Anda di halaman 1dari 13

Referat

Bagian Kedokteran Jiwa

Agustus 2016

Fakultas Kedokteran
Universitas Halu Oleo

Gangguan Distimia (F34.1)

Oleh :
Miranty Aditya Hadini, S.Ked
K1A1 12 110

Pembimbing
dr. JUNUDA RAF, M.Kes, Sp.KJ

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO


RUAH SAKIT JIWA DR. SOEPARTO HADJOHUSODO
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
KENDARI
2016

A. PENDAHULUAN
Sehat adalah suatu keadaan yang sejahtera secara menyeluruh baik fisik,
mental dan juga sosial dan tidak hanya bebas dari suatu penyakit atau kelemahan.
Apabila mental terganggu, maka individu tersebut dapat dikatakan sakit. Begitu
pentingnya kesehatan mental terhadap konsep sehat itu sendiri.4
Kesehatan mental atau jiwa menurut UU No.3/1961 adalah suatu kondisi
yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional yang optimal
dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.
Seseorang yang memiliki mental atau jiwa yang sehat berarti mampu mengatasi
tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta memiliki
sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Menkes 2005). Ketika hal-hal
tersebut tidak dapat lagi dilakukan maka individu itu dapat dikatakan mengalami
gangguan mental.4
Konsep gangguan jiwa dari DSM-IV-TR yang tercantum dalam buku
PPDGJ III adalah adanya gejala klinis yang bermakna baik perilaku maupun
psikologik yang dapat menimbulkan penderitaan (distress) serta ketidakmampuan
(disability). Buku PPDGJ III mengelompokkan diagnosis gangguan jiwa ke dalam
100 kategori diagnosis salah satunya adalah gangguan suasana perasaan (mood)
termasuk di dalamnya yaitu gangguan distimia.3
Gangguan suasana perasaan (mood disorder) merupakan hal yang umum
dan lazim. Gangguan ini terbanyak ditemukan baik di pelayanan kesehatan mental
maupun dalam praktek medis dokter umum. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa, diperkirakan 9-26% wanita dan 5-12%
pria pernah mengalami depresi yang gawat dalam kehidupan mereka. Gangguan
suasana perasaan itu sendiri didefinisikan sebagai perubahan suasana perasaan
(mood) atau afek biasanya ke arah depresi dengan atau tanpa anxietas yang
menyertainya atau ke arah suasana perasaan yang meningkat. Apabila perubahan
ini terjadi secara bergantian maka disebut unipolar, sedangkan apabila terjadi

secara bersamaan disebut bipolar. Perubahan afek ini biasanya disertai dengan
suatu perubahan pada keseluruhan tingkatan aktivitas.1,5,6
Pada penelitian komunitas yang dilakukan di New Haven, Baltimore, dan
St. Louis pada tahun 1980 sampai 1982 didapatkan angka prevalensi enam bulan
terbanyak dengan nomor urut satu sampai empat pada usia 65 tahun ke atas
sebagai berikut: perempuan usia lanjut banyak mengalami fobia, gangguan
kognitif berat, distimia, dan depresi berat tanpa berkabung, sedangkan pada lakilaki usia lanjut lebih banyak mengalami gangguan kognitif berat, fobia,
penyalahgunaan atau ketergantungan alkohol dan distimia. Perempuan usia 45-64
tahun lebih banyak mengalami fobia, distimia, depresi berat dan obsesif
kompulsif, sedangkan laki-laki berumur 45-64 tahun lebih banyak mengalami
penyalahgunaan atau ketergantungan alkohol, fobia, distimia, depresi berat.
Gangguan afektif lebih banyak mengenai perempuan usia lanjut daripada lakilaki, sedangkan penyalahgunaan atau ketergantungan alkohol lebih banyak pada
laki-laki usia lanjut daripada perempuan.1,5,6
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan suasana
perasaan antara lain faktor biologi termasuk didalamnya faktor genetik. Menurut
penelitian, anak dari pasien bipolar kemungkinan 18 kali lebih besar terkena
gangguan suasana perasaan. Selain itu faktor biologis lainnya yang menjadi
penyebab adalah neurotransmitter, endokrin, ritme tiur, dan aktifitas otak. Faktor
psikologis dan faktor sosial juga dapat mempengaruhi angka kejadian terjadinya
gangguan susasana perasaan seseorang.1,5,6

