I. Definisi
I. Definisi
DEFINISI
Bronkiolitis adalah Infeksi virus akut saluran pernapasan bawah yang menyebabkan obstruksi
inflamasi bronkiolus, terjadi terutama pada anak-anak dibawah umur 2 tahun.
II. EPIDEMIOLOGI
Bronkiliotis sering mengenai anak usia di bawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi umur
6 bulan.Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada
usia 2 bulan.2. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat
penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin terjadi oleh karena kadar antibodi
maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan
penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis
dan immunocompromizedmempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih
berat. Penyakit ini menimbulkan morbiditas infeksi saluran napas bawah terbanyak pada anak.
Dinegara dengan 4 musim, epidemiologi bronkiolitis menunjukkan puncak yang tajam setiap tahun
pada musim dingin antara bulan januari dan maret sampai awal musim semi dan dinegara tropis
banyak ditemukan pada musim hujan. Faktor yang memicu bronkiolitis RSV meningkat setiap
musim dingin belum diketahui. Persentase rendah kasus bronkiolitis ditemukan pada musim
panas. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU dr.Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan 2003,
bronkiolitis banyak ditemukan pada bulan januari sampai bulan Mei.
Insiden infeksi Respiratory Sensitial Virus (RSV) sama pada laki-laki dan wanita, namun bronkiolitis
berat lebih sering terjadi pada laki-laki. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin
laki-laki, status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif,
rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu (ASI).
Sekitar 70% kasus bronkiolitis pada bayi terjadi gejala yang berat sehingga harus dirawat di rumah
sakit, sedangkan sisanya biasanya dapat dirawat di poliklinik.
III. ETIOLOGI
Penyebab yang paling banyak adalah Respiratory Sensitial Virus (RSV), kira-kira 45-80 % dari total
kasus bronkiolitis akut. Parainfluenza Virus (PIV) 3 menyebabkan sekitar 25-50% kasus, sedangkan
PIV tipe 1 dan 2, adenovirus tipe 1,2 dan 5, Rinovirus, virus influenza, enterovirus, herpes simplex
virus, dan Mycoplasma pneumonia masing-masing menyebabkan sedikit kasus (< 25%).
Penyebab Bronkiolitis
Angka kejadian
++++
++
Adenovirus
Mycoplasma pneumoniae
Enterovirus
Rhinovirus
Catatan :
(+ + + +) >75% kasus
(+ +) 25-50% kasus
RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat
menimbulkan epidemi.1Virus RSV lebih virulen daripada virus lain dan menghasilkan imunitas yang
tidak bertahan lama. Penyakit ini merupakan infeksi nosokomial yang paling sering dalam bangsal
pediatrik. Dan infeksi ini pada orang dewasa tidak menimbulkan gejala klinis. 5,7 Virus ini ditemukan
dengan cara kultur, enzyme immunoassay(EIA) atau dengan tes serologik pada pasien yang
dirawat diRS.
Bronkiolitis yang disebabkan oleh virus jarang terjadi pada masa neonatus. Hal ini karena
antibodi neutralizing dari ibu masih tinggi pada 4-6 minggu kehidupan, kemudian akan menurun.
Antibodi tersebut mempunyai daya proteksi terhadap infeksi saluran napas bawah, terutama
terhadap virus. Bakteri sangat jarang menyebabkan bronkiolitis pada bayi.
Latar belakang genetik tidak begitu jelas.7
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350 nm),
termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian yang
penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein) yang mengikat sel
dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel
tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua
macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala pada pernapasan yang
lebih berat dan menimbulkan sekuele.
Sebagian besar infeksi saluran napas ditularkan lewat droplet infeksi. Infeksi primer oleh virus RSV
biasanya tidak menimbulkan gejala klinik, tetapi infeksi sekunder pada anak tahun-tahun pertama
kehidupan akan bermanifestasi berat.
Selain melalui droplet, RSV bisa juga menyebar melalui inokulasi atau kontak langsung dengan
sekresi hidung penderita. Seseorang biasanya aman apabila berjarak lebih 6 feet dari seseorang
yang menderita infeksi RSV. Droplet yang besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan
seorang penderita dapat menularkan virus tersebut selama 10 hari.
Masa inkubasi RSV 2-5 hari. Virus ini bereplikasi didalam nasofaring kemudian menyebar dari
saluran nafas atas kesaluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas
dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran nafas melalui kolonisasi
dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal
berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran nafas menyebabkan terjadi edema
submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus. 2 Pada bronkiolus ditemukan
obstruksi parsial atau total karena udema dan akumulasi mukus serta eksudat yang kental. Pada
dinding bronkus dan bronkiolus terdapat infiltrat sel radang. Radang juga bisa dijumpai pada
peribronkial dan jaringan interstisial. Obstruksi parsial bronkiolus menimbulkan emfisema dan
obstruksi totalnya menyebabkan atelektasis.
