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang HGU wajib melaporkan kepada Kepala
Dinas Kabupaten/Kota.
Pasal 29
Prosedur pengenaan PSDH, DR, dan penggantian nilai tegakan atas hasil hutan kayu dari pohon
yang tumbuh secara alami pada areal kawasan hutan yang telah dilepaskan dan telah dibebani
HGU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, sebagai berikut :
a. Pemegang HGU mengajukan pengenaan PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan kepada
Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat, dengan dilampiri :
1. Fotocopy HGU yang telah dilegalisir pejabat yang berwenang;
2. Fotocopy akte pendirian perusahaan pemegang HGU atau fotocopy KTP apabila
pemegang HGU perorangan;
3. Daftar perkiraan potensi kayu bulat yang akan dibayar; dan
4. Keputusan Menteri Kehutanan tentang Pelepasan Kawasan Hutan.
b. Atas dasar laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), Kepala Dinas
Kabupaten/Kota setempat memerintahkan Tenaga Teknis (GANIS) dan Pengawas Tenaga
Teknis (WASGANIS) PHPL-PKBR untuk melakukan pengukuran volume kayu yang akan
dibayar dan selanjutnya dibuatkan Daftar Kayu Bulat (DKB) sebagai dasar pengenaan
PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan.
c. Berdasarkan Daftar Kayu Bulat (DKB) yang dibuat pejabat pembuat DKB, Kepala Dinas
Kehutanan Kabupaten/Kota memerintahkan Pejabat Penagih PSDH, DR dan Kepala Balai
memerintahkan Pejabat Penagih penggantian nilai tegakan, untuk menerbitkan SPP-PSDH,
SPP-DR dan SPP ganti rugi nilai tegakan.
d. Atas SPP-PSDH, SPP-DR dan SPP ganti rugi nilai tegakan, pemegang HGU melakukan
pembayaran di Bank Persepsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Atas bukti setor PSDH, DR dan ganti rugi nilai tegakan yang setoran tersebut telah masuk
ke rekening Bendaharawan Penerima Kementerian Kehutanan, pemegang HGU dapat
mengajukan permohonan pengangkutan kayu bulat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB V
KAYU DARI HASIL KEGIATAN PENYIAPAN LAHAN
DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN
Pasal 30
(1) Pemegang IUPHHK-HT wajib membayar penggantian nilai tegakan dari kegiatan
penyiapan lahan dalam pembangunan hutan tanaman, tanpa melalui IPK.
(2) Kayu dari hasil kegiatan penyiapan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dimasukan dalam RKT.
Pasal 31
Terhadap hasil kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), pemegang IUPHHK-HT
diwajibkan untuk :
a. Melakukan timber cruising pada areal yang akan dilakukan penyiapan lahan dengan
intensitas 5% (lima persen) untuk semua pohon dan diselesaikan dalam jangka waktu
paling lambat 25 (dua puluh lima) hari kerja sejak diterimanya surat perintah dan
membuat Rekapitulasi Laporan Hasil Cruising (RLHC);
b. RLHC sebagaimana dimaksud huruf a, dituangkan dalam Berita Acara yang digunakan
sebagai dasar pengesahan RKT sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan
c. Menyampaikan pernyataan kesediaan untuk membayar penggantian nilai tegakan dari
hasil kegiatan penyiapan lahan yang dibuat di atas kertas bermaterai berisi nama
perusahaan, alamat, nama pengurus, dan kesanggupan membayar.

(1) Penatausahaan kayu


perundang-undangan.

Pasal 32
IUPHHK-HT dilakukan

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

(2) Selain membayar penggantian nilai tegakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1), pemegang IUPHHK-HT tetap diwajibkan membayar PSDH dan DR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Volume kayu untuk perhitungan penggantian nilai tegakan dihitung berdasarkan volume
pada Laporan Hasil Produksi (LHP).
(4) Berdasarkan LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat Penagih SPP-GR
menerbitkan SPP-GR kepada pemegang IUPHHK-HT.

BAB VI
TATA CARA PENGENAAN DAN PENYETORAN PENGGANTIAN NILAI TEGAKAN DARI
HASIL IPK, PENYIAPAN LAHAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN, PINJAM
PAKAI KAWASAN HUTAN DAN AREAL KAWASAN HUTAN YANG TELAH DILEPAS DAN
DIBEBANI HAK GUNA USAHA (GHU)
Bagian Kesatu
Tata Cara Untuk Pemegang Izin Pemanfaatan Kayu
Pasal 33
(1) Pejabat penagih SPP-GR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 3, Pasal 18 ayat (3)
dan Pasal 26 huruf f, menerbitkan SPP-GR berdasarkan harga patokan yang ditetapkan
oleh Menteri Perdagangan setalah dikurangi kewajiban PSDH, DR dan biaya produksi.
(2) Biaya produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Menteri, dengan
memperhatikan pertimbangan Direktur Jenderal dan masukan dari Asosiasi Pengusaha
Hutan Indonesia (APHI) dan dapat diterbitkan setiap 6 (enam) bulan.
Pasal 34
(1) SPP-GR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), Pasal 18 ayat (3), dan Pasal 26
huruf f, ditembuskan kepada :
a. Lembar pertama untuk wajib bayar;
b. Lembar kedua untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
c. Lembar ketiga untuk Kepala Dinas Provinsi;
d. Lembar keempat untuk Kepala Balai; dan
e. Lembar kelima untuk arsip pejabat penagih.
(2) Berdasarkan SPP-GR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IPK melakukan
pembayaran ke Rekening Bendaharawan Penerima MK PNBP Ganti Rugi Nilai Tegakan
Nomor : 102 0005361917 pada Bank Mandiri Cabang Jakarta Gedung Pusat Kehutanan.
(3) Bukti Setor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada Kepala Balai dan
kepada Pejabat Penerbit SKSKB untuk diterbitkan Surat Keterangan Sah Kayu Bulat
(SKSKB).
(4) Kepala Balai setiap 3 (tiga) bulan sekali wajib menyampaikan laporan atas penerbitan SPPGR kepada Direktur Jenderal, dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal, Kepala Dinas
Provinsi, dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.

Bagian Kedua
Tata Cara Untuk Kegiatan Penyiapan Lahan
Dalam Pembangunan Hutan Tanaman
Pasal 35
(1) Pejabat penagih SPP-GR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4), menerbitkan
SPP-GR berdasarkan harga patokan yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan setelah
dikurangi kewajiban PSDH, DR dan biaya produksi.
(2) Biaya produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Menteri, dengan
memperhatikan pertimbangan Direktur Jenderal dan masukan Asosiasi Pengusaha Hutan
Indonesia (APHI) dan dapat diterbitkan setiap 6 (enam) bulan.
Pasal 36
(1) SPP-GR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) ditembuskan kepada :
a. Lembar pertama untuk wajib bayar;
b. Lembar kedua untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
c. Lembar ketiga untuk Kepala Dinas Provinsi;
d. Lembar keempat untuk Kepala Balai; dan
e. Lembar kelima untuk arsip pejabat penagih.
(2) Berdasarkan SPP-GR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUPHHK-HT
melakukan pembayaran ke Rekening Bendaharawan Penerima MK PNBP Ganti Rugi Nilai
Tegakan Nomor : 102 0005361917 pada Bank Mandiri Cabang Jakarta Gedung Pusat
Kehutanan.
(3) Bukti Setor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada Kepala Balai dan
kepada Pejabat Penerbit SKSKB untuk diterbitkan Surat Keterangan Sah Kayu Bulat
(SKSKB).
(4) Kepala Balai setiap 3 (tiga) bulan sekali wajib menyampaikan laporan atas penerbitan SPPGR kepada Direktur Jenderal, dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal, dan Kepala
Dinas Provinsi.
Bagian Ketiga
Tata Cara Untuk Areal Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan Areal Kawasan Hutan Yang
Telah Dilepas dan Dibebani Hak Guna Usaha (HGU)
Pasal 37
(1) Pejabat penagih SPP-GR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f dan Pasal 29 huruf
c, menerbitkan SPP-GR berdasarkan harga patokan yang telah ditetapkan oleh Menteri
Perdagangan setelah dikurangi kewajiban PSDH, DR dan biaya produksi.

(2) Biaya produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Menteri, dengan
memperhatikan pertimbangan Direktur Jenderal dan masukan Asosiasi Pengusaha Hutan
Indonesia (APHI) dan dapat diterbitkan setiap 6 (enam) bulan.
Pasal 38
(1) SPP-GR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f dan Pasal 29 huruf c, ditembuskan
kepada :
a. Lembar pertama untuk wajib bayar;
b. Lembar kedua untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
c. Lembar ketiga untuk Kepala Dinas Provinsi;
d. Lembar keempat untuk Kepala Balai; dan
e. Lembar kelima untuk arsip pejabat penagih.
(2) Berdasarkan SPP-GR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang izin pinjam pakai
kawasan hutan dan pemegang HGU melakukan pembayaran ke Rekening Bendaharawan
Penerima MK PNBP Ganti Rugi Nilai Tegakan Nomor : 102 0005361917 pada Bank
Mandiri Cabang Jakarta Gedung Pusat Kehutanan.
(3) Bukti Setor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada Kepala Balai dan
kepada Pejabat Penerbit SKSKB untuk diterbitkan Surat Keterangan Sah Kayu Bulat
(SKSKB).
(4) Kepala Balai setiap 3 (tiga) bulan sekali wajib menyampaikan laporan atas penerbitan SPPGR kepada Direktur Jenderal, dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal, dan Kepala
Dinas Provinsi.
(5) Format blanko SPP-GR, sebagaimana tercatum pada lampiran Peraturan ini.
BAB VII
HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN
BAGI PEMEGANG IZIN PEMANFAATAN KAYU
Pasal 39
Pemegang IPK mempunyai hak sebagai berikut :
a. Melaksanakan kegiatan penebangan kayu sesuai dengan izin yang diberikan; dan
b. Melaksanakan kegiatan pengangkutan, pengolahan dan atau pemasaran atas hasil hutan kayu
sebagaimana dimaksud butir a, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
Pemegang IPK wajib melaksanakan ketentuan sebagai berikut :
a. Membayar penggantian nilai tegakan dari IPK;

b. Membayar PSDH dan DR;


c. Membuat dan menyampaikan laporan bulanan atas pelaksanaan kegiatan IPK sesuai
peraturan perundang-undangan;
d. Melaksanakan kegiatan nyata di lapangan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah diterbitkannya IPK;
e. Melaksanakan kegiatan IPK berdasarkan Bagan Kerja;
f. Melaksanakan penatausahaan hasil hutan dari areal IPK sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
g. Mengamankan areal IPK dari berbagai macam gangguan keamanan dan kebakaran hutan;
dan
h. Menaati segala ketentuan dibidang kehutanan.
Pasal 41
Dalam mencegah penyalahgunaan IPK untuk kegiatan perkebunan, maka IPK dilakukan :
a. Untuk luas IPK tahap I disesuaikan dengan ketersediaan jumlah bibit tanaman perkebunan
yang tersedia; dan
b. Pemberian luas IPK tahap berikutnya diberikan berdasarkan kemampuan realisasi luas
penanaman tanaman perkebunan pada tahap I IPK.
BAB VIII
PERPANJANGAN IZIN PEMANFAATAN KAYU
Pasal 42
(1) IPK diberikan paling lama untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, dan dapat diperpanjang 1
(satu) kali.
(2) Permohonan perpanjangan IPK disampaikan kepada Pejabat
kewenangannya, dan diajukan 2 (dua) bulan sebelum IPK berakhir.

Penerbit

IPK

sesuai

Pasal 43
(1) Permohonan perpanjangan IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), dilampiri
dengan persyaratan :
a. peta lokasi yang dimohon;
b. laporan kemajuan pelaksanaan penggunaan lahan;
c. laporan realisasi IPK dari tahun sebelumnya; dan
d. tanda bukti pelunasan pembayaran PSDH dan DR serta penggantian nilai tegakan dari
pelaksanaan IPK tahun sebelumnya.
(2) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi, diterbitkan
perpanjangan IPK oleh pejabat penerbit IPK.

BAB IX
PERALATAN UNTUK KEGIATAN IPK
Pasal 44
(1) IPK yang diberikan kepada pemegang izin dan izin pinjam pakai kawasan hutan, termasuk
dan berlaku juga sebagai Izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan ke dalam areal Izin
Pemanfaatan Kayu dalam rangka pelaksanaan kegiatan izin.
(2) Kebutuhan jumlah alat bagi pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), cukup melaporkan kepada Kepala Dinas Provinsi.
Pasal 45
(1) Kebutuhan jumlah alat pada IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1),
disesuaikan dengan kebutuhan luas areal kerja IPK dan potensi kayu yang sekaligus
dicantumkan dalam Keputusan pemberian IPK.
(2) Pemegang IPK yang akan menambah, mengurangi atau mengganti alat, wajib melaporkan
kepada pejabat penerbit izin IPK.
(3) Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan yang akan menambah, mengurangi atau
mengganti alat, wajib melaporkan kepada Kepala Dinas Provinsi.
Pasal 46
(1) Dalam hal terdapat kayu hasil penebangan IPK yang masih berada dalam areal kerja,
sedangkan IPK tersebut telah berakhir, dapat diterbitkan izin alat untuk kepentingan
mengangkut kayu dimaksud.
(2) Izin alat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan oleh pejabat penerbit IPK sesuai
kewenangannya.
BAB X
PEMBINAAN, PENGENDALIAN, DAN PELAPORAN
BAGI PELAKSANAAN IZIN PEMANFAATAN KAYU
Pasal 47
(1) Direktur Jenderal melakukan pembinaan dan pengendalian teknis atas pelaksanaan IPK yang
diterbitkan oleh Kepala Dinas Provinsi.
(2) Kepala Dinas Provinsi melakukan pembinaan dan pengendalian teknis atas pelaksanaan IPK
yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota.

Pasal 48
(1) Kepala Dinas Provinsi melakukan pengendalian atas pelaksanaan IPK yang diterbitkan sesuai
kewenangannya.
(2) Kepala Dinas Kabupaten/Kota melakukan pengendalian atas pelaksanaan IPK yang
diterbitkan sesuai kewenangannya.
Pasal 49
(1) Pemegang IPK wajib menyampaikan laporan bulanan atas realisasi IPK kepada Kepala Dinas
Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
(2) Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota wajib membuat dan menyampaikan
rekapitulasi laporan bulanan kepada Direktur Jenderal atas realisasi IPK.
BAB XI
HAPUSNYA DAN SANKSI BAGI IZIN PEMANFAATAN KAYU
Bagian Kesatu
Hapusnya Izin Pemanfaatan Kayu
Pasal 50
(1) IPK hapus karena :
a. Jangka waktu yang diberikan telah berakhir;
b. Dicabut oleh pemberi izin sebagai sanksi; atau
c. Diserahkan kembali kepada pemberi izin sebelum jangka waktu izin berakhir.
(2) Dengan berakhirnya IPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak menghapus kewajiban
pemegang izin untuk :
a. Melunasi pembayaran PSDH dan DR;
b. Melunasi pembayaran penggatian nilai tegakan; atau
c. Melaksanakan semua ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam rangka berakhirnya
IPK sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bagian Kedua
Sanksi Bagi Izin Pemanfaatan Kayu
Pasal 51
(1) IPK dapat dicabut, apabila pemegang IPK :
a. Tidak melaksanakan kegiatan pemanfaatan kayu secara nyata dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari diterbitkannya IPK;
b. Meninggalkan areal IPK selama 45 (empat puluh lima) hari berturut-turut sebelum IPK
berakhir;

c. Memindahtangankan IPK tanpa seizin pemberi izin; atau


d. Melakukan tindak pidana kehutanan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004.
(2) Sanksi pencabutan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b,
dan c didahului dengan peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu masingmasing peringatan 20 (dua puluh) hari kerja, oleh pemberi izin.
(3) Sanksi pencabutan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
tanpa diberi peringatan terlebih dahulu setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
Pasal 52
(1) Pemegang IPK atau pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dikenakan sanksi :
a. Pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1990 jo. Undang-undang Nomor 19
Tahun 2004, apabila melakukan penebangan diluar areal izin peruntukan dan/atau izin
pinjam pakai.
b. Denda sebesar 15 kali PSDH dan ditambah membayar PSDH, DR dan penggantian nilai
tegakan kayu, apabila :
1. Melakukan penebangan diluar areal IPK tetapi masih di dalam areal izin peruntukan.
2. Melakukan pembukaan lahan dengan tidak melaksanakan secara bertahap sesuai
dengan rencana kerja pembukaan lahan tahunan yang telah ditetapkan dalam izin
pinjam pakai kawasan hutan.
3. Melakukan penebangan sebelum IPK diterbitkan.
4. Tidak membuat LHP atas kayu yang ditebang.
c. Penghentian sementara kegiatan di lapangan, apabila tidak melaporkan penambahan,
pengurangan atau penggantian peralatan.
(2) Pemegang izin sah lainnya (seperti izin perkebunan, transmigrasi, dan lain-lain)
dikenakan sanksi :
a. Pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1990 jo. Undang-undang Nomor
19 Tahun 2004, apabila melakukan penebangan diluar areal izin peruntukan.
b. Denda sebesar 15 kali PSDH dan ditambah membayar PSDH, DR dan penggantian nilai
tegakan kayu, apabila melakukan penebangan di areal izin peruntukannya, tanpa
memiliki IPK untuk volume tegakan lebih dari 50 meter kubik.
(3) Tata cara pengenaan sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c
dan ayat (2) huruf b, mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan yang mengatur tentang
Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan.

BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 53
(1) Mekanisme pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) diatur sebagaimana pemanfaatan
kayu sesuai peraturan ini.
(2) Dalam hal pada areal yang akan dibebani IPK terdapat hasil hutan bukan kayu (HHBK), izin
pemanfaatannya dimasukan dalam IPK.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
(1) IPK yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2009,
tetap berlaku sampai dengan izin berakhir.
(2) Permohonan IPK yang telah diajukan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.58/Menhut-II/2009, tahap selanjutnya diproses sesuai dengan Peraturan ini.
(3) Khusus permohonan IPK pada HPK yang telah dikonversi dan telah diajukan permohonannya
kepada Bupati/Walikota berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/MenhutII/2009, berkas permohonan diserahkan kepada Dinas Kehutanan Provinsi untuk diproses
sesuai dengan peraturan ini.
Pasal 55
Bagi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang telah terbit sebelum berlakunya Peraturan ini, sudah
termasuk sebagai izin pemanfaatan kayu, izin pemasukan dan penggunaan peralatan dalam
rangka pelaksanaan kegiatan pembukaan lahan.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Pada saat Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku :
a. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2009 tentang Penggantian Nilai Tegakan
Dari Izin Pemanfaatan Kayu Dan Atau Dari Penyiapan Lahan Dalam Pembangunan Hutan
Tanaman;
b. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.4/Menhut-II/2008 tentang Norma Standar, Prosedur,
Kriteria Pemberian Izin Pemasukan dan Penggunaan Peralatan Untuk Kegiatan Izin
Pemanfaatan Kayu; dan

c. Khusus ketentuan izin peralatan untuk kegiatan Izin Pemanfaatan Kayu, sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/Menhut-II/2009 tentang Pemasukan dan
Penggunaan Alat Untuk Kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan atau Izin Pemanfaatan Kayu,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 57
Peraturan Menteri Kehutanan ini berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Maret 2011
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 15 Maret 2011
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 142
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
ttd
KRISNA RYA, SH, MH
NIP. 19590730 199003 1 001

Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan tentang Izin Pemanfaatan Kayu


Nomor
: P.14/Menhut-II/2011
Tanggal
: 10 Maret 2011

SURAT PERINTAH PEMBAYARAN PENGGANTIAN NILAI TEGAKAN (SPP-GR)


Nomor :
No. Urut
I.

Bulan

Tahun

IDENTITAS PERUSAHAAN
1. Nama Perusahaan

:..................................................................................

2. Referensi 15 Digit

3. Alamat

:..................................................................................

4. Lokasi Tebangan

:..................................................................................

II. PERHITUNGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN


1. a. SPP GR = Harga Patokan (PSDH+DR+Biaya Produksi)
b. Nilai Kurs US$
:....................................................................................
2. LHP
a. Nomor
b. Tanggal

:.....................................................................................
:.....................................................................................

3. Jumlah Kewajiban Pembayaran


No.
Kelompok Jenis
Volume (m/SM/ton)
Jumlah

Jumlah (Rp.)

Keterangan

III. BANK PENERIMA SETORAN


Penyetoran Ganti Rugi Nilai Tegakan (GRT) untuk rekening Bendaharawan Penerima
Setoran Ganti Rugi Nilai Tegakan pada Bank Mandiri Jakarta Gedung Pusat Kehutanan
Nomor Rekening 102-00-0536191-7.
Tanggal, bulan, tahun diterbitkan
Pejabat Penagih,

NIP./No. Reg. ..........................


Catatan :
- Lembar Pertama untuk Wajib Bayar;
- Lembar Kedua untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
- Lembar Ketiga untuk Kepala Provinsi;
- Lembar Keempat untuk UPT Ditjen BPK;
- Lembar Kelima untuk Arsip Pejabat Penagih.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
ttd
KRISNA RYA, SH, MH
NIP. 19590730 199003 1 001

MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ZULKIFLI HASAN

15. Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia

Nomor

P.17/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri


Kehutanan

Republik

Indonesia

Nomor

P.33/Menhut-II/2010

tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang


Dapat Dikonversi.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : P.17/Menhut-II/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR
P.33/MENHUT-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN
HUTAN
PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang

a.

b.

c.

Mengingat

1.

2.

bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor


P.33/Menhut-II/2010 telah ditetapkan Tata Cara Pelepasan
Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi;
bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan untuk
mencegah
terjadinya
permasalahan
antara
perusahaan
perkebunan dengan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan
hutan, perlu mengatur mengenai perimbangan areal perkebunan
inti dan plasma;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.33/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan
Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi;
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4412);
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia


Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3844);
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059);
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 4452);
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 4453), sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5056);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5097);
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban
dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5098);

12.

13.
14.

15.
16.

17.

18.

Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang


Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5103);
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009
tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010
tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta
Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I;
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009
tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2009
tentang Penggantian Nilai Tegakan dari Izin Pemanfaatan Kayu
dan/atau dari Penyiapan Lahan dalam Pembangunan Hutan
Tanaman (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
289);
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2010
tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang
Dapat Dikonversi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 377);
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);
MEMUTUSKAN :

Menetapkan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PERUBAHAN


ATAS
PERATURAN
MENTERI
KEHUTANAN
NOMOR
P.33/MENHUT-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN
KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI.
Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2010


tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi, diubah
sebagai berikut :
1. Menambah Pasal baru diantara Pasal 4 dan Pasal 5, yakni Pasal 4a yang berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 4a
(1)

(2)

Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang akan dilepaskan untuk
kepentingan pembangunan perkebunan, diatur pelepasannya dengan komposisi
80% (delapan puluh perseratus) untuk perusahaan perkebunan dan 20% (dua
puluh perseratus) untuk kebun masyarakat dari total luas kawasan hutan yang
dilepaskan dan dapat diusahakan oleh perusahaan perkebunan.
Perusahaan perkebunan yang menerima 80% (delapan puluh perseratus) dari
kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi yang dilepaskan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diwajibkan melakukan kemitraan pembangunan kebun
masyarakat melalui sepengetahuan Bupati/Walikota.

2. Menambah 1 angka baru yaitu angka 3 pada Pasal 7 ayat (1) huruf e, sehingga
keseluruhan Pasal 7 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1)

Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, meliputi :


a. surat permohonan yang dilampiri dengan peta kawasan hutan yang dimohon
pada peta dasar dengan skala minimal 1 : 100.000;
b. izin lokasi dari gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya;
c. izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan;
d. rekomendasi gubernur atau bupati/walikota, dilampiri peta kawasan hutan
yang dimohon pada peta dasar dengan skala minimal 1 : 100.000; dan
e. pernyataan kesanggupan dalam bentuk Akta Notaris kecuali permohonan oleh
Pemerintah untuk :
1. memenuhi ketentuan peraturan perUndang-undangan;
2. tidak akan mengalihkan persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan
yang diperoleh tanpa persetujuan Menteri;
3. membangun kebun untuk masyarakat di sekitar kawasan hutan dengan
luas paling sedikit 20% (dua puluh perseratus) dari total luas kawasan
yang dilepaskan dan dapat diusahakan oleh perusahaan untuk
perkebunan, dan dilampiri dengan daftar nama-nama masyarakat yang
diketahui oleh Camat dan Kepala Desa/Lurah, bagi pemohon untuk
perkebunan.
Pasal II

Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Maret 2011
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Maret 2011
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 166
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
ttd.
KRISNA RYA, SH, MH
NIP. 19590730 199003 1 001


16. Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia

Nomor

P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan


Hutan.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : P.18/Menhut-II/2011
TENTANG
PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (3), Pasal 6 ayat (4), Pasal 7
ayat (3), Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (3), Pasal 14, Pasal 19 ayat (3), Pasal 22
dan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan
Kawasan Hutan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan;

Mengingat

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam


Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan
Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);
5. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169);
6. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 4437), yang telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4844);
7. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
8. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5059);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4216);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4435),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun
2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004
tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4530);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
(Lembaran Negara republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4453,
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun
2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5056);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696), sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan


Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia


Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan
Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan
Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4813);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4833);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan
Reklamasi Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4947);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5097);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5111);
22. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 30,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5112);
23. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum
Kehutanan Negara (Perum Perhutani) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 142);
24. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang
Kebijakan Energi Nasional;
25. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
26. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan


Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I;


27. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan
Hutan;
28. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);
Memperhatikan

Surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 4250/30/MEM.B/2010


tanggal 21 Juni 2010 perihal Penyusunan Kriteria Dampak Penting Cakupan Luas
dan Bernilai Strategis.
MEMUTUSKAN

Menetapkan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PEDOMAN PINJAM


PAKAI KAWASAN HUTAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan :


1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya
tidak dapat dipisahkan.
2.

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

3.

Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

4.

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

5.

Penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan
tersebut.

6.

Penggunaan kawasan hutan yang bersifat non komersial adalah penggunaan kawasan hutan yang
bertujuan tidak mencari keuntungan dan pengguna barang/jasa tidak dikenakan tarif.

7.

Penggunaan kawasan hutan yang bersifat komersial adalah penggunaan kawasan hutan yang
bertujuan mencari keuntungan dan pengguna barang/jasa dikenakan tarif.

8.

Izin pinjam pakai kawasan hutan adalah izin yang diberikan untuk menggunakan kawasan hutan
untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan
peruntukan kawasan hutan.


9.

Kompensasi lahan adalah salah satu kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan untuk
menyediakan dan menyerahkan lahan bukan kawasan hutan atau membayar sejumlah dana yang
dijadikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagai pengganti lahan kompensasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

10.

Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan yang selanjutnya disebut PNBP
Penggunaan Kawasan Hutan adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari
penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang
berlaku pada Kementerian Kehutanan sebagai pengganti lahan kompensasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

11.

Kondisi calon lahan kompensasi yang tidak bermasalah di lapangan (de facto) dan hukum (de jure)
adalah kondisi calon lahan kompensasi yang tidak jelas statusnya, tidak dalam sengketa, tidak
dalam penguasaan pihak yang tidak berhak dan tidak dibebani hak atas tanah tertentu serta tidak
dikelola oleh pihak lain.

12.

Reklamasi hutan adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali hutan atau lahan dan
vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat penggunaan kawasan hutan agar dapat
berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.

13.

Reboisasi adalah upaya penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak berupa lahan
kosong, alang-alang atau semak belukar untuk mengembalikan fungsi hutan.

14.

L1 adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 yaitu area
terganggu karena penggunaan kawasan hutan untuk sarana prasarana penunjang yang bersifat
permanen selama jangka waktu penggunaan kawasan hutan, dan bukan tambang aktif yang
selanjutnya dikenakan 1 (satu) kali tarif PNBP Penggunaan Kawasan Hutan.

15.

L2 adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 yaitu area
terganggu karena penggunaan kawasan hutan yang bersifat temporer yang secara teknis dapat
segera dilakukan reklamasi yang selanjutnya dikenakan 4 (empat) kali tarif PNBP Penggunaan
Kawasan Hutan.

16.

L3 adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 yaitu area
terganggu karena penggunaan kawasan hutan yang bersifat permanen yang secara teknis tidak
dapat dilakukan reklamasi yang selanjutnya dikenakan 2 (dua) kali tarif PNBP Penggunaan
Kawasan Hutan sampai areal diserahkan kembali.

17.

Baseline penggunaan kawasan hutan adalah deskripsi secara kuantitatif dan kualitatif kondisi awal
penutupan lahan areal pinjam pakai pada masing-masing kategori L1, L2, dan L3 yang
mengklasifikasikan kondisi lahan yang dapat direvegetasi atau tidak dapat direvegetasi sebagai
dasar penilaian keberhasilan reklamasi.

18.

Kegiatan pengambilan contoh ruah adalah kegiatan eksplorasi tambang untuk mengambil contoh
mineral dan batubara.

19.

Luas efektif izin pemanfaatan hutan adalah luas areal izin pemanfaatan hutan dikurangi dengan
luas sarana dan prasarana serta kawasan lindung.

20.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.

Bagian Kedua
Umum
Pasal 2
Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.
Pasal 3
(1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat diberikan di
dalam :
a. kawasan hutan produksi; dan/atau
b. kawasan hutan lindung.
(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa mengubah
fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu
serta kelestarian lingkungan.
Pasal 4
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya
dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan.
(2) Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi :
a. religi antara lain tempat ibadah, tempat pemakaman dan wisata rohani;
b. pertambangan meliputi pertambangan minyak dan gas bumi, mineral, batubara dan panas bumi
termasuk sarana dan prasarana;
c. instalasi pembangkit, transmisi dan distribusi listrik serta teknologi energi baru dan terbarukan;
d. jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio dan stasiun relay televisi;
e. jalan umum, jalan tol dan jalur kereta api;
f. prasarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai prasarana transportasi umum untuk
keperluan pengangkutan hasil produksi;
g. sarana dan prasarana sumberdaya air, pembangunan jaringan instalasi air dan saluran air bersih
dan/atau air limbah;
h. fasilitas umum;
i. industri terkait kehutanan;
j. pertahanan dan keamanan, antara lain pusat latihan tempur, stasiun radar, dan menara
pengintai;
k. prasarana penunjang keselamatan umum antara lain keselamatan lalu lintas laut, lalu lintas
udara dan sarana meteorologi, klimatologi dan geofisika; atau
l. penampungan sementara korban bencana alam.
(3) Prasarana transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f antara lain pembangunan
jalan, kanal, pelabuhan atau sejenisnya untuk keperluan pengangkutan hasil produksi
pertambangan, perkebunan, pertanian, perikanan atau lainnya.
Pasal 5
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan :
a. dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan :


1. penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan


2. penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah.
b. dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan
bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan :
1. turunnya permukaan tanah;
2. berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan
3. terjadinya kerusakan akuiver air tanah.
c. bagi 13 (tiga belas) izin/perjanjian di bidang pertambangan sebagaimana ditetapkan dalam
Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun
2004 dapat dilakukan tambang terbuka di hutan lindung.
(2) Penggunaan kawasan hutan lindung untuk penambangan bawah tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 6
(1) Kegiatan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang dapat menunjang
pengelolaan hutan dan pembiayaannya bersumber dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
kabupaten/kota dapat dilakukan dengan mekanisme kerjasama dan menjadi bagian pengelolaan
hutan.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan :
a. pembangunan bak penampungan air;
b. pembangunan embung;
c. pembangunan kanal/saluran air;
d. tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dengan produk akhir antara lain kompos untuk
digunakan sebagai pupuk; dan
e. penanaman oleh pihak di luar kehutanan untuk kegiatan reklamasi dan rehabilitasi hutan.
(3) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari
Menteri selanjutnya dibuat perjanjian kerjasama, dengan ketentuan :
a. dalam hal kerjasama dilakukan pada kawasan hutan yang berada dalam wilayah kerja Perum
Perhutani, perjanjian kerjasama dilakukan antara pengguna kawasan hutan dengan Direktur
Utama Perum Perhutani;
b. dalam hal kerjasama dilakukan pada kawasan hutan yang berada di luar wilayah kerja Perum
Perhutani, perjanjian kerjasama dilakukan antara pengguna kawasan hutan dengan Kepala
Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan sesuai
kewenangannya; dan
c. dalam hal sudah terbentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), maka perjanjian kerjasama
sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan antara pengguna kawasan hutan dengan Kepala
KPH.
(4) Dokumen perjanjian kerjasama dan peta lampiran perjanjian kerjasama sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) disampaikan kepada Menteri.
(5) Pelaksanaan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan secara berkala kepada
Menteri sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 7
(1) Penggunaan kawasan hutan dilakukan berdasarkan izin pinjam pakai kawasan hutan.
(2) Izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
ketentuan :
a. Izin pinjam pakai kawasan hutan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30%


(tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, dengan
kompensasi lahan;
1. Ratio 1:1 nonkomersial ditambah dengan luas rencana areal terganggu dengan kategori L3;
2. Ratio 1:2 komersial ditambah dengan luas rencana areal terganggu dengan kategori L3;
dan
3. Jika realisasi L3 lebih luas dari rencana L3 sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) dan
angka 2 (dua), maka luas lahan kompensasi ditambah dengan luas perbedaan dari selisih
antara rencana L3 dengan realisasi L3.
b. Izin pinjam pakai kawasan hutan pada provinsi yang luas hutannya di atas 30% (tiga puluh
perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, dengan kompensasi
membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka
rehabilitasi daerah aliran sungai, dengan ketentuan :
1. penggunaan untuk nonkomersial dikenakan kompensasi membayar PNBP Penggunaan
Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai
dengan ratio 1:1;
2. penggunaan untuk komersial dikenakan kompensasi membayar PNBP Penggunaan
Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai
dengan ratio 1:1 ditambah dengan luas rencana areal terganggu dengan kategori L3.
c. Izin pinjam pakai kawasan hutan tanpa kompensasi lahan atau tanpa kompensasi membayar
PNBP Penggunaan Kawsan Hutan dan tanpa melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi
daerah aliran sungai, dengan ketentuan hanya untuk :
1. kegiatan pertahanan negara, sarana keselamatan lalu lintas laut atau udara, cek dam,
embung, sabo, dan sarana meteorologi, klimatologi dan geofisika;
2. kegiatan survei dan eksplorasi.
(3) Dalam hal kegiatan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 2 dilakukan
pengambilan contoh ruah sebagai uji coba tambang untuk kepentingan kelayakan ekonomi,
dikenakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 2 atau huruf b angka 2.
(4) Pelaksanaan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai, sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b diatur dalam Peraturan Menteri tersendiri.
Pasal 8
(1) Izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) diberikan oleh
Menteri berdasarkan permohonan.
(2) Kewenangan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilimpahkan kepada gubernur, dengan ketentuan untuk :
a. luasan paling banyak 1 (satu) hektar;
b. pembangunan fasilitas umum; dan
c. kegiatan yang bersifat nonkomersial.
(3) Tata cara dan persyaratan permohonan pinjam pakai kawasan hutan yang dilimpahkan kepada
gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku mutatis mutandis sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 9
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang berdampak penting dan cakupan luas serta
bernilai strategis, izin pinjam pakai kawasan hutan hanya dapat diberikan setelah mendapat
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Kriteria penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan yang berdampak penting dan cakupan
yang luas serta bernilai strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu :
a. pertambangan yang berada di dalam Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) yang
berasal dari Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang telah disetujui Dewan Perwakilan
Rakyat;
b. persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan dasar
pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan di seluruh WUPK yang menjadi Wilayah Izin Usaha
Pertambangan Khusus (WUPK).
(3) Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a perlu ada Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS) pada saat WPN menjadi WUPK sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 10
(1) Luas izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan pada kawasan hutan produksi
yang dibebani izin pemanfaatan hutan dapat dipertimbangkan paling banyak seluas 10% (sepuluh
perseratus) dari luas efektif setiap izin pemanfaatan hutan.
(2) Ketentuan paling banyak seluas 10% (sepuluh perseratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
antara lain dengan mempertimbangkan :
a. kelangsungan usaha izin pemanfaatan hasil hutan;
b. pada areal yang dimohon terdapat beberapa izin penggunaan kawasan hutan.
(3) Dalam hal kawasan hutan produksi yang dimohon untuk kegiatan pertambangan tidak dibebani izin
pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), luas izin pinjam pakai kawasan hutan
yang dapat dipertimbangkan paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari luas kawasan hutan
produksi kabupaten yang tidak dibebani izin pemanfaatan hutan.
(4) Luas izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan pada areal kerja Perum
Perhutani dapat dipertimbangkan paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari luas kesatuan
pengelolaan hutan Perum Perhutani.
(5) Dalam hal permohonan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan berada pada
kawasan hutan lindung, luas izin pinjam pakai kawasan hutan yang dapat dipertimbangkan paling
banyak 10% (sepuluh perseratus) dari luas kelompok hutan lindung yang bersangkutan.
(6) Ketentuan paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari luas kawasan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku bagi permohonan izin pinjam
pakai kawasan hutan untuk kegiatan tahap eksplorasi pertambangan.
BAB II
TATA CARA DAN PERSYARATAN PERMOHONAN
PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
Bagian Kesatu
Tata Cara Permohonan
Pasal 11
(1) Permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
diajukan oleh :
a. menteri atau pejabat setingkat menteri;
b. gubernur;
c. bupati/walikota;


d. pimpinan badan usaha; atau


e. ketua yayasan
(2) Permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
kepada Menteri.
Pasal 12
(1) Permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),
wajib memenuhi persyaratan :
a. administrasi; dan
b. teknis.
(2) Dokumen persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
dokumen asli atau copy dokumen yang dilegalisasi oleh instansi penerbit atau notaris.
Pasal 13
(1) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a, meliputi :
a. Surat permohonan yang dilampiri dengan peta lokasi kawasan hutan yang dimohon;
b. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi (IUP Eksplorasi)/Izin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi (IUP Operasi Produksi) atau Perizinan/Perjanjian lainnya yang telah diterbitkan oleh
pejabat sesuai kewenangannya, kecuali untuk kegiatan yang tidak wajib memiliki
perizinan/perjanjian;
c. Rekomendasi :
1. Gubernur untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang
diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan Pemerintah; atau
2. Bupati/Walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan
yang diterbitkan oleh Gubernur; atau
3. Bupati/Walikota untuk pinjam pakai kawasan hutan yang tidak memerlukan perizinan sesuai
bidangnya; dan
d. Pernyataan bermaterai cukup yang memuat :
1. kesanggupan untuk memenuhi semua kewajiban dan kesanggupan menanggung seluruh
biaya sehubungan dengan permohonan;
2. semua dokumen yang dilampirkan dalam permohonan adalah sah; dan
3. belum melakukan kegiatan di lapangan dan tidak akan melakukan kegiatan sebelum ada
izin dari Menteri.
(2) Rekomendasi Gubernur atau Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
memuat persetujuan atas penggunaan kawasan hutan yang dimohon, berdasarkan pertimbangan
teknis Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat yang membidangi
kehutanan dan Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan setempat.
(3) Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat :
a. letak dan lokasi areal yang dimohon sesuai fungsi kawasan hutan;
b. luas kawasan hutan yang dimohon dan dilukiskan dalam peta;
c. kondisi kawasan hutan antara lain tutupan vegetasi, ada tidaknya perizinan pada kawasan hutan
yang dimohon.
(4) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap berlaku selama proses pengurusan izin
pinjam pakai kawasan hutan.

Pasal 14
(1) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b meliputi :
a. rencana kerja penggunaan kawasan hutan dilampiri dengan peta lokasi skala 1:50.000 atau
skala terbesar pada lokasi tersebut dengan informasi luas kawasan hutan yang dimohon;
b. citra satelit terbaru dengan resolusi detail 15 (lima belas) meter atau resolusi lebih detail dari 15
(lima belas) meter dan hasil penafsiran citra satelit dalam bentuk digital dan hard copy yang
ditandatangani oleh pemohon dengan mencantumkan sumber citra satelit dan pernyataan
bahwa citra satelit dan hasil penafsiran benar;
c. AMDAL yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, kecuali untuk kegiatan yang tidak
wajib menyusun AMDAL, sesuai peraturan perundang-undangan atau dokumen lingkungan
sesuai peraturan perundang-undangan dan disahkan oleh instansi yang berwenang; dan
d. pertimbangan teknis Direktur Jenderal yang membidangi Mineral Batubara dan Panas Bumi pada
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk perizinan kegiatan pertambangan yang
diterbitkan oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, memuat informasi
antara lain bahwa areal yang dimohon di dalam atau di luar WUPK yang berasal dari WPN dan
pola pertambangan.
(2) Permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan survei atau eksplorasi, kelengkapan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk citra satelit dan AMDAL.
(3) Permohonan
keselamatan
kelengkapan
berupa surat

izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertahanan dan keamanan, sarana
lalu lintas laut dan udara, penampungan sementara korban bencana alam,
persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 hanya
permohonan dan rencana kerja penggunaan kawasan hutan.
Bagian Kedua
Penyelesaian Permohonan
Pasal 15

(1) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), memerintahkan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Planologi Kehutanan untuk :
a. melakukan penilaian persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud dalam pasal
13 dan pasal 14; dan
b. mengkoordinasikan pertimbangan teknis dari Eselon I terkait lingkup Kementerian Kehutanan
dan Direktur Utama Perum Perhutani dalam hal berada pada areal kerja Perum Perhutani.
(2) Dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dalam
jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja, menerbitkan surat pemberitahuan atas persyaratan
yang tidak lengkap berikut pengembalian berkas permohonan.
(3) Dalam hal permohonan memenuhi persyaratan, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dalam
jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja menyampaikan surat permintaan pertimbangan
teknis kepada :
a. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, apabila lokasi yang dimohon berada
pada kawasan hutan lindung.
b. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan, apabila lokasi yang dimohon berada pada kawasan
hutan produksi.
c. Direktur Utama Perum Perhutani, apabila lokasi yang dimohon berada pada wilayah kerja Perum
Perhutani.
(4) Berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal


Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam atau Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan atau
Direktur Utama Perum Perhutani dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja,
menyampaikan pertimbangan teknis kepada Direktur Jenderal Planologi Kehutanan.
(5) Dalam hal pertimbangan teknis belum diterima dan jangka waktu penyampaian pertimbangan
teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah berakhir, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan
dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja memprakarsai rapat pembahasan dalam
rangka memberikan pertimbangan teknis kepada Menteri.
(6) Berdasarkan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau hasil pembahasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dalam jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja menyampaikan pertimbangan atas permohonan pinjam pakai
kawasan hutan kepada Menteri.
(7) Dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan atas
nama Menteri menerbitkan surat penolakan.
(8) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima pertimbangan
teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (6), menerbitkan surat persetujuan prinsip penggunaan
kawasan hutan.
Bagian Ketiga
Kewajiban Pemegang Persetujuan Prinsip
Penggunaan Kawasan Hutan
Pasal 16
(1) Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (8)
memuat kewajiban :
a. melaksanakan tata batas kawasan hutan yang disetujui, dengan supervisi dari Balai Pemantapan
Kawasan Hutan;
b. melakukan inventarisasi tegakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dengan supervisi dari Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan;
c. membuat pernyataan dalam bentuk akta notaris yang memuat kesanggupan :
1. melaksanakan reklamasi dan reboisasi pada kawasan hutan yang sudah tidak dipergunakan
tanpa menunggu selesainya jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan;
2. melaksanakan perlindungan hutan sesuai peraturan perundang-undangan;
3. memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan baik pusat maupun daerah pada saat
melakukan monitoring dan evaluasi di lapangan;
4. menanggung seluruh biaya sebagai akibat adanya pinjam pakai kawasan hutan;
5. membayar :
a) penggantian nilai tegakan dan Provisi Sumber daya Hutan (PSDH) pada hutan tanaman
dari hasil tanaman dari IUPHHK-HT dan PSDH, Dana Reboisasi (DR) dan penggantian
nilai tegakan dari bukan hasil tanaman IUPHHK-HT sesuai peraturan perundangundangan; atau
b) PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan, dan kewajiban keuangan lainnya pada hutan
alam dari IUPHHK-HA, sesuai peraturan perundang-undangan; atau
c) PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan, dan kewajiban keuangan lainnya pada hutan
alam di luar areal IUPHHK-HA/HT, sesuai peraturan perundang-undangan.
6.

membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka
rehabilitasi daerah aliran sungai dalam hal kompensasi berupa pembayaran Penerimaan
Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka


rehabilitasi daerah aliran sungai sesuai ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b;
d. Dalam hal kawasan hutan yang disetujui berada pada areal yang telah dibebani izin
pemanfaatan hutan, mengganti :
1. biaya investasi pengelolaan/pemanfaatan hutan sesuai dengan luas areal pinjam pakai
kawasan hutan kepada pengelola/pemegang izin pemanfaatan hutan sesuai peraturan
perundang-undangan; dan
2. iuran izin yang telah dibayarkan oleh pemegang izin pemanfaatan berdasarkan luas areal
yang digunakan sesuai peraturan perundang-undangan.
(2) Untuk persetujuan prinsip dengan kewajiban menyediakan lahan kompensasi, selain kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang persetujuan prinsip wajib :
a. menyediakan dan menyerahkan lahan kompensasi yang tidak bermasalah di lapangan (de facto)
dan hukum (de jure) untuk ditunjuk menjadi kawasan hutan dengan ratio sesuai ketentuan
dalam pasal 7 ayat (2) huruf a;
b. melaksanakan tata batas lahan kompensasi yang telah ditunjuk menjadi kawasan hutan; dan
c. melakukan penanaman dalam rangka reboisasi lahan kompensasi yang telah ditunjuk menjadi
kawasan hutan.
(3) Untuk persetujuan prinsip dengan kewajiban membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan
melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai, selain kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyampaikan baseline penggunaan kawasan hutan.
Pasal 17
Pedoman penghitungan penggantian biaya investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf d angka 1 diatur dengan peraturan tersendiri.
Pasal 18
Kegiatan reboisasi atau penghutanan atas kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a, dengan ketentuan :
a. lahan kompensasi yang berada di dalam wilayah kerja Perum Perhutani, reboisasi atau
penghutanan dilaksanakan oleh pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan bekerja sama dengan
Perum Perhutani;
b. lahan kompensasi yang berada di luar wilayah kerja Perum Perhutani, reboisasi atau penghutanan
dilaksanakan oleh pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan bekerjasama dengan badan usaha
yang mempunyai kompetensi di bidang reboisasi; atau
c. lahan kompensasi yang telah ditunjuk menjadi kawasan hutan konservasi, reboisasi atau
penghutanan dilaksanakan oleh pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan bekerjasama dengan
pengelola atau instansi yang mengurusi kawasan hutan konservasi.
Pasal 19
(1) Dalam hal lokasi yang dimohon telah diterbitkan persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan
namun lokasinya akan digunakan untuk kepentingan nasional yang lebih tinggi dan mendesak yang
apabila ditunda mengakibatkan kerugian negara, persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan
dapat dibatalkan oleh Menteri.
(2) Terhadap pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan yang dibatalkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kesempatan untuk mengajukan permohonan baru
untuk mendapat lokasi lain pada provinsi dan luasan yang sama dan diberikan prioritas dalam
penyelesaian perizinannya.

Bagian Keempat
Dispensasi
Pasal 20
(1) Pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan dapat mengajukan permohonan
dispensasi untuk melakukan kegiatan kepada Menteri.
(2) Dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. hanya untuk kegiatan yang sifatnya mendesak dan apabila ditunda mengakibatkan kerugian
negara;
b. diberikan kepada pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan
usaha milik swasta yang berbagi pembiayaan dengan pemerintah; dan
c. diberikan untuk jangka waktu paling lama sesuai dengan jangka waktu persetujuan prinsip
penggunaan kawasan hutan dan tidak dapat diperpanjang.
(3) Bagi pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan dengan kompensasi lahan,
permohonan dispensasi diajukan apabila kewajiban dalam surat persetujuan prinsip penggunaan
kawasan hutan telah dipenuhi kecuali lahan kompensasi, dengan ketentuan menyampaikan
rencana kerja untuk menyediakan dan menyerahkan lahan kompensasi dengan Akta Notariil.
(4) Dispensasi untuk kegiatan penampungan sementara korban bencana alam, pertahanan dan
keamanan, dan kebijakan khusus yang tertuang dalam Instruksi Presiden atau Keputusan Presiden
diberikan tanpa menunggu pemenuhan kewajiban dalam persetujuan prinsip penggunaan kawasan
hutan.
Pasal 21
(1) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), memerintahkan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Planologi Kehutanan untuk melakukan penilaian.
(2) Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
setelah menerima perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. menyampaikan usulan penerbitan surat dispensasi penggunaan kawasan hutan berikut peta
lampiran kepada Menteri, dalam hal permohonan memenuhi persyaratan; atau
b. atas nama Menteri menerbitkan surat penolakan, dalam hal permohonan tidak memenuhi
persyaratan.
(3) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima) belas hari kerja setelah menerima usulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, menerbitkan surat dispensasi penggunaan kawasan
hutan.
Bagian Kelima
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Pasal 22
(1) Berdasarkan pemenuhan kewajiban dalam persetujuan prinsip kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan mengajukan
permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada Menteri.
(2) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima permohonan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal
Planologi Kehutanan untuk melakukan penilaian pemenuhan kewajiban.
(3) Dalam hal permohonan belum memenuhi seluruh kewajiban, Direktur Jenderal Planologi
Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja, menerbitkan surat
pemberitahuan kekurangan pemenuhan kewajiban.
(4) Dalam hal permohonan telah memenuhi seluruh kewajiban, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja menyampaikan usulan penerbitan izin
pinjam pakai kawasan hutan berikut peta lampiran kepada Sekretaris Jenderal Kementerian
Kehutanan.
(5) Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari
kerja sejak menerima usulan penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan dan peta lampiran
kepada Menteri.
(6) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima konsep
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menerbitkan keputusan izin pinjam pakai kawasan hutan.
Pasal 23
(1) Apabila dalam areal izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(6) terdapat diversifikasi penggunaan kawasan hutan, pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan
yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pinjam pakai kawasan hutan kepada Menteri.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan revisi izin usaha,
AMDAL dan rencana kerja.
(3) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memerintahkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal
Planologi Kehutanan untuk melakukan penilaian.
(4) Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
setelah menerima perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. menyampaikan usulan perubahan keputusan izin pinjam pakai kawasan hutan berikut peta
lampiran kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, dalam hal permohonan memenuhi
persyaratan; atau
b. atas nama Menteri menerbitkan surat penolakan, dalam hal permohonan tidak memenuhi
persyaratan.
(5) Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari
kerja sejak menerima usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a melakukan telaahan
hukum dan menyampaikan konsep keputusan Menteri tentang perubahan izin pinjam pakai
kawasan hutan dan peta lampiran kepada Menteri.
(6) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima usulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), menerbitkan keputusan tentang perubahan izin pinjam
pakai kawasan hutan.
Pasal 24
(1) Apabila dalam areal izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(6) terdapat permohonan penggunaan kawasan hutan baru dalam rangka diversifikasi penggunaan
kawasan hutan sebelumnya, maka permohonan tersebut wajib bekerjasama dengan pemegang izin


pinjam pakai kawasan hutan yang telah ada.


(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pemegang izin pinjam pakai
dilengkapi dengan persyaratan :
a. perjanjian kerjasama yang dituangkan dalam akta notariil;
b. revisi izin usaha, AMDAL dan rencana kerja.
(3) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memerintahkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal
Planologi Kehutanan untuk melakukan penilaian.
(4) Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
setelah menerima perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. menyampaikan usulan perubahan keputusan izin pinjam pakai kawasan hutan berikut peta
lampiran kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, dalam hal permohonan memenuhi
persyaratan; atau
b. atas nama Menteri menerbitkan surat penolakan, dalam hal permohonan tidak memenuhi
persyaratan.
(5) Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari
kerja sejak menerima usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a melakukan telaahan
hukum dan menyampaikan konsep keputusan Menteri tentang perubahan izin pinjam pakai
kawasan hutan dan peta lampiran kepada Menteri.
(6) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima usulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), menerbitkan keputusan tentang perubahan izin pinjam
pakai kawasan hutan.
Bagian Keenam
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Untuk Survei atau Eksplorasi
Pasal 25
(1) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima permohonan
izin pinjam pakai kawasan hutan untuk survei atau eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (2), memerintahkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Planologi Kehutanan untuk :
a. melakukan penilaian persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dan Pasal 14; dan
b. mengkoordinasikan pertimbangan teknis dari Eselon I terkait lingkup Kementerian Kehutanan
dan Direktur Utama Perum Perhutani dalam hal berada pada areal kerja Perum Perhutani.
(2) Dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dalam
jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja, menerbitkan surat pemberitahuan atas persyaratan
yang tidak lengkap berikut pengembalian berkas permohonan.
(3) Dalam hal permohonan memenuhi persyaratan, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, dalam
jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja menyampaikan surat permintaan pertimbangan
teknis kepada :
a. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, apabila lokasi yang dimohon berada
pada kawasan hutan lindung.
b. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan, apabila lokasi yang dimohon berada pada kawasan
hutan produksi.
c. Direktur Utama Perum Perhutani, apabila lokasi yang dimohon berada pada wilayah kerja Perum
Perhutani.