B. DEFINISI
Gangguan distimia adalah suatu gangguan kronis yang ditandai dengan
adanya mood yang terdepresi (atau mudah marah pada anak-anak dan remaja)
yang berlangsung hampir sepanjang hari dan ditemukan pada sebagian besar hari.
Istilah distimia yang berarti tidak menyenangkan (ill-humored) diperkenalkan
pada tahun 1980. Sebelumnya, sebagian besar pasien yang saat ini digolongkan

menjadi gangguan distimia, digolongka nmemiliki neurosis depresif ( juga disebut


depresineurotik).1,2,5,6
Menurut DSM-IV-TR, cirri gangguan distimia yang paling khas adalah
perasaan tidak adekuat, bersalah, iritabilitas, serta kemarahan; penarikan diri dari
masyarakat; hilang minat; serta inaktivitas dan tidak produktif.1,2,3

C. EPIDEMIOLOGI
Gangguan distimia merupakan gangguan yang sering ditemukan di antara
populasi umum, yang mengenai 5 sampai 6 persen dari semua orang yang
mengenai antara setengah dan sepertiga dari semua pasien klinik. Prevalensi
gangguan distimia yang dilaporkan di antara remaja muda sekitar 8 persen pada
anak laki-laki dan 5 persen pada anak perempuan; meskipun demikian tidak ada
perbedaan gender untuk angka insiden. Gangguan distimia adalah lebih sering
pada wanita yang berusia kurang dari 64 tahun dibandingkan laki-laki pada setiap
usia. Gangguan distimia juga lebih sering ditemukan di antara orang yang tidak
menikah dan orang muda dan pada orang berpenghasilan rendah. Gangguan
distimia sering terdapat bersamaan dengan gangguan jiwa lain, terutama gangguan
depresif berat, dan pada orang dengan gangguan depresif berat terdapat
kecenderungan menurunakan adanya remisi penuh di antara episode. Pasien juga
dapat memiliki gangguan ansietas yang terdapat bersamaan (terutama gangguan
panik), penyalah gunaan zat, dan gangguan kepribadian ambang. Gangguan
distimik lebih lazim ditemukan pada orang yang memiliki kerabat derajat pertama
dengan gangguan depresif berat.1,2,5,6

D. ETIOLOGI
Penyebab pasti seseorang bisa menderita gangguan distimia belum diketahui
secara pasti. Namun ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya

distimia, yang merupakan faktor-faktor yang juga menyebabkan gangguan


suasana perasaan pada umumnya yaitu:1,2,5,6
a) Faktor Biologis
Dari penelitian yang ada didapatkan hipotesis bahwa gangguan mood
adalah berhubungan dengan disregulasi heterogen pada amin biogenik.
Dimana terjadi kelainan di dalam metabolit amin biogenik seperti 5hidroxyindoleacetic acid (5-HIAA), homovanilic acid (HVA), dan 3methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG) di dalam darah, urine dan cairan
serebrospinal pada pasien dengan gangguan mood. Norepinefrin dan
serotonin dari amin biogenik merupakan dua neurotransmitter yang paling
berperan dalam patofisiologi mood. Norepinefrin terkait dengan gangguan
bipolar dimana tingkat norepinefrin yang rendah menyebabkan depresi dan
tingkat yang tinggi menyebabkan mania. Sedangkan untuk serotonin,
tingkat yang rendah juga menyebabkan depresi.
b) Faktor genetik
Dari data penelitian pada faktor genetik dinyatakan bahwa
perkembangan gangguan mood sangat dipengaruhi oleh genetik. Peran dari
faktor genetik pada bipolar lebih besar dari depresi. Penelitian yang
dilakukan dalam keluarga, apabila satu orang dari orangtua penderita
gangguan mood memiliki gangguan mood maka anak mereka memiliki
faktor resiko 50%. Contoh lain pada anak kembar monozigot, presentasi
untuk bipolar sekitar 33-90% seadngkan pada depresi memiliki presentasi
sekitar 50%, tetapi untuk anak kembar dizigot memiliki presentasi hanya
25%. Pola penurunan genetika adalah jelas melalui mekanisme yang
kompleks bukan saja tidak mungkin menyingkirkan efek psikososial, tetapi
fakotr non genetik , memungkinkan memainkan peranan kausatif dalam
perkembangan gangguan mood sekurangnya pada beberapa orang.

