Evaluasi Peforma Katalis Isomar UOP I400 Periode JuniJuli 2016 di Kilang Paraxylene Cilacap
(2313100037)
(2313100084)
Dosen Pembimbing
Hakun Wirawasista Aparamarta,ST.,M.MT.
NIP. 1978 09 22 2008 12 1001
KATA PENGANTAR
Dengan menyadari atas segala keterbatasan ilmu yang kami miliki, laporan ini tentu masih
sangat jauh dari sempurna. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun. Semoga laporan kerja praktik ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Cilacap, 11 Agustus 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................................ i
Daftar Isi ................................................................................................................................ ii
Daftar Gambar ...................................................................................................................... iii
Daftar Tabel .......................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
I.1
I.2
I.3
I.4
I.5
DAFTAR ISI
III.4.1 Lokasi Pabrik.................................................................................. III-17
III.4.2 Tata Letak Kilang ........................................................................... III-18
III.5 Kesejahteraan dan Fasilitas PT Pertamina (Persero) RU IV Cilacap III-23
III.6 Program Pengembangan Engineering ...III-24
ii
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1
Gambar II.2
Gambar II.3
Gambar III.1
Gambar III.2
Gambar III.3
Gambar III.4
Gambar III.5
Gambar III.6
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR TABEL
Tabel II.1
Tabel III.1
Tabel III.2
Tabel III.3
Tabel III.4
Tabel III.5
Tabel III.6
Tabel III.7
Tabel III.8
Tabel III.9
Tabel III.10
Tabel III.11
Tabel IV.1
Tabel V.1
INTISARI
BAB I PENDAHULUAN
I-1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
I-2
BAB I PENDAHULUAN
I-3
problema
di
lapangan,
serta
mempunyai
kemampuan
untuk
BAB I PENDAHULUAN
I-4
II-1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1
sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku produk turunan untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu perlu dibangun unit pengolahan minyak bumi guna
memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat dan juga mengurangi ketergantungan terhadap
suplai BBM dari luar negeri. Proses pengolahan minyak bumi menjadi produk dengan nilai
ekonomi tinggi merupakan tujuan utama dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang
eksplorasi sampai denga industri petrokimia hilir. Pengolahan sumber daya ini diatur oleh
negara untuk kemakmuran rakyat dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Hal ini bertujuan untuk
menghindari praktek monopoli dan eksploitasi kekayaan alam yang berujung pada
kesengsaraan rakyat.
Pada zaman penjajahan Belanda, sejak tahun 1871, orang-orang Belanda telah
mulai berusaha mendapatkan minyak bumi di Indonesia dengan jalan melakukan pengeboran
di daerah-daerah sumber minyak. Usaha pengeboran minyak di Indonesia pertama kali
dilakukan oleh Jan Raerink pada tahun 1871 di Cibodas, Majalengka (Jawa Barat), namun
usaha trsebut mengalami kegagalan. Pada tanggal 15 Juni 1885, seorang pemimpin
perkebunan Belanda bernama Aeilco Janszoon Zylker berhasil melakukan pengboran yang di
Telaga Tunggal dekat Pangkalan Berandan di Sumatera Utara pada kedalaman kira-kira 400
kaki. Sejak penemuan ini, pencarian minyak bumi terus berlanjut, dimana pada saat yang
hampir bersamaan telah ditemukan pula sumber minyak bumi di Indonesia, seperti di desa
Ledok, Cepu, Jawa Tengah (1901), di desa Minyak Hitam di daerah Muara Enim Palembang
dan Riam Kiwa dekat Sangasanga di Kalimantan Timur. Penemuan-penemuan tersebut
mendorong keinginan maskapai perusahaan asing seperti Royal Deutsche Company, Shell,
Stanvac, Caltex dan maskapai-maskapai lainnya untuk turut serta dalam usaha pengeboran
minyak di Indonesia.
Pada akhir abad XIX tidak kurang dari 18 buah perusahaan asing secara aktif
mengusahakan sumber-sumber minyak di Indonesia. Karena usaha eksplorasi dan kekuatan
finansialnya, maka pada tahun 1902 Royal Dutch Company, yaitu perusahaan yang
mengambil ahli konsesi Zylker, dapat menyisihkan perusahaan-perusahaan yang ada pada
waktu itu. Pada tahun 1907, Royal Dutch Company bergabung dengan Shell Transport and
Trading Company, dimana perusahaan yang beroperasi dari kelompok Royal Dutch dan Shell
II-2
di Indonesia adalah Bataafshe Petroleum Maatschappij (B.P.M.), dan ini merupakan satusatunya perusahaan yang beroperasi di Indonesia sampai tahun 1911. Pada tahun 1912
Standard Vacum Oil Company (STANVAC), suatu anak perusahaan Standard Oil (New
Jersey) dan Vacum Oil Company mulai beroperasi di Indonesia. Perusahaan tersebut
mengerjakan lapangan-lapangan minyak di Talang Akar dan Pendopo Sumatera Selatan.
Menghadapi saingan dari Standard Oil pada tahun 1930 pemerintah kolonial Belanda
dan B.P.M, dibentuklah suatu campuran yaitu N.V. Nederlandsche Indische Aardolie
Maatschappij (N.I.A.M.) pada tahun 1935, CALTEX yaitu sebuah anak perusahaan Standard
Oil of California and Texas Company mulai beroperasi di Indonesia, dimana lapangan
produksinya terletak di Minas dan Duri di daerah Daratan Riau. Pada tahun 1935, dibentuk
perusahaan minyak bernama Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij
(N.N.G.P.M) untuk mengeksploitasi Irian Jaya (sekarang disebut Papua)
bagian barat,
dengan sahamnya dari Royal Dutch-Shell, STANVAC, dan CALTEX. Kilang minyak yang
ada sebelum perang dunia II ada 6 buah yaitu di Plaju (B.P.M), Sungai Gerong (STANVAC),
Balikpapan (B.P.M), Cepu (B.P.M), Wonokromo (B.P.M.) dan Pangkalan Brandan (B.P.M.).
Dengan berakhirnya Perang Dunia II, karena serangan bala tentara Jepang ke
Indonesia dan politik bumi hangus pemerintah Hindia Belanda, sebagian besar instalasiinstalasi kilang minyak hancur, terutama kilang minyak Pangkalan Brandan.
Pada saat 17 Agustus 1945, satu-satunya lapangan minyak yang dapat dikuasai oleh
pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia adalah lapangan minyak sekitar Pangkalan Brandan
dan daerah Aceh, bekas milik Shell-B.P.M, yang selanjutnya merupakan perusahaan minyak
Indonesia yang pertama dan diberi nama Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik
Indonesia (P.T.M.N.R.I). Pada tahun 1945 B.P.M. berhasil meneruskan produksi minyak
mentahnya di Tarakan, dan pada tahun 1946 Kilang Plaju dan Sungai Gerong dikembalikan
kepada B.P.M. dan STANVAC untuk rekonstruksi. Di Jawa Tengah B.P.M. tidak berhasil
memperoleh kembali lapangan minyak Kawengan, Ledok, dan kilang minyak Cepu karena
telah dikuasai oleh koperasi buruh minyak yang kemudian menjadi perusahaan negara
PERMIGAN.
Tahun 1950 P.T.M.N.R.I. juga belum menunjukkan usaha-usaha pembangunannya,
maka bulan April 1945 P.T.M.N.R.I diubah menjadi Tambang Minyak Sumatera Utara
(T.M.S.U). Tindakan ini ternyata juga belum ada manfaatnya, sehingga pada tangggal 10
Desember 1957 T.M.S.U diubah menjadi PT. Perusahaan Pertambangan Minyak Nasional
(PT. PERMINA). Tanggal 1 Juli 1961 statusnya dirubah menjadi Perusahaan Negara
Pertambangan Minyak Nasional (PN. PERMINA) yang diatur dalam PP No.198/1961.
II-3
II-4
Peristiwa
1945
April 1954
10 Desember 1957
1 Januari 1959
Februari 1961
1 Juli 1961
20 Agustus 1968
II-5
b. Pengolahan
Kegiatan ini meliputi proses distilasi, pemurnian dan reaksi kimia tertentu untuk
mengolah crude menjadi produk yang diinginkan seperti premium, solar, kerosin, avtur,
dll.
c. Pembekalan dan Pendistribusian
Kegiatan pembekalan meliputi impor crude sebagai bahan baku unit pengolahan
melalui system perpipaan sedangkan kegiatan pendistribusian melalui perkapalan.
d. Penunjang
Menyediakan fasilitas penunjang, contohnya adalah rumah sakit dan perumahana. PT.
PERTAMINA (Persero) memiliki unit-unit operasi yang tersebar diseluruh Indonesia
yang meliputi beberapa operasi dan produksi, 7 unit pengolahan, 8 unit Pemasaran, dan
unit yang lain. PT. PERTAMINA (Persero) Refinery Unit (RU) adalah salah satu unit
usaha yang berada di bawah Direktorat Pengolahan Pertamina.
Dalam pembangunan nasional, PT. Pertamina (Persero) memiliki tiga peranan
penting, yaitu:
1. Menyediakan dan menjamin pemenuhan kebutuhan BBM.
2. Sebagai sumber devisa negara.
3. Menyediakan kesempatan kerja sekaligus pelaksana alih teknologi dan pengetahuan.
Untuk memenuhi dan menjamin pemenuhan kebutuhan BBM, PT Pertamina
(Persero) membangun tujuh buah kilang di berbagai wilayah Indonesia namun hanya
mengoperasikan enam buah unit kilang dengan kapasitas total mencapai 1.046,70 barrel.
Adapun kapasitas produksi untuk masing-masing unit pengolahan PT Pertamina (Persero),
sebagai berikut:
1. RU I Pangkalan Brandan (Sumatra Utara), kapasitas 5000 barrel/hari.*
2. RU II Dumai dan Sungai Pakning (Riau), kapasitas 170.000 barrel/hari
3. RU III Plaju dan Sungai Gerong (Sumatra Selatan), kapasitas 135.000 barrel/hari.
4. RU IV Cilacap (Jawa Tengah), kapasitas 348.000 barrel/hari.
5. RU V Balikpapan (Kalimantan Timur), kapasitas 270.000 barrel/hari.
6. RU VI Balongan (Jawa Barat), kapasitas 125.000 barrel/hari.
7. RU VII Kasim (Papua Barat), kapasitas 10.000 barrel/hari
*
) sejak tahun 2007 PT Pertamina (Persero) RU I Pangkalan Brandan, Sumatera Utara yang
tadinya memiliki kapasitas pengolahan sebesar 5.000 BPSD sudah tidak beroperasi lagi
dikarenakan beberapa sumur yang menjadi sumber feedsudah tidak berproduksi.
II-6
Clean
Dikelola secara profesional, menghindari benturan kepentingan, tidak menoleransi suap,
menjunjung tinggi kepercayaan dan integritas. Berpedoman pada asas-asas tata kelola
korporasi yang baik.
2.
Competitive
Mampu berkompetisi dalam skala regional maupun internasional, mendorong pertumbuhan
melalui investasi, membangun budaya sadar biaya dan menghargai kinerja.
3.
Confidence
Berperan dalam pembangunan ekonomi nasional, menjadi pelopor dalam reformasi
BUMN, dan membangun kebanggaan bangsa.
II-7
Customer Focus
Berorientasi pada kepentingan pelanggan dan berkomitmen untuk memberikan pelayanan
yang terbaik kepada pelanggan.
5.
Commercial
Menciptakan nilai tambah dengan orientasi komersial, mengambil keputusan berdasarkan
prinsip-prinsip bisnis yang sehat.
6.
Capable
Dikelola oleh pemimpin dan pekerja yang profesional dan memiliki talenta dan penguasaan
teknis tinggi, berkomitmen dalam membangun kemampuan riset dan pengembangan.
II-8
5. Warna Biru : Kesetiaan pada tanah air Indonesia, dasar negara Pancasila dan UUD
1945.
PT. Pertamina (Persero) kembali mengalai pergantian logo pada tahun 2005. Hal ini
didorong karena hadirnya kompetisi yang baru sehingga pergantian lambing atau logo ini
diharapkan dapat membangun semangat baru dalam hal mendorong daya saing dalam
menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi serta mendapatkan image yang baik diantara
gas companies dan gas oil. Logo baru PT.Pertamina (Persero) dibentuk pada tanggal 10
Desember 2005 bertepatan dengan ulang tahun PT. Pertamina (Persero) yang ke 48.
