Anda di halaman 1dari 5

Umi Ayyash

December 28, 2014 at 5:42pm Edited

#KelasMenulisCerpen [Perihal sebuah luka]

Juni
Oleh: Umi Ayyash
Dia bukan siapa-siapa.
Dia bukan siapa-siapa.
Dia bukan siapa-siapa.
Aku mengucapkan kalimat itu berulang-ulang, berusaha mensugesti diri,
menghujamkannya sampai hati. Sebuah ranting panjang hasil menyakiti pohon mungil di
halaman sekolah tadi sudah lelah mencium tanah, ujungnya pecah, membuat floem dan
xilemnya hilang bentuk, remuk.
Kenapa dia kembali, bertambah 'care', melentingkanku tinggi dalam mimpi, lalu tak peduli.
Terasa otak dan hati ini berkecamuk, bergemuruh riuh. Kenapa? Jutaan tanya meliuk-liuk
sepanjang neuron di kepala. Tapi, perjalanan berakhir. Jarak rumah-sekolah lima menit
berjalan kaki itu membuat sadar bahwa tubuh ini sudah berada di depan pintu. Aku
menekan bel, menunggu sebentar dan mendapati ibu menyunggingkan senyum khasnya
yang menyejukkan.
Sudah pulang? Sambut beliau.
Aku mengangguk, berjalan masuk lebih dulu. Berusaha menyembunyikan muka keruntang
pungkang ini, yang 'sekiranya ibu melihat' pasti membuatnya khawatir.
***
Dari Admirer-mu, Ima? Suara Lisa menyelidik.
Ia tak suka apapun yang menghubungkanku dengan makhluk bernama laki-laki, dan
menikmati persahabatan kami karena dia tahu, Ima kecil ini tak akan pernah bisa
menyaingi kepiawaiannya menaklukkan pria. Di meja, kotak terlilit pita ungu itu sudah tak
berbentuk, pitanya hampir jatuh ke lantai, menjuntai. Isinya, sebuah buku kecil bertuliskan
'diari' yang norak! Iya, Norak! hanya satu kata itu saja yang cocok untuk menyebutnya. Tak
ada lagi perbendaharaan kata yang mampu kukorek dari otak.
Ah, aku... sebentuk makhluk bernyawa yang belum pernah menyukai manusia selain ibu,
guru, dan teman-teman. Belum mampu mendeteksi gelombang apapun yang berkaitan

tentang makhluk hidup berlabel beda jenis, yang akan menjadi manusia paling bodoh
sedunia ketika Lisa, Dian dan teman-teman sekelas menceritakan kisah malam minggu
mereka.
Aku menggeleng lemah, "Tak tahulah."
Lisa cemburu. Dia hanya tak enak hati mengatakan langsung empat mata kali ini.
Mengingat ketenarannya di sekolah yang hampir setiap hari menerima puisi, baik di Mading
atau di laci. Membacanya dengan debar hati. Tapi lembaran puisi bukan diari, yang bisa
kau tulisi sesuka hati, lalu menebak-nebak siapa manusia baik hati yang mengirimi.
Lisa menimbang-nimbang sebentar, mengamati satu-satunya tulisan yang menyertai kotak
itu. Sebuah kertas kecil dengan tulisan times new roman yang jelas.
Untuk : Ima
kuharap kau menyukainya. smile emoticon
Aku 'nggak' suka diari itu, ucap Lisa pelan
Yang untukku terdengar seperti, 'aku tidak suka kau mendapatkannya!' Pedas. Menohok
pankreas. Meski dia teman duduk satu setengah tahun belakangan, itulah terakhir kali kami
berbicara hari ini. Saat istirahat tiba, ia bahkan bergabung dengan Dian tanpa sepatah kata
pun untukku.
***
Kau suka hadiahnya? Manusia itu tiba-tiba duduk disampingku.
Mukanya tak asing. Tapi siapa?
Eh, lupa. Boleh ikut duduk? Senyumnya menunjukkan deretan giginya yang tak rata,
meski tetap kelihatan manis. Mengingatkan pada seseorang. Pagi ini aku memberi buku di
lacimu. Sudah dibuka?.
Dug. 'Jadi dia biang keroknya? Yang membuat heboh semua manusia di kelas dengan
mengirimkan diari warna ungu norak itu? Yang menghancurkan nilai matematikaku karena
pikiran dan hati melayang entah kemana? Membuat si penerima menjadi sumber lelucon
seisi kelas. Oh, oh bagus sekali! Kenapa tidak cari tempat duduk lain saja? Masih banyak
kursi kosong di kantin ini!' Teriakku dalam hati. Saat ini bahkan Lisa saja tidak mau
menemaniku ke kantin.
Huh. huh. Aku mendengus, membuat manusia di samping kiri itu tersenyum. 'Betapa muak
melihatnya!'
Kau benar-benar tidak ingat siapa aku?