c) Faktor psikososial
Satu pengamatan klinis lama yang telah direplikasi adalah bahwa
peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres lebih sering mendahului

episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya. Peristiwa


kehidupan sangatlah memainkan peran dalam gangguan mood terutama
depresi. Seperti adanya penelitian anak yang kehilangan orang tuanya pada
saat mereka berusia kurang dari 11 tahun atau kehilangan pasangan
merupakan stressor berat pada gangguan mood terutama depresi. Satu teori
yang diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stres
yang menyertai episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang
bertahan lama. Perubahan bertahan lama tersebut dapat menyebabkan
perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem
pemberi signal interneuronal. Hasil akhirnya dari perubahan tersebut adalah
menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk
menderita episode gangguan mood. Selanjutnya, bahkan tanpa adanya
stressor eksternal. Tidak ada sifat atau tipe kepribadian tunggal yang secara
unik mempredisposisikan seseorang kepada depresi. Semua manusia apapun
pola kepribadiannya, dapat dan memang menjadi depresi dalam keadaan
yang tepat; tetapi tipe kepribadian tertentu dependen oral, obsesif kompulsif,
histeris mungkin berada dalam resiko yang lebih besar untuk mengalami
depresi daripada tipe kepribadian antisosial, paranoid, dan lainnya yang
menggunakan proyeksi dan mekanisme pertahanan mengeksternalisasikan
lainnya.
d) Teori Freud
Sigmund Freud mengatakan bahwa kekecewaan interpersonal diawal
kehidupan dapat menyebabkan mudahnya terserang depresi, menyebabkan
ambivalensi hubungan cinta sebagai orang dewasa; kehilangan atau
ancaman akan kehilangan pada kehidupan dewasa memicu terjadinya
depresi. Ketika kekurangan cinta, kasih sayang, dan perhatian, orang
menjadi depresi secara klinis; ketika mereka mengalami kehilangan yang
sesungguhnya, mereka menginternalisasikan dan mengintroyeksi objek yang
hilang serta mengubah kemarahannya terhadap hal itu dan dengan demikian
terhadap diri sendiri.
e) Teori Kognitif

Teori kognitif depresi juga berlaku untuk distimia dimana berpegang


pada perbedaan antara kenyataan dan situasi khayalan mengakibatkan
kurangnya harga diri dan rasa tidak berdaya.

E. KRITERIA DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis gangguan distimia menurut DSM-IV-TR menetapkan
bahwa adanya mood yang terdepresi yang terjadi pada sebagian besar waktu dan
paling tidak 2 tahun (atau 1 tahun untuk anak-anak dan remaja). Untuk memenuhi
kriteria diagnosis, seorang pasien tidak boleh menunjukkan gejala yang terhitung
sebagai gangguan depresi major dan tidak pernah mengalami episode manik atau
hipomanik. DSM-IV-TR memungkinkan klinis untuk menetukan apakah onset
adalah awal ( sebelum usia 21 tahun) atau akhir (21 tahun dan lebih).1,3
Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR Gangguan Distimia
a) Mood depresi hamper sepanjang hari selama berhari-hari, lebih lama
depresi dari pada tidak, sebagaimana ditunjukkan secara subjektif atau
melalui pengamatan orang lain, untuk setidaknya dua tahun. Catatan:
Pada anak dan remaja, mood dapat iritabel dan durasinya harus
sedikitnya 1 tahun.
b) Saat depresi terdapat dua (atau lebih) hal berikut:
1. Nafsu makan buruk atau makan berlebihan
2. Insomnia atau hipersomnia
3. Kurang tenaga atau lelah
4. Harga diri rendah
5. Konsentrasi buruk atau sulit mengambil keputusan
6. Rasa putus asa
c) Selama periode 2 tahun gangguan (1 tahun untuk anak-anak atau
remaja), orang tersebut tidak pernah bebas gejala dalam kriteria a dan
b lebih dari 2 bulan.
d) Tidak pernah ada episode depresif berat selama 2 tahun pertama
gangguan (1 tahun untuk anak-anak dan remaja); yaitu gangguan
tidak lebih baik dimasukkan kedalam gangguan depresif berat kronis,
atau gangguan depresif berat, dalam remisi parsial.