Merah berarti keuletan dan ketegasan serta keberanian dalam menghadapi berbagai
macam kesulitan
II-9
Plus
merupakan
bahan
bakar
superior
pertamina
dengan
II-10
kendaraan
bermotor
sesuai
dengan
SK
Dirjen
Migas
No.2527.K/24/DJM/2007.
2) Bahan Bakar Gas
Bahan Bakar Gas adalah gas bumi yang telah dimurnikan, ramah lingkungan,
bersih, handal, murah, dan digunakan sebagai bahan bakar alternatif kendaraan
bermotor. Komposisi BBG sebagian besar terdiri dari gas metana dan etana lebih
kurang 90% dan selebihnya adalah gas propane, butane, nitrogen, dan
karbondioksida.
3) Liquified Petroleum Gas (LPG)
Liquified Petroleum Gas adalah produk gas ringan yang dihasilkan dari
penyulingan minyak bumi atau juga dihasilkan dari pengembunan gas alam di
Kilang Unit Pengolahan LPG.
Non BBM
1) Asphalt
Asphalt Pertamina memiliki kapasitas produksi 650.000 ton/tahun, diproduksi
dalam 2 grade yaitu Penetrasi 60/70 dan Penetrasi 80/100.
2) Solvent dan Minarex
Di antara jenis solvent adalah Minasol, Pertasol, Solvent Cemara, Heavy
Aromatic, dan lain-lain.
III-1
BAB III
TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN
Proyek
Tujuan
Domestic Crude
dalam negeri.
Paraxylene = 270.000
1996-1998
Debottlenecking
atau
peningkatan kapasitas
III-2
dalam negeri.
Sulfur = 70 Ton/Day
2011-2014
2011-2015
RFCC
(Residual
Catalytic Cracking)
LSWR
MIX CRUDE
(DOMESTIC AND
IMPORT)
230 MBSD
FOC II
NAPHTHA
MIDDLE EAST
CRUDE
118 MBSD
FOC I
LONG
RESIDUE
OFF GAS
RFCC
PARAXY
LANE
LPG
PREMIUM
NAPHTHA
KEROSINE
AVTUR
ADO/IDO
MFO
LPG
RAFFINATE
PARAXYLANE
BENZENE
TOLUENE
HEAVY
AROMATE
LOC I/II/III
BASE OIL
PARAFINIC
OIL
MINAREX
ASPHALT
SLACK WAX
SOLAR
MFO
LPG/SRU
GAS
LPG
SULPHUR
CONDENSATE
EFFULENT
WATER
IPAL
III-3
III-4
III-5
3. Lube Oil Complex III (LOC III) yang juga memproduksi bahan dasar pelumas dan
Asphalt.
4. Utilities Complex II (UTL II) yang fungsinya sama dengan UTL I.
heavy aromate, toluene, dan LPG sebagai produk sampingan. Total kapasitas
III-6
produksi kilang BBM, sedangkan sebagian lagi diekspor ke luar negeri. Sementara seluruh
Benzene yang dihasilkan diekspor ke luar negeri. Produk-produk sampingan dari kilang ini
dimanfaatkan lebih lanjut untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pertamina Refinery Unit IV semakin penting dengan adanya kilang Paraxylene, karena
dengan mengolah Naphtha 590.000 ton/tahun menjadi produk utama Paraxylene, Benzene
dan produk samping lainnya, otomatis RU IV menjadi satu-satunya unit pengolahan minyak
bumi di Indonesia yang terintegrasi dengan industri Petrokimia.
Paraxylene yang dihasilkan sebagian digunakan sebagai bahan baku pabrik Purified
Terepthalic Acid (PTA) pada pusat aromatik di Plaju, Sumatera Selatan. Hal ini merupakan
suatu bentuk usaha penghematan devisa sekaligus sebagai usaha peningkatan nilai tambah
produksi kilang BBM, sedangkan sebagian lagi diekspor ke luar negeri. Sementara seluruh
Benzene yang dihasilkan diekspor ke luar negeri. Produk-produk sampingan dari kilang ini
dimanfaatkan lebih lanjut untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
III-7
barel/tahun. Kapasitas LOC I dan LOC II dari 225.000 ton/tahun menjadi 286.800 ton/tahun.
Unit LOC III dapat memproduksi 141.200 ton/tahun lube base untuk semua grade.
Total kapasitas kilang BBM naik dari 300.000 barel/hari menjadi 348.000 barel/hari,
produksi bahan baku minyak pelumas (lube base oil) naik dari 225.000 ton/tahun menjadi
428.000 ton/tahun atau sebesar 69%, sedangkan produksi aspal naik dari dari 512.000
ton/tahun menjadi 720.000 ton/tahun atau sebesar 40,63%.
Tujuan dari proyek ini adalah untuk:
a. Meningkatkan kapasitas produksi Kilang Minyak I dan II dalam rangka memenuhi
kebutuhan BBM dalam negeri.
b. Meningkatkan kapasitas produksi Lube Oil Plant dalam rangka memenuhi kebutuhan Lube
Base Oil, Asphalt, dan minarex.
c. Menghemat / menambah devisa negara.
Pendanaan Debottlenecking Project Cilacap (DPC) berasal dari pinjaman dari 29
bank dunia yang dikoordinir oleh CITICORP dengan penjamin US Exim Bank. Dana yang
dipinjam sebesar US$ 633 juta dengan pola Tyrustee Borrowing Scheme. Sedangkan sistem
penyediaan dananya adalah Non Recourse Financing artinya pengembalian pinjaman
berasal dari hasil penjualan produk yang dihasilkan oleh proyek sehingga dana pinjaman
tersebut tidak membebani anggaran Pemerintah maupun cash flow Pertamina.
Lingkup dari proyek ini adalah :
a.
Modifikasi FOC I dan II, LOC I dan II, dan Utilities II / Offsite.
b.
c.
d.
4,3 hektar untuk pembangunan kilang LOC III dan 2,5 hektar untuk pembangunan tangki
produk. Area ini diambil dari sisa area rencana perluasan pabrik. Fasilitas untuk melindungi
lingkungan dari pencemaran pun ditambah dengan modifikasi peralatan yang ada, serta
penambahan peralatan baru. Berbagai pekerjaan yang dilakukan pada masing-masing area
selama Debottlenecking Project dapat dilihat pada Tabel dibawah ini:
Tabel III.2 Jenis Pekerjaan dalam Debottlenecking Project Cilacap
Lokasi
Unit
CDU
Jenis Pekerjaan
Penambahan Crude Desalter
Modifikasi / penambahan tray pada Crude Splitter,
Product
Side Stripper, Naphtha Stabilizer dan Gasoline Splitter
FOC I
NHT
Kerosene Merox
Treating
SWS
Lain-lain
CDU
FOC II
AH Unibon
LPG Recovery
SWS
Lain-lain
HVU
LOC I
Lain lain
III-8
HVU
Modifikasi / penambahan peralatan
PDU
Modifikasi / penambahan peralatan
LOC II
FEU
Modifikasi / penambahan peralatan
HOS
Modifikasi / penambahan peralatan
Lain-lain
Rekonfigurasi / penambahan heat exchange, pumping
Lain-lain
Pembangunan PDUtankfarm dan piping system
Pembangunan MDU
LOC III Pembangunan HTU / RDU
Pembangunan new tankage, pumping dan piping system
Pembangunan Power Generation 8 MW dan Distribution System
Pembangunan Boiler 60 ton /hari beserta BFW dan Steam Distribution
System
Utilities/
Offsite
III-9
Tabel III.3 Perbandingan Kapasitas Produksi Sebelum dan Sesudah Debottlenecking Project
pada FOC I (Dalam Barrel/Hari)
Unit
Hasil Produksi
Sebelum
Sesudah
Kenaikan
CDU
Fraksi minyak
100.000
118.000
18.000 (18%)
NHT
20.000
25.600
5.600 (28%)
LPG Recovery
Avtur/kerosene
15.708
17.300
1.592 (10,13%)
Tabel III.4 Perbandingan Kapasitas Produksi Sebelum dan Sesudah Debottlenecking Project
pada FOC II (Dalam Barrel/Hari)
Unit
Hasil Produksi
Sebelum
Sesudah
Kenaikan
CDU
Fraksi minyak
200.000
230.000
30.000 (15 %)
AH Unibon
Kerosene
20.000
23.000
3.000 (15 %)
LPG Recovery
Gas Propane/Butane
7.321
7.740
419 (5,72%)
Tabel III.5 Perbandingan Kapasitas Produksi Sebelum dan Sesudah Debottlenecking Project
pada LOC I/II/III (Dalam Ton/Tahun)
Unit
Hasil Produksi
Sebelum
Sesudah
Kenaikan
HVI 60/100/160S/650
255.000
428.000
173.000 (69 %)
Asphalt
Asphalt
512.000
720.000
208.000 (40,63 %)
LPG Recovery
Gas Propane/Butane
7.321
7.740
419 (5,72%)
Dengan demikian kapasitas desain FOC I, FOC II, LOC I, II, dan III mengalami
perubahan seperti terlihat pada Tabel berikut :
Tabel III.6 Kapasitas Desain Baru FOC I dan II Pertamina RU IV Cilacap
FOC I
FOC II
Unit
Kapasitas (ton/hari)
Unit
Kapasitas (ton/hari)
CDU
16.126
CDU
30.680
NHT
2.805
NHT
2.441
2.300
AH Unibon
3.084
Platformer
1.650
Platformer
2.441
43,5
LPG Recovery
636
Propane
Manufacturing
2.116
III-10
Naphtha Merox
Sour Water
1.311
Sour Water
780
2.410
Stripper
Stripper
THDT
1.802
Visbreaker
8.390
Tabel III.7 Kapasitas Desain Baru LOC I, II, & III Pertamina RU IV Cilacap
Unit
LOC I
Kapasitas (ton/hari)
LOC II
LOC III
2.574
538
478-573
3.883
784
1786-2270
784
-
226-340
501-841
Hydrotreating Unit
10
71
III-11
1. Gas Treating
Gas treating unit dirancang untuk mengurangi kadar hydrogen sulfide (H2S) di
dalam gas buang (sebagai umpan) agar tidak lebih dari 10 ppmv sebelum dikirim ke LPG
Recovery unit dan PSA unit yang telah ada. Dalam metode operasi normal larutan amine
disirkulasikan untuk menyerap H2S pada suhu mendekati suhu kamar.
2. LPG Recovery
Memiliki Cryogenic Refluxted Absorber design sebagai utilitas di LPG Recovery
Unit untuk menambah produk LPG Recovery secara umum. Proses ini mempunyai LPG
Recovery optimum pada ekses 99,9% (pada Deethanizer Bottom Stream). Refrigeration
process digunakan sebagai pelengkap umum Chilling (pendinginan).
3. Sulfur Recovery Unit
Sulphur Recovery Unit (SRU) didirikan untuk memisahkan acid gas dari amine
regeneration di Gas Treating Unit (GTU) dirubah menjadi H2S dalam bentuk gas menjadi
sulfur cair dan dalam bentuk gas sulfur untuk bisa dikirim melalui ekspor.
4. Tail Gas Unit
TGU (Tail Gas Unit) dirancang untuk mengolah acid gas dari Sulphur Recovery Unit
(SRU). Semua komponen sulfur diubah menjadi H2S untuk dihilangkan di unit TGU absorber,
arus recycle kembali ke unit SRU dan sebagian dibakar menjadi jenis sulfur yang terdiri dari
SOx kemudian dibuang ke atmosfer.
5. Unit 95 : Refrigeration
Unit Refrigeration dilengkapi dengan pendinginan yang diperlukan untuk LPG
Recovery Unit dan juga dilengkapi dengan Trim Amine Chilling di bagian Tail Gas Unit untuk
memaksimalkan pengambilan sulfur secara umum. System Refrigeration terdiri dari dua tahap
Loop Propane Refrigeration.
III-12
Pada RFCC terdapat unit-unit operasi sebagai berikut RFCC Unit kapasitas 62.000
BPSD, Gasoline Hydrotreating Unit dengan Hydrogen Purification Unit, Gasoline
Sweetening Unit, LPG Sweetening Unit, Propylene Recovery Unit, Amine Treating Unit, Sour
Water Treating Unit.
Pada RFCC terdapat unit-unit operasi sebagai berikut :
ATMOSPHERIC
RESIDUE
RFCC
UNIT
TREATED
GAS
TO REF. FUEL
LPG SWEETENING
UNIT
RFCC GASOLINE
SULFUR
PROPYLENE
PROPYLENE
RECOVERY UNIT
MIXED
LPG
RFCC
GASOLINE
LCO
HCO
III-13
Produk
Produk
: Residu FOC I
Produk
: HVI 60, HVI 95, Propane Asphalt, Minarex A dan B, Slack Wax
6.