Aku diam. Siapa peduli? Mengganggu kehidupan tenang seseorang bukanlah tipe orang
yang pantas didekati, apalagi berteman dengan mereka. Salah-salah beberapa bulan
kemudian sumpah serapah akan dituai balik, hasil mencari masalah di hidup orang lain.
Tak penting sekali. Lamun seketika terhenti, entah sejak kapan manusia itu menyodorkan
sebuah foto, tepat dibawah hidung, membuat mulut ini ternganga. Aku sangat ingat foto ini,
kapan di ambil dan mengapa. Sebuah kenangan masa lalu yang terlupakan, atau terlalu
menyakitkan hingga akhirnya memilih 'tuk' dilupakan?
Kini dengan sedikit keberanian atau malah gerak refleks, kepala mengalih pandang ke kiri,
diikuti ekor mata berbulu tak lentik segera. Mengamati wajahnya dalam-dalam. Mencoba
mencari apapun yang mampu membuatnya terlihat mirip dengan manusia dalam foto itu. Ia
sudah berubah, dari seorang anak kecil kurus dengan senyum canggung, menjadi manusia
di depanku yang... yang... 'Oh, why he looking so cool?'
Kau berubah! Suara lirih itu keluar, sementara mata nanar menekuri meja. Tak ada
kalimat lain yang mampu terucapkan. Seperti semua kata hasil belajar sepuluh tahun lebih
menguap seketika, pergi jauh ke angkasa.
Kau juga berubah, ucapnya. Aku merasa dia melihatku sekilas, Dan asal kau tahu, aku
belum berubah. Mungkin... kita masih tetap bisa seperti dulu. Mungkin kita masih bisa
bersama, pandangannya menerawang jauh. Aku tahu, kau pasti tidak melihat
pertandingan basket pertama sekolah kita. Suaranya mencoba mengubah suasana.
Tampak lebih riang, Namaku banyak disebut hari itu lanjutnya seraya tersenyum.
Aku mendengar petir menyambar dan melihat ombak tinggi bergulung-gulung bagai
tsunami. Mati.
***
Kami sedang menikmati debur ombak pantai bulan Juni. Liburan sekolah. Keluargaku dan
keluarga Angga merencanakan liburan kali ini jauh sebelum kami menerima rapor dan
ijazah SD minggu lalu. Kami berdua sangat dekat. Aku sangat menyukainya meski dia
selalu bilang hanya menyayangi. Keluarga kami juga tidak melarang persahabatan ini, kami
teman sekelas dan juga tetangga yang menyenangkan.
Papa, Papa... aku mau foto bareng Ima. Angga menyeret tangan ayahnya. Membuatku
tertawa.
Cuma Ima? Tante juga mau ikut foto, seloroh ibu. Beliau duduk disamping ayah yang
hanya tersenyum menanggapinya.
Aku dan Ima pengen punya foto sendiri, apalagi nanti kita masuk sekolah berbeda, tubuh
tirusnya dan senyumnya yang menghiba itu meluluhkan hati Om Tian, nama panggilan
ayah Angga.
Ia memelukku, tangan kecilnya erat mencengkeram pundak. Terasa sakit. pada hitungan
ketiga kami tersenyum. Foto hasil jepretan di cetak dua, Angga dan aku memiliki satu. Dua

