Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
Terdapat berbagai macam konsep pembangunan salah satunya konsep
pembangunan berbasis masyarakat. keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari
berbagai modal masyarakat (community capital) yang meliputi: human capital
(berupa kemampuan personal seperti pendidikan, pengetahuan, kesehatan, keahlian
dan lain-lain); Natural resources capital (berupa sumberdaya alam seperti,
sumberdaya hutan, sumberdaya air, perairan laut, mineral, dll); Produced economic
capital (berupa pengembangan asset ekonomi dan financial, serta asset lainnya; Sosial
capital (meliputi norma/nilai, trust, dan jaringan). Dalam berbagai program
pembangunan di Indonesia (sejak Orba reformasi) menunjukkan bahwa
pembangunan yang terkait dengan modal manusia, modal sumberdaya alam, dan
modal ekonomi produktif telah banyak digarap dan dikembangkan oleh pemerintah,
namun untuk modal sosial cenderung terabaikan dalam dalam konteks pembangunan
yang berbasis masyarakat (Hasbullah, 2006).
Kegagalan dan atau ketidakberhasilan pembangunan saat ini disebabkan
karena adanya kecenderungan pembangunan yang hanya mengejar pada pertumbuhan
ekonomi saja, dan mengabaikan sistem sosial masyarakat yang harusnya ditempatkan
baik sebagai obyek dan subyek pembangunan. Tidak terperhatikannya sistem sosial
masyarakat berimplikasi pada tidak dipahaminya dan termanfaatkannya modal sosial
masyarakat secara maksimal, dan akibat lebih jauhnya hasil pembangunan bersifat
semu dan tidak menyentuh substansi dari pembangunan itu sendiri.
Pentingnya peranan modal sosial juga dikemukakan oleh Mawardi (2007),
bahwa dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di banyak Negara termasuk di
Indonesia terlalu menekankan pentingnya peranan modal alam (natural capital) dan
modal ekonomi (economic capital) modern seperti barang-barang modal buatan

manusia, teknologi dan manajemen, dan sering mengabaikan pentingnya modal sosial
seperti kelembagaan lokal, kearifan lokal, norma-norma dan kebiasaan lokal.
Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai peranan modal
sosial dalam pemberdayaan masyarakat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. MODAL SOSIAL
Modal sosial adalah salah satu konsep baru yang digunakan untuk mengukur
kualitas hubungan dalam komunitas, organisasi, dan masyarakat. Menurut Putnam
modal sosial adalah complexly conceptualized as the network of associations,
activities, or relations that bind people together as a community via certain norms
and psychological capacities, notably trust, which are essential for civil society and
productive of future collective action or goods, in the manner of other forms of
capital(Putnam, 1993). Putnam (1993, 1996, 2000) menyatakan bahwa modal sosial
mengacu pada esensi dari organisasi sosial, seperti trust, norma dan jaringan sosial
yang memungkinkan pelaksanaan kegiatan lebih terkoordinasi, dan anggota
masyarakat dapat berpartisipasi dan bekerjasama secara efektif dan efisien dalam
mencapai tujuan bersama, dan mempengaruhi produktifitas secara individual maupun
berkelompok.
Sependapat dengan Putnam, Bourdieu (1988) menyatakan bahwa sosial
capital is the aggregate of the actual or potential resources which are linked to
possession of a durable network of more or less institutionalized relationships of
mutual acquaintance recognition or in other words, to a membership in a group
which provides each of its members with the backing of the collectivity owned
capital.
Fukuyama (1999) menambahkan norma-norma informal dapat mendorong
kerjasama antara dua atau beberapa orang. Norma-norma yang mengandung modal
sosial memiliki ruang lingkup yang cukup luas, mulai dari nilai-nilai resiprokal antara
teman, sampai dengan yang sangat kompleks dan mengandung nilai-nilai keagamaan.
Berdasarkan definisi tersebut, modal sosial dapat disimpulkan sebagai jaringan dan