(4) Berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam atau Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan atau
Direktur Perum Perhutani dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja,
menyampaikan pertimbangan teknis kepada Direktur Jenderal Planologi Kehutanan.
(5) Dalam hal pertimbangan teknis belum diterima dan jangka waktu penyampaian pertimbangan
teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah berakhir, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan
dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja memprakarsai rapat pembahasan dalam
rangka memberikan pertimbangan teknis kepada Menteri.
(6) Direktur Jenderal Planologi Kehutanan setelah menerima pertimbangan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) atau hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) :
a. dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan, atas nama Menteri dalam jangka waktu
paling lama 15 (lima belas) hari kerja, menerbitkan surat penolakan; atau
b. dalam hal permohonan memenuhi ketentuan, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja menyampaikan usulan penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan
survei atau eksplorasi berikut peta lampiran kepada Sekretaris Jenderal Kementerian
Kehutanan.
(7) Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari
kerja sejak menerima usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b melakukan telaahan
hukum dan menyampaikan konsep Keputusan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan
survei atau eksplorasi dan peta lampiran kepada Menteri.
(8) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima konsep
sebagaimana dimaksud pada ayat (7), menerbitkan keputusan izin pinjam pakai kawasan hutan
untuk kegiatan survei atau eksplorasi.
Bagian Ketujuh
Kewajiban Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Pasal 26
(1) Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (6),
wajib :
a. melaksanakan reboisasi pada lahan kompensasi bagi pemegang izin pinjam pakai kawasan
hutan dengan kewajiban menyediakan lahan kompensasi;
b. membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka
rehabilitasi daerah aliran sungai bagi pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dengan
kewajiban membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam
rangka rehabilitasi daerah aliran sungai;
c. melaksanakan reklamasi dan reboisasi pada kawasan hutan yang sudah tidak dipergunakan
tanpa menunggu selesainya jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan;
d. membayar :
1. penggantian nilai tegakan dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) pada hutan tanaman
dari hasil tanaman dari IUPHHK-HT dan PSDH, Dana Reboisasi (DR) dan penggantian nilai
tegakan dari bukan hasil tanaman IUPHHK-HT sesuai peraturan perundang-undangan; atau
2. PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan, dan kewajiban keuangan lainnya pada hutan
alam dari IUPHHK-HA sesuai peraturan perundang-undangan; atau
3. PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan, dan kewajiban keuangan lainnya pada hutan
alam di luar areal IUPHHK-HA/HT sesuai peraturan perundang-undangan;
e. melakukan pemeliharaan batas pinjam pakai kawasan hutan;
f. melaksanakan perlindungan hutan sesuai peraturan perundang-undangan;
g. mengamankan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung dalam hal areal pinjam pakai


h.
i.
j.
k.

l.

kawasan hutan berbatasan dengan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, dan
berkoordinasi dengan :
1. Kepala Balai Besar/Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang membidangi urusan kawasan
hutan konservasi, untuk kawasan hutan konservasi;
2. Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi urusan kehutanan atau Direktur Utama
Perum Perhutani pada wilayah kerja Perum Perhutani, untuk kawasan hutan lindung; atau
3. Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam hal sudah terbentuk KPH di wilayah
tersebut.
memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan baik pusat maupun daerah pada saat
melakukan monitoring dan evaluasi di lapangan;
menanggung seluruh biaya sebagai akibat adanya pinjam pakai kawasan hutan;
mengkoordinasikan kegiatan kepada instansi kehutanan setempat dan/atau kepada pemegang
izin pemanfaatan hutan atau pengelola hutan;
menyerahkan rencana kerja pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai
dengan huruf j, selambat-lambatnya 100 (seratus) hari kerja setelah diterbitkan keputusan izin
pinjam pakai kawasan hutan; dan
membuat laporan secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Menteri mengenai
penggunaan kawasan hutan yang dipinjam pakai, dengan tembusan :
1. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan;
2. Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan;
3. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam;
4. Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial;
5. Kepala Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan;
6. Direktur Utama Perum Perhutani, apabila berada dalam wilayah kerjanya;
7. Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan; dan
8. Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l, memuat :


a. rencana dan realisasi penggunaan kawasan hutan;
b. rencana dan realisasi reklamasi dan revegetasi;
c. rencana dan realisasi reboisasi lahan kompensasi sesuai dengan peraturan perundangundangan;
d. pemenuhan kewajiban membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan;
e. rencana dan realisasi penanaman dalam wilayah daerah aliran sungai sesuai peraturan
perundang-undangan; dan
f. pemenuhan kewajiban lainnya sesuai izin pinjam pakai kawasan hutan.
Pasal 27
(1) Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan survei atau eksplorasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (8), wajib :
a. melaksanakan reklamasi dan reboisasi pada kawasan hutan yang sudah tidak dipergunakan
tanpa menunggu selesainya jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan;
b. membayar :
1. Penggantian nilai tegakan dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) pada hutan tanaman
dari hasil tanaman dari IUPHHK-HT dan PSDH, Dana Reboisasi (DR) dan penggantian nilai
tegakan dari bukan hasil tanaman IUPHHK-HT sesuai peraturan perundang-undangan; atau
2. PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan, dan kewajiban keuangan lainnya pada hutan
alam dari IUPHHK-HA sesuai peraturan perundang-undangan; atau
3. PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan, dan kewajiban keuangan lainnya pada hutan
alam di luar areal IUPHHK-HA/HT sesuai peraturan perundang-undangan;
c. mengganti biaya investasi pengelolaan/pemanfaatan hutan sesuai dengan luas areal pinjam
pakai kawasan hutan kepada pengelola/pemegang izin pemanfaatan hutan, sesuai peraturan
perundang-undangan;


d. melaksanakan perlindungan hutan sesuai peraturan perundang-undangan;


e. memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan baik pusat maupun daerah pada saat
melakukan monitoring dan evaluasi di lapangan;
f. menanggung seluruh biaya sebagai akibat adanya pinjam pakai kawasan hutan; dan
g. membuat laporan pemenuhan kewajiban yang ditetapkan dalam izin secara berkala setiap 6
(enam) bulan kepada Menteri.
(2) Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan survei atau eksplorasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (8), dilarang membuat bangunan yang bersifat permanen.
Pasal 28
(1) Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan eksplorasi pertambangan yang
melakukan kegiatan pengambilan contoh ruah sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (8),
selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) wajib :
a. menyerahkan dan menghutankan lahan kompensasi yang tidak bermasalah di lapangan (de
facto) dan hukum (de jure) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a angka 3;
atau
b. membayar dana PNBP penggunaan kawasan hutan dan melaksanakan penanaman dalam
rangka rehabilitasi daerah aliran sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b
angka 2.
(2) Pembayaran dana PNBP Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dihentikan jika revegetasi dinyatakan berhasil yang dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima
Revegetasi dengan disertai bukti pembayaran dana PNBP Penggunaan Kawasan Hutan selama
dalam proses revegetasi belum dinyatakan berhasil.
Pasal 29
(1) Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dilarang :
a. memindahtangankan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada pihak lain atau perubahan nama
tanpa persetujuan Menteri;
b. menjaminkan atau mengagunkan areal izin pinjam pakai kawasan hutan kepada pihak lain.
(2) Pemindahtanganan izin pinjam pakai kawasan hutan atau perubahan nama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan dengan cara mengajukan permohonan kepada Menteri disertai
kelengkapan dokumen perizinan.
(3) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa akta pendirian berikut perubahannya dan
perizinan di bidangnya asli atau dilegalisasi oleh pejabat instansi penerbit atau Notaris serta
dokumen pendukung lainnya.
Pasal 30
(1) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2), memerintahkan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Planologi Kehutanan untuk melakukan penilaian.
(2) Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
menerima perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. atas nama Menteri menerbitkan surat penolakan, dalam hal permohonan tidak memenuhi
persyaratan; atau
b. menyampaikan usulan penerbitan pemindahtanganan atau perubahan nama kepada Sekretaris
Jenderal Kementerian Kehutanan, dalam hal permohonan memenuhi persyaratan.


(3) Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari
kerja sejak menerima usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b melakukan telaahan
hukum dan menyampaikan konsep surat persetujuan pemindahtanganan atau perubahan nama
kepada Menteri.
(4) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima konsep
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menerbitkan surat persetujuan pemindahtanganan atau
perubahan nama.
Bagian Kedelapan
Pemanfaatan Kayu
Pasal 31
(1) Izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (6) dan Pasal 25
ayat (8) dan dispensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) berlaku sebagai izin
pemanfaatan kayu, serta izin pemasukan dan penggunaan peralatan.
(2) Penebangan pohon dilakukan secara bertahap sesuai dengan rencana kerja pembukaan lahan
tahunan dari areal pinjam pakai kawasan hutan.
(3) Pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam rangka
penebangan pohon wajib melaksanakan penatausahaan hasil hutan.
(4) Pemanfaatan kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) berpedoman pada
Peraturan Menteri tentang pemanfaatan kayu.
Bagian Kesembilan
Lahan Kompensasi
Pasal 32
(1) Calon lahan kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a, wajib memenuhi
persyaratan :
a. letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan :
b. terletak dalam daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi yang sama;
c. dapat dihutankan kembali dengan cara konvensional;
d. tidak dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan dan hak tanggungan; dan
e. mendapat rekomendasi dari gubernur atau bupati/walikota.
(2) Terhadap calon lahan kompensasi yang disediakan oleh pemohon sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan pemeriksaan lapangan untuk dinilai kelayakan teknis dan hukum oleh tim yang
dikoordinasikan oleh Kepala Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan.
(3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan anggota terdiri dari unsur Dinas Provinsi yang
membidangi kehutanan, Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan, Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai, Balai Pemantapan Kawasan Hutan, Kantor Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten/Kota, Unit Perum Perhutani sesuai wilayah kerjanya dan unsur Sekretariat Daerah
Provinsi atau Kabupaten/Kota.
(4) Hasil penilaian kelayakan teknis dan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan
dalam Berita Acara, dan disampaikan oleh Kepala Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan
kepada Direktur Jenderal Planologi Kehutanan.


(5) Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja
setelah menerima Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menyampaikan pertimbangan
kepada Menteri.
(6) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), menerbitkan :
a. surat penolakan, dalam hal calon lahan kompensasi tidak memenuhi persyaratan; atau
b. surat persetujuan lahan kompensasi, dalam hal calon lahan kompensasi memenuhi persyaratan.
Pasal 33
(1) Dalam hal calon lahan kompensasi disetujui oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (6) huruf b, pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan wajib menyelesaikan
permasalahan lahan kompensasi di lapangan (de facto) dan hukum (de jure), dengan ketentuan :
a. terhadap tanah hak untuk lahan kompensasi, baik yang terdaftar maupun yang belum terdaftar,
dilakukan pelepasan hak dengan memberikan ganti rugi;
b. terhadap tanah hak untuk lahan kompensasi yang sudah terdaftar dilakukan pencoretan di buku
tanah dan sertifikatnya; dan
c. terhadap tanah hak untuk lahan kompensasi yang belum terdaftar (leter c/girik) dilakukan
pencoretan di buku dan peta desa.
(2) Dalam hal pemegang persetujuan prinsip telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Direktur Jenderal Planologi Kehutanan bersama pemohon dalam jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja menandatangani Berita Acara Serah Terima Lahan
Kompensasi untuk dijadikan kawasan hutan.
(3) Berdasarkan Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Planologi
Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja menyampaikan usulan
penerbitan keputusan penunjukkan lahan kompensasi menjadi kawasan hutan dan lampiran peta
kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan.
(4) Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari
kerja sejak menerima usulan penerbitan keputusan penunjukan lahan kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) melakukan telaahan hukum dan menyampaikan konsep keputusan
penunjukan lahan kompensasi menjadi kawasan hutan dan lampiran peta kepada Menteri.
(5) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima konsep
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menerbitkan Keputusan tentang penunjukkan lahan
kompensasi menjadi kawasan hutan.
Pasal 34
(1) Berdasarkan Keputusan Menteri tentang penunjukan lahan kompensasi sebagai kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5), pemegang persetujuan prinsip penggunaan
kawasan hutan dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari wajib
melaksanakan tata batas kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi.
(2) Kegiatan tata batas atas kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja
sejak menerima Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
melakukan telaahan dan menyampaikan usulan penerbitan Keputusan Menteri tentang penetapan


kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi dan peta lampiran kepada Sekretaris Jenderal
Kementerian Kehutanan.
(4) Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja
sejak menerima usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan kajian hukum dan
menyampaikan konsep Keputusan Menteri tentang penetapan kawasan hutan yang berasal dari
lahan kompensasi dan peta lampiran kepada Menteri.
(5) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak menerima konsep dan
peta sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menerbitkan Keputusan tentang penetapan kawasan
hutan yang berasal dari lahan kompensasi.
Pasal 35
(1) Teknis reboisasi lahan kompensasi, termasuk jenis tanaman ditentukan sesuai dengan fungsi dan
rencana pengelolaan atau rencana pemanfaatan kawasan hutan atau rancangan reboisasi disusun
oleh pemohon dengan bimbingan Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai setempat atau
Direktur Utama Perum Perhutani bagi lahan kompensasi yang berbatasan langsung dengan wilayah
kerja Perum Perhutani.
(2) Serah terima tanaman hasil reboisasi dituangkan dalam Berita Acara Serah Terima tanaman
reboisasi dari pemegang izin pinjam pakai kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi
kehutanan atau Direktur Utama Perum Perhutani apabila berada dalam wilayah kerja Perum
Perhutani.
(3) Ketentuan pelaksanaan reboisasi lahan kompensasi yang telah ditunjuk menjadi kawasan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri tersendiri.
BAB III
JANGKA WAKTU DAN PERPANJANGAN
PERSETUJUAN PRINSIP PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DAN
IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN
Bagian Kesatu
Jangka Waktu
Pasal 36
(1) Jangka waktu persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan atau izin pinjam pakai kawasan
hutan untuk survei atau eksplorasi diberikan selama 2 (dua) tahun.
(2) Jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan selain untuk survei atau eksplorasi diberikan sama
dengan jangka waktu perizinan sesuai bidangnya dan dilakukan sesuai peraturan perundangundangan.
(3) Jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan yang tidak memerlukan perizinan
sesuai bidangnya, izin pinjam pakai kawasan hutan diberikan dalam jangka waktu paling lama 20
(dua puluh) tahun.
(4) Jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan pertahanan negara, sarana
keselamatan lalu lintas laut atau udara, jalan umum, cek dam, embung, sabo, dan sarana
meteorologi, klimatologi dan geofisika, serta religi, diberikan selama digunakan sesuai dengan izin
pinjam pakai.

(5) Dalam hal berdasarkan evaluasi, pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan tidak lagi
menggunakan kawasan hutan sesuai dengan izin pinjam pakai kawasan hutan, izin pinjam pakai
kawasan hutan dicabut oleh Menteri.
Bagian Kedua
Perpanjangan Persetujuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan
dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Pasal 37
(1) Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan dan izin pinjam
pakai kawasan hutan untuk survei atau eksplorasi dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi.
(2) Permohonan perpanjangan persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan dan perpanjangan izin
pinjam pakai kawasan hutan untuk survei atau eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya izin.
(3) Permohonan perpanjangan izin pinjam pakai kawasan hutan selain untuk survei atau eksplorasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
sebelum berakhirnya izin.
(4) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditujukan kepada
Menteri yang dilampiri hasil evaluasi.
(5) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), memerintahkan secara tertulis kepada Direktur Jenderal
Planologi Kehutanan untuk melakukan penilaian.
(6) Dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan atas
nama Menteri dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja menerbitkan surat penolakan.
(7) Dalam hal permohonan memenuhi persyaratan, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dalam
jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja menyampaikan usulan penerbitan
perpanjangan persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan atau izin pinjam pakai kawasan
hutan dan peta lampiran kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan.
(8) Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari
kerja sejak menerima usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) melakukan telaahan hukum
dan menyampaikan konsep surat perpanjangan persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan
atau perpanjangan izin pinjam pakai dan peta lampiran kepada Menteri.
(9) Menteri dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah menerima konsep
sebagaimana dimaksud pada ayat (8), menerbitkan surat perpanjangan persetujuan prinsip
penggunaan kawasan hutan atau perpanjangan izin pinjam pakai.
BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 38
(1) Menteri melakukan monitoring dan evaluasi terhadap :
a. pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan;
b. pemegang dispensasi pinjam pakai kawasan hutan; dan
c. pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan.


(2) Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai pembinaan agar pemegang izin
pinjam pakai kawasan hutan memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam izin.
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui besarnya perbedaan
antara status pemenuhan kewajiban dan kewajiban yang tercantum dalam persetujuan prinsip
penggunaan kawasan hutan atau izin pinjam pakai kawasan hutan sebagai bahan dalam
pengambilan keputusan perpanjangan atau tindakan-tindakan koreksi termasuk sanksi.
(4) Pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilimpahkan
kepada Gubernur.
(5) Gubernur dapat menugaskan Kepala Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan untuk
membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(6) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh tim dengan anggota
terdiri dari unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Balai
Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi, Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota yang membidangi
kehutanan dan/atau Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi energi sumber daya mineral serta
unsur terkait lainnya.
(7) Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun.
(8) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali
dalam 5 (lima) tahun.
(9) Kepala Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan menyampaikan hasil monitoring dan evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) kepada Menteri dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan.
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan.
Pasal 40
Dalam hal hasil evaluasi atas pemenuhan kewajiban pemegang persetujuan prinsip penggunaan
kawasan hutan/penerima dispensasi/pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana
dimaksud Pasal 38 ayat (9), tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan, pemegang izin dikenakan
sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB V
HAPUSNYA IZIN
Pasal 41
Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (8) atau
izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (6) dan Pasal 25 ayat (8)
hapus apabila :
a. jangka waktu persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan atau izin pinjam pakai kawasan
hutan telah berakhir;


b.
c.

dicabut oleh Menteri;


diserahkan kembali secara sukarela oleh pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan
hutan atau pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan kepada Menteri sebelum jangka waktu
berakhir dengan pernyataan tertulis;
kawasan hutan yang dipinjam pakai berubah peruntukan menjadi bukan kawasan hutan atau
berubah fungsi menjadi fungsi hutan yang penggunaannya dilarang berdasarkan peraturan
perundang-undangan; atau
Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi (IUP Eksplorasi)/Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi
(IUP-Operasi Produksi) atau perizinan lainnya dicabut oleh pejabat sesuai kewenangannya.

d.

e.

Pasal 42
(1) Hapusnya izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 tidak
membebaskan kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan untuk menyelesaikan
kewajiban :
a. membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan;
b. melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai;
c. melakukan reklamasi dan/atau reboisasi pada areal pinjam pakai kawasan hutan yang sudah
tidak digunakan;
d. membayar penggantian nilai tegakan, dan PSDH, dan/atau DR sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan
e. melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan dalam izin pinjam pakai kawasan hutan.
(2) Pada saat hapusnya izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41,
keberadaan :
a. barang tidak bergerak maupun tanaman yang telah ditanam dalam areal izin pinjam pakai
kawasan hutan menjadi milik negara; dan
b. barang bergerak menjadi milik pemegang izin.
(3) Barang bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib dikeluarkan dari kawasan
hutan oleh pemegang izin yang izinnya dihapus dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
sejak hapus izin atau sejak kegiatan reklamasi dinilai berhasil.
(4) Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemegang izin yang
izinnya hapus tidak mengeluarkan barang bergerak dari kawasan hutan, barang bergerak dilelang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 43
(1) Dengan berakhirnya jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan dan telah dipenuhi penilaian
keberhasilan reklamasi, maka Menteri menerbitkan keputusan berakhirnya izin pinjam pakai
kawasan hutan.
(2) Berdasarkan keputusan berakhirnya izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan serah terima areal pinjam pakai kawasan hutan, dengan ketentuan :
a. pada wilayah kerja Perum Perhutani dilakukan antara Direktur Utama Perum Perhutani dan
pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan;
b. pada kawasan hutan yang telah dibebani izin pemanfaatan hutan, atau kawasan hutan yang
belum ada pengelola dan tidak dibebani izin pemanfaatan hutan, dilakukan antara Kepala Dinas
Provinsi yang membidangi kehutanan dengan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan.

BAB VI
SANKSI
Pasal 44
(1) Setiap pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27 dan/atau Pasal 28 atau melanggar Pasal 29 ayat (1) dikenai
sanksi berupa pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan oleh Menteri.
(2) Pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
setelah diberikan peringatan 3 (tiga) kali secara berturut-turut masing-masing untuk jangka waktu
30 (tiga puluh) hari kerja oleh Direktur Jenderal Planologi Kehutanan.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini :
a. Permohonan penggunaan kawasan hutan yang belum memperoleh persetujuan prinsip,
penyelesaiannya diproses sesuai dengan peraturan ini.
b.

Rekomendasi Gubernur atau Bupati/Walikota yang merupakan salah satu persyaratan sesuai
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008 tanggal 10 Juli 2008 tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan telah dinyatakan lengkap serta masih dalam proses dinyatakan
tetap berlaku.

c.

Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan yang telah diberikan oleh Menteri sebelum
berlakunya peraturan ini dan telah memenuhi seluruh kewajiban yang ditetapkan dalam
persetujuan prinsip dapat diproses menjadi izin pinjam pakai kawasan hutan dengan dibebani
kewajiban sesuai dengan peraturan ini.

d.

Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan yang telah diberikan oleh Menteri sebelum
berlakunya peraturan ini dan belum memenuhi seluruh kewajiban dalam persetujuan prinsip,
kewajibannya disesuaikan dengan ketentuan dalam peraturan ini.

e.

Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan yang tidak dibatasi jangka waktu dinyatakan
berlaku dan wajib memenuhi ketentuan sesuai dengan peraturan ini.

f.

Perjanjian pinjam pakai kawasan hutan yang masih berlaku dinyatakan sebagai izin pinjam pakai
kawasan hutan dan kewajibannya disesuaikan dengan ketentuan dalam peraturan ini.

g.

Izin atau perjanjian pinjam pakai kawasan hutan yang tidak mencantumkan kewajiban
menyediakan lahan kompensasi atau kewajiban mereboisasi kawasan hutan di luar areal pinjam
pakai kawasan hutan dibebani kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam peraturan ini.

h.

Permohonan perpanjangan izin kegiatan survei, dan eksplorasi yang berdasarkan hasil evaluasi
memenuhi persyaratan, diproses menjadi izin pinjam pakai kawasan hutan dengan dibebani
kewajiban sesuai dengan peraturan ini.

i.

Permohonan perpanjangan persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan yang berdasarkan hasil
evaluasi memenuhi persyaratan, diproses dengan dibebani kewajiban sesuai dengan peraturan ini.

j.

Permohonan perpanjangan izin pinjam pakai kawasan hutan yang berdasarkan hasil evaluasi
memenuhi persyaratan, diproses dengan dibebani kewajiban sesuai dengan peraturan ini.

k.

Izin atau perjanjian pinjam pakai kawasan hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan tetap berlaku sampai
dengan berakhirnya izin atau perjanjian pinjam pakai kawasan hutan, kecuali terjadi perubahan
peruntukan atau perubahan fungsi kawasan hutan.

l.

Persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan atau perizinan penggunaan kawasan hutan yang
belum sesuai dengan peraturan ini diberikan batasan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak terbitnya
peraturan ini untuk memenuhi persyaratan dan/atau kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam
peraturan ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46

Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kehutanan ini, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.43/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 47
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Kehutanan

ini

diundangkan

dengan

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Maret 2011
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 April 2011
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 191
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
ttd
KRISNA RYA, SH, MH.
NIP. 19590730 199003 1 001


17. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Nomor P.24/MenhutII/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2009 tentang Rencana Kerja
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan
Restorasi Ekosistem.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : P.24/Menhut-II/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR
P.56/MENHUT-II/2009 TENTANG RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN
HASIL HUTAN KAYU HUTAN ALAM DAN RESTORASI EKOSISTEM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

: a. bahwa berdasarkan Pasal 75 ayat (1) huruf a dan ayat (3)


Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan
Penyusunan
Rencana
Pengelolaan
Hutan,
serta
Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 telah ditetapkan
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.56/Menhut-II/2009 tentang
Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Alam dan Restorasi Ekosistem;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pelaksanaan kegiatan IUPHHK-HA atau IUPHHK-RE, perlu
dilakukan perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan
No.P.56/Menhut-II/2009 tentang Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam dan Restorasi
Ekosistem dengan Peraturan Menteri Kehutanan;

Mengingat

: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi


Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undangundang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4412);


3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4452);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan
Penyusunan
Rencana
Pengelolaan
Hutan,
serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan
Penyusunan
Rencana
Pengelolaan
Hutan,
serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Indonesia
Nomor 4814);
6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009
tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010
tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara
serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I;
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009
tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
9. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39/Menhut-II/2008
tentang Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pemegang
Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 14);
10. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2008
tentang Kompetensi Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
52);
11. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2009
tentang Rencana Kerja Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Alam dan Restorasi Ekosistem (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 273);
12. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PERUBAHAN
ATAS
PERATURAN
MENTERI
KEHUTANAN
NOMOR
P.56/MENHUT-II/2009 TENTANG RENCANA KERJA USAHA
PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN ALAM DAN
RESTORASI EKOSISTEM
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2009
tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam dan
Restorasi Ekosistem (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 273),
diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 4 menjadi berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 4
(1) Usulan RKUPHHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, disusun berdasarkan:
a. Peta areal kerja sesuai Keputusan Pemberian IUPHHK-HA atau IUPHHKRE;
b. Peta Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi atau Peta TGHK
bagi provinsi yang belum ada Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan
Perairan Provinsi;
c. Peta Hasil Penafsiran Citra Satelit (skala 1 : 50.000 atau 1 : 100.000)
liputan terbaru, paling lama 2 (dua) tahun terakhir;
d. Hasil Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Khusus untuk IUPHHK-RE tidak diperlukan IHMB tapi dengan Risalah
Hutan dengan intensitas 1% (satu persen).
(2) Usulan RKUPHHK-HA atau RKUPHHK-RE disusun oleh Tenaga Teknis
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Timber Cruising (GANISPHPL-TC) dan
atau Perencanaan Hutan (GANISPHPL-CANHUT), dan ditandatangani/disetujui
oleh Direksi/Kuasa Direksi atau Ketua Koperasi/Kuasa Pengurus Koperasi
Pemegang IUPHHK-HA atau IUPHHK-RE.
2. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 6 menjadi
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 6
(1) Direktur Jenderal atas nama Menteri menilai dan menyetujui usulan
RKUPHHK-HA dan RKUPHHK-RE, dan salinannya disampaikan kepada :
a. Kepala Dinas Provinsi;
b. Kepala Dinas Kabupaten/Kota;
c. Kepala UPT.

(2) Direktur Jenderal dapat mendelegasikan persetujuan RKUPHHK-HA dan


RKUPHHK-RE sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada Direktur sesuai
tugas pokok dan fungsinya.
3. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
Pasal 8
(1) Perubahan/revisi terhadap RKUPHHK-HA atau RKUPHHK-RE dapat dilakukan
dalam hal terjadi :
a. Penambahan atau pengurangan areal kerja;
b. Perubahan siklus tebang dan/atau limit diameter tebang;
c. Perubahan terhadap kondisi fisik sumber daya hutan yang disebabkan oleh
faktor manusia maupun faktor alam serta penggunaan kawasan oleh
sektor lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. Perubahan sistem dan teknik silvikultur serta perubahan lain yang dapat
dipertanggungjawabkan; atau
e. Konflik lahan.
4. Ketentuan Pasal 9 ayat (4) diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
Pasal 9
(4) Usulan RKTUPHHK-HA atau RKTUPHHK-RE disusun oleh GANISPHPL-TC atau
GANISPHPL-CANHUT dan ditandatangani/disetujui Direksi/Kuasa Direksi atau
Ketua Koperasi/Kuasa Pengurus Koperasi pemegang IUPHHK-HA atau
IUPHHK-RE.

5. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
Pasal 11
(1) Dalam hal perusahaan pemegang IUPHHK-HA mendapat sertifikat PHPL di
bidang hutan alam secara mandatory dengan kategori kinerja sekurangkurangnya baik atau sertifikat PHPL secara voluntary, pemegang IUPHHK-HA
diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk menyusun RKTUPHHK
secara mandiri dan ditandatangani/disetujui oleh Direksi/Kuasa Direksi atau
Ketua Koperasi/Kuasa Pengurus Koperasi pemegang IUPHHK-HA (selfapproval).
6. Ketentuan Pasal 13 ayat (3) diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
Pasal 13
(3) Biaya yang timbul akibat pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dibebankan kepada pemohon berdasarkan standar biaya pemerintah.
7. Ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 14
menjadi berbunyi sebagai berikut :

Pasal 14
(1) Kepala Dinas Provinsi melakukan penilaian dan persetujuan usulan
RKTUPHHK-HA atau RKTUPHHK-RE paling lambat 14 (empat belas) hari kerja
sejak penerimaan data dan informasi dari Kepala Dinas Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4).
(2) Dalam hal Kepala Dinas Kabupaten/Kota tidak menyampaikan data dan
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) dalam waktu 14
(empat belas) hari kerja, Kepala Dinas Provinsi dapat melakukan penilaian
dan persetujuan usulan RKTUPHHK-HA dan RKTUPHHK-RE.
(3) Persetujuan RKTUPHHK-HA atau RKTUPHHK-RE meliputi :
a. Penetapan rencana kerja kegiatan RKTUPHHK-HA sesuai sistem silvikultur
yang diterapkan, pemanfaatan kayu, penggunaan dan penjualan hasil
hutan bukan kayu, ecotourisme, pengamanan dan perlindungan hutan,
tenaga teknis dan non teknis kehutanan, kelola sosial, penelitian, TPn,
TPK/logpond, alat berat, trace jalan, penanaman tanah kosong,
penanaman kiri kanan jalan dan lain-lain.
b. Penetapan rencana kegiatan pemeliharaan, perlindungan, penanaman,
pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora fauna,
dan/atau rencana pemanfaatan kawasan, dan/atau pemanfaatan jasa
lingkungan, dan/atau pemanfaatan hasil hutan bukan kayu terhadap
RKTUPHHK-RE sebelum mencapai tahap keseimbangan ekosistemnya.
c. Penetapan rencana pemanafaatan hasil hutan kayu dan/atau pemanfaatan
kawasan, dan/atau pemanfaatan jasa lingkungan, dan/atau pemanfaatan
hasil hutan bukan kayu terhadap RKTUPHHK-RE setelah mencapai tahap
keseimbangan ekosistemnya.
d. Pakta Integritas.
8. Ketentuan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (5) diubah, sehingga menjadi berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 15
(4) Usulan revisi RKTUPHHK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun oleh
GANISPHPL-TC dan/atau GANISPHPL-CANHUT serta ditandatangani oleh
Direksi/Kuasa Direksi atau Ketua Koperasi/Kuasa Pengurus Koperasi
pemegang IUPHHK-HA atau IUPHHK-RE, dan diajukan kepada Kepala Dinas
Provinsi dengan dilengkapi alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Kepala Dinas Provinsi dapat menolak atau menyetujui revisi RKTUPHHK-HA
atau RKTUPHHK-RE paling lambat 14 (empat belas) hari kerja, dan dalam hal
usulan revisi disetujui, maka masa berlaku revisi sampai dengan berakhirnya
RKTUPHHK yang direvisi.
9. Ketentuan Pasal 17 ayat (2) diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
Pasal 17
(2) Pengajuan usulan BKUPHHK-HA atau BKUPHHK-RE, berdasarkan proposal
teknis pada saat penyampaian permohonan izin atau usulan RKUPHHK-HA
atau RKUPHHK-RE yang telah disetujui oleh Direksi/Kuasa Direksi atau Ketua
Koperasi/Kuasa Pengurus Koperasi.

10. Ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga menjadi berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 19
(1) Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota paling lambat 14 (empat belas) hari
kerja sejak diterimanya usulan BKUPHHK-HA atau BKUPHHK-RE,
melaksanakan pemeriksaan lapangan :
a. BKUPHHK-HA dilakukan terhadap pelaksanaan batas blok BKU,
pelaksanaan timber cruising dengan intensitas sebesar 1% (satu persen),
pemeriksaan rencana lokasi TPn, TPK, Logpond, alat berat dan trace
jalan;
b. BKUPHHK-RE dilakukan terhadap pelaksanaan batas Blok BKU,
Pelaksanaan Risalah Hutan dengan intensitas sebesar 1% (satu persen),
trace jalan, rencana lokasi persemaian, rencana kegiatan pengamanan
dan perlindungan hutan (flora dan fauna), alat berat (sesuai kebutuhan),
lokasi base camp serta sarana pendukungnya;
c. Pemeriksaan pada huruf a dan atau huruf b di atas, dilakukan secara
bersamaan oleh Tim yang sama dan hasil pemeriksaan dituangkan dalam
1 (satu) Berita Acara Pemeriksaan.
(3) Biaya yang timbul akibat pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan (2), dibebankan kepada pemohon berdasarkan standar biaya pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 20 ayat (3) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 20
(3) BKUPHHK-HA atau BKUPHHK-RE yang telah disetujui tidak dapat
diubah/direvisi, kecuali dalam kondisi force majeur dan akibat konflik sosial
dengan masyarakat.
12. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) diubah, sehingga menjadi
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 25
(1) RKUPHHK untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun yang telah disetujui
sebelum berlakunya peraturan ini, tetap berlaku dan wajib disusun kembali
untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahunan paling lambat tanggal 31 Desember
2011, yang berbasis IHMB.
(2) RKTUPHHK tahun 2011 dapat dinilai dan disahkan berdasarkan :
a. RKUPHHK sepuluh tahunan berbasis IHMB;
b. RKUPHHK sepuluh tahunan yang telah disetujui; dan atau
c. Usulan RUPHHK berbasis IHMB yang telah disampaikan kepada Direktur
Jenderal.
(4) Dalam hal pemegang IUPHHK-HA atau IUPHHK-RE belum memiliki
GANISPHPL-TC dan atau GANISPHPL-CANHUT, RKUPHHK-HA/RKUPHHK-RE
dan RKTUPHHK-HA/ RKTUPHHK-RE dapat disusun oleh tenaga teknis yang

tersedia di perusahaan IUPHHK-HA atau IUPHHK-RE dengan supervisi tenaga


WASGANISPHPL-CANHUT yang berada di Dinas Provinsi dan atau UPT.
13. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 26 menjadi berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 26
(1) Terhadap usulan RKTUPHHK-HA yang telah diajukan untuk dilakukan
penilaian dan persetujuan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi sebelum
peraturan ini ditetapkan, maka proses penilaian dan persetujuannya dapat
dilanjutkan mengikuti ketentuan peraturan ini.
(2) Terhadap usulan pelaksanaan carry over RKTUPHHK-HA yang telah diajukan
kepada Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan c.q. Direktur yang
membidangi pembinaan usaha hutan alam, dapat dilanjutkan prosesnya.
14. Ketentuan lampiran 1, 2a dan 2b pada setiap BAB IV Butir 10 Bab III Huruf A
Angka 2 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
2. Zonasi areal
Zonasi hutan merupakan kegiatan membagi-bagi areal kedalam kawasan lindung,
kawasan tidak untuk produksi dan kawasan produksi dengan melakukan deliniasi
makro areal IUPHHK dengan penjelasan sebagai berikut :
x Kawasan lindung : kawasan yang dilindungi sesuai sesuai Keputusan Presiden
Nomor 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung (sumber mata air, kiri-kanan
sungai, plasma nuftah, sempadan danau/sungai, buffer zone hutan
lindung/kawasan konservasi, dll). Kawasan yang dilindungi ini juga termasuk
areal untuk keperluan religi dan budaya masyarakat hukum adat setempat.
x Kawasan tidak untuk produksi : merupakan areal yang tidak dimanfaatkan
untuk budidaya pohon, yaitu : sungai, danau, sarana-prasarana, PUP, dsb.
x Kawasan produksi : merupakan areal yang dimanfaatkan untuk budidaya
pohon/hutan.

Pasal II
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 April 2011
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 20 April 2011
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 232
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
ttd
KRISNA RYA, SH, MH.
NIP. 19590730 199003 1 001





18. Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia

Nomor

P.44/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri


Kehutanan

Republik

Indonesia

Nomor

P.33/Menhut-II/2010

tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang


Dapat Dikonversi.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN


NOMOR P.44/Menhut-II/2011
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR
P.33/MENHUT-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN
HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

a. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor


P.33/Menhut-II/2010 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.17/Menhut-II/2011
telah ditetapkan Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi
yang Dapat Dikonversi;
b. bahwa dalam rangka efektifitas pemberdayaan masyarakat
dalam kemitraan pembangunan kebun antara perusahaan
perkebunan
dengan
masyarakat serta meningkatkan
percepatan dalam pelayanan sesuai dengan prinsip tata
pemerintahan yang baik, perlu mengubah beberapa ketentuan
tata cara pelepasan kawasan hutan yang dapat dikonversi;
c. bahwa pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.33/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan
Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi;

Mengingat

1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3844);
3. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725);
4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4452);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4453), sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 137, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5056);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5097);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5098);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
13. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009
tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
14. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun
2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;
15. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010
tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara
serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I;
16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 289);
17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2011
tentang Izin Pemanfaatan Kayu (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 142);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PERUBAHAN


KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR
P.33/MENHUT-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN
KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI.
Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/MenhutII/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat
Dikonversi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 377) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 17/Menhut-II/2011 (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 166) diubah, sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) diubah sehingga keseluruhan Pasal 7 ayat (1)
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 7
(1)

Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a,


meliputi :
a. surat permohonan yang dilampiri dengan peta kawasan hutan yang
dimohon pada peta dasar dengan skala minimal 1 : 100.000;
b. izin lokasi dari gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya;
c. izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. rekomendasi gubernur atau bupati/walikota, dilampiri peta kawasan

hutan yang dimohon pada peta dasar dengan skala minimal 1 :


100.000; dan
e. pernyataan kesanggupan dalam Bentuk Akta Notaris kecuali
permohonan oleh Pemerintah, untuk :
1. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. tidak akan mengalihkan persetujuan prinsip pelepasan kawasan
hutan yang diperoleh tanpa persetujuan Menteri;
3. membangun kebun untuk masyarakat di sekitar kawasan hutan
dengan luas paling sedikit 20% (dua puluh perseratus) dari luas
total kawasan hutan yang dilepaskan dan dapat diusahakan oleh
perusahaan untuk perkebunan.
2. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) diubah sehingga keseluruhan Pasal 12 ayat (1)
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 12
(1)

Berdasarkan persetujuan prinsip pelepasan HPK sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 11 ayat (1), Direktur Jenderal dalam jangka waktu paling lama
7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya persetujuan prinsip, menerbitkan
surat pemberitahuan untuk pelaksanaan tata batas HPK yang disetujui.

3. Ketentuan Pasal 20 ayat (2) diubah sehingga keseluruhan Pasal 20 ayat (2)
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 20
(2) Pembatalan persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri
setelah melalui peringatan tertulis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri
sebanyak 3 (tiga) kali masing-masing dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari kerja untuk setiap kali peringatan.
4. Ketentuan Pasal 21 huruf d diubah sehingga keseluruhan Pasal 21 huruf d
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 21
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku :
d. Persetujuan prinsip pelepasan kawasan HPK yang telah diterbitkan oleh
Menteri dan telah berumur 5 (lima) tahun atau lebih namun pemegang
persetujuan prinsip tidak melaksanakan kewajibannya, maka Direktur
Jenderal atas nama Menteri membatalkan persetujuan prinsip pelepasan
kawasan HPK tanpa didahului surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (2).

Pasal II
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Mei 2011
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Mei 2011
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 319
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
ttd.
KRISNA RYA,SH, MH.
NIP.19590730 199003 1 001

19. Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia

Nomor

P.53/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan


Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan
Desa.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : P.53/Menhut-II/2011
Tentang
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN
Nomor : P.49/Menhut-II/2008 TENTANG HUTAN DESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

: a. bahwa sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 86 ayat (2),


Pasal 87 ayat (4), Pasal 88 ayat (2), Pasal 89 ayat (5) dan
Pasal 91 ayat (3), Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, telah
ditetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/MenhutII/2008 tentang Hutan Desa sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/MenhutII/2010;
b. bahwa dalam rangka menjamin kepastian calon pemegang
izin pada areal kerja hutan desa yang ditetapkan oleh
Menteri, perlu mencantumkan nama-nama pemohon yang
diketahui oleh Camat dan atau Kepala Desa setempat;
c.

bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, perlu


menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Perubahan
Kedua
atas
Peraturan
Menteri
Kehutanan
Nomor
P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa;

Mengingat

: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi


Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
167 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2004;
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125 Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor
4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59 Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana
Reboisasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 67 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4207);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 146 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4452);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 22 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 4696), sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4814);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor


4737);
9. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008
tentang Hutan Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 39), sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2010
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 164);
10. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan

: PERATURAN MENTERI KEHUTANAN PERUBAHAN KEDUA


ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR
P.49/MENHUT-II/2008 TENTANG HUTAN DESA.

Pasal I
Ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2008
tentang Hutan Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 39),
diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2010 (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 164), diubah sehingga keseluruhan
Pasal 6 menjadi berbunyi sebagai berikut :

(1).

(2).

(3).

(4).

Pasal 6
UPT Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial
melakukan koordinasi dengan UPT Eselon I Kementerian Kehutanan terkait
dan Pemerintah Daerah untuk menentukan calon areal kerja hutan desa dan
memfasilitasi pembentukan lembaga desa, untuk membuat permohonan Hak
Pengusahaan Hutan Desa (HPHD) kepada Gubernur dengan tembusan
kepada Bupati/Walikota.
Pada areal lain diluar areal yang dicalonkan sebagaimana tersebut pada ayat
(1), masyarakat setempat dapat mengajukan permohonan penetapan areal
kerja hutan desa kepada Bupati/Walikota.
Permohonan sebagaimana tersebut pada ayat (2), diajukan oleh Kepala Desa
kepada Bupati/Walikota, dengan melampirkan :
a. Sketsa lokasi areal yang dimohon;
b. Surat usulan dari Kepala Desa/Lurah; dan
c. Nama-nama calon anggota lembaga atau struktur lembaga desa jika
sudah terbentuk yang diketahui oleh Camat dan Kepala Desa/Lurah.
Berdasarkan permohonan masyarakat setempat dan atau hasil penentuan
calon areal kerja hutan desa sebagaimana tersebut pada ayat (1)

(5).

(6).

Bupati/Walikota mengajukan usulan penetapan areal kerja hutan desa kepada


Menteri.
Usulan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilengkapi
dengan :
a. Peta digital lokasi calon areal kerja hutan kemasyarakatan dengan skala
paling kecil 1:50.000;
b. Deskripsi wilayah antara lain keadaan fisik wilayah lokasi sosial ekonomi,
dan potensi kawasan;
c. Surat usulan dari Kepala Desa/Lurah; dan
d. Nama-nama calon anggota lembaga desa atau struktur lembaga desa jika
sudah terbentuk yang diketahui oleh Camat dan Kepala Desa/Lurah.
Dalam proses pengusulan areal kerja hutan desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), Gubernur atau Bupati/Walikota memfasilitasi pembentukan dan
penguatan lembaga desa setempat.

Pasal II
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan


dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 6 Juli 2011
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
ZULKIFLI HASAN
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 7 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 385
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
ttd
KRISNA RYA, SH, MH.
NIP. 19590730 199003 1 001

20. Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia

Nomor

P.55/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha


Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Rakyat dalam Hutan
Tanaman.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : P.55/Menhut-II/2011
TENTANG
TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN
KAYU PADA HUTAN RAKYAT DALAM HUTAN TANAMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

: a. bahwa berdasarkan Pasal 40 ayat (7) Peraturan Pemerintah


Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan telah
ditetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.23/MenhutII/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.5/Menhut-II/2008;
b. bahwa untuk telah memberikan kepastian dan kemudahan
berusaha serta hasil evaluasi, maka Peraturan Menteri
Kehutanan sebagaimana dimaksud dengan huruf a perlu
disesuaikan;
c. bahwa sehubungan hal tersebut di atas, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kehutanan tentang Tata Cara Permohonan
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan
Tanaman Rakyat Dalam Hutan Tanaman;

Mengingat

: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi


Sumber Daya Hutan Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);

2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 167); Tambahan
Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi Undangundang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4412);
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 68, Tambahan Negara
Republik Indonesia Nomor 140);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3838);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Negara
Republik Indonesia Nomor 4814);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


2007 Nomor 82, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor
4737);
8. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara Republik
Indonesia;
9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010
Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Kementerian Negara serta
Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian
Kehutanan Republik Indonesia;
10. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II;

2009

Tentang

11. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Paket


Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi;
12. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2008
Tentang Persyaratan Kelompok Tani Hutan Untuk Mendapatkan
Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat;
13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 64/Menhut-II/2009
Tentang Standard Biaya Pembangunan Hutan Tanaman
Industri Dan Hutan Tanaman Rakyat;
14. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);
MEMUTUSKAN
Menetapkan

: PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG TATA CARA


PERMOHONAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN
KAYU PADA HUTAN TANAMAN RAKYAT DALAM HUTAN
TANAMAN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan :
1.
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat yang
selanjutnya disingkat IUPHHK-HTR adalah izin usaha untuk memanfaatkan
hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan ikutannya pada hutan produksi yang
diberikan kepada perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan
kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur yang sesuai untuk
menjamin kelestarian sumber daya hutan.
2.

Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
Rakyat yang selanjutnya disingkat RKUPHHK-HTR adalah rencana kerja untuk
seluruh areal kerja IUPHHK-HTR, antara lain memuat aspek kelestarian usaha,
untuk keseimbangan lingkungan dan sosial ekonomi yang disetujui
Bupati/Walikota atau Pejabat yang ditunjuk.

3.

Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Tanaman Rakyat selanjutnya disingkat RKT adalah Rencana Kerja yang disusun
secara gabungan dalam satu Kelompok Tani Hutan (KTH) dan/atau koperasi
untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, yang merupakan penjabaran RUPHHK-HTR
yang disampaikan kepada UPT sebagai bahan pemantauan.

4.

Penetapan areal Hutan Tanaman Rakyat adalah pencadangan areal kawasan


hutan oleh Menteri Kehutanan untuk lokasi hutan tanaman rakyat.

5.

Perorangan adalah Warga Negara Indonesia orang yang cakap bertindak


menurut hukum.

6.

Masyarakat setempat adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau di


sekitar hutan sebagai kawasan komunitas sosial yang mata pencaharian
utamanya tergantung pada hutan dan hasil hutan.

7.

Kelompok Tani Hutan yang selanjutnya disingkat KTH adalah kumpulan


individu petani di desa sekitar kawasan hutan yang membentuk wadah
organisasi, tumbuh berdasarkan kebersamaan, kesamaan profesi dan
kepentingan untuk bekerjasama mengembangkan usaha hutan tanaman rakyat
untuk mencapai kesejahteraan anggota dan kelompoknya.

8.

Koperasi adalah Koperasi Primer yang didirikan dan beranggotakan orang


seorang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian.

9.

Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan yang selanjutnya disingkat Pusat P2H


adalah satuan kerja di Kementerian Kehutanan yang menerapkan Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum untuk memberikan pelayanan
berupa penyediaan pembiayaan pembangunan hutan antara lain kepada
pemegang IUPHHK HTR.

10. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang
kehutanan.
11. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggung
jawab di bidang bina usaha kehutanan.
12. Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang
kehutanan di provinsi.
13. Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab
di bidang kehutanan di Kabupaten/Kota.
14. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi yang selanjutnya disebut KPHP adalah
KPH yang luas wilayahnya seluruh atau sebagian besar terdiri dari kawasan
hutan produksi.
15. Unit Pelaksana Teknis (UPT) adalah Unit Pelaksana Teknis yang berada di
bawah dan tanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan.
16. Kepala Desa adalah seorang yang dipilih oleh masyarakat desa dan ditetapkan
oleh Bupati/Walikota serta merupakan pimpinan pemerintah desa.
BAB II
PENETAPAN AREAL
Pasal 2
(1). Alokasi dan penetapan areal HTR dilakukan oleh Menteri pada kawasan hutan
produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak lain.
(2). Alokasi dan penetapan areal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa
pencadangan areal HTR yang didasarkan pada rencana pembangunan HTR
yang diusulkan oleh Bupati/Walikota atau Kepala KPHP, dan luas areal
pencadangan disesuaikan dengan keberadaan masyarakat sekitar hutan.

(3)

Rencana pencadangan areal HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (2),


dilampiri pertimbangan teknis dari Kepala Dinas Kabupaten/Kota atau Kepala
KPHP yang memuat :
a. informasi kondisi areal dan penutupan lahan, informasi (kawasan atau
areal) tumpang tindih perizinan, tanaman reboisasi dan rehabilitasi;
b. daftar nama-nama masyarakat calon pemegang izin IUPHHK-HTR yang
diketahui oleh Camat dan Kepala Desa/Lurah sesuai KTP setempat;
c. pernyataan bahwa aksesibilitas areal yang diusulkan tidak sulit; dan
d. peta usulan rencana pembangunan HTR skala 1:50.000 atau skala
1:100.000,
dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal dan Direktur Jenderal
Planologi Kehutanan.

(4). Berdasarkan tembusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), masing-masing


melaksanakan hal-hal sebagai berikut :
a. Direktur Jenderal Planologi Kehutanan melakukan verifikasi peta usulan
lokasi HTR yang disampaikan oleh Bupati/Walikota dan menyiapkan konsep
peta pencadangan areal HTR serta hasilnya disampaikan kepada Direktur
Jenderal;
b. Direktur Jenderal melakukan verifikasi rencana pembangunan HTR yang
menyiapkan konsep Keputusan Menteri tentang penetapan/alokasi areal
HTR dengan dilampiri konsep peta pencadangan areal HTR dan
mengusulkan melalui Sekretaris Jenderal kepada Menteri untuk ditetapkan.
Pasal 3
(1). Berdasarkan usulan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (4) huruf b, Menteri Kehutanan menerbitkan pencadangan areal untuk
pembangunan HTR.
(2). Pencadangan areal HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan
kepada Bupati/Walikota atau Kepala KPHP dengan tembusan kepada Gubernur.
(3). Dalam hal Bupati/Walikota atau Kepala KPHP tidak menerbitkan IUPHHK-HTR
pada areal yang telah dicadangkan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
diterbitkan pencadangan, maka ketetapan pencadangan tersebut dapat
dibatalkan oleh Menteri.
(4). Dalam hal areal pencadangan dibatalkan oleh Menteri, Menteri menetapkan
untuk pemanfaatan lebih lanjut.

(5). Berdasarkan pencadangan areal HTR, Bupati/Walikota atau Kepala KPHP


melakukan sosialisasi ke desa terkait alokasi areal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(6). Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat yang ada di Jakarta, Provinsi atau Kabupaten/Kota.
BAB III
KEGIATAN DAN POLA HTR
Pasal 4
(1). Kegiatan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (UPHHK) pada HTR melalui
kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan,
dan pemasaran.
(2). Tanaman yang dihasilkan dari UPHHK pada HTR merupakan aset pemegang
izin usaha, dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku.
(3). Dalam hal terdapat tegakan hutan alam pada areal yang dicadangkan sebagai
areal pencadangan HTR, areal hutan alam tersebut ditetapkan sebagai areal
perlindungan setempat dan pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).
(4)

Dalam hal terdapat tegakan mangrove pada areal yang dicadangkan sebagai
areal pencadangan HTR, areal mangrove tersebut dapat dikembangkan sebagai
kegiatan HTR.

(5). Dalam hal areal pencadangan HTR terdapat tegakan rehabilitasi dengan dana
reboisasi (DR)/DJR, izin pemanfaatannya dengan IUPHHK Hutan Tanaman
Hasil Rehabilitasi (HTHR) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 5
Pola
a.
b.
c.

HTR terdiri dari :


pola mandiri;
pola kemitraan; atau
pola Developer.
Pasal 6

(1). HTR Pola Mandiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a, adalah HTR
yang dibangun oleh pemegang IUPHHK-HTR.

(2). HTR Pola Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b, adalah HTR
yang dibangun oleh BUMN atau BUMS atas permintaan pemegang IUPHHKHTR dan biaya pembangunannya menjadi tanggung jawab pemegang IUPHHKHTR.
(3). HTR Pola Developer sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c, adalah HTR
yang dibangun oleh pemegang IUPHHK-HTR bersama dengan mitra
berdasarkan
kesepakatan
bersama
dengan
difasilitasi
oleh
Pemerintah/Pemerintah Daerah agar terselenggara kemitraan yang
menguntungkan kedua belah pihak.
(4). Developer sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bukan pemegang IUPHHKHTR.
(5). Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kemitraan dan developer sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal.
BAB IV
BUDIDAYA TANAMAN HTR
Pasal 7
(1). Budidaya tanaman HTR dilaksanakan berdasarkan kondisi tapak, sosial
ekonomi dan sosial budaya setempat.
(2). Jenis tanaman pokok yang dapat dikembangkan untuk pembangunan usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu HTR terdiri dari :
a. tanaman sejenis; atau
b. tanaman berbagai jenis.
(3)

Jenis tanaman pokok sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
adalah tanaman berkayu yang hanya terdiri satu jenis (species) dan
varietasnya.