: Residu FOC 1
Produk : HVI 95, HVI 160S, Propane Asphalt, Minarex H, Slack Wax
Produk
Kilang Paraxylene
Bahan baku
: Naphtha
Produk
Berikut ini adalah kapasitas produksi Pertamina RU IV Cilacap dari tiap unit :
Table III.8 Produksi FOC I Pertamina RU IV Cilacap
UNIT
CDU I
NHT I
Hydrodesulfurizer
Platformer I
Propane Manufacturing
Merox Treater
Sour Water Stripper
KAPASITAS DESIGN
TPSD
BPSD
16.126
118.000
2.805
25.600
2.300
17.000
1.650
14.900
43.5
2.116
15.700
780
-
KAPASITAS DESIGN
TPSD
BPSD
30.680
230.000
2.441
20.000
III-14
3.084
2.441
636
1.311
2.410
1.802
8.390
23.000
20.000
11.100
13.200
55.600
Struktur Organisasi
III-15
IT Area Manager
Manager
Manager
Procurement Manager
Reability Manager
Manufacturing
OPI Coordinator
Sedangkan Manajer kilang membawahi 3 manager, 1 kepala Bagian dan shift
Superintendet, yaitu :
Manajer Produksi I
Manajer Produksi II
Shift Superitendent
Manajer Reliabilitas
III-16
Struktur organisasi PT. Pertamina Refinery Unit IV Cilacap dapat dilihat pada
III-17
b. Struktur Kepegawaian
Dalam
kegiatan
sehari-hari,
Pertamina
mempunyai
pekerja-pekerja
di
: golongan 2 ke atas
Pegawai Utama
: golongan 5 - 3
Pegawai Madya
: golongan 9 - 6
Pegawai Biasa
: golongan 16 - 10
: Senin Kamis
Jumat
: 07.00 15.30
: 11.30 12.00
: 11.30 13.00
Pekerja Shift :
Untuk pekerja shift bekerja dengan sistem 3:1, artinya 3 hari kerja dan 1 hari
libur. Periode tersebut berjalan secara bergantian dari shift pagi, sore dan malam dengan
jam kerja sebagai berikut :
Untuk pekerja operasi:
Shift pagi
: 08.00 16.00
Shift sore
: 16.00 24.00
Shift malam
: 00.00 08.00
III.4
Shift pagi
: 06.00 14.00
Shift sore
: 14.00 22.00
Shift malam
: 22.00 06.00
III-18
Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Dipilihnya Cilacap sebagai lokasi kilang
didasarkan pada pertimbangan berikut :
a)
b) Tersedianya sarana pelabuhan alami yang sangat ideal karena lautnya cukup dalam
dan tenang karena terlindungi Pulau Nusakambangan.
c)
d) Daerah Cilacap dan sekitarnya telah direncanakan oleh pemerintah sebagai pusat
pengembangan produksi untuk wilayah Jawa bagian selatan.
III.4.2 Tata Letak Kilang
Tata letak Kilang Minyak Cilacap beserta sarana pendukung adalah sebagai berikut :
1. Areal kilang minyak dan perluasan
22.5
ha
10.5
ha
87.5
ha
27
ha
70
ha
ha
ha
Total
227+73 ha
526.5
ha
Area 10
Fuel Oil Complex I, terdiri atas :
No. Unit
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Nama Unit
Crude Distillation Unit (CDU) I
Naphtha Hydrotreater Unit (NHT) I
Hydro Desulfurizer Unit (HDS)
Platformer Unit
Propane Manufacturer Unit (PMF)
Meroxtreater Unit
Sour Water Stripper Unit (SWS)
Nitrogen Plant
CRP Unit / Hg Removal
III-19
b. Area 01
Fuel Oil Complex II, terdiri atas :
No. Unit
009
011
012
013
014
015
016
017
018
019
048
c.
Nama Unit
Nitogen Storage
Crude Distillation Unit (CDU) II
Naphtha Hydrotreater Unit (NHT) II
Aromatic Hydrogenation (AH) Unibon Unit
Continuous Catalytic Regeneration (CCR) Platformer
Unit
Liquified Petroleum Gas (LPG) Recovery Unit
Minimize Alkalinity Merchaptan Oxidation (Minalk
Merox) Treater Unit
Sour Water Stripper Unit (SWS) II
Thermal Distillate Hydrotreater Unit
Visbreaker Thermal Cracking Unit
Flare and Nash Compressor
Area 20
Lube Oil Complex I, terdiri atas :
No. Unit
d.
Nama Unit
21
22
23
24
Area 02
25 Complex Hot
Oil System
Lube Oil
II, terdiri
atas : I
No. Unit
Nama Unit
021
022
023
024
025
III-20
Area 30
Tangki-tangki BBM, terdiri atas :
No. Unit
31
Nama Unit
Tangkitangki gasoline dan vessel penambahan TEL FOC I
dan Platformer Feed Tank
32
33
34
35
36
f.
37
38
Area 40
Tangki-tangki non-BBM, terdiri atas :
g.
No. Unit
41
Nama Unit
Tangkitangki Lube Oil
42
Tangkitangki Bitumen
43
44
45
46
47
Flare system
48
Area 50
Utilities Complex I, terdiri atas :
No. Unit
51
Nama Unit
Pembangkit tenaga listrik
52
53
54
55
56
57
III-21
Area 05
Utilities Complex II, terdiri atas :
No. Unit
i.
Area 60
Nama Unit
051
052
053
054
055
056
057
Nama Unit
61
62
63
64
66
Paraxylene
67
68
j.
Area 70
Nama Unit
71
72
73
III-22
Area 80
Kilang Paraxylene, terdiri atas :
No. Unit
81
l.
Nama Unit
Nitrogen Plant Unit
82
84
85
Sulfolane Unit
86
Tatoray Unit
87
88
Parex Unit
89
Isomar Unit
Area 90
LPG Recovery & Sulphur Recovery Unit, terdiri atas :
No. Unit
90
Nama Unit
Utility
91
92
LPG Recovery
93
Sulfur Recovery
94
95
Refrigerant
m. Area 200
Lube Oil Complex III, terdiri atas :
No. Unit
220
n.
Nama Unit
Propane DeAsphalting Unit
240
260
041
Area 500
Utilities IIA, terdiri atas :
No. Unit
510
Nama Unit
Pembangkit Tenaga Listrik
520
530
560
III-23
Area 100
Kilang RFCC, terdiri atas :
No. Unit
101
Nama Unit
RFCC (Reaktor + Regenerator) dan Main column
102
Gas Concentration
103
LPG Merox
104
105
Gasoline Hydroreacting
106
107
108
Hydrogen Purification
III-24
III-25
IV-1
BAB IV
URAIAN PROSES
nilai
proses
yang
ada
pada
kilang
paraxylene
tersebut
(http://www.pertamina.com) .
Kilang paraxylene ini dapat mengolah 11.916,9 ton/ hari naphtha untuk menghasilkan
produk non BBM (NMB) dan petrokimia. Produk utamanya paraxylene dan benzene,
semetara produk samping antara lain LPG, raffinate, heavy aromatic, dan fuel gas.
Tabel IV.1.1 Kapasitas Produksi Kilang Paraxylene Cilacap
Produk
Paraxylene
Benzene
LPG
Raffinate
Heavy Aromatic
Fuel Gas
Jumlah
270.000 ton/ tahun
118.00 ton/ tahun
52 ton/ hari
280 ton/ hari
43 ton/ hari
249 ton/ hari
Kilang Paraxylene Cilacap terbagi menjadi delapan unit, antara lain: Naphtha Hydrotreater
Unit (Unit 82), Continuous Catalyst Regeneration (CCR) Unit dan Platforming Unit (Unit
84), Sulfolane Unit (Unit 85), Tatoray Proces Unit (Unit 86), Xylene Fractionation Unit
(Unit 87), Paraxylene Extraction (Parex) Process Unit (Unit 88), dan Isomer Process Unit
(Unit 89).
IV-2
Sour naphtha dari CDU II ditampung di dalam feed surge drum (82-V-201) untuk
dipisahkan dari fraksi air. Air ini dibuang melalui bagian bawah vessel yang disebut boot leg.
Feed Surge Drum juga berfungsi menstabilkan aliran umpan yang akan masuk ke reaktor,
karena jika terjadi fluktuasi maka operasi akan terganggu. Tekanan dalam feed surge drum
dikontrol dengan sistem by pass/ pull-pash. Apabila tekanan ini berkurang maka akan
ditambahkan fuel gas sehingga tekanannya naik, sebaliknya apabila tekanan ini terlalu tinggi
maka gas di dalam feed surge drum akan dibuang melalui flare. Pengaturan tekanan ini
bertujuan mencegah terjadinya kavitasi pada pompa.
Naphtha dari feed surge drum selanjutnya dipanaskan di combined feed exchanger
(82-E-201 A/H) dengan memanfaatkan kalor dari effluent reaktor. Setelah dicampur dengan
H2, naphtha dipanaskan kembali di dalam furnace sampai mencapai temperatur operasi untuk
selanjutnya dipompakan (82-P-201 A/B) ke reaktor (82-R-201).
Di dalam reaktor, naphtha mengalami enam reaksi utama, di antaranya:
1.
H2
C-C-C-C-C-C + H2S
H2
2 C-C-C
+ H2S
H2S
2 C-C-C
+ 2 H2S
(Senyawa mercaptan)
b. C-C-C-S-C-C-C
(sulfida)
c. C-C-C-H-H-C-C-C
(disulfida)
Senyawa sulfur juga dapat dihilangkan melalui pemanasan, tetapi pada temperatur tinggi
H2S dapat bereaksi dengan olefin membentuk mercaptan sesuai reaksi berikut:
C-C-C=C-C
H2S
(olefin)
C-C-C-C-C-C-SH
(mercaptan)
H2
2 NH3
2 C-C-C-C
IV-3
+
H2
CH4
NH3
(Methylamine)
3. Konversi Senyawa Organik Oksigen menjadi Air (Oxygen Removal)
Senyawa oksigen seperti fenol harus dihilangkan dari naphtha karena oksigen pada
unit platforming dapat berubah menjadi air sehingga dapat mempengaruhi water chloride
balance. Senyawa oksigen ini dihilangkan dengan cara hidrogenasi ikatan karboksil
menjadi senyawa air dan aromatik.
4. Penjenuhan Senyawa Olefin
Kandungan olefin pada naphtha harus dihilangkan karena sebagian dari olefin akan
terpolimerasi pada unit platformer sehingga menyebabkan terjadinya fouling (kekotoran)
pada exchanger dan reaktor. Jika kandungan olefin sangat tinggi, maka penjenuhan harus
dilakukan dengan hati-hati karena melibatkan reaksi eksotermis sebagai berikut:
C-C-C=C-C
H2
C-C-C-C-C-C
Panas
(olefin)
5. Pemisahan Halida
Senyawa organik halida pada proses hydrotreating ini akan berubah menjadi hidrogen
halida. Hidrogen halida ini akan larut dalam aliran air pencuci dan terbawa stripper gas
ke overhead. Proses hydrotreating pada senyawa klorida memerlukan pemeriksaan
kandungan klorida dalam naphtha. Hal ini digunakan sebagai pedoman untuk
mendapatkan tingkat injeksi klorida pada unit platforming. Reaksi yang berlangsung
adalah:
C-C-C-C-C-C-Cl
H2
C-C-C-C-C-C
HCl
6. Pemisahan Logam
Logam-logam yang terkandung dalam naphtha umumnya berupa besi, kalsium,
magnesium, fosfor, timbal, silikon, tembaga, dan natrium. Sebelum masuk unit
platformer, logam-logam ini harus dihilangkan karena dapat menyebabkan katalis
kehilangan keaktifannya untuk menghilangkan sulfur.
Produk yang keluar dari reaktor selanjutnya mengalir melalui tube side combined feed
exchanger (82-E-201) ke air cooler product condenser (82-E-202). Panas produk ini lalu
dimanfaatkan untuk memanaskan sour naphtha sebelum masuk feed surge drum (telah
dijelaskan di atas). Effluent reactor line juga dilengkapi denga wash water yang berfungsi
mencuci garam ammonium klorida dan melarutkan hydrogen klorida yang terbentuk (proses
nomor 5).
