Ariinta Deraya Ratulangi Program Studi Sistem Informasi Fakultas Ilmu Komputer Universitas Narotama Surabaya, Indonesia ariintaderaya@gmail.com
AbstraksiGaram merupakan salah satu komoditi pertanian
strategis di Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang cukup banyak dan termasuk negara kepulauan merupakan salah satu indikator besarnya potensi produksi garam. Namun sayangnya industri garam banyak mengalami kontroversi di bidang produksi, distribusi, penawaran dan permintaan. Problematika ini harus segera diselesaikan. Salah satu caranya adalah melalui pemanfaatan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) pada industri garam di Indonesia.
I.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia
dengan jumlah pulau 13.466, luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km2 (Indonesia Finance). Jumlah penduduk Indonesia saat ini Jumlah penduduk Indonesia saat ini tercatat 251.857.940 juta jiwa (KPU). Potensi alamiah Indonesia antara lain memiliki 104 ribu kilometer garis pantai dan 5,8 juta kilometer persegi laut. Selain itu, iklim tropis dengan musim kemarau efektif rata-rata 5-6 bulan. Termasuk Tekstur dan kontur tanah di sejumlah wilayah dapat didayagunakan sebagai tambak garam. Hal ini menunjukkan betapa besarnya potensi Indonesia untuk produksi garam dan potensi pasar garam. Oleh karena itu garam adalah komoditi strategis nasional baik dari produksi dan pasar di Indonesia. Dewasa ini Indonesia memiliki 11 wilayah sentra produksi garam, yaitu Pati, Rembang, Demak (Jateng), Indramayu dan Cirebon (Jabar), Sampang, Pamekasan, Pasuruan (Jatim), Jeneponto (Sulsel), Bima (NTB), Kupang (NTT). Total produksi garam nasional dari ke-11 propinsi sentra produksi garam tersebut pada tahun 2000 mencapai 902.752 ton. 750.000 ton diantaranya merupakan kebutuhan garam untuk konsumsi/ritel, selebihnya digunakan untuk industri. Tahun 2013, kebutuhan garam nasional mencapai 2,79 juta ton. Indonesia hanya mampu memenuhi 1,03 juta ton. Sisanya masih harus dipenuhi dari impor. Sebagai gambaran Kabupaten Sampang di Madura sebagai penghasil garam terbesar di Indonesia tahun 2013 bisa memanen 0 10% dari total lahan garam 4.246 hektar (ha). Dalam keadaan kondisi normal bisa dihasilkan 230 ribu ton per tahun atau 23 persen dari produksi garam nasional sebesar 1,03 juta ton/tahun (Khairuddin, 2013).
Lahan garam memang besar di Indonesia, khususnya Jawa
Timur tetapi masih saja Indonesia mengimpor garam dari luar negeri. Penyebab terjadinya hal ini dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) ruang lingkup, yaitu di bidang produksi, distribusi, dan permintaan-penawaran (demand-supply). Semuanya akan dibahas dengan rinci di bawah ini. Namun sebelumnya, kita perlu tahu sejarah garam di Indonesia terlebih dahulu. A. Sejarah Garam di Indonesia Berdasarkan sejarah, garam adalah komoditas strategis di Indonesia. Garam (wuyah) merupakan salah satu komoditas makanan dan bumbu-bumbuan yang dibawa para pedagang yang lebih profesional serta memiliki jangkauan yang lebih luas di Jawa (Rahardjo 2002:331; Nastiti 1995:88-89 dalam Sunjayadi, 2007). Hal ini dapat ditemukan dalam prasasti abad IX-XV Masehi, dimana garam merupakan salah satu komoditi yang diangkut oleh transportasi air (Prihatmoko, 2011). Dalam hal ini garam yang diperoleh dengan cara kuno erat kaitannya dengan proses pengawetan ikan (ikan asin) pada masa itu (Sunjayadi, 2007). Dilihat dari sejarah, produksi garam di Indonesia sebelum dikembangkannya pembuatan garam secara modern oleh Pemerintah Kolonial pada abad ke-19, hampir seluruhnya dikuasai orang Tionghoa. Pemerintah Kolonial lalu mengambil alih tambak-tambak garam besar yang terdapat di sekitar Gresik dan Sumenep (Madura) di Jawa Timur (Sunjayadi, 2007). Sebagai bukti