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mokusilier, mukus tertimbun didalam
bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran nafas juga akan mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar
terhadap alergen/iritan sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang
menyebabkan kontraksi otot polos saluran nafas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran nafas
juga meningkatkan ekspresi Intercelluler Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang
akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari
proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot
polos saluran nafas.
Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance,
meningkatkan tahanan saluran nafas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor
tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran
nafas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnia, asidosis metabolik sampai gagal nafas.
Karena resistensi aliran udara saluran berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat
4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada
aliran udara. Apalagi diameter saluran nafas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran
udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi. Selama fase
ekspirasi terdapat mekanisme klep sehingga udara akan terperangkap dan menimbulkan
overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali diatas normal.
Atelektasis dapat terjadi bila terdapat obstruksi total. Proses patologik ini menimbulkan gangguan
pada proses pertukaran udara di paru, ventilasi berkurang, dan hipoksemia. Pada umumnya,
hiperkapnia tidak terjadi kecuali pada keadaan yang sangat berat.
Berbeda dengan bayi, Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang
infeksi virus karena sudah dapat mentoleransi udema saluran nafas dengan baik. Perbedaan
anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan konstribusi
terhadap hal ini.2,5 Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap.
Infeksi yang berulang pada saluran nafas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit.
Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga pada anak yang lebih
besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena
RSV.
Fase penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari,
sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat mencapai 15 hari.
Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran nafas dan asma :
Infeksi akut virus saluran nafas pada bayi atau anak kecil seringkali disertai wheezing.
Penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata
seringkali mengalami infeksi virus saluran nafas pada saat bayi/ usia muda. 5
Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan seluler. Respon antibodi sistemik terjadi
bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk.
IgM adalah bersifat sementara dan tampak terlalu lambat untuk membantu patogenesis
bronkiolitis. Antibodi IgA dan IgG spesifik muncul pada minggu kedua, tetapi umurnya begitu
pendek sehingga penderita mudah dapat mendapat serangan reinfeksi dalam 1 tahun.
Ada beberapa keprihatinan bahwa keparahan gejala pada infeksi selanjutnya mungkin lebih besar
pada penderita yang mempunyai kadar IgE spesifik RSV tinggi, biasanya terjadi defisiensi fungsi
sel supresor antigen-spesifik RSV.
Hampir 70-80% anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit dan
dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam sekret nasofaring pada 45% anak yang
terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV
pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV.
Infeksi virus sering berulang pada bayi. Hal ini disebabkan oleh:
1.
Kegagalan sistem imun host untuk mengenal epitope protektif dari virus.
2.
Kerusakan sistem memori respons imun untuk memproduksi interleukin I inhibitor dengan
3.
Penekanan pada sistem respons imun sekunder oleh infeksi virus dan kemampuan virus
untuk menginfeksi makrofag serta limfosit. Akibatnya, terjadi gangguan fungsi seperti kegagalan
produksi interferon, interleukin I inhibitor, hambatan terhadap antiobodi neutralizing, dan
kegagalan interaksi dari sel ke sel.
V. IMMUNOPATOLOGI
Ada pendapat bahwa bronkiolitis merupakan hasil dari reaksi kompleks imun antara antibodi nonneutralizing dengan virus. Pendapat tersebut berdasarkan pengamatan di mana terjadinya infeksi
oleh virus ketika umur masih muda, terutama kurang dari 6 bulan. Saat itu, antibodi yang secara
pasif didapatkan dari ibu masih cukup tinggi.
1. Sel epitel
Sel epitel merupakan tempat hidup virus saluran napas. Adanya infeksi ini akan menyebabkan
kerusakan selama replikasi virus. Virus ini juga akan merangsang dikeluarkanya mediator inflamasi
(sitokin) dan kemokin seperti interleukin 6, interleukin 8, interleukin 11, Granulocyt Macrophag
Stimulating Factor (GM-CSF), dan Rantes. Dengan dikeluarkanya mediator kimia tersebut akan
menyebabkan inflamasi.
2. Sel endotel
Kelainan sel endotel akan memberikan gangguan pada saluran napas melalui dua mekanisme:
b.Transudasi protein plasma dari pembuluh darah ke mukosa hidung menyebabkan sekresi hidung
dan bendungan.