(4)

Jenis tanaman pokok berbagai jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b, adalah tanaman berkayu yang dikombinasikan dengan tanaman
budidaya tahunan yang berkayu antara lain karet, tanaman berbuah, bergetah
dan jenis pohon penghasil pangan dan energi. Tanaman budidaya tahunan
paling luas 40% (empat puluh persen) dari areal kerja dan tidak didominasi
oleh satu jenis tanaman.

Pasal 8
(1)

Dalam hal pembangunan hutan tanaman pokok berbagai jenis sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), terdapat tanaman campuran atau tanaman
monokultur (sawit) yang telah ada, pemegang izin wajib mengembangkan
tanaman kehutanan yang bercampur dengan tanaman yang sudah ada.

(2). Dalam hal terdapat tanaman sawit di atas areal HTR dan berumur rata-rata
diatas 3 (tiga) tahun, pemegang izin diberikan kesempatan mengembangkan
tanaman sawit, tersebut sampai umur 20 (dua puluh) tahun, dengan kewajiban
menanam tanaman kehutanan sebagai batas petak dan blok.
(3). Dalam hal tanaman sawit berumur rata-rata di atas 10 (sepuluh ) tahun, wajib
ditanami tanaman kehutanan sebagai tanaman sela menyebar dengan jumlah
400 pohon per hektar dan/atau dengan jarak 5 (lima) x 5 (lima) meter.
(4). Dalam hal tanaman sawit berumur rata-rata 20 (dua puluh) tahun atau lebih,
tanaman sawit harus ditebang dan diganti tanaman hutan dan tanaman sela
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), selanjutnya dipelihara sampai umur
masak tebang sesuai dengan jenis dan tapaknya.
(5)

Pemanfaatan hasil hutan tanaman sejenis dan tanaman berbagai jenis


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), serta tanaman campuran atau
tanaman monokultur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diwajibkan
membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(6). Ketentuan lebih lanjut mengenai budidaya tanaman HTR, diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal.
BAB V
PERSYARATAN DAN TATA CARA PERMOHONAN
Bagian Kesatu
Pemohon
Pasal 9
(1). Yang dapat memperoleh IUPHHK-HTR, adalah :
a.
perorangan;
b.
koperasi.
(2). Perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah Warga
Negara Indonesia orang yang cakap bertindak menurut hukum yang tinggal di
sekitar hutan.

(3). Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah koperasi dalam
skala usaha mikro, kecil, menengah dan dibangun oleh masyarakat setempat
yang tinggal di desa terdekat dari hutan, dan diutamakan penggarap lahan
pada areal pencadangan HTR.
(4). Dalam hal seseorang yang menyelesaikan pendidikan kehutanan formal dan
bidang ilmu lain yang pernah bekerja dibidang kehutanan dan pendamping,
bersama-sama dengan masyarakat setempat yang tinggal di sekitar hutan
dapat mendirikan koperasi guna memperoleh IUPHHK-HTR sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5). Dalam hal ketentuan pendirian koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat 4
(empat) sulit diwujudkan, perorangan dapat diberikan izin IUPHHK-HTR paling
luas 4 (empat) hektar.
Pasal 10
(1). Luas areal HTR paling luas 15 (lima belas) hektar untuk setiap pemegang izin
perorangan.
(2). Dalam hal pemegang izin berbentuk koperasi, areal HTR paling luas 700 (tujuh
ratus) hektar dengan didukung oleh daftar nama anggota koperasi yang jelas
identitasnya,
(3). Letak areal sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2), harus berada dalam
lokasi pencadangan HTR yang telah ditetapkan oleh Menteri.
Bagian Kedua
Persyaratan Pemohon
Pasal 11
(1). Persyaratan pemohon yang diajukan oleh perorangan :
a.
fotocopy KTP, sesuai dengan yang diusulkan pada saat pencadangan
areal;
b.

keterangan dari Kepala Desa bahwa pemohon berdomisili di desa


tersebut;

c.

sketsa areal yang dimohon.

(2). Persyaratan permohonan yang diajukan oleh koperasi :


a.
foto copy Akte Pendirian;

b.

c.
d.

e.

keterangan dari Kepala Desa yang menyatakan bahwa koperasi dibentuk


oleh masyarakat desa tempatan, bukan dari masyarakat luar desa
bersangkutan;
beberapa desa tempatan sekitar hutan dapat membentuk satu koperasi
HTR;
dalam hal di desa sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c,
sudah memiliki koperasi, koperasi tersebut dapat mengajukan
permohonan IUPHHK-HTR;
peta areal yang dimohon untuk luasan di atas 15 (lima belas) hektar
dengan paling kecil skala 1:10.000.

(3). Pembuatan peta dan/atau sketsa areal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dan ayat (2) huruf e, difasilitasi oleh Pendamping HTR.
(4). Sketsa dan/atau peta areal yang dimohon sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c dan ayat (2) huruf e, antara lain memuat informasi mengenai
wilayah administrasi pemerintahan, koordinat dan batas-batas yang jelas, dan
berada dalam areal pencadangan HTR yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 12
Pemohon IUPHHK-HTR perorangan membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) untuk
memudahkan pelayanan dalam proses permohonan IUPHHK-HTR.
Bagian Ketiga
Tata Cara Permohonan Perorangan
Pasal 13
(1). Perorangan dan/atau Ketua Kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a, mengajukan permohonan IUPHHK-HTR kepada
Bupati/Walikota atau Kepala KPHP melalui Kepala Desa dengan tembusan
kepada Kepala UPT.
(2). Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (1), dan/atau dilampiri dengan
susunan anggota Kelompok Tani Hutan (KTH).
(3). Berdasarkan permohonan IUPHHK-HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Desa melakukan verifikasi KTP atau domisili, dan disampaikan kepada
Kepala Dinas Kabupaten/Kota dan/atau Kepala KPHP dengan tembusan kepada
Camat dan Kepala UPT.

(4). Kepala UPT berdasarkan tembusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
melakukan verifikasi atas persyaratan administrasi dan sketsa/peta areal yang
dimohon, berkoordinasi dengan BPKH dan hasilnya disampaikan kepada
Bupati/Walikota dan/atau Kepala KPHP sebagai pertimbangan teknis.
(5). Berdasarkan pertimbangan dari Kepala UPT sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Bupati/Walikota atas nama Menteri menerbitkan IUPHHK-HTR dengan
tembusan kepada :
a.
Menteri;
b.
Gubernur;
c.
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan;
d.
Kepala Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan;
e.
Kepala Dinas Kabupaten yang membidangi Kehutanan; dan
f.
Kepala UPT.
(6). Dalam hal KUHP dan personilnya sudah ditetapkan, Kepala KPHP atas nama
Menteri menerbitan IUPHHK-HTR dengan tembusan kepada :
a.
Menteri;
b.
Gubernur;
c.
Bupati/Walikota;
d.
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan;
e.
Kepala Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan;
f.
Kepala Dinas Kabupaten yang membidangi Kehutanan; dan
g.
Kepala UPT.
(7). Kepala UPT melaporkan kepada Menteri, rekapitulasi penerbitan Keputusan
IUPHHK-HTR secara periodik tiap 3 (tiga) bulan.
Bagian Keempat
Tata Cara Permohonan Koperasi
Pasal 14
(1). Ketua Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b,
mengajukan permohonan IUPHHK-HTR kepada Bupati/Walikota atau Kepala
KPHP dengan tembusan kepada Kepala Desa dan Kepala UPT.
(2). Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (2), dan dilampiri dengan susunan
anggota koperasi.
(3). Berdasarkan tembusan permohonan IUPHHK-HTR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Kepala Desa melakukan verifikasi keabsahan anggota Koperasi dan

disampaikan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota dan/atau Kepala KPHP


dengan tembusan kepada Camat dan Kepala UPT.
(4). Kepala UPT berdasarkan tembusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
melakukan verifikasi atas persyaratan administrasi dan sketsa/peta areal yang
dimohon serta berkoordinasi dengan BPKH dan hasilnya disampaikan kepada
Bupati/Walikota atau Kepala KPHP sebagai pertimbangan teknis.
(5). Berdasarkan pertimbangan dari Kepala UPT, Bupati/Walikota atas nama
Menteri menerbitkan IUPHHK-HTR dengan tembusan kepada :
a.
Menteri;
b.
Gubernur;
c.
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan;
d.
Kepala Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan;
e.
Kepala Dinas Kabupaten yang membidangi Kehutanan; dan
f.
Kepala UPT.
(6). Dalam hal KPHP dan personilnya sudah ditetapkan, Kepala KPHP atas nama
Menteri menerbitkan IUPHHK-HTR dengan tembusan kepada :
a.
Menteri;
b.
Gubernur;
c.
Bupati/Walikota;
d.
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan;
e.
Kepala Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan;
f.
Kepala Dinas Kabupaten yang membidangi Kehutanan;
g.
Kepala UPT.
(7). Kepala UPT melaporkan kepada Menteri, rekapitulasi penerbitan Keputusan
IUPHHK-HTR secara periodik tiap 3 (tiga) bulan.
Pasal 15
Dalam hal areal yang dimohon untuk HTR berada di luar areal yang telah ditetapkan
oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, Bupati/Walikota atau Kepala
KPHP mengusulkan areal dimaksud kepada Menteri untuk ditetapkan sebagai areal
pencadangan HTR.
Pasal 16
(1). IUPHHK-HTR diberikan untuk jangka waktu 60 (enam puluh) tahun, dan dapat
diperpanjang satu kali untuk jangka waktu 35 tahun.
(2). Setiap 2 (dua) tahun diadakan evaluasi terhadap perizinan seperti pada ayat
(1), oleh Balai.

(3). Dalam hal evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dinyatakan perizinan,
tidak sesuai ketentuan, Bupati dapat membatalkan izin yang telah diterbitkan.
(4). Selanjutnya Bupati dapat menerbitkan kembali perizinan IUPHHK-HTR kepada
pemohon izin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan pasal 14.
Pasal 17
(1). Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat tidak
dapat diperjualbelikan, dipindahtangankan tanpa izin, dan diwariskan.
(2). Dalam hal pemegang IUPHHK-HTR Perorangan meninggal dunia, salah satu
ahli waris diutamakan untuk memohon IUPHHK-HTR pada areal yang sama
untuk melanjutkan pembangunan HTR.
Pasal 18
(1). Pemberian IUPHHK-HTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan
ayat (6) dan Pasal 14 ayat (5) dan ayat (6), dilampiri sketsa areal kerja yang
memuat informasi untuk luasan sampai dengan 15 (lima belas) hektar dan peta
areal kerja untuk luasan diatas 15 (lima belas) hektar.
(2). Dalam hal pelaksanaan tata batas antar pemegang izin perorangan dan
koperasi, pemegang IUPHHK-HTR melakukan pengukuran dan perpetaan
partisipatif dengan difasilitasi oleh Pendamping HTR.
(3). Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan melakukan pelatihan pengukuran dan
perpetaan partisipatif kepada Pemegang IUPHHK-HTR dan Pendamping HTR.
(4). Biaya pelatihan pengukuran dan perpetaan partisipatif sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), dibebankan kepada anggaran Kementerian Kehutanan.
BAB VI
KELEMBAGAAN KELOMPOK, PENDAMPING DAN PEMBIAYAAN
Bagian Kesatu
Kelembagaan Kelompok
Pasal 19
(1). Perorangan dalam masyarakat desa tempatan sekitar hutan membentuk
Kelompok Tani Hutan (KTH) dengan difasilitasi oleh Pendamping HTR.
(2). Setiap Kelompok Tani Hutan harus memiliki nama kelompok, pengurus
kelompok dan peraturan kelompok.

(3). Peraturan Kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berisi antara lain :
a.
hak dan kewajiban anggota;
b.
kewajiban terhadap penyelenggaraan HTR;
c.
kewajiban pengamanan dan perlindungan areal;
d.
hak dan kewajiban terhadap keuangan kelompok; dan
e.
kewajiban membangun antar kelompok di dalam atau di desa terkait.
(4). Bupati, Camat, dan Kepala Desa dalam memfasilitasi penguatan kelembagaan
dan peningkatan kapasitas, dapat bekerja sama dengan Lembaga Swadaya
Masyarakat, Perguruan Tinggi dan/atau Pendamping HTR.
Bagian Kedua
Pendamping HTR
Pasal 20
(1). Pemegang HTR adalah perorangan yang ditetapkan melalui Keputusan
Bupati/Walikota untuk mendampingi masyarakat dalam melakukan
pembangunan HTR.
(2). Kegiatan Pendampingan HTR pada Pemegang IUPHHK-HTR dilakukan sejak
pembentukan KTH atau Koperasi.
(3). Seleksi dan pengusulan pendamping dilakukan oleh Dinas Kehutanan
Kabupaten/Kota bersama dengan UPT.
(4). Pendamping berasal dari Penyuluh Kehutanan, LSM, Lulusan pendidikan formal
Kehutanan dan Pertanian, Sarjana Sosial, purna bhakti kehutanan, serta bidang
ilmu lainnya yang pernah bekerja di bidang Kehutanan.
(5). Pendamping HTR yang berasal dari LSM diusulkan oleh Pengurus LSM.
(6). Pendamping HTR bertugas memfasilitasi pengembangan organisasi pemegang
izin HTR, transfer pengetahuan dan keterampilan kehutanan, perencanaan dan
pelaksanaan HTR, peluang kerja dan peluang berusaha, partisipasi dan sikap
dalam pelaksanaan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.
(7). Biaya pendampingan dibebankan pada anggaran pemerintah selama 3 (tiga)
tahun dan selanjutnya dibebankan pada anggaran Pemerintah Kabupaten/Kota.
(8). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara seleksi dan pendampingan diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Bagian Ketiga
Pembiayaan
Pasal 21
(1). Pembangunan HTR dapat dibiayai melalui Pola Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum, Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU Pusat P2H),
Perbankan maupun pihak lain yang tidak mengikat.
(2). Dalam Hal Pemegang IUPHHK-HTR meminjam dana pembangunan HTR
kepada BLU Pusat P2H dan mematuhi ketentuan Peraturan Perundangundangan.
(3). Tata Cara dan Persyaratan permohonan pinjaman dana untuk pembangunan
HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB VII
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 22
Pembangunan IUPHHK-HTR mempunyai hak :
a.
melakukan kegiatan sesuai izin;
b.
mendapatkan pinjaman dana bergulir sesuai ketentuan;
c.
bimbingan dan penyuluhan teknis; dan
d.
mengikuti pendidikan dan latihan serta peluang mendirikan industri dan
memperoleh fasilitas pemasaran hasil hutan.
Pasal 23
(1). Pemegang IUPHHK-HTR wajib :
a.
menyusun RKU PHHK-HTR dan RKT PHHK-HTR;
b.
melaksanakan pengukuran dan perpetaan areal kerja.
(2). Penyusunan RKU PHHK-HTR dan RKT PHHK-HTR sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, dapat difasilitasi oleh Pendamping HTR, UPT dan/atau
Perguruan Tinggi di Bidang Kehutanan.

BAB VIII
PENGAWASAN, PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 24
(1). Kepala Desa melakukan
pembangunan HTR.
(2). Kepala Dinas Kehutanan
pembinaan IUPHHK-HTR.

pengawasan

Kabupaten

peserta

dan

pelaksanaan

Kepala

KPHP

kegiatan

melaksanakan

(3). Kepala Dinas Provinsi dan/atau Kepala UPT melakukan pengendalian


pelaksanaan pembangunan HTR, dan melaporkan setiap 3 (tiga) bulan kepada
Direktur Jenderal.
(4). Kepala Pusat P2H melakukan pengendalian dan evaluasi penggunaan dana
pinjaman pembangunan HTR.
(5). Biaya pengawasan, pembinaan dan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

pengendalian

dibebankan

kepada

Pasal 25
(1). Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), dengan bentuk peta
digital, dibuat dalam format digital Shapefile (shp) dengan sistem koordinat
geografis latitude-longitude untuk dapat dipergunakan dalam pemantauan dan
diunggah (upload) ke dalam penyedia jasa kehutanan.
(2). Peta digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa hasil pengukuran
peta tanaman dan dilengkapi dengan tabel register atau atribut yang berisi
informasi : nomor blok, luas blok, nomor petak, koordinat pusat petak, jenis
tanaman, tahun tanaman dan persentasi tumbuh.
(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pengukuran, pelaporan dan
verifikasi kegiatan pemanfaatan hutan lestari pada areal kerja izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan peraturan Direktur Jenderal.
BAB IX
HAPUSNYA IZIN
Pasal 26
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam
Hutan Tanaman hapus karena :

a.
b.
c.
d.

dikembalikan oleh pemegang izin;


dicabut oleh pemberi izin;
berakhirnya masa berlaku izin; atau
meninggalnya pemegang IUPHHK-HTR perorangan.
Pasal 27

Pencabutan IUPHHK-HTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, dikenakan


apabila pemegang izin :
a.
memindahtangankan IUPHHK-HTR tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin;
b.
tidak melaksanakan kegiatan nyata di lapangan untuk paling lambat 1 (satu)
tahun sejak izin diberikan; atau
c.
tidak menyusun RUPHHK-HTR, paling lambat 2 (dua) tahun setelah izin
diberikan.
Pasal 28
Hapusnya izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, tidak mengakibatkan
hapusnya kewajiban melunasi pinjaman pemegang izin.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
(1). Dalam hal terdapat IUPHHK-HTR bagi Koperasi yang diterbitkan oleh Bupati
sebelum diberlakukannya ketentuan ini, yang memiliki luasan lebih dari 700
(tujuh ratus) hektar dilakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
(2). Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan
berkinerja buruk, Bupati dapat membatalkan izin luasannya dan sisa luasan
areal diberikan kepada pemohon lainnya.
(3). Dalam hal terdapat Keputusan Pencadangan HTR yang telah terbit sebelum
berlakunya Peraturan ini dan belum diterbitkan IUPHHK-HTR, diatur sebagai
berikut :
a.
terhadap Keputusan Pencadangan HTR yang telah berumur lebih dari
atau sama dengan 3 (tiga) tahun, diberikan kesempatan 1 (satu) tahun
sejak terbitnya Peraturan ini untuk menerbitkan IUPHHK-HTR; dan
b.
terhadap Keputusan Pencadangan HTR yang berumur 1 (satu) hingga 2
(dua) tahun, diberi kesempatan 2 (dua ) tahun sejak terbitnya Peraturan
ini untuk menerbitkan IUPHHK-HTR.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.23/Menhut-II/2007 Tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat Dalam Hutan Tanaman sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.5/Menhut-II/2008 dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 31
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 6 Juli 2011
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 407
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
ttd
KRISNA RYA, SH, MH.
NIP. 19590730 199003 1 001

21. Peraturan

Menteri

P.3/Menhut-II/2012

Kehutanan
tentang

Republik

Rencana

Indonesia
Kerja

pada

Nomor
Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan, Hutan Kayu, Hutan Tanaman Rakyat.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : P.3/Menhut-II/2012
TENTANG
RENCANA KERJA PADA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN,
HUTAN KAYU, HUTAN TANAMAN RAKYAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang

: a. bahwa berdasarkan Pasal 75 ayat (3), Peraturan Pemerintah Nomor


6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 3 Tahun 2008,
telah ditetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 62/MenhutII/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2009 tentang Rencana Kerja
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan
Hutan Tanaman Rakyat;
b. bahwa dalam rangka efisiensi dan efektifitas penyusunan, penilaian,
persetujuan RKUPHHK-HTR, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.62/Menhut-II/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.14/Menhut-II/2009 tentang Rencana
Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri
dan Hutan Tanaman Rakyat tersebut huruf a, perlu dilakukan
penyesuaian.
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut perlu menetapkan Peraturan
Menteri Kehutanan tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat.

Mengingat

: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007

Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor


3687);
3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Nomor
167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 19 Tahun
2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undangundang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844),
5. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725),
6. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4452);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2008
Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4814);
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009
tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II Periode 2009
2014;
9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009
tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara Republik
Indonesia;

10. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010


tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Kementerian Negara serta
Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara
Republik Indonesia;
11. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan
Perbaikan Iklim Investasi;
12. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2008 tentang
Persyaratan Kelompok Tani Hutan untuk mendapatkan Pinjaman
Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat;
13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2008 tentang
Kompetensi dan Sertifikasi Tenaga Teknis Pengelolaan Hutan
Produksi Lestari (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 52) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.20/Menhut-II/2010 (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 221);
14. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 64/Menhut-II/2009 tentang
Standard Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Hutan
Tanaman Rakyat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 389);
15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);
16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011 tentang
Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 407);
MEMUTUSKAN
Menetapkan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG RENCANA


KERJA PADA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU
HUTAN TANAMAN RAKYAT
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan :


1.

Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat yang
selanjutnya disingkat IUPHHK-HTR adalah izin usaha yang diberikan untuk

memanfaatkan hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi yang dibangun oleh
perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi
yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan
kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin
kelestarian sumber daya hutan.
2.

Kelompok Tani Hutan yang selanjutnya disingkat KTH adalah kumpulan individu
petani dalam suatu wadah organisasi yang tumbuh berdasarkan kebersamaan,
kesamaan profesi dan kepentingan untuk bekerja sama dalam rangka pembangunan
usaha hutan tanaman dalam rangka kesejahteraan anggotanya.

3.

Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat yang
selanjutnya disingkat RKUPHHK-HTR adalah Rencana Kerja IUPHHK-HTR untuk
seluruh areal kerja yang berlaku selama daur tanaman pokok yang dominan, antara
lain memuat aspek kelestarian hutan, kelestarian usaha, aspek keseimbangan
lingkungan dan pembangunan sosial ekonomi setempat.

4.

Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman
Rakyat yang selanjutnya disebut RKTUPHHK-HTR adalah rencana kerja IUPHHK-HTR
dalam satu KTH dan/atau Koperasi dengan jangka waktu 1 (satu) tahun yang
disusun berdasarkan RKUPHHK-HTR.

5.

Tanaman Pokok adalah Tanaman untuk tujuan produksi hasil hutan berupa kayu
perkakas/pertukangan dan atau bukan perkakas/pertukangan.

6.

Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan bertanggung
jawab di bidang Bina Usaha Kehutanan.

7.

Direktur adalah Direktur yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang Bina
Usaha Hutan Tanaman.

8.

Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
Kehutanan di Provinsi.

9.

Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di
bidang Kehutanan di Kabupaten/Kota.

10. Unit Pelaksana Teknis (UPT) adalah Unit Pelaksana Teknis yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal.
BAB II
RKUPHHK-HTR
Pasal 2
(1). RKUPHHK-HTR diusulkan oleh pemegang IUPHHK-HTR yang disusun dengan dibantu
oleh pendamping atau oleh konsultan yang bergerak di bidang kehutanan dan atau

oleh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang Kehutanan dan


difasilitasi oleh Kepala UPT.
(2). Usulan RKUPHHK-HTR bagi pemegang IUPHHK-HTR koperasi yang dibantu
pendamping disusun untuk satu koperasi.
(3). Usulan RKUPHHK-HTR bagi pemegang IUPHHK-HTR perorangan yang dibantu
pendamping disusun untuk satu KTH atau lebih yang berada dalam satu hamparan.
(4). Usulan RKUPHHK-HTR diajukan kepada pejabat yang mengurusi bidang kehutanan di
Kabupaten/Kota untuk mendapat persetujuan.
(5). Dalam hal telah berbentuk RPKH, usaha RKUPHHK-HTR diajukan kepala KPHP untuk
mendapat persetujuan.
(6). Salinan RKUPHHK-HTR yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), disampaikan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kehutanan
Provinsi, dan Kepala UPT.
(7). Biaya yang diperlukan untuk fasilitas oleh Kepala UPT sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dibebankan pada anggaran Kementerian Kehutanan.
Pasal 3
Pedoman Penyusunan, Penilaian, dan Persetujuan RKUPHHK-HTR sebagaimana format
yang tercantum pada Lampiran I Peraturan ini.
BAB III
RKTUPHHK-HTR
Pasal 4
(1). Setiap pemegang IUPHHK-HTR wajib menyusun RKTUPHHK-HTR dengan dibantu
pendamping dan difasilitasi oleh Kepala UPT.
(2). Usulan RKTUPHHK-HTR bagi Pemegang IUPHHK-HTR koperasi disusun untuk satu
koperasi.
(3). Usulan RKTUPHHK-HTR bagi pemegang IUPHHK-HTR perorangan disusun untuk satu
KTH.
(4). Usulan RKTUPHHK-HTR diajukan kepada pejabat yang mengurusi bidang kehutanan
di Kabupaten/Kota untuk mendapat persetujuan.
(5). Dalam hal telah terbentuk KPHP, usulan RKTUPHHK-HTR diajukan kepada kepala
KPHP untuk mendapat persetujuan.

(6). Salinan RKTUPHHK-HTR yang telah mendapat persetujuan, sebagaimana dimaksud


pada ayat (4), disampaikan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Provinsi, dan
Kepala UPT.
(7). Dalam hal terdapat hasil sampingan yang dihasilkan dari tanaman pokok seperti
getah, kulit kayu, biji-bijian atau daun dalam areal kerja pemegang IUPHHK-HTR,
maka pemanfaatannya dimasukkan dalam RKTUPHHK-HTR.
BAB IV
PERUBAHAN/REVISI RKUPHHK-HTR
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1). Perubahan/revisi terhadap RKUPHHK-HTR dapat dipertimbangkan apabila terjadi :
a. Penambahan dan pengurangan areal kerja,
b. Perubahan daur dan jenis tanaman,
c. Perubahan terhadap kondisi fisik sumber daya hutan yang disebabkan oleh faktor
manusia maupun faktor alam serta penggunaan kawasan oleh sektor lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau
d. Perubahan sistem dan teknik silvikultur serta perubahan lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(2). Perubahan/revisi RKUPHHK-HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinilai dan
disetujui oleh pejabat yang mengurus bidang kehutanan di Kabupaten/Kota.
(3). Dalam hal telah terbentuk KPHP, perubahan/revisi RKUPHHK-HTR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dinilai dan disetujui oleh Kepala KPHP.
(4). Masa berlaku perubahan/revisi RKUPHHK-HTR
RKUPHHK-HTR yang diubah atau yang direvisi.

sampai

dengan

berakhirnya

Bagian Kedua
Masa Berlaku dan Revisi RKTUPHHK-HTR
Pasal 6
(1). RKTUPHHK-HTR berlaku untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
ditetapkan dan bukan berdasarkan 1 (satu) bulan kalender.
(2). Dalam melaksanakan kegiatan RKTUPHHK-HTR diperlukan revisi, maka usulan revisi
diajukan kepada Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota atau Kepala KPHP.

(3). Revisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dipertimbangkan apabila
terdapat:
a. Perubahan luas areal IUPHHK-HTR
b. Perubahan RKUPHHK-HTR
(4). Usulan revisi RKTUPHHK-HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disusun oleh
pemegang IUPHHK-HTR dengan dibantu pendamping dan difasilitasi oleh Kepala
UPT, untuk mendapat pengesahan pejabat yang membidangi urusan kehutanan di
Kabupaten/Kota atau Kepala KPHP.
(5). Usulan Revisi RKTUPHHK-HTR sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat disetujui
Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota atau Kepala KPHP dan masa berlaku revisi
RKTUPHHK-HTR sampai dengan berakhirnya RKTUPHHK-HTR yang direvisi.
(6). Dalam hal terdapat rencana kegiatan yang tidak dapat direalisasikan pada
RKTUPHHK-HTR tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
maka rencana kegiatan yang tidak terealisasi tersebut dapat diusulkan kembali dan
atau ditambahkan pada RKTUPHHK-HTR tahun berikutnya.
Pasal 7
Pedoman, Penyusunan, Penilaian, dan Pengesahan RKTUPHHK-HTR sebagaimana format
yang tercantum pada Lampiran II Peraturan ini.
BAB V
PELAPORAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 8
(1). Pemegang RKTUPHHK-HTR wajib membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan
RKTUPHHK-HTR setiap 3 (tiga) bulan dan tahunan kepada Kepala Dinas Kehutanan
Provinsi, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota atau Kepala KPHP dan Kepala
UPT.
(2). Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota atau Kepala KPHP dan Kepala UPT wajib
menyampaikan rekapitulasi laporan pelaksanaan/realisasi RKTUPHHK-HTR secara
periodik 3 (tiga) bulan dan tahunan kepada Direktur Jenderal c.q. Direktur.
(3). Kepala UPT melaksanakan pengendalian dan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4). Format Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sebagaimana
tercantum pada lampiran III Peraturan ini.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 9
(1). RKTUPHHK-HTR yang telah disetujui sebelum berlakunya ketentuan ini tetap berlaku
sampai berakhirnya masa berlakunya RKUPHHK-HTR.
(2). RKTUPHHK-HTR yang telah disetujui sebelum berlakunya ketentuan ini tetap berlaku
sampai berakhirnya masa berlakunya RKUPHHK-HTR.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Dengan ditetapkannya Peraturan ini maka Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja, Rencana Kerja Tahunan dan Bagan Kerja
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman
Rakyat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.14/Menhut-II/2009, yang terkait dengan Rencana Kerja Tahunan pada Hutan Tanaman
Rakyat, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11
Peraturan Menteri Kehutanan ini berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri


Kehutanan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2012
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
Pada Tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK LINDONESIA
ttd
Amir Syamsudin
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 66
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
ttd
KRISNA RYA
NIP. 19590730 199003 1 001

Lampiran I Peraturan Menteri Kehutanan


Nomor
Tanggal

: P.3/Menhut-II/2012
: 12 Januari 2012

FORMAT PENYUSUNAN USULAN RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN


KAYU PADA HUTAN TANAMAN RAKYAT (RKUPHHK-HTR)
Halaman sampul/judul

RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HTR


UNTUK JANGKA WAKTU........TAHUN
IUPHHK HTR KOPERASI/KTH .......
PERIODE .....S/D ......

KABUPATEN/KOTA .......
PROPINSI .....
TAHUN

Halaman Persetujuan

HALAMAN PERSETUJUAN
RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HTR
UNTUK JANGKA WAKTU ..... TAHUN
IUPHHK HTR KOPERASI/KTH .......
PERIODE .....S/D .......
KABUPATEN/KOTA ......
PROVINSI...........

DISETUJUI TANGGAL ........


NOMOR..........
TTD
KEPALA DINAS
KABUPATEN/KOTA

BAB I DATA POKOK


A.

Pemegang izin
Sub Bab ini memuat data dan informasi antara lain nama-nama kelompok dan/atau
koperasi pemegang IUPHHK-HTR dalam hutan tanaman, dan susunan pengurus
kelompok.

B.

Kondisi Areal Kerja


Sub bab ini memuat uraian mengenai luas, data fisik areal kerja meliputi letak
berdasarkan kelompok hutan, wilayah administrasi pemerintahan (Desa, Kecamatan,
Kabupaten) dan pemangkuan kawasan hutan (Dinas Kehutanan Kabupaten) dan
penjelasan mengenai akses menuju lokasi IUPHHK-HTR dari Ibukota Kabupaten/Kota
terdekat. Informasi pada sub bab ini disajikan secara pointers, ringkas dan jelas.

BAB II RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HTR UNTUK
.....
TAHUN
Pada Bab ini diuraikan tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
pada HTR selama daur tanaman pokok sebagai berikut :
Tabel I Rencana Kerja Usaha IUPHHK HTR

No.

Kegiatan

1.

Pemanfaatan batas areal IUPHHK-HTR


(Km)
Pemetaan rencana tata batas areal
IUPHHK-HTR
Inventarisasi Tegakan ( Ha)
Pengadaan bibit
a. Jumlah Bibit
b. Persemaian
Penanaman
a. Luas
b. Lokasi
Pemeliharaan
a. Penyulaman
b. Penjarangan
Perlindungan dan Pengamanan Ha
Rencana Pemanenan
a. Jenis
b. Luas (Ha)
Rencana Pemasaran

2.
3.
4.

5.

6.

7.
8.

9.

II

Rencana
III ... Dst Ket

LAMPIRAN
Peta Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR (RKUPHHK HTR) untuk
jangka waktu selama daur tanaman pokok periode ...... s/d .....
Lampiran II Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor
Tanggal

: P.3/Menhut-II/2012
: 12 Januari 2012

FORMAT PENYUSUNAN,PENILAIAN DAN PENGESAHAN RENCANA KERJA TAHUNAN USAHA


PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN RAKYAT (RKUPHHK-HTR)
Halaman sampul/judul
Halaman sampul/judul memuat nama pemegang IUPHHK HTR dalam hutan tanaman,
nomor dan tanggal Keputusan IUPHHK HTR dalam hutan tanaman, hutan areal, lokasi
provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan dengan format sebagai berikut:
RENCANA KERJA TAHUNAN
USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HTR
IUPHHK HTR KOPERASI/KTH .......
TAHUN ....
LUAS ....HA

KABUPATEN/KOTA .......
PROPINSI .....
TAHUN

Halaman Pengesahan
HALAMAN PERSETUJUAN
RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HTR
UNTUK JANGKA WAKTU ..... TAHUN
IUPHHK HTR KOPERASI/KTH .......
PERIODE .....S/D .......
KABUPATEN/KOTA ......
PROVINSI...........

DISETUJUI TANGGAL ........


NOMOR..........
TTD
KEPALA DINAS KAB/KOTA
KEPALA KPHP

BAB I DATA POKOK


A.

Pemegang izin
Sub Bab ini memuat data dan informasi antara lain nama-nama kelompok dan/atau
koperasi pemegang alamat dan nomor telepon IUPHHK-HTR dalam hutan tanaman,
dan susunan pengurus kelompok.

B.

Kondisi Areal Kerja Blok/Petak RKT Tahun


Sub bab ini memuat uraian mengenai luas, data fisik areal kerja meliputi letak
berdasarkan keadaan kelompok hutan, wilayah administrasi pemerintahan (Provinsi,
Kabupaten/kota, Kecamatan, Desa) keadaan lahan(kering, basah, payau dst).

C.

Data Angota Kelompok Tani Hutan


Tabel 1 Data Anggota Kelompok Tani Hutan

No.

Nama Anggota Kelompok

Jumlah
Anggota
Keluarga
(Orang)

Jumlah Tenaga
Kerja keluarga
(Orang)

Keterangan

1.
2.
3.
4.
5.

BAB II. RENCANA KERJA TAHUNAN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA
HUTAN TANAMAN RAKYAT
Pada Bab ini diuraikan tentang Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu pada HTR dalam Hutan Tanaman selama satu tahun sebagimana tabel berikut :
Nama Pemegang Izin

Nomor SK IUPHHK-HTR

Tabel 2.
Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatn Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat
No.

Kegiatan

1.

Penyiapan Lahan

2.

Pembenihan/Pembibitan

3.

Penanaman

4.

Pemeliharaan Tahun I

5.

Pemeliharaan Tahun II

6.

Pemeliharaan Tahun III

7.

Pemeliharaan Lanjutan I

8.

Pemeliharaan Lanjutan II

9.

Pengendalian
hama
penyakit (ha)
Pengendalian kebakaran
(ha)
Pengamanan hutan (Ha)
Pemanenan

10.
11.
12.

13.

14.

Hasil Hutan Lainnya


- HHBK
- Silvopasture
- dll
Pemasaran

Realisasi s/d
Tahun

Rencana
Tahun ini

Keterangan
Dilakukan
tanpa
pembakaran
dan
pembuatan
kanal

Jenis ......
Jumlah ...
Batang ...
Luas
......Ha
- Jenis ......
- Jumlah ...
- Batang ...
Penyulaman
...... Ha
Penyulaman
...... Ha
Penyulaman
...... Ha
Penyulaman
...... Ha
Penyulaman
...... Ha

Luas
......Ha
- Jenis ......
- Jumlah ...
- Batang ...

Jenis ......
Jumlah ...
Batang ...
Luas
......Ha
- Jenis ......
- Jumlah ...
- Batang ...
Penyulaman
...... Ha
Penyulaman
...... Ha
Penyulaman
...... Ha
Penyulaman
...... Ha
Penyulaman
...... Ha

Lampiran III Peraturan Menteri Kehutanan


Nomor
: P.3/Menhut-II/2012
Tanggal
: 12 Januari 2012
DINAS KEHUTANAN KABUPATEN ............
DATA REALISASI RKTUPHHK HTR DATA
TRIWULAN I ( BULAN .......S/D BULAN ........ )

No.

1
2
3

Provinsi/
Kab/
Kota

SK
Pencadangan
Nomor
Tanggal

Luas
(Ha)

SK IUPHHK HTR
Nama
No
Luas
(Koperasi
Tanggal
(Ha)
KTH
Peroragan)

Rencana Penanam
Nama
No
Luas
(Koperasi
Tanggal
(Ha)
KTH
Peroragan)

Realisasi Penanaman
Nama
Luas
Jenis
(Koperasi
(Ha)
Tanaman
KTH
Peroragan)

Dst
Jumlah

DINAS KEHUTANAN.......
Kepala ........
Nama.........
NIP. .........
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
Ttd
KRISNA RYA
NIP. 19590730 199003 1 001

MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd

ZULKIFLI HASAN

Lampiran I Peraturan Menteri Kehutanan


Nomor

: P.3/Menhut-II/2012

Tanggal : 12 Januari 2012

DINAS KEHUTANAN ........................


DATA REALISASI RKTUPHHK-HTR..............
DATA TRIWULAN I ( BULAN :......... S/D .........)

No

1.
2.
3.

Provinsi,
Kabupaten/ Kota

SK.
Pencadangan
Nomor
Tanggal

Luas
(Ha)

SK. IUPHHK-HTR
Nama
(Koperasi,
KTH,
Perorangan

Nomor &
Tanggal

Rencana Penanam
Luas
(Ha)

Nama
(Koperasi,
KTH,
Perorangan

Luas
(Ha)

Jenis
tanaman

Realisasi Penanaman
Nama
(Koperasi,
KTH,
Perorangan

Luas
(Ha)

Jenis
tanaman

......
......
Dst

Jumlah

DINAS KEHUTANAN........
Kepala ........
Nama ..........

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Hukum dan Organisasi,

MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

Ttd

KRISNA RYA
NIP. 19590730 199003 1 001

ZULKIFLI HASAN

NIP. ..........

22. Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia

Nomor

P.4/Menhut-II/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri


Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman
Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : P.4/MENHUT-II/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN
NO. P.48/MENHUT-II/2010
TENTANG
PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN
NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA DAN TAMAN WISATA ALAM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.48/Menhut-II/2010 telah ditetapkan Pengusahaan Pariwisata
Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya
dan Taman Wisata Alam;
b. bahwa dalam pelaksanaan pengusahaan pariwisata alam di
Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan
Taman Wisata Alam, terdapat beberapa jenis usaha penyediaan
sarana wisata alam yang belum diatur dalam Peraturan Menteri
Kehutanan tersebut huruf a;
c.

Mengingat

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada


huruf a dan huruf b, maka perlu membentuk Peraturan Menteri
Kehutanan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman
Hutan Raya dan Taman Wisata Alam;

: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi


Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);

2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4412);
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 59, Tambahan Negara Republik Indonesia
Nomor 4844);
4. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
5. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif dan
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3767) yang telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92,
Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3914);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian
Urusan
Pemerintahan
Antara
Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang


Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman
Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5116);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5217);
10. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PERUBAHAN
ATAS
PERATURAN
MENTERI
KEHUTANAN
NOMOR
P.48/MENHUT-II/2010
TENTANG
PENGUSAHAAN
PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN
NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA DAN TAMAN WISATA
ALAM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/MenhutII/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka margasatwa, Taman
Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 595), diubah sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 ditambah 1 (satu) angka baru setelah angka 19 yaitu angka
20 sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 1
20. Olah raga minat khusus adalah jenis olah raga yang dilaksanakan di alam
terbuka untuk kegiatan rekreasi dan olah raga.
2. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) ditambah 1 (satu) huruf baru yaitu huruf e, serta
ditambah 2 (dua) ayat baru yaitu ayat (4) dan ayat (5), sehingga berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 8
(1). Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 huruf b, meliputi :

a.
b.
c.
d.
e.

Wisata tirta;
Akomodasi;
Transportasi;
Wisata petualangan; dan
Olah raga minat khusus.

(2). Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, huruf b dan huruf d, dapat dilakukan pada zona pemanfaatan
taman nasional, blok pemanfaatan taman wisata alam dan blok
pemanfaatan taman hutan raya.
(3). Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c dapat dilakukan pada semua zona/blok kecuali zona inti taman
nasional.
(4)

Usaha olah raga minat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
e, dapat dilakukan pada blok pemanfaatan taman wisata alam.

(5). Blok pemanfaatan taman wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) yang dapat dibangun untuk usaha olah raga minat khusus, dengan
ketentuan :
a. mengalami degradasi fungsi akibat bencana alam;
b. kelestariannya terancam oleh kegiatan perambahan/tambang liar; dan
c. kemiringannya areal kurang dari 15% (lima belas perseratus)
3. Ketentuan Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) diubah
dan ayat (6) dihapus, serta diantara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 1
(satu) ayat baru yaitu ayat (4a), sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 18
(1). Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat
(2), selambat-lambatnya dalam waktu 15 (lima belas) hari sejak
diterimanya permohonan, Menteri menugaskan Direktur Jenderal untuk
melakukan penilaian atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (4) dan ayat (5).
(2). Direktur Jenderal menugaskan Direktur Teknis terkait melakukan
penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3). Direktur Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan
penilaian dan mengambil tindakan :
a. dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
sesuai dengan persyaratan, Direktur Teknis selambat-lambatnya

dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja mengembalikan permohonan


kepada pemohon.
b. dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sesuai dengan pesyaratan selambat-lambatnya dalam waktu 10
(sepuluh) hari kerja, Direktur Teknis menyampaikan hasil penilaian
kepada Direktur Jenderal.
(4). Berdasarkan hasil penilaian yang disampaikan Direktur Teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, Direktur Jenderal
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja, menyampaikan hasil
penilaian kepada Menteri melalui Sekretaris Jenderal.
(4a). Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) selambatlambatnya dalam waktu 5 (lima) hari melakukan telaahan hukum dan
menyampaikan kepada Menteri apabila telah sesuai dengan
persyaratan atau mengembalikan kepada Direktur Jenderal apabila
tidak sesuai dengan persyaratan.
(5). Menteri selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari sejak
diterimanya hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
menolak atau menerima permohonan.
4. Diantara Pasal 18 dan Pasal 19 disisipkan 1 (satu) Pasal baru yaitu Pasal
18A, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 18 A
(1). Berdasarkan hasil penilaian yang disampaikan kepada Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5), Direktur Jenderal atas
nama Menteri menerbitkan :
a. Persetujuan prinsip apabila hasil penilaian diterima.
b. Surat penolakan apabila hasil penilaian ditolak.
(2). Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak
diterbitkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(5). Ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf d, diubah serta
menambah 1 (satu) huruf baru yaitu huruf e, diantara ayat (1) dan ayat (2)
disisipkan 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (1a), ayat (3) dihapus, serta
diantara ayat (2) dan ayat (4) disisipkan 2 (dua) ayat baru yaitu ayat (3a)
dan ayat (3b) sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 19
(1). Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A
ayat (1) huruf a, pemohon mempunyai kewajiban :
a. Membuat peta areal rencana kegiatan usaha yang akan dilakukan
dengan skala paling kecil 1 : 25.000 (satu banding dua puluh lima ribu)
yang diketahui oleh kepala UPT;
b. Membuat rencana pengusahaan pariwisata alam dan disahkan oleh
Direktur Jenderal;
c. Melakukan pemberian tanda batas yang disupervisi oleh UPT setempat;
d. Menyusun dan menyampaikan dokumen upaya pengelolaan lingkungan
dan upaya pemantauan lingkungan bagi pemohon izin usaha
penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d;
e. Membayar iuran IUPSWA yang dihitung berdasarkan luas areal yang
diizinkan.
(1a). Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi pemohon
IUPSWA untuk olah raga minat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1) huruf e wajib :
a. Menyusun dan menyampaikan dokumen Analisa Mengenai Dampak
Lingkungan (Amdal) sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. Menggunakan jenis tumbuhan asli setempat atau yang pernah
tumbuh/tersebar secara alami di wilayah tersebut untuk kegiatan
tanam menanam;
c. Tidak merusak bentang alam;
d. Tidak menebang pohon;
e. Tidak melakukan kegiatan yang berdampak pada hilangnya keunikan
kawasan taman wisata alam.
(2). Dalam penilaian rencana pengusahaan pariwisata alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, apabila dipandang perlu dapat dilakukan
peninjauan lapangan atau pembahasan dengan instansi terkait.
(3a). Surat Perintah Pembayaran IUPSWA (SPP-IIUPSWA) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e diterbitkan oleh Direktur Jenderal dalam
waktu 5 (lima) hari kerja setelah kewajiban sebagaimana ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d dan ayat (1a) dipenuhi.
(3b). SPP-IIUPSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) harus dilunasi
selambat-lambatnya dalam waktu 24 (dua puluh empat) hari kerja setelah
diterimanya IIUPSWA.

(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian tanda batas diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal.
6. Ketentuan Pasal 20 dihapus.
7. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 21
Dalam hal pemegang persetujuan prinsip belum menyelesaikan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun, maka persetujuan prinsip dibatalkan setelah mendapat peringatan 3
(tiga) kali berturut-turut paling sedikit 3 (tiga) bulan.
8. Ketentuan Pasal 25 ayat (4) dihapus, sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 25
(1). Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilengkapi dengan
persyaratan administrasi dan teknis.
(2). Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a. Akte Pendirian Badan Usaha atau Koperasi dan perubahannya;
b. Surat Izin Usaha Perdagangan;
c. Nomor Pokok Wajib Pajak;
d. Surat Keterangan Kepemilikan Modal atau Referensi Bank;
e. Profil Perusahaan; dan
f. Proposal/rencana kegiatan usaha sarana yang akan dilakukan.
(3). Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa
pertimbangan teknis dari :
a. Kepala UPTD yang membidangi urusan kehutanan di Provinsi atau
Kabupaten/Kota
b. Kepala SKPD yang membidangi urusan kepariwisataan di Provinsi atau
Kabupaten/Kota; dan
c. Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat.
9. Diantara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 6 (enam) Pasal baru yaitu Pasal 25A,
Pasal 25B, Pasal 25C, pasal 25D, Pasal 25E, dan pasal 25F, sehingga berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 25 A
(1). Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2),
selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya

permohonan, Gubernur atau Bupati/Walikota menugaskan Kepala UPTD


untuk melakukan penilaian atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3).
(2). Dalam hal penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai
dengan persyaratan, Kepala UPTD selambat-lambatnya dalam waktu 10
(sepuluh) hari kerja mengembalikan permohonan kepada pemohon.
(3). Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
persyaratan, Kepala UPTD selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh)
hari kerja menyampaikan hasil penilaian kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota.
(4). Gubernur atau Bupati/Walikota selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima)
hari kerja sejak diterimanya hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) menerbitkan persetujuan prinsip IIUPSWA.
(5). Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan untuk
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak diterbitkan oleh Gubernur
atau Bupati/Walikota.
Pasal 25 B
(1). Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25A ayat
(4), pemohon mempunyai kewajiban :
a. Membuat peta areal rencana kegiatan usaha yang akan dilakukan dengan
skala paling kecil 1 : 25.000 (satu banding dua puluh lima ribu) yang
diketahui Kepala UPTD;
b. Membuat rencana pengusahaan pariwisata alam dan disahkan oleh
Direktur Jenderal;
c. Melakukan pemberian tanda batas yang disupervisi oleh UPTD setempat
pada areal yang dimohon;
d. Menyusun dan menyampaikan dokumen upaya pengelolaan lingkungan
dan upaya pemantauan lingkungan bagi pemohon izin usaha penyediaan
sarana wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d;
e. Membayar iuran IUPSWA yang dihitung berdasarkan luas areal yang
diizinkan.
(2). Dalam penilaian rencana pengusahaan pariwisata alam sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, apabila dipandang perlu dapat dilakukan peninjauan
lapangan atau pembahasan dengan instansi terkait.

(3). Biaya yang diperlukan dalam melakukan pemberian tanda batas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, dibebankan kepada Pemohon.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian tanda batas diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 25 C
(1). Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25B ayat (1) telah
dipenuhi, Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu 5 (lima) hari kerja
menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Iuran IUPSWA (SPP-IUUPSWA).
(2). SPP-IIUPSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilunasi selambatlambatnya dalam waktu 24 (dua puluh empat) hari kerja setelah diterimanya
SPP-IIUPSWA.
(3). SPP-IIUPSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dihitung berdasarkan luas
areal yang diizinkan untuk usaha penyediaan sarana wisata alam.
(4). Tata Cara Pembayaran IIUPSWA diatur berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 25 D
Dalam hal pemegang persetujuan prinsip belum menyelesaikan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25B ayat (1) dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun, maka persetujuan prinsip dibatalkan setelah mendapat peringatan 3 (tiga)
kali berturut-turut paling sedikit 3 (tiga) bulan.
Pasal 25 E
Dalam hal pemohon yang telah melunasi SPP-IIUPSWA sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25C ayat (2), Gubernur atau Bupati/Walikota menerbitkan IUPSWA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25C ayat (2) selambat-lambatnya 10 (sepuluh)
hari kerja sejak diterimanya pemenuhan kewajiban.
Pasal 25 F
Pemegang IUPSWA pada taman hutan raya mempunyai kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23.

10. Ketentuan Pasal 26 diantara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat baru
yaitu ayat (2a), sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 26
(1). Luas areal yang diizinkan untuk dibangun sarana wisata alam maksimal
10% (sepuluh perseratus) dari luas areal yang ditetapkan dalam izin.
(2a). Luas areal 10% (sepuluh perseratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan penjumlahan luas tapak pondasi bangunan yang dibangun
untuk sarana wisata alam.
(2). Bentuk bangunan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibangun semi permanen dan bentuknya disesuaikan dengan arsitektur
budaya setempat.
11. Ketentuan Pasal 27 ditambah 3 (tiga) ayat baru setelah ayat (5) yaitu ayat (6),
ayat (7) dan ayat (8), sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 27
(1). Pembangunan sarana untuk menunjang fasilitas sarana wisata tirta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a, antara lain meliputi
pemandian alam, tempat pertemuan/pusat informasi, gudang penyimpanan
alat untuk kegiatan usaha wisata tirta, tempat sandar/tempat berlabuh alat
transportasi wisata tirta.
(2). Pembangunan sarana akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) huruf b, antara lain meliputi :
a. Penginapan/pondok wisata/pondok apung/rumah pohon;
b. Bumi perkemahan;
c. Tempat singgah karavan;
d. Fasilitas akomodasi; dan
e. Fasilitas pelayanan umum dan kantor.
(3). Fasilitas akomodasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d antara
lain meliputi :
a. Ruang pertemuan;
b. Ruang makan dan minum;
c. Fasilitas untuk bermain anak;
d. Spa; dan
e. Gudang.

(4). Fasilitas layanan umum dan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf e antara lain meliputi fasilitas :
a. Pelayanan informasi;
b. Pelayanan telekomunikasi;
c. Pelayanan administrasi;
d. Pelayanan angkutan;
e. Pelayanan penukaran uang;
f. Pelayanan cucian;
g. Ibadah;
h. Pelayanan kesehatan;
i. Keamanan antara lain menara pandang, pemadam kebakaran;
j. Pelayanan kebersihan; dan
k. Mess karyawan
(5). Sarana wisata petualangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf d, antara lain berupa :
a. Outbond;
b. Jembatan antar tajuk pohon (canopy trail);
c. Kabel luncur (flying fox);
d. Balon udara;
e. Paralayang; dan
f. Jalan hutan (Jungle track).
(6). Sarana wisata transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf c, antara lain berupa :
a. Kereta gantung;
b. Kereta listrik;
c. Jety; dan
d. Terminal kereta api/bus wisata.
(7). Sarana wisata olah raga minat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1) huruf e antara lain berupa :
a. Lapangan hijau untuk kegiatan rekreasi dan olah raga;
b. Fasilitas olah raga.
(8). Lapangan hijau untuk kegiatan rekreasi dan olah raga serta fasilitas olah
raga sebagaimana dimaksud pada ayat (7), antara lain :
a. Lapangan/jalur berkuda;
b. Lapangan bermain (fairway, green, teeing ground);
c. Kubah pasir (bunker);
d. Lapangan penahan;
e. Jalur lintasan sepeda;

f.
g.
h.

Ruang pertemuan (club house);


Gudang penyimpanan perlengkapan;
Bak penampung air dan pengolahan limbah.