nilai-nilai sosial yang dapat memfasilitasi individu dan komunitas untuk mencapai
tujuan bersama secara efektif dan efisien. Sebagai suatu istilah, beberapa ahli agak
keberatan untuk menggunakan istilah modal pada konsep modal sosial.
Alasannya, karena istilah modal lebih banyak digunakan untuk pengertian
ekonomis, yang menandai pertukaran sosial secara transaksional. Namun, bentuk
modal sosial tidak selalu melibatkan pertukaran materiil (Bourdieau, 1986; Kawachi
dan Berkman, 2005; Coleman, 1988).
Bourdieu menyatakan bahwa: The structure and distribution of the different
types and subtypes of capital at a given moment in time represents that immanent
structure of the sosial world, i.e., the set constraints, inscribed in the very reality of
the world, which govern its functioning in a durable way, determining the chances of
success for practices. Economic theory has allowed to be foisted upon it a definition
of the economy practices which is the historical invention of capitalism (1986:242)
Dengan kata lain, modal dapat digunakan untuk mendeskripsikan ketersediaan
sumberdaya, baik yang terukur maupun tidak terukur, baik yang konkret maupun
yang abstrak. Hal ini berarti bahwa modal sosial merupakan salahsatu jenis modal.
Seperti juga bentuk-bentuk modal lainnya, modal sosial bersifat produktif, yang
membuatnya memungkinkan untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya, suatu
kelompok yang memiliki kepercayaan yang sangat kuat di kalangan para anggotanya
akan dapat mencapai lebih banyak tujuan dibanding kelompok lain yang kurang
memiliki kepercayaan di antara para anggotanya.
Modal sosial diukur atas dasar (1) generalized trust, (2) norms, (3)
reciprocity, dan (4) networks (Bordeu, 1998). Generalized trust adalah inti dari modal
sosial. Generalized trust merupakan indikasi dari potensi kesiapan masyarakat untuk
bekerjasama satu sama lain. Kerjasama ini melampaui batasan kekeluargaan dan
pertemanan serta batasan persamaan (Rotshtein, 2003). Dalam arena sosial,
generalized trust mempermudah kehidupan dalam masyarakat yang beragam,
mendorong perilaku toleransi, dan menerima perbedaan. Sehingga hidup menjadi

lebih mudah, lebih bahagia, dan lebih nyaman dengan keberadaan generalized trust
dalam masyarakat yang heterogen (Uslaner, 2003). Pendapat Putnam, Rothstein dan
Stolle diperkuat dengan pendapat Uslaner yang menyatakan bahwa Trust in other
people is a key factor in many forms of participation. As trust in others falls, so does
participation in civic activities.
Norma-norma, kepercayaan antarpersonal, jejaring sosial, dan organisasi
sosial sebagai bentuk modal sosial sangatlah penting tidak hanya bagi masyarakat
tapi juga bagi pertumbuhan ekonomi (Coleman, 1988:S96). Sejumlah penelitian yang
dilakukan Ben Porath (1980), Oliver Williamson (1975, 1981), Baker (1983) dan
Granovetter (1985) (dalam Coleman) mendukung pernyataan Coleman tersebut,
bahwa keterkaitan antarorganisasi sosial akan mempengaruhi berfungsinya aktivitas
ekonomi.
Trust adalah komponen utama dalam modal sosial, trust memainkan peran
penting dalam segala bentuk kegiatan kewarganegaraan serta nilai-nilai moralitas
yang mengatur perilaku masyarakat. Dari hasil penelitian Helliwell (2002), Uslaner
(2002), Delhey dan Newton (2003) (dalam Rothstein and Uslaner, 2005) pada level
mikro, diketahui bahwa pada umumnya orang-orang mempercayai orang-orang
lainnya disekitar mereka, dan juga (i) memiliki penilaian yang cukup positif
mengenai lembaga-lembaga demokrasi dan pemerintahan, (ii) lebih berpartisipasi
dalam politik dan dan terlibat aktif pada lembaga-lembaga kemasyarakatan, (iii) lebih
banyak menyumbang untuk kegiatan sosial, (iv) lebih toleran kepada minoritas dan
orang-orang yang tidak menyukai mereka, (v) lebih optimistik dalam memandang
kehidupan, dan (vi) lebih bahagia dengan kehidupannya.
Dari hasil penelitian Putnam (1993), Zak dan Knack (2001), Rothstein dan
Stolle (2003) (dalam Rothstein and Uslaner, 2005) pada level meso, diketahui bahwa
orang-orang yang memiliki trust, juga memiliki pekerjaan yang lebih baik dalam
lembaga-lembaga politik dan pemerintahan, lebih sejahtera dan jarang melakukan
kejahatan dan korupsi. Halpern mencatat setidaknya ada sembilan cabang keilmuan