Adanya transudasi dapat diketahui dengan pengukuran albumin dan IgG. Kedua zat tersebut akan
meningkat puncaknya 24 hari setelah infeksi oleh virus. Mekanisme terjadinya transudasi ini
berkaitan dengan aktivasi mediator kinin, sehingga meningkatkan permeabilitas sel endotel.
3. Granulosit
Sel neutrofil merupakan sel inflamasi yang muncul pada saat infeksi akut oleh virus. Sel ini
berfungsi sebagai kemotaksis faktor seperti IL-8 dan leukotrin B4. Kompleks virus RSV dan antibodi
akan merangsang IL-6 dan IL-8 yang disekresi oleh sel neutrofil, sehingga akan dilepaskan sitokin.
Selain itu, virus dapat juga mengaktivasi granulosit, sel mast, dan basofil.
Adanya infeksi pada saluran pernapasan oleh virus akan menyebabkan dikeluarkanya mediator
kimia dari sel makrofag dan monosit. Selama infeksi saluran napas sitokin: IL-q, TNF alfa, dan IL-8
dapat ditemukan pada sekret hidung. Pada fase akut ini, sitokin yang dikeluarkan akan
menyebabkan gejala sistemik seperti demam dan malaise. Adanya interleukin I dan TNF alfa
berhubungan erat dengan timbulnya mengi pada anak-anak dan dapat berkembang menjadi reaksi
alergi serta asma di kemudian hari.
5. T-sel
Infeksi virus dapat merangsang spesifik dan non-spesifik T-sel. T-sel ini dapat menyebabkan
timbulnya asma.
a.
T-sel membantu membersihkan virus, tetapi tidak berhubungan dengan gejala asma.
b.
Virus T-sel spesifik dapat menyebabkan gejala asma, tetapi bila infeksinya telah berat.
c.
Infeksi virus dengan cepat mengaktivasi T-sel sehingga menyebabkan inflamasi dan gejala-
gejala selama infeksi. Beberapa penelitian menunjukan bahwa infeksi virus menyebabkan
rangsangan terhadap T-sel non-spesifik dan terjadi gangguan pada fungsi paru.
Mula-mula bayi menderita gejala infeksi saluran napas atas yang ringan berupa pilek yang encer,
batuk, dan bersin, kadang-kadang disertai demam yang tidak terlalu tinggi (subfebrile) dan nafsu
makan berkurang. Gejala ini berlangsung beberapa hari. Kemudian timbul distres respirasi yang
ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah
serta sulit makan dan minum.2 Timbulnya kesulitan minum terjadi karena napas cepat sehingga
menghalangi proses menelan dan menghisap. Pada kasus ringan, gejala menghilang 13 hari. Pada
kasus berat, gejalanya dapat timbul beberapa hari dan perjalanannya sangat cepat.
Kadang-kadang, bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali, bahkan ada yang
mengalami hipotermi. Terjadi distres pernapasan dengan frekuensi napas >60 x/menit, terdapat
napas cuping hidung, penggunaan otot pernapasan tambahan, retraksi, dan kadang-kadang
disertai sianosis. Karena bayi mempunyai dinding dada yang lentur, retraksi suprasternal dan kosta
tampak jelas dan tepi kosta terlihat melebar pada setiap pernafasan untuk menambah volume
tidalnya. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara
dalam paru). Hepar dan lien bisa teraba karena terdorong diafragma akibat hiperinflasi paru.
Mungkin terdengar ronki pada akhir inspirasi dan awal ekpirasi. Terdapat ekpirasi yang memanjang
dan wheezing kadang-kadang terdengar dengan jelas. Sering terjadi hipoksia dengan saturasi
oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan
konjungtivitis ringan, otitis media dan faringitis.
Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi zat toksis
(hydrochloric, nitrit acid, sulfur dioxide). Karakteristiknya : gambaran klinis dan radiologis hilang
timbul dalam beberapa minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia
dan wheezing yang berulang. Proses penyembuhan mengarah pada penyakit paru kronis.
Histopatologi : hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi
jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli
overdistensi, atelektasis dan fibrosis.
VII. DIAGNOSIS.
Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemi RSV
di masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau
kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek,
demam dan (4) menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat
menyebabkan wheezing.
Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita
infeksi saluran napas atas yang ringan.
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assesment
Instrumen (RDAI) yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing dan
retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam
kategori ringan.
Tabel . Respiratory Distress Assesment Instrument (RDAI) (dikutip dari Klassen, 1991)
Skor
SKOR
maksimal
(-)
Akhir
(-)
Sebagian
Semua
(-)
2 dari
3 dari
4lap.paru
4lap.paru
(-)
Ringan
Sedang
Berat
(-)
Ringan
Sedang
Berat
(-)
Ringan
Sedang
Berat
WHEEZING
Ekspirasi
Semua
Inspirasi
Lokasi
RETRAKSI
Supraklavikular
Interkostal
Subkostal
TOTAL
17
Pulse oximetry merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan
penderita. Saturasi oksigen <95% adalah tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk
rawat inap.
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung darah lengkap menunjukkan kenaikan tingkat sedang
dan hitung leukosit biasanya normal dengan atau tanpa pergeseran ke kiri. Pada pasien dengan
peningkatan leukosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang. Kim dkk (2003)
mendapatkan bahwa ada subgrup penderita bronkiolitis dengan eosinofilia.
Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis
metabolik jika terdapat dehidrasi. Pada keadaan yang berat, gambaran analisis gas darah akan
menunjukkan kenaikan PCO2 (hiperkapnia), karena karbondioksida tidak dapat dikeluarkan, akibat
edema dan hipersekresi bronkiolus.
Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru
mengembang (hiperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin
atelektasis (patchy atelectasis) atau pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-foto lateral, didapatkan
diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan kebawah. Pada pemeriksaan x-foto dada,
dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan : siluet jantung yang menyempit, jantung
terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang
retrosternal lebih lusen, iga horizontal, pembuluh darah paru tampak tersebar.
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan
nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan
hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan
pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas
pemeriksaan ini adalah 80-90%.2,6
Asma
Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya. Berbeda dengan asma
yang mengalamiwheezing berulang. Asma bronkiale merupakan diagnosis banding yang tersering
Bronkitis
Miokarditis
Udema pulmonum
Aspirasi benda asing atau terpapar zat beracun (zat kimia, asap,toksin)
Broncomalasia
Cystic fibrosis
TANDA
Asma
Hiperinflasi dada
Ekspirasi memanjang
obstruksi udara)
Bronkhiolitis
Hiperinflasi dada
Ekspirasi memanjang
obstruksi udara)
ekspirasi memanjang
obstruksi udara)
pergeseran mediastinum
Pneumonia
demam
stridor
Infeksi oleh virus RSV biasanya sembuh sendiri ( self limited) sehingga pengobatan yang ditujukan
biasanya pengobatan suportif. Prinsip dasar penanganan suportif ini mencakup : oksigenasi,
pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan biasanya
bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang
sampai berat harus dirawat inap. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi suportif,
mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian antivirus.
Dibagian anak RS Dr.Soetomo selain dengan terapi suportif, juga diberikan secara rutin nebulasi
agonis 2 pada setiap penderita bronkiolitis. Steroid sistemik diberikan pada kasus-kasus berat.
Antibiotik diberikan jika keadaan umum penderita kurang baik, atau ada dugaan infeksi sekunder
dengan bakteri.
Oksigenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry dan bila
perlu dilakukan analisa gas darah. Bila ada tanda gagal napas diberikan bantuan ventilasi
mekanik.
Antibiotik : penyakit berat, keadaan umum kurang baik, curiga infeksi sekunder.
Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infus dan diet
sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu dan status
dehidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas atau
distres napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan
2/3 dari kebutuhan rumatan untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH
(Sindrome of Inappropriate Anti Diuretik Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap
kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.
OBAT_OBATAN
Antibiotik
Penggunaan antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis, karena sebagian
besar disebabkan oleh virus. Penggunaan antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder
oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut. Kecuali jika terdapat tanda-tanda infeksi
sekunder seperti perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan leukosit atau pergeseran
hitung jenis, atau adanya dugaan sepsis maka perlu diperiksa kultur darah, urine, feses dan cairan
serebrospinalis, untuk itu secepatnya diberikan antibiotik yang memiliki spektrum luas.
Ribavarin
Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat untuk mengurangi
beratnya penyakit dapat diberikan antivirus.5
Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktivitas virus termasuk RSV.
Ribavirin menghambat translasi messeger RNA (mRNA) virus kedalam protein virus dan menekan
aktivitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam 3 hari setelah gejala timbul atau 10 hari
setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase
replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermamfaat pada fase awal infeksi. 2
Efektivitas ribavirin sampai saat ini masih kontroversi mengenai efektivitas dan
keamanannya.2,5 Dalam sebuah penelitian dengan pemberian ribavirin ini dapat terjadi perbaikan
SaO2, penurunan penggunaan ventilasi mekanik, lama perawatan di rumah sakit lebih singkat, dan
adanya perbaikan fungsi paru. Tetapi dalam penelitian lain, penggunaan ribavirin tidak
memberikan efek perbaikan. Perbedaan hasil tersebut kemungkinan karena desain, metode yang
dipakai berbeda termasuk jumlah sampel yang terlibat. Dan keterlambatan dalam memulai terapi.
Kekurangan dari terapi ribavirin, harganya yang sangat mahal. 2
Obat-obatan beta 2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan saluran napas
karena menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurang pelepasan mediator dari sel mast,
menurunkan tonus kolinergik, mengurangi sembab mukosa dan meningkatkan pergerakan silia
saluran napas sehingga efektivitas dari mukosiler akan lebih baik.
Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien-pasien yang diberikan beta 2 agonis secra
nebulisasi menunjukkan perbaikan skor klinis dan saturasi oksigen.
Sebuah penelitian meta analisis oleh Kellner dkk (1996) mengenai efikasi bronkodilator pada
penderita bronkiolitis mendapatkan bahwa bronkodilator menyebabkan perbaikan klinis yang
singkat (shot-term improvement) pada bronkiolitis ringan dan sedang.
Studi terbaru Wainwright (2003), menunjukkan hasil bahwa epinefrin secara nebulisasi tidak
menurunkan lama perawatan dirumah sakit. Epinefrin memberi efek alfa dan beta adrenergik.
Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta 2 agonis sampai saat ini masih kontroversi, tetapi
masih bisa dianjurkan dengan alasan.
Pada bronkiolitis selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada
bronkospasme dibagian perifer saluran napas (bronkioli)
Sering tidak mudah membedakan antara bronkiolitis dengan serangan pertama asma
Antikolinergik
Bekerja menghambat kontraksi otot polos pada bronkospasme. Ipratropium (Atrovent)
Keuntungannya masih belum terbukti.
X. PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara,
membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan
penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari
tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan dari kontak dengan penderita ISPA.
penurunan signifikan terhadap jumlah yang terinfeksi RSV, jumlah penderita masuk RS serta
memperpendek waktu perawatan. RSV-Ig dapat ditoleransi dengan baik.
Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti F glycoprotein antibody, yang mencegah
masuknya RSV kedalam sel host. Respigram adalah human polyclonal hyperimmune globulin,
diberikan secara intravena, juga bisa digunakan sebagai imunoprofilaksis pasif pada bronkiolitis.
Penelitian penggunaan vaksin RSV menggunakan virus hidup (live attenuated, subunit, live
recombinat) dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan proteksi yang adekuat.
Indikasi dirawat pasien bronkiolitis adalah :
Umur
Tidak ada lagi tanda-tanda gawat napas (HR<60 menit) baik ketika istirahat maupun saat
makan.
Saturasi O2 > 93 %
Biasanya komplikasinya bisa berupa apneu, pneumonia, sindrom aspirasi, gagal nafas yang
membutuhkan ventilator mekanik, dehidrasi, atrial tachycardia. Pneumothorak dapat juga terjadi
pada penyakit obstruksi yang berat Ada beberapa kelompok pasien yang beresiko tinggi terhadap
infeksi RSV yang berat yaitu : bayi prematur (usia kehamilan <35 minggu), penyakit jantung
kongenital, penyakit paru kronik, fibrosis kistik, dan kelainan fungsi imunologi (bisa karena
kemoterapi, transplantasi, dan kelainan imunodefisiensi kongenital atau didapat)
Komplikasi seperti otitis media akut, pneumonia bakterial dan gagal jantung jarang dijumpai.
XII. PROGNOSIS
Kebanyakan prognosis pasien dengan bronkiolitis adalah baik. Anak biasanya dapat mengatasi
serangan tersebut dalam waktu sesudah 48-72 jam. Prognosis menjadi buruk pada pasien dengan
kelainan imunologi atau penyakit kardiopulmoner yang kronik. Perjalanan penyakit biasanya 7-10
hari tapi pada beberapa pasien mencapai 3-4 minggu. Sekitar 30-40% anak-anak dengan
bronkiolitis akan timbul wheezing berikutnya hingga umur 7 tahun, yang ditandai dengan
peningkatan eosinofil selama infeksi RSV masih ada. Mortalitas karena infeksi RSV primer kurang
dari 1%. Anak dapat meninggal karena komplikasi pneumonia, apneu yang lama, asidosis
respiratorik yang tidak terkoreksi, karena dehidrasi atau superinfeksi bakteri yang tidak
terobati. Pada beberapa penelitian dinyatakan bahwa pasien yang mempunyai riwayat bronkiolitis
sebelumnya akan menjadi faktor resiko tinggi timbulnya wheezing yang berulang atau predisposisi
terjadinya asma pada masa kanak-kanak. Dan juga bisa dijumpai kelainan fungsi pernapasan yang
minimal pada anak-anak usia sekolah.
Monggo dibagi :