Catatan: Mungkin terdapat episode depresif berat sebelumnya mengingat


terdapat remisi penuh (tanpa tanda atau gejala signifikan selama 2
bulan penuh) sebelum timbulnya gangguan distimia. Disamping itu,
setelah 2 tahun pertama (1 tahun untuk anak-anak dan remaja)
gangguan distimia, bias terdapat episode gangguan depresif berat yang
bertumpang tindih, pada kasus tersebut kedua diagnosis dapat
diberikan ketika kriteria episode depresif berat terpenuhi.
e) Tidak pernah ada episode manik, episode campuran, atau episode
hipomanik, dan criteria tidak pernah terpenuhi untuk gangguan
siklotimia.
f) Gangguan tidak hanya timbul selama perjalanan gangguan psikotik
kronis, seperti skizofrenia atau gangguan waham.
g) Gejala bukan disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat (cth,
penyalahgunaan

zat

atau

obat)

atau

keadaan

medis

umum

(cth,hipotiroid).
h) Gejala secara klinis menyebabkan penderitaan atau hendaya bermakna
fungsisosial, pekerjaan, atau area fungsi lain.
Sedangkan berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa (PPDGJ) III:
Pedoman Diagnosis:

Ciri esensial ialah depresi suasana perasaan (mood) yang berlangsung


sangat lama yang tak pernah atau jarang sekali cukup parah untuk
memenuhi criteria gangguan depresif berulang ringan atau sedang

(F33.0 atau F33.1)


Biasanya mulai dini dalam masa kehidupan dewasa dan berlangsung
sekurang-kurangnya beberapa tahun, kadang-kadang untuk jangka
waktu yang tidak terbatas. Jika onsetnya pada usia lebih lanjut,
gangguan ini seringkali merupakan kelanjutan suatu episode depresif
tersendiri (F32,x) dan berhubungan dengan masa berkabung atau
stress nyata lainnya.

F. PENATALAKSANAAN
Penelitian yang telah dilakukan membuktikan efektivitas penatalaksanaan
dengan psikoterapi dan farmakoterapi lebih besar dari pada apabila kedua
modalitas tersebut dilakukan terpisah.1,2,5,6,10
I. Psikoterapi
1. Terapi Kognitif
Suatu teknik mengajarkan pasien cara berpikir dan bersikap untuk
menggantikan sikap negative yang salah mengenai diri mereka sendiri,
dunia dan masa depan. Terapi ini merupakan terapi jangka pendek untuk
menyelesaikan masalah saat ini.
2. Terapi Perilaku:
Terapi perilaku untuk gangguan depresif didasarkan pada teori bahwa
depresi disebabkan oleh hilangnya pendorong positif sebagai akibat
perpisahan,kematian, atau perubahan lingkungan yang tiba-tiba. Berbagai
metode pengobatan berpusat pada tujuan spesifik untuk meningkatkan
aktivitas, untuk mendapatkan pengalaman menyenangkan dan untuk
mengajarkan pasien bagaimana cara bersantai. Mengganti perilaku pasien
terdepresi dipercaya merupakan cara paling efektif untuk mengubah pikiran
dan perasaan depresi yang menyertai. Terapi ini seringkali digunakan untuk
mengobati keputusasaan yang dipelajari pada beberapa pasien yang
tampaknya