yang menggunakan konsep modal sosial dalam pengembangan keilmuannya,


diantaranya yaitu masalah keluarga dan perilaku remaja, sekolah dan pendidikan,
kehidupan komunitas, lingkungan kerja dan organisasi, demokrasi dan pemerintahan,
pembangunan ekonomi, kriminologi, dan kesehatan public (Halpem, 2006).
Dari hasil penelitian Putnam diketahui bahwa perkumpulan arisan tersebar
luas di Asia Tenggara. Arisan merupakan salah satu prediktor dari keberadaan trust
dalam suatu komunitas. Namun demikian, keberadaan trust dapat mengalami
keruntuhan yang disebabkan oleh kemiskinan (Banfield) rejim otoriter (Putnam;
Uslaner; Inglehart), korupsi (Rothstein and Stolle), ketidakadilan ekonomi dan
kesempatan (Rothstein and Uslaner). Woolcock (1998) mengajukan tiga dimensi dari
modal sosial, yaitu: bonding, bridging dan linking. Menurut Woolcock,
(1) Modal sosial yang bersifat mengikat (bonding sosial capital) merujuk pada
hubungan antarindividu yang berada dalam kelompok primer atau lingkungan
ketetanggaan yang saling berdekatan. Komunitas-komunitas yang menunjukkan
kohesi internal yang kuat akan lebih mudah dan lancar dalam berbagi pengetahuan.
(2) Modal sosial yang bersifat menjembatani (bridging sosial capital) adalah
hubungan yang terjalin di antara orang-orang yang berbeda, termasuk pula orangorang dari komunitas, budaya, atau latar belakang sosial-ekonomi yang berbeda.
Individu-individu dalam komunitas yang mencerminkan dimensi modal sosial yang
bersifat menjembatani akan mudah mengumpulkan informasi dan pengetahuan dari
lingkungan luar komunitasnya dan tetap memperoleh informasi yang aktual dari luar
kelompoknya. Tipe modal sosial ini menunjuk pada hubungan antar individu yang
memiliki kekuasaan atau akses pada bisnis dan hubungan sosial melalui kelompokkelompok sekunder.
(3) Modal sosial yang bersifat mengaitkan (linking sosial capital) memungkinkan
individu-individu untuk menggali dan mengelola sumbersumberdaya, ide, informasi,
dan pengetahuan dalam suatu komunitas atau kelompok pada level pembentukan dan
partisipasi dalam organisasi formal.

B. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pemberdayaan berasal dari bahasa lnggris, empowerment. Power dapat
diartikan sebagai kekuasaan (seperti dalam executive power), atau kekuatan (seperti
pushing power), atau daya (seperti horse power). Dengan pemahaman mengenai
hakekat power seperti itu, bahwa untuk memajukan secara nyata mereka yang
tertinggal, yang berada di lapisan yang paling bawah dalam suatu kondisi
ketimpangan, adalah dengan membangkitkan keberdayaan mereka, sehingga
memiliki bagian dari power, yang memungkinkan memperbaiki kehidupannya di atas
kekuatannya sendiri. lnilah konsep empowerment atau pemberdayaan. Kata power
dalam empowerment diartikan "daya" sehingga empowerment diartikan sebagai
pemberdayaan. Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam, tetapi dapat
diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar. Pemberdayaan
bertujuan dua arah. Pertama, melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan.
Kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Kedua
duanya

harus ditempuh, dan menjadi sasaran dari upaya pemberdayaan

(Kartasasmita, 1996).
Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin
tergantung pada program-program pemberian (charity). Karena pada dasarnya setiap
apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat
dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah
memandirikan masyarakat dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke
arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung. Oleh karena pemberdayaan
menyangkut perubahan bukan hanya kemampuan, melainkan juga sikap, maka
pemberdayaan adalah sebuah konsep kebudayaan. Menurut pandangan itu maka
pemberdayaan masyarakat tidak hanya akan menghasilkan emansipasi ekonomi dan
politik masyarakat di lapisan bawah, tetapi juga akan menjadi wahana transformasi
budaya. Melalui pemberdayaan, masyarakat akan memiliki keyakinan yang lebih

besar akan kemampuan dirinya. Ia tidak lagi harus menyerah kepada nasib, bahwa
kemiskinan adalah bukan takdir yang tidak dapat diatasi. Menanamkan nilai-nilai
budaya