IV-4
Setelah melalui condenser, reaktor effluent masuk ke product separator (V-202) untuk
dipisahkan antara gas, hidrokarbon cair, dan air. Air yang mengandung garam ammonium
klorida dan H2S melalui boot leg, sementara itu gas dimasukkan ke recycle compressor
section drum (82-V-203) untuk mengompresi light hidrokarbon (condensable gas). Gas yang
tidak dapat dikondensasi (non condensable gas) yaitu H2 dikembalikan ke reaktor sebagai
recycle gas. Selanjutnya light hidrokarbon hasil kompresi tersebut dan hidrokarbon cair
dimasukkan ke feed bottom exchanger (82-E-203 A/C) yang panasnya berasal dari effluent
stripper column (82-C-201) pada tray ke 7 dari 25 tray dengan tujuan memurnikan naphtha.
Overhead produk stripper column adalah fuel gas (C1
dimanfaatkan sebagai bahan bakar furnace pada unit ini. Sedangkan bottom productnya
berupa sweet naphtha (C5
juga yang disimpan sebagai cadangan apabila produksi naphtha dari CDU II mengalami
gangguan.
Penunjang Reaksi :
H2 dan Unicor
Produk
Katalis
IV-5
Dengan sirkulasi gas nitrogen, katalis ditransfer ke disengaging hopper (84-V-253) yang
terletak di atas regenerator tower (84-C-251) untuk selanjutnya dimasukkan ke dust collector
(84-S-252). Dust collector berfungsi memisahkan debu katalis dan N2. N2 dikembalikan ke lift
engager nomor 1, sementara katalisnya mengalir dari bottom disengaging hopper ke
regenerator tower. Keluar dari tower ini, katalis melalui flow control hopper menuju surge
hopper. Katalis yang sampai di surge hopper dikirim kembali ke reaktor melalui lock hopper
nomor 2 (84-V-256) dan lift engager nomor 2 (34-V-257).
Spent Catalyst
C1, O2, N2
Generated Catalyst (utama)
Debu katalis (samping)
paraffinic, naphthenic, maupun aromatic. Proses pada unit platforming ini bertujuan
menghasilkan senyawa aromatic dari naphthenic dan paraffinic, yang dapat digunakan
sebagai bahan bakar motor. Dalam unit platforming ini, hidrokarbon aromatic tidak berubah,
sebagian naphthenic akan dengan cepat berubah menjadi aromatic, sedangkan paraffinic sulit
dikonversi.
Mula-mula naphtha dari unit NHT dan gas H2 dari recycle gas compressor (84-K-201)
dimasukkan ke combined feed exchanger (84-E-201 A/H) yang panasnya berasal dari effluent
reactor (84-R-201 A/D). Setelah dipanaskan kembali di furnace, naphtha diumpankan ke
reaktor pertama yang terdiri dari 10% katalis. Reaksi ini bersifat exothermic sehingga
temperatur operasinya akan turun. Oleh sebab itu, naphtha dipanaskan lagi untuk masuk ke
reaktor kedua, dan begitu seterusnya. Kebutuhan katalis di reaktor ke dua sebanyak 15%,
reaktor ke tiga 25%, dan reaktor ke empat 50%. Perbedaan jumlah katalis paa masing-masing
reaktor dikarenakan katalis yang mengalir dari reaktor pertama hingga ke empat mengalami
deaktivasi akibat pembentukan coke ataupun racun katalis yang terbawa oleh naphtha.
Dengan demikian, untuk mendapatkan yield yang tetap tinggi diperlukan katalis yang lebih
banyak dari reaktor sebelumnya.
Effluent reaktor ini kemuadian dialirkan ke combined feed exchanger (84-E-201 A/H)
untuk dimanfaatkan pansnya (seperti yang dijelaskan sebelumnya), lalu didinginkan
IV-6
C4 yang kemudian
didinginkan menggunakan fin-fan cooler (84-E-208) dan trim cooler (84-E-209) sehingga
mengalami kondensasi untuk selanjutnya ditampung di debutanizer receiver (84-V-204).
Hidrokarbon ringan dari cairan di debutanizer receiver diteruskan ke caustic wash drum (84V-221) untuk menghilangkan klor yang terikut di hidrokarbon tersebut. Hidrokarbon yang
bebas klor selanjutnya diumpankan ke sand filter (84-V-222) untuk disaring. Hidrokarbon
ringan yang telah bersih dipanaskan di feed bottom exchanger (84-C-203) dengan
memanfaatkan panas dari effluent deethanizer column, untuk selanjutnya diumpankan ke
deethanizer column. Overhead produk berupa fuel gas, sementara bottom produknnya ialah
LPG.
Bottom product deethanizer column merupakan senyawa aromatic yang harus
didinginkan dalam feed bottom exchanger (84-E-207). Kalor yang dilepaskan lalu
dimanfatkan untuk memanaskan hidrokarbon ringan pada proses yang telah dijelaskan pada
paragraf sebelumnya. Bottom produk selanjutnya diumpankan ke platformer splitter column
sehingga terjadi pemisahan antara light aromatic dan heavy aromatic. Light aromatic
merupakan produk atas yang selanjutnya didinginkan menggunakan fin-fan cooler. Hasil
pendinginannya ditampung di receiver (84-V-206). Dari receiver ini, sebagian cairan
direfluks dan sebagian lagi diumpankan ke unit sulfolant (unit 85). Sementara itu heavy
aromatic merupakan produk bawah yang selanjutnya diumpankan ke unit xylene fractionation
(unit 87), namun ada juga yang disimpan sebagai cadangan.
IV-7
IV-8
toluene menjadi benzena. Benzena yang merupakan effluent reaktor dialirkan ke combined
feed exchanger untuk diserap panasnya, selanjutnya didinginkan menggunakan fin-fan cooler
(86-E-207) dan trim cooler (86-E-203). Hasil kondensasi benzena (wujud cair) lalu
ditampung di product separator (86-V-202), sementara benzena yang tidak terkondensasi
akan menjadi fuel gas tetapi ada juga yang direcycle di gas compressor (86-K-201). Di gas
compressor, benzena yang tidak terkondensasi ditambahkan make up gas pada bagian suction
kompresor untuk membantu kinerja kompresor tersebut. Hasil recycle gas ini lalu digunakan
untuk reaksi hidrogenasi toluena menjadi benzena (seperti telah dituliskan seblumnya).
Sedangkan untuk benzena yang berada di product separator, selanjutnya diumpankan ke
stripper column. Dalam hal ini ada sedikit gas yang terbawa oleh benzena cair.
Overhead product dari striper column adalah C1
dalam fin-fan (86-E-205) dan hasilnya ditampung di receiver (86-V-203). Di receiver ini gas
yang tidak terkondensasi akan menjadi fuel gas, sedangkan gas yang terkondensasi akan
menjadi cairan umpan ke debutanizer pada unit platformer. Panas dari bottom product dari
stripper column dimanfaatkan untuk memanaskan feed yang akan diumpankan ke tatoray
benzene column (86-C-202). Pada tatoray ini terjadi pemisahan antara C6 dan C7+. Benzena
yang terbentuk kemudian diumpankan ke unit Sulfolane untuk diekstrak campurannya.
Sedangkan toluena dan xylene juga diumpankan ke unit sulfolane tetapi bukan ke kolom
ekstraktor melainkan ke kolom tluene untuk mengambil toluena yang dihasilkan.
Penunjang Reaksi :
Produk
:
:
IV-9
dan unit sulfolane diumpankan ke clay tower (87-C-201 A/B) untuk dihilangkan kandungan
olefinnya sebelum akhirnya dialirkan ke kolom kedua (87-C-202-B).
Di dalam xylene column terjadi pemisahan senyawa berdasarkan titik didihnya. C8
menjadi overhead product, sedangkan C9+ aromatic menjadi bottom product. Overhead
product lalu didinginkan. Kalor yang dilepaskan dimanfaatkan sebagai sumber pemanas pada
unit-unit lain seperti pada paraxylene extraction. Hasil pendinginan lalu ditampung dalam
vessel (87-V-201), untuk selanjutnya diumpankan ke parex feed surge drum (87-V-202) di
unit Parex. Sedangkan bottom product dari xylene column diumpankan ke heavy aromatic
column pada tray ke 26 dari total 50 tray. Untuk C9 aromatic dari bottom product ini dapat
dengan mudah diubah menjadi xylene dan benzena pada unit tatoray. Sementara C10+ (heavy
aromatic) dikirim ke refinery fuel atau Instalasi Tangki dan Perkapalan (ITP) untuk
diblending dengan Automotive Diesel Oil (ADO).
Umpan
Produk
:
:
:
IV-10
ini sebagian besar adalah toluena yang diektrasksi dari paraxylene. Overhead vapor dari
finishing column didingingkan dan diembunkan menggunakan fin-fan cooler lalu ditampung
di receiver (88-V-209). Sementara itu, bottom product dari finishing column dikiem ke
paraxylene day tanks.
Bottom product dari extract merupakan dsorben bersih yang dipompa melalui tube
side feed bottom exchanger menuju desorbent surge drum. Rafinat stream (seperti telah
disebutkan pada paragraf 1) dihilangkan dari bottom zone 1 dalam adsorbent chamber. Aliran
rafinat dari adsorber chamber dibagi untuk dialirkan menuju rotary valve nomor 1 dan 2,
selanjutnya rafinat dikirim ke rafinat column mixing drum untuk memperkecil fluktuasi
konsentrasi. Net overhead product dari rafinat column dikirim sebagai sidecut ke unit isomar
melalui rafinate sidecut surge drum. Sedangkan bottom product diumpankan ke desorbent
rerun column (88-C-201). Di kolom ini, komponen-komponen berat dihilangkan dari
desorben yang mungkin terbawa. Kompone berat tersebut berasal dari PDFB (Para dietil
benzena) yang teroksidasi. Bottom product dari rerun column adalah fuel oil, sedangkan
overhead productnya adalah desorbent yang selanjutnya dikembalikan ke desorbent surge
tank.
Umpan
:
Penunjang Reaksi :
Produk
:
:
IV-11
Efluent reaktor diambil panasnya pada exchanger untuk dimanfaatkan kembali pada
proses pemanasan pertama feed. Effluent lalu didinginkan oleh fin-fan dan hasilnya ditampung
pada product separator (89-V-201). Di product separator ini, gas yang tidak terkondensasi
dialirkan ke line fuel gas dan ada juga yang diumpankan ke recycle gas kompresor untuk
merecycle gas H2 yang masih tersisa. Sedangkan gas yang terkondensasi menjadi cairan, dari
product separator ini dialirkan ke dehepthanizer column (89-C-202). Kolom ini menghasilkan
produk atas berupa komponen C7- untuk dialirkan ke unit debutanizer (84-C-202), sementara
itu produk bawahnya yang mengandung C8+ dialirkan ke unit xylene fractionation.
Umpan
:
Penunjang Reaksi :
Produk
:
:
Katalis
:
V-1
BAB V
UTILITAS DAN PENGOLAHAN LIMBAH
V.1
Utilitas
Unit Utilitas di PT. Pertamina Refinery Unit IV Cilacap berfungsi menunjang
operasi pengolahan kilang seperti tenaga listrik, tenaga uap, air pendingin, air bersih, bahan
bakar cair/gas, udara instrumen, dan lain-lain sehingga kilang dapat memproduksi BBM dan
Non BBM. Di Pertamina RU IV Cilacap, kompleks utilitas saat ini terdiri dari:
a. Utilitas I (area 50), dibangun pada tahun 1973 dan mulai beroperasi tahun 1976 untuk
menunjang pengoperasian FOC I, LOC I dan ITP / off site area 30, 40, 60 dan 70
dengan kapasitas pengolahan 100.000 barrel/hari.
b. Utilitas II (area 05), dibangun tahun 1980 dan mulai beroperasi pada tahun 1983 untuk
menunjang pengoperasian FOC II, LOC II, ITP/ off site area 30, 40, 60, dan 70 dengan
kapasitas 200.000 barrel/hari.
c. Utilitas KPC / Paraxylene sebagian besar unitnya terletak di Utilitas I / (area 50), mulai
beroperasi tahun 1990 khusus untuk menunjang area kilang Paraxylene dengan
kapasitas produksi Petrokimia sebanyak 270.000 barrel/hari.
d. Utilitas IIA (area 500), beroperasi pada tahun 1998 dengan sarana terbatas, khusus
dirancang untuk menunjang pengoperasian Debottlenecking kilang Cilacap, sehingga
total kapasitas pengolahan Kilang Cilacap dapat dinaikkan dari 300.000 barrel/hari
menjadi 348.000 barrel/hari.
