Anda di halaman 1dari 17

ANATOMI HIDUNG

I.1

Anatomi Hidung1
I.1.1

Hidung bagian Luar

Hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah
adalah sebagai berikut :

Pangkal hidung ( bridge)


Batang hidung (dorsum nasi)
Puncak hidung (tip)
Ala nasi
Kolumela
Lubang hidung (nares anterior)

Gambar 1. Anatomi hidung bagian luar tampak samping

Gambar 2. Anatomi hidung bagian luar tampak bawah

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit.
Kerangka tulang terdiri dari:
1
2
3

Tulang hidung (os nasal)


Prosesus frontalis os maksila
Prosesus nasalis os frontal.

Sedangkan tulang rawan terdiri dari beberapa pasang yaitu:


1
2
3
4

Sepasang kartilago nasalis lateralis superior


Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior atau yg disebut juga alaris mayor
Kartilago alaris minor
Tepi anterior kartilago septum.

Gambar 3. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung

I.1.2

Hidung bagian dalam1


Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang

dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian dari tulang adalah:
1
2
3
4

Lamina perpendikularis os etmoid


Vomer
Krista nasalis os maksila
Krista nasalis os palatina.

Bagian Tulang rawan adalah:


1
2

Kartilago septum ( lamina kuadrangularis)


Kolumela.

Cavum nasi terdiri dari vestibulum, meatus nasi, mukosa nasi, dan konka nasalis. Konka
nasalis terbagi menjadi 4 bagian yaitu bagian superior, media, inferior dan suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimeter.

Gambar 4. Konka dan Sinus Hidung

I.2

Vaskularisasi hidung1
Bagian rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmik dari arteri karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor an arteri sfenopalatina dan memasuki ringga
hidung dibelakang konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabangcabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabangcabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri
palatina mayor yang disebut pleksus Kisselbach ( littles area). Pleksus kisselbach
letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber
epistaksis.

I.3

Fisiologi Hidung1
Fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
1

Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara,


humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan meknisme

imunologik lokal.
Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir
udara ubtuk menampung stimulus penghidu.

Fungsi fonetiik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses

bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang,


Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi

terhadap trauma dan pelindung panas.


Refleks nasal, iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin
dan napas berhenti, rangsang bau tertentu juga akan menyebabkan
sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

RHINITIS ALERGI
II.1

Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta

dilepaskkannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen
spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA ( Allergic Rhinitis and its
Impacy on Asthma) tahun 2001, Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rhinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen
yang diperantarai oleh IgE.2

II.2

Epidemiologi
Rinitis alergi merupakan penyakit yang umum dijumpai di masyarakat, insiden
rinitis alergi menurut WHO - ARIA 2001 antara 1 - 18%, sedangkan insiden rinitis alergi
di Jakarta cukup tinggi antara 10-20%. Dari sumber lainnya, didapatkan prevalensi
penyakit Rinitis Alergi pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah
penduduk dan di Amerika, merupakan satu diantara deretan atas penyakit umum yang
sering dijumpai. 3
Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita umumnya mulai
menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan pria dengan
kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan predisposisi genetic kuat. Bila
salah satu dari orang tua menderita alergi, akan memberi kemungkinan sebesar 30%
terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua menderita akan diperkirakan mengenai
sekitar 50% keturunannya. 3

II.3

Faktor Resiko
Faktor resiko rhinitis alergika antara lain 4:
1
2
3
4
5

Riwayat keluarga yang atopi


Serum IgE > 100 IU/mL sebelum usia 6 tahun
Sosioekonomi menengah keatas
Paparan terhadap allergen dalam ruangan (binatang dan debu)
Skin prick test positif

II.4

Etiologi
Rinitis alergi adalah disebabkan oleh reaksi peradangan mukosa hidung, yang

diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE), setelah terjadi paparan allergen (reaksi hipersensitivitas
tipe I Gell dan Comb). 4
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa
kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/ persisten sepanjang tahun,
sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat
dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.(5)
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas : (5)
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah
(D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing,
anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur,
coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan
lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan
kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial
dan rinitis alergi.(5)
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari : (5)
1. Respons primer :