garam bernilai ekonomi dan politik dalam sejarah, tahun 1813, Raffles menyelenggarakan monopoli garam di seluruh daerah kekuasaannya, baik produksi maupun distribusi. Namun, karena kaum buruh garam, terutama di pantai utara Jawa seperti di Banten, Karawang, Cirebon dan Semarang berhasil mensiasati peraturan monopoli itu, maka pada tahun 1870 akhirnya pengusahaan garam dibatasi dengan sewenang-wenang pada Pulau Madura saja. Dengan alasan lebih mudah diawasi. Kemudian pada awalnya pemerintah kolonial hanya membeli garam dari pembuat-pembuatnya dengan harga tetap, lalu mereka membuka perusahaan pada tahun 1918 dan pada akhirnya pada tahun 1936 mengambil alih seluruh produksinya. Sistem yang dipakai masih berlangsung hingga sekarang. Para buruh membawa garam ke gudang. Lalu garam itu dibersihkan dan dibentuk briket sebelum didistribusikan. Garam itu berasal dari tambak garam yang luasnya kini kira-kira 6000 ha, terletak di berbagai tempat di pantai selatan, terutama di sebelah timur daerah Sumenep, 600
ha terletak di pantai Jawa, di sekitar Gresik. Sementara itu
produksi tahunan dari waktu ke waktu berubah banyak, ratarata ditaksir sebesar 50 ton per ha, kira-kira secara keseluruhan sebanyak 300.000 ton. Perusahaan itu mempekerjakan 5000 buruh tetap dan 15.000 buruh musiman (Lombard II 2000:98 dalam Sunjayadi, 2007). Monopoli pemerintah kolonial tidak hanya di Jawa dan Madura, monopoli meluas ke beberapa distrik di Sumatra dan hampir seluruh Borneo (Kalimantan). Sementara itu di barat daya Sulawesi pembuatan garam masih berada di tangan pihak swasta (Handbook of the Netherlands Indies 1930:121 dalam Sunjayadi, 2007). Pada jaman Jepang ketika produksi garam di Pulau Jawa berhenti, penduduk Sumatra ramai-ramai merebus air laut untuk mendapatkan garam. Pada 1957 monopoli garam dihapus. Garam negara pun berubah menjadi perusahaan negara pada 1960 (Cribb 2004: 382 dalam Sunjayadi, 2007). B. Manfaat Garam Garam memiliki banyak manfaat. Berbagai sifat kimia dan fisik garam memungkinkan 14.000 kegunaan yang dikenal saat ini. Jadi garam adalah mineral berharga yang telah menyulut peperangan dan revolusi perjuangan untuk mendapatkan akses terhadap garam. Penggunaan terbesar adalah sebagian besar tidak terlihat untuk masyarakat awam, yaitu sekitar 40% garam di seluruh dunia digunakan sebagai bahan baku perusahaan kimia yang berubah menjadi klorin dan soda abu, serta dasardasar kimia anorganik. Garam adalah bantuan pengolahan dalam industri tak terhitung dan sarana yang ahli gizi hewan menjamin kesehatan dan produktivitas ternak dan unggas. Kita semua terbiasa dengan garam meja di sebagian besar rumah kita. Kita jarang berpikir tentang garam yang bermanfaat untuk regenerasi pelunak air yang digunakan untuk melindungi pipa dan peralatan di rumah kita. Dan secara musiman, khususnya musim dingin di negara empat musim, digunakan untuk pemeliharaan jalan yang berlaku untuk menjaga mobil, truk, dan bus sekolah sehingga aman di jalan ketika musim dingin bersalju (Salt Institute). Garam beryodium juga menjadi konsentrasi pemerintah sejak era 1990-an. Yodium yang ditambahkan pada garam dapat berguna bagi manusia untuk mencegah penyakit gondok, menghindari keguguran dalam proses kehamilan, meningkatkan IQ (Intelligence Quotient), dan mencegah kekerdilan. Standar dunia untuk pemberian garam adalah 30-80 ppm (pipe per miligram) atau bisa dikatakan 1 kg yodium seyogyanya digunakan untuk 20 ton garam. Yodium yang dicampurkan ke dalam garam tidak berbau. Jadi untuk memeriksa ada atau tidaknya kadar yodium dalam garam harus dilakukan uji laboratorium. Program penggunaan garam beryodium mendukung program wajib belajar 9 tahun di Indonesia. Garam beryodium diharapkan dapat meningkatkan kecerdasan generasi penerus bangsa.