wajah kecil yang mencoba tersenyum satu sama lain itu terabadikan. Hanya Angga
tersenyum lebih lebar ke arahku.
Kita saling menyayangi dan tak akan pernah berpisah.
Kalimat itu tersemat di belakang kertas foto tersebut.
***
Kami dekat.
Aku akan menemaninya di gerbang sekolah sampai dia mendapatkan angkot untuk pulang,
lalu menyusuri tepian kendaraan ke rumah yang hanya lima menit jalan kaki. Angga akan
melambaikan tangan begitu angkot mulai bergerak. Kami juga sering keluar bersama,
sekedar makan bakso atau sate di kafe-kafe dadakan sore hari. Aku akan menjadi orang di
deretan paling pertama saat dia bertanding basket. Menemaninya saat istirahat dan dia
akan dengan senang hati menemani ke toko buku.
Hidup itu indah. Seperti kau menemui semua bagian kota menjadi taman bunga. Wanginya
tersebar dan menyegarkan. Angin sepoi-sepoi yang berhembus tak merusak, tetapi
membawa damai. Sampai suatu hari, pada minggu kedua bulan Juni. Saat aku berada di
toko buku, tak sengaja melihat Angga di sana.
Aku mendekatinya, tersenyum sambil menyapa renyah, Hai!
Angga belum menjawab saat seorang perempuan cantik itu muncul dari belakang rak buku.
'Honey, lets go!' Aku 'nggak nemu' bukunya.
Oh, inikah cemburu itu? Seperti sebuah palu berbobot dua puluh lima kilo menghantam
dada. Sakit. Tiba-tiba dunia menyempit, mulut ingin menjerit tapi tak mampu berteriak.
Masih sempat terlihat samar-samar Angga dan perempuan itu pergi, menyaksikan
bagaimana mereka berjalan dan perempuan itu memeluk Angga erat. Sementara dunia
yang kutempati menciut disini. Aku hancur. Hancur.
Malam harinya sebuah pesan masuk.
Dia pacarku, maaf karena tidak pernah kukenalkan sebelumnya.
Dan bumi menguburku hidup-hidup.
***
Pada akhir Juni, saat semua kertas ujian akhir semester dibagikan aku melihat hasilnya.
Menyadari sepenuhnya apa yang dia curi. Tak ada nilai-nilai berjumlah sembilan atau
mendekatinya, jauh dari semester sebelumnya. Hasil menangis berhari-hari yang

menyesakkan. Aku menerima kekalahan, dan memutuskan tak ada Angga lagi. Tak ada
laki-laki lagi.
Karena....
Dia bukan siapa-siapa.
Dia bukan siapa-siapa.
Dia bukan siapa-siapa.
Aku mengucapkan kalimat itu berulang-ulang, berusaha mensugesti diri,
menghunjamkannya sampai hati. Sebuah ranting panjang hasil menyakiti pohon mungil di
halaman sekolah tadi sudah lelah mencium tanah, ujungnya pecah, membuat floem dan
xilemnya hilang bentuk, remuk.
Kenapa dia kembali, bertambah 'care', melentingkanku tinggi dalam mimpi, lalu tak peduli.
Terasa otak dan hati ini berkecamuk, bergemuruh riuh. Kenapa? Jutaan tanya meliuk-liuk
sepanjang neuron di kepala. Tapi, perjalanan berakhir. Jarak rumah-sekolah lima menit
berjalan kaki itu membuat sadar bahwa tubuh ini sudah berada di depan pintu. Aku
menekan bel, menunggu sebentar dan mendapati ibu menyunggingkan senyum khasnya
yang menyejukkan.
Sudah pulang? Sambut beliau.
Aku mengangguk, berjalan masuk lebih dulu. Berusaha menyembunyikan muka keruntang
pungkang ini, yang 'sekiranya ibu melihat' pasti membuatnya khawatir.
Aku tidak menduduki peringkat lima besar lagi, Bu, dan dia jahat. Sangat jahat. Segera
tumpah air mata yang serasa kering ini di atas bantal, berusaha mengurai simpul-simpul
yang terajut bersama Angga.
Dia tak ada.
Tak pernah Ada!
Belo Horizonte, 28.12.14

https://www.facebook.com/groups/KomunitasBisaMenulis/839900546071838/

Anda mungkin juga menyukai