12. Ketentuan Pasal 30 huruf b diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :


Pasal 30
Bangunan sarana wisata alam dan fasilitas yang menunjang kepariwisataan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan pasal 28 harus memperhatikan :
a. Kaidah konservasi;
b. Tidak mengubah bentang alam dan ramah lingkungan;
c. Sistem sanitasi yang memenuhi standar kesehatan manusia dan kelestarian
lingkungan;
d. Efisiensi dalam penggunaan lahan;
e. Memiliki teknologi pengolahan dan pembuangan limbah;
f. Konstruksi yang memenuhi persyaratan bagi keselamatan;
g. Hemat energi; dan
h. Berpedoman pada ketentuan teknis yang menyangkut keselamatan dan
keamanan dari instansi yang berwenang sesuai dengan rencana pengelolaan

siteplan.
13. Ketentuan Pasal 41 ditambah 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (2), sehingga
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 41
(1). Kerjasama pariwisata alam dapat dilakukan antara :
a. Pengelola kawasan dengan pemegang IUPJWA atau IUPSWA;
b. Pemegang IUPJWA dengan pemegang IUPSWA;
c. Pengelola kawasan, pemegang IUPJWA atau IUPSWA dengan pihak
lain.
(2). Kerjasama yang dilakukan oleh pemegang IUPJWA atau IUPSWA dilakukan
dengan ketentuan :
a. Setelah masa izin berjalan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan bagi
pemegang IUPPJWA perorangan;
b. Setelah masa izin berjalan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun bagi
pemegang IUPJWA badan usaha atau koperasi;
c. Setelah masa izin berjalan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun bagi
pemegang IUPSWA.

14. Ketentuan Pasal 46 ayat (3) huruf b diubah, ayat (3) huruf c dihapus dan antara
ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (3a), sehingga
berbunyi :
Pasal 46
(1). Evaluasi dilaksanakan oleh :
a. Direktur Jenderal, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan;
atau
b. Kepala UPT/UPTD Provinsi, Kabupaten/Kota sesuai kewenangan.
(2). Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui pemeriksaan langsung ke lokasi dan tidak langsung terhadap
laporan kegiatan yang disusun oleh pemegang IUPJWA dan IUPSWA.
(3). Dalam hal hasil evaluasi pengusahaan pariwisata alam menunjukan kinerja
baik, penghargaan dapat diberikan kepada pemegang izin berupa :
a. Prioritas pengembangan usaha di lokasi lain; dan/atau
b. Sertifikat dan/atau insentif berupa perpanjangan otomatis izin usaha
yang dikeluarkan oleh Menteri atau Gubernur atau Bupati/Walikota.
(3a). Rencana Insentif berupa perpanjangan otomatis izin usaha sebagaimana
pada ayat (3) huruf b diberikan pada pemegang izin paling cepat 15 (lima
belas) tahun sebelum izin yang bersangkutan berakhir.
(4). Pengusahaan pariwisata alam yang mempunyai kinerja baik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dengan ketentuan :
a. Tidak melakukan pelanggaran ketentuan perudangan yang berakibat
pidana;
b. Tidak pernah mendapat surat peringatan yang berakibat pada
dicabutnya izin usaha;
c. Keuntungan finansial yang diperoleh pemegang izin selama 5 (lima)
tahun dan berturut-turut menunjukan peningkatan yang signifikan.
(5). Kegiatan evaluasi dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun dan hasil evaluasi dijadikan bahan dalam melaksanakan
pembinaan serta menentukan pemberian insentif atau disinsentif.
15.Ketentuan Pasal 49 ditambah 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (4) sehingga
berbunyi sebagai berikut :

Pasal 49
(1). Setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Pasal 23 dan pasal 25 F, dikenakan
sanksi administratif.
(2). Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian sementara kegiatan; dan
c. Pencabutan izin.
(3).

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan oleh


pemberi izin sesuai dengan kewenangannya.

(4). Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b diberikan oleh :
a. Direktur Jenderal atas nama Menteri pada kawasan suaka margasatwa,
taman nasional, dan taman wisata alam;
b. Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya untuk taman
hutan raya.
16. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 50
(1). Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a, dikenakan kepada setiap pemegang izin
yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1), Pasal 23 dan Pasal 25 F.
(2). Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
Direktur Jenderal atau Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggat
waktu masing-masing 20 (dua puluh) hari kerja.
(3). Dalam hal surat peringatan pertama tidak mendapat tanggapan dari
pemegang izin dan/atau tidak sesuai dengan surat peringatan, Direktur
Jenderal atau Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya menerbitkan surat peringatan kedua.
(4). Dalam hal surat peringatan kedua tidak mendapatkan tanggapan dari
pemegang izin dan/atau substansinya tidak sesuai dengan surat
peringatan, Direktur Jenderal atau Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai
dengan kewenangannya menerbitkan surat peringatan ketiga.
17. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 51
Dalam hal surat peringatan pertama ditanggapi oleh pemegang izin dan
substansinya sudah sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu
diterbitkan peringatan berikutnya dan Direktur Jenderal atau Gubernur atau
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya menyampaikan surat
pemberitahuan kepada pemegang izin untuk dapat melakukan aktivitas sebagai
pemegang izin.
18. Ketentuan Pasal 52 ayat (1) diubah dan ayat (3) dihapus, sehingga berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 52
(1). Dalam hal surat peringatan kedua ditanggapi dan substansinya sudah
sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu diterbitkan peringatan
ketiga dan Direktur Jenderal atau Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai
dengan kewenangannya menyampaikan surat pemberitahuan kepada
pemegang izin untuk tetap dapat melakukan aktivitas sebagai pemegang
izin.
(2). Dalam hal surat peringatan kedua ditanggapi oleh pemegang izin dan
substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu
diterbitkan surat peringatan ketiga.
19. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi :
Pasal 53
(1). Dalam hal surat peringatan ketiga ditanggapi oleh pemegang izin dan
substansinya sudah sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu
dilakukan tindakan penghentian sementara kegiatan dan Direktur Jenderal
atau Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya
menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap
dapat melakukan aktivitas sebagai pemegang izin.
(2). Dalam hal surat peringatan ketiga ditanggapi oleh pemegang izin dan
substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, maka Direktur
Jenderal atau Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya menetapkan penghentian sementara kegiatan.
(3). Dalam hal surat peringatan ketiga tidak ditanggapi oleh pemegang izin
setelah 20 (dua puluh) hari peringatan tertulis ketiga diterima oleh
pemegang izin, Direktur Jenderal atau Gubernur atau Bupati/Walikota
sesuai dengan kewenangannya menetapkan penghentian sementara
kegiatan.

(4). Dalam hal pemegang izin dalam tenggat waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
penghentian sementara kegiatan diterima tidak ada upaya klarifikasi
kepada Direktur Jenderal Gubernur atau Bupati /Walikota sesuai dengan
kewenangannya pemberi izin menetapkan keputusan pencabutan izin.
(5). Dalam hal pemegang izin menyampaikan klarifikasi kepada pemberi izin
dalam tenggat waktu 30 (tiga puluh) hari dan substansinya diterima oleh
Direktur Jenderal Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya, Direktur Jenderal Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai
dengan kewenangannya menyampaikan surat pemberitahuan kepada
pemegang izin untuk melaksanakan kegiatan sebagai pemegang izin.
(6). Dalam hal penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya, maka
pemegang izin dikenakan sanksi pencabutan izin.
20. Ketentuan Pasal 54 ayat (2) diubah, ayat (3) dihapus ditambahkan 1 (satu)
ayat baru yaitu ayat (2a), sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 54
(1). Selain dicabut izinnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (6),
bagi pemegang izin yang kegiatan usahanya menimbulkan kerusakan
pada suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya atau taman
wisata alam, dikenakan kewajiban melakukan rehabilitasi dan
pembayaran ganti rugi sesuai dengan kerusakan yang ditimbulkan.
(2). Pengenaan kewajiban dan sanksi pidana dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2a). Besaran dan tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan Direktur Jenderal.
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri


ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Januari 2012
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd

ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Januari 2012
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 124
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM DAN ORGANISASI,
ttd
KRISNA RYA , SH, MH
NIP. 9590730 199003 1 001

23. Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia

Nomor

P.22/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Kegiatan Usaha Jasa


Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Lindung.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : P.22/MENHUT-II/2012
TENTANG
PEDOMAN KEGIATAN USAHA PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN
WISATA ALAM PADA HUTAN LINDUNG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 25 ayat (4) Peraturan Pemerintah


Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Kegiatan Usaha
Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Lindung;

Mengingat

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) yang
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12

4.

5.

6.

7.

8.

Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor


59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) yang
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008 Nomor 16,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814);
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);
MEMUTUSKAN :

Menetapkan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PEDOMAN


KEGIATAN USAHA PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN WISATA
ALAM PADA HUTAN LINDUNG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam peraturan ini, yang dimaksud dengan :


1.

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
pengendaliaan erosi, mencegah instrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

2.

3.

4.

5.

6.
7.

8.

9.

10.

11.

Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang
memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan
mengurangi fungsi utamanya.
Kegiatan Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam adalah keseluruhan kegiatan
yang bertujuan untuk menyediakan sarana dan jasa yang diperlukan oleh
wisatawan/pengunjung dalam pelaksanaan kegiatan wisata alam, mencakup usaha
obyek dan daya tarik, penyediaan jasa, usaha sarana, serta usaha lain yang terkait
dengan wisata alam.
Wisata Alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang
dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan
keindahan alam di kawasan hutan lindung.
Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam Pada Hutan Lindung yang
selanjutnya disebut IUPJLWA adalah izin usaha yang diberikan untuk mengusahakan
kegiatan wisata alam pada hutan lindung berupa Penyedia Jasa Wisata Alam (IUPJLWAPJWA) dan Penyedia Sarana Wisata Alam (IUPJLWA-PSWA).
Blok Pemanfaatan adalah bagian dari kawasan hutan lindung yang dijadikan tempat
kegiatan wisata alam dan kunjungan wisata.
Rencana Pengelolaan Hutan adalah suatu rencana makro yang bersifat indikatif
strategis, kualitatif, dan kuantitatif serta disusun dengan memperhatikan partisipasi,
aspirasi, budaya masyarakat, kondisi lingkungan dan rencana pembangunan
daerah/wilayah dalam rangka pengelolaan hutan lindung.
Rencana Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam adalah suatu rencana kegiatan
untuk mencapai tujuan usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam yang dibuat
oleh pengusaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam yang didasarkan pada
rencana pengelolaan hutan lindung.
Areal Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam adalah areal dengan luas tertentu
pada hutan lindung yang dikelola untuk memenuhi kebutuhan pengusahaan
pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam.
Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam yang selanjutnya disebut
IIUPJLWA adalah pungutan terhadap izin yang diberikan untuk melakukan usaha
komersial pada usaha penyediaan jasa dan/atau sarana wisata alam di hutan lindung
kepada perorangan, badan usaha atau koperasi yang dikenakan sekali sebelum izin
terbit.
Pungutan Hasil Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam yang selanjutnya
disebut PHUPJLWA adalah pungutan yang dikenakan secara periodik terhadap
pemegang izin atas usaha yang dilakukan dan besarnya ditetapkan sesuai peraturan
perundang-undangan.

12.

13.

Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD atau Kesatuan
Pengelolaan Hutan yang selanjutnya disebut KPH yang membidangi kehutanan setempat
adalah instansi yang diberi tugas menangani bidang kehutanan di Provinsi atau
Kabupaten/Kota.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di
bidang perlindungan hutan dan konservasi alam.
BAB II
USAHA PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN WISATA ALAM
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2

(1)

(2)

(3)

(4)

Usaha pemanfaatan jasa lingkangan wisata alam meliputi :


a. areal usaha; atau
b. jenis usaha.
Usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diberikan sesuai dengan desain tapak pengelolaan jasa lingkungan wisata alam dan
rencana pengelolaan.
Desain tapak pengelolaan jasa lingkungan wisata alam sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disusun oleh Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat dan
disahkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai desain tapak dan rencana pengelolaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Kedua
Areal Usaha
Pasal 3

(1)
(2)

Areal usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a dilaksanakan dalam blok pemanfaatan pada hutan lindung.
Luas areal yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata alam pada hutan lindung
paling banyak 10 % (sepuluh perseratus) dari luas blok pemanfaatan hutan lindung.

Bagian Ketiga
Jenis Usaha
Pasal 4
Jenis usaha pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b meliputi :
a. usaha penyediaan jasa wisata alam; atau
b. usaha penyediaan sarana wisata alam.
Pasal 5
Usaha penyediaan jasa wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a terdiri dari :
a. jasa informasi pariwisata;
b. jasa pramuwisata;
c. jasa transportasi;
d. jasa perjalanan wisata;
e. jasa cinderamata; dan/atau
f. jasa makanan dan minuman.
Pasal 6
(1) Usaha jasa informasi pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dapat
berupa usaha penyediaan data, berita, feature, foto video, dan hasil penelitian mengenai
kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak dan/atau elektronik.
(2) Usaha jasa pramuwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dapat berupa
usaha yang penyediaan dan/atau mengkoordinasikan tenaga pemandu wisata atau
interpreter untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan/atau kebutuhan biro perjalanan
wisata.
(3) Usaha penyediaan jasa transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c dapat
berupa usaha penyediaan kuda, gajah, porter, perahu tidak bermesin, sepeda dan
kendaraan darat bermesin maksimal 3000 (tiga ribu) cc khusus untuk daerah dengan
kelerengan 30 % (tiga puluh per seratus).
(4) Usaha jasa perjalanan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d dapat berupa
usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan wisata dan/atau jasa pelayanan dan
penyelenggaraan pariwisata, termasuk jasa pelayanan yang menggunakan sarana yang
dibangun berdasarkan kerjasama antara pengelola dan pihak ketiga.
(5) Usaha jasa cinderamata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e, merupakan usaha
jasa penyediaan cinderamata atau souvenir untuk keperluan wisata yang didukung
dengan perlengkapan berupa kios atau kedai usaha.

(6) Usaha jasa makanan dan minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f,
merupakan usaha jasa penyediaan makanan dan minuman yang didukung dengan
perlengkapan berupa kedai makanan/minuman.
(7) Usaha penyediaan jasa wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dapat
difasilitasi oleh SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat.
Pasal 7
Usaha penyediaan sarana wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, terdiri
dari :
a. wisata tirta;
b. akomodasi;
c. transportasi; dan/atau
d. wisata petualangan.
Pasal 8
(1) Jenis usaha penyediaan sarana wisata tirta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf a, dapat berupa pemandian, arung jeram dan kendaraan air, boat, penyelaman,
snorkeling, jet ski, surfing, perahu layar, kano, dan aquarium.
(2) Jenis usaha penyediaan sarana akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf b, dapat berupa penginapan, bumi perkemahan, dan rumah mobil (caravan).
(3) Jenis usaha penyediaan sarana transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf dapat berupa kereta listrik, kereta kabel/skyline, perahu bermesin, dan kereta
kuda.
(4) Jenis usaha penyediaan sarana wisata petualangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf d, dapat berupa pembuatan jembatan antar tajuk pohon (canopy trail),
kabel luncur (flying fox), balon udara, dan paralayang.
BAB III
PEMBERIAN IZIN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
(1) Usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
diberikan dalam bentuk :

a.

Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam-Penyedia Jasa Wisata Alam
(IUPJLWA-PJWA); dan/atau
b. Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam-Penyedia Sarana Wisata Alam
(IUPJLWA-PSWA).
(2) IUPJLWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh :
a. Kepala SKPD/KPH sesuai dengan kewenangannya untuk usaha penyediaan jasa
wisata alam;
b. Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya untuk usaha
penyediaan sarana wisata alam.
(3) IUPJLWA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan pada kawasan hutan yang
belum dibebani izin pemanfaatan hutan/pemungutan hasil hutan/penggunaan kawasan
hutan.
Bagian Kedua
Pemberian IUPJLWA-PJWA
Pasal 10
(1) IUPJLWA-PJWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a diajukan oleh:
a. perorangan;
b. badan usaha terdiri atas badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan
usaha milik swasta; atau
c. koperasi.
(2) Permohonan IUPJLWA-PJWA untuk lokasi yang berada di lintas kabupaten/kota diajukan
oleh pemohon kepada Kepala SKPD/KPH yang membidangi kepariwisataan provinsi.
(3) Permohonan IUPJLWA-PJWA untuk lokasi yang berada di dalam 1 (satu) kabupaten/kota
diajukan oleh pemohon kepada Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan
kabupaten/kota dengan tembusan Kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan
kabupaten/kota.
(4) Permohonan untuk perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilengkapi
dengan persyaratan administrasi meliputi :
a. kartu tanda penduduk;
b. nomor pokok wajib pajak;
c. sertifikasi keahlian untuk jasa interpreter; dan
d. rekomendasi dari forum/paguyuban yang diakui kepala SKPD/KPH yang membidangi
kehutanan setempat untuk bidang usaha jasa yang dimohon.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) untuk badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta atau koperasi dilengkapi
persyaratan administrasi meliputi :

a.
b.
c.
d.
e.
f.

akte pendirian badan usaha atau koperasi dan perubahannya;


surat izin usaha perdagangan;
nomor pokok wajib pajak;
surat keterangan kepemilikan modal atau referensi bank;
profil perusahaan; dan
rencana kegiatan usaha jasa yang akan dilakukan.
Pasal 11

(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3),
selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan,
kepala SKPD/KPH yang membidangi Kehutanan melakukan penilaian atas persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) dan ayat (5).
(2) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan
persyaratan, kepala SKPD/KPH yang membidangi Kehutanan dalam waktu 10 (sepuluh)
hari kerja mengembalikan permohonan kepada pemohon.
(3) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
persyaratan, kepala SKPD/KPH yang membidangi Kehutanan dalam waktu selambatlambatnya 10 (sepuluh) hari kerja menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Iuran
IUPJLWA-PJWA (SPP- IUPJLWA-PJWA) kepada pemohon.
(4) SPP-IIUPJWA-PJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilunasi pemohon dalam
waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya SPPIIUPJWA.
(5) Berdasarkan bukti pembayaran SPP-IIUPJWA-PJWA sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), kepala SKPD/KPH yang membidangi Kehutanan dalam waktu selambat-lambatnya 10
(sepuluh) hari kerja menerbitkan IUPJWA-PJWA.
Bagian Ketiga
Pemberian IUPJLWA-PSWA
Pasal 12
(1) IUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dapat diajukan
oleh :
a. Badan usaha, terdiri atas badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,
badan usaha milik swasta; atau
b. koperasi.
(2) Permohonan IUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lintas kabupaten,
diajukan oleh pemohon kepada Gubernur dengan tembusan :

(3)

(4)
(5)

(6)

(7)
(8)

a. Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan provinsi.


b. Kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan provinsi.
c. Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat.
Permohonan IUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk lokasi yang
berada di dalam 1 (satu) kabupaten/kota, diajukan oleh pemohon kepada
Bupati/Walikota dengan tembusan :
a. kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan kabupaten/kota;
b. kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan kabupaten/kota;
c. kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilengkapi dengan
persyaratan administrasi dan teknis.
Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), terdiri atas :
a. akte pendirian badan usaha atau koperasi dan perubahannya;
b. surat izin usaha perdagangan;
c. nomor pokok wajib pajak;
d. surat keterangan kepemilikan modal atau referensi bank;
e. profil perusahaan; dan
f. proposal/rencana kegiatan usaha sarana yang akan dilakukan.
Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berupa pertimbangan dari :
a. Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan di provinsi atau kabupaten/kota;
b. Kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan di provinsi atau kabupaten/kota;
c. Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat.
Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diberikan selambatlambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
Dalam hal waktu pemberian pertimbangan teknis dari Kepala Balai Besar/Kepala Balai
Konservasi Sumber Daya Alam/Kepala SKPD yang membidangi kepariwisataan di provinsi,
kabupaten/kota setempat melebihi 30 (tiga puluh) hari kerja, maka permohonan
pengajuan IUPJLWA-PSWA dapat dilanjutkan dengan tanpa pertimbangan teknis.
Pasal 13

(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3),
selambat-lambatnya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan,
Gubernur atau Bupati/Walikota menugaskan kepala SKPD/KPH yang membidangi
kehutanan, untuk melakukan penilaian atas persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (5) dan ayat (6).

(2) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan
persyaratan, kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan, selambat-lambatnya dalam
waktu 10 (sepuluh) hari kerja mengembalikan permohonan kepada pemohon.
(3) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai
persyaratan, kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan selambat-lambatnya dalam
waktu 10 (sepuluh) hari kerja menyampaikan hasil penilaian kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota.
(4) Gubernur atau Bupati/Walikota selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja sejak
diterimanya hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menerbitkan
persetujuan prinsip IUPJLWA-PSWA.
(5) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan untuk jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun sejak diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota.
Pasal 14
(1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4),
pemohon wajib :
a. Membuat peta areal rencana kegiatan usaha yang akan dilakukan dengan skala paling
kecil 1 : 25.000 (satu banding dua puluh lima ribu) yang dilengkapi dengan koordinat
geografis yang diketahui oleh Kepala Dinas/SKPD/KPH yang membidangi kehutanan
setempat;
b. Membuat rencana pengusahaan pariwisata alam;
c. Melakukan pemberian tata batas yang disupervisi oleh kepala SKPD/KPH yang
membidangi kehutanan provinsi atau kabupaten/kota setempat pada areal yang
dimohon;
d. Menyusun dan menyampaikan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya
Pemantauan Lingkungan; dan
e. Membayar IIUPJLWA-PSWA sesuai peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam penilaian rencana pengusahaan pariwisata alam sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf b, dapat dilakukan peninjauan lapangan atau pembahasan dengan instansi terkait.
(3) Biaya yang diperlukan dalam melakukan pemberian tata batas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, dibebankan pada pemohon.
(4) IIUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dihitung berdasarkan
luas areal yang akan diizinkan untuk usaha penyediaan sarana wisata alam.

Pasal 15
(1)

(2)

Bagi pemegang persetujuan prinsip yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya menerbitkan IUPJLWA-PSWA.
Dalam hal pemegang persetujuan prinsip belum menyelesaikan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dalam waktu 1 (satu) tahun, maka persetujuan
prinsip batal.
BAB IV
KEWAJIBAN DAN HAK PEMEGANG IZIN
Bagian Kesatu
Kewajiban Pemegang Izin
Pasal 16

(1)

(2)

Berdasarkan izin yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5),
pemegang IUPJLWA-PJWA mempunyai kewajiban :
a. Membayar pungutan hasil usaha penyediaan jasa wisata alam kecuali bagi
perorangan;
b. Menjaga kelestarian fungsi hutan;
c. Melaksanakan pengamanan terhadap kawasan beserta potensinya bagi setiap
pengunjung yang menggunakan jasanya;
d. Menjaga kebersihan lingkungan;
e. Merehabilitasi kerusakan yang ditimbulkan akibat dari pelaksanaan kegiatan
usahanya, kecuali bagi perorangan;
f. Menyampaikan laporan kegiatan usahanya kepada pemberi IUPJWA, kecuali bagi
perorangan.
Berdasarkan izin yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1),
pemegang IUPJLWA-PSWA mempunyai kewajiban :
a. merealisasikan kegiatan pembangunan sarana wisata alam paling lambat 6 (enam)
bulan setelah izin usaha penyediaan sarana wisata alam diterbitkan;
b. menjaga kelestarian fungsi hutan;
c. membayar PHUPJLWA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. melaksanakan pengamanan kawasan dan potensinya serta pengamanan
pengunjung pada areal izin usaha penyediaan sarana wisata alam bekerja sama
dengan pengelola kawasan;
e. menjaga kebersihan lingkungan tempat usaha termasuk pengelolaan limbah dan
sampah;

(3)

f. merehabilitasi kerusakan yang terjadi akibat kegiatan izin usaha penyediaan sarana
wisata alam;
g. memberi akses kepada petugas pemerintah yang ditunjuk untuk melakukan
pemantauan, pengawasan, evaluasi dan pembinaan kegiatan izin usaha penyediaan
sarana wisata alam;
h. memelihara aset negara bagi pemegang izin yang memanfaatkan sarana milik
pemerintah;
i. melibatkan tenaga ahli di bidang konservasi alam dan pariwisata alam, serta
masyarakat setempat di dalam melaksanakan kegiatan izin usaha penyediaan
sarana wisata alam sesuai izin yang diberikan;
j. membuat laporan kegiatan usaha penyediaan sarana wisata alam secara periodik
kepada Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan;
k. menyusun dan menyerahkan rencana karya lima tahunan dan rencana karya
tahunan.
Tata cara pembayaran IIUPJLWA-PJWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
huruf e serta PHUPJLWA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilaksanakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17

Terhadap pemegang IUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), berlaku
ketentuan :
a. izin usaha bukan sebagai hak kepemilikan atau penguasaan atas kawasan hutan lindung;
b. izin usaha tidak dapat dijadikan jaminan atau agunan;
c. izin usaha hanya dapat dipindahtangankan atas persetujuan tertulis dari Gubernur atau
Bupati/Walikota sesuai kewenangan;
d. tidak diperbolehkan merubah status badan usaha sebelum mendapat persetujuan tertulis
dari Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan.
Bagian Kedua
Hak Pemegang Izin
Pasal 18
Pemegang IUPJLWA berhak :
a. melakukan kegiatan usaha sesuai izin;
b. menjadi anggota asosiasi pengusahaan pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam;
c. mendapat perlindungan hukum dalam berusaha; dan
d. memanfaatkan fasilitas pariwisata alam yang menjadi aset negara.

BAB V
JANGKA WAKTU, PERPANJANGAN DAN BERAKHIRNYA IZIN
Bagian Kesatu
Jangka Waktu dan Perpanjangan Izin
Pasal 19
(1) IUPJLWA-PJWA diberikan untuk jangka waktu :
a. 2 (dua) tahun bagi pemohon perorangan; dan
b. 5 (lima) tahun badan usaha atau koperasi.
(2) IUPJLWA-PJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diperpanjang untuk
jangka waktu 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang kembali.
(3) IUPJLWA-PJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat diperpanjang untuk
jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang kembali.
(4) Perpanjangan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diberikan oleh
kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangan berdasarkan
hasil evaluasi kegiatan.
Pasal 20
(1) IUPJLWA-PSWA diberikan untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun.
(2) IUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diperpanjang untuk jangka
waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang kembali.
(3) Perpanjangan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Gubernur
atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan berdasarkan hasil evaluasi kegiatan.
Bagian Kedua
Berakhirnya Izin
Pasal 21
(1) IUPJLWA berakhir apabila :
a. jangka waktunya berakhir dan tidak diperpanjang lagi;
b. izinnya dicabut;
c. pemegang izin mengembalikan izin secara sukarela;
d. badan usaha atau koperasi sebagai pemegang izin bubar;
e. badan usaha pemegang izin dinyatakan pailit; atau
f. pemegang izin perorangan meninggal dunia.

(2) Berakhir IUPJLWA sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban
pemegang izin untuk :
a. melunasi kewajiban pungutan negara lainnya;
b. melaksanakan semua ketentuan yang ditetapkan dalam rangka berakhirnya izin
usaha.
Bagian Ketiga
Tata Cara Perpanjangan Izin
Pasal 22
(1) Permohonan perpanjangan IUPJLWA-PJWA disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga)
bulan sebelum berakhirnya izin untuk perorangan atau 6 (enam) bulan sebelum
berakhirnya izin untuk badan usaha atau koperasi.
(2) Permohonan perpanjangan IUPJLWA-PJWA sebagaimana dimaksud ayat (1) untuk
perorangan, badan usaha atau koperasi dapat diajukan kepada :
a. kepala SKPD/KPH provinsi yang membidangi kehutanan dengan tembusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2); atau
b. kepala SKPD/KPH kabupaten/kota yang membidangi kehutanan dengan tembusan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3).
(3) Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), dilengkapi
dengan persyaratan :
a. rencana kegiatan usaha jasa lanjutan, badan usaha atau koperasi; dan
b. hasil evaluasi dari pengelola kawasan.
(4) Tata cara permohonan perpanjangan dan pemberian IUPJLWA-PJWA sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(5) Pemegang IUPJLWA-PJWA sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dibebani kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).
Pasal 23
(1)
(2)

Permohonan perpanjangan IUPJLWA-PSWA disampaikan oleh pemohon dalam jangka


waktu 6 (enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya izin.
Permohonan perpanjangan IUPJLWA-PSWA disampaikan kepada :
a. Gubernur, untuk lokasi yang berada lintas kabupaten/kota dengan tembusan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);
b. Bupati/Walikota, untuk lokasi yang berada pada 1 (satu) kabupaten/kota dengan
tembusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).

(3)

(4)

(5)

(6)
(7)

Permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selain harus


dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) dan
ayat (6), juga dilengkapi dengan persyaratan tambahan :
a. laporan akhir kegiatan usaha penyediaan sarana wisata alam;
b. rencana pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam lanjutan;
c. bukti pembayaran pungutan hasil usaha penyediaan sarana wisata alam; dan
d. laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik pada 1 (satu) tahun
sebelum berakhirnya izin.
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipenuhi pemohon, kepala
SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangan dalam waktu 5
(lima) hari kerja menerbitkan Surat Perintah Pembayaran Iuran IUPJLWA-PSWA (SPPIIUPJLWA-PSWA).
SPP-IIUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat 4 (empat) dilunasi selambatlambatnya dalam waktu 24 (dua puluh empat) hari kerja setelah diterimanya SPPIIUPJLWA-PSWA.
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dipenuhi pemohon,
Gubernur atau Bupati/Walikota menerbitkan IUPJLWA-PSWA.
Pemegang IUPJLWA-PSWA sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dibebani kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2).
BAB VI
PEMBANGUNAN SARANA
Pasal 24

(1)
(2)

(3)

Luas areal yang diizinkan untuk dibangun sarana wisata alam paling banyak 10%
(sepuluh per seratus) dari luas areal yang ditetapkan dalam izin.
Bentuk bangunan sarana wisata alam untuk sarana wisata tirta dan akomodasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dan huruf b, dibangun semi permanen
dan bentuknya disesuaikan dengan arsitektur budaya setempat.
Bentuk bangunan sarana bergaya arsitektur budaya setempat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dengan ketentuan :
a. ukuran, panjang, lebar dan tinggi bangunan/sarana disesuaikan dengan
perbandingan/proporsi untuk setiap bentuk arsitektur daerah/lokal dengan
memperhatikan kondisi fisik kawasan tersebut;
b. pembangunan sarana yang diperkenankan maksimum 2 (dua) lantai bagi sarana
akomodasi dengan kelerengan 0-15 % dan/atau 1 (satu) lantai untuk kemiringan
>15 %-30%;
c. tidak merubah karakteristik bentang alam atau menghilangkan fungsi utamanya;

d. tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan; dan


e. jarak bangunan sekurang-kurangnya 100 (seratus) meter
sungai/mata air/danau.

dari

kiri kanan

Pasal 25
(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Pembangunan sarana untuk menunjang fasilitas sarana wisata tirta sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, antara lain meliputi permandian alam, tempat
pertemuan/pusat informasi, gudang penyimpanan alat untuk kegiatan wisata tirta,
tempat sandar/tempat berlabuh alat transportasi wisata tirta.
Pembangunan sarana akomodasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
dilakukan pada kelerengan 0 30 %, antara lain meliputi :
a. penginapan/pondok wisata/pondok apung/rumah pohon;
b. bumi perkemahan;
c. tempat singgah karavan;
d. fasilitas akomodasi; dan
e. fasilitas pelayanan umum dan kantor.
Fasilitas akomodasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d antara lain meliputi:
a. ruang pertemuan;
b. ruang makan dan minum;
c. fasilitas untuk bermain anak;
d. spa; dan
e. gudang.
Fasilitas pelayanan umum dan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e
antara lain meliputi fasilitas :
a. pelayanan informasi;
b. pelayanan telekomunikasi;
c. pelayanan administrasi;
d. pelayanan angkutan;
e. pelayanan penukaran uang;
f. pelayanan cucian;
g. ibadah;
h. pelayanan kesehatan;
i. keamanan antara lain menara pandang, pemadam kebakaran;
j. pelayanan kebersihan; dan
k. mess karyawan.
Pembangunan sarana akomodasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, huruf
b dan huruf c dilaksanakan pada kelerengan 0 30 % sedangkan untuk ayat (2) huruf
d dan huruf e dilaksanakan pada kelerengan 0 - 15 %.

(6)

(7)

Penyediaan sarana transportasi sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) huruf c


meliputi antara lain kereta listrik, kereta kabel/skyline, perahu bermesin dan kereta
kuda.
Sarana wisata petualangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d antara lain
berupa :
a. outbond;
b. jembatan antar tajuk pohon (canopy trail);
c. kabel luncur (flying fox);
d. balon udara;
e. paralayang; dan
f. jalan lintas (jungle track).
Pasal 26

Selain sarana wisata alam yang dibangun sebagaimana dimaksud pada Pasal 25, dapat
dibangun juga fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan antara lain berupa :
a. jalan wisata;
b. papan petunjuk;
c. jembatan;
d. areal parkir;
e. jaringan listrik;
f. jaringan air bersih;
g. jaringan telepon;
h. jaringan internet;
i. jaringan drainase/saluran;
j. toilet;
k. sistem pembuangan limbah;
l. dermaga; dan
m. helipad.
Pasal 27
(1) Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jalan wisata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 huruf a meliputi :
a. jalan dengan lebar badan maksimal 5 (lima) meter ditambah bahu jalan 1 (satu)
meter kiri dan kanan, dengan sistem pengerasan menggunakan batu dan lapisan
permukaan aspal.
b. jalan kereta listrik dan/atau kereta gantung dengan sistem yang disesuaikan dengan
teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat.

(2) Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa papan petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 huruf b yang dapat dibangun berupa :
a. papan nama;
b. papan informasi;
c. papan petunjuk arah;
d. papan larangan/peringatan;
e. papan bina cinta alam; dan
f. papan rambu lalu lintas.
(3) Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jembatan, dermaga dan helipad
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, huruf l dan huruf m dibangun
berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi yang berwenang menyangkut
keselamatan dan keamanan, dengan lokasi mengacu pada rencana pengelolaan.
(4) Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa areal parkir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 huruf d dibangun dengan ketentuan :
a. tidak menebang/merusak pohon;
b. berada pada kelerengan 0 15%;
c. dibangun di areal terluar lokasi IUPJLWA-PSWA; dan
d. pengerasan areal harus dilakukan dengan konstruksi yang tidak mengganggu
penyerapan air dalam tanah.
(5) Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jaringan listrik, air bersih,
telepon dan internet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf e, huruf f, huruf g dan
huruf h dibangun dengan ketentuan :
a. diupayakan dibangun dalam tanah;
b. pelaksanaan pembangunannya berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi yang
berwenang menyangkut keselamatan dan keamanan.
(6) Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa jaringan drainase/saluran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf i dibangun dengan ketentuan :
a. dibangun cara terbuka dan menggunakan pengerasan;
b. dalam hal tidak memungkinkan dibangun dengan cara terbuka maka dapat dilakukan
dengan sistem tertutup atau pengerasan dengan memperhatikan kaidah konservasi.
(7) Fasilitas untuk menunjang sarana kepariwisataan berupa sistem pembuangan dan
pengolahan limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf k terdiri atas :
a. Sistem pembuangan dan pengolahan limbah padat; atau
b. Sistem pembuangan dan pengolahan limbah cair.
Pasal 28
Bangunan sarana wisata alam dan fasilitas yang menunjang kepariwisataan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 harus memperhatikan :

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

kaidah konservasi dan ramah lingkungan;


sistem sanitasi yang memenuhi standar kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan;
efisien dalam penggunaan lahan;
memiliki teknologi pengolahan dan pembuangan limbah;
konstruksi yang memenuhi persyaratan bagi keamanan dan keselamatan;
hemat energi; dan
berpedoman pada ketentuan teknis dari instansi yang berwenang dan sesuai dengan
rencana pengolahan serta desain tapak.
Pasal 29

(1) Bahan bangunan untuk pembangunan sarana wisata alam dan fasilitas yang menunjang
kepariwisataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diutamakan
menggunakan bahan-bahan dari daerah setempat.
(2) Dalam hal bangunan tidak terdapat di daerah setempat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dapat dipergunakan bahan bangunan dari luar daerah setempat yang tidak
merusak kelestarian lingkungan.
(3) Bahan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diambil dari kawasan hutan
lindung.
BAB VII
PERALIHAN KEPEMILIKAN
PASAL 30
(1) Sarana dan fasilitas kepariwisataan yang tidak bergerak pada izin yang telah berakhir
kepemilikannya beralih menjadi milik daerah, kecuali bagi pemegang izin yang telah
mendapat perpanjangan.
(2) Terhadap sarana kepariwisataan yang tidak bergerak yang telah berakhir sebagaimana
pada ayat (1) dilakukan inventarisasi oleh kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan
setempat sesuai kewenangannya.
(3) Kegiatan inventarisasi sebagaimana pada ayat (2) dilakukan untuk mengetahui antara
lain jumlah, jenis, nilai teknis dan nilai ekonomis sarana dan fasilitas kepariwisataan.
Pasal 31
(1) Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), sarana
dan fasilitas kepariwisataan pada izin yang telah berakhir dialihkan kepemilikannya
kepada kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat.

(2) Pengalihan kepemilikan sarana dan fasilitas kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan Berita Acara Pengalihan Kepemilikan dari pemegang izin yang
telah berakhir kepada kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat.
(3) Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat selambat-lambatnya 15 (lima
belas) hari kerja setelah penandatangan Berita Acara Pengalihan Kepemilikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaporkan kepada Gubernur atau Bupati/Walikota
sesuai kewenangan.
(4) Berdasarkan laporan dari Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat,
Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya melaporkan kepada Menteri
Keuangan selambat-lambatnya dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja.
BAB VIII
KERJASAMA PARIWISATA ALAM
Pasal 32
(1) Kerjasama pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam dapat dilakukan antara :
a. pengelola kawasan dengan pemegang IUPJLWA-PJWA atau IUPJLWA-PSWA;
b. pemegang IUPJLWA-PJWA dengan pemegang IUPJLWA-PSWA;
c. pemegang IUPJLWA-PSWA dengan pemegang izin pemanfaatan/pemungutan/
penggunaan kawasan hutan;
d. pengelola kawasan, pemegang IUPJLWA-PJWA atau IUPJLWA-PSWA dengan pihak
lain.
(2) Kerjasama yang dilakukan oleh pemegang IUPJLWA-PJWA atau IUPJLWA-PSWA
dilakukan dengan ketentuan :
a. setelah masa izin berjalan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan bagi pemegang
IUPJLWA-PJWA perorangan;
b. setelah masa izin berjalan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun bagi pemegang
IUPJLWA-PJWA badan usaha atau koperasi;
c. setelah masa izin berjalan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun bagi pemegang
IUPJLWA-PJWA.
Pasal 33
(1) Kerjasama pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (1) antara lain meliputi :
a. kerjasama teknis;
b. kerjasama pemasaran;
c. kerjasama permodalan;

(2)
(3)

(4)
(5)
(6)

d. kerjasama penggunaan fasilitas sarana pariwisata alam.


Kerjasama teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi konsultasi teknis
dan pembangunan sarana wisata alam.
Kerjasama teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa kerjasama
membangun sarana penunjang pemanfaatan jasa seperti antara lain kedai/kios, tempat
sandar perahu, jalan setapak.
Kerjasama pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi promosi
pariwisata melalui media massa, media eletronik, banner, baliho, pamphlet.
Kerjasama permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi investasi
di bidang pembangunan sarana pariwisata alam beserta penunjangnya.
Kerjasama penggunaan fasilitas sarana pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d, meliputi penggunaan fasilitas jalan wisata di areal izin.
Pasal 34

(1) Kerjasama pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33
dituangkan dalam perjanjian kerjasama yang diketahui oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota.
(2) Kerjasama pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengubah hak
pemegang IUPJLWA-PJWA atau IUPJLWA-PSWA.
BAB IX
PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN EVALUASI
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 35
(1) Pembinaan terhadap pemegang IUPJLWA dilakukan oleh :
a. Direktur Jenderal,
b. Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan;
c. Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengaturan,
bimbingan, penyuluhan, penghargaan dan teguran kepada pemegang izin.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu)
kali dalam setahun.
(4) Hasil pembinaan sebagaimana dimaksud ayat (3) dijadikan bahan dalam menentukan
kebijakan.

Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 36
(1) Pengawasan terhadap pemegang IUPJLWA dilakukan oleh kepala SKPD/KPH yang
membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangan yang meliputi :
a. pemeriksaan langsung di lapangan;
b. pemeriksaan kondisi sarana yang diusahakan; dan
c. pemeriksaan laporan pemegang izin usaha.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh :
a. Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat untuk kegiatan sarana
pariwisata alam;
b. Kepala Seksi SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat untuk kegiatan jasa
wisata alam.
(3) Dalam rangka pengawasan kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat
dapat bekerjasama dengan lembaga pengawas independent yang terakreditasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan oleh lembaga pengawas independent yang
terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Direktur
Jenderal.
Pasal 37
(1)

(2)
(3)

Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2), dilaporkan kepada :
a. Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan untuk kegiatan sarana wisata
alam.
b. Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangan.
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dilakukan sekurangkurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan.
Tindak lanjut hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan
sebagai dasar pemberian sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Evaluasi
Pasal 38

(1)

Evaluasi terhadap pemegang IUPJLWA dilaksanakan oleh :

(2)

(3)

(4)

(5)

a. Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat; dan


b. Kepala SKPD/KPH yang membidangi kehutanan setempat sesuai kewenangannya.
Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pemeriksaan langsung ke lokasi dan tidak langsung berdasarkan laporan kegiatan yang
disusun oleh pemegang IUPJLWA-PJWA dan IUPJLWA-PSWA.
Dalam hal hasil evaluasi pengusahaan wisata alam menunjukan kinerja baik,
penghargaan dapat diberikan kepada pemegang izin berupa :
a. prioritas pengembangan usaha di lokasi lain;
b. sertifikat yang dikeluarkan oleh Menteri atau Gubernur atau Bupati/Walikota;
c. insentif berupa perpanjangan izin usaha yang dinyatakan atau diberitahukan kepada
pemegang izin sebelum ketentuan tata waktu permohonan perpanjangan izin usaha
diajukan.
Pemegang Izin UPJLWA yang mempunyai kinerja baik sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) dengan ketentuan :
a. tidak melakukan pelanggaran ketentuan perundangan yang berakibat pidana;
b. tidak pernah mendapat peringatan yang berakibat pada dicabutnya izin usaha;
c. keuntungan finansial yang diperoleh pemegang izin selama 5 (lima) tahun berturutturut menunjukan peningkatan yang signifikan.
Kegiatan evaluasi dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dan
hasil evaluasi dijadikan bahan melaksanakan pembinaan dan serta menentukan
kebijakan.
BAB X
SANKSI
Pasal 39

(1)
(2)

(3)

(4)

Setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 16 ayat (1) atau ayat (2), dikenakan sanksi administratif.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan
c. pencabutan izin.
Sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan penghentian sementara kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, diberikan oleh Kepala
SKPD/KPH yang membidangi kehutanan.
Sanksi administratif berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
c, diberikan oleh pemberi izin.

Pasal 40
(1)

(2)

(3)

(4)

Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39


ayat (2) huruf a, dikenai kepada setiap pemegang izin yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau ayat (2).
Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sebanyak 3 (tiga)
kali berturut-turut dengan tenggat waktu masing-masing 20 (dua puluh) hari kerja
sejak diterimanya peringatan.
Dalam hal surat peringatan pertama tidak mendapatkan tanggapan dari pemegang izin
dan atau substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, pemberi izin menerbitkan
surat peringatan kedua.
Dalam hal surat peringatan kedua tidak mendapatkan tanggapan dari pemegang izin
dan atau substansinya tidak sesuai dengan surat peringatan, pemberi izin menerbitkan
surat peringatan ketiga.
Pasal 41

Dalam hal surat peringatan pertama ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya sudah
sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu diterbitkan peringatan berikutnya dan
pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap dapat
melakukan aktivitas sebagai pemegang izin.
Pasal 42
(1)

(2)

Dalam hal surat peringatan kedua ditanggapi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (3) dan substansinya sudah sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu
diterbitkan peringatan ketiga dan pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan
kepada pemegang izin untuk tetap dapat melakukan aktivitas sebagai pemegang izin.
Dalam hal surat peringatan kedua ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya
tidak sesuai dengan surat peringatan, maka diterbitkan surat peringatan ketiga.
Pasal 43

(1)

Dalam hal surat peringatan ketiga ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya
sudah sesuai dengan surat peringatan, maka tidak perlu dilakukan tindakan
penghentian sementara kegiatan dan pemberi izin menyampaikan surat pemberitahuan
kepada pemegang izin untuk tetap dapat melakukan aktivitas sebagai pemegang izin.

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dalam hal surat peringatan ketiga ditanggapi oleh pemegang izin dan substansinya
tidak sesuai dengan surat peringatan, maka pemberi izin menetapkan surat
penghentian sementara kegiatan.
Dalam hal surat peringatan ketiga tidak ditanggapi oleh pemegang izin dalam tenggat
waktu 20 (dua puluh) hari, maka pemberi izin menetapkan surat penghentian
sementara kegiatan.
Dalam hal pemegang izin dalam tenggat waktu 20 (dua puluh) hari sejak penghentian
sementara kegiatan diterima tidak ada upaya klarifikasi kepada pemberi izin, pemberi
izin menetapkan keputusan pencabutan izin.
Dalam hal pemegang izin menyampaikan klarifikasi kepada pemberi izin dalam tenggat
waktu 20 (dua puluh) hari dan substansinya diterima oleh pemberi izin, pemberi izin
menyampaikan surat pemberitahuan kepada pemegang izin untuk tetap melaksanakan
kegiatan sebagai pemegang izin.
Dalam hal penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
pemegang izin tidak melaksanakan kewajibannya, maka pemegang izin dikenakan
sanksi pencabutan izin.
Pasal 44

(1)

(2)
(3)

Selain dicabut izinnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (6), bagi pemegang
izin yang kegiatan usahanya menimbulkan kerusakan pada kawasan hutan lindung,
dikenakan sanksi pidana dan kewajiban melakukan rehabilitasi serta pembayaran ganti
rugi sesuai dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Pengenaan kewajiban rehabilitasi dan sanksi pidana dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Besaran dan tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45

Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri


Kehutanan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Mei 2012
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 22 Mei 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 543
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM DAN ORGANISASI,
ttd
KRISNA RYA

24. Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia

P.31/Menhut-II/2012 tentang Lembaga Konservasi.

Nomor

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : P.31/Menhut-II/2012
TENTANG
LEMBAGA KONSERVASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

a. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor


P.53/Menhut-II/2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.1/Menhut-II/2007, telah ditetapkan
Peraturan Menteri Kehutanan tentang Lembaga Konservasi;
b. bahwa dengan adanya kebutuhan untuk mengakomodasikan
perkembangan faktual guna penguatan regulasi lembaga konservasi,
maka Peraturan Menteri Kehutanan sebagaimana dimaksud pada
huruf a perlu dilakukan penyesuaian dan perubahan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a
dan huruf b, maka dipandang perlu menetapkan Peraturan Menteri
Kehutanan tentang Lembaga Konservasi;

Mengingat

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi
PBB Mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3556);
3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3687);
4. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
5. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif Atas Jenis


Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen


Kehutanan dan Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3767); sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3914);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3803);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3804);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 56, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5217);
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia 43 Tahun 1978 tentang
Pengesahan Convention on International Trade in Endangered
Species (CITES) of Wild Fauna and Flora;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009
tentang Kabinet Indonesia Bersatu II sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan Presiden Nomor 59/P Tahun 2011;
13. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 104/Kpts-II/2003 tentang
Penunjukkan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam sebagai Otorita Pengelola (Management Authority) CITES di
Indonesia;
14. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 355/Kpts-II/2003 tentang
Penandaan Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar;
15. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata
Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan
Satwa Liar;
16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang
Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar;
17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 405);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan

PERATURAN MENTERI
KONSERVASI

KEHUTANAN

TENTANG

LEMBAGA

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
1.

2.
3.

4.

5.

6.

7.

8.
9.
10.

11.

12.
13.

14.

Konservasi adalah langkah-langkah pengelolaan tumbuhan dan/atau satwa liar yang


diambil secara bijaksana dalam rangka memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan
generasi masa mendatang.
Konservasi ex-situ adalah konservasi tumbuhan dan/atau satwa yang dilakukan di luar
habitat alaminya.
Lembaga konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan
dan/atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa lembaga pemerintah maupun
lembaga non-pemerintah.
Lembaga konservasi untuk kepentingan umum adalah lembaga yang bergerak di bidang
konservasi tumbuhan dan/atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa
lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah yang dalam peruntukan dan
pengelolaannya mempunyai fungsi utama dan fungsi lain untuk kepentingan umum.
Lembaga konservasi untuk kepentingan khusus adalah lembaga yang bergerak di bidang
konservasi tumbuhan dan/atau satwa liar di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa
lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah yang dalam peruntukan dan
pengelolaannya difokuskan pada fungsi penyelamatan atau rehabilitasi satwa.
Izin lembaga konservasi adalah izin yang diberikan oleh Menteri Kehutanan kepada
pemohon yang telah memenuhi syarat-syarat sesuai ketentuan perundang-undangan
untuk membentuk lembaga konservasi.
Kebun binatang adalah tempat pemeliharaan satwa sekurang-kurangnya 3 (tiga) kelas
taksa pada areal dengan luasan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) hektar dan
pengunjung tidak menggunakan kendaraan bermotor (motor atau mobil).
Taman satwa adalah tempat pemeliharaan satwa sekurang-kurangnya 2 (dua) kelas taksa
pada areal dengan luasan sekurang-kurangnya 2 (dua) hektar.
Taman satwa khusus adalah tempat pemeliharaan jenis satwa tertentu atau kelas taksa
satwa tertentu pada areal sekurang-kurangnya 2 (dua) hektar.
Taman safari adalah tempat pemeliharaan satwa sekurang-kurangnya 3 (tiga) kelas taksa
pada areal terbuka dengan luasan sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) hektar, yang bisa
dikunjungi dengan menggunakan kendaraan roda empat (mobil) pribadi dan/atau
kendaraan roda empat (mobil) yang disediakan pengelola yang aman dari jangkauan
satwa.
Kebun botani adalah lokasi pemeliharaan berbagai jenis tumbuhan tertentu, untuk
dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, penelitian dan pengembangan bioteknologi,
rekreasi dan budidaya.
Pusat rehabilitasi satwa adalah tempat untuk melakukan proses rehabilitasi, adaptasi
satwa dan pelepasliaran ke habitat alaminya.
Pusat penyelamatan satwa adalah tempat untuk melakukan kegiatan pemeliharaan satwa
hasil sitaan atau temuan atau penyerahan dari masyarakat yang pengelolaannya bersifat
sementara sebelum adanya penetapan penyaluran satwa (animal disposal) lebih lanjut
oleh Pemerintah.
Pusat latihan satwa khusus adalah tempat melatih satwa khusus spesies gajah agar
menjadi terampil sehingga dapat dimanfaatkan antara lain untuk kegiatan peragaan di
dalam areal pusat latihan gajah, patroli pengamanan kawasan hutan, sumber satwa bagi
lembaga konservasi lainnya dan/atau membantu kegiatan kemanusiaan dan pendidikan.