II.
PERMASALAHAN GARAM DI INDONESIA
Seperti dikemukakan di atas, permasalahan garam di
Indonesia menjadi suatu polemik yang berkepanjangan. Luas lahan garam dan jumlah penduduk yang besar tidak menjadi
jaminan keberhasilan industri garam di Indonesia. Hal ini
menyebabkan Indonesia masih harus mengimpor garam dari Australia dan India. Kebijakan impor garam ini otomatis menuai banyak kontroversi. Problematika garam ini dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) bidang utama yaitu permasalahan dalam proses produksi, distribusi yang kompleks, serta hukum permintaan-penawaran (demand-supply) yang tidak seimbang. A. Permasalahan dalam Proses Produksi Problematika produksi dititikberatkan pada kebergantungan produksi garam nasional pada iklim. Teknologi yang digunakan masih sangat tergantung pada faktor cuaca dengan iklim kemarau yang relatif pendek. Produksi garam merupakan bidang usaha padat karya dengan daya tampung tenaga yang cukup besar, lokasi pegaraman mempunyai skala yang bervariasi, kondisi produsen yang ada umumnya adalah petani garam secara sosial ekonomi tergolong lemah serta belum lagi dari struktur kepemilikan lahan dengan petani pemilik tanah dan petani penggarap dengan sistem pembagian yang belum adil bagi penggarap; adanya keterbatasan modal kerja sehingga petani terperangkap dalam sistem ijon; dan rendahnya harga garam petani menyebabkan sebagian lahan pegaraman rakyat telah beralih fungsi dan hal ini menyebabkan produksi garam semakin menurutn (Lintang, 2013). Para petani garam di Indonesia juga belum memiliki kemampuan (skill) mengelola garam yang baik dan sesuai standar internasional. Sebagai contoh, di Madura yang terkenal dengan sebutan pulau garam, masih banyak didapati petani yang memproduksi garam krosok. Garam jenis ini merupakan garam dengan kualitas sangat rendah karena proses produksinya dilakukan secara cepat demi mengejar kuantitas. Kadar air yang terkandung dalam garam krosok dapat mencapai 15%, padahal seharusnya hanya maksimal 2%. Hal ini mengakibatkan, garam tersebut mudah mencair dan rusak sebelum waktunya. Garam krosok juga tidak mengandung yodium dan sangat kotor karena pembuatannya tidak pada tempat yang layakdan belum melewati uji laboratorium sehingga berbahaya apabila dikonsumsi manusia. Lahan garam juga semakin berkurang dari tahun ke tahun. Kawasan Margomulyo di Surabaya, Jawa Timur dulunya adalah lahan garam produktif. Namun sekarang, kawasan tersebut sudah beralih fungsi menjadi sentra industri. Banyak pabrik dan gudang-gudang besar dibangun dan tidak ada peran pemerintah untuk mengembalikan potensi garam yang ada di sana. Pulau Madura juga tidak dapat dimanfaatkan dengan maksimal karena lahan garam yang ada di sana juga sudah berubah menjadi perumahan dan pertokoan yang dalam proses pembangunannya tidak memenuhi persyaratan analisis mengenai dampak lingkungan. Kondisi produsen yang ada umumnya adalah petani garam secara sosial ekonomi tergolong lemah serta belum lagi dari struktur kepemilikan lahan dimana antara petani pemilik tanah dan petani penggarap berlaku sistem pembagian yang belum adil bagi penggarap. Selain itu adanya keterbatasan modal kerja membuat petani terperangkap dalam sistem ijon; dan rendahnya harga garam petani menyebabkan sebagian lahan
pegaraman rakyat telah beralih fungsi dan hal ini menyebabkan
produksi garam semakin menurun (Lintang, 2013). B. Permasalahan dalam Proses Distribusi Menurut Assauri (1996: 212) distribusi merupakan kegiatan penyampaian produk sampai ketangan si pemakai atau konsumen pada waktu yang tepat. Menurut Gitosudarmo (2001:216) disribusi adalah penyebaran atau menyalurkan barang-barang atau jasa-jasa kepada konsumen (dibeli oleh konsumen). Sedangkan, saluran distribusi sering diartikan arus penyaluran barang-barang yang diproduksi oleh produsen kepada konsumen. Saluran distribusi terdiri dari 4 tingkatan, yakni:
Saluran distribusi non tingkat, yaitu
didistribusikan langsung dari produsen konsumen, tanpa perantara.