modern

seperti

kerja

keras,

hemat,

disiplin,

keterbukaan,

dan

kebertanggungjawaban adalah bagian pokok upaya pemberdayaan ini. Pemberdayaan


masyarakat membuka pintu pada proses akulturasi, yaitu perpaduan nilai-nilai baru
dengan nilai-nilai lama yang menggambarkan jati diri. Nilai lama yang relevan dapat
tetap dipertahankan, karena diyakini tidak perlu mengganggu proses modernisasi
yang berlangsung dalam dirinya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan
individu warga masyarakat, melainkan juga pranata-pranatanya. Demikian pula
pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan
pembangunan serta peran masyarakat di dalamnya. Melalui proses budaya itu pula
keberdayaan masyarakat akan diperkuat dan diperkaya, dan dengan demikian akan
makin kuat pula aksesnya kepada sumber power. Melaui proses spiral itu, maka akan
tercipta masyarakat yang berkeadilan, karena konstelasi kekuasaan sudah dibangun di
atas landasan pemerataan (Kartasasmita, 1996).
Nauman et al ( 2009), dalam tulisannya mengutip beberapa pemahaman
tentang empowerment dari beberapa penulis sebelumnya. Pemberdayaan seringkali
didefinisikan sebagai aksi memberi orang-orang kesempatan untuk membuat
keputusan-keputusan di tempat kerja dengan memperluas otonomi pengambilan
keputusan mereka. Nielsen dan Christian (2003) menjelaskan bahwa empowerment
mungkin memasukkan penyebaran informasi, memberikan pengetahuan dan
mengganjar kinerja seluruh elemen-elemen yang dibutuhkan bagi semuanya: jika
pegawai dibijaksanai untuk bertindak secara tepat pada pertemuan layanan mereka
maka manajemen sangat penting memberi mereka keahlian, informasi dan ganjaran
yang dibutuhkan.

BAB III
KESIMPULAN
Dalam upaya membangun masyarakat

yang kompetitif dan memiliki

ketangguhan dalam menghadapi segala tantangan kehidupan, peranan modal sosial


menjadi sangat penting. Banyak kontribusi modal sosial untuk menuju kesuksesan
suatu masyarakat. Bahkan dalam era informasi yang ditandai semakin berkurangnya
kontak berhadapan muka (face to face relationship), modal sosial sebagai bagian dari
modal maya (virtual capital) akan semakin menonjol peranannya. Seperti telah
diungkapkan pada bagian pendahuluan, dimana dalam berbagai pengalaman
pembangunan, aspek modal sosial cenderung terabaikan dan tidak disentuh, sehingga
berakibat pada tidak dipahaminya dan tidak termanfaatkannya modal sosial
masyarakat terkait.
Modal sosial juga menambahkan elemen-elemen subyektif, proses budaya
seperti kepercayaan dan norma dari timbal balik yang memfasilitasi aksi sosial.
Perbedaan ini menunjukkan hubungan timbal balik di antara modal sosial, organisasi
sosial masyarakat, dan jaringan sosial. Jaringan sosial dan organisasi sosial
masyarakat memberikan sumber daya yang dapat digunakan untuk memfasilitasi aksi.
Modal sosial pada gilirannya menghasilkan sumber daya lebih lanjut yang
memberikan kontribusi kepada organisasi sosial masyarakat dan sumber daya
jaringan sosial. Dalam hal ini aspek subyektif dari modal sosial ditekankan, yaitu
norma dan kepercayaan (Voydanoff 2001).

DAFTAR PUSTAKA
Aldridge, Stephen & David Halpern. 2002. Sosial Capital: A Discussion Paper.
Download dari http://www.bepress.com/cgi?article.
Bhatta, Gambhir. 1996. Capacity Building at the Local Level for Effective
Governance : Empowerment without Capacity Meaningless. Makalah. Manila.
Bourdieu, Pierre. The Forms of Capital dalam John G. Richardson. 1986.
Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. New York :
Greenwood Press.
Coleman, James. 1990. Foundation of Sosial Theory. Cambridge : Harvard
University Press.
Hasbullah, Jousairi. 2006. Sosial Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia
Indonesia). Jakarta: MR-United Press.
Munir, Badrul. 2002. Perencanaan Pembangunan Daerah dalam Perspektif Otonomi
Daerah. Bappeda Propinsi NTB dan GTZ Jerman.
Narayan, Deepa dan Michael F. Cassidy. 2001. A Dimensional Approach to
Measuring Sosial Capital: Development and Validation of a Sosial Capital
Inventory. Dalam Current Sociology, Vol 49 (2), Maret.
Pratikno, dkk. 2001. Penyusunan Konsep Perumusan Pengembangan Kebijakan
Pelestarian Nilai-nilai Kemasyarakatan (Sosial Capital) untuk Integrasi Sosial.
Laporan Akhir Penelitian. FISIPOL UGM bekerja sama dengan Kantor Eks
Menteri Negara Masalah-masalah Kemasyarakatan.
Putnam, Robert Tuning In, Tuning Out : The Strange Disappearance of Sosial
Capital in America. Political Studies Vol. 4 No. 28.
_____. 1993. The Prosperous Community-Sosial Capital and Public Life, American
Prospect.
Voydanoff, Patricia. 2001. Conceptualizing community in the context of work and
family. Community, Work and Family 4 (2): 133-156.

Anda mungkin juga menyukai