Untuk memenuhi kebutuhan kilang Cilacap maka Pertamina RU IV secara
operasional memiliki unit unit utilitas, yaitu :
Unit 51/ 051/ 510
V.1.1
oleh tenaga uap. Sistem ini beroperasi dengan extractive condensing turbine dengan high
V-2
pressure steam (HP steam) yang bertekanan 60 kg/cm2 dengan temperatur 4600C. Dan
menghasilkan medium pressure steam (MP steam) bertekanan 18 kg/cm2 dengan temperatur
330 0C serta menghasilkan pula kondensat recovery sebagai air penambah pada tangki
desuperheater dan tangki Boiler Feed Water (BFW).
Sistem pembangkit, terdiri dari :
Utilitas I area 50 : 51 G 1/ 2/ 3
(3 unit) kapasitas @ 8 MW
(3 unit) kapasitas @ 20 MW
Utilitas KPC
: 51 G 201
(1 unit) kapasitas 20 MW
Utilitas IIA
: 510 G 301
(1 unit) kapasitas 8 MW
Dengan kapasitas total terpasang saat ini 112 MW, dan kapasitas terpakai pada saat
beban puncak mencapai 67 MW.
V.1.2
Sistem pembangkit
Tenaga uap tekanan 60 kg/cm2 dan temperatur 460C atau High Pressure Steam
dihasilkan dari :
Boiler UTL I
: 52 B 1/2/3
Boiler UTL II
: 052 B101/102/103/104
: 520 B 301
Sebagian besar uap tekanan tinggi tersebut digunakan sebagai tenaga penggerak
turbin generator dan sebagian kecil untuk penggerak turbin pompa boiler feed water (BFW)
dan cooling water.
b.
High
pressure
steam
dengan
tekanan
60
kg/cm2,
temperatur
460oC,
V-3
pompa, kompressor, pemanas pada heat exchanger, penarik sistem vakum pada
ejector di semua area proses.
3.
Low pressure steam dengan tekanan 3,5 kg/cm2 temperatur 220oC, superheated. LP
dihasilkan dari sistem back pressure turbine dan let down station MP/LP.
c.
Sistem kondensat
Di dalam sistem selalu terjadi kondensasi dan kondensat yang terjadi dimanfaatkan
kembali sebagai boiler feed water guna mengurangi water losses. Tiga jenis kondensat :
High pressure condensat yang berasal dari HP dan MP steam line. Kondensat ini
ditampung dalam suatu flash drum untuk dipisahkan menjadi LP condensat dan LP steam.
Clean condensat yang berasal dari surface condenser turbine generator dan brine
heater SWD (sea water desalination).
V.1.3
bertekanan dan sistem gravitasi. Sirkulasi air pendingin menggunakan sistem terbuka (once
through). Sistem bertekanan digunakan untuk semua unit proses yang didistribusikan dengan
pompa :
UTL I
: 53 P1 A/B/C
UTL II
V.1.4
tertentu dengan cara distilasi pada tekanan rendah (vakum). Sistem ini dilaksanakan pada unit
Sea Water Desalination (SWD).Di unit pengolahan IV Cilacap ada dua sistem SWD yaitu;
multi stage flash once through dan multi stage flash brine recirculations.
Utilitas Pertamina Refinery Unit IV Cilacap memiliki 8 buah unit SWD yaitu :
1.
UTL I
UTL II
V-4
once through).
Produk unit SWD ini digunakan untuk :
1.
2.
Sebagai jacket water untuk pendingin sistem minyak pelumas pada rotating
equipment.
3.
4.
V.1.5
pompa air bakar yang berkapasitas 600 m3/jam pada tekanan 12,5 kg/cm2, dan fasilitas
pengaman cairan busa udara.
V.1.6
a.
UTL I
UTL II
: 56K102
kapasitas @ 23 Nm3/menit
UTL KPC
: 56K201
kapasitas @ 23 Nm3/menit
UTL IIA
Udara instrumen ini harus kering dan tidak boleh mengandung minyak. Peralatan di
sistem ini terdiri dari inter dan after cooler, receiver, air dryer, air filter dan pipa
distribusi.
b.
Sebagai plant air untuk tube cleaning pada surface condensorturbine generator dan
evaporator condensor SWD.
V.1.7
a.
boiler dan furnace saat normal operasi, sedangkan HGO digunakan pada saat start up dan
shut down unit serta untuk flushing oil dan sealing system. Untuk mengatur viskositas dipakai
sarana heat exchanger dengan media pemanas MP steam. HFO didistribusikan dengan dua
V-5
sistem yaitu dengan tekanan tinggi 35 kg/cm untuk keperluan sistem High Vacuum Unit dan
tekanan rendah 18 kg/cm2 untuk keperluan burner. HFO terdiri dari slack wax, slop wax,
heavy aromate dan IFO yang diperoleh dari proses area.
b.
diperoleh dari unit proses dan ditampung di mix drum 57V2 dan 057V102 selanjutnya
didistribusikan melalui pipa induk ke semua proses area dengan tekanan diatur 3,5 kg/cm2.
Apabila tekanan lebih dari 4 kg/cm2 akan dibuang ke flare dan apabila kurang dari 2,5
kg/cm2 akan disuplai dari LPG vaporizer sistem dengan media pemanas LP steam. LPG
vaporizer ini berfungsi untuk menampung dan memproses propane dan butane yang off
spec. Pada sistem bahan bakar gas ini terdapat juga waste gas kompresor yang berfungsi
untuk memperkecil gas yang hilang ke flare.
V.1.8
UTL I
: pompa 63 P1 A/B/C
UTL II
UTL KPC
kapasitas
7900 m3/jam.
UTL IIA
kapasitas
7900 m3/jam.
Dari kali Donan air sungai dipompakan ke Jetty Donan (area 60). Ruangan
pengambilan air baku dilengkapi dengan fixed bar screen, retractable strainer dan floating
gate yang berfungsi untuk menyaring kotoran misalnya sampah, serta suction screen. Dari
unit 63 dan 063 air baku tersebut kemudian dialirkan melalui pipa kedalam 3 buah tangki.
Untuk mencegah terjadinya lumut dan menghindari hidupnya kerang dan mikroorganisme
lainnya, pada saluran hisap semua pompa air baku diinjeksikan sodium hipokloride hasil dari
sodium hipokloride generator. Air baku ditampung dalam tangki selanjutnya digunakan
sebagai media :
V.2
Pengolahan Limbah
V-6
tiaptiap unit, namun limbah dari beberapa unit digabung menjadi satu baru kemudian diolah.
Limbah cair pengolahannya dilakukan secara bertahap meliputi : Sour Water Stripper (SWS),
Corrugated Plate Inceptor (CPI), Holding Basin, dan Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL).
a. Sour Water Stripper (SWS) Unit 17&017
Unit ini dirancang untuk mengolah sour water dari Visbreaking Unit, Naphta
Hydrotreating Unit, High Vacum Unit, Crude Distillation Unit, AH Unibon, Destillate
Hydrotreating Unit yang mengandung H2S, NH3, fenol, CO2, mercaptan, cyanida dan pada
hydrocracking sour water terdapat fluorida. Unit ini dirancang untuk dapat membersihkan
97% dari H2S yang kemudian dibakar di flare, sedang air bersih yang tersisa dapat digunakan
kembali. Dalam sour water H2S dan NH3 terdapat dalam bentuk NH4HS yang merupakan
garam dari basa lemah dan asam lemah. Di dalam larutan ini, garam terhidrolisa menjadi H2S
dan NH3.
Reaksi :
NH4HS
H2S dan NH3
NH3 + H2S
bebas sangat mudah menguap dalam fase cair. Gas H2S dan
NH3 dapat dipisahkan dengan menggunakan steam sebagai stripping medium atau steam
yang terjadi dari pemanasan sour water itu sendiri (dalam reboiler). Hidrolisa akan naik
dengan naiknya suhu. Kelarutan H2S cepat dipisahkan. Sour water yang telah mengalami
stripper akan menaikkan konsentrasi NH3/H. Pada unit 052 terdapat empat boiler dengan
kapasitas masing-masing 110 ton/jam HP steam. Jenis boiler yang dipakai adalah water tube
boiler yang mampu menghasilkan HP steam pada tekanan 60 kg/cm2 dan temperatur
4600C. Penghasil HP steam lainnya adalah Waste Heat Boiler (WHB) yang terdapat di
unit 014 dan 019 menghasilkan MP steam dengan kapasitas masing-masing 30 ton/jam. MP
steam digunakan untuk pengabut bahan bakar minyak, vacuum ejector, soot blowing dan
lain- lain. LP steam yang dihasilakn mempunyai tekanan 3,5 kg/cm2 dan temperatur 3300C.
LP steam digunakan untuk pemanas pipa-pipa, stripping steam pada distilasi.
b. Corrugated Plate Interceptor (CPI)
Corrugated Plate Interceptor (CPI) adalah jenis alat atau bangunan penangkap
minyak yang berfungsi untuk memisahkan air dan minyak dengan menggunakan plate sejajar,
dibuat dari fiber glass yang bergelombang yang dipasang dengan kemiringan tertentu, bekerja
V-7
secara gravitasi. CPI memiliki kemampuan memisahkan lebih besar dibanding dengan alat
pemisah lain, mampu memisahkan partikel minyak sampai dibawah 150 mikron dengan
menggunakan permukaan pemisah tambahan berupa plat sejajar maka didapatkan proses
pemisahan dalam kondisi laminer dan stabil. Kecepatan aliran dari plat yang bergelombang
dan perbedaan spesifik grafity antara minyak dan air menyebabkan minyak akan naik ke atas,
sedangkan air akan turun ke bawah yang kemudian masuk parit dan akhirnya ke Holding
Basin untuk diolah lebih lanjut sebelum dibuang ke badan air penerima (Sungai Donan).
c. Holding Basin
Holding Basin adalah kolom untuk menahan genangan minyak bekas buangan pabrik
supaya tidak lolos ke badan air penerima, dengan perantaraan skimmer (penghisap genangan
minyak dipermukaan), floating skimmer (menghisap minyak di bagian tengah), dan baffle
(untuk menahan agar minyaknya tidak terbawa ke badan air penerima). Selanjutnya,
genangan minyak ditampung pada sump pit kemudian dipompakan ke tangki slops untuk direcovery. Holding Basin dibuat dengan tujuan untuk mencegah pencemaran lingkungan,
khususnya bila oil water sampai lolos ke badan air. Genangan minyak berasal dari bocoranbocoran peralatan pabrik atau lainnya. Holding Basin yang terdapat di Pertamina RU IV
Cilacap ada dua yaitu Exciting Holding Basin Unit 49 dan New Holding Basin Unit 66.
Exciting Holding Basin Unit 49
Unit ini menerima effluent dirty water dari exciting water ditch area 50, dari aliran
cooling water area 10 dan 20 dan dari exciting overflow waste CPI separator area 10, 20,
30, 40. Exciting effluent water masuk ke dalam Holding Basin lewat bagian depan di mana
sheetpiles sebelah barat makin ke selatan semakin melebar. Pada bagian Holding Basin
dibelah oleh sheetpiles sebelah sepanjang kira-kira 1/3 bagian, memanjang dari depan yang
berfungsi agar effluent water dijaga tetap laminer sehingga diperoleh lapisan minyak yang
sempurna. Lapisan minyak yang terjadi akan tertahan oleh baffle, sehingga terkumpul di
daerah skimmer. Konstruksi baffle dibuat sedemikian rupa sehingga pada pojok timur dan
barat Holding Basin membentuk sudut kurang dari 90 o, yang bertujuan untuk
mengumpulkan lapisan minyak agar mudah ke skimmer. Melalui skimmer yang dapat dinaikturunkan dengan handsparating wich sesuai dengan ketebalan lapisan minyak maka
skimmed oil secara gravitasi flow akan masuk ke skimmer dan selanjutnya ke bak sump pit.
Dengan perantaraan portable pump, skimmed oil dari bak sump pit dipompakan existing wet
slops tank 43T 2 atau 43T 3 untuk persiapan recovery. Clean water mengalir di bawah
baffle, kemudian melewati weir sheetpiles terus ke perairan bebas. Jika lapisan minyak tidak
mau berkumpul maka digunakan floating skimmer 66A 103.
V-8
Excess stripped water dari Unit Sour Water Stripper FOC I dan FOC II
Inlet WWTP
COD
1000 ppm
Max 80 ppm
BOD
600 ppm
Max 40 ppm
Sulfide
30 ppm
Phenol
2 ppm
100 ppm
Max 4 ppm
Oil Content
300 ppm
Max 10 ppm
V-9
Preliminiary Teratment : untuk memisahkan coarse material dari wastewater terdiri dari
unit API Separator, CPI Separator dan Pengental Pasir.