Saluran distribusi satu tingkat adalah saluran dimana
barang disalurkan terlebih dahulu kepada pengecer lalu ke konsumen akhir
barang kepada
Saluran distribusi dua tingkat, dimana barang
disalurkan melalui grosir, pengecer lalu ke konsumen akhir.
Saluran distribusi tiga tingkat, yaitu barang disalurkan
melalui panjang tingkatan saluran distribusi pemasaran makin mahal harga barang tersebut ke konsumen akhir (pembeli).
Berkaitan dengan teori yang dipaparkan di atas, masih
banyak saluran distribusi garam di Indonesia yang harus diperbaiki. Pertama, infrastruktur dari tempat produsen garam ke konsumen di beberapa daerah masih belum memadai. Sebagai contoh, di Madura jarak tempuh dari laut atau lumbung garam ke kota sangat jauh dan belum tersedia jalan aspal. Jalan yang ada masih sangat buruk dan tidak terawat. Para petani garam terpaksa berjalan kaki sambil memanggul berkarung-karung garam dari lumbung menuju kota. Di beberapa kesempatan, para petani garam menggunakan sepeda kayuh untuk mengangkut garam. Kedua, petani garam terpaksa sering menumpuk atau menyimpan hasil produksi garam mereka karena kapasitas angkut dari lumbung ke kota sangat kecil sehingga mereka memerlukan waktu distribusi yang cukup lama untuk membawa garam dimaksud. Akibat lamanya waktu penyimpanan, kuantitas dan kualitas garam menjadi berkurang. Seiring dengan hal tersebut, harga jual dan pendapatan mereka juga otomatis menurun. Ketiga, saluran distribusi lewat keran impor garam dari luar negeri lebih mudah bila dibandingkan saluran distribusi garam di Indonesia. Biaya transportasi dan total waktu distribusi garam asing jauh lebih efisien. Hal ini disebabkan canggihnya teknologi mesin maupun kemasan (packaging) yang dimiliki asing. Salah satu produsen garam di Indonesia, yang bernama PT Garam, pernah melakukan investasi pembelian mesin pengolahan garam dari Jerman dengan harga yang cukup fantastis. Pada masa awal pemakaian, para buruh garam diedukasi oleh 1 (satu) orang instruktur mesin tersebut
yang juga berasal dari Jerman. Namun sayangnya, pemakaian
mesin ini hanya bertahan sampai 1 (satu) tahun saja karena tidak ada sumber daya manusia di PT Garam yang mampu mengoperasikan dan memperbaiki mesin tersebut. Keempat, pemerintah tidak pernah konsentrasi dalam menggarap pasar garam di Indonesia. Akibatnya, tidak ada peraturan yang jelas mengenai saluran distribusi garam dari produsen ke konsumen. Para petani garam dan konsumen jadi sangat dirugikan. C. Permasalahan dalam Hal Permintaan-Penawaran Dari sisi penawaran, pada saat-saat tertentu terdapat kelebihan supply atau kekurangan supply, produksi musiman, barang monopolitis atau tidak ada substitusi, penawaran dalam bentuk curah dan olahan, serta asal produksi. Dari sisi permintaan, terdapat problematika yaitu permintaan yang bersifat berkelanjutan, terus meningkat, in-elastis, serta permintaan yang tersebar dan tidak merata. Selain itu pada saat produksi melimpah, penawaran dihadapkan pada posisi yang lemah, dan sebaliknya sehingga terjadi fluktuasi harga pada setiap tahunnya. Dalam kelangkaan supply garam yang diakibatkan merosotnya produksi garam dalam negeri (akibat iklim) maka pemerintah melakukan kebijakan importasi garam. Pelaksanaan impor garam ini dilakukan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan garam dalam negeri namun dari tata niaga garam yang ada saat ini masih perlu dilakukan penyempurnaaan. Salah satu pemain besar dalam industri garam di Indonesia yang bernama PT Susanti Megah menginformasikan bahwa Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan garam dalam negeri karena belum ada supply yang cukup dari sisi produsen. Pabrik pengolahan garam yang merilis garam dengan merk Kapal ini sendiri masih mengimpor garam dari Australia dengan alasan kualitas yang sangat prima. Garam yang dihasilkan di Madura kurang baik mutunya dan tidak dapat langsung dikonsumsi manusia. Petani garam di Madura hanya mengolah air laut menjadi garam kasar (garam krosok), belum menjadi garam halus beryodium yang memenuhi standar dan layak dimakan manusia. India juga mengekspor garamnya ke Indonesia tapi kualitasnya mirip dengan garam dari Madura. Dengan harga jual yang lebih murah dariapada garam lokal, India berhasil menarik perhatian konsumen garam di Indonesia, baik itu ritel maupun industri makanan.
III. SOLUSI PERMASALAHAN GARAM DI
INDONESIA MELALUI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI Pemerintah telah mencoba berbagai macam cara untuk mengatasi permasalahan yang dialami industri garam di Indonesia. Beberapa kebijakan telah dibuat namun belum bisa menjadi solusi yang permanen untuk problematika industri garam di negara ini. Teknologi informasi dan komunikasi (selanjutnya disebut TIK) merupakan satu cara ampuh yang bila diterapkan dengan baik bisa menyelesaikan permasalahan industri garam nasional yang ada. Sebelum implementasi TIK, pemerintah perlu
melakukan kajian komprehensif terlebih dahulu mengenai
garam dan memantau seberapa besar kebutuhan garam dalam negeri. Proses ini memerlukan waktu yang cukup panjang dan tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri. Para pengusaha dan petani garam harus bekerja sama dengan pemerintah secara terintegrasi. Hal ini membutuhkan rekayasa dari pemerintah sebagai regulator, sekaligus eksekutor yang memiliki kuasa dalam politik dan perekonomian nasional. Perlu adanya sinergi antara lembaga pemerintah sendiri, misal Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Perindustrian, Kementrian Kesehatan, Kementrian Perdagangan, Kementrian Keuangan, Pemerintah Daerah dan DRPD Kabupaten sentra garam, dan semua pihak yang terkait dengan pengambilan kebijakan serta eksekusi rantai produksi, distribusi, serta konsumsi garam nasional, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri. A. Pengertian TIK TIK merupakan sebuah metode penyelesaian suatu masalah dengan menggunakan teknologi informasi dan melibatkan banyak pihak. Pemerintah Indonesia sudah menggalakkan program TIK yang disebut ICT Pura, yaitu sebuah gerakan yang melibatkan segenap pemangku kepentingan di bidang TIK untuk bersama-sama memetakan serta menghitung indeks kesiapan Kabupaten-kabupaten dan Kota-kota di Indonesia dalam menghadapi era masyarakat digital yang berbasis TIK. Inisiatif baru ini dilaksanakan berdasarkan Keputusan Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika No. 194/KEP/DJPPI/KOMONFO/07/2011 tentang Tim Pelaksana Program ICT Pura. B. Penerapan TIK dalam Industri Garam Dalam bidang industri pengolahan garam, penerapan TIK memiliki banyak manfaat, di antaranya sebagai berikut:
Memudahkan orang dalam berkomunikasi dan
memperoleh informasi Meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan publik Memperbaiki pendidikan melalui e-learning Mengembangkan kemampuan dan kesadaran masyarakat Menunjang pertanian Menciptakan lapangan kerja Memperbaiki kualitas hasil tani Mempermudah pemantauan jalur distribusi produk
Kenyataan di lapangan menunjukkan TIK tidak diabsorpsi