15. Museum zoologi adalah tempat koleksi berbagai spesimen satwa dalam keadaan mati
untuk kepentingan pendidikan dan penelitian.
16. Herbarium adalah tempat koleksi berbagai spesimen tumbuhan dalam keadaan mati untuk
kepentingan pendidikan dan penelitian.
17. Taman tumbuhan khusus adalah tempat pemeliharaan jenis tumbuhan liar tertentu atau
kelas taksa tumbuhan liar tertentu, untuk kepentingan sebagai sumber cadangan genetik,
pendidikan, budidaya, penelitian, dan pengembangan bioteknologi.
18. Tumbuhan dan satwa liar asli Indonesia adalah semua jenis tumbuhan dan satwa liar
yang secara historis hidup dan penyebarannya berada di wilayah Negara Republik
Indonesia.
19. Tumbuhan dan satwa liar bukan asli Indonesia (asing) adalah semua jenis tumbuhan dan
satwa liar yang secara historis hidup dan penyebarannya di luar wilayah Negara Republik
Indonesia.
20. Pengembangbiakan tumbuhan dan satwa liar adalah kegiatan penangkaran berupa
perbanyakan individu melalui cara reproduksi kawin (sexual) maupun tidak kawin
(asexual) dalam lingkungan buatan dan/atau semi alami serta terkontrol dengan tetap
mempertahankan kemurnian jenis.
21. Pengembangbiakan tumbuhan dan satwa liar terkontrol adalah kegiatan penangkaran
berupa perbanyakan individu melalui cara reproduksi kawin (sexual) maupun tidak kawin
(asexual) dalam lingkungan buatan dan/atau semi alami serta terkontrol dengan tetap
mempertahankan kemurnian jenis dan memperhatikan daya dukung serta mengacu pada
pengelolaan koleksi (collection management).
22. Jenis tumbuhan dan satwa adalah jenis yang secara ilmiah disebut spesies atau anak-anak
jenis secara alamiah disebut sub-spesies baik di dalam maupun di luar habitatnya.
23. Koleksi tumbuhan dan satwa liar adalah kumpulan spesimen tumbuhan atau satwa liar
yang menjadi obyek pengelolaan lembaga konservasi.
24. Tumbuhan yang dilindungi adalah semua jenis tumbuhan baik yang hidup maupun mati
serta bagian-bagiannya yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditetapkan sebagai tumbuhan yang dilindungi.
25. Satwa liar yang dilindungi adalah semua jenis satwa liar baik yang hidup maupun mati
serta bagian-bagiannya yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi.
26. Mitra kerja adalah pihak dan/atau pihak-pihak yang dengan dana dan/atau keahlian teknis
yang dimilikinya yang melakukan kegiatan di bidang lembaga konservasi dengan tidak ada
unsur komersial melalui kerjasama dengan Direktorat Jenderal atau Unit Pelaksana Teknis.
27. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.
28. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di
bidang perlindungan hutan dan konservasi alam.
29. Direktur Teknis yang selanjutnya disebut Direktur adalah Direktur yang diserahi tugas dan
bertanggung jawab di bidang keanekaragaman hayati.
30. Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disebut UPT adalah Balai Besar Konservasi
Sumber Daya Alam, Balai Besar Taman Nasional, Balai Konservasi Sumber Daya Alam atau
Balai Taman Nasional.
Bagian Kedua
Fungsi dan Prinsip Lembaga Konservasi
Pasal 2
(1) Lembaga Konservasi mempunyai fungsi utama pengembangbiakan terkontrol dan/atau
penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
(2) Selain fungsi utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lembaga konservasi juga
mempunyai fungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan, penitipan sementara, sumber
indukan dan cadangan genetik untuk mendukung populasi in-situ, sarana rekreasi yang
sehat serta penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan


Pasal 3
(1) Pengelolaan lembaga konservasi dilakukan berdasarkan prinsip etika dan kesejahteraan
satwa.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai etika dan kesejahteraan satwa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB II
BENTUK DAN KRITERIA LEMBAGA KONSERVASI
Bagian Kesatu
Bentuk Lembaga Konservasi
Pasal 4
Lembaga konservasi dapat berbentuk :
a. pusat penyelamatan satwa;
b. pusat latihan satwa khusus;
c. pusat rehabilitasi satwa;
d. kebun binatang;
e. taman safari;
f. taman satwa;
g. taman satwa khusus;
h. museum zoologi;
i.
kebun botani;
j.
taman tumbuhan khusus; atau
k. herbarium.
Bagian Kedua
Pengelompokkan Lembaga Konservasi
Pasal 5
(1) Lembaga konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dikelompokkan menjadi :
a. lembaga konservasi untuk kepentingan khusus; dan
b. lembaga konservasi untuk kepentingan umum.
(2) Lembaga konservasi untuk kepentingan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi :
a. pusat penyelamatan satwa;
b. pusat latihan satwa khusus;
c. pusat rehabilitasi satwa.
(3) Lembaga konservasi untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi :
a. kebun binatang;
b. taman safari;
c. taman satwa;
d. taman satwa khusus;
e. museum zoologi;
f. kebun botani;
g. taman tumbuhan khusus; dan
h. herbarium.

Bagian Ketiga
Kriteria Lembaga Konservasi
Pasal 6
Kriteria Pusat Penyelamatan Satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, terdiri atas :
a. jenis koleksi satwa yang dilindungi dan/atau satwa asing;
b. pengelolaan koleksi bersifat sementara atau tidak menetap permanen;
c. memiliki sarana pemeliharaan dan perawatan satwa, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) kandang pemeliharaan;
2) kandang habituasi;
3) kandang transport yang sesuai dengan jenis satwa;
4) naungan; dan
5) prasarana pendukung pengelolaan satwa yang lain (gudang pakan).
d. memiliki fasilitas kesehatan minimal yang berfungsi sebagai karantina dan klinik;
e. memiliki tenaga kerja permanen sesuai bidang keahliannya, sekurang-kurangnya terdiri
atas :
1) dokter hewan;
2) tenaga paramedis;
3) perawat satwa (animal keeper);
4) tenaga keamanan; dan
5) tenaga administrasi.
f. Memiliki fasilitas kantor pengelola; dan
g. Memiliki fasilitas pengelolaan limbah.
Pasal 7
Kriteria Pusat Latihan Satwa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b terdiri atas :
a. satwa yang dikoleksi khusus spesies gajah;
b. memiliki sarana pelatihan gajah, antara lain tempat penjinakan, tempat pelatihan dan
perlengkapan pelatihan;
c. memiliki sarana pelatihan sumber daya manusia dan barak mahout;
d. memiliki sarana pemeliharaan dan perawatan satwa, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) kandang perawatan;
2) fasilitas naungan;
3) gudang pakan; dan
4) prasarana pendukung pengelolaan satwa yang lain.
e. memiliki ketersediaan sumber air berupa sungai atau dam;
f. memiliki areal penggembalaan;
g. memiliki fasilitas kesehatan, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) karantina;
2) klinik; dan
3) koleksi obat.
h. memiliki fasilitas pelayanan pengunjung, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) ruang informasi;
2) toilet;
3) tempat sampah;
4) petunjuk arah; dan
5) parkir.
i.
memiliki tenaga kerja permanen sesuai bidang keahliannya, sekurang-kurangnya terdiri
atas :
1) dokter hewan;
2) mahout;
3) tenaga paramedis; dan
4) tenaga keamanan.
j. memiliki fasilitas kantor pengelola;


k.

memiliki fasilitas pengelolaan limbah.

Pasal 8
Kriteria Pusat Rehabilitasi Satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, terdiri atas :
a. jenis koleksi satwa terdiri dari satwa tertentu yang dilindungi;
b. memiliki sarana pengadaptasian, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) tempat pengadaptasian;
2) perlengkapan pengadaptasian.
c. memiliki sarana pemeliharaan dan perawatan satwa, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) kandang pemeliharaan;
2) kandang habituasi;
3) kandang transport yang sesuai dengan jenis satwa;
4) naungan;
5) gudang pakan; dan
6) prasarana pendukung pengelolaan satwa yang lain.
d. memiliki fasilitas kesehatan, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) karantina;
2) klinik; dan
3) koleksi obat.
e. memiliki tenaga kerja permanen sesuai bidang keahliannya, sekurang-kurangnya terdiri
atas :
1) dokter hewan;
2) tenaga paramedis;
3) perawat satwa (animal keeper);
4) tenaga keamanan; dan
5) tenaga administrasi.
f. Memiliki fasilitas kantor pengelola; dan
g. Memiliki fasilitas pengelolaan limbah.
Pasal 9
Kriteria Kebun Binatang sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf d, terdiri atas :
a. memiliki satwa yang dikoleksi sekurang-kurangnya 3 (tiga) kelas taksa baik satwa yang
dilindungi, satwa yang tidak dilindungi atau satwa asing;
b. memiliki luas areal sekurang-kurangnya 15 (lima belas) hektar;
c. memiliki sarana pemeliharaan dan perawatan satwa, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) kandang pemeliharaan;
2) kandang perawatan;
3) kandang pengembangbiakan;
4) kandang sapih;
5) kandang peragaan;
6) areal bermain satwa;
7) gudang pakan dan dapur;
8) naungan untuk satwa; dan
9) prasarana pendukung pengelolaan satwa yang lain.
d. memiliki fasilitas kesehatan, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) karantina satwa;
2) klinik;
3) labotratorium; dan
4) koleksi obat.
e. memiliki fasilitas pengunjung, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) pusat informasi;
2) toilet;
3) tempat sampah;
4) petunjuk arah;


f.

g.
h.

5) peta dan informasi satwa;


6) parkir;
7) kantin/restoran;
8) toko cinderamata;
9) shelter;
10) loket; dan
11) pelayanan umum.
memiliki tenaga kerja permanen sesuai bidang keahliannya, sekurang-kurangnya terdiri
atas :
1) dokter hewan;
2) kurator;
3) tenaga paramedis;
4) penjaga/perawat satwa (animal keeper);
5) tenaga keamanan;
6) pencatat silsilah (studbook keeper);
7) tenaga administrasi; dan
8) tenaga pendidikan konservasi.
memiliki fasilitas kantor pengelola; dan
memiliki fasilitas pengelolaan limbah.

Pasal 10
Kriteria Taman Safari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, terdiri atas :
a. memiliki satwa liar yang dikoleksi sekurang-kurangnya 3 (tiga) kelas taksa baik satwa
yang dilindungi, satwa yang tidak dilindungi dan/atau satwa asing;
b. memiliki luas areal sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) hektar;
c. areal pemeliharaan satwa terbuka;
d. pengunjung menggunakan kendaraan yang aman dari jangkauan satwa liar;
e. memiliki sarana pemeliharaan dan perawatan satwa, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) kandang pemeliharaan;
2) kandang perawatan;
3) kandang pengembangbiakan;
4) kandang sapih;
5) kandang peragaan;
6) areal bermain satwa;
7) gudang pakan dan dapur;
8) naungan untuk satwa; dan
9) prasarana pendukung pengelolaan satwa yang lain.
f. memiliki fasilitas kesehatan lengkap, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) karantina satwa;
2) rumah sakit hewan;
3) laboratorium; dan
4) koleksi obat.
g. memiliki fasilitas pelayanan pengunjung, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) pusat informasi;
2) toilet;
3) tempat sampah;
4) petunjuk arah;
5) peta dan informasi satwa;
6) parkir;
7) kantin/restoran;
8) toko cinderamata;
9) shelter;
10) loket; dan
11) pelayanan umum.


h.

i.
j.

memiliki tenaga kerja permanen sesuai bidang keahliannya, sekurang-kurangnya terdiri


atas :
1) dokter hewan;
2) kurator;
3) tenaga paramedis;
4) penjaga/perawat satwa (animal keeper);
5) tenaga keamanan;
6) pencatat silsilah (studbook keeper);
7) tenaga administrasi; dan
8) tenaga pendidikan konservasi
memiliki fasilitas kantor pengelola; dan
memiliki fasilitas pengelolaan dan pengelolaan limbah.

Pasal 11
Kriteria Taman Satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f terdiri atas :
a. memiliki jenis satwa yang dikoleksi sekurang-kurangnya 2 (dua) kelas taksa;
b. memiliki luas areal sekurang-kurangnya 2 (dua) hektar;
c. memiliki jenis satwa yang dilindungi, satwa yang tidak dilindungi dan/atau satwa asing;
d. memiliki sarana pemeliharaan dan perawatan satwa, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) kandang pemeliharaan;
2) kandang perawatan;
3) kandang pengembangbiakan;
4) kandang sapih;
5) kandang peragaan;
6) areal bermain satwa;
7) gudang pakan dan dapur;
8) naungan untuk satwa; dan
9) prasarana pendukung pengelolaan satwa yang lain.
e. memiliki fasilitas kesehatan, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) karantina satwa;
2) klinik;
3) laboratorium; dan
4) koleksi obat.
f. memiliki fasilitas pelayanan pengunjung, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) pusat informasi;
2) toilet;
3) tempat sampah;
4) petunjuk arah;
5) peta dan informasi satwa;
6) parkir;
7) kantin/restoran;
8) toko cinderamata;
9) shelter;
10) loket; dan
11) pelayanan umum.
g. memiliki tenaga kerja permanen sesuai bidang keahliannya, sekurang-kurangnya terdiri
atas:
1. dokter hewan;
2. tenaga paramedis;
3. penjaga/perawat satwa (animal keeper);
4. tenaga keamanan;
5. pencatat silsilah (studbook keeper);
6. tenaga administrasi; dan
7. tenaga pendidikan konservasi.


h.
i.

memiliki fasilitas kantor pengelola; dan


memiliki fasilitas pengelolaan limbah.

Pasal 12
Kriteria Taman Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf g, terdiri atas :
a. memiliki satwa yang dikoleksi 1 (satu) jenis tertentu atau 1 (satu) kelas taksa tertentu;
b. memiliki luas areal sekurang-kurangnya 2 (dua) hektar;
c. memiliki jenis satwa yang dilindungi, satwa yang tidak dilindungi dan/atau satwa asing;
d. memiliki sarana pemeliharaan dan perawatan satwa, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) kandang pemeliharaan;
2) kandang perawatan;
3) kandang pengembangbiakan;
4) kandang sapih;
5) kandang peragaan;
6) areal bermain satwa;
7) gudang pakan dan dapur;
8) naungan untuk satwa; dan
9) prasarana pendukung pengelolaan satwa yang lain.
e. memiliki fasilitas kesehatan, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) karantina satwa;
2) klinik; dan
3) koleksi obat.
f. memiliki fasilitas pelayanan pengunjung, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) pusat informasi;
2) toilet;
3) tempat sampah;
4) petunjuk arah;
5) peta dan informasi satwa;
6) parkir;
7) kantin;
8) toko cinderamata;
9) shelter;
10) loket; dan
11) pelayanan umum.
g. memiliki tenaga kerja permanen sesuai bidang keahliannya, sekurang-kurangnya terdiri
atas:
1) dokter hewan;
2) tenaga paramedis;
3) penjaga/perawat satwa (animal keeper);
4) tenaga keamanan;
5) pencatat silsilah (studbook keeper);
6) tenaga administrasi; dan
7) tenaga pendidikan konservasi.
h. memiliki fasilitas kantor pengelola; dan
i.
memiliki fasilitas pengelolaan limbah.
Pasal 13
Kriteria Museum Zoologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf h, terdiri atas :
a. koleksi spesimen satwa dalam keadaan mati;
b. memiliki sarana bangunan dengan luasan yang cukup atau disesuaikan dengan jumlah
dan jenis koleksi yang dikelola, dilengkapi dengan fasilitas pengatur temperatur ruangan,
dan fasilitas pengunjung;
c. memiliki sarana tempat penyimpanan, tempat preparasi dan preservasi, tempat peragaan
dan tempat edukasi;


d.

e.

memiliki tenaga kerja permanen sesuai bidang keahliannya, sekurang-kurangnya terdiri


atas:
1) tenaga taksidermi;
2) perawat spesimen;
3) tenaga interpreter;
4) tenaga keamanan; dan
5) tenaga administrasi.
memiliki fasilitas kantor pengelola.

Pasal 14
Kriteria Kebun Botani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf i, terdiri atas :
a. memiliki koleksi berbagai jenis tumbuhan liar;
b. memiliki sarana pendukung pengelolaan, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) green house;
2) laboratorium; dan
3) kebun bibit.
c. memiliki tenaga kerja permanen sesuai bidang keahliannya, sekurang-kurangnya terdiri
atas :
1) botanis;
2) interpreter;
3) perawat tumbuhan;
4) tenaga keamanan; dan
5) tenaga administrasi.
d. Memiliki fasilitas kantor pengelola.
Pasal 15
Kriteria Taman Tumbuhan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf j, terdiri atas :
a. memiliki koleksi tumbuhan terdiri atas satu famili tertentu;
b. memiliki sarana pendukung pengelolaan minimal, sekurang-kurangnya terdiri atas :
1) green house;
2) laboratorium; dan
3) taman bibit.
c. memiliki tenaga kerja permanen sesuai bidang keahliannya, sekurang-kurangnya terdiri
atas :
1) botanis;
2) interpreter;
3) perawat tumbuhan;
4) tenaga keamanan; dan
5) tenaga administrasi.
d. memiliki fasilitas kantor pengelola.
Pasal 16
Kriteria Herbarium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf k, terdiri atas :
a. memiliki koleksi spesimen tumbuhan liar dalam bentuk herbarium;
b. memiliki sarana bangunan dengan luasan yang cukup atau disesuaikan dengan jumlah
dan jenis koleksi yang dikelola, dan dilengkapi dengan fasilitas pengatur temperatur
ruangan;
c. memiliki sarana tempat penyimpanan, tempat preparasi dan preservasi, tempat peragaan
dan tempat edukasi;
d. memiliki tenaga kerja permanen sesuai bidang keahliannya, sekurang-kurangnya terdiri
atas :
1) tenaga taksidermi;
2) perawat spesimen;
3) tenaga interpreter;


e.

4) tenaga keamanan; dan


5) tenaga administrasi.
Memiliki fasilitas kantor pengelola.
BAB III
PENGELOLAAN LEMBAGA KONSERVASI UNTUK KEPENTINGAN KHUSUS

Pasal 17
Pengelolaan lembaga konservasi untuk kepentingan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf a, dilakukan melalui kerjasama.
Pasal 18
(1) Kerjasama pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dilakukan dengan
mitra kerja.
(2) Mitra kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum yang
berbentuk :
a. badan usaha milik negara;
b. badan usaha milik swasta;
c. lembaga swadaya masyarakat;
d. lembaga penelitian yang kegiatannya meliputi penelitian tumbuhan dan satwa;
e. lembaga pendidikan formal; atau
f. yayasan.
Pasal 19
Tata cara kerjasama pengelolaan lembaga konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
PENGELOLAAN LEMBAGA KONSERVASI UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 20
(1) Pengelolaan lembaga konservasi untuk kepentingan umum sebagimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf b dilakukan melalui izin.
(2) Izin lembaga konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri.
Pasal 21
Permohonan izin lembaga konservasi untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 dapat diajukan oleh :
a. badan usaha milik negara;
b. badan usaha milik daerah;
c. badan usaha milik swasta;
d. lembaga penelitian yang kegiatannya meliputi penelitian tumbuhan dan satwa;
e. lembaga pendidikan formal;
f. koperasi; atau
g. yayasan.

Bagian Kedua
Tata Cara Perizinan
Pasal 22
(1) Permohonan izin lembaga konservasi diajukan pemohon kepada Menteri dengan
tembusan disampaikan kepada :
a. Direktur Jenderal;
b. Gubernur setempat, untuk areal lembaga konservasi yang berada di wilayah DKI
Jakarta dan/atau lembaga konservasi yang berlokasi di 2 (dua) kabupaten/kota atau
lebih;
c. Bupati/Walikota setempat; dan
d. Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat;
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen, yang
terdiri atas :
a. saran pertimbangan bupati/walikota setempat;
b. saran pertimbangan gubernur setempat untuk areal lembaga konservasi yang berada di
wilayah DKI Jakarta dan/atau lembaga konservasi yang berlokasi di 2 (dua)
kabupaten/kota atau lebih;
c. berita acara persiapan teknis dan rekomendasi dari Kepala Balai Besar/Balai Konservasi
Sumber Daya Alam setempat;
d. proposal dan site plan;
e. surat izin tempat usaha (SITU);
f. nomor pokok wajib pajak (NPWP);
g. akte pendirian badan usaha bidang konservasi atau akte pendirian yayasan/koperasi
bidang konservasi;
h. kartu tanda penduduk atau identitas pemohon;
i. bukti kepemilikan lahan yang sah dengan luas lahan minimal sesuai dengan bentuk
lembaga konservasi, meliputi :
1) hak milik;
2) hak guna usaha;
3) hak pakai; atau
4) hak guna bangunan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proposal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Bagian Ketiga
Penilaian
Pasal 23
(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Menteri
menugaskan Direktur Jenderal untuk melakukan penilaian atas kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2).
(2) Direktur Jenderal menugaskan Direktur terkait melakukan penilaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam melakukan penilaian dapat
melibatkan pihak lain yang kompeten.
Pasal 24
(1) Dalam hal penilaian terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 telah
memenuhi persyaratan, Direktur dalam tenggat waktu 7 (tujuh) hari kerja, menyampaikan


hasil penilaian teknis dan administrasi serta konsep persetujuan prinsip Menteri kepada
Direktur Jenderal.
(2) Direktur Jenderal dalam tenggat waktu 10 (sepuluh) hari kerja, menyampaikan
rekomendasi penilaian teknis dan administrasi serta konsep persetujuan prinsip
pembangunan lembaga konservasi kepada Menteri melalui Sekretaris Jenderal.
(3) Persetujuan prinsip sebagaimana dimasud pada ayat (2), berlaku selama 2 (dua) tahun
dan memuat kewajiban yang harus dilakukan oleh pemohon meliputi :
a. melakukan studi lingkungan;
b. melakukan pembangunan infrastruktur sekurang-kurangnya kantor pengelola, fasilitas
kesehatan, dan sarana pemeliharaan spesimen koleksi sesuai site plan;
c. melaporkan kemajuan proses sebagaimana huruf a dan b.
Pasal 25
(1) Berdasarkan hasil penilaian terhadap permohonan izin lembaga konservasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 tidak memenuhi persyaratan teknis dan administrasi, Direktur
Jenderal dalam tenggat waktu 10 (sepuluh) hari kerja, menyampaikan surat
pemberitahuan kepada pemohon untuk melengkapi persyaratan.
(2) Dalam hal kelengkapan persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dipenuhi dalam tenggat waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Direktur Jenderal
menyampaikan surat penolakan kepada pemohon.
(3) Dalam hal persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi
oleh pemohon, permohonan diproses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 26
(1) Sekretaris Jenderal setelah menerima rekomendasi penilaian teknis dan administrasi serta
konsep persetujuan prinsip pembangunan Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (2), dalam tenggat waktu 10 (sepuluh) hari kerja melakukan
penelaahan dari aspek hukum.
(2) Dalam hal permohonan dinilai tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Sekretaris Jenderal dalam tenggat waktu 10 (sepuluh) hari kerja, menyampaikan
surat pemberitahuan kepada Direktur Jenderal agar pemohon dapat melengkapi
persyaratan.
(3) Dalam hal persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinilai
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), permohonan
diproses lebih lanjut.
(4) Berdasarkan hasil penelaahan dari aspek hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dalam tenggat 10 (sepuluh) hari kerja, Sekretaris Jenderal menyampaikan konsep
persetujuan prinsip pembangunan lembaga konservasi kepada Menteri.
(5) Menteri dalam tenggat waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima konsep persetujuan
prinsip pembangunan Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (40),
menandatangani persetujuan prinsip pembangunan lembaga konservasi.
(6) Persetujuan prinsip Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam tenggat waktu 5
(lima) hari kerja disampaikan kepada pemohon melalui Sekretaris Jenderal.

Pasal 27
(1) Berdasarkan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (6), Kepala
UPT melakukan evaluasi perkembangan pemenuhan kewajiban pemohon dan
menyampaikan rekomendasi untuk penetapan izin lembaga konservasi kepada Direktur
Jenderal dengan melampirkan :
a. dokumen studi lingkungan yang telah disahkan pejabat yang berwenang; dan
b. berita acara pemeriksaan sarana prasarana yang telah dibangun sesuai site plan.
(2) Direktur Jenderal melakukan penilaian terhadap pemenuhan seluruh kewajiban pemohon
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal pemohon telah memenuhi seluruh kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Direktur Jenderal dalam tenggat waktu 10 (sepuluh) hari kerja, menyampaikan
rekomendasi penilaian teknis dan administrasi serta konsep Keputusan Menteri tentang
Izin Lembaga Konservasi kepada Menteri melalui Sekretaris Jenderal.
(4) Dalam hal pemohon tidak memenuhi seluruh kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dalam tenggat waktu 10 (sepuluh) hari kerja, Direktur Jenderal menyampaikan surat
penolakan kepada pemohon.
(5) Sekretaris Jenderal setelah menerima penilaian teknis dan administrasi serta konsep
Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam tenggat waktu 10
(sepuluh) hari kerja melakukan penelaahan dari aspek hukum.
(6) Berdasarkan hasil penelaahan dari aspek hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
dalam tenggat waktu 10 (sepuluh) hari kerja, Sekretaris Jenderal menyampaikan konsep
Keputusan Menteri tentang Izin Lembaga Konservasi kepada Menteri.
(7) Menteri dalam tenggat waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima konsep Keputusan
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6), memberikan Izin Lembaga Konservasi.
(8) Izin Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dalam tenggat waktu 5
(lima) hari kerja disampaikan kepada pemohon melalui Sekretaris Jenderal.
Bagian Keempat
Jangka Waktu dan Perpanjangan Izin
Pasal 28
(1) Izin lembaga konservasi untuk kepentingan umum diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga
puluh) tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan oleh
Direktur Jenderal.
(2) Perpanjangan izin lembaga konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
pemegang izin kepada Menteri selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sebelum jangka waktu
izin lembaga konservasi berakhir.
(3) Tata cara perpanjangan izin lembaga konservasi sesuai dengan prosedur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22.
Bagian Kelima
Larangan
Pasal 29
Setiap pemegang izin lembaga konservasi dilarang :


a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

memindahtangankan izin lembaga konservasi kepada pihak lain;


menjual koleksi spesimen tumbuhan dan satwa liar;
melakukan pertukaran koleksi spesimen tumbuhan dan satwa liar tanpa izin;
melakukan persilangan antar jenis tumbuhan dan satwa yang menjadi koleksinya;
melakukan perkawinan satwa dalam satu kekerabatan (inbreeding);
memperagakan satwa yang sedang bunting, sakit dan abnormal; dan
mentelantarkan satwa atau mengelola satwa yang tidak sesuai dengan etika dan
kesejahteraan satwa.
Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban

Pasal 30
(1) Pemegang izin lembaga konservasi untuk kepentingan umum berhak :
a. memperoleh koleksi jenis tumbuhan atau satwa liar sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. memanfaatkan hasil pengembangbiakan tumbuhan atau satwa liar sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. bekerja sama dengan lembaga konservasi lain di dalam atau di luar negeri, antara lain
untuk pengembangan ilmu pengetahuan, tukar menukar jenis tumbuhan dan satwa
liar, peragaan, dan peminjaman satwa liar dilindungi ke luar negeri untuk kepentingan
pengembangbiakan (breeding loan) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. memperagakan jenis tumbuhan dan satwa liar di dalam areal pengelolaannya dan di
luar areal pengelolaannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. memperoleh manfaat hasil penelitian jenis tumbuhan dan satwa liar; dan
f. menerima imbalan atas jasa kegiatan usahanya.
(2) Pemegang izin lembaga konservasi untuk kepentingan umum berkewajiban :
a. membuat rencana karya pengelolaan (RKP) 30 (tiga puluh) tahun dalam waktu paling
lambat 1 (satu) tahun sejak diterimanya izin;
b. membuat rencana karya lima tahun (RKL);
c. membuat rencana karya tahunan (RKT);
d. melakukan penandaan atau sertifikat terhadap spesimen koleksi tumbuhan dan sawa
liar yang dipelihara;
e. membuat buku daftar silsilah (studbook) masing-masing jenis satwa yang hidup;
f. mengelola intensif lembaga konservasi, yang meliputi kegiatan : memelihara, merawat,
memperbanyak tumbuhan liar dan mengembangbiakan jenis satwa liar sesuai dengan
etika dan kesejahteraan satwa;
g. mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidangnya;
h. memberdayakan masyarakat setempat;
i. melakukan pemeriksaan kesehatan satwa koleksi secara reguler dan pencegahan
penularan penyakit;
j. melakukan upaya pengamanan dan menjaga keselamatan pengunjung , petugas serta
tumbuhan dan satwa liar;
k. melakukan pengelolaan limbah dan tata kelola lingkungan;
l. membuat dan menyampaikan laporan triwulan secara regular mengenai perkembangan
pengelolaan tumbuhan dan satwa kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala
Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat;
m. membayar pungutan penerimaan negara bukan pajak sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
n. mengkoleksi spesies asli Indonesia sekurang-kurangnya 50% (lima puluh per seratus)
dari jumlah total koleksi tumbuhan dan satwa liar.

Pasal 31
Ketentuan dan tata cara penyusunan RKP, RKL dan RKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB V
PEROLEHAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
Bagian Kesatu
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar
Pasal 32
(1) Tumbuhan dan satwa liar untuk koleksi lembaga konservasi terdiri atas :
a. tumbuhan dan satwa liar asli Indonesia yang selanjutnya disebut tumbuhan dan satwa
liar; dan
b. tumbuhan dan satwa liar bukan asli Indonesia yang selanjutnya disebut tumbuhan dan
satwa liar asing.
(2) Lembaga konservasi untuk kepentingan umum dapat memperoleh jenis tumbuhan atau
satwa liar untuk koleksi melalui :
a. penyerahan melalui Pemerintah terhadap tumbuhan dan satwa liar hasil sitaan
dan/atau penyerahan sukarela dari masyarakat;
b. hibah, pemberian atau sumbangan dari lembaga konservasi dalam negeri dan luar
negeri;
c. tukar menukar atau peminjaman untuk kepentingan pengembangbiakan (breeding
loan) antara lembaga konservasi dalam negeri dengan lembaga konservasi dalam
negeri atau lembaga konservasi dalam negeri dengan lembaga konservasi luar negeri;
d. pengambilan satwa dari instalasi konservasi satwa yang dikelola Pemerintah, antara lain
pusat latihan satwa khusus dan pusat penyelamatan satwa;
e. pembelian bagi jenis yang tidak dilindungi dengan cara dan dari sumber yang sah;
f. pengambilan atau penangkapan dari alam dengan mekanisme izin; dan
g. hasil evakuasi dari bencana alam dan/atau penyelamatan akibat konflik.
(3) Lembaga konservasi untuk kepentingan khusus dapat memperoleh jenis satwa liar
melalui:
a. penyerahan melalui Pemerintah terhadap satwa liar hasil upaya penegakan hukum,
penyerahan secara sukarela dari masyarakat, akibat bencana alam, dan/atau akibat
konflik; dan
b. hibah, pemberian atau sumbangan satwa liar dari lembaga konservasi dalam negeri
dan/atau dari lembaga konservasi luar negeri untuk kepentingan konservasi in situ,
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
(4) Tata cara memperoleh koleksi jenis tumbuhan dan satwa liar untuk lembaga konservasi
diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.
Bagian Kedua
Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar
Pasal 33
(1) Jenis tumbuhan dan satwa liar koleksi lembaga konservasi untuk kepentingan umum
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan :
a. pengembangbiakan yang terkontrol;
b. penelitian dan pendidikan;
c. pertukaran;
d. peminjaman jenis satwa liar dilindungi untuk kepentingan pengembangbiakan


(breeding loan);
e. peragaan; dan
f. pelepasliaran ke habitat alam.
(2) Jenis tumbuhan dan satwa liar koleksi lembaga konservasi untuk kepentingan khusus
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan :
a. penelitian dan pendidikan;
b. pelepasliaran ke habitat alam; dan
c. bagi satwa liar yang tidak dapat dilepasliarkan ke habitat alam, dapat disalurkan
kepada lembaga konservasi untuk kepentingan umum sebagai sumber induk atau
koleksi.
Pasal 34
Pemanfaatan spesimen untuk pengembangbiakan terkontrol sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (1) huruf a, dilakukan lembaga konservasi untuk kepentingan umum sesuai
dengan rencana pengelolaan koleksi.
Pasal 35
(1) Penelitian dan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b dan
ayat (2) huruf b, dapat dilakukan terhadap satwa hidup maupun mati oleh peneliti dari
dalam negeri atau luar negeri.
(2) Penelitian dan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat dilakukan
oleh peneliti dari lembaga konservasi atau lembaga pendidikan formal.
(3) Ketentuan dan tata cara permohonan izin untuk penelitian dan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 36
(1) Pertukaran jenis tumbuhan dan satwa liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)
huruf c, hanya dapat dilakukan antar lembaga konservasi dengan lembaga konservasi di
dalam negeri atau luar negeri, dengan ketentuan :
a. untuk mempertahankan atau meningkatkan populasi, memperkaya keanekaragaman
jenis, penelitian dan ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis;
b. jenis tumbuhan dan satwa tersebut sudah dipelihara atau merupakan koleksi unit
lembaga konservasi; dan
c. antara jenis tumbuhan dengan tumbuhan atau satwa dengan satwa.
(2) Pertukaran jenis tumbuhan dan satwa dengan lembaga konservasi luar negeri selain
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga didasarkan atas
keseimbangan nilai konservasi dan jumlah jenisnya.
(3) Pertukaran jenis tumbuhan dan satwa liar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri tersendiri.
Pasal 37
(1) Kegiatan peminjaman jenis satwa liar dilindungi untuk kepentingan pengembangbiakan
(breeding loan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 pada ayat (1) huruf d, hanya
dapat dilakukan antar lembaga konservasi dengan lembaga konservasi baik dalam
maupun luar negeri, dengan ketentuan :
a. untuk kepentingan pengembangbiakan (breeding) non-komersial;
b. jenis satwa koleksi di lembaga konservasi yang merupakan keturunan pertama (F1)
atau keturunan berikutnya;
c. untuk peminjaman ke lembaga konservasi luar negeri wajib mendapat dukungan


persetujuan (endorsement) atau informasi permohonan peminjaman jenis satwa dari


pihak Pemerintah melalui perwakilan diplomatik (diplomatic channel); dan
d. jenis satwa dan hasil keturunannya yang dipinjamkan ke lembaga konservasi luar
negeri status satwanya tetap menjadi milik Pemerintah Republik Indonesia.
(2) Peminjaman jenis satwa liar dilindungi untuk kepentingan pengembangbiakan (breeding
loan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam bentuk izin yang diberikan
oleh Menteri.
(3) Lembaga konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus terlebih dahulu
membuat kesepakatan bersama (Memorandum of Understanding) yang dituangkan dalam
naskah perjanjian kerjasama dengan jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
setelah dilakukan evaluasi oleh Direktur Jenderal.
(4) Ketentuan lebih lanjut peminjaman jenis satwa liar dilindungi untuk kepentingan
pengembangbiakan (breeding loan) diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.
Pasal 38
(1) Peragaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf e, dapat dilakukan oleh
lembaga konservasi.
(2) Peragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di dalam maupun di luar
lembaga konservasi baik di dalam maupun di luar negeri.
(3) Tata cara peragaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri tersendiri.
Pasal 39
(1) Pelepasliaran ke habitat alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf f dan
ayat (2) huruf c, dapat dilakukan oleh lembaga konservasi.
(2) Tata cara pelepasliaran ke habitat alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Pasal 40
(1) Satwa liar yang tidak dapat dilepasliarkan ke habitat alam dari lembaga konservasi untuk
kepentingan khusus dalam bentuk Pusat Penyelamatan Satwa dan Pusat Rehabilitasi
Satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf c dapat disalurkan/diberikan
kepada lembaga konservasi untuk kepentingan umum.
(2) Penyaluran/Pemberian Satwa Liar yang tidak dapat dilepasliarkan ke habitat alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENILAIAN LEMBAGA KONSERVASI
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 41
(1) Direktur Jenderal melalui Direktur dan Kepala UPT melakukan pembinaan kepada lembaga
konservasi.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi aspek :


a. teknis;
b. administrasi; dan
c. pemanfaatan.
Pasal 42
(1) Pembinaan aspek teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a meliputi :
a. fasilitas sarana dan prasarana kantor pengelola dan pengelolaan satwa;
b. kesehatan satwa dan fasilitas sarana dan prasarana kesehatan satwa;
c. sumber daya manusia;
d. penerapan etika dan kesejahteraan satwa termasuk penerapan bio-safety dan biosecurity;
e. program pengembangbiakan terkontrol;
f. pengunjung dan fasilitas sarana dan prasarana pengunjung;
g. komponen teknis yang tertuang dalam kewajiban pemegang izin; dan
h. implementasi program dan kegiatan yang tertuang dalam struktur dokumen
perencanaan (RKP, RKL dan RKT).
(2) Pembinaan aspek administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b
meliputi :
a. perizinan;
b. sistem pendataan koleksi termasuk studbook keeper;
c. pelaporan pengelolaan tumbuhan dan satwa;
d. kerjasama kemitraan;
e. struktur dokumen perencanaan (RKP, RKL dan RKT); dan
f. catatan medis (medical record).
(3) Pembinaan aspek pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf c
meliputi :
a. peragaan;
b. tukar-menukar;
c. peminjaman koleksi tumbuhan dan satwa liar untuk pengembangbiakan (breeding
loan);
d. pelepasliaran; dan
e. penelitian dan pendidikan.
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) dilakukan paling sedikit 1
(satu) kali dalam setahun.
Bagian Kedua
Penilaian
Pasal 43
(1) Direktur Jenderal melakukan penilaian terhadap lembaga konservasi melalui :
a. penilaian secara internal (self assesment); dan
b. penilaian secara eksternal.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, dilakukan untuk :
a. mendorong lembaga konservasi untuk terus menerus meningkatkan pengelolaan dan
mempertahankan mutu pengelolaan;
b. menetapkan, memelihara dan meningkatkan standar operasional pengelolaan lembaga
konservasi melalui proses evaluasi yang dilakukan secara internal (self assesment) dan
secara eksternal;
c. meningkatkan kesejahteraan satwa secara khusus; dan
d. meningkatkan peran lembaga konservasi dalam kegiatan konservasi dan pemberdayaan


masyarakat.
(3) Dalam melakukan penilaian secara eksternal terhadap lembaga konservasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal membentuk tim.
(4) Hasil penilaian tim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Direktur
Jenderal.
(5) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan nilai predikat di
atas memenuhi standar, Direktur Jenderal memberikan sertifikat hasil penilaian.
(6) Dalam hal hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan nilai predikat tidak
memenuhi standar, Direktur Jenderal melalui Direktur dan Kepala UPT melakukan
pembinaan intensif.
(7) Proses penilaian terhadap lembaga konservasi dilakukan paling lambat 3 (tiga) tahun
sejak diterimanya izin.
(8) Pedoman penilaian lembaga konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 44
Pemegang izin lembaga konservasi untuk kepentingan umum yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 ayat (2) dapat dikenakan sanksi
administratif berupa :
a. penghentian sementara pelayanan administrasi;
b. denda; dan
c. pencabutan izin.
Pasal 45
Sanksi penghentian sementara pelayanan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
huruf a dikenakan bagi lembaga konservasi untuk kepentingan umum yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, dan huruf m atau larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf f.
Pasal 46
(1) Sanksi denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 huruf b dikenakan bagi lembaga
konservasi untuk kepentingan umum yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (2) huruf n.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga atas pelanggaran karena
kelalaiannya yang menyebabkan kematian satwa.
(3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 47
Sanksi pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c dikenakan bagi lembaga
konservasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, dan, huruf g.


Pasal 48
(1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dilakukan setelah diberikan
peringatan tertulis dari Direktur Jenderal atas nama Menteri sebanyak 3 kali berturut-turut
dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari kerja.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan penilaian
atau hasil pemeriksaan Tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal.
BAB IX
HAPUSNYA IZIN

Izin
a.
b.
c.

Pasal 49
lembaga konservasi untuk kepentingan umum berakhir apabila :
jangka waktu berakhir dan tidak diperpanjang;
diserahkan kembali oleh pemegang izin kepada menteri sebelum izin berakhir; dan
dicabut oleh Menteri sebagai sanksi pelanggaran.

Pasal 50
(1) Dengan berakhirnya izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, jenis tumbuhan dan/atau
satwa liar yang dilindungi yang dikelola pemegang izin wajib dikembalikan kepada Negara.
(2) Pengembalian jenis tumbuhan dan satwa liar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan kepada lembaga konservasi dengan persetujuan Menteri.
BAB X
PERUBAHAN BENTUK, PERPINDAHAN DAN PERLUASAN LOKASI
LEMBAGA KONSERVASI UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Bagian Kesatu
Perubahan Bentuk
Pasal 51
Permohonan untuk perubahan bentuk lembaga konservasi diproses sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 dan disertai dokumen studi
lingkungan.
Bagian Kedua
Perpindahan Lokasi
Pasal 52
Permohonan untuk perpindahan lokasi lembaga konservasi diproses sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27.
Bagian Ketiga
Perluasan Lokasi
Pasal 53
(1) Perluasan lokasi lembaga konservasi diproses melalui permohonan yang diajukan oleh
pemohon kepada Menteri dengan tembusan kepada :
a. Direktur Jenderal;
b. Kepala Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan :
a. berita acara persiapan teknis dan rekomendasi dari Kepala Balai Besar/Balai Konservasi


Sumber Daya Alam setempat;


b. dokumen studi lingkungan;
c. lokasi/lahan menyatu atau tidak terpisah sesuai dengan dokumen SITU; dan
d. memiliki bukti kepemilikan lahan yang sah.
Pasal 54
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 telah dipenuhi, Menteri
menerbitkan revisi izin lembaga konservasi.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 55
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kehutanan ini, maka terhadap permohonan izin
lembaga konservasi wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan ini.
BAB XII
PENUTUP
Pasal 56
Pada saat Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku, maka Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.1/Menhut-II/2007 dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 57
Peraturan Menteri Kehutanan ini berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Kehutanan
ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juli 2012
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juli 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 747
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM DAN ORGANISASI,
ttd
KRISNA RYA






25. Peraturan

Menteri

Kehutanan

Republik

Indonesia

Nomor

P.12/Menhut-II/2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kebun


Bibit Rakyat.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : P.12/MENHUT-II/2013
TENTANG
PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEBUN BIBIT RAKYAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang

: a.

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (2) dan


Pasal 34 ayat (1) huruf a, Peraturan Pemerintah Nomor
76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
telah ditetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.17/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Teknis Kebun
Hutan Rakyat;

b. bahwa dalam rangka efisiensi dan efektifitas pelaksanaan


pembuatan Kebun Bibit Rakyat, Peraturan Menteri
Kehutanan sebagaimana huruf a, perlu disempurnakan.
c.

Mengingat

bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kehutanan tentang Penyelenggaraan
Kebun Bibit Rakyat;

: 1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Kehutanan menjadi Undang-undang (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 201, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4947);
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292);
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011;
Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta
Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92
Tahun 2011;
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden
Nomor 70 Tahun 2012 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 155, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5334);
Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II sebagaimana
telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 59/P
Tahun 2011;
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 40/MenhutII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun

2010 Nomor 405), sebagaimana telah diubah dengan


Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/MenhutI/2012 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 779;

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN
MENTERI
KEHUTANAN
TENTANG
PEDOMAN
PENYELENGGARAAN
KEBUN
BIBIT
RAKYAT.
Pasal 1
Pedoman Penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat adalah sebagaimana tercantum
dalam lampiran Peraturan ini.
Pasal 2
Pedoman Penyelengaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 menjadi acuan
dalam penyelenggaraan Kebun Bibit Rakyat.
Pasal 3
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.17/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Teknis Kebun Bibit Rakyat,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 4
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Menteri dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 8 Februari 2013
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ZULKIFLI HASAN
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Februari 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 260


Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM DAN ORGINISASI,

ttd

KRISNA RYA

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR
: P.12/Menhut-II/2013
TENTANG
: PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEBUN BIBIT RAKYAT
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di lahan kritis, lahan kosong dan lahan tidak
produktif merupakan salah satu upaya pemulihan kondisi DAS yang kritis. Upaya tersebut
memberikan hasil antara lain berupa kayu, getah, buah, daun, bunga, serat, pakan
ternak yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat (pro growth) sekaligus
penyerapan tenaga kerja (pro job) dan mengurangi tingkat kemiskinan (pro poor) serta
menurunkan emisi karbon (pro environment).
Salah satu kegiatan untuk mendukung program rehabilitasi hutan dan lahan dengan
pemberdayaan masyarakat adalah pembangunan Kebun Bibit Rakyat (KBR). KBR
dimaksud untuk menyediakan bibit tanaman kayu-kayuan atau tanaman serbaguna
(MPTS) dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus
mendukung pemulihan fungsi dan daya dukung DAS.
Kebun Bibit Rakyat dilaksanakan secara swakelola oleh kelompok masyarakat. Bibit hasil
Kebun Bibit Rakyat digunakan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis serta kegiatan
penghijauan lingkungan.
B. Maksud dan Tujuan.
1. Maksud
Pedoman ini disusun untuk memberikan arahan
terkait dengan program Kebun Bibit Rakyat.
2. Tujuan
Tujuannya adalah terlaksananya pembangunan
penanamannya secara efektif dan efisien.

kepada

semua

Kebun

Bibit

pihak yang

Rakyat

dan

C. Pengertian.
1. Benih adalah bahan tanaman yang berupa bahan generatif (biji) atau bahan vegetatif
yang digunakan untuk pengembangbiakan tanaman hutan.
2. Bibit adalah tumbuhan muda hasil pengembangbiakan secara generatif atau secara
vegetatif.
3. Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat

4.
5.

6.
7.

8.

9.

10.

11.
12.
13.

14.
15.
16.

yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Jenis tanaman serbaguna (Multi Purpose Tree Species/MPTS) adalah jenis tanaman
yang menghasilkan kayu dan bukan kayu (buah-buahan, getah, kulit dll).
Kebun Bibit Rakyat yang selanjutnya disingkat KBR adalah kebun bibit yang dikelola
oleh kelompok masyarakat baik laki-laki maupun perempuan melalui pembuatan bibit
berbagai jenis tanaman hutan dan/atau tanaman serbaguna (MPTS) yang
pembiayaannya bersumber dari dana pemerintah.
Kelompok masyarakat pelaksana KBR adalah kelompok masyarakat yang menyusun
rencana, melaksanakan dan mengawasi pembangunan KBR.
Tim perencana adalah anggota kelompok masyarakat yang dipilih oleh anggota
kelompok masyarakat pelaksana KBR dengan anggota paling sedikit 3 orang,
bertugas menyusun RUKK.
Tim Pelaksana adalah anggota kelompok masyarakat yang dipilih oleh anggota
kelompok masyarakat pelaksana KBR dengan anggota paling sedikit 3 orang,
bertugas melaksanakan pembangunan KBR sesuai RUKK.
Tim Pengawas adalah anggota kelompok masyarakat yang dipilih oleh anggota
kelompok masyarakat pelaksana KBR dengan angota paling sedikit 3 orang,
bertugas mengawasi pelaksanaan pembangunan KBR sesuai RUKK.
Pendampingan adalah penguatan kelembagaan kelompok masyarakat oleh Petugas
Lapangan Kebun Bibit Rakyat/Rehabilitasi Hutan dan Lahan (PL KBR/RHL), Petugas
Lapangan Penyuluhan Kehutanan (PLPK) pada Badan Pelaksana Penyuluhan atau
Instansi penyelenggara penyuluhan di Kabupaten/Kota, atau oleh Penyuluh
Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) untuk melaksanakan pembangunan dan
penanaman bibit KBR.
Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan
untuk memberdayakan masyarakat setempat.
Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan desa serta belum dibebani izin/hak.
Rencana Usaha Kegiatan Kelompok yang selanjutnya disingkat RUKK adalah rencana
pembangunan KBR yang disusun oleh kelompok, antara lain memuat nama dan
alamat kelompok, lokasi, jenis dan jumlah bibit, asal benih, komponen kegiatan dan
rencana pemanfaatan bibit.
Sumber benih adalah suatu tegakan di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan
hutan yang dikelola guna memproduksi benih yang berkualitas.
Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di
bidang bina pengelolaan daerah aliran sungai dan perhutanan sosial.
Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan
tanggung jawab di bidang Kehutanan.

BAB II
PEMBUATAN KBR
A. Persyaratan calon kelompok masyarakat KBR
1. Jumlah anggota paling sedikit 15 (lima belas) orang baik laki-laki maupun perempuan
yang berdomisili di desa/kelurahan setempat, antara lain petani, mahasiswa,
santri/siswa, maupun anggota organisasi masyarakat lainnya dan
2. Terdapat areal hutan/lahan untuk lokasi penanaman KBR ekuvalen minimal 40 ha.
B. Kreteria Desa/Kelurahan Calon Lokasi KBR
Berada pada sasaran areal Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) berdasarkan Rencana
Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS) atau Rencana
Pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RPRHL) atau Rencana Tahunan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (RTnRHL) dan/atau lahan tidak produktif lainnya.
C. Alokasi KBR
Pada setiap desa calon lokasi KBR, dapat ditetapkan paling banyak 2 (dua) unit KBR
dengan ketentuan :
1. Kelompok masyarakat yang belum pernah mendapat kegiatan KBR atau Bantuan
Langsung Masyarakat Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis
Konservasi (BLM-PPMPBK); dan
2. Terdapat lahan untuk penanaman bibit KBR.
D. Persyaratan Calon Lokasi KBR
1. Topografi relatif datar (kemiringan lereng 0-8%), bebas banjir dan tanah
longsor, cukup sinar matahari, tersedia sumber air.
2. Aksesibilitas baik atau mudah dijangkau.
3. Khusus untuk jenis mangrove, persemaian berada pada lokasi yang dipengaruhi
pasang surut air laut.
E. Sasaran Penggunaan Bibit KBR
Bibit KBR digunakan untuk kegiatan hutan rakyat, penghijauan lingkungan pada fasilitas
umum/fasilitas sosial (ruang terbuka hijau, turus jalan, kanan kiri sungai, halaman
sekolah/perkantoran/rumah ibadah/pertokoan/pasar dll), rehabilitasi dan penanaman di
kawasan hutan yang telah diarahkan sebagai areal kerja Hutan Kemasyarakatan
(HKm)/Hutan Desa (HD) atau yang telah memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hutan
Kemasyarakatan (IUPHKm) dan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD).

F. Pengajuan Usulan (Proposal)


1. Usulan KBR diajukan oleh ketua kelompok masyarakat kepada Kepala BPDAS dengan
tembusan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
2. Usulan KBR ditandatangani oleh ketua kelompok masyarakat dan diketahui oleh
Kepala Desa/Lurah.
3. Usulan KBR memuat antara lain identitas nama kelompok masyarakat, daftar anggota
kelompok, deskripsi lokasi/areal KBR, rencana dan sketsa lokasi/areal penanaman.
Contoh usulan KBR sebagaimana tercantum dalam Format 1, Format 2, Format 3
dan Format 4.
4. Untuk usulan KBR pada Hutan Desa memuat identitas lembaga desa pengelola Hutan
Desa dan ditandatangani oleh Ketua Lembaga Desa serta diketahui oleh Kepala
Desa.
G. Verifikasi KBR.
1. Verifikasi KBR dilaksanakan oleh Tim Verifikasi yang ditugaskan oleh Kepala BPDAS.
2. Verifikasi KBR dilakukan 2 (dua) tahap yaitu pemeriksaan kelengkapan administrasi
dan teknis.
3. Pemeriksaan kelengkapan administrasi dilakukan oleh BPDAS terhadap organisasi
kelompok, jumlah, anggota dan keabsahan kelompok.
4. Usulan yang memenuhi persyaratan administrasi dilanjutkan dengan verifikasi teknis
berupa kelayakan calon lokasi KBR, calon lokasi penanaman dan calon kelompok
masyarakat di lapangan oleh BPDAS bersama Dinas Kabupaten/Kota Khusus untuk
Hutan Desa bersama Dinas Provinsi.
5. Hasil verifikasi teknis akan disampaikan secara tertulis kepada Dinas Kabupaten/Kota
untuk diinformasikan kepada calon kelompok KBR.
6. Hasil verifikasi teknis menjadi dasar Kepala BPDAS untuk menetapkan kelompok dan
lokasi KBR.
7. Contoh formulir verifikasi administrasi dan formulir teknis KBR sebagaimana
tercantum dalam Format 5 dan Format 6.
H. Penetapan KBR
Kelompok masyarakat dan lokasi KBR ditetapkan dengan Keputusan Kepala BPDAS dan
disampaikan kepada kelompok yang bersangkutan dengan tembusan kepada Dinas
Kabupaten/Kota, Dinas Provinsi yang menangani Kehutanan, dan Direktorat Jenderal
BPDAS-PS.

Skema penetapan kelompok KBR sebagaimana tercantum pada gambar 1.