menghadapi

setiap

tantangan

kehidupan

dengan

rasa

ketidakmampuan.
3. Psikoterapi Psikoanalitik Berorientasi Tilikan
Pendekatan psikoterapeutik berusaha untuk menghubungkan perkembangan
dan pemeliharaan gejala depresif dan ciri kepribadian maladaptif dengan
konflik yang tidak terpecahkan pada masa anak-anak awal. Tilikan ke dalam
ekivalen depresi (seperti penyalahgunaan zat) atau ke dalam kekecewaan
masa anak-anak sebagai pendahulu terhadap depresi dewasa dapat digali
melalui terapi. Hubungan sekarang yang ambivalen dengan orang tua,
teman, dan orang lain di dalam kehidupan pasien sekarang ini diperiksa.
Gangguan distimik melibatkan suatu kondisi depresi kronis yang menjadi
cara hidup orang tertentu. Mereka secara sadar mengalami dirinya sendiri

berada di dalam belas kasihan dari objek internal yang menyengsarakan


yang tidak henti-hentinya menyiksa mereka.
4. Terapi Interpersonal
Melalui terapi yang berlangsung sekitar 12 sampai 16 minggu ini,
pengalaman interpersonal pasien saat ini dan cara menghadapi stress
diperiksa untuk mengurangi gejala stress dan meningkatkan harga diri
5. Terapi Keluarga dan Kelompok
Terapi keluarga dapat membantu pasien dan keluarganya unuk mengahadapi
gejala gangguan, khususnya jika sindrom subafekif yang didasarkan secara
biologis tampaknya akan timbul. Terapi kelompok dapat membantu pasien
yang menarik diri untuk mempelajari cara baru mengatasi masalah
interpersonalnya di dalam situasi sosial.
II. Farmakoterapi
Anti depresan dibutuhkan untuk mengatasi gangguan vegetatife yang
sering dialami oleh penderita distimia, seperti gangguan tidur, rasa lelah,
anhedonia dan rasa nyeri. Respon pengobatan dengan anti depresan sebesar
55 persen. Dari beberapa pelaporan bahwa SSRIs, tryciclicanti depresan dan
MAOIs sama efektif, tetapi SSRIs yang dapat ditoleransi lebih baik.
Penggunaan anti depresan harus memperhatikan efek samping yang
ditimbulkan karena obat digunakan dalam jangka panjang. Pasien usia lanjut
dan anak dengan riwayat gangguan perhatian dapat diberikan perhatian
psikostimulan

seperti

amfetamin

dan

metilfenidat.

Hal-hal

yang

diperhatikan dalam pemilihan antidepresan adalah:


Efek samping yang harus dihindari oleh individu tersebut
Individu memiliki riwayat penggunaan antidepresan

sebelumnya
Apabila obat tersebut memiliki efektivitas yang baik bagi
anggota keluarga lainnya yang memiliki gejala yang sama

Penggunaan antidepresan harus berhati-hati untuk pasien dengan


gangguan distimia dengan komorbiditas gangguan kecemasan, karena dosis
awal yang terlalu tinggi atau peningkatan dosis yang terlalu cepat akan
memberikan efek samping yang akan mempengaruhi kepatuhan dalam
berobat.1,7