2.
Primary Treatment : Untuk memisahkan suspended/small material dan floating sums dari
waste water terdiri dari unit Equalization Tank dan Dissolved Air Flotation (DAF).
3.
4.
Tertiary Treatment : Untuk memisahkan polutan yang belum terpisahkan pada proses
sebelumnya (nitrates, phosphates, sulphates, other organic compounds) dengan
menggunakan proses fisika dan kimia terdiri unit Sedimentation Tank dan Sludge
Thickener.
5.
Solid Handling : untuk mengolah sludge dari beberapa tahapan treatment yaitu Belt Press
Primary dan Belt Press Secondary.
Peralatan Proses :
1.
API Separator berfungsi untuk memisahkan air limbah dengan minyak melalui skimmer
dan lumpur/pasir secara gravitasi.
2.
CPI Separator berfungsi memisahkan air limbah dengan film/lapisan minyak melalui
lamella separator dan skimmer.
3.
Pengental Pasir berfungsi untuk memisahkan lumpur/pasir dengan air limbah secara
gravitasi oleh clarifier.
4.
Belt Press Primary berfungsi untuk mengurangi kandungan air dalam lumpur/pasir
sehingga terbentuk cake.
5.
Oil Storage berfungsi untuk menampung minyak hasil pemisahan API/CPI Separator
yang selanjutnya dialirkan ke Slop Tank.
6.
Equalization Tank berfungsi untuk mengkondisikan air limbah dengan surface aerator
yang sudah terpisah dari lumpur/pasir dan masih mengandung partikel minyak sebelum
di proses oleh DAF.
7.
8.
Aeration Tank berfungsi untuk memproses air limbah yang berasal dari DAF
mikroorganisme/bakteri/actived
V-10
sludge
yang
dapat
mendegradasi
kandungan ammonia, phenol, merkuri dan zat organik lainnya sehingga hasilnya sesuai
dengan baku mutu air limbah.
9.
Sedimentation Tank berfungsi untuk memisahkan lumpur aktif dengan air dimana produk
air bersih akan dialirkan ke Clean Water Tank dan lumpur aktif akan dialirkan kembali ke
Aeration Tank dan Sludge Thickener.
10. Clean Water Tank berfungsi menampung produk air limbah yang sesuai baku mutu yang
kemudian dialirkan ke cooling water tank.
11. Sludge Thickener berfungsi untuk memisahkan sludge dengan air secara gravitasi oleh
clarifier.
12. Belt Press Secondary berfungsi untuk mengurangi kandungan air dalam lumpur/sludge
sehingga terbentuk cake.
V.2.2
Dibuat stack/cerobong asap dengan ketinggian tertentu sebagai alat untuk pembuangan
asap.
b.
Gasgas hasil proses yang tidak dapat dimanfaatkan dibakar dengan menggunakan flare.
V.2.3
tidak dapat dibuang begitu saja ke alam bebas karena mencemari lingkungan. Pada sludge
selain mengandung lumpur / pasir dan air juga masih mengandung hidrokarbon (HC) fraksi
berat yang tidak dapat di-recovery ke dalam proses maupun bila dibuang ke lingkungan
tidak akan terurai secara alamiah dalam waktu singkat. Perlu dilakukan pemusnahan
hidrokarbon tersebut untuk menghindari pencemaran lingkungan. Dalam usaha tersebut di
Pertamina RU IV Cilacap, sludge dibakar dalam suatu ruang pembakar (incinerator) pada
temperatur tertentu sehingga lumpur/pasir yang tidak terbakar dapat digunakan untuk
landfill atau dibuang di suatu area tanpa mencemari lingkungan.
VI-1
BAB VI
ANALISA LABORATORIUM
Bagian laboratorium memegang peranan penting di area kilang, karena pada sub
bidang ini data-data tentang raw material dan produk akan diperoleh. Dengan data-data yang
diberikan maka proses produksi akan selalu dapat dikontrol dan dijaga standar mutunya sesuai
dengan spesifikasi yang diharapkan. Bagian laboratorium berada di bawah sub bidang
teknologi dan bidang engineering yang mempunyai tugas pokok :
Sebagai pengontrol kualitas bahan baku, dan
Sebagai pengontrol kualitas produk.
Bahan-bahan yang diperiksa di laboratorium ini adalah :
Crude oil,
Stream product FOC I/ II/ III, LOC I/ II/ III, dan paraxylene,
Utilities : water, steam, fuel oil, fuel gas, chemical agent, dan katalis,
Intermediate product dan finishing product.
Dalam pelaksanaan tugasnya, bagian laboratorium dibagi menjadi Laboratorium
Pengamatan,
Laboratorium
Analitik
dan
Gas,
Laboratorium
Litbang,
dan
Ren.ADM/Gudang/Statistik.
VI-2
VI-3
Hydrometer : Alat untuk mengukur spesific gravity (50/500 F) dari minyak yang berfraksi
ringan dan fraksi berat.
Viskometer Bath : Alat untuk mengukur viskositas minyak fraksi ringan dan fraksi berat.
Water Content Tester : Alat yang digunakan untuk menganalisa kadar air dalam minyak,
metode operasinya adalah destilasi, dimana rumus yang digunakan adalah :
% air = Volume air dalam penampung x 100%
Volume sampel
Pure Point Tester : Alat yang digunakan untuk mengukur purepoint (titik tuang) dari
minyak, dimana yang diamati adalah temperatur minyak tertinggi pada saat minyak masih
dapat dituang.
VI-4
Moisturemeter : Digunakan untuk menganalisa kandungan air dan bromine indeks dari
olefin.
Desult Oksigen : Digunakan untuk mengecek feed naphtha terhadap kandungan O2.
Di samping itu laboratorium ini juga menggunakan peralatan yang ada pada laboratorium lain.
VI-5
Prosedur Analisa
Prosedur analisa yang digunakan pada laboratorium adalah : titrasi, volumetri,
VI.4
peralatan untuk menjamin kelancaran dan tercapainya target operasi. Beberapa analisa
diperlukan untuk menegetahui kandungan dalam suatu parameter tertentu.
Berikut adalah berbagai analisa laboratorium yang digunakan pada unit CCR
Platforming :
a. Metode UOP 777
- Tujuan : Menganalisa kandungan jenis hidrokarbon paraffin, olefin dan aromatic
berdasarkan jumlah carbon number-nya.
- Analisa : Sampel dianalisa berdasarkan sistem fraksi dari minyak bumi dengan
menggunakan gas chromatography. Sampel dianalisa dengan Fluorescent Indicator
Adsorption (FIA) untuk mendapatkan perkiraan kandungan olefin total. Pemecahan kejenuhan
untuk memperkirakan presentase paraffin dan naphthene dari carbon number dengan
memproses sampel pada silica gel untuk memperoleh saturate fraction dan menganalisanya
pada gas chromatography.
b. Metode ASTM D 4045 (Hydrogenolysis Rateometric Colorimetry)
- Tujuan : Untuk mengetahui kandungan sulfur mencapai 50 ppb pada feedstock dan
petroleum product.
- Analisa : Sampel diinjeksikan dengan laju kecepatan konstan ke dalam aliran
hidrogen di hydrogenolisis apparatus. Sampel dan hidrogen akan terpirolisis pada
temperetaur 1300C atau diatasnya, untuk mengubah senyawa sulfur menjadi H2S. Hasil
pengamatannya diditeksi dengan rateometric detection dengan sistem reaksi secara
kolorimetric antara H2S dengan lead asetat.
c. Metode ASTM D 4629
- Tujuan : Untuk mengetahui kandungan nitrogen mencapai kandungan 0.1 ppm pada
feedstock cairan hidrokarbon dengan boiling range 50C sampai 400C.
- Analisa : Sampel cairan hidrokarbon diinjeksikan pada aliran gas (helium atau
argon). Sampel akan menguap dan terbawa ke daerah temperatur tinggi dimana O2 akan
VI-6
dimasukkan sehingga nitrogen akan membentuk nitric oxide (NO). NO kemudian akan
dikontakkan dengan ozone dan membentuk nitrogen oxida (NO2), sinar akan dipancarkan
untuk mendeteksi kandungan NO2 yaitu dengan photomultipliertube dan menghasilkan sinyal
yang dapat mengukur N dalam sampel.
d. Metode UOP 395
- Tujuan : Mengetahui kandungan chloride sampai 1 ppm dengan kandungan umpan
mempunyai kadar sulfur yang rendah.
- Analisa : Sampel akan didistilasi dengan reduksi sodiumbiphenyl menggunakan
sistem colorimetric.
e. Metode UOP 709
- Tujuan : Menetapkan kandungan C6 hidrokarbon dengan jangkauan pendeteksian
mencapai 0.1 mol %.
- Analisa : Sampel nantinya akan diditeksi dengan detector konduktivitas thermal
yang mempunyai 2 kolom yang dihubungkan secara seri.
f. Metode ASTM D-86 (Distillation of Petroleum Product)
- Tujuan : Untuk mendistilasi produk petroleum sehingga dapat diketahui nilai
boiling point nya.
- Analisa : Sejumlah 100 ml sampel, didistilasi dengan menggunakan rangkaian alat
ASTM D-86 pada kondisi yang telah ditentukan. Pengamatan dilakukan oleh pembacaan di
termometer dan jumlah kondensat yang dihasilkan.
g. Metode ASTM D-156 (Saybolt Chromometer Method)
- Tujuan : Untuk mengetahui warna dari minyak sulingan seperti gasoline, bahan
bakar, naphtha dan kerosene.
- Analisa : Sejumlah sampel ditambahkan pada tubular column sampai sumber
cahaya dapat terlihat lalu warnanya dibandingkan dengan spesifikasi pada glass standart.
h. Metode ASTM D-283 (Hydrometer Method)
- Tujuan : Untuk menentukan API Gravity pada minyak mentah dan petroleum
product.
- Analisa : Sampel dimasukkan pada glass hydrometer API Gravity dengan tekanan uap
dibawah 26 lbs. Gravity kemudian dibaca dengan melihat standar table pada temperature
60C.
i. Metode ASTM D-323 (Reid Method)
- Tujuan : Menentukan tekanan uap absolut pada petroleum seperti crude oil dan
petroleum product selain LPG.
VI-7
VII-1
BAB VII
KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
2.
Melaksanakan
penanggulangan
kecelakaan
kerja,
kebakaran/peledakan
dan
pencemaran lingkungan.
3.
Melakukan pembinaan aspek HSE kepada pekerja maupun mitra kerja (pihak III) untuk
meningkatkan safety awareness, melalui pelatihan, safety talk, operation talk, dsb.
4.
dan
penanggulangan
kecelakaan
kerja,
kebakaran/peledakan
dan
pencemaran lingkungan.
Dalam melaksanakan tugasnya, HSE dibagi menjadi 4 bagian dengan fungsi masingmasing termasuk juga dalam usaha penanganan limbah.
VII-2
Pertamina RU IV Cilacap.
2. Pengelolaan dan pemantauan kualitas lingkungan sesuai dengan standar dan ketentuan
perundangan yang berlaku.
3. Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, mencakup: pengangkutan, penyimpanan,
pengoperasian, dan pemusnahan.
4. Pengelolaan housekeeping dan penghijauan di dalam dan sekitar area kilang.
VII.4 Safety
Fungsi Safety atau Keselamatan Kerja (KK) adalah merencanakan, mengatur,
menganalisa dan mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan pencegahan kecelakaan dan
penyakit akibat kerja guna tercapai kondisi kerja yang aman, sesuai norma-norma kesehatan
untuk menghindarkan kerugian perusahaan.
Tanggung jawab bidang tugasnya adalah :
1.
2.
2.
3.
4.
5.
6.
Penyediaan Sarana Rumah Sakit dan Poli Kilang yang menangani kesehatan kerja dan
penyakit akibat kerja di area kilang.
VIII-1
BAB VIII
PENUTUP
VIII.1 Kesimpulan
Penarikan kesimpulan oleh praktikan didasarkan pada orientasi umum dan khusus
yang dilaksanakan oleh praktikan selama menjalani Kerja Praktik di PT. Pertamina RU IV
Cilacap adalah sebagai berikut:
1. Kilang Minyak Pertamina RU IV Cilacap
PT Pertamina (Persero) memiliki enam buah kilang yang masih aktif beroperasi di
seluruh Indonesia, salah satunya adalah kilang RU IV yang berada di daerah Cilacap,
Jawa Tengah.