Gambar 1 : Skema Penetapan Kelompok KBR
KelompokMasyarakat
Usulan(Proposal)

RUKK

SPKS

---------------------------------------------------------------1
BPDAS

DINASKABUPATEN/KOTA

2
TOLAK

VERIFIKASI

---------------------------------------ADMINISTRASI

TOLAK

VERIFIKASI

TEKNIS

4
5

PENENTUANKBROLEH
KEPALABPDAS

---------------------------------------------------

I. Penyusunan RUKK
1. RUKK disusun oleh Tim Perencana bersama anggota kelompok secara partisipatif dan
dibimbing oleh tenaga pendamping.
2. RUKK ditandatangani oleh Ketua Tim Perencana, disetujui oleh Ketua Kelompok,
dinilai oleh pendamping dan disahkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
3. RUKK memuat antara lain :
a. nama dan alamat kelompok;
b. nama pengurus dan anggota;
c. lokasi persemaian dan penanaman;
d. jenis dan jumlah bibit;
e. bahan dan peralatan;
f. jenis kegiatan dan rencana biaya; dan/atau
g. tata waktu.
Contoh RUKK sebagaimana tercantum dalam Format 7.
J. Pola Pelaksanaan KBR
1. Pembuatan KBR dilakukan secara swakelola oleh kelompok masyarakat dengan
mekanisme Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS).
2. Penanggung jawab pengelola anggaran pembuatan KBR adalah KPA pada satuan
kerja BPDAS dan PPK pada Dinas Kabupaten/Kota atau BPDAS.
K. Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS)
SPKS adalah perjanjian antara kelompok masyarakat dengan Pejabat Pembuat Komitmen
yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam pelaksanaan pembuatan
KBR. SPKS ditandatangani oleh PPK dan Ketua Kelompok. Contoh SPKS sebagaimana
tercantum dalam Format 8.
L. Penyaluran Dana
Berdasarkan usulan permintaan pembayaran dari kelompok masyarakat, contoh
sebagaimana tercantum dalam Format 9, PPK melakukan penyaluran dana melalui KPPN
setempat dengan mekanisme langsung (LS) ke rekening kelompok masyarakat pelaksana
KBR melalui 3 (tiga) tahap, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Mekanisme penyaluran dana dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Pembayaran Tahap I sebesar 40 % dari keseluruhan dana dilakukan jika
RUKK telah disetujui oleh PPK dan SPKS telah ditandatangani oleh Ketua Kelompok
masyarakat pelaksana KBR dan PPK.
2. Pembayaran Tahap II sebesar 30 % dari keseluruhan dana dilakukan jika
pembuatan KBR telah mencapai realisasi fisik minimal 30 %, yaitu telah tersedia
sarana dan prasarana serta benih generatif telah ditabur pada bedeng tabur atau

benih vegetatif telah ditanam ke dalam media semai di dalam polybag/ kantong/
wadah lainnya. Realisasi fisik ini dibuktikan dengan berita acara pemeriksaan
pekerjaan yang ditandatangani oleh tim pengawas dan diketahui oleh Ketua Tim
Pelaksana, Ketua Kelompok dan Pendamping.
Contoh Berita Acara sebagaimana tercantum dalam Format 10.
3. Pembayaran Tahap III sebesar 30 % dari keseluruhan dana dilakukan jika pembuatan
KBR telah mencapai realisasi fisik minimal 60 %, yaitu semua bibit, baik generatif
maupun vegetatif, dalam jumlah cukup dan sehat, sudah di dalam
polybag/kantong/wadah lainnya. Realisasi fisik ini dibuktikan dengan berita acara yang
ditandatangani oleh Tim Pengawas dan diketahui oleh Ketua Tim Pelaksana, Ketua
Kelompok dan Pendamping.
Contoh Berita Acara sebagaimana tercantum dalam Format 10.
Prosedur penyaluran dana sebagaimana tercantum pada gambar 2.
Gambar 2 : Prosedur Penyaluran Dana KBR.
Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA) pada BPDAS
3

2

PenerbitanSurat
Permintaan
Pembayaran(SPP)

PejabatPenguji&PenerbitSurat
PerintahMembayar(SPM)pada
BPDAS

PenerbitanSPM

KPPN

PejabatPembuatKomitmen
(PPK)padaDishutKab/Kota
atauBPDAS

PenerbitanSP2D
dantransferdana
kerekening
kelompok
Penyaluranbertahap:

1

Ketua Kelompok
MasyarakatKBR

TahapI.40%

TahapII.30%

TahapIII.30%

M. Pertanggungjawaban Penggunaan Dana


1. Pertanggungjawaban penggunaan dana dibuktikan dengan kwitansi bermaterai cukup
dan ditandatangani oleh Ketua Kelompok, dilampiri dengan bukti pembelian dan/atau
pembayaran.
2. Pengenaan pungutan pajak penghasilan dilakukan terhadap pengadaan barang non
bibit antara lain polybag, pupuk, dan sarana produksi lainnya sebesar 1,5% dari total
pembelian (PPh Pasal 22) bagi kelompok masyarakat yang memiliki NPWP. Bagi
kelompok masyarakat yang tidak memiliki NPWP pengenaan pajaknya sebesar 3%.
N. Standar Jumlah Bibit
Setiap Kelompok Masyarakat Pelaksana KBR harus membuat bibit sebagai
berikut :
1. Jawa
: 40.000 batang per unit KBR
2. Luar Jawa : 25.000 batang per unit KBR
Jenis tanaman KBR berupa kayu-kayuan dan tanaman serba guna (MPTS). Untuk jenis
tanaman kayu-kayuan termasuk jenis tanaman mangrove dan hutan pantai. Untuk jenis
tanaman serbaguna termasuk jenis-jenis untuk mendukung Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) unggulan nasional (bambu, gaharu, nyamplung, sutera alam, lebah madu dan
rotan).
Benih/bahan tanaman untuk membuat bibit dapat berasal dari generatif (biji) maupun
vegetatif (stek, cangkok, okulasi, kultur jaringan). Benih generatif jenis kayu-kayuan
diutamakan berasal dari sumber benih bersertifikat.

O. Jadwal Pelaksanaan
Tata waktu pelaksanaan pembuatan KBR sebagaimana tabel berikut :

No

Tabel: Jadwal Pelaksanaan KBR


Bulan

Kegiatan
T-1

Pengajuan
usulan (dari
klp masy).

Verifikasi
Administrasi
dan Teknis

Penetepan
KBR oleh Ka.
BPDAS

Penyusunan
RUKK dan
SPKS

Pelaksanaan
KBR

Penyusunan
rancangan
penanaman

Penanaman
Bibit KBR

Pengendalian,
pembinaan
dan
pelaporan

10

11

12

P.

Serah Terima Hasil Kegiatan


1. Serah terima bibit hasil KBR
a. Kelompok masyarakat KBR menyerahkan kepada PPK yang dituangkan dalam
Berita Acara Serah Terima Hasil Kegiatan, contoh Berita Acara sebagaimana
tercantum dalam Format 11.
b. PPK menyerahkan kepada Kepala BPDAS selaku KPA dengan Berita Acara Serah
Terima Hasil Kegiatan, contoh Berita Acara sebagaimana tercantum dalam
Format 12.
c. Kepala BPDAS menyerahkan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota, contoh Berita
Acara sebagaimana tercantum dalam Format 13.
d. Kepala Dinas Kabupaten/Kota menyerahkan kepada Kelompok Masyarakat KBR
yang dituangkan dalam berita acara serah terima pengelolaan dan pemanfaatan
bibit KBR untuk dipelihara dan ditanam, contoh Berita Acara sebagaimana
tercantum dalam Format 14.
2. Bibit yang belum diserahterimakan dari BPDAS kepada Dinas Kabupaten/Kota harus
dicatat sebagai barang persediaan.

Q.

Pendampingan
1. Pendamping KBR berasal dari Petugas Lapangan Kebun Bibit Rakyat/Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (PL-KBR/RHL), Petugas Lapangan Penyuluhan Kehutanan (PLPK)
pada Badan Pelaksana Penyuluhan atau Instansi penyelenggara penyuluhan di
Kabupaten/Kota. Kekurangan tenaga pendamping, dapat ditambah dari Penyuluh
Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) dan penerimaan tenaga baru (recruitment)
yang memenuhi kriteria yang ditetapkan Direktur Jenderal.
2. Tenaga pendamping KBR ditetapkan oleh Kepala BPDAS setelah berkoordinasi
dengan Dinas Kabupaten/Kota, Badan Pelaksana Penyuluhan dan/atau Instansi
penyelenggara penyuluhan di Kabupaten/Kota.
3. Pendamping bertugas:
a. Melakukan bimbingan kepada kelompok KBR antara lain :
1) penyusunan RUKK dan rancangan penanaman;
2) informasi penyediaan benih, bahan dan peralatan;
3) teknis pembuatan dan pemeliharaan bibit;
4) teknis penanaman;
5) pembuatan laporan dan dokumentasi;
b. Bersama tim pengawas kelompok melaksanakan evaluasi penanaman bibit
KBR.
c. Membuat laporan tugas pendampingan setiap bulan kepada Kepala BPDAS.

BAB III
PENANAMAN BIBIT KBR
A. Penyusunan Rancangan
1. Rancangan penanaman disusun oleh tim yang dibentuk oleh Kepala BPDAS yang
terdiri dari unsur Dinas Kabupaten/Kota, BPDAS, dan tim perencana kelompok.
2. Rancangan penanaman memuat :
a. letak lokasi;
b. luas;
c. jenis tanaman;
d. daftar pemilik lahan;
e. peta lokasi penanaman (skala 1 : 2000) dan koordinatnya; dan
f. lembar pengesahan.
3. Rancangan penanaman dinilai oleh Kepala BPDAS dan disahkan oleh kepala Dinas
Kabupaten/Kota.
4. Rancangan penanaman disusun sebelum pelaksanaan penanaman.
5. Rancangan penanaman yang telah disusun, dituangkan dalam Rencana Tahunan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RTn RHL) sesuai peraturan perundang-undangan.
B. Penanaman
Bibit yang sudah siap tanam dapat ditanam pada tahun berjalan di lokasi sebagaimana
ditentukan dalam RUKK dan Rancangan Penanaman sedangkan insentif penanaman
dibayar pada tahun berikutnya.
C. Evaluasi Hasil Penanaman
1. Terhadap bibit yang sudah ditanam akan dilakukan evaluasi.
2. Evaluasi hasil penanaman dilakukan sekurang kurangnya 1 (satu) bulan setelah
ditanam.
3. Evaluasi penanaman dilakukan oleh Tim Pengawas bersama dengan pendamping
yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Evaluasi Hasil Penanaman, contoh
Berita Acara sebagaimana tercantum dalam Format 15 dan diketahui oleh Ketua
Kelompok.
4. Hasil evaluasi penanaman sebagai dasar untuk pembayaran insentif penanaman.
5. PPK melakukan supervisi pelaksanaan evaluasi hasil penanaman bibit KBR oleh Tim
Pengawas.
D. Pembayaran Insentif Penanaman
1. Insentif penanaman dibayarkan sesuai jumlah bibit yang hidup;

2. Pembayaran insentif penanaman disalurkan sekaligus ke rekening kelompok


masyarakat untuk dibagikan kepada anggota sesuai dengan Berita Acara Evaluasi
Hasil Penanaman.
BAB IV
PENGENDALIAN, PEMBINAAN DAN PELAPORAN
A. Pengendalian dan Pembinaan
1. Pengendalian dan pembinaan terhadap pembuatan KBR dimulai sejak perencanaan
sampai dengan penanaman.
2. Pengendalian dan pembinaan meliputi pemantauan, evaluasi dan pengawasan.
4. BPDAS, Dinas Provinsi yang menangani kehutanan, dan Dinas Kabupaten/Kota
melakukan pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan KBR oleh
kelompok masyarakat.
4. Direktorat Jenderal BPDASPS melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan KBR oleh BPDAS.
5. Ketentuan lebih lanjut tentang monitoring dan evaluasi pelaksanaan KBR diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
B. Pelaporan
Laporan kemajuan pembuatan KBR dan penanaman bibit KBR meliputi laporan kelompok
masyarakat, PPK, dan KPA dengan uraian sebagai berikut :
1. Tim pelaksana membuat laporan bulanan kepada ketua kelompok masyarakat
diketahui oleh Tim Pengawas.
2. Ketua kelompok membuat laporan bulanan kepada PPK diketahui oleh pendamping,
contoh laporan sebagaimana tercantum dalam Format 16.
3. PPK membuat laporan bulanan kepada KPA dari hasil rekapitulasi laporan
kelompok masyarakat seperti tersebut pada butir 1 dan 2 dengan tembusan Kepala
Dinas Kabupaten/Kota, contoh laporan sebagaimana tercantum dalam Format 17.
4. KPA (Kepala BPDAS) membuat laporan triwulan dari hasil rekapitulasi laporan PPK
yang disampaikan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Pejabat Eselon
II Lingkup Ditjen BPDASPS, dan Kepala Dinas Provinsi, contoh laporan sebagaimana
tercantum dalam Format 18.
5. Dinas Provinsi yang menangani kehutanan dan Dinas Kabupaten/Kota melaporkan
hasil pengendalian dan pembinaan kepada Direktur Jenderal.

BAB V
PENUTUP
Pedoman ini digunakan bagi seluruh jajaran kehutanan baik di pusat dan di daerah maupun
kelompok masyarakat yang bersangkutan untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan
KBR serta penanamannya yang dilaksanakan secara transparan, partisipatif dan akuntabel.

Format 1. Contoh Usulan/proposal KBR


Nomor
: .
Lampiran
: .
Perihal
: .
Kepada Yth.
Kepala BPDAS...................

Di
Bersama ini dengan hormat kami sampaikan usulan kegiatan Kebun Bibit Rakyat
(KBR).
Kelompok Masyarakat :
Alamat
:
Jumlah anggota
:
Lokasi
a. Persemaian : Blok/Dusun , Desa .........., Kecamatan , Luas
b. Penanaman :
1. Blok/Dusun , Luas, Desa .............., Kecamatan
2. Blok/Dusun , Luas, Desa .............., Kecamatan
3. dst
Deskripsi calon lokasi KBR, calon lokasi penanaman dan data kelompok sebagaimana
terlampir
Demikian permohonan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/Ibu kami
ucapkan terima kasih.
Mengetahui
Kepala Desa/Lurah

(tempat, tgl/bln/th)
Kelompok Masyarakat.........

(............................)

( Nama Ketua Kelompok )

Tembusan:
Kepala Dinas Kabupaten/Kota....................

Format 2.
DAFTAR ANGGOTA KELOMPOK MASYARAKAT
CALON PENERIMA KEGIATAN KEBUN BIBIT RAKYAT TAHUN......
1. NAMA KELOMPOK
2. PENGURUS KELOMPOK
a. Ketua
b. Sekretaris
c. Bendahara
3. ALAMAT KELOMPOK

4. PENGUKUHAN KELOMPOK
a. Pejabat yang Mengukuhkan
b. Tanggal Pengukuhan
5. JUMLAH ANGGOTA
6. KEGIATAN KELOMPOK

:
:
:
:
: RT. RW.. Blok ...... Desa
Kecamatan Kabupaten/Kota
. Provinsi.
:
:
:
: . (.) orang
: a.
b.
c.

7. NO. TELP/HP KETUA KELOMPOK :


Data-data yang kami sampaikan benar apa adanya.

Mengetahui
Kepala Desa

(nama dan stempel)

KETUA KELOMPOK

(nama)

Format 3. Contoh Deskripsi Calon Lokasi KBR


DESKRIPSI CALON LOKASI KBR
KELOMPOK MASYARAKAT..
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Dusun/Blok
: .
Desa/Kelurahan : .
Kecamatan
: .
Kabupaten/Kota : .
Provinsi
: .
Luas KBR
: .Ha
Status lahan
: ..
DAS/Sub DAS
: ..
Topografi
: ..
Koordinat
: ..
Ketinggian dpl : .. m dpl
Sumber air yang tersedia : ..
Jarak sumber air dari calon KBR : ..
Jarak ke jalan : ..
Sketsa calon lokasi KBR:

Format 4. Contoh Deskripsi Rencana dan Sketsa lokasi/areal penanaman

DESKRIPSI CALON LOKASI PENANAMAN/PEMANFAATAN BIBIT KBR


KELOMPOK MASYARAKAT..
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

14.

Dusun/Blok
Desa/Kelurahan
Kecamatan
Kabupaten/Kota
Provinsi
Luas areal
Status Lahan

:
:
:
: ..
:
: .Ha
: dalam kawasan/luar kawasan/lahan milik/
lahan adat/.........
DAS/Sub DAS
: ..
Topografi
: ..
Koordinat
: ..
Ketinggian dpl : .. m dpl
Jarak lokasi KBR ke lokasi penanaman : ..
Tujuan/fungsi penanaman : ..................
(perlindungan/produksi/penghijauan lingkungan/hutan kemasyarakatan/
desa)
Sketsa calon lokasi penanaman :

hutan

DAFTAR ANGGOTA KELOMPOK .


No.

Nama

Jabatan dalam Kelompok

Alamat

No. KTP/ Surat


Ket.

Ketua

Bendahara

Sekretaris

Ketua Tim Perencana

Anggota

Anggota

Anggota

Dst

Ketua Tim Pelaksana

10

Anggota

11

Anggota

12

Anggota

13

Dst

14

Ketua Tim Pengawas

15

Anggota

16

Anggota

17

Anggota

18

Dst

*) Ketua, Sekretaris dan Bendahara Kelompok harus melampirkan fotocopy KTP atau Surat Keterangan
Domisili.
Mengetahui :
Kepala Desa

(nama dan stempel)

KETUA KELOMPOK

(nama)

Format 5. Contoh Formulir Verifikasi Administrasi


VERIFIKASI ADMINISTRASI
KELOMPOK CALON PENERIMA KEGIATAN KBR TAHUN......
1.
2.
3.
4.
5.

Nama Kelompok
Desa/Blok
Kecamatan
Kabupaten/Kota
Provinsi

:
:
:
:
:

..
..
..
..
..

No.

PERSYARATAN

HASIL PENILAIAN

KETERANGAN

Ada

Tidak Ada

a. Pejabat yang mengukuhkan

Ada

Tidak Ada

b. Tanggal Pengukuhan

Ada

Tidak Ada

Sesuai

Tidak Sesuai

Pengurus Kelompok

Pengukuhan Kelompok

Alamat Kelompok

Usulan diketahui Kepala Desa

Ada

Tidak Ada

Daftar Anggota

Ada

Tidak Ada

Jumlah Anggota

Sesuai

Tidak Sesuai

Sketsa lokasi kegiatan

Ada

Tidak Ada

Sketsa calon lokasi penanaman

Ada

Tidak Ada

Rekomendasi : Layak/Tidak Layak untuk ditindaklanjuti dengan verifikasi teknis.


.., ....................................
Verifikator

Nama
NIP.

Format 6. Contoh Formulir Verifikasi Teknis


VERIFIKASI TEKNIS
KELOMPOK CALON PENERIMA KEGIATAN KBR TAHUN......
1.
2.
3.
4.
5.

Nama Kelompok
Desa/Blok
Kecamatan
Kabupaten/Kota
Provinsi

:
:
:
:
:

..
..
..
..
..

No.

PERSYARATAN

HASIL PENILAIAN
3

a. Kesesuaian Alamat

Sesuai

Tidak Sesuai

b. Kesesuaian nama Kelompok

Sesuai

Tidak Sesuai

c. Kesesuaian Pengurus

Sesuai

Tidak Sesuai

KETERANGAN

Keberadaan Kelompok :

Terdapat lokasi KBR


dengan ketentuan

yang

sesuai

Sesuai

Tidak Sesuai

Terdapat lokasi calon penanaman bibit


KBR yang sesuai dengan ketentuan

Sesuai

Tidak Sesuai

Rekomendasi : Kelompok . Layak/tidak layak untuk mendapatkan KBR.


Data hasil verifikasi teknis diatas adalah benar.
.., ....................................
Verifikator
1. Nama
NIP.
(Tanda Tangan)
2. Nama
NIP.
(Tanda Tangan)
3. Nama
NIP.
(Tanda Tangan)

Format 7. Contoh RUKK


RENCANA USULAN KEGIATAN KELOMPOK (RUKK)
Kegiatan Pembuatan KBR Tahun ....
Kelompok Masyarakat .........................
1. Latar Belakang
:
2. Maksud dan Tujuan
:
3. Sasaran
:
a. Dusun/Blok
:
b. Desa
:
c. Kecamatan
:
d. Kabupaten/Kota
:
e. Provinsi
:
f. Koordinat Geografis :
g. Target
: Minimal 25.000/40.000 batang*)
h. Jenis Tanaman
:
1) ..................................... jumlah ......................... batang
2) ... jumlah .......... batang
3) dst
4. Rincian kegiatan dan anggaran :
No.

A.

Kegiatan

Pembuatan Sarana dan Prasarana


a. Papan nama
b. Bedeng  tabur
c. Bedeng sapih
d. Pupuk dan insektisida
e. dst

B.

Volume,
Satuan

Pembelian benih/stek
a. Jenis ..
b. Jenis ..
c. Jenis ..

Biaya/Satuan
(Rp)

Total (Rp)

C.

Pembuatan dan pemeliharaan bibit


a. Penaburan
b. Penyapihan
c. Penyiraman
d. Pemupukan
e. Penyulaman
f. Pembersihan
rumput/alang-alang
/gulma
g. Penanggulangan hama
dan penyakit

D.

Pertemuan kelompok
Total

4. Tata Waktu
No.

Uraian Kegiatan

Bulan ke
I

..

..

dst

II

III

IV

dst

5. Rencana pemanfaatan
No.

Calon Lokasi

..

..

dst

Jumlah batang

7. Struktur Organisasi Kelompok


Ketua
: ........................
Sekretaris : .......................
Bendahara : ..
I.

Tim Perencana (minimal 3 orang)


1. Ketua
: ..................
2. Anggota
: ...................

II. Tim Pelaksana (minimal 3 orang)


1. Ketua
: ..........................
2. Anggota
:
a. ...........................
b. ...........................
dst.
III. Tim Pengawas(minimal 3 orang)
1. Ketua
: ......................
2. Anggota
: ...................
a. ...........................
b. ...........................
dst.

Menyetujui :
Ketua Kelompok Masyarakat ..........

(Nama Ketua Kelompok)


Dinilai oleh :
Pendamping,

(Nama Pendamping)

*) Coret yang tidak perlu

(tempat,tgl/bln/tahun)
Tim Perencana Kelompok
Masyarakat

(Nama Ketua Tim Perencana)


Disahkan oleh :
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Dinas Kabupaten/Kota/BPDAS........
Nama.............................................
NIP................................................

Format 8. Contoh SPKS


KOP SURAT
---------------------------------------------------------------------------------------------------SURAT PERJANJIAN KERJASAMA
Nomor:
TENTANG:
PEMBUATAN KEBUN BIBIT RAKYAT
ANTARA
PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN..................
KABUPATEN/KOTA/BPDAS......
DENGAN
KETUA KELOMPOK MASYARAKAT ..............................
DESA ......................

Pada hari ini..tanggal bulan. Tahun dua ribu .., kami yang
bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama
:
NIP
:
Jabatan
: Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) ..
Alamat
: ..............................................
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA).. Tahun .., selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.
2. Nama
:
Jabatan
: Ketua Kelompok
Alamat
: .......................
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama kelompok yang berkedudukan
di Desa/Kelurahan. Kecamatan.... Kabupaten/Kota...,
selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.
Dengan ini menyatakan bahwa kedua belah pihak sepakat mengadakan kerjasama
dalam pembuatan Kebun KBR untuk menghasilkan bibit (sebutkan
jenisnya).. sejumlah paling sedikit 25.000/40.000 batang*) yang
terletak di Blok/Dukuh .., Desa ., Kecamatan .,
Kabupaten/kota, Provinsi . sebagaimana diatur dalam pasal-pasal berikut:

Pasal 1
LINGKUP PEKERJAAN
(1) Lingkup pekerjaan dalam surat perjanjian kerjasama ini adalah pembuatan bibit paling
sedikit 25.000/40.000 batang*) untuk penanaman pada lokasi yang ditetapkan sesuai
dengan RUKK.
(2) Hasil pembuatan bibit dalam pelaksanaan pekerjaan ini meliputi bibit siap tanam dan
mempunyai standar antara lain bibit berada di polybag/kantong/wadah lainnya di
bedeng sapih, pertumbuhan normal (sehat dan batang berkayu), media kompak dengan
tinggi bibit memadai untuk siap ditanam sesuai jenisnya.
Pasal 2
JANGKA WAKTU PELAKSANAAN PEKERJAAN
Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan dari...................sampai dengan.........................
Pasal 3
BIAYA DAN CARA PEMBAYARAN
(1)

Dalam pelaksanaan lingkup pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, PIHAK


PERTAMA akan membayar biaya pelaksanaan pekerjaan dengan anggaran DIPA BA
029 Balai Pengelolaan DAS .. tahun.....
(2) PIHAK PERTAMA membayar biaya pekerjaan kepada PIHAK KEDUA sebesar Rp
() dengan tahapan sebagai berikut:
a. Pembayaran Tahap I sebesar 40 % dari keseluruhan dana dilakukan jika RUKK telah
disetujui oleh PIHAK PERTAMA dan SPKS telah ditandatangani oleh PIHAK KEDUA
dan PIHAK PERTAMA;
b. Pembayaran Tahap II sebesar 30 % dari keseluruhan dana dilakukan jika pembuatan
KBR telah mencapai realisasi fisik minimal 30 %, yaitu telah tersedia sarana dan
prasarana serta benih generatif telah ditabur pada bedeng tabur atau benih vegetatif
telah ditanam ke dalam media semai di dalam polybag/kantong/wadah lainnya;
c. Pembayaran Tahap III sebesar 30 % dari keseluruhan dana dilakukan jika pembuatan
KBR telah mencapai realisasi fisik minimal 60 %, yaitu semua bibit, baik generatif
maupun vegetatif, sudah di dalam polybag/kantong/wadah lainnya sebanyak minimal
25.000/40.000 batang*).

(3)

PIHAK PERTAMA membayarkan biaya pekerjaan kepada PIHAK KEDUA setelah PIHAK
KEDUA menyampaikan laporan kepada PIHAK PERTAMA. Laporan tersebut
ditandatangani oleh ketua Tim Pelaksana dan diketahui/disetujui oleh ketua Tim
Pengawas serta Ketua Kelompok Masyarakat.
(4) PIHAK PERTAMA membayarkan biaya pekerjaan kepada PIHAK KEDUA melalui rekening
bersama nomor. atas nama ........(kelompok masyarakat .........) pada Bank..
Pasal 4
HAK DAN KEWAJIBAN
1. PIHAK PERTAMA mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut:
a. Kewajiban PIHAK PERTAMA:
a) mengusulkan pembayaran biaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan ketentuan.
b) mengevaluasi seluruh hasil pekerjaan pembuatan bibit KBR yang dilakukan oleh
PIHAK KEDUA.
b. Hak PIHAK PERTAMA:
1) memberikan arahan dan mengawasi pekerjaan yang dilaksanakan oleh PIHAK
KEDUA.
2) menerima laporan kemajuan dan realisasi pekerjaan dari PIHAK KEDUA.
3) memutuskan perjanjian kerjasama secara sepihak apabila:
a) PIHAK KEDUA tidak melaksanakan kegiatan yang nyata setelah menerima
pembayaran Tahap I sebesar 40 % (empat puluh perseratus).
b) PIHAK KEDUA tidak melaksanakan pekerjaan setelah menerima
Pembayaran Tahap II sebesar 30% (tiga puluh perseratus).
2. PIHAK KEDUA mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut:
a. Kewajiban PIHAK KEDUA:
1) melaksanakan pekerjaan sebagaimana tercantum pada Pasal 1 berdasarkan
Pedoman Teknis Pembuatan KBR yang telah ditetapkan.
2) memberikan keterangan yang diperlukan untuk pemeriksaan yang dilakukan
oleh PIHAK PERTAMA.
3) menyelesaikan pekerjaan sesuai jadwal penyelesaian pekerjaan yang telah
ditetapkan.
4) melakukan pemeliharaan bibit yang dihasilkan sampai dengan bibit siap tanam.
5) mengembalikan uang pembayaran Tahap I dan Tahap II yang sudah diterima
apabila tidak melaksanakan kegiatan secara nyata di lapangan.
6) membuat laporan kemajuan dan realisasi pekerjaan setiap bulan kepada PIHAK
PERTAMA dalam rangkap 2 (dua).
7) membuat laporan akhir kepada PIHAK PERTAMA sebelum dilakukan serah terima
pekerjaan.

b. Hak PIHAK KEDUA:


1) menerima pembayaran atas biaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan
tahapan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
2) mendapat arahan, bimbingan dan pendampingan dari PIHAK PERTAMA.
Pasal 5
SERAH TERIMA PEKERJAAN
Setelah pelaksanaan pekerjaan selesai 100 % berupa tersedianya bibit siap tanam minimal
25.000/40.000 batang*), PIHAK KEDUA menyerahkan hasil pekerjaan kepada PIHAK
PERTAMA dengan menandatangani Berita Acara Serah Terima Hasil Pekerjaan.
Pasal 6
PERSELISIHAN
(1) Apabila salah satu PIHAK tidak memenuhi kewajiban sebagaimana kesepakatan yang
tercantum dalam perjanjian ini, maka pihak yang merasa dirugikan berhak mengajukan
keberatan secara lisan maupun tulisan.
(2) Apabila timbul perselisihan antar PIHAK PERTAMA dengan PIHAK KEDUA akan
diselesaikan secara musyawarah dan mufakat berdasarkan azas kekeluargaan dan
kebersamaan.
(3) Apabila dengan cara musyawarah tidak tercapai penyelesaian, kedua belah pihak
berkesepakatan untuk menunjuk Panitia Arbitrase di Pengadilan Negeri ..
(4) Selama proses penyelesaian dengan cara musyawarah atau melalui Pengadilan
Negeri, tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda pelaksanaan kegiatan pekerjaan
sesuai jadwal yang telah ditetapkan.
Pasal 7
KEADAAN KAHAR (FORCE MAJEUR)
(1)
(2)
(3)

Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeur) maka ketidak mampuan PIHAK
KEDUA untuk melaksanakan pekerjaan bukan merupakan kesalahan.
Keadaan kahar meliputi: peperangan, bencana alam, revolusi, kerusuhan, sehingga
PIHAK KEDUA tidak dapat memenuhi kewajiban/kegiatan.
Apabila terjadi keadaan kahar, maka PIHAK KEDUA harus memberitahukan dengan
dilampiri surat pernyataan kahar dari Pemerintah setempat atau Instansi yang

berwenang kepada PIHAK PERTAMA paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari
sejak terjadinya keadaan kahar.
Pasal 8
KETENTUAN TAMBAHAN
Perubahan-perubahan yang dikehendaki dan disepakati oleh kedua belah pihak maupun
segala sesuatu yang belum diatur dalam perjanjian ini diatur/dituangkan dalam aturan yang
merupakan satu kesatuan utuh dengan perjanjian ini serta mempunyai ketentuan hukum
yang sama.
Pasal 9
PENUTUP
(1)

Perjanjian ini dinyatakan sah dan mengikat serta berlaku sejak tanggal di
tandatangani oleh kedua belah pihak.
(2) Perjanjian ini dibuat 2 (dua) rangkap, masing-masing bermaterai cukup dan
memiliki kekuatan hukum yang sama.
(tempat, tgl/bln/tahun)
PIHAK KEDUA

(Nama Ketua Kelompok)


*) Coret yang tidak perlu

PIHAK PERTAMA

(Nama PPK)
NIP

Format 9. Contoh Format Permintaan Pembayaran


PERMINTAAN PEMBAYARAN
DARI KELOMPOK MASYARAKAT PELAKSANA KEGIATAN KBR TAHUN......
No
Hal

:
: Pengajuan Pembayaran

Kepada Yth,
Pejabat Pembuat Komitmen ......
di
...................
Berdasarkan Keputusan Kepala BPDAS ........................ Nomor............... tanggal
............. tentang .....(Penetapan KBR)..... dan SPKS Nomor ... tanggal
.................... serta RUKK KBR, bersama ini dengan hormat kami mengajukan
pembayaran untuk kegiatan KBR tahap I/II/III*), dan dapat disampaikan kepada :
-

Rekening atas nama kelompok


Nomor Rekening
Nama Bank
Nilai Permintaan

: ...................... (nama kelompok masyarakat)


: .......................
: .......................
: Rp. ................. (.....dengan huruf.....)

Demikian surat ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
..................... (nama kelompok)
......................
Ketua
*) Coret yang tidak perlu

Format 10. Contoh Berita Acara Hasil Pemeriksaan Pekerjaan


BERITA ACARA HASIL PEMERIKSAAN PEKERJAAN
PEMBUATAN KBR
Pada hari ini, tanggal bulan tahun , Tim Pengawas Kelompok KBR telah
melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan pembuatan KBR Kelompok Dusun/Blok
Desa Kecamatan Kabupaten Propinsi, dengan hasil pekerjaan sebagai
berikut :


Target
Realisasi s/d saat
ini
No.
Kegiatan
Volume,
Biaya
Fisik
Keuang Keterangan
Satuan
(Rp)
%
an
(Rp)
A.
Pembuatan sarana dan prasarana
a) Papan nama
b) Bedeng tabur
c) Bedeng sapih
d) Pupuk dan insektisida
e) Gubuk kerja
f) Tandon air
Dst
B.
Pembelian benih/stek
a) Jenis ..
b) Jenis ..
Dst
C.
Pembuatan dan pemeliharaan bibit
a) Penaburan
b) Penyapihan
c) Penyiraman
d) Pemupukan
e) Penyulaman
f) Pembersihan rumput/
alang-alang/gulma
g) Penanggulangan
hama dan penyakit
Hasil pekerjaan tersebut secara keseluruhan telah mencapai % (minimal 30 % atau 60%)
*).
Demikian Berita Acara ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
, 20
Mengetahui/Menyetujui :
Tim Pengawas :
1. Ketua Tim Pelaksana,
1. .. (Ketua)
2. Ketua Kelompok,
2. .. (Anggota)
3. Pendamping
3. Dst
*) Coret yang tidak perlu

Format 11. Contoh Berita Acara Serah Terima Hasil Kegiatan dari Kelompok Masyarakat
kepada PPK Kegiatan KBR
BERITA ACARA SERAH TERIMA HASIL KEGIATAN
..
Nomor :
Tanggal :
Pada hari ini tanggal .. bulan.. tahun. kami yang bertandatangan dibawah ini :
Nama
:
Jabatan
: Ketua Kelompok Masyarakat. selaku Ketua Kelompok Pelaksana KBR
Tahun ......
Alamat
:
dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Kelompok Masyarakat..........penerima KBR
tahun......., selanjutnya disebut sebagai PIHAK KESATU.
Nama
:
Jabatan
: PPK Kegiatan KBR pada BPDAS..................
Alamat
:
dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Kuasa Pengguna Anggaran DIPA BA. 029 BPDAS
........ Tahun......, selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.
dengan ini menyatakan bahwa PIHAK KESATU telah melaksanakan kegiatan pembuatan
Kebun Bibit Rakyat di :
Desa / Kelurahan
:
Kecamatan
:
Kabupaten/Kota
: .................................
Provinsi
:
Jumlah Bibit KBR
: ................ batang
Selanjutnya PIHAK KESATU menyerahkan hasil kegiatan kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK
KEDUA menerima hasil kegiatan dari PIHAK KESATU dalam keadaan baik, lengkap dan cukup
sesuai dengan SPKS Nomor........ tanggal ............................. , dengan rincian jenis bibit
sebagai berikut :
1. , sebanyak .. batang
2. , sebanyak .. batang
3. , sebanyak .. batang
4. , sebanyak .. batang
Demikian Berita Acara Serah Terima Hasil Kegiatan ini dibuat dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak dengan sebenarnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
PIHAK KESATU
PIHAK KEDUA
Nama
Nama
NIP.

Format 12. Contoh Berita Acara Serah Terima Hasil Kegiatan dari PPK KBR kepada KPA pada
BPDAS
BERITA ACARA SERAH TERIMA HASIL KEGIATAN

Nomor :
Tanggal :
Pada hari ini tanggal bulan tahun kami yang bertandatangan dibawah
ini :
Nama
:
Jabatan
: PPK Kegiatan KBR pada Dinas...... Kab/Kota...... /BPDAS..................
Alamat
:
selanjutnya disebut sebagai PIHAK KESATU.
Nama
Jabatan
Alamat
selanjutnya

:
: Kuasa Pengguna Anggaran pada BPDAS.......................
:
disebut sebagai PIHAK KEDUA.

dengan ini menyatakan bahwa PIHAK KESATU telah melaksanakan kegiatan pembuatan
Kebun Bibit Rakyat di
:
Kabupaten/Kota
: .................................
Provinsi
:
Jumlah unit KBR
: ............................... unit
Jumlah Bibit KBR
: ................ batang
Selanjutnya PIHAK KESATU menyerahkan hasil kegiatan kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK
KEDUA menerima hasil kegiatan dari PIHAK KESATU dalam keadaan baik, lengkap dan cukup
sesuai dengan Berita Acara Serah Terima Hasil Kegiatan KBR dari para Kelompok Masyarakat
Pelaksana KBR kepada PPK Kegiatan KBR pada Dinas...... Kab/Kota..... sebagaimana
terlampir.
Demikian Berita Acara Serah Terima Hasil Kegiatan ini dibuat dan ditandatangani oleh kedua
belah pihak dengan sebenarnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
PIHAK KESATU

PIHAK KEDUA

Nama
NIP.

Nama
NIP.

Format 13. Contoh Berita Acara Serah Terima Hasil Kegiatan dari KPA BPDAS
kepada Kepala Dinas.
BERITA ACARA SERAH TERIMA HASIL KEGIATAN

Nomor :
Tanggal :
Pada hari ini tanggal bulan tahun kami yang bertandatangan
dibawah ini :
Nama :
Jabatan : Kuasa Pengguna Anggaran pada BPDAS.......................
Alamat :
dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama BPDAS ........, selanjutnya disebut sebagai
PIHAK KESATU.
Nama :
Jabatan : Kepala Dinas .........................................
Alamat :
selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.
dengan ini menyatakan bahwa PIHAK KESATU menyerahkan hasil pekerjaan pembuatan
KBR kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA menerima hasil pekerjaan tersebut dalam
keadaan baik dan lengkap untuk selanjutnya dikelola dan dimanfaatkan sesuai
peruntukannya, dengan rincian :
Kabupaten/Kota
: .................................
Provinsi
:
Jumlah unit KBR
: ............................... unit
Jumlah Bibit KBR
: ................ batang
Demikian Berita Acara Serah Terima Hasil Kegiatan ini dibuat dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak dengan sebenarnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
PIHAK KESATU

Nama
NIP.

PIHAK KEDUA

Nama
NIP.

Format 14. Contoh Berita Acara Serah Terima Pengelolaan dan Pemanfaatan Bibit KBR dari
Kepala Dinas kepada Ketua Kelompok Masyarakat
BERITA ACARA SERAH TERIMA PENGELOLAAN
DAN PEMANFAATAN BIBIT KBR

Nomor :
Tanggal :
Pada hari ini tanggal bulan tahun kami yang bertandatangan dibawah
ini :
Nama
:
Jabatan
: Kepala Dinas .................................
Alamat
:
dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama BPDAS ........, selanjutnya disebut sebagai
PIHAK KESATU.
Nama
:
Jabatan
: Ketua Kelompok Masyarakat..... selaku Ketua Kelompok Pelaksana KBR Tahun
...
Alamat
:
dalam hal bertindak untuk dan atas nama Kelompok Masyarakat......... selanjutnya disebut
sebagai PIHAK KEDUA
dengan ini menyatakan bahwa PIHAK KESATU menyerahkan hasil pekerjaan pembuatan KBR
kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA menerima hasil pekerjaan tersebut dalam keadaan
baik dan lengkap untuk selanjutnya dikelola dan dimanfaatkan sesuai peruntukannya, dengan
rincian :
Jenis Bibit : 1. ...... sebanyak...............batang
2. ................................... sebanyak ..............batang
3. .................................... sebanyak..............batang
dst
Lokasi KBR : Desa ............. Kecamatan ......... Kabupaten .......... Provinsi ...........
Demikian Berita Acara Serah Terima Pengelolaan dan Pemanfaatan Bibit Kebun Bibit Rakyat
(KBR) ini dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan sebenarnya untuk
dipergunakan sebagaimana mestinya.
PIHAK KESATU
Nama
NIP.

PIHAK KEDUA
Nama

Format 15 Contoh Berita Acara Evaluasi Hasil Penanaman

BERITA ACARA EVALUASI HASIL PENANAMAN BIBIT KBR


Pada hari ini, tanggal . bulan tahun , Tim Pengawas Kelompok ..
telah melakukan evaluasi hasil penanaman bibit KBR Kelompok Dusun/Blok
Desa . Kecamatan . Kabupaten .. Provinsi, dengan hasil pekerjaan
sebagai berikut :
No.
I.

Kegiatan
Penghijauan
Lingkungan

Lokasi Tanam
(Desa / Blok)
..

Jumlah Bibit
(Batang
-

..
..
II.

Hutan Rakyat

Luasan (Ha)

..
..
..

Demikian Berita Acara ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.


, 20
Pendamping

Tim Pengawas :
1...(Ketua)

(Nama ....................)

2...(Anggota)
3. Dst

Mengetahui,
Ketua Kelompok ...............

(Nama ..................)

Format 16. Contoh Laporan Kemajuan dan Realisasi KBR oleh Kelompok Masyarakat
LAPORAN KEMAJUAN PELAKSANAAN KBR
Bulan : ............... Tahun : .......
Kelompok Masyarakat
:
Lokasi
:
Dusun/Blok
:
Desa/Kelurahan
:
Kecamatan
:
Kabupaten/Kota
:
Provinsi
:
Koordinat Geografis
:
No.
Uraian Kegiatan
Target/
Realisasi s.d
Keterangan
Rencana
bulan ini
1.
Penyediaan sarana dan
prasarana persemaian :
a. Papan Nama
..
bh
b. Bedeng tabur
..
bedeng
c. Bedeng sapih
..
bedeng
d. dst
2.
Penyediaan benih/bibit

..
3.
Pembuatan bibit, jenis :
.

.. btg
.

.. btg
dst
4.
Pemeliharaan bibit :
a. Penyiraman
b. Pemupukan
c. Penyulaman
d. Pembersihan rumput/
alang-alang/gulma
e. Penanggulangan hama
dan penyakit
Dst.
(tempat, tgl/bln/th)
Penanggung Jawab
Ketua Kelompok
ttd
(Nama)

Pelaksana
Ketua Tim Pelaksana
ttd
(Nama)
Mengetahui
Pendamping
ttd
(Nama)

Format 17. Contoh Laporan Kemajuan dan Realisasi KBR oleh PPK
LAPORAN KEMAJUAN DAN REALISASI KBR
Bulan: ...........
Kabupaten
Provinsi
BPDAS
No.

:
:
:

Nama
Kelompok
Masyarakat

Lokasi

Koordinat
Geografis

Target Kegiatan

Fisik
(%)

Keuangan
(Rp)

Total Realisasi s.d


Bulan.
Fisik
(%)

Keterangan

Keuangan
(Rp)

Keterangan: diisi kemajuan kegiatan


Permasalahan
: .........................................................
.........................................................
Masukan dan rekomendasi

: .........................................................
.........................................................
(tempat, tgl/bln/th)
Pejabat Pembuat Komitmen
pada Dinas Kabupaten/Kota....

(Nama )
NIP

Format 18. Contoh Laporan Kemajuan dan Realisasi KBR oleh BPDAS

LAPORAN KEMAJUAN DAN REALISASI KBR


Triwulan .......... Tahun .......
BPDAS

I. Penetapan Lokasi KBR


No

Provinsi

Kabupaten

Target KBR
per
kabupaten
(unit)

Realisasi Kecamatan Desa


triwulan
ini (unit)

Koordinat
Geografis

Nama
Kelompok
Masyarakat

Nomor
dan
Tanggal
SK

1.

1...

2
.

3.

1
.

.
.
.
dst
.
.
.
dst
.
.
.
dst
.
.
.
dst

.
.
.
dst
.
.
.
dst
.
.
.
dst
.
.
.
dst

.
.
.
dst
.
.
.
dst
.
.
.
dst
.
.
.
dst

2.

dst

















dst

dst

...
dst
.
.
.
dst

II. Realisasi KBR


NO.

Kab/Kota

Jumlah
KBR (unit)

Nama
Kelompok
Masyarakat

Realisasi s.d
Triwulan .
Keuangan
(Rp)

1.

1 ...

2 .

Permasalahan

Masukan dan rekomendasi

Jenis dan
Jumlah
Bibit

Keterangan

Fisik
(%)
a..
b..
dst
a..
b..
dst

: .........................................................
.........................................................
.........................................................
: .........................................................
.........................................................
(tempat, tgl/bln/th)
Kepala BPDAS...........
(Nama )
NIP.

Salinan sesuai dengan aslinya


KEPALA BIRO HUKUM DAN ORGANISASI,
ttd.
KRISNA RYA

MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ZULKIFLI HASAN

26. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang


Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran
Tumbuhan dan Satwa Liar.


KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN


NOMOR : 447/Kpts-II/2003
TENTANG
TATA USAHA PENGAMBILAN ATAU PENANGKAPAN DAN PEREDARAN
TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
MENTERI KEHUTANAN
Menimbang :

a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999


telah diatur mengenai Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar;
b. bahwa Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar harus
didasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan
dasar-dasar ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau
degradasi populasi (non-detriment findings) sebagaimana tertuang
dalam article III, IV, dan V dan konvensi CITES;
c. bahwa dalam rangka pelaksanaan lebih lanjut ketentuan-ketentuan
Pasal 4 ayat (3), Pasal 8 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pemerintah
sebagaimana Pasal 23, Pasal 29, Pasal 42 dan Pasal 49 Peraturan
Pemerintah sebagaimana dimaksud huruf a, maka perlu ditetapkan
Keputusan Menteri Kehutanan tentang Tata Usaha Pengambilan atau
Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.

Mengingat

1. Undang-undang Nomor 85 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi
PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Tahun
1984 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);
3. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
(Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3612);
4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839);
6. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3888);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan
Satwa Buru (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 19, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3544);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen
Kehutanan dan Perkebunan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor
94 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3767) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor
92 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 201,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3914);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3803);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3802);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
12. Keputusan Presiden RI Nomor 43 Tahun 1978 tentang Pengesahan

Convention on International Trade in Endangered Species (CITES)


of Wild Fauna and Flora (Lembaran Negara Tahun 1978 Nomor 51);
13. Keputusan Presiden RI Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan
Tugas, Fungsi Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Keja
Departemen;
14. Keputusan Presiden RI Nomor 109 Tahun 2001 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen;
15. Keputusan Presiden RI Nomor 228/M Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
16. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 123/Kpts-II/2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan;
17. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 104/Kpts-II/2003 tentang
Penunjukan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam Selaku Pelaksana Otoritas Pengelola (Management Authority)
CITES di Indonesia.

Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG TATA USAHA


PENGAMBILAN
ATAU
PENANGKAPAN
DAN
PEREDARAN
TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian

Pasal 1
Dalam Keputusan ini, kecuali dinyatakan lain, yang dimaksud dengan :
1. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
(CITES) adalah Konvensi (Perjanjian) International yang bertujuan untuk membantu
pelestarian populasi di habitat alamnya melalui pengendalian perdagangan
international spesimen tumbuhan dan satwa liar.
2. Ketentuan-ketentuan CITES adalah seluruh ketentuan yang mengikat negara pihak
dari CITES yang berupa teks konvensi, resolusi dari Konferensi Para Pihak (resolutions
of the Confence of the Parties) dan keputusan dari Konferensi Para Pihak (Decitions of
the Conference of the Parties) serta rekomendasi dari komisi tetap CITES yaitu
Standing Committee, Animals Committee dan Plants Committee, yang diantaranya
dituangkan dalam Notifikasi Sekretariat CITES.
3. Jenis tumbuhan atau satwa liar adalah jenis yang secara ilmiah disebut species atau
anak-anak jenis yang secara ilmiah disebut sub-species baik di dalam maupun di luar
habitat aslinya.
4. Appendiks I adalah daftar di dalam CITES yang memuat jenis-jenis yang telah
terancam punah (endangered) sehingga perdagangan internasional spesimen yang
berasal dari habitat alam harus dikontrol dengan ketat dan hanya diperkenankan
untuk kepentingan non-komersial tertentu dengan izin khusus.
5. Appendiks II adalah daftar di dalam CITES yang memuat jenis-jenis yang saat ini
belum terancam punah, namun dapat menjadi terancam punah apabila perdagangan
internasionalnya tidak dikendalikan.
6. Appendiks III adalah daftar di dalam CITES yang memuat jenis-jenis yang oleh suatu
negara tertentu pemanfaatannya dikendalikan dengan ketat dan memerlukan bantuan
pengendalian internasional.
7. Spesimen adalah fisik tumbuhan dan satwa liar baik dalam keadaan hidup atau mati
atau bagian-bagian atau turunan-turunan dari padanya yang secara visual maupun
dengan teknik yang ada masih dapat dikenali, serta produk yang di dalam label atau
kemasannya dinyatakan mengandung bagian-bagian tertentu spesimen, tumbuhan
dan satwa liar.
8. Inventarisasi populasi adalah kegiatan mengumpulkan data lapangan yang bertujuan
untuk mengetahui atau menduga populasi suatu jenis, di tempat tertentu dengan
metode yang secara ilmiah berlaku.

9. Monitoring populasi adalah kegiatan mengumpulkan data lapangan yang bertujuan


untuk mengetahui kecenderungan naik atau turunnya populasi akibat adanya
pengambilan atau penangkapan pada populasi suatu jenis di tempat tertentu, yang
dilakukan secara berulang dan teratur dengan metode yang secara ilmiah berlaku.
10. Pengambilan spesimen tumbuhan liar adalah kegiatan memperoleh tumbuhan liar dari
habitat alam untuk kepentingan pemanfaatan jenis tumbuhan liar.
11. Penangkapan spesimen satwa liar adalah kegiatan memperoleh satwa liar dari habitat
alam untuk kepentingan pemanfaatan jenis satwa liar di luar perburuan.
12. Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan atau pembesaran
tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
13. Kuota adalah batas maksimum ukuran dan satuan tumbuhan dan satwa liar dari alam
untuk setiap jenis yang dapat dimanfaatkan selama satu tahun takwin.
14. Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar adalah kegiatan mengedarkan spesimen
tumbuhan dan satwa liar berupa mengumpulkan, membawa, mengangkut atau
memelihara spesimen tumbuhan dan satwa liar yang ditangkap atau diambil dari
habitat alam atau yang berasal dari penangkaran, termasuk dari hasil pengembangan
populasi berbasis alam, untuk kepentingan pemanfaatan.
15. Ekspor adalah kegiatan membawa atau mengirim atau mengangkut dari wilayah
Republik Indonesia ke luar negeri spesimen tumbuhan dan satwa liar yang diambil
atau ditangkap dari habitat alam atau merupakan hasil penangkaran, termasuk hasil
pengembangan populasi berbasis alam di wilayah Republik Indonesia baik untuk
tujuan komersial maupun non-komersial.
16. Impor adalah kegiatan memasukkan ke wilayah Republik Indonesia spesimen jenisjenis tumbuhan dan satwa liar dari luar wilayah Indonesia baik untuk tujuan komersial
maupun non-komersial.
17. Re-ekspor adalah kegiatan pengiriman kembali ke luar negeri spesimen jenis
tumbuhan dan satwa liar yang sebelumnya diimpor atau diintroduksi dari laut masuk
ke wilayah Republik Indonesia baik untuk tujuan komersial maupun-non komersial.
18. Introduksi dari laut (Introduction from the sea) adalah kegiatan memasukan spesimen
jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang termasuk dalam Appendiks CITES ke wilayah
Republik Indonesia dan habitatnya di wilayah laut yang bukan merupakan yuridiksi
dari negara manapun.
19. Asosiasi pemanfaat tumbuhan dan satwa liar adalah perhimpunan negara
beranggotakan perusahaan-perusahaan dan unit-unit usaha pemegang izin usaha
peredaran atau penangkaran tumbuhan dan satwa liar yang memanfaatkan tumbuhan
dan satwa liar untuk tujuan komersial baik untuk kepentingan di dalam negeri maupun
ke luar negeri.
20. Lembaga Swadaya Masyarakat, adalah organisasi non pemerintah yang bergerak di
bidang konservasi sumber daya alam hayati.
21. Kepala Balai, adalah Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam.
22. Otoritas Keilmuan (Scientific Authority) adalah Otorita yang mempunyai kewenangan
berdasar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di dalam memberikan
pendapat ilmiah dalam rangka pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar secara

berkelanjutan, untuk selanjutnya ditunjuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia


(LIPI).
23. Otoritas Pengelola (Management Authority) adalah Otorita yang mempunyai
kewenangan berdasar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di dalam
mengatur dan mengelola pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar
secara
berkelanjutan, untuk selanjutnya ditunjuk Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Departemen Kehutanan.
24. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
25. Menteri adalah Menteri Kehutanan.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 2
(1). Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa
Liar bertujuan untuk menciptakan tertib peredaran guna menunjang kelestarian
populasi tumbuhan dan satwa liar melalui pengendalian kegiatan pengambilan,
penangkapan, pengumpulan, pemeliharaan, pengangkutan spesimen tumbuhan atau
satwa liar, dalam rangka pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran,
pertukaran, perburuan, perdagangan, peragaan, budidaya tanaman obat dan
pemeliharaan untuk kesenangan.
(2). Tata Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penerapan
sistem administrasi, penerapan ketentuan-ketentuan CITES, pembinaan terhadap
pemanfaat tumbuhan dan satwa liar serta penyediaan protokol (prosedur dan
mekanisme) bagi penegak hukum.
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 3
Ruang Lingkup Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan
Satwa Liar dalam keputusan ini mencakup pengendalian kegiatan pengambilan atau
penangkapan, dan pemanfaatan spesimen tumbuhan dan satwa liar baik yang dilindungi
maupun tidak dilindungi untuk kepentingan komersial maupun non-komersial baik di
dalam negeri maupun dari dan ke luar negeri, serta koordinasi dan peran serta
masyarakat, pengendalian dan pembinaan, penegakan hukum dan sanksi, serta
penanganan spesimen hasil sitaan.