Anti depresan golongan SSRIs yang sering diberikan adalah fluoxetin


dengan dosis awal 20 mg untuk dewasa, sekali sehari pada pagi hari. Dosis
dapat ditingkatkan secara perlahan dalam beberapa minggu sebesar 20 mg
dengan dosis maksimal 80 mg per hari. Selain fluoxetin, dapat diberikan
sertralin dengan dosis awal 50 mg untuk dewasa sekali sehari pada pagi
hari, dan dosis dapat ditingkatkan dalam beberapa minggu sebesar 50 mg
dengan dosis maksimal 200 mg perhari. Anti depresan diberikan dengan
waktu yang tidak terbatas, namun dosis diturunkan sesuai dengan evaluasi
perbaikan gejala. Namun obat tidak diturunkan terlebih dahulu sampai 6
bulan setelah gejala membaik.1,2,7
III. Terapi Lain
Olahraga : selain farmakoterapi dan psikoterapi, kegiatan olahraga juga
dapat memperbaiki gejala. Pasien disarankan berolahraga 3-4 kali
seminggu. Olahraga yang digunakan adalah bersifat aerobik.1,2
G. PROGNOSIS
Prognosisnya bervariasi. Prediksi kedepan tentang prognosis distimia
dengan adanya tatalaksana obat antidepresan yang baru seperti fluoxetine,
bupropion dan terapi kognitif dan perilaku akan memperlihatkan hasil yang baik.
Data yang lama menunjukkan antara 10-15 persen pasien gangguan distimia
dalam kondisi remisi setelah terdiagnosis. Sekitar 25 persen dari gangguan
distimia tidak mencapai pemulihan lengkap. Edukasi yang baik terhadap pasien
dan keluarga dapat meningkatkan prognosis yang baik.1,2
H. KOMPLIKASI9
1. Percobaan untuk bunuh diri
2. Penyalahgunaan zat
3. Penarikan diri terhadap lingkungan
4. Tidak dapat bekerja
I. KESIMPULAN
Gangguan distimia adalah salah satu gangguan mood yang ditandai dengan
adanya mood yang terdepresi (atau mudah marah pada anak-anak dan remaja)

yang berlangsung hampir sepanjang hari dan ditemukan pada sebagian besar hari.
Penyebab pasti seseorang bisa menderita gangguan distimia belum diketahui
secara pasti. Namun ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
distimia, yang merupakan faktor-faktor yang juga menyebabkan gangguan
suasana perasaan pada umumnya yaitu teori biologis, teori genetic, teori
psikososial, teorifreud, dan teori kognitif.
Pada pasien distimia tidak ditemukan adanya gejala psikotik. Pasien dengan
gangguan distimia memiliki gejala mirip dengan gangguan depresi mayor namun
lebih banyak gejala yang bersifat subjektif.
Penatalaksanaan untuk gangguan distimia dibagi menjadi dua berdasarkan
hasil penelitian tentang efektivitas penggunaan kedua macam terapi ini yaitu
psikoterapi dan farmakoterapi. Psikoterapi dibagi menjadi 5 yaitu terapi kognitif,
terapi perilaku,psikoterapi psikoanalitik berorientasi tilikan, terapi interpersonal
dan terapi keluarga dan kelompok. Adapun untuk farmakoterapi, golongan obat
antidepresan SSRI, MAOIs dan tryciclic sama efektif,namun golongan SSRI
dapat ditoleransi dengan baik. Contoh obat golongan SSRI yang biasa digunakan
adalah fluoxetine dan sertraline.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan Harold I,M.D, Sadock Benjamin J, M.D, Grebb Jack A. M.D. Sinopsis
Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid I, Penerbit Binarupa
Aksara, Jakarta,2010.
2. Ismail R.Irawati, Siste Kristina. Buku Ajar Psikiatri, Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2010.
3. Maslim, Rusdi. Buku Saku PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
FK-Unika Atmajaya:2013.
4. Faperta
UGM

Kesehatan

Jiwa.

http://www.faperta.ugm.ac.id/articles/kesehatan_jiwa.pdf .
5. Kay Jerald, Tasman Allan. Essentials of Psychiatry.USA.2006.
6. Reus Victor. Mood Disorder in Review of General Psychiatry 5th edition. New
York. 2000.
7. Maslim, Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi
Ketiga. Jakarta : Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya :
2007.
8. Maramis Willy, Maramis Albert. Distimik. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Surabaya.
9. Puri, B.K., dkk. Buku Ajar Psikiatri Edisi Ke-2. EGC. Jakarta : 2011.
10. Kaplan,H,I., Sadock, B,J. Coprehensive Textbook of Psychiatry, Eight
Edition. USA. 2005

Anda mungkin juga menyukai