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut
menjadi respons sekunder.
2. Respons sekunder :
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem imunitas
selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka
reaksi berlanjut menjadi respons tertier.
3. Respons tertier :
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).(5)
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe
1 yaitu rinitis alergi.(5)
II.5

Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi

dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung
sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau
Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.(5)
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th

0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.(5)
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua
sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed
Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin,
Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC). (5)
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5
dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan
udara yang tinggi.(5)

II.6

Klasifikasi

Sekarang ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi WHO initiative ARIA
tahun 2001, berdasarkan lama terjadinya gejala serta berdasarkan keparahan dan kualitas hidup,
dapat dilihat sebagai berikut:5

Tabel 1. Klasifikasi Rhinitis Alergi menurut guideline ARIA (2001)

II.7

Klasifikasi

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:


1.Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja(5). Gejala rinitis alergi yang khas
ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,
terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process).
Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi pada pasien. Gejala

lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang
timbul tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.(5)

2.Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak
ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder
akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak
anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut
allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya
garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut
sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran
peta (geographic tongue).(5)

II.8

Pemeriksaan Penunjang

In vitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi
yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Imuno
Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan
sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri 5
In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial
untuk desensitisasi dapat diketahui.5
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat
dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). 5
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5
hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.5
II.9

Penatalaksanaan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 5

2. Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral. 5
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat
lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini
antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin,
sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin
generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat
selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik,
antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal (non-sedatif). 5
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif
untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non
sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok
pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda
dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematia
medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,
setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin. 5
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. 5

Tabel 2. Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi

Tabel 3. Efek samping sedasi dari antihistamin

b. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Onset
obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat
menyebabkan rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu lama.5
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah pseudoephedrine
HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 612 tahun, dan 60 mg untuk dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari
obat-obatan ini yang paling sering adalah insomnia dan iritabilitas. 5

c. Antikolinergik

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat


untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor. 5

d. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah
bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif
terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat
sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat
ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat,
obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel
netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai
profilaksis. 5
e. Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 5
Menurut

penelitian

yang

dilakukan

pada

tahun

2006,

membuktikan

bahwa

pseudoephedrine dan montelukast memiliki efek yang serupa dalam mengatasi gejala dan
memperbaiki kualitas hidup pasien. 6
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti
atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kaeuterisasi memakai AgNO3
25% atau triklor asetat 5

4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan
sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan
penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan
sublingual. 5
II.10 Komplikasi
Komplikasi rhinitis alergi yang sering adalah:5
1. Polip hidung
2. Otitis Media Akut
3. Sinusitis Paranasal

DAFTAR PUSTAKA
1

Suprihati,dr.,Sp.THT. Patofisiologi dan Prosedur Diagnosis Rhinitis Alergi. Bagian THT FK


Undip/RSUP Dr. Kariadi semarang: 1 -10.

Sarumpaet R.D. Kumpulan Karya Ilmiah. Bagian Ilmu kesehatan THT FK Undip/SMF
kesehatan THT RSUP Dr. Kariadi Semarang, 2001 ; 49 -54

Adams GL, Boyes LR, Higgler PH. Buku Ajar Penyakit THT ed.6 EGC, Jakarta, 1997 : 1967

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Harrisons Principles of


Internal Medicine. 17thedition. USA : McGraw-Hill Companies, 2008 : 2068 70

Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In : Soepardi EA, Iskandae N, Ed.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. 6 th ed. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 2007. p. 128-32.

Mucha SM, et al. Comparison of Montelukast and Pseudoephedrine in the Treatnement of


Allergic Rhinitis. 2006. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 22
September 2016

Anda mungkin juga menyukai