BAB II
PENGAMBILAN ATAU PENANGKAPAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
Bagian Kesatu
Sumber Spesimen
Pasal 4
(1). Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar dapat berasal atau bersumber pada
pengambilan atau penangkapan dari :
a. Habitat alam;
b. Hasil Penangkaran berupa hasil pengembangbiakan satwa (captiva breading),
pembesaran satwa (ranching), perbanyakan tumbuhan secara buatan (artificial
propagation).
(2). Spesimen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berasal dari :
a. Jenis-jenis yang termasuk dalam Appendiks CITES, yang dilindungi maupun yang
tidak dilindungi;
b. Dalam maupun dari luar wilayah Republik Indonesia.
Pasal 5
(1). Pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan satwa liar dari habitat alam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal (4) ayat(1) huruf a hanya dapat dilakukan di
luar kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam atau taman buru.
(2). Pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan satwa liar yang bersumber dari hasil
penangkaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b hanya dapat
dilakukan dari unit usaha penangkaran sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar Hasil Pengambilan atau Penangkapan dari
Habitat Alam
Paragraf 1
Penetapan Kuota
Pasal 6
(1). Kuota pengambilan atau penangkapan spesimen tumbuhan dan satwa liar dari
habitat alam merupakan batasan jenis dan jumlah spesimen tumbuhan dan satwa
liar yang dapat diambil atau ditangkap dari habitat alam.
(2). Kuota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal
dengan memperhatikan rekomendasi dari Otoritas Keilmuan untuk setiap kurun
waktu 1 (satu) tahun takwin mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

(1).

(2).
(3).

(4).

(5).

Pasal 7
Kuota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) berisi nama jenis, ukuran
maksimum atau minimum dan satuan serta wilayah pengambilan atau penangkapan
pada tingkat provinsi atau wilayah kerja Balai.
Kuota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperuntukan bagi kepentingan
pemanfaatan di dalam negeri dan ke luar negeri (ekspor).
Kuota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan untuk spesimen tumbuhan
dan satwa liar yang termasuk maupun tidak termasuk dalam daftar Appendiks CITES
baik jenis yang dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang.
Khusus jenis-jenis dilindungi dari habitat alam penetapan kuota sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) harus terlebih dahulu dilakukan penetapan jenis satwa
dimaksud sebagai satwa buru.
Penetapan satwa buru jenis dilindungi dari habitat alam hanya dapat dilakukan
terhadap jenis-jenis dilindungi yang populasi di habitat alamnya cukup tinggi atau
melebihi daya dukung habitat, yang didasarkan pada kajian ilmiah dan rekomendasi
dari Otoritas Keilmuan bahwa penetapan sebagai satwa buru tersebut secara ilmiah
tidak akan merusak populasi di habitat alam.

Pasal 8
(1). Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) didasarkan pada data
dan informasi ilmiah hasil inventarisasi monitoring populasi.
(2). Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tersedia,
maka dapat diperoleh atas dasar :
a. Kondisi habitat dan populasi jenis yang ditetapkan;
b. Informasi ilmiah dan teknis lain tentang populasi dan habitat atau jenis yang
ditetapkan;
c. Realisasi pengambilan dan penangkapan tumbuhan dan satwa liar dari kuota
tahun-tahun sebelumnya;
d. Kearifan tradisional.

(1).

(2).

(3).

(4).

Pasal 9
Inventarisasi dan atau monitoring populasi tumbuhan dan satwa liar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat dilaksanakan oleh Otoritas Keilmuan, Balai,
Dinas lingkup Provinsi atau Kabupaten/Kota yang salah satu tugas pokoknya adalah
konservasi tumbuhan dan satwa liar, perguruan tinggi atau organisasi non
pemerintah.
Inventarisasi dan atau monitoring populasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus dilaksanakan berdasarkan metode standar yang ditetapkan atau dikembangkan
oleh Otoritas Keilmuan.
Hasil inventarisasi dan atau monitoring populasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat diserahkan langsung kepada Otoritas Keilmuan atau melalui Direktur
Jenderal atau Kepala Balai.
Dalam hal hasil inventarisasi dan atau monitoring sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diserahkan melalui Balai, maka Balai menyampaikan hasil inventarisasi monitoring

populasi dimaksud serta data dan informasi lain kepada Otoritas Keilmuan melalui
Direktur Jenderal sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam penetapan
rekomendasi kuota.
Pasal 10
Otoritas Keilmuan mempunyai kewenangan dalam mengumpulkan data dan informasi
tentang populasi jenis tumbuhan dan satwa liar baik dari hasil inventarisasi dan monitoring
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) maupun data dan informasi lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
Pasal 11
(1). Dalam hal populasi suatu jenis yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam
Appendiks CITES melimpah, maka Otoritas Keilmuan dapat memberikan rekomendasi
berupa penetapan batasan-batasan spesimen yang boleh diambil atau ditangkap dan
tidak perlu menetapkan batasan jumlahnya.
(2). Batasan-batasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diantaranya berupa ukuran
panjang, berat maksimal dan atau minimal kelas umur, jenis kelamin, wilayah
pengambilan atau penangkapan dan waktu pengambilan atau penangkapan.
Pasal 12
(1). Direktur Jenderal menelaah rekomendasi Otoritas Keilmuan dan selanjutnya
menetapkan kuota pengambilan dan penangkapan spesimen tumbuhan dan satwa
liar dari habitat alam.
(2). Atas dasar pertimbangan jenis pengelolaan, Direktur Jenderal dapat menetapkan
kuota lebih kecil dari yang direkomendasikan oleh Otoritas Keilmuan.
(3). Peninjauan kembali kuota yang telah ditetapkan dapat dilakukan pada tahun
berjalan, dengan tetap berdasar pada rekomendasi Otoritas keilmuan.
Paragraf 2
Pembagian Kuota dan Penetapan Lokasi
Pasal 13
(1). Kuota pengambilan dan penangkapan tumbuhan dan satwa liar yang telah
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) disampaikan oleh
Direktur Jenderal, Kepala Balai dan Asosiasi Pemanfaat Tumbuhan dan Satwa Liar.
(2). Berdasarkan kuota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepala Balai menetapkan
lokasi pengambilan atau penangkapan.
(3). Kuota yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan
lokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan dasar penertiban izin
pengambilan atau penangkapan spesimen tumbuhan dan satwa liar oleh Kepala
Balai.

(4). Kepala Balai dan Kepala Dinas dilarang menerbitkan izin pengambilan dan
penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tanpa didasari oleh kuota yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Pasal 14
(1). Khusus untuk keperluan ekspor, kuota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(1) dibagikan oleh Direktur Jenderal kepada pemegang izin usaha pengedar ke luar
negeri (Eksportir) yang telah terdaftar yang akan melakukan ekspor spesimen
tumbuhan dan satwa liar.
(2). Pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal
atau pejabat yang ditunjuknya dengan mempertimbangkan saran Asosiasi.
Pasal 15
(1). Dalam penetapan lokasi pengambilan atau penangkapan spesimen tumbuhan dan
satwa liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Kepala Balai
memperhatikan status kawasan, kelimpahan populasi, kondisi habitat, rencana
penggunaan lahan, dan aspek-aspek sosial budaya masyarakat setempat.
(2). Lokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sedikitnya memuat nama tempat atau
nama desa, nama kecamatan, nama kabupaten, dan atau koordinat peta atau
koordinat geografis.
(3). Penetapan lokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatas, dibuat dalam bentuk
peta lokasi pengambilan dan penangkapan dengan skala paling kecil 1:250.000 yang
selalu dimutakhirkan secara periodik minimal 2 (dua) tahun sekali.
Pasal 16
(1). Dalam izin pengambilan atau penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (3) untuk menjamin kelestarian populasi, Kepala Balai perlu melakukan rotasi
lokasi pengambilan atau penangkapan di dalam wilayah pengambilan atau
penangkapan.
(2). Jangka waktu rotasi ditentukan berdasarkan kondisi populasi, habitat dan sifat-sifat
biologis serta perilaku jenis yang ditetapkan.
Pasal 17
(1). Pengambilan atau penangkapan tumbuhan atau satwa liar, yang jenisnya tidak
ditetapkan dalam kuota, untuk tujuan pengkajian, penelitian, dan pengembangan
dapat diizinkan hanya jika berdasarkan rekomendasi dari Otoritas Keilmuan bahwa
pengambilan atau penangkapan dimaksud tidak merusak populasi di habitat alam.
(2). Izin pengambilan atau penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat diberikan oleh Direktur Jenderal, kecuali untuk jenis tumbuhan dan satwa liar
yang dilindungi oleh Menteri.

Bagian Ketiga
Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar Hasil Penangkaran

(1).

(2).

(3).

(4).

Pasal 18
Penangkaran tumbuhan merupakan kegiatan memperbanyak tumbuhan secara
buatan (artificial propagation) di dalam kondisi yang terkontrol dari material
tumbuhan yang berbentuk biji, spora, pencaran rumpun, stek, dan kultur jaringan.
Penangkaran satwa merupakan kegiatan :
a. mengembangbiakkan satwa melalui perkawinan atau melalui pertukaran gamat
induk-induk di dalam lingkungan yang terkontrol, yang secara umum dikenal
dengan istilah captive breeding;
b. menetaskan telur satwa liar yang diambil dari alam dan membesarkan anakan
hasil tetasannya di dalam lingkungan yang terkontrol, atau membesarkan anakan
yang diambil atau ditangkap dari habitat alam dan membesarkannya didalam
lingkungan yang terkontrol, yang secara umum dikenal dengan istilah pembesaran
atau ranching.
Spesimen tumbuhan dan satwa liar hasil penangkaran sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) merupakan salah satu sumber stok spesimen tumbuhan dan
satwa liar untuk kepentingan komersial dan dapat diperdagangkan baik di dalam
negeri maupun ke luar negeri setelah memenuhi persyaratan.
Ketentuan lebih lanjut tentang penangkaran diatur dalam Keputusan Menteri
tersendiri.

Pasal 19
(1). Dalam rangka menjamin keefektifan pengendalian pemanfaatan spesimen tumbuhan
dan satwa liar hasil penangkaran maka ditetapkan batasan jumlah hasil
penangkaran.
(2). Batasan jumlah hasil penangkaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan batas maksimal jenis dan jumlah spesimen tumbuhan dan satwa liar
yang dapat diambil dari hasil setiap usaha penangkaran, termasuk hasil
pengembangan populasi berbasis alam.
Pasal 20
(1). Batasan jumlah hasil penangkaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
berisi nama jenis, ukuran, dan satuan.
(2). Jenis dan satuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperuntukan bagi
kepentingan peredaran di dalam negeri dan ke luar negeri (ekspor).
(3). Batasan jumlah hasil penangkaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
ditetapkan untuk spesimen tumbuhan dan satwa liar yang termasuk maupun tidak
termasuk dalam daftar Appendiks CITES baik jenis yang dilindungi maupun tidak
dilindungi Undang-undang.

Pasal 21
(1). Terhadap jenis-jenis dilindungi di habitat alam dan generasi pertama hasil
penangkaran, harus terlebih dahulu dilakukan penetapan jenis satwa dimaksud
sebagai satwa buru.
(2). Penetapan satwa buru jenis dilindungi generasi pertama hasil pengembangbiakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap jenis-jenis
dilindungi yang kemampuan reproduksinya tinggi namun yang usia masuk masak
kelaminnya panjang, yang didasarkan pada kajian ilmiah dan rekomendasi dari
Otoritas Keilmuan.
Pasal 22
(1). Batasan jumlah hasil penangkaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
ditetapkan bagi setiap unit usaha penangkaran.
(2). Batasan jumlah hasil penangkaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
berdasarkan data kemampuan unit usaha penangkaran dalam mengembangkan dan
menghasilkan populasi untuk dapat diambil atau ditangkap.
(3). Data kemampuan unit usaha penangkaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan dari pencatatan, penandaan dan laporan periodik oleh unit usaha serta
pemeriksaan silang oleh Kepala Balai atau tim penilai independen yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal.
Pasal 23
(1). Batasan jumlah hasil penangkaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ditetapkan
oleh Direktur Jenderal untuk kurun waktu 1 (satu) tahun takwim.
(2). Batasan jumlah hasil penangkaran yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud
ayat (1) disampaikan kepada Kepala Balai, unit usaha penangkar, dan atau unit
usaha pengembang populasi berbasis alam.
(3). Batasan jumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di atas merupakan salah satu
dasar pemberian izin ekspor kepada unit usaha.
BAB III
PEMANFAATAN SPESIMEN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
BAGIAN KESATU
Umum
Pasal 24
(1). Pemanfaatan spesimen tumbuhan dan satwa liar dapat dibedakan menjadi :
a. Pemanfaatan non komersial untuk tujuan pengkajian, penelitian, dan
pengembangan, peragaan non komersial, pertukaran, perburuan dan
pemeliharaan untuk kesenangan;
b. Pemanfaatan komersial untuk tujuan penangkaran, perdagangan, peragaan
komersial dan budidaya tanaman obat.

(2). Pemanfaatan non-komersial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


dilakukan oleh :
a. Perorangan;
b. Koperasi;
c. Lembaga konservasi;
d. Lembaga penelitian;
e. Perguruan tinggi; atau
f. Lembaga Swadaya Masyarakat (Organisasi Non Pemerintah)
dalam bidang konservasi sumber daya alam hayati.
(3). Pemanfaatan komersial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
dilakukan oleh Pengedar Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri
Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri yang berbentuk :
a. Perusahaan perorangan;
b. Koperasi;
c. Badan Usaha Milik Negara;
d. Badan Usaha Milik Daerah; atau
e. Badan Usaha Milik Swasta.

huruf a, dapat

yang bergerak
b, hanya dapat
atau Pengedar

Pasal 25
(1). Dalam rangka pemanfaatan spesimen tumbuhan dan satwa liar dilakukan
pengambilan atau penangkapan dan peredaran spesimen tumbuhan dan satwa liar.
(2). Pengambilan atau penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari :
a. Pengambilan atau penangkapan non komersial;
b. Pengambilan atau penangkapan komersial.
(3). Peredaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari :
a. Peredaran di dalam negeri non-komersial;
b. Peredaran di dalam negeri komersial;
c. Peredaran luar negeri non-komersial; dan
d. Peredaran luar negeri komersial.
Pasal 26
(1). Pengambilan atau penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)
wajib diliput dengan izin.
(2). Peredaran komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) huruf b dan
huruf d, hanya dapat diizinkan bagi Pengedar Dalam Negeri yang terdaftar dan
diakui.
(3). Khusus bagi pengambilan atau penangkapan komersial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (2) huruf b, izin diberikan kepada Pengedar Dalam Negeri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) atau kepada pengumpul tumbuhan dan satwa
liar.

Bagian Kedua
Izin Pengambilan atau Penangkapan
Paragraf 1
Umum

(1).

(2).

(3).

(4).

Pasal 27
Pengambilan atau penangkapan spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar harus
sesuai dengan izin pengambilan atau penangkapan, yang meliputi lokasi
pengambilan atau penangkapan, serta dilakukan oleh perorangan atau kelompok
yang dianggap mampu secara teknis atau terampil dalam melakukan pengambilan
atau penangkapan.
Pengambilan atau penangkapan spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kelestarian
dan tidak menyebabkan kematian atau luka pada spesimen tumbuhan atau satwa liar
yang ditangkap.
Cara mengambil atau menangkap spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga tidak menyebabkan terganggunya atau
rusaknya populasi, habitat dan lingkungan.
Khusus untuk satwa, penangkapan yang dilakukan wajib memperhatikan
kesejahteraan satwa (animal walfare) yaitu tidak menyakiti, melukai, mematikan
atau perlakuan lain yang menyebabkan tertekan (stress) pada individu yang
ditangkap maupun kelompok atau populasi yang ditinggalkan di habitat alamnya.

Pasal 28
Khusus untuk satwa yang ditangkap hidup, hasil tangkapan ditampung di tempat yang
sesuai untuk menghindari resiko melukai fisik, mengganggu kesehatan dan tingkah laku
satwa dan untuk mengurangi resiko tekanan psikologis (stress) dan kematian.
Paragraf 2
Izin Pengambilan atau Penangkapan Non-Komersial Spesimen Tumbuhan dan
Satwa Liar dari Habitat Alam
Pasal 29
(1). Izin pengambilan atau penangkapan non-komersial dapat diberikan kepada :
a. Perorangan;
b. Lembaga konservasi;
c. Lembaga penelitian;
d. Perguruan Tinggi;
e. Lembaga Swadaya Masyarakat (Organisasi Non-Pemerintah).
(2). Izin pengambilan atau penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk :

a. Jenis yang tidak dilindungi dan jenis yang dilindungi yang ditetapkan sebagai
satwa buru yang termasuk dalam Appendiks II, III dan Non-Appendiks CITES
diberikan oleh Kepala Balai;
b. Jenis yang dilindungi lainnya dan atau jenis yang termasuk dalam Appendiks I
CITES, diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari Otoritas
keilmuan bahwa pengambilan atau penangkapan tersebut tidak akan merusak
populasi di habitat alam.
Pasal 30
(1). Tata cara dan prosedur perizinan pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan
satwa liar untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi dan yang dilindungi yang ditetapkan
sebagai satwa buru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a, yang
terdapat di dalam kuota pengambilan atau penangkapan adalah sebagai berikut :
a. Permohonan diajukan oleh pemohon kepada Kepala Balai yang memuat
diantaranya informasi mengenai jenis, jumlah, jenis kelamin, umur atau ukuran,
dan wilayah pengambilan, serta deskripsi rinci mengenai tujuan pengambilan
atau penangkapan;
b. Kepala Balai menelaah permohonan dan memeriksa silang dengan ketersediaan
specimen dalam kuota dan lokasi pengambilan atau penangkapan yang telah
ditetapkan;
c. Berdasarkan penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, Kepala Balai
dapat menyetujui atau menolak menerbitkan izin dalam waktu selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima;
d. Khusus untuk tujuan pengkajian, penelitian dan pengembangan, dalam hal kuota
bagi jenis yang dimohonkan telah habis, maka Kepala Balai wajib berkonsultasi
dengan Direktur Jenderal;
e. Atas dasar konsultasi Kepala Balai sebagaimana dimaksud dalam huruf e,
Direktur Jenderal meminta rekomendasi dari Otoritas Keilmuan bahwa
pengambilan atau penangkapan tidak akan merusak populasi di habitat alam;
f. Berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam huruf e, Direktur
Jenderal memerintahkan Kepala Balai untuk menyetujui atau menolak
menerbitkan izin.
(2). Tata cara dan prosedur perizinan pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan
satwa liar untuk jenis-jenis yang dilindungi dan atau jenis yang termasuk dalam
Appendiks I, CITES sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a yang
tidak terdapat di dalam kuota pengambilan atau penangkapan adalah sebagai
berikut:
a. Pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan satwa liar untuk jenis-jenis yang
dilindungi dan atau jenis yang termasuk dalam Appendiks I CITES atau jenis
yang tidak dilindungi yang tidak terdapat di dalam kuota hanya dapat dilakukan
untuk pemanfaatan dengan tujuan pengkajian, penelitian dan pengembangan
dan pengembangbiakan;

b. Permohonan diajukan oleh pemohon kepada Menteri yang memuat diantaranya


informasi mengenai jenis, jumlah, jenis kelamin, umur atau ukuran, dan wilayah
pengambilan, serta dilengkapi dengan rencana kerja atau proposal dengan
tembusan kepada Direktur Jenderal dan Otoritas Keilmuan;
c. Dalam hal permohonan tidak dilengkapi dengan rekomendasi dari Otoritas
Keilmuan maka Direktur Jenderal meminta rekomendasi dari Otoritas Keilmuan
bahwa pengambilan atau penangkapan yang dimohonkan tidak akan merusak
populasi di habitat alam;
d. Berdasarkan penilaian terhadap permohonan dan kelengkapan sebagaimana
dimaksud dalam huruf b dan huruf c, Menteri dapat menyetujui atau menolak
menerbitkan izin berdasarkan saran dari Direktur Jenderal dan rekomendasi dari
Otoritas Keilmuan bahwa pengambilan atau penangkapan yang dimohonkan
tidak akan merusak populasi di habitat alam;
Paragraf 3
Izin Pengambilan atau Penangkapan Komersial Spesimen Tumbuhan dan Satwa
Liar dari Habitat Alam
Pasal 31
(1). Izin pengambilan atau penangkapan komersial dapat diberikan kepada :
a. Perorangan;
b. Koperasi;
c. Badan Usaha Milik Negara;
d. Badan Usaha Milik Daerah;
e. Badan Usaha Milik Swasta.
(2). Izin pengambilan atau penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat diterbitkan untuk jenis yang tidak dilindungi dan jenis yang dilindungi yang
ditetapkan sebagai satwa buru yang termasuk dalam Appendiks II, III atau NonAppendiks CITES.
(3). Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan oleh Kepala Balai.
Pasal 32
(1). Tata cara dan prosedur perizinan pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan
satwa liar untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi dan yang dilindungi yang ditetapkan
sebagai satwa buru adalah sebagai berikut :
a. Permohonan diajukan oleh pemohon kepada Kepala Balai yang memuat
diantaranya informasi mengenai jenis, jumlah, jenis kelamin, umur atau ukuran
dan wilayah pengambilan serta deskripsi rinci mengenai tujuan pengambilan atau
penangkapan;
b. Kepala Balai menelaah permohonan dan memeriksa silang dengan ketersediaan
spesimen dalam kuota dan lokasi pengambilan atau penangkapan yang telah
ditetapkan;

c.

Berdasarkan penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, Kepala Balai


dapat menyetujui atau menolak menerbitkan izin dalam waktu selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima;
d. Izin sebagaimana dimaksud dalam huruf c berlaku maksimum selama 1 (satu)
tahun;
e. Izin sebagaimana dimaksud dalam huruf c, hanya dapat diterbitkan bagi jenisjenis tumbuhan dan satwa liar yang terdapat di dalam kuota pengambilan atau
penangkapan.

(1).
(2).

(3).
(4).

(5).

Pasal 33
Kepala Balai wajib melaksanakan pemeriksaan sediaan (stok) spesimen tumbuhan
dan satwa liar untuk tujuan komersial.
Dasar pemeriksaan sediaan (stok) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah izin
mengambil tumbuhan alam atau izin menangkap satwa liar atau permohonan surat
angkut tumbuhan dan satwa liar di dalam negeri, atau permohonan surat angkut
tumbuhan dan satwa liar ke luar negeri (ekspor).
Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam Berita
Acara Pemeriksaan Sediaan (Stok).
Berita Acara Pemeriksaan Sediaan (Stok) wajib memuat keterangan :
a. Jenis;
b. Jumlah (Volume);
c. Bentuk spesimen;
d. Keterangan dokumen asal usul;
e. Keterangan lainnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Berita Acara Pemeriksaan diatur oleh Direktur
Jenderal.
Bagian Ketiga
Izin Pemanfaatan Non-Komersial
Paragraf 1
Izin Pemanfaatan Non-Komersial Dalam Negeri

Pasal 34
(1). Izin pemanfaatan non-komersial untuk tujuan pengkajian, penelitian dan
pengembangan bagi :
a. Jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi diterbitkan oleh Kepala
Balai;
b. Jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi diterbitkan oleh Menteri.
(2). Tata cara dan prosedur perizinan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah sebagai berikut :
a. Permohonan diajukan oleh pemohon kepada Kepala Balai, untuk jenis yang tidak
dilindungi, dan kepada Menteri dengan tembusan kepada Direktur Jenderal,

untuk jenis yang dilindungi dan dilampiri dengan proposal pengkajian, penelitian
dan pengembangan;
b. Kepala Balai atau Direktur Jenderal menelaah permohonan dan proposal
pengkajian, penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam butir a;
c. Berdasarkan penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, untuk jenis yang
tidak dilindungi Kepala Balai dapat menyetujui atau menolak menerbitkan izin
dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah
permohonan diterima;
d. Untuk jenis yang dilindungi, Direktur Jenderal membuat telaahan mengenai
dampak konservasi dari kegiatan tersebut, dan merekomendasikannya kepada
Menteri.
Pasal 35
(1). Izin pemanfaatan non-komersial untuk tujuan pertukaran bagi :
a. Jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi diterbitkan oleh Kepala
Balai;
b. Jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi oleh Menteri.
(2). Tata cara dan prosedur perizinan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah sebagai berikut :
a. Permohonan diajukan oleh pemohon kepada Kepala Balai, untuk jenis yang tidak
dilindungi, dan kepada Menteri dengan tembusan kepada Direktur Jenderal,
untuk jenis yang dilindungi dan dilampiri dengan proposal pertukaran;
b. Kepala Balai atau Direktur Jenderal menelaah permohonan dan proposal
pertukaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. Berdasarkan penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, untuk jenis yang
tidak dilindungi, Kepala Balai dapat menyetujui atau menolak menerbitkan izin
dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah
permohonan diterima;
d. Untuk jenis yang dilindungi, Menteri dapat menerima atau menolak memberikan
izin berdasarkan saran dari Direktur.
Pasal 36
(1). Izin pemanfaatan non-komersial untuk tujuan pemeliharaan untuk kesenangan
hanya dapat diterbitkan bagi jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang tidak
dilindungi.
(2). Izin sebagaimana dimaksud alam ayat (1) diterbitkan oleh Kepala Balai.
(3). Tata cara dan prosedur perizinan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah sebagai berikut :
a. Permohonan dilakukan oleh pemohon kepada Kepala Balai;
b. Kepala Balai menelaah permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. Berdasarkan penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, Kepala Balai
dapat menyetujui atau menolak menerbitkan izin dalam waktu selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima.

(1).

(2).
(3).

(3).

Pasal 37
Izin pemanfaatan non-komersial untuk tujuan peragaan non-komersial dapat
dilakukan bagi jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi maupun tidak
dilindungi.
Bagi jenis yang dilindungi izin hanya dapat diberikan kepada Lembaga Konservasi
atau Lembaga nirlaba yang disetujui oleh Menteri.
Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan oleh :
a. Menteri untuk jenis yang dilindungi;
b. Kepala Balai untuk jenis yang tidak dilindungi.
Tata cara dan prosedur perizinan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah sebagai berikut :
a. Permohonan diajukan oleh pemohon kepada Menteri, dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal, untuk jenis yang dilindungi atau Kepala Balai untuk jenis yang
tidak dilindungi dengan dilampiri proposal atau rencana kerja peragaan;
b. Direktur Jenderal atau Kepala Balai menelaah permohonan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a;
c. Berdasarkan penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, untuk jenis yang
tidak dilindungi, Kepala Balai dapat menyetujui atau menolak menerbitkan izin
dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah permohonan
diterima;
d. Untuk jenis yang dilindungi, Menteri dapat menerima atau menolak memberikan
izin berdasarkan saran dari Direktur Jenderal.
Paragraf 2
Izin Pemanfaatan Non-Komersial Luar Negeri

Pasal 38
(1). Izin pemanfaatan non-komersial luar negeri terdiri dari izin mengedarkan spesimen
tumbuhan atau satwa liar berupa :
a. Ekspor;
b. Impor;
c. Re-ekspor; dan
d. Introduksi dari laut.
(2). Izin pemanfaatan non-komersial luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberikan untuk tujuan :
a. Pengkajian, penelitian, dan pengembangan, termasuk koleksi museum dan
herbarium yang melibatkan jenis baik dilindungi maupun tidak dilindungi dan
atau Appendiks I CITES;
b. Tukar menukar spesimen tumbuhan atau satwa liar dari jenis baik dilindungi
maupun tidak dilindungi dan atau Appendiksi I CITES;
c. Pemeliharaan untuk kesenangan, termasuk barang bawaan
pribadi dan
cenderamata (personal atau household effects dan souvenirs) jenis-jenis tidak
dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendiksi I CITES.

(3). Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, dan b, diterbitkan oleh Menteri
sedangkan ayat (1) huruf c diterbitkan oleh Direktur Jenderal atau pejabat yang
ditunjuknya.
(4). Tata cara dan prosedur perizinan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) adalah sebagai berikut :
a. Permohonan diajukan kepada Menteri dengan tembusan kepada Direktur
Jenderal dan Otoritas Keilmuan untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf a dan huruf b, dan diajukan kepada Direktur Jenderal untuk ayat (2)
huruf c;
b. Menteri dapat menerima atau menolak berdasarkan rekomendasi Otoritas
Keilmuan dan saran Direktur Jenderal untuk jenis yang dilindungi, atau Direktur
Jenderal dapat menyetujui atau menolak menerbitkan izin dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah permohonan diterima.
Pasal 39
(1). Izin pemanfaatan ke luar negeri (ekspor) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (1) huruf a, untuk spesimen oleh jenis-jenis dilindungi yang termasuk dalam
Appendiksi CITES hanya dapat diberikan untuk keperluan pengkajian penelitian dan
pengembangan dan/atau tukar menukar antar lembaga ilmiah atau lembaga yang
melakukan pengembangbiakan untuk kepentingan konservasi jenis reintroduksi ke
habitat alamnya.
(2). Kekecualian dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan hanya untuk
hasil penangkaran yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dan peraturan pelaksanaannya.
(3). Syarat-syarat untuk mendapatkan izin pemanfaatan ke luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. Spesimen yang diedarkan ke luar negeri (ekspor) tidak merupakan hasil
tangkapan langsung dari alam (wild caughf) atau tidak merupakan spesimen
generasi pertama satwa hasil pengembangbiakan;
b. Kekecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dapat
dilakukan hanya bagi spesimen hidup untuk tujuan konservasi jenis tersebut
melalui skema peminjaman (loan) atau sampel (contoh) biologis yang diambil
tanpa membunuh satwa, seperti tissue (jaringan dari bagian tubuh), darah,
sampel DNA, bisa (venome), urine atau faeces;
c. Merupakan generasi kedua atau generasi berikutnya hasil pengembangbiakan
satwa atau hasil perbanyakan tumbuhan secara buatan di dalam lingkungan
yang terkontrol;
d. Khusus untuk jenis Appendiksi I CITES negara tujuan telah mengeluarkan izin
impor CITES;
e. Telah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Keilmuan bahwa ekspor tersebut
tidak menimbulkan kerusakan pada populasi di habitat alamnya;

f.

Mendapatkan izin dari Menteri, kecuali untuk sampel biologis yang diambil tanpa
membunuh satwa, seperti tissue (jaringan dari bagian tubuh), darah, sampel
DNA, bisa (venome), urine atau faeces , dengan izin Direktur Jenderal;
g. Khusus untuk satwa, tempat pemeliharaan di tempat tujuan dan cara
pengangkutannya tidak menimbulkan gangguan baik kesehatan maupun tingkah
laku, terhadap satwa;
h. Kekecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan hanya untuk hasil penangkaran yang telah memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam ketentuan CITES, diantaranya merupakan generasi
kedua dan generasi berikutnya dari unit usaha penangkaran yang telah terdaftar
sebagai penangkar komersial jenis Appendiks I di Sekretariat CITES.

Pasal 40
(1). Ekspor spesimen yang berbentuk sampel biologis (biological samples) dari jenis-jenis
yang termasuk dalam Appendiks I, Appendiks II maupun Appendiks III dapat
dilakukan :
a. Bagi keperluan yang mendesak yaitu :
I. Untuk kepentingan kehidupan individu satwa yang bersangkutan;
II. Untuk kepentingan konservasi jenis yang bersangkutan atau jenis lain yang
termasuk dalam Appendiks;
III. Untuk kepentingan judisial atau penegakan hukum.
IV. Untuk kepentingan pengendalian penyakit yang ditularkan di antara jenisjenis yang termasuk dalam Appendiks CITES;
V. Untuk kepentingan diagnostik atau identifikasi.
b. Bagi keperluan pengkajian penelitan dan pengembangan.
(2). Ekspor spesimen berbentuk sampel biologis dapat diizinkan hanya jika ekspor
tersebut tidak mempunyai dampak negatif atau dampak bagi konservasi jenis yang
bersangkutan dan bagi kepentingan ilmu pengetahuan dapat diabaikan baik di dalam
negeri maupun di luar negeri.
(3). Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan oleh Direktur Jenderal.
(4). Ekspor spesimen sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hanya dapat diizinkan
setelah mendapat rekomendasi dan saran dari Otoritas Keilmuan mengenai
diantaranya dampak negatif atau dampak konservasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), kecuali bagi keperluan mendesak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a.
Pasal 41
(1). Bagi ekspor specimen yang berasal dari pemeliharaan untuk kesenangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf c, baik hidup maupun mati,
maupun bagian atau turunan-turunannya, yang dapat berupa barang bawaan
pribadi atau cenderamata harus dibawa langsung oleh pemiliknya atau yang
menguasainya
bersama-sama
didalam
kendaraan
yang
membawanya
(accompenied) baik ke maupun dari luar negeri.

(2). Spesimen dari jenis-jenis yang dilindungi yang termasuk dalam Appendiks I CITES
dilarang untuk dibawa baik ekspor, re-ekspor, maupun impor sebagai barang bawaan
pribadi maupun cinderamata.
(3). Larangan sebagaimana dimaksud alam ayat (2) termasuk juga penjualan di tempattempat keberangkatan internasional seperti di bandar udara, pelabuhan laut dan
perlintasan perbatasan yang umumnya terletak di areal bebas bea di belakang
kontrol pabean.
(4). Kekecualian larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan
bagi spesimen jenis Appendiks I yang merupakan trofi berburu, yang telah
sebelumnya ditetapkan dalam kuota buru yang diadopsi dalam konferensi Para Pihak
CITES atau hasil penangkaran dan unit usaha yang telah terdaftar di Sekretariat
CITES.
(5). Jumlah maksimum spesimen barang bawaan pribadi dan cinderamata untuk setiap
orang yang dapat diizinkan adalah sebagai berikut :
a. Tumbuhan hidup selain anggrek sebanyak 2 batang;
b. Satwa hidup sebanyak 2 ekor;
c. Kulit satwa atau produk dari kulit satwa liar sebanyak 5 lembar kulit atau 10
buah (pasang) produk kulit, seperti dompet, ikat pinggang, sepatu, tas tangan,
dan sarung tangan;
d. Gaharu sebanyak 2 Kg;
e. Pakis sebanyak 10 Kg;
f. Produk berupa minyak, obat-obatan, dan lain-lain produk, sesuai dengan
kebutuhan pribadi;
g. Anggrek sebanyak 10 batang.
Pasal 42
(1). Spesimen dari jenis-jenis yang tidak dilindungi dan termasuk dalam Appendiks II dan
Appendiks III CITES dapat dibawa baik untuk ekspor, re-ekspor maupun impor
sebagai barang bawaan, maupun cinderamata setelah mendapatkan izin (CITES

permit).
(2). Barang bawaan atau cinderamata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terbatas
hanya untuk barang bawaan yang diperoleh di luar negara dimana biasanya
pemiliknya tinggal dan tidak berlaku bagi spesimen hidup atau spesimen yang dikirim
tidak bersama-sama dengan pemilik atau yang menguasai di dalam satu kendaraan
(un-accompanied baggages).
(3). Izin dan prosedur ekspor bagi spesimen barang bawaan dan cinderamata
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disederhanakan (simplifikasi) dengan
tetap mengikuti ketentuan-ketentuam CITES.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai penyederhanaan dan bentuk-bentuk izin bagi
barang bawaan pribadi diatur oleh Direktur Jenderal.

Bagian Keempat
Izin Pemanfaatan Komersial
Paragraf 1
Izin Pemanfaatan Komersial Dalam Negeri

(1).

(2).

(3).

(4).

(5).

(6).

Pasal 43
Izin Pemanfaatan Komersial Dalam Negeri terdiri dari izin mengedarkan spesimen
tumbuhan atau satwa liar baik jenis yang dilindungi yang telah ditetapkan sebagai
satwa buru maupun tidak dilindungi di dalam negeri.
Izin pemanfaatan komersial dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberikan untuk tujuan :
a. Perdagangan;
b. Penangkaran;
c. Peragaan komersial; dan
d. Budidaya tanaman obat komersial.
Izin pemanfaatan komersial dalam negeri untuk tujuan perdagangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf a disebut juga izin Pengedar Dalam Negeri dan
diterbitkan oleh Kepala Balai.
Izin pemanfaatan komersial dalam negeri untuk tujuan penangkaran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf b disebut juga izin penangkaran dan diterbitkan oleh
Kepala Balai untuk jenis yang dilindungi dan jenis yang tidak dilindungi.
Izin Pemanfaatan Komersial Dalam Negeri untuk tujuan peragaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf c, disebut juga Izin Peragaan Komersial Dalam
Negeri, yang diberikan khusus bagi jenis-jenis yang dilindungi, dan diterbitkan oleh :
a. Menteri untuk spesimen dari habitat alam atau hasil penangkaran satwa generasi
pertama (F1) atas saran Direktur Jenderal; atau
b. Kepala Balai untuk spesimen hasil penangkaran satwa generasi kedua dan
generasi berikutnya serta hasil perbanyakan tumbuhan.
Izin Pemanfaatan Komersial Dalam Negeri untuk tujuan budidaya tanaman obat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, disebut juga Izin Budidaya Tanaman
Obat Komersial yang diberikan khusus bagi jenis-jenis yang dilindungi, dan
diterbitkan oleh :
a. Menteri untuk spesimen dari habitat alam atas saran Direktur Jenderal; atau
b. Kepala Balai untuk spesimen hasil perbanyakan tumbuhan.

Pasal 44
(1). Tata cara dan prosedur memperoleh izin pengedar atau Perdagangan Dalam Negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf a adalah sebagai berikut :
a. Permohonan disampaikan kepada Kepala Balai dengan tembusan kepada Kepala
Seksi Wilayah;
b. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilengkapi dengan :
1) Akte Pendirian Perusahaan;

(2).

(3).

(4).

(5).
(6).

2) Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang ditujukan khusus untuk spesimen
jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar;
3) Surat Izin Tempat Usaha (SITU) atau Surat Keterangan berdasarkan
Undang-undang Gangguan (UUG), bahwa usaha tersebut tidak menimbulkan
gangguan bagi lingkungan manusia;
4) Proposal untuk permohonan baru, atau Rencana Kerja Tahunan untuk
permohonan perpanjangan;
5) Memuat nama jenis (ilmiah dan lokal), jumlah, ukuran, dan wilayah;
6) BAP Persiapan Teknis; dan
7) Rekomendasi Kepala Seksi Wilayah.
c. Berdasarkan kelengkapan permohonan dan pertimbangan teknis, Kepala Balai
dapat menolak atau menyetujui permohonan tersebut dalam waktu selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan dan kelengkapannya
diterima;
d. Kepala Balai dalam memberikan izin wajib memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 11, Pasal 22 dan Pasal 27;
e. Bagi spesimen yang merupakan pengambilan atau penangkapan dari habitat
alam tidak dapat dilakukan oleh Warga Negara Asing atau modal asing atau
modal dalam negeri yang sebagian modalnya merupakan modal asing.
Proposal atau Rencana Kerja Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b angka 4) memuat antara lain : data perusahaan, organisasi, asal usul spesimen
yang akan diusahakan, teknis pelaksanaan penampungan, teknis pengangkutan,
sarana dan prasarana yang dimiliki, dan program pembinaan konservasi jenis yang
diusahakan.
Pertimbangan teknis untuk menolak atau menyetujui permohonan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c mengacu kepada kriteria yang meliputi :
a. Kelayakan usaha (administrasi dan teknis);
b. Kelayakan produksi tumbuhan dan satwa liar (seperti kemampuan produksi
pengambilan langsung dari alam, atau hasil penangkaran termasuk
pengembangan populasi berbasis alam);
c. Kekayaan bio-ekologis (berdasarkan kemampuan populasi untuk dipanen,
habitat, dan penyebaran, apalagi produksinya berasal dari pengambilan langsung
dari alam); dan
d. Pemahaman oleh pemilik atau eksekutif perusahaan mengenai konservasi jenis
yang diusahakan yang diantaranya tercermin dari proposal yang diajukan.
Proposal atau Rencana Kerja Tahunan dan pertimbangan teknis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) merupakan pertimbangan utama dalam
menyetujui atau menolak permohonan.
Izin usaha pengedar tumbuhan dan satwa liar dalam negeri berlaku selama 5 (lima)
tahun dan dapat diperpanjang.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penilaian proposal, rencana kerja tahunan
dan pertimbangan teknis diatur oleh Keputusan Direktur Jenderal.

Pasal 45
(1). Permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5)
diajukan kepada Kepala Balai paling lambat 2 (dua) bulan sebelum masa berlaku izin
berakhir dengan menyampaikan laporan realisasi pengambilan atau penangkapan,
dalam hal mendapat izin pengambilan atau penangkapan, serta realisasi peredaran
dalam negeri dengan rencana kerja berikutnya tumbuhan dan satwa liar.
(2). Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan jika
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Tidak pernah melakukan pelanggaran;
b. Bagi pengedar spesimen hidup;
1) Tingkat kematian spesimen rendah;
2) Fasilitas penanganan dan pengumpulan tumbuhan dan satwa liar memadai;
dan
3) Mempunyai penangkap atau pengumpul yang terlatih.
c. Membuat laporan dengan benar dan tepat waktu;
d. Melakukan usaha dengan metoda yang konservatif dan efisiensi penggunaan
sumber daya tumbuhan dan satwa liar.
(3). Kepala Balai dapat menolak perpanjangan izin apabila dianggap tidak memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 46
(1). Pemegang Izin Pengedar Dalam Negeri yang mendapatkan izin penangkapan atau
pengambilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 wajib memiliki pengambilan
atau penangkapan serta memberitahukan tentang jenis, lokasi, jumlah, ukuran dan
ketentuan lain sebagaimana tercantum dalam izin pengambilan atau penangkapan
yang diterbitkan oleh Balai.
(2). Pemegang Izin Pengedar Dalam Negeri wajib memiliki tempat dan fasilitas
penampungan tumbuhan dan satwa liar yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal.
(3). Pemegang izin melalui kerjasama dengan Balai, Asosiasi dan atau Organisasi nonPemerintah bidang lingkungan hidup wajib memberikan pembinaan, pelatihan dan
pendidikan keterampilan yang menyangkut pengambilan atau penangkapan serta
isu-isu konservasi jenis dan lingkungan kepada para pengambil atau penangkap.
Pasal 47
(1). Tata cara dan prosedur memperoleh izin penangkaran sebagaimana dimaksud dalam
pasal 43 ayat (2) huruf b adalah sebagai berikut :
a. Permohonan disampaikan kepada Kepala Balai dengan tembusan kepada Kepala
Seksi Wilayah;
b. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilengkapi dengan :
1) Akte Pendirian Perusahaan;
2) Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang ditujukan khusus untuk spesimen
jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar;

(2).

(3).

(4).

(5).
(6).

3) Surat Izin Tempat Usaha (SITU) atau Surat Keterangan berdasarkan


Undang-undang Gangguan (UUG), bahwa usaha tersebut tidak menimbulkan
gangguan bagi lingkungan manusia;
4) Proposal untuk permohonan baru, atau Rencana Kerja Tahunan untuk
permohonan perpanjangan;
5) Memuat nama jenis (ilmiah dan lokal), jumlah, ukuran, dan wilayah;
6) BAP Persiapan Teknis; dan
7) Rekomendasi Kepala Seksi Wilayah.
c. Berdasarkan kelengkapan permohonan dan pertimbangan teknis, Kepala Balai
dapat menolak atau menyetujui permohonan tersebut dalam waktu selambatlambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan dan kelengkapannya
diterima;
Proposal atau Rencana Kerja Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b angka 4) memuat antara lain : data perusahaan, organisasi, asal usul
pengangkutan, sarana dan prasarana yang dimiliki, dan program pembinaan
konservasi jenis yang diusahakan.
Pertimbangan teknis untuk menolak atau menyetujui permohonan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c mengacu kepada kriteria yang meliputi :
a. Kelayakan usaha (administrasi dan teknis);
b. Kelayakan produksi penangkaran seperti diantaranya :
1) Kemampuan produksi, dilihat dari jumlah induk dan kemampuan induk
menghasilkan anakan;
2) Asal usul induk (apakah induk telah ada atau harus ditangkap terlebih dahulu
dari alam, atau dari hasil penangkaran unit usaha yang telah ada);
3) Teknik penangkaran bagi jenis yang akan ditangkarkan, apakah telah ada
atau masih mencoba-coba;
4) Tingkat kelangkaan jenis yang akan ditangkarkan;
5) Nilai komersial dari jenis yang akan ditangkarkan.
c. Pemahaman oleh pemilik atau eksekutif perusahaan mengenai konservasi jenis
yang diusahakan yang diantaranya tercermin dari proposal yang diajukan.
Proposal atau Rencana Kerja Tahunan dan pertimbangan teknis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) merupakan pertimbangan utama dalam
menyetujui atau menolak permohonan.
Izin penangkaran selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penilaian proposal, rencana kerja tahunan
dan pertimbangan teknis diatur oleh Keputusan Direktur Jenderal.

Pasal 48
(1). Tata cara dan prosedur memperoleh izin Peragaan Komersial Dalam Negeri
sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat (2) huruf c adalah sebagai berikut:
a. Permohonan disampaikan kepada :
1) Menteri dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, untuk jenis dilindungi;
atau

2) Kepala Balai dengan tembusan kepada Kepala Seksi Wilayah, untuk jenis
tidak dilindungi.
b. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilengkapi dengan :
1) Akte Pendirian Perusahaan;
2) Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang ditujukan khusus untuk spesimen
jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar;
3) Surat Izin Tempat Usaha (SITU) atau Surat Keterangan berdasarkan
Undang-undang Gangguan (UUG), bahwa usaha tersebut tidak menimbulkan
gangguan bagi lingkungan manusia;
4) Proposal untuk permohonan baru, atau Rencana Kerja Tahunan untuk
permohonan perpanjangan;
5) Memuat nama jenis (ilmiah dan lokal), jumlah, ukuran, dan wilayah;
6) BAP Persiapan Teknis; dan
7) Rekomendasi Kepala Seksi Wilayah.
c. Berdasarkan kelengkapan permohonan, Menteri dapat menerima atau menolak
memberikan izin atas dasar saran Direktur Jenderal untuk jenis yang dilindungi,
serta Kepala Balai dapat menerima atau menolak memberikan izin dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan dan
kelengkapannya diterima.
(2). Proposal atau Rencana Kerja Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b angka 4) memuat antara lain : data perusahaan organisasi, asal usul spesimen
yang akan diusahakan, teknis pelaksanaan penampungan, teknis pengangkutan,
sarana dan prasarana yang dimiliki, dan program pembinaan konservasi jenis yang
diusahakan.
(3). Pertimbangan teknis untuk menolak atau menyetujui permohonan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c mengacu kepada kriteria yang meliputi :
a. Kelayakan usaha (administrasi dan teknis);
b. Kelayakan produksi tumbuhan dan satwa liar (seperti kemampuan produksi,
pengambilan langsung dari alam, atau hasil penangkaran termasuk
pengembangan populasi berbasis alam;
c. Kelayakan bio-ekologis (berdasarkan kemampuan populasi untuk dipanen, habitat,
dan penyebaran, apalagi produksinya berasal dari pengambilan langsung dari
alam); dan
d. Pemahaman oleh pemilik atau eksekutif perusahaan mengenai konservasi jenis
yang diusahakan yang diantaranya tercermin dari proposal yang diajukan.
(4). Proposal atau Rencana Kerja Tahunan dan pertimbangan teknis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) merupakan pertimbangan utama dalam
menyetujui atau menolak permohonan.
(5). Izin peragaan komersial berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang.
(6). Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penilaian proposal, rencana kerja tahunan
dan pertimbangan teknis diatur oleh Keputusan Direktur Jenderal.

(1).

(2).

(3).

(4).

Pasal 49
Tata cara dan prosedur memperoleh Izin Budidaya Tanaman Obat Komersial
sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat (2) huruf d adalah sebagai berikut:
a. Permohonan disampaikan kepada :
1) Menteri dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, untuk jenis dilindungi;
atau
2) Kepala Balai dengan tembusan kepada Kepala Seksi Wilayah, untuk jenis
tidak dilindungi.
b. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilengkapi dengan :
1) Akte Pendirian Perusahaan;
2) Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang ditujukan khusus untuk spesimen
jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar;
3) Surat Izin Tempat Usaha (SITU) atau Surat Keterangan berdasarkan
Undang-undang Gangguan (UUG), bahwa usaha tersebut tidak menimbulkan
gangguan bagi lingkungan manusia;
4) Proposal untuk permohonan baru, atau Rencana Kerja Tahunan untuk
permohonan perpanjangan;
5) Memuat nama jenis (ilmiah dan lokal), jumlah, ukuran, dan wilayah;
6) BAP Persiapan Teknis; dan
7) Rekomendasi Kepala Seksi Wilayah.
c. Berdasarkan kelengkapan permohonan, Menteri dapat menerima atau menolak
memberikan izin atas dasar saran Direktur Jenderal, serta Kepala Balai dapat
menerima atau menolak memberikan izin dalam waktu selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari kerja setelah permohonan dan kelengkapannya diterima.
Proposal atau Rencana Kerja Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b angka 4) memuat antara lain : data perusahaan, organisasi, asal usul spesimen
yang akan diusahakan, teknis pelaksanaan penampungan, teknis pengangkutan,
sarana dan prasarana yang dimiliki, dan program pembinaan konservasi jenis yang
diusahakan.
Pertimbangan teknis untuk menolak atau menyetujui permohonan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c mengacu kepada kriteria yang meliputi :
a. Kelayakan usaha (administrasi dan teknis);
b. Kelayakan produksi tumbuhan dan satwa liar (seperti kemampuan produksi,
pengambilan langsung dari alam, atau hasil penangkaran termasuk
pengembangan populasi berbasis alam;
c. Kelayakan bio-ekologis (berdasarkan kemampuan populasi untuk dipanen,
habitat, dan penyebaran, apalagi produksinya berasal dari pengambilan langsung
dari alam); dan
d. Pemahaman oleh pemilik atau eksekutif perusahaan mengenai konservasi jenis
yang diusahakan yang diantaranya tercermin dari proposal yang diajukan.
Proposal atau Rencana Kerja Tahunan dan pertimbangan teknis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) merupakan pertimbangan utama dalam
menyetujui atau menolak permohonan.

(5). Izin Budidaya Tanaman Obat Komersial berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang.
(6). Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penilaian proposal, rencana kerja tahunan
dan pertimbangan teknis diatur oleh Keputusan Direktur Jenderal.
Paragraf 2
Izin Pemanfaatan Komersial Luar Negeri
Pasal 50
(1). Izin Pemanfaatan Komersial Luar Negeri terdiri dari izin peredaran spesimen
tumbuhan atau satwa liar baik jenis yang dilindungi yang telah ditetapkan sebagai
satwa buru maupun yang tidak dilindungi dan atau jenis-jenis yang termasuk
maupun tidak termasuk dalam Appendiks CITES, ke atau dari Luar Negeri untuk
tujuan :
a. Perdagangan; dan
b. Peragaan Komersial.
(2). Izin pemanfaatan komersial luar negeri untuk tujuan perdagangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a disebut juga izin Pengedar Luar Negeri yang
diterbitkan oleh Direktur Jenderal.
(3). Izin pemanfaatan komersial luar negeri untuk tujuan peragaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b disebut juga izin peragaan Komersial Luar Negeri
yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal.
Pasal 51
(1). Tata cara dan prosedur memperoleh izin Peragaan Luar Negeri sebagaimana
dimaksud dalam pasal 50 ayat (2) adalah sebagai berikut:
a. Permohonan disampaikan kepada : Direktur Jenderal, dengan tembusan
disampaikan kepada Kepala Balai;
b. Permohonan dilengkapi dengan :
1) Akte Notaris Pendirian Badan Usaha;
2) Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP);
3) Surat Izin Tempat Usaha (SITU) atau Surat Keterangan berdasarkan
Undang-undang Gangguan (UUG);
4) Proposal untuk permohonan baru, atau Rencana Kerja Tahunan untuk
permohonan perpanjangan;
5) BAP Persiapan Teknis; dan
6) Rekomendasi Kepala Balai.
c. Berdasarkan kelengkapan permohonan dan pertimbangan teknis lainnya,
Direktur Jenderal dapat menolak atau menyetujui permohonan tersebut dalam
waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan dan
kelengkapannya diterima.
(2). Proposal atau Rencana Kerja Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b angka 4) memuat antara lain : data perusahaan, organisasi, asal-usul spesimen

(3).

(4).

(5).
(6).
(7).

yang akan diusahakan, teknis pelaksanaan penampungan, teknis pengangkutan,


sarana dan prasarana yang dimiliki, dan program pembinaan konservasi jenis yang
diusahakan.
Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c mengacu kepada
kriteria yang meliputi :
a. Kelayakan usaha (administrasi dan teknis);
b. Kelayakan produksi tumbuhan dan satwa liar (seperti kemampuan produksi,
pengambilan langsung dari alam, atau hasil penangkaran termasuk
pengembangan populasi berbasis alam;
c. Kelayakan bio-ekologis (berdasarkan kemampuan populasi untuk dipanen,
habitat, dan penyebaran, apabila produksinya berasal dari pengambilan langsung
dari alam); dan
d. Pemahaman oleh pemilik atau eksekutif perusahaan mengenai konservasi jenis
yang diusahakan yang diantaranya tercermin dari proposal yang diajukan dan
atau wawancara langsung.
Proposal atau Rencana Kerja Tahunan dan pertimbangan teknis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) merupakan pertimbangan utama dalam
menyetujui atau menolak permohonan.
Izin Pengedar Luar Negeri berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
Pengedar Luar Negeri wajib memiliki tempat dan fasilitas penampungan tumbuhan
dan satwa liar yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penilaian proposal, Rencana Kerja Tahunan
dan pertimbangan teknis diatur oleh Keputusan Direktur Jenderal.

Pasal 52
(1). Permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (5)
diajukan kepada Direktur Jenderal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa
berlaku izin berakhir dengan menyampaikan laporan realisasi Peredaran Luar Negeri
dengan rencana kerja berikutnya tumbuhan dan satwa liar.
(2). Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan jika
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Tidak pernah melakukan pelanggaran;
b. Bagi Eksportir spesimen hidup;
1) Tingkat kematian spesimen rendah;
2) Fasilitas penanganan dan pengumpulan tumbuhan dan satwa liar memadai;
dan
3) Mempunyai tenaga penanganan spesimen yang terlatih.
c. Membuat laporan dengan benar dan tepat waktu;
d. Melakukan usaha dengan metoda yang konservatif dan efisien penggunaan
sumber daya tumbuhan dan satwa liar;
e. Aktif melaksanakan ekspor secara nyata dalam satu tahun.
(3). Direktur Jenderal
dapat menolak perpanjangan izin apabila dianggap tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 53
(1). Izin Pengedar Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) tidak
dapat diberikan kepada Warga Negara Asing atau Penanam Modal Asing atau
Penanam Modal Dalam Negeri yang sebagian modalnya merupakan modal asing.
(2). Kekecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan
untuk perdagangan spesimen hasil penangkaran satwa dengan pengembangbiakan
(captive breading), hasil perbanyakan tumbuhan (artificial propagation) atau
spesimen dari jenis tumbuhan dan satwa liar yang bukan asli Indonesia.
Pasal 54
(1). Izin Pengedar Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) hanya
dapat diberikan bagi :
a. Spesimen dari jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi Undangundang yang diambil atau ditangkap dari habitat alam dan terdaftar dalam kuota
serta dari hasil penangkaran termasuk hasil pengembangan populasi berbasis alam;
b. Spesimen dari jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar dilindungi dari penangkaran dan
spesimen jenis-jenis dilindungi yang ditetapkan sebagai satwa buru.
Pasal 55
(1). Tata cara dan prosedur memperoleh izin Peragaan Komersial Luar Negeri
sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) adalah sebagai berikut:
a. Permohonan disampaikan kepada Menteri untuk jenis yang dilindungi dan
Direktur Jenderal untuk jenis yang tidak dilindungi, dengan dilengkapi proposal
atau Rencana Kerja Peragaan;
b. Khusus untuk jenis yang dilindungi, permohonan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, hanya dapat dilakukan oleh Lembaga Konservasi;
c. Berdasarkan kelengkapan Permohonan dan pertimbangan teknis lainnya, Menteri
dapat menerima atau menolak memberikan izin atas saran Direktur Jenderal
serta Direktur Jenderal dapat menerima atau menolak memberikan izin dalam
waktu selambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan dan
kelengkapannya diterima.
(2). Izin Peragaan Komersial berlaku selama 1(satu) tahun dan dapat diperpanjang.
Bagian Kelima
Peredaran Non-Komersial
Paragraf 1
Peredaran Non-Komersial Dalam Negeri
Pasal 56
(1). Peredaran non-komersial dalam negeri spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar
merupakan kegiatan mengedarkan tumbuhan dan satwa liar di dalam negeri dengan
tujuan untuk tidak memperoleh keuntungan ekonomis baik dalam bentuk uang
maupun barang.

(2). Yang termasuk peredaran non-komersial dalam negeri adalah :


a. Mengedarkan spesimen dengan tujuan pengkajian, penelitian dan
pengembangan dengan memanfaatkan tumbuhan dan satwa liar sebagai obyek
penelitian, termasuk material koleksi herbarium atau museum;
b. Mengedarkan spesimen dengan tujuan pemeliharaan untuk kesenangan,
termasuk membawa spesimen barang bawaan pribadi (household effects), jarah
buru (hunting trophy) dan cinderamata (souvenirs);
c. Mengedarkan spesimen dengan tujuan tukar menukar antar Lembaga
Konservasi;
d. Mengedarkan spesimen dengan tujuan pengembangbiakan.
(3). Peredaran non-komersial dalam negeri dapat dilakukan bagi spesimen dari jenis-jenis
yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi, kecuali untuk tujuan pemeliharaan
untuk kesenangan, hanya jenis yang tidak dilindungi atau dilindungi hasil
penangkarannya.
Pasal 57
Peredaran non-komersial luar negeri wajib disertai Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa
Liar Dalam Negeri (SATS-DN).
Paragraf 1
Peredaran Non-Komersial Luar Negeri
Pasal 58
(1). Peredaran non-komersial luar negeri spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar
merupakan kegiatan mengedarkan tumbuhan dan satwa liar ke atau dari luar negeri
dengan tujuan untuk tidak memperoleh keuntungan ekonomis baik dalam bentuk
uang maupun barang.
(2). Yang termasuk peredaran non-komersial luar negeri adalah :
a. Mengedarkan spesimen dengan tujuan pengkajian, penelitian dan
pengembangan dengan memanfaatkan tumbuhan dan satwa liar sebagai obyek
penelitian, termasuk material koleksi herbarium atau museum;
b. Mengedarkan spesimen dengan tujuan pemeliharaan untuk kesenangan,
termasuk membawa spesimen barang bawaan pribadi (household effects), jarah
buru (hunting trophy) dan cinderamata (souvenirs);
c. Mengedarkan spesimen dengan tujuan tukar menukar antar Lembaga
Konservasi;
(3). Peredaran non-komersial luar negeri dapat dilakukan bagi spesimen dari jenis-jenis
yang dilindungi, yang tidak dilindungi, dan yang termasuk dalam Appendiks CITES
kecuali untuk tujuan pemeliharaan untuk kesenangan dalam bentuk barang bawaan
pribadi dan cinderamata hanya untuk jenis yang tidak dilindungi, dilindungi hasil
penangkaran, dan jenis Appendiks II dan III CITES.
(4). Peredaran non-komersial luar negeri dapat dilakukan melalui kegiatan ekspor, impor,
re-ekspor atau non-komersial introduksi dari laut.

Pasal 59
(1). Ekspor, impor, re-ekpor atau introduksi dari laut, tumbuhan dan satwa liar untuk
tujuan non komersial wajib disertai SATS-LN.
(2). Petugas Balai atau Bea Cukai atau Karantina memeriksa dan memverifikasi
kesesuaian antara spesimen dan data dalam SATS-LN, atau dalam hal impor dengan
dengan izin CITES negara pengekspor.
Bagian Keenam
Peredaran Komersial
Paragraf 1
Peredaran Komersial Dalam Negeri
Pasal 60
(3). Peredaran komersial dalam negeri spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar
merupakan usaha yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomis, baik
dalam bentuk uang (cash) maupun barang (kind) dan dimaksudkan bagi kepentingan
di jual kembali, tukar menukar, penyediaan jasa atau bentuk lain dalam pemanfaatan
atau keuntungan ekonomis di dalam negeri.
(4). Peredaran komersial dalam negeri sebagaimana ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh
Pengedar Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
Pasal 61
Seluruh kegiatan peredaran komersial dalam negeri wajib disertai Surat Angkut Tumbuhan
dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN).
Paragraf 2
Peredaran Komersial Luar Negeri
Pasal 62
Peredaran Komersial Luar Negeri Specimen Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar merupakan
usaha perdagangan dan peragaan termasuk pertunjukan satwa keliling (traveling liveanimal exhibition) melalui kegiatan ekspor, impor, re-ekspor, dan introduksi dari laut
(introduction from the sea), yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomis baik
dalam bentuk uang (cash) maupun barang (kind) dan dimaksudkan bagi kepentingan
dijual kembali, tukar menukar, penyediaan jasa atau bentuk lain dalam pemanfaatan atau
keuntungan ekonomis ke atau luar negeri.
Pasal 63
(1). Peredaran komersial luar negeri baik ekspor, impor, re-ekspor, maupun introduksi
dari laut wajib disertai dengan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri
(SATS-LN).

(2). Petugas Balai atau Bea Cukai atau Karantina memeriksa dan memverifikasi
kesesuaian antara spesimen dan data dalam SATS-LN, atau dalam hal impor dengan
dengan izin CITES negara pengekspor.
Pasal 64
Ekspor, impor, re-ekspor atau introduksi dari laut untuk tujuan komersial bagi spesimen
jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi dan atau yang termasuk dalam
Appendiks I CITES yang berasal dari habitat alam dilarang.

(1).

(2).

(3).

(4).

Pasal 65
Impor untuk tujuan komersial spesimen jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang
termasuk dalam daftar Appendiks I hasil pengembangan satwa (captive breeding),
atau perbanyakan tumbuhan secara buatan (artificial propagation), jenis-jenis
Appendiks II, Appendiks III atau Non-Appendiks CITES wajib terlebih dahulu
dilengkapi dengan SATS-LN Impor (CITES impor permit).
Impor spesimen jenis yang termasuk dalam daftar Appendiks I, Appendiks II, dan
Appendiks III CITES wajib dilengkapi dengan izin ekspor atau re-ekpor CITES (CITES
export/re-export permits), atau untuk Appendiks III wajib dilengkapi dengan
sertifikat asal usul CITES (CITES certificate of origin), yang diterbitkan oleh Otoritas
Pengelola CITES negara pengekspor.
Pelaksanaan impor spesimen dari jenis-jenis yang termasuk dalam Appendiks CITES
dari negara yang bukan merupakan negara penyebaran asal jenis tersebut wajib
disertai dengan Sertifikat re-ekspor dari otoritas CITES negara bersangkutan.
Sertifikat re-ekspor sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib membuat nama
negara asal (country of origin) dan referensi dokumen ekspor dari negara asal
tempat spesimen pertama kali diambil atau ditangkap.

Pasal 66
Khusus peredaran luar negeri berupa ekspor, impor, atau re-ekspor spesimen yang
berbentuk bunga potong (cut flowers) dari hasil perbanyakan tumbuhan secara buatan
yang induk-induknya diketahui berasal dari sumber yang legal, dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
Bagian ketujuh
Dokumen Peredaran Spesimen Tumbuhan dan Satwa
Paragraf 1
Umum
Pasal 67
(1). Dokumen Peredaran Spesimen tumbuhan dan satwa liar terdiri dari :
a. Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN);
b. Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN).

(2). Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN) sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b, berupa :
a. Izin atau sertifikat CITES;
b. Izin atau sertifikat Non-CITES.
Paragraf 2
Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN)
Pasal 68
(1). Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN) sedikitnya memuat
tentang :
a. Nama dan alamat lengkap pengirim dan penerima spesimen yang akan diangkut;
b. Nama jenis yang akan diangkut dengan nama ilmiah dan nama lokal;
c. Bentuk spesimen;
d. Jumlah (volume);
e. Pelabuhan pemberangkatan dan pelabuhan tujuan;
f. Peruntukan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar;
g. Keterangan dokumen asal-usul tumbuhan dan satwa liar;
h. Periode masa berlakunya SATS-DN;
i. Keterangan Lainnya.
(2). SATS -DN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk jangka waktu
maksimum 2 (dua) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3). Khusus untuk pengangkutan satwa hidup disyaratkan :
(1). Pengangkutan harus dilakukan dengan mengurangi resiko kematian, luka dan
tertekan (stress);
(2). Kandang angkut harus memperhatikan aspek kesejahteraan (animal welfare) dan
keamanan satwa beserta lingkungannya;
(3). Bila melalui udara, penanganan pengangkutan harus mengikuti aturan IATA
(International Air Transport Association) mengenai transpor satwa hidup dan
aturan-aturan lain yang relevan.
(4). Disamping SATS-DN, pengangkutan harus dilengkapi dengan sertifikat-sertifikat lain
yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, dari instansi yang
berwenang.
(5). Bentuk dan format SATS-DN diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
Pasal 69
(1). SATS-DN diterbitkan oleh Kepala Balai atau oleh Kepala Seksi Wilayah yang ditunjuk
oleh Kepala Balai.
(2). Penerbitan SATS-DN dapat dilakukan setelah dapat ditunjukan atau dibuktikan
adanya :
a. Izin Pengedar Dalam Negeri tumbuhan dan satwa liar;
b. Izin terkait dengan lagalitas asal usul spesimen; dan
c. Laporan mutasi stok tumbuhan dan satwa liar.

(3). Keterangan asal-usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa izin mengambil
atau menangkap atau SATS-DN dari wilayah lain.
(4). Jumlah dan jenis spesimen dalam SATS-DN yang diterbitkan pada tahun berjalan
maksimal sama dengan kuota pengambilan atau penangkapan pada tahun yang
bersangkutan di wilayah tersebut.
(5). SATS-DN hanya dapat dipakai atau hanya berlaku untuk 1 (satu) kali pengiriman dan
harus dimatikan oleh Kepala Balai atau Kepala Seksi Wilayah terdekat setelah
pengiriman sampai di tujuan.
(6). Dalam hal untuk kepentingan perorangan yang memperoleh spesimen dari pengedar
atau unit usaha terdaftar, legalitas asal-usul spesimen sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dilengapi dengan faktur pembelian yang disahkan oleh serendah-rendahnya
Kepala Seksi Wilayah.
Paragraf 3
Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar
Ke dan Dari Luar Negeri (SATS-LN)
Pasal 70
(1). Direktur Jenderal sesuai dengan kewenangannya sebagai Otoritas Pengelola CITES
untuk Indonesia menerbitkan SATS-LN untuk meliput peredaran internasional
spesimen dari jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar baik yang termasuk maupun yang
tidak termasuk dalam Appendiks CITES, baik untuk keperluan komersial maupun
non-komersial yang diterbitkan setelah dapat ditunjukan atau dibuktikan adanya :
a. izin Pengedar Luar Negeri tumbuhan dan satwa liar, bagi peredaran dengan
tujuan kemersial; dan/atau
b. izin terkait dengan legalitas asal-usul spesimen seperti izin pengambilan atau
penangkapan tumbuhan dan satwa liar, dan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa
Liar Dalam Negeri (SATS-DN).
(2). SATS-LN sebagaimana dimaksud dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. SATS-LN ekspor atau bagi jenis-jenis yang termasuk dalam Appendiks CITES
dikenal sebagai CITES-EXPORT PERMIT;
b. SATS-LN Impor bagi jenis-jenis yang termasuk dalam Appendiks CITES dikenal
sebagai CITES-IMPORT PERMIT;
c. SATS-LN re-ekspor atau bagi jenis-jenis yang termasuk dalam Appendiks CITES
dikenal sebagai CITES RE-EXPORT PERMIT;
d. SATS-LN sertifikat asal-usul bagi jenis CITES Appendiks III atau yang didalam
mekanisme CITES dikenal sebagai CITES-CERTIFICATE OF ORIGIN;
e. SATS-LN sertifikat introduksi dari laut bagi jenis-jenis yang termasuk dalam
Appendiks CITES atau yang di dalam mekanisme CITES dikenal sebagai CITES-

CERTIFICATE OF INTRODUCTION FROM THE SEA;


f.

SATS-LN sertifikat pra-konvensi bagi spesimen


yang didapatkan sebelum
ketentuan CITES berlaku bagi jenis yang bersangkutan atau yang di dalam
mekanisme CITES dikenal sebagai CITES-CERTIFICATE OF FREE CONVENTION.

(3). SATS-LN sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibuat standar dan mengikuti
pedoman yang ditentukan di dalam resolusi CITES dan dicetak dalam dua bahasa,
bahasa Indonesia dan Inggris, sedangkan SATS-LN untuk meliputi jenis-jenis
tumbuhan dan satwa liar Non-Appendiks CITES diatur oleh Direktur Jenderal.
Pasal 71
(1). SATS-LN Ekspor untuk tujuan komersial maupun non-komersial dapat diberikan
untuk menyertai ekspor spesimen jenis-jenis tidak dilindungi baik yang termasuk
dalam Appendiks II dan III CITES maupun yang Non-Appendiks CITES yang
memenuhi ketentuan :
a. Merupakan hasil pengambilan atau penangkapan langsung dari alam (wild
caught) yang jenisnya terdapat dalam daftar kuota atau mendapat persetujuan
dari Otoritas Keilmuan bahwa ekspor tersebut tidak menimbulkan kerusakan
pada populasi di habitat alamnya;
b. Merupakan hasil penangkaran, termasuk pengembangan populasi berbasis alam;
c. Didapatkan dengan cara yang legal, yang ditunjukan dengan adanya SATS-DN,
atau izin tangkap atau keterangan hasil penangkaran atau dokumen lain yang
dapat menunjukan legalitas asal-usul spesimen.
(2). SATS-LN Ekspor tidak dapat diterbitkan untuk tujuan komersial bagi spesimen jenisjenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi dan atau yang termasuk dalam
Appendiks I CITES kecuali spesimen hasil penangkaran yang telah memenuhi syarat
penangkaran.
(3). SATS-LN Ekspor untuk tujuan non-komersial jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar
yang termasuk dalam Appendiks CITES yang berasal dari habitat alam, hanya dapat
diterbitkan setelah Otoritas Pengelola CITES negara calon penerima menerbitkan
CITES Import Permit.
Pasal 72
(1). SATS-LN Impor untuk tujuan komersial maupun non-komersial diterbitkan untuk
meliput impor spesimen jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang termasuk dalam
daftar Appendiks I hasil pengembangbiakan satwa (captive breeding) atau
perbanyakan tumbuhan secara buatan (artificial propagation), Appendiks II,
Appendiks III atau Non-Appendiks CITES.
(2). SATS-LN impor untuk tujuan non-komersial jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang
termasuk dalam Appendiks I CITES wajib terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi
dari Otoritas Keilmuan.
(3). SATS-LN impor tidak dapat diterbitkan untuk tujuan komersial bagi spesimen dari
jenis yang termasuk dalam Appendiks I CITES yang berasal dari habitat alam, atau
dari hasil penangkaran dari unit usaha yang tidak terdaftar pada Sekretariat CITES
dilarang.
(4). SATS-LN Impor untuk tujuan komersial spesimen jenis-jenis satwa liar yang
termasuk dalam Appendiks I hasil pengembangbiakan satwa (captive breading)

hanya dapat diterbitkan bagi spesimen yang dihasilkan oleh unit usaha captive
breeding yang telah terdaftar pada Sekretariat CITES.
(5). SATS-LN Impor bagi spesimen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat
diberikan bagi jenis-jenis yang diketahui :
a. Jenis asing yang dapat merusak atau mengganggu lingkungan apabila lepas ke
habitat alam, seperti bersifat invasive atau buas;
b. Dapat menyebarkan penyakit berbahaya bagi manusia atau ternak atau populasi
satwa di habitat alam.

(1).

(2).

(3).

(4).

Pasal 73
SATS-LN re-ekspor untuk tujuan komersial maupun non-komersial diterbitkan untuk
menyertai ekspor spesimen jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang termasuk
dalam daftar Appendiks I, Appendiks II, Appendiks III, atau Non-Appendiks CITES,
yang sebelumnya sudah diimpor.
Penerbitan SATS-LN re-ekspor bagi spesimen jenis-jenis yang termasuk dalam
Appendiks I, Appendiks II, Appendiks III CITES baik untuk tujuan komersial maupun
non-komersial dapat dilakukan setelah memenuhi syarat legalitas impor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72.
Legalitas impor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditunjukkan dengan adanya :
a. izin impor CITES dari Direktur Jenderal sebagai Otorita Pengelola CITES di
Indonesia yang menyebutkan bahwa tujuan impornya adalah komersial;
b. izin ekspor atau-re ekspor atau sertifikat asal usul dari Negara pengekspor;
c. Airway bill atau bill of landing dari perusahaan pengangkut; dan
d. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dari Bea dan Cukai.
SATS-LN re-ekspor spesimen jenis yang termasuk dalam Appendiks I yang tidak
memenuhi hasil pengembangbiakan hanya dapat diberikan setelah memenuhi syarat:
a. Negara tujuan telah mengeluarkan izin impor CITES;
b. Telah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Keilmuan bahwa re-ekspor
tersebut tidak menimbulkan gangguan pada populasi di habitat alam.

Pasal 74
(1). SATS-LN Sertifikat Introduksi dari laut (Certificate of Introduction from the Sea)
untuk tujuan komersial maupun non-komersial diterbitkan untuk menyertai introduksi
dari laut spesimen jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang termasuk dalam daftar
Appendiks CITES.
(2). SATS-LN sertifikat introduksi dari laut diterbitkan jika :
a. bila spesimen yang akan diintroduksi hanya merupakan hasil tangkapan langsung
dari alam (wild caught) hanya terdapat dalam daftar kuota tangkap; dan
b. telah mendapat persetujuan dari Otoritas Keilmuan bahwa introduksi dari laut
tersebut tidak menimbulkan kerusakan pada populasi di habitat alamnya.
Pasal 75

SATS-LN introduksi dari laut untuk tujuan komersial hanya berlaku untuk spesimen dari
jenis yang termasuk dalam Appendiks II CITES atau dari populasi jenis yang termasuk
dalam Appendiks I yang ditransfer ke Appendiks II dalam Konferensi Para Pihak CITES.
Pasal 76
(1). SATS-LN ekspor, impor, re-ekspor, sertifikat asal-usul atau sertifikat introduksi dari
laut tidak dapat diterbitkan secara retrospektif, kecuali atas persetujuan terlebih
dahulu dan kedua belah pihak, yaitu dan Otoritas Pengelola di Negara asal dan
Otoritas Pengelola di Indonesia.
(2). Penerbitan SATS-LN secara retrospektif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di
atas merupakan penerbitan SATS-LN yang dilakukan setelah spesimen tumbuhan
atau satwa liar tiba di pelabuhan atau di Negara transit atau tujuan.

(1).
(2).

(3).
(4).

Pasal 77
Untuk memperoleh SATS-LN untuk kepentingan komersial, pemohon mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal.
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat dan
melampirkan dokumen sebagai berikut :
a. Pemohon harus terlebih dahulu mempunyai izin usaha pengedar jenis tumbuhan
dan satwa liar luar negeri;
b. Dokumen legalitas asal-usul spesimen seperti izin pengambilan atau
penangkapan tumbuhan dan satwa liar atau SATS-DN;
c. Laporan mutasi stok tumbuhan dan satwa liar;
d. Rekomendasi dari Kepala Balai dengan dilampiri Berita Acara Pemeriksaan
Tumbuhan dan Satwa Liar yang akan diedarkan.
Atas dasar permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal
menerbitkan SATS-LN untuk keperluan komersial.
SATS-LN sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan untuk jangka waktu
maksimum 6 (enam) bulan sejak tanggal SATS-LN diterbitkan, kecuali untuk izin
impor dapat berlaku maksimum 1 (satu) tahun.

Pasal 78
(1). Khusus ekspor spesimen dari perbanyakan tumbuhan secara buatan (artificial
propagation) produk-produk hortikultura tertentu dikecualikan dari persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d.
(2). Spesimen hasil perbanyakan tumbuhan secara buatan produk-produk hortikultura
tertentu sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) adalah :
a. Jenis-jenis anggrek (Orchidaceae) hibrida (silang) hasil penangkaran tumbuhan
dari genus yang termasuk dalam Appendiks II CITES;
b. Jenis-jenis tumbuhan Appendiks II CITES adalah anggrek hasil penangkaran
tumbuhan baik yang penyebaran aslinya di Indonesia maupun di luar Indonesia.;

(3). Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan bagi pengedar
tumbuhan hasil produksi penangkaran secara berkala setiap bulan dilaporkan kepada
Direktur Jenderal dan diverifikasi secara acak (random check) oleh Kepala Balai.
(4). Spesimen tumbuhan hasil perbanyakan secara buatan jenis-jenis anggrek,
(orchidaceae) berikut ini, dikecualikan dari kewajiban dilengkapi SATS-LN yaitu:
a. Anakan (seedling) atau kultur jaringan jenis-jenis anggrek baik Appendiks I,
Appendiks II, maupun Appendiks III yang diperoleh secara in vitro, yang berada
dalam media cair maupun padat di dalam kontainer atau botol steril yang
dikembangbiakan dari induk yang diperoleh secara sah;
b. Bunga potong dari jenis tumbuhan yang termasuk dalam Appendiks II CITES
hasil penangkaran;
c. Buah dan bagian-bagiannya serta turunan-turunannya yang berasal dari
tumbuhan hasil penangkaran dari tumbuhan hasil penangkaran dari genus
Vanilla.
Pasal 79
(1). Untuk memperoleh SATS-LN untuk kepentingan non-komersial, pemohon
mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal.
(2). Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat:
a. Rekomendasi dari Kepala Balai dengan dilampiri Berita Acara Pemeriksaan
Tumbuhan dan satwa liar yang akan dibawa, kecuali untuk kepentingan ilmiah
cukup dilampiri dengan rekomendasi dari Otoritas Keilmuan (LIPI);
b. Untuk kepentingan ilmiah dan tukar menukar wajib memenuhi syarat sesuai
ketentuan yang berlaku.
(3). Atas dasar permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka Direktur
Jenderal menerbitkan SATS-LN untuk keperluan non-komersial.
(4). SATS-LN sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan untuk jangka waktu
maksimal 6 (enam) bulan sejak tanggal SATS-LN diterbitkan, kecuali untuk izin impor
dapat berlaku maksimum 1 (satu) tahun.
Bagian Kedelapan
Iuran Atas Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar
Pasal 80
(1). Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar dari alam wajib dipungut Iuran Provisi
Sumber Daya Hutan (PSDH) sebagai pengganti nilai intrinsic Tumbuhan dan Satwa
Liar yang diambil dari suatu daerah.
(2). Pengenaan besarnya PSDH sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan harga
patokan yang ada.
(3). Iuran atas pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar diatur sesuai dengan peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IV
KOORDINASI DAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Koordinasi
Pasal 81
(1). Direktur Jenderal sebagai pelaksana Otorita Pengelola CITES wajib melakukan
koordinasi dalam pengembangan kebijaksanaan, pelaksanaan konvensi dan
penegasan hukum, khususnya dengan pihak Direktur Jenderal Bea dan Cukai,
Kepolisian Republik Indonesia dan karantina.
(2). Dalam rangka membantu tugas sebagai Otoritas Pengelola, Direktur Jenderal dapat
membentuk kelompok kerja lintas instansi dan atau mengembangkan Nota
Kerjasama (Memorandum Of Understanding) dengan instansi terkait dengan tujuan
untuk memperkuat fungsi masing-masing instansi dan saling membantu dalam
pengembangan kebijaksanaan, pelaksanaan konvensi dan penegakan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Bagian Kedua
Peran Perguruan Tinggi dan Lembaga Ilmiah Lain
Pasal 82
(1). Perguruan Tinggi Lembaga Penelitian dan Lembaga Ilmiah yang berkompeten
lainnya baik lokal, nasional maupun internasional dapat mengambil peran dalam
kerangka mendukung upaya pengembangan kebijaksanaan pemanfaatan tumbuhan
dan satwa liar secara lestari.
(2). Peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa pelaksanaan riset dari
studi yang membantu pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar secara lestari berdasar
kaidah-kaidah ilmiah.
(3). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Peran Organisasi Non Pemerintah Bidang Lingkungan Hidup
Pasal 83
(1). Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga Sawadaya Masyarakat Bidang Lingkungan
Hidup, Kelompok Pencinta Alam dan Pemerhati Lingkungan Hidup dapat berperan
dalam pemantauan peredaran tumbuhan dan satwa liar, penilaian dan masukan
keadaan potensi tumbuhan dan satwa liar, di alam, peningkatan kapasitas sumber
daya manusia dan mendorong serta membantu penegakan hukum.
(2). Dalam menjalankan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), organisasi non
pemerintah dapat bekerjasama dengan Otoritas Pengelola dan Otoritas Keilmuan.

Bagian Keempat
Peran Asosiasi
Pasal 84
(1). Asosiasi Pemanfaat tumbuhan dan satwa liar, merupakan organisasi nirlaba yang
dibentuk oleh para pelaku usaha peredaran tumbuhan dan satwa liar ke luar negeri
berdasarkan kesamaan jenis atau kelompok jenis tumbuhan dan satwa liar yang
diusahakan.
(2). Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk oleh dan untuk anggota
asosiasi dan untuk menjalankan fungsinya dapat memungut iuran dari anggota.
Pasal 85
(1). Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dibentuk dengan tujuan untuk
membantu para pemeran pemegang izin agar dapat melaksanakan usahanya sesuai
dengan kaidah-kaidah konservasi.
(2). Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai wadah para
pemegang izin dan mempunyai peran sebagai berikut :
a. Membantu para anggota dalam rangka meningkatkan daya saing hasil tumbuhan
dan satwa liar di pasar luar negeri.
b. Membantu Pemerintah baik Otoritas Pengelola (Management Authority) maupun
Otoritas Keilmuan (Scientific Authority) dalam pelaksanaan CITES
seperti
pelaksanaan survei pemantauan populasi atau inventarisasi sebagai bahan
pertimbangan penetapan kuota, pengalokasian kuota ekspor, pemantauan
perdagangan, pemantauan kegiatan-kegiatan illegal baik yang dilakukan oleh
anggota maupun bukan anggota, dan melaksanakan inisiatif yang membantu
konservasi jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang diperdagangkan;
c. Membina para anggota agar pelaksanaan perdagangan tumbuhan dan satwa liar
sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 86
(1). Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 merupakan mitra pemerintah dalam
melaksanakan pembinaan dan pengendalian perdagangan tumbuhan dan satwa liar.
(2). Asosiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak bertanggung jawab kepada
Pemerintah tetapi bertanggung jawab kepada para anggota.

BAB V
PENGENDALIAN DAN PEMBINAAN
Bagian Kesatu
Pengendalian Pengambilan atau Penangkapan Spesimen
Tumbuhan dan Satwa Liar
Paragraf 1
Umum
Pasal 87
(1). Pengendalian Pengambilan atau Penangkapan Spesimen tumbuhan dan satwa liar
dilakukan oleh :
a. Kepala Balai;
b. Masyarakat.
(2). Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan tujuan :
a. Pengambilan atau penangkapan spesimen tumbuhan dan satwa liar tidak
melebihi kuota yang telah ditetapkan;
b. Pengambilan atau penangkapan spesimen tumbuhan dan satwa liar sesuai
dengan wilayah dan lokasi yang ditetapkan;
c. Pengambilan atau penangkapan spesimen tumbuhan dan satwa liar dilakukan
dengan tidak merusak habitat atau populasi di alam serta untuk spesimen yang
dimanfaatkan dalam keadaan hidup tidak menimbulkan resiko luka dan kematian
yang disebabkan oleh cara pengambilan atau penangkapan yang tidak benar.

(1).

(2).

(3).

(4).

Pasal 88
Pengendalian untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) huruf a
dilakukan dengan melakukan pemantauan di lapangan atau penangkapan dan
pemeriksaan silang terhadap laporan hasil pengambilan atau penangkapan di tempat
pengumpulan.
Pengendalian untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) huruf b
dilakukan dengan pemantauan secara berkala di tempat-tempat dilakukannya
pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan satwa liar.
Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk menjamin agar
pengambilan atau penangkapan yang dilakukan sesuai dengan jenis, jumlah, ukuran
dan lokasi yang ditetapkan di dalam izin pengambilan atau penangkapan serta sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Pengendalian untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) huruf c
dilakukan dengan mengendalikan penggunaan peralatan, tata cara pengambilan atau
penangkapan dengan cara-cara pengambilan atau penangkapan dan cara-cara
penampungan atau pengumpulan.
Pasal 89

(1). Kepala Balai membuat Berita Acara Pemeriksaan apabila pengendalian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88 dilakukan dengan pemeriksaan fisik spesimen hasil
pengambilan atau penangkapan.
(2). Kepala Balai membuat sistem pencatatan dan pendataan untuk kepentingan
pemantauan pengambilan atau penangkapan.
(3). Kepala Balai melaporkan seluruh kegiatan pengawasan dan pengendalian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) kepada Direktur Jenderal.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai Berita Acara Pemeriksaan dan sistem pelaporan
diatur oleh Direktur Jenderal.
Pasal 90
Kepala Balai wajib memproses secara hukum segala pelanggaran dan kejahatan yang
terjadi sehubungan dengan pengambilan atau penangkapan tumbuhan dan satwa liar.
Paragraf 2
Penandaan
Pasal 91
(1). Dalam rangka pengendalian pemanfaatan, penandaan dilakukan pada spesimen jenis
tumbuhan dan satwa liar terutama bagi spesimen-spesimen berikut :
a. Hasil penangkapan, termasuk hasil pengembangan populasi berbasis alam;
b. Spesimen hasil tangkapan alam dari jenis-jenis tertentu yang perlu dikendalikan
secara khusus dan atau telah mendapatkan penilaian dari CITES Animals
Committee karena perdagangannya yang signifikan (review on signifificant
trade).
(2). Bentuk, ukuran dan tata cara penandaan spesimen sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) disesuaikan dengan (species) yang diberi tanda.
(3). Ketentuan lebih lanjut tentang penandaan diatur oleh Keputusan tersendiri.
Bagian Kedua
Pengendalian Peredaran Dalam Negeri
Pasal 92
(1). Kepala Balai melakukan pengawasan dan pengendalian pemilikan spesimen jenis
tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi maupun tidak dilindungi yang termasuk
dalam Appendiks I, Appendiks II, atau Appendiks III CITES.
(2). Seluruh pemilikan spesimen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diliput
dengan bukti-bukti sah yang menunjukan bahwa spesimen dimaksud berasal dari
sumber yang legal.
Pasal 93
(1). Kepala Balai melakukan pengawasan dan pengendalian pameran dan lomba di dalam
negeri yang melibatkan satwa.

(2). Pameran lomba yang melibatkan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilarang menggunakan satwa-satwa baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi
yang termasuk dalam Appendiks I, Appendiks II, atau Appendiks III CITES hasil
tangkapan dari alam.
(3). Seluruh spesimen satwa yang dipamerkan atau dilombakan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib diliput dengan bukti-bukti sah yang menunjukkan bahwa
spesimen dimaksud berasal dari sumber yang legal.
Pasal 94
(1). Kepala Balai melakukan pengawasan dan pengendalian perdagangan spesimen
satwa liar di pasar satwa dan tempat lain yang menjual hasil-hasil satwa liar, seperti
restoran, kios obat tradisional, dan toko cinderamata.
(2). Seluruh spesimen satwa yang diperjualbelikan di pasar satwa dan tempat lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diliput dengan bukti-bukti sah yang
menunjukan bahwa spesimen dimaksud berasal dari sumber yang legal.
Pasal 95
Kepala Balai wajib memproses secara hukum segala pelanggaran yang terjadi sehubungan
dengan peredaran di dalam negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Bagian Ketiga
Pengendalian dan Peredaran Ekspor Impor, Re-ekspor dan Introduksi Laut
Pasal 96
(1). Pengendalian peredaran ekspor, impor, re-ekspor dan introduksi dari laut dilakukan
melalui pemeriksaan dan pemantauan perizinan yang mengacu kepada ketentuan
CITES.
(2). Pengendalian peredaran melalui pemeriksaan perizinan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dengan penertiban dokumen SATS-LN dan pemeriksaan
silang antara dokumen dengan spesimen tumbuhan dan satwa liar.
(3). Pengendalian peredaran melalui perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan sistem pelaporan realisasi perizinan.
Pasal 97
(1). Spesimen jenis tumbuhan dan satwa yang diekspor/re-ekspor atau diimpor atau
Introduksi dari Laut wajib disertai dengan SATS-LN asli.
(2). SATS-LN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku, apabila pada kolom
inspeksi, tidak diverifikasi dan tidak ditandatangani oleh petugas yang berwenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan Pasal 63.
(3). SATS-LN asli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan kepada
Otoritas Pengelola (Management Authority) CITES negara tujuan, apabila spesimen
yang diliput setelah sampai di negara tujuan.

(1).

(2).
(3).
(4).
(5).

Pasal 98
Kepala Balai atau Petugas yang diperintahkan atau Petugas Bea dan Cukai atau
petugas Karantina wajib melakukan verifikasi dengan memeriksa kesesuaian
dokumen SATS-LN dengan fisik specimen yang akan diekspor dan mengisi kolom
inspeksi pada SATS-LN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan Pasal 63 sesuai
dengan hasil pemeriksaan.
Dalam rangka efisiensi pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan ditempat pengemasan spesimen.
Kemasan yang telah diperiksa dan tidak bertentangan dengan dokumen SATS-LN
harus disegel.
Segel sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dibuat dan ditentukan oleh Kepala Balai
dan dikomunikasikan kepada Pejabat Pemeriksa di lapangan.
Satu copy (tembusan) dan SATS-LN yang telah diisi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dikirim kembali kepada Direktur Jenderal.

Pasal 99
(1). Spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar yang memasuki wilayah Republik Indonesia
(diimpor) wajib mengalami pemeriksaan.
(2). Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan di pintu-pintu impor
(daerah pabean), termasuk di pos-pos pemeriksaan perbatasan.
(3). Pemeriksaan spesimen impor jenis tumbuhan dan satwa liar sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan oleh Petugas Bea dan Cukai atau Karantina dibantu oleh
Polisi Khusus Kehutanan.
Pasal 100
Spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar yang memasuki wilayah Republik Indonesia
(diimpor) dianggap sebagai spesimen illegal jika diketemukan memenuhi unsur-unsur
berikut :
a.
Untuk spesimen jenis Appendiks I, Appendiks II, dan Appendiks III CITES tidak
dilampiri dengan izin ekspor CITES dari Otoritas Pengelola CITES Negara asal dan
izin impor dari Otoritas Pengelola CITES Indonesia;
b.
Untuk spesimen jenis-jenis Non Appendiks untuk tujuan komersial, tidak dilampiri
dengan SATS-LN impor dari Direktur Jenderal;
c.
Untuk spesimen yang dinyatakan dalam label atau dalam kemasan mengandung
bagian-bagian atau turunan-turunan jenis yang termasuk dalam Appendiks CITES,
namun tidak diliput dengan dokumen CITES.
Pasal 101
Kepala Balai wajib memproses secara hukum segala pelanggaran yang terjadi sehubungan
dengan ekspor, impor, re-ekspor, dan introduksi dari laut, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Pelaporan
Paragraf 1
Pelaporan Peredaran Dalam Negeri

Pasal 102
(1). Setiap pemegang izin pengambilan atau penangkapan komersial untuk tujuan
perdagangan yang telah melaksanakan kegiatan pengumpulan wajib membuat
catatan dan menyampaikan laporan mengenai sediaan (stok) spesimen tumbuhan
dan satwa liar kepada Kepala Balai setiap bulan.
(2). Kepala Balai wajib memeriksa silang kebenaran laporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
(3). Kepala Balai wajib melaporkan seluruh izin yang telah diterbitkan dan hasil
pengambilan dan penangkapan di wilayahnya kepada Direktur Jenderal.
(4). Tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
Direktur Jenderal.

(1).

(2).

(3).

(4).

(5).
(6).
(7).
(8).

Pasal 103
Pemegang Izin Pengedar Dalam Negeri spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar
wajib membuat catatan mutasi stok dan menyampaikan laporan realisasi
perdagangan tumbuhan dan satwa liar.
Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa laporan transaksi serta
laporan berkala setiap tiga bulan (laporan tiga bulanan) dan setiap tahun (laporan
tahunan) kepada Kepala Balai dengan tembusan kepada Direktur Jenderal.
Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi :
a. Realisasi penggunaan SATS-DN yang wajib dilaporkan selambat-lambatnya 1
(satu) minggu setelah spesimen dikirim ke tempat tujuan.
b. Dokumen SATS-DN yang tidak terpakai yang wajib dilaporkan selambatlambatnya 1 (satu) minggu setelah masa berlaku SATS-DN berakhir.
c. Copy asli SATS-DN wajib disampaikan kepada Direktur Jenderal.
Laporan tiga bulanan dan laporan tahunan merupakan rekapitulasi dari laporan
transaksi ditambah dengan pengurangan atau penambahan akibat kematian,
kelahiran atau sebab-sebab lain.
Khusus untuk Laporan Tahunan, wajib disertai dengan Rencana Kerja Tahunan yang
berisi rencana untuk satu tahun ke depan.
Kepala Balai memeriksa silang catatan dan laporan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dengan keadaan di lapangan.
Kepala Balai wajib menyampaikan tembusan SATS-DN diterbitkan kepada Direktur
Jenderal selambat-lambatnya tiga hari kerja setelah tanggal penerbitan SATS-DN.
Setiap akhir bulan Desember, Kepala Balai menyampaikan laporan realisasi
peredaran dalam negeri tumbuhan dan satwa liar kepada Direktur Jenderal.

Paragraf 2
Pelaporan Peredaran Luar Negeri

(1).

(2).

(3).
(4).

(5).

(6).

Pasal 104
Pemegang izin peredaran luar negeri spesimen jenis tumbuhan dan satwa liar wajib
menyampaikan laporan realisasi perdagangan luar negeri tumbuhan dan satwa liar
berdasarkan SATS-LN yang diberikan.
Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa laporan transaksi serta
laporan berkala setiap tiga bulan (laporan tiga bulanan) dan setiap tahun (laporan
tahunan) kepada Direktur Jenderal.
Khusus untuk laporan tahunan, wajib disertai dengan rencana kerja tahunan yang
berisi rencana untuk satu tahun ke depan.
Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi :
a. Realisasi penggunaan SATS-LN yang wajib dilaporkan selambat-lambatnya 1
(satu) minggu setelah spesimen dikirim ke tempat tujuan.
b. Dokumen SATS-LN yang tidak terpakai setelah masa berlaku berakhir wajib
dikembalikan kepada Direktur Jenderal selambat-lambatnya 1 (satu) minggu
setelah masa berlaku SATS-LN berakhir.
c. SATS-LN ekspor asli yang menyertai spesimen ke luar negeri wajib disampaikan
kepada Management Authority CITES di Negara tujuan.
d. SATS-LN Ekspor (Export Permit) dari Negara asal yang menyertai impor ke
Indonesia jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang termasuk dalam Appendiks
CITES wajib diserahkan kepada Direktur Jenderal.
Laporan tiga bulanan dan laporan tahunan merupakan rekapitulasi dari laporan
transaksi ditambah dengan adanya pengurangan atau penambahan akibat kematian,
kelahiran atau sebab-sebab lain.
Materi Laporan kepada Direktur Jenderal selaku Management Authority dimaksud
meliputi :
a. Realisasi penggunaan SATS-LN selambat-lambatnya 1 (satu) minggu setelah
spesimen diberangkatkan dari pelabuhan peredaran ke luar negeri baik untuk
perorangan maupun untuk unit usaha;
b. Pengembalian Dokumen SATS-LN yang tidak terealisir selambat-lambatnya
1(satu) minggu setelah masa berlaku SATS-LN berakhir.

Pasal 105
(1). Direktur Jenderal wajib menyampaikan laporan tahunan (annual report) dan laporan
dua tahunan (biennual report) kepada Sekretariat CITES.
(2). Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berisi laporan mengenai
transaksi aktual ekspor, impor re-ekspor dan introduksi dari laut spesimen jenis-jenis
tumbuhan dan satwa liar yang termasuk dalam Appendiks CITES.
(3). Laporan dua tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berisi laporan mengenai
perkembangan sistem legislasi, peraturan dan pelaksanaan administrasi bagi
penegakan CITES.

(4). Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan kepada
Sekretariat CITES selambat-lambatnya akhir bulan Oktober pada tahun berikutnya,
sedangkan laporan dua tahunan dapat disampaikan secara terpisah atau bersamasama dengan laporan tahunan.
(5). Bentuk dan format laporan tahunan dan laporan dua tahunan sesuai dengan
ketentuan CITES.
Paragraf 3
Sistim Informasi dan Pangkalan Data
Pasal 106
Dalam rangka mengembangkan sistem pengendalian pemanfaatan tumbuhan dan satwa
liar yang handal Direktur Jenderal, berdasar sistem pelaporan yang dikembangkannya
wajib mengembangkan sistem informasi dari pangkalan data terkini mengenai
pengambilan atau penangkapan, peredaran dalam negeri dan peredaran luar negeri.
Bagian kelima
Pembinaan

(1).

(2).

(3).

(4).

Pasal 107
Kepala Balai wajib melakukan pembinaan kepada para pengambil atau penangkap
tumbuhan dan satwa liar, para pengumpul terdaftar dan para pemegang izin
pengedar tumbuhan dan satwa liar secara berkala setiap tiga bulan di wilayahnya.
Para pemegang izin pengedar dalam negeri berkewajiban melakukan pembinaan
kepada mitra kerjanya, yaitu para pengumpul terdaftar dan para pengumpul atau
penangkap tumbuhan dan satwa liar.
Para pengedar tumbuhan dan satwa liar ke luar negeri (eksportir) di bawah
koordinasi asosiasi secara bersama-sama dengan Balai setempat wajib melakukan
pembinaan kepada para pemegang izin pengedar dalam negeri dan pengumpul
terdaftar.
Direktur Jenderal wajib melakukan pembinaan kepada para Balai, para pengedar
tumbuhan dan satwa liar ke dan dari luar negeri, dan para asosiasi pemanfaat
tumbuhan dan satwa liar.

Pasal 108
(1). Direktur Jenderal menerbitkan pedoman-pedoman, petunjuk dan standar teknis yang
berhubungan dengan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar serta sosialisasi
ketentuan-ketentuan di atas.
(2). Penerbitan pedoman dan standar teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat bekerja sama dengan organisasi non-pemerintah, lembaga swadaya,
masyarakat di bidang lingkungan hidup, pergurunan tinggi, lembaga ilmiah baik dari
dalam negeri maupun luar negeri.

BAB VI
PENEGAKAN HUKUM DAN SANKSI
Bagian Kesatu
Penunjukan Penegak Hukum
Pasal 109
(1). Direktur Jenderal dapat membentuk Gugus Tugas yang anggotanya terdiri dari
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Unit Pelaksana Teknis Lingkup Direktorat
Jenderal.
(2). Gugus Tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertugas untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan dan menindaklanjuti proses hukum terhadap kasuskasus pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
tumbuhan dan satwa liar yang mempunyai skala nasional (lintas provinsi) dan
internasional.
Pasal 110
(1). Kepala Balai yang lingkup wilayah tugasnya meliputi pelabuhan-pelabuhan ekspor
atau impor wajib berkoordinasi dengan Petugas Bea dan Cukai, dan Petugas
Karantina Hewan, Karantina Tumbuhan maupun Karantina Ikan.
(2). Dalam pelaksanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Kepala Balai dapat
mengembangkan sistem kerjasama formal dalam bentuk Nota Kerjasama
(Memorandum Of Understanding).
Bagian Kedua
Penyitaan
Pasal 111
Spesimen tumbuhan dan satwa liar yang terkait dengan pelanggaran terhadap Pasal 63,
disita untuk Negara sesuai Pasal 64 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan pemerintah Nomor 8
Tahun 1999.
Bagian Ketiga
Sanksi
Pasal 112
(1). Barang siapa melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Keputusan ini
dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang
pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
(2). Pengenaan hukuman denda administrasi dan hukuman pembukuan atau pencabutan
izin dilakukan oleh pemberi izin serta uang hasil denda administrasi disetor ke Kas
Negara.

(3). Pembekuan atau pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan
setelah diberikan peringatan 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang masingmasing 30 (tiga puluh) hari kalender.
BAB VII
PENANGANAN SPESIMEN HASIL SITAAN ATAU RAMPASAN
Bagian Kesatu
Penanganan Spesimen Hasil Sitaan
Pasal 113
(1). Hasil sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 untuk spesimen satwa hidup,
Kepala Balai secepatnya menangani dengan tidak mengganggu proses hukum di
pengadilan, dengan pilihan sebagai berikut :
a. transfer ke dalam fasilitas pemeliharaan, seperti kebun binatang, pusat
penyelamatan satwa, atau pusat rehabilitasi satwa; atau
b. dikembalikan ke Negara asal dengan biaya dari negara asal, apabila merupakan
spesimen impor; atau
c. dikembalikan ke habitat alamnya; atau
d. dilelang, bagi jenis-jenis yang tidak dilindungi dan bukan Appendiks I CITES;
atau
e. dimusnahkan (euthanasia) apabila dipandang dapat membahayakan karena
penyakit atau sebab-sebab lain.
(2). Hasil sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 untuk spesimen tumbuhan
hidup secepatnya ditangani, dengan pilihan sebagai berikut :
a. transfer ke dalam fasilitas pemeliharaan ex-situ, seperti kebun raya atau kebun
botani, lembaga pendidikan, fasilitas non-komersial lainnya; atau
b. dikembalikan ke negara asal dengan biaya dari negara asal, apabila merupakan
spesimen impor; atau
c. dilelang, bagi jenis-jenis yang tidak dilindungi dan bukan Appendiks I CITES;
atau
d. dimusnahkan apabila dipandang dapat membahayakan karena hama dan
penyakit atau sebab-sebab lain.
(3). Hasil sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 untuk spesimen mati atau
bagian-bagian atau turunan-turunan dari tumbuhan dan satwa liar selain
dipergunakan sebagai barang bukti, dapat diperlakukan dengan pilihan sebagai
berikut :
a. dilelang, bagi jenis-jenis yang tidak dilindungi dan bukan Appendiks I CITES;
b. diserahkan kepada museum zoologi atau botani apabila spesimennya mempunyai
nilai ilmiah dan edukasi untuk disimpan di museum;
c. dimusnahkan apabila merupakan jenis dilindungi termasuk Appendiks I, dan
tidak mempunyai nilai ilmiah dan edukasi.

Pasal 114
(1). Barang bukti pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dari Keputusan ini dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang tertangkap di negara tujuan atau
di negara tempat transit merupakan milik negara dan apabila dikembalikan ke
Indonesia, dipergunakan untuk kepentingan proses penegakan hukum (penyidikan
dan barang bukti).
(2). Biaya pengembalian barang bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibebankan
kepada pengirim (eksportir) atau penerima (importir) apabila peraturan di Negara
penerima menyatakan demikian.
(3). Barang bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam bentuk mati
diberlakukan:
a. dillelang, bagi jenis-jenis yang tidak dilindungi dan bukan Appendiks I CITES;
b. diserahkan kepada museum zoologi atau botani apabila spesimen mempunyai
nilai ilmiah;
c. dimusnahkan apabila merupakan jenis diindungi termasuk Appendiks I, dan tidak
mempunyai nilai ilmiah.
Pasal 115
Uang hasil lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf d, ayat (2) huruf
c, dan ayat (3) huruf a, ditransfer ke Kas Negara.

(1).

(2).

(3).
(4).

Pasal 116
Uang hasil lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf d, ayat (2)
huruf c, dan ayat (3) huruf a, dapat diekspor dengan mengurangi kuota pengambilan
atau penangkapan tahun berikutnya;
Kepala Balai melaporkan kepada Direktur Jenderal setiap penyitaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 112 dan spesimen yang berhasil dilelang untuk diperhitungkan
dengan kuota tahun berikutnya;
Direktur Jenderal atas dasar laporan Kepala Balai menambah kuota pengambilan
atau penangkapan tahun berjalan;
Direktur Jenderal dalam menetapkan kuota tangkap tahun berikutnya wajib
mempertimbangkan jumlah spesimen yang dilelang.
Bagian Kedua
Pusat Penyelamatan Satwa (Rescue Central/PPS)

Pasal 117
(1). Dalam rangka mengurangi resiko kematian satwa hidup hasil sitaan dan atau temuan
dan atau penyerahan masyarakat dalam rangka memenuhi ketentuan CITES,
Direktur Jenderal memfasilitasi pengembangan dan pembangunan pusat-pusat
penyelamatan satwa, di beberapa daerah.

(2). Pusat-Pusat Penyelamatan Satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
tempat transit dan pemeliharaan sementara satwa-satwa sitaan dalam keadaan
hidup.
(3). Dalam rangka memfasilitasi pengembangan dan pembangunan pusat-pusat
penyelamatan satwa Direktur Jenderal dapat bekerja sama dengan pihak ketiga.
(4). Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (3), diatur oleh Direktur Jenderal.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP
Pasal 118
Dengan ditetapkan Keputusan ini maka ketentuan lebih lanjut tentang Pengkajian,
Penelitian dan Pengembangan, Penangkaran, Perburuan, Perdagangan, Peragaan,
Pertukaran, Budidaya tanaman obat-obatan, dan Pemeliharaan untuk kesenangan diatur
dengan Keputusan Menteri tersendiri.
Pasal 119
Dengan ditetapkannya keputusan ini maka :
(1). Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 62/Kpts-II/1998 tentang Tata Usaha Peredaran
Tumbuhan dan Satwa Liar;
(2). Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 460/Kpts-II/1998 tentang
Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 62/Kpts-II/1998 tentang Tata
Usaha Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar;
(3). Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 104/Kpts-II/2000 tentang
Tata Cara Mengambil Tumbuhan Liar dan Menangkap Satwa Liar; serta
(4). Kebijakan terkait lainnya yang bertentangan dengan Keputusan ini, dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Pasal 120
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2003
MENTERI KEHUTANAN,
ttd

Ir. S U Y O N O
NIP. 080035380

MUHAMMAD PRAKOSA

Anda mungkin juga menyukai