dengan baik oleh sebagian besar petani garam Indonesia. TIK dianggap sebagai hal baru yang mengganggu rutinitas lama mereka. Padahal salah satu tujuan TIK yaitu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Hal ini selaras dengan tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia. Sektor pertanian dan sektor industri pengolahan merupakan bagian dari sektor ekonomi yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, konsekuensi logisnya, pembangunan ekonomi juga harus dilaksanakan pada kedua sektor tersebut. Namun,
para petani dan distributor garam di negara ini tidak
menyambut baik program TIK yang digalakkan pemerintah. Akibatnya, permasalahan dalam produksi dan distribusi garam yang selama ini sudah berurat berakar tidak kunjung terpecahkan. Pemerintah melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menelurkan program TIK untuk industri garam di Indonesia pada tahun 2012 yang diberi nama PUGAR (Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat). Untuk mendukung program swasembada garam nasional, KKP telah menetapkan 7 lokasi sebagai sentra PUGAR, yaitu kabupaten Cirebon, Indramayu, Rembang, Pati, Pamekasan, Sampang dan Sumenep. Pada prakteknya, PUGAR dilaksanakan melalui prinsip bottom up, artinya masyarakat sendiri yang merencanakan kegiatan, melaksanakan dan melakukan monitoring dan evaluasi sesuai dengan mekanisme yang ditentukan, serta mempertimbangkan pengarusutamaan gender. Pemerintah berperan dalam monitoring dan pemberian bantuan teknis dan bantuan dana yang dibutuhkan. Pugar memberi kebebasan informasi dan penyuluhan prima pada para petani garam, sehingga mereka dapat bekerja dengan optimal. Program ini sudah mampu meningkatkan produksi garam nasional secara signifikan dan dapat memenuhi kebutuhan garam konsumsi. Untuk garam industri masih belum dapat terakomodir. Di Madura, PUGAR kurang berjalan dengan baik sebab para petani tidak berfokus pada kualitas garam sehingga mereka tetap mengedepankan cara lama (old-fashioned way) untuk menghasilkan garam. Mereka asal cepat memanen garam agar dapat menerima pendapatan dalam waktu singkat. Pihak swasta juga melakukan implementasi TIK dan memiliki andil dalam mendukung swasembada garam nasional. Ada satu organisasi yang dibentuk pada tanggal 9 Februari 2008 oleh masyarakat sipil bernama PK2PM. Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) atau Center for Ocean Development and Maritime Civilization (COMMITs) adalah organisasi masyarakat sipil yang didirikan untuk mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya kelautan demi kesejahteraan rakyat yang berperadaban maritim dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keberanian, keterbukaan, pluralisme, dan egalitarian. Dalam menjalankan cita-cita pendiriannya, PK2PM melakukan penelitian dan kajian ilmiah; mengembangkan pelatihan-pelatihan advokasi, pengembangan masyarakat dan metode penelitian ilmiah. Di samping itu, PK2PM juga menerbitkan jurnal, buku; menggelar dialog dan diskusi, seminar, dan lokakarya. Untuk membantu tugas-tugas keorganisasiannya, PK2PM juga melibatkan media massa, baik cetak maupun elektronik. Sayangnya di Jawa Timur, eksistensi PK2PM belum terlalu dirasakan. PK2PM lebih terkonsentrasi pada pembukaan sentra garam baru misalnya di NTT. Hal ini memang turut mendukung salah satu misi Kementrian Perindustrian untuk membuat Indonesia berhenti menjadi importir garam mengingat potensi alamiah yang dimiliki negara ini.
C. Solusi Permasalahan Garam Melalui TIK
Beberapa solusi terkait permasalahan garam di Indonesia dapat diterapkan melalui TIK yang dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah harus menghimbau dengan tegas para petani garam untuk menerapkan teknologi tepat guna. Artinya alat-alat yang digunakan untuk memproduksi garam harus tepat guna dan mudah diimplementasikan. Alat-alat seperti ini dapat diciptakan oleh orang-orang di Kementrian Riset dan Teknologi Indonesia. Pemerintah melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan harus melakukan strategi revitalisasi dan intensifikasi PUGAR. Cakupan area PUGAR harus merata, tidak terkonsentrasi di Jawa Tengah saja mengingat banyak kawasan di Indonesia yang berpotensi tinggi untuk menjadi sentra garam namun belum terjamah. Kementrian Perindustrian harus fokus pada pemenuhan garam untuk kebutuhan industri secara nasional. Swasembada garam industri harus dilakukan dengan memperluas lahan penggaraman dan peningkatan kualitas garam yang disertai dengan pengembangan dan penguasaan teknologi produksi garam industri secara on farm yang baik. Swasembada garam industri juga dapat dilakukan dengan cara produksi garam industri secara off farm. Produksi garam industri secara off farm dapat dilakukan melalui pengembangan atau alih teknologi produksi garam industri disertai penyediaan bahan baku garam yang murah dan kontinu. Kebijakan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk produksi garam nasional hendaknya disertai dengan kebijakan tata niaga garam serta pengawasannya. Di sini Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham) wajib melakukan diseminasi produk hukum terkait industri garam nasional dengan tepat. Pemerintah harus meninjau kembali pemberlakuan pajak impor sehingga laju impor garam industri yang lebih murah harganya dapat ditekan maksimal. Kementrian Keuangan berperan besar dalam perumusan kebijakan pajak impor ini.
Dari keseluruhan solusi yang dipaparkan di atas, dapat
dilihat bahwa pemerintah melalui Kementrian merupakan pemrakarsa utama keberhasilan industri garam di Indonesia. Para petani garam, distributor, dan konsumen hendaknya mendukung semua kebijakan yang diambil pemerintah. Semua pihak harus mau melakukan perubahan dan tidak boleh menolak penerapan TIK untuk kemajuan industri garam. Hal ini dilakukan agar Indonesia tidak terus-menerus bergantung pada impor garam. Dengan penggunaan teknologi dan efektifitas lahan garam yang tertidur, ditargetkan di tahun 2019 Indonesia sudah bisa berswasembada garam.
REFERENSI [1]
KPU. (17 Desember 2012). Penduduk Indonesia 251 Juta, JABAR
terbesar dan PABAR terkecil. 6 Juni 2013. http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7 299&Itemid=1 [2] Indonesia Finance. (19 Januari 2013). Wilayah indonesia makin luas. 6 Juni 2013. http://inafinance.com/2013/01/19/wilayah-indonesia-makinluas/ [3] Lintang, Y. Program pengembangan garam industri. Lokakarya Nasional Indonesia menyongsong u Swasembada Garam Industri 2015, Depok, 24 April 2013. [4] Khairuddin, A. Indonesia akan impor garam. Viva News 7 Oktober 2010. 14 Mei 2013. <http://dunia.news.viva.co.id/news/read/181723indonesia-akan-impor-garam>. [5] Assauri, Sofyan, (1996). Manajemen Pemasaran, Dasar, Konsep dan Strategi. Edisi 1, Rajawali Pers, Jakarta. [6] Gitosudarmo, Indriyo (2001) Manejemen Strategis, Penerbit BPFE UGM, Yogyakarta [7] Kotler, Philip dan Gary Armstrong, (2000) Prinsip-prinsip Pemasaran, Penerbit PT. Erlangga, Jakarta. [8] Sukirno (2001) Pengantar Ekonomi Mikro, Penerbit PT. Erlangga, Jakarta. [9] Noegroho, Anang, KKP Perkuat Basis Produksi Garam Rakyat, KKP, 16 Maret 2014 < http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10496/KKPPerkuat-Basis-Produksi-Garam-Rakyat/?category_id=> [10] Rismana, Eriawan, Peta Garam Nasional, Ristek, 17 Januari 2013 <http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/12631>