Pertamina RU IV Cilacap merupakan kilang minyak terbesar di Indonesia dengan
kapasitas produksi sebanyak 348.000 barrel/hari.
Pertamina RU IV Cilacap merupakan satu-satunya kilang minyak di Indonesia yang
memproduksi bahan baku untuk minyak pelumas dengan menggunakan bahan baku
minyak mentah dari timur tengah.
Kilang minyak Pertamina RU IV Cilacap merupakan pelopor dalam Integrated plant di
Indonesia.
2. Process Engineering
Bersama dengan project dan facility engineering, PE memiliki tanggung jawab dalam
proses produksi di semua area kilang dan perlindungan lingkungan.
Performance alat, spesifikasi bahan dan penggunaan teknologi yang tepat merupakan
parameter yang dimonitor oleh process engineering dalam rangka profit perusahaan.
3. Fuel Oil Complex
Pertamina RU IV Cilacap tidak hanya mengolah crude oil dalam negeri dan middle east
tetapi saat ini crude oil yang diolah juga berasal dari campuran beberapa crude oil
domestic, yang dikenal dengan Cocktail Crude Oil
Dalam pengoperasian dan pengendaliannya, FOC II dibagi menjadi 2 bagian yaitu FOC
IIA (bagian selatan) dan FOC IIB (bagian utara).
FOC IIB adalah bagian dari unit FOC II yang khusus menangani treating process yang
mengolah produk-produk dari FOC IIA. Unit ini terdiri dari NHT, Platformer, AH
Unibon, TDHT, dan flare system and nash compressor.
4. Lube Oil Complex
VIII-2
Bahan dasar pelumas (lube base oil) di Indonesia hanya diproduksi oleh Pertamina RU
IV Cilacap melalui LOC I, II, III.
5. Kilang Paraxylene
Bahan baku kilang paraxylene adalah side stream dari CDU II FOC II.
Kilang Praxylene Cilacap (KPC) merupakan kilang Petrokimia yang bertujuan untuk
mengolah heavy naphta menjadi Paraxylene yang berguna sebagai bahan baku Purified
Teraptalic Acid (PTA).
Proses dibagi menjadi 4 proses utama yaitu unit persiapan proses (NHT Unit), Unit
Sintesa (CCR dan Platforming Unit), Unit Pemurnian (Sulfolane, Xylene Fractination,
Parex Process Unit) dan Unit Peningkatan Produk (Tatoray Unit, Isomar Process Unit).
6. Kilang Residual Fluidized Catalytic Cracking
Bahan baku kilang RFCC adalah LSWR yang berasal dari kilang FOC II menggantikan
unit Visbreaker.
Unit yang terdapat di kilang RFCC adalah RFCC Unit, Gasoline Hydrotreating Unit,
Gasoline Sweetening Unit, LPG Sweetening Unit, Propylene Recovery Unit, Amine
Treating Unit, dan Sour Water Treating Unit
7. Pertamina RU IV Cilacap juga mendukung komitmen terhadap lingkungan sehingga
dibangunlah Kilang Sulphur Recovery Unit (SRU) dan Kilang Wastewater Treatment.
VIII.2 Saran
1. Kerja keras, disiplin, dedikasi dan loyalitas dari karyawan dan pimpinan perlu
dipertahankan dan ditingkatkan demi mempertahankan keteladanan PT Pertamina RU IV
Cilacap.
2. Meningkatkan kerjasama antara PT Pertamina (Persero) RU IV Cilacap dengan masyarakat
sekitar PT Pertamina (Persero) RU IV Cilacap, sebagai contoh dengan membuat program
program yang bermanfaat untuk masyarakat sekitar dalam kegiatan CSR (Company Social
Responsibility).
3. PT Pertamina (Persero) RU IV Cilacap diharapkan selalu meningkatkan peranannya untuk
menjembatani dunia pendidikan (Perguruan Tinggi) dengan dunia kerja sesungguhnya,
sehingga dapat bermanfaat dan menguntungkan.
TUGAS KHUSUS
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
Daftar Isi
...................................................................................................................... i
Daftar Tabel
..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang ............................................................................................................... I-1
I.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................... I-1
I.3 Tujuan Umum dan Khusus............................................................................................. I-2
I.4 Manfaat... ................................................................................................... I-2
BAB V PENUTUP
V.1 Kesimpulan ................................................................................................................. V-1
V.2 Rekomendasi .............................................................................................................. V-1
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1
Gambar II.2
Gambar IV.1
Gambar IV.2
Gambar IV.3
Gambar IV.4
Gambar IV.5
Gambar IV.6
Gambar IV.7
Profil KI, KE, dan ROT Periode Juni-Juli 2016 ...................................... IV-6
Gambar IV.8
Gambar IV.9
DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR TABEL
Tabel IV.1
Data Independent Variable Katalis Isomar Periode Juni-Juli 2016 ....... IV-4
Tabel IV.2
Tabel IV.3
Tabel IV.4
ABSTRAK
Katalis isomar berperan mengoptimalkan produksi paraxylene pada proses isomerasi mixed xylene
(orthoxylene dan metaxylene) dan konversi ethyl benzene. Laporan mengenai Evaluasi Performa Katalis
Isomar UOP I400 Periode Juni-Juli 2016 di Kilang Paraxylene Cilacap ini bertujuan mengevaluasi
kinerja katalis didasarkan kriteria teknis dan kondisi operasi katalis isomer, serta memberi saran solusi
yang harus diambil apabila katalis tersebut belum memenuhi kriteria. Performa katalis yang dievaluasi
meliputi aktivitas dan selektivitas. Aktivitas katalis dapat diketahui melalui dari K I, KE dan D
convergence. Sedangkan selektivitas dapat diketahui dengan menghitung EB conversion, EB ate, PX/X,
dan C8A Ring Loss.
Evaluasi terhadap katalis isomar ini menggunakan metode kuantitatif dan studi literatur. Data
kondisi operasi diperoleh dari DCS (Distribution Control System), sedangkan data %Ethyl Benzene
%Paraxylene, %Metaxylene, %Orthoxylene, %Total Xylene, %Total Xylene Aromatis yang masuk reaktor,
%Ethyl Benzene %Paraxylene, %Metaxylene, %Orthoxylene, %Total Xylene, %Total Xylene Aromatis yang
keluar reaktor, Partial Pressure H2 , Suhu Feed yang masuk reaktor, Suhu Feed keluar reaktor, Suhu MakeUp H2 , pressure,flow feed masuk reaktor, flow feed masuk reaktor, Produk Flow, dan Make-up H2 Flow
diperoleh dari data laboratorium. Selanjutnya, dari data tersebut dihitung menggunakan Microsoft Excel.
Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa, RIT berada di bawah batas maksimal dari nilai
desain (364,32 C vs max 400C), rasio H2 /HC kurang dari nilai desain (2,9 vs 3-3,5), PPH2 yang melebihi
nilai target, LHSV yang berada di bawah batas minimum (2,06 hr-1 vs min 2,35 hr-1 ), D convergence kurang
dari batas maksimal (2,39 vs max 2,5), EB conversion lebih dari target minimal (23,81% vs min 20%), EB
ate lebih dari target minimal (57,79% vs min 45%), PX/X lebih dari target minimal (22,72% vs min 22,2%),
dan C8A ring loss kurang dari batas maksimal (2,45% vs max 3%). Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa katalis isomer UOP I400 memiliki aktivitas dan selektivitas yang baik, namun beberapa independent
belum memenuhi kriteria teknis dan kondisi operasi katalis isomar. Oleh sebab itu rekomendasi yang
diberikan adalah meningkatkan recycle H2 purity untuk meningkatkan nilai H2/HC dan menjaga RIT/ROT
dan LHSV pada kondisi tetap, jika aktivitas dan selektivitas katalis isomar sudah baik.
PENDAHULUAN
I-1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Paraxylene (P-x) telah digunakan secara luas sebagai bahan baku beberapa material
sintesis di industry kimia. P-x ini merupakan senyawa C 8 aromatis yang telah mengalami
proses isomerasi sehingga mendekati kesetimbangan campuran (equilibrium mixture). Proses
isomerasi melibatkan katalis yang bekerja optimal pada rentang suhu dan temperatur tertentu
untuk memproduksi P-x dari orthoxylene (O-x), metaxylene (M-x) dan ethylbenzene (EB).
Toluene
(0,0123)
Ethylbenzene (0,0776)
Paraxylene
(0,0091)
Metaxylene
Orthoxylene
Non aromatis
(0,5052)
(0,2208)
(0,1750)
Toluene
(0.01)
Ethylbenzene (0,06)
Paraxylene
(0,18)
ISOMAR
Metaxylene
Orthoxylene
Non aromatis
(0,41)
(0,18)
(0,17)
Proses di unit isomar ini melibatkan katalis bi-functional spherical catalyst yang
mengandung acid side berupa zeolit dan metal side berupa platina. Acid side berperan pada
pendistribuasian kembali komponen mixed xylene (O-x, M-x, dan P-x) sehingga menjadi
paraxylene, sedangkan metal side berperan pada proses konversi Ethyl Benzene
menjadi
mixed xylene melalui cracking senyawa hidrokarbon jenuh yang terbawa aliran feed.
Isomerasi mixed xylene. Namun demikian, beberapa racun katalis harus ditreatment pada awal
proses antara lain: oksigen, air, CO, CO2 , nitrogen, sulfur, dan logam- logam. Selain itu,
katalis yang digunakan sebaiknya memenuhi kriteria teknis dan konsisi operasi katalis isomer
sehingga produk yang diperoleh mencapai optimal.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka kami menyusun laporan mengenai Evaluasi
Performa Katalis Isomar UOP I400 Periode Juni-Juli 2016 di Kilang Paraxylene
Cilacap. Performa katalis yang dievaluasi meliputi aktivitas katalis, selektivitas katalis, dan
stabilitas katalis.
PENDAHULUAN
I-2
1.3 Tujuan
Tujuan penyelesaian laporan ini antara lain:
1. Mengevaluasi performa katalis Isomar UOP I400 dalam proses isomerasi Mixed
Xylene dan konversi Ethyl Benzene menjadi paraxylene selama Juni hungga Juli 2016
didasarkan pada aktivitas, selektivitas, dan stabilitas katalis tersebut.
2. Memberi saran langkah yang harus diambil apabila katalis tersebut belum bekerja
sesuai dengan kriteria.
1.4 Manfaat
Manfaat dari mengevaluasi performa katalis Isomar: (1) memahami penerapan dari
kinetika reaksi, (2) mengetahui langkah- langkah yang perlu diambil untuk mengoptimalkan
kinerja katalis, (2) meminimalkan kebutuhan utilitas dan cost product.
TINJAUAN PUSTAKA
II-1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Isomar
Isomar didefinisikan sebagai proses penataan ulang C8 aromatic sehingga mendekati
kesetimbangan campuran, yaitu paraxylene. Pada proses isomar ini, istilah mixed xylene digunakan
untuk menjelaskan suatu campuran yang terdiri dari orthoxylene, metaxylene, dan paraxylene.
Reaksi isomerasi bukan hanya bertujuan mengubah campuran mixed xylene mencapai campuran
yang mendekati kesetimbangan (isomerasi xylene), tetapi juga mengonversi ethyl benzene menjeadi
mixed xylene, dan cracking senyawa hidrokarbon jenuh yang terkandung dalam feed Isomar. Ketiga
reaksi tersebut akan dijelaskan pada subbab berikut:
II.1.1 Proses Isomerasi Xylene
Pada proses isomerasi xylene ini, peran acid site dari katalis isomar sangat penting. Karena
kekuatan asamnya yang lebih baik dari katalis platforming membantu penataan ulang senyawa
xylene dari orthoxylene menjadi metaxylene dan akhirnya diperoleh paraxylene. Kesetimbangan
xylene merupakan fungsi temperatur. Pada temperatur sekitar 400C, diperoleh kesetimbangan
xylene mencapai kurang lebih 24% untuk setiap paraxylene dan orthoxylene.
TINJAUAN PUSTAKA
II-2
xylene dari EB, sedangkan acid site berperan untuk isomerasi mixed xylene hingga terbentuk
paraxyle.
TINJAUAN PUSTAKA
II-3
terakumulasi di dalam katalis adalah arsen, timbal dan logam berat lainnya. Di bawah ini adalah
sumber racun (kontaminasi) katalis
a. Sulfur
Konsentrasi maksimal 1 ppm-wt di feed. Operasi pada konsentrasi sulfur di feed pada 0.10.2 ppm-wt adalah mungkin dilakukan dan memperoleh tingkat kestabilan dan selektivitas yang
maksimum. Sumber racun yang mungkin :
Reaksi Hydrotreating yang menurun pada unit NHT.
Terjadi reaksi rekombinasi sulfur. Kombinasi antara hidrotreating yang tinggi pada
tekanan rendah akan memicu rekombinasi H2 S dengan olefin. Hal ini dapat dicegah
dengan mengatur RIT NHT tetap di bawah temperature rekombinasi sulfur.
Upset di NHT Stripper, sehingga menyebabkan stripping H2 S yang tidak sempurna.
Kontaminasi intermediate tank.
Gejala akibat racun dari sulfur :
Menyebabkan kehilangan EB Conversion. Kandungan sulfur harus kurang dari 1 wtppm di feed.
Reaksi hydrocracking (dipengaruhi fungsi asam) akan meningkat relatf terhadap
reaksi hidrogenasi-dehidrogenasi (dipengaruhi oleh metal).
Peningkatan konsumsi hydrogen
Penurunan hydrogen purity di recycle gas
Peningkatan reaksi hydrocracking
Ring loss yang tinggi
Penurunan tingkat aktivitas katalis (pada kasus yang parah)
Peningkatan laju pembentukan coke (penurunan stabilitas katalis)
Kerusakan katalis dapat diminimalkan dengan mengatur RIT serendah mungkin (tidak perlu hingga
>3700 C). Sulfur pada katalis akan terdesorpsi dari katalis secara bertahap. Saat kandungan H 2 S di
recycle gas turun hingga 1-2 ppm, maka reaktor dapat beroperasi secara normal kembali.
b. Nitrogen
Konsentrasi nitrogen organik yang diperbolehkan di feed Isomar makismial 1.0 ppm- wt.
Konsentrasi nitrogen dalam feed harus diminimalkan untuk mencegah pembentukan deposit garam
ammonium klorida (NH4 Cl) di recycle gas compressor dan deheptanizer overhead jika terdapat juga
senyawa klorida di feed Isomar. Sumber racun yang mungkin:
Proses Naphtha hydrotreating yang menurun
Feed Isomar menggunakan cracked naphtha yang biasanya banyak mengandung
nitrogen.
TINJAUAN PUSTAKA
II-4
Pemakaian inhibitor yang tidak pada tempatnya . Pemakaian neutralizing agent &
filming agent sebagai corrosion inhibitor terkadang menjadi sumber kontaminasi
nitrogen.
Setelah diketahui jika terdapat nitrogen di feed Isomar, maka harus dipastikan jika tidak ada
kontaminasi klorida di feed Isomar atau di make up gas. Sumber nitrogen harus diminimalkan,
selama reaktor terkontaminasi nitrogen maka RIT tidak boleh dinaikkan dalam rangka menjaga
produksi PX. Hal ini dikarenakan dapat meningkatkan pembentukan coke ketika severity reaktor
dinaikkan pada saat fungsi metal dan fungsi asam tidak seimbang.
c. Logam Berat
Karena efek logam berat yang dapat menyebabkan keracunan permanent, maka konsentrasi
metal harus diminimalkan hingga batas yang dapat diukur. Sumber racun yang mungkin adalah
sebagai berikut :
Beberapa jenis feed Isomar mengandung
Timbal bila bersumber dari reprocessing feed dari produk yang off- spec yang
disimpan pada tangki yang terkontaminasi timbale.
Produk korosi yang ada dalam feed Isomar. Besi merupakan produk korosi yang
dominat, selain itu juga mungkin terdapat krom, tembaga.
Sebagian cracked naphtha mungkin mengandung silicon yang bersumber dari injeksi
antifoam di upstream unit.
Sebagian besar logam berat dapat menjadi racun fungsi asam dan fungsi logam dari katalis.
Dampak dari keracunan yang dapat dilihat adalah penurunan tingkat aktivitas dan selektivitas yang
rendah. Pemeriksaan kandungan logam berat secara berkala. Pengukuran kandungan logam berat di
feed reaktor NHT juga sebaiknya dicatat pada periode tertentu untuk digunakan dalam menghitung
total logam berat yang telah masuk reaktir NHT. Jika dari hasil perhitungan menunjukkan
kandungan logam berat di reaktor NHT telah mencapai 2-3%-wt dari berat katalis, maka sebaiknya
katalis NHT harus segera ganti.
d. Klorida
Kandungan klorida dalam feed Isomar maksimal 2 ppm- wt dan pada make up gas maksimal
2 ppm-wt. Efek yang ditimbulkan oleh klorida pada katalis adalh bersifat sementara. Klorida
organik akna bereaksi dalam reaktor Isomar untuk membentuk HCl. Jika nitrogen organik juga
terdapat pada feed Isomar, HCl kemudian bereaksi dengan ammonia yang terbentuk dari nitrogen
organic untuk membentuk garam ammonium klorida. Keberadaan HCl di recycle gas juga dapat
mempengaruhi kesetimbangan fungsi asam/fungsi metal dari katalis Isomar. Klorida organik di feed
TINJAUAN PUSTAKA
II-5
Isomar dapat muncul hanya jika feed Isomar/Parex loop terkontaminasi oleh klorida. Make up gas
dari Platformer biasanya sudah bebas dari klorida.
Gejala yang ditimbul adalah meningkatnya reaksi cracking akibat lebih dominannya fungsi
asam dari katalis dibandingkan dengan fungsi metal. Pemeriksaan secara periodik terhadap feed
Isomar, make up gas, dan recycle gas. Jika klorida terdeteksi di feed Isomar, maka sumber
kontaminasi harus dilokalisir dan diminimalkan. Klorida kemudian akan ter-desorpsi dari katalis
dan keluar dari unit melalui separator off-gas dan separator liquid.
e. Air
Kandungan air maksimum 200 ppm-wt dan di hydrogen mak up maksimal 20 ppm- wt.
Sumber kontaminasi yang mungkin adalah operasi Raffinate column di Parex Unit mengalami
masalah sehingga air akan terbawa dalam raffinate side-cut (feed Isomar). Jika reaktor Isomar
terkontaminasi air berlebihan hingga melewati batas jenuhnya dan membentuk free-water. Freewater akan membentuk kantung air (pocket) dalam sistem reaktor dan ak hirnya akan masuk ke
dalam reaktor. Jika dalam reaktor terjadi penguapan air, maka sistem yang terbentuk dapat
menyebabkan de-aluminasi katalis dan menurunkan unjuk kerja katalis. Gejala proses yang timbul
adalah hammering di peralatan akibat air mengala mi flashing. Selain itu terjadi peningkatan
akumulasi air di Deheptanizer column overhead.
f. C9 + Aromatics
Kandungan dari C 9 + Aromatics di feed harus kurang dari 500 wt-ppm.
g. CO/CO2
Jika jumlah CO/CO 2 cukup besar dalam recycle gas dapat menghasilkan penurunan aktivitas
katalis. CO/CO 2 dapat mengikat sisi platinum yang aktif pada katalis dan kemudian mempengaruhi
fungsi metal.
TINJAUAN PUSTAKA
II-6
mencapai ini dibutuhkan kenaikan tekanan parsial hidrogen (biasanya dengan menaikkan tekanan
reaktor) bersamaan dengan kenaikan temperatur reaktor. Kenaikan temperatur reaktor yang tidak
diimbangi dengan kenaikkan tekanan reaktor akan menyebabkan penurunan konsentrasi C8
Naphtane dan pada akhirnya menyebabkan penurunan konversi konversi ethylbenzene (EB)
menjadi Xylene melalui Naphthene Bridge.
Berdasarkan hal di atas, operasi pada tekanan yang yang lebih tinggi akan memberikan
keuntungan karena bisa menghasilkan lebih banyak C8N yang akan memperbesar konversi konversi
ethylbenzene (EB). Hal ini memang terjadi, tetapi terdapat suatu kond isi di mana kenaikan tekanan
reaktor (kenaikan tekanan parsial hidrogen) menyebabkan kandungan C 8 N meningkat lebih cepat
dibandingkan dengan konsumsi ethylbenzene (EB).
Kerugian megoperasikan raktor pada tekanan tinggi antara lain:
a) Lebi banyak C 8 N ring loss di deheptanizer
b) Peningkatan kebutuhan utilitas (compressor, pompa, fraksinator)
c) Peningkatan ring loss akibat cracking C8 N
Secara ekonomi sebaiknya dipertimbangkan untuk menentukan mode operasi yang lebih
menguntungkan.
II.3.2 Tekanan Parsial Hidrogen
Tekanan parsial hidrogen merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap mekanisme
reaksi konversi ethylbenzene (EB), bukan tekanan system (reaktor). Tekanan parsial hidrogen dapat
dihitung sebagai berikut :
Dimana :
H2 /HC
PT
H2 purity
Berdasarkan persamaan diatas, maka peningkatan hydrogen purity di recycle gas dan rasio hidrogen
hidrokarbon dapat meningkatkan tekanan parsial hidrogen.
Maka dari itu saat EOR (End of Run), konversi ethylbenzene (EB) akan menurun sebagai
akibat dari menurunnya tingkat aktivitas katalis. Penurunan aktivitas konversi ethylbenzene (EB) ini
dapat dikompensasi dengan menaikkan konsentrasi C 8 N. Konsentrasi C 8 N dapat ditingkatkan
dengan menaikkan tekanan parsial hidrogen pada temperatur reaktor yang tetap. Ketika pada
TINJAUAN PUSTAKA
II-7
reaktor kekurangan PPH2 (Partial Pressure H2 ) maka akan terjadi cracking yang tinggi dan konversi
ethylbenzene (EB) menjadi Xylene berkurang.
II.3.3 Space Velocity (LHSV)
Space velocity tidak seperti variabel normal pada umumnya, karena konfigurasi internal
reaktor sudah ditentukan, maka jumlah katalis yang akan diloading tidak akan mengalami
perubahan. Space velocity ditentukan oleh kebutuhan produksi dan jumlah katalis yang di loading.
Saat temperatur reaktor yang tetap, pengurangan LHSV akan menaikkan severity reaktor,
mendekati titik keseimbangan Xylene dan akibatnya C 8 A ring loss juga meningkat. Pada LHSV
yang rendah, waktu kontak antara feed dan katalis di dalam reactor akan meningkat, sehingga untuk
menjaga keadaan keseimbangan Xylene yang konstan, maka temperatur reactor harus diturunkan.
Untuk penurunan feed rate yang sedang, tidak terjadi kehilangan efisiensi unit yang
signifikan. Peningkatan feed rate tidak berpengaruh pada kerugian yang signifikan di operasi pada
space velocity di atas 120% dari desain. Jika operasi diteruskan di luar 120% dari design maka
rumit, loading katalis yang lebih besar sebaiknya dipertimbangkan, jika mungkin, dalam vessel
reaktor yang beroperasi.
Pada saat suhu reactor tertentu, pengurangan space velocity berakibat pada lebih tingginya
severity reaktor, lebih dekat xylene mencapai titik kesetimbangan dan C8 Aromatic ring loss
meningkat. Pengurangan space velocity mengakibatkan waktu kontak dalam reaktor antara feed dan
katalis meningkat, maka dari itu untuk menjaga kestabilan xylene mendekati kesetimbangan
dibutuhkan temperature reaktor yang lebih rendah. LHSV yang rendah membuat reaksi lebih dekat
dengan titik konvergensi xylene. LHSV bukan variabel operasi yang independent melainkan
variabel yang dependent terhadap kebutuhan produksi paraxylene dan orthoxylene. Maka dari itu,
jika LHSV meningkat, suhu reaktor harus dinaikkan untuk menjaga severity reaksi agar konstan
atau mencapai titik kesetimbangan.
Hubungan antara LHSV dan EB Conversion pada xylene sama halnya dengan
menggambarkan LHSV dengan isomerisasi xylene. Pada saat suhu reaktor konstan, penurunan
LHSV mengakibatkan meningkatnya EB Conversion. Sehingga dapat dikatakn jika LHSV
meningkat maka kontak berlangsung cepat dan EB Conversion menurun, sebaliknya jika LHSV
menurun maka kontak berlangsung lama dan EB Conversion meningkat.
II.3.4 Rasio Hidrogen/Hidrokarbon (H2/HC)
Rasio Hidrogen/Hdrokarbon adalah rasio antara hydrogen dengan C6+ hidrokarbon. Rasio
molar H2/HC, bersama dengan tekanan reactor dan H2 purity, sangat menentukan tekanan parsial
TINJAUAN PUSTAKA
II-8
hydrogen. Pada rasio H2/HC di bawah 4.0, terjadi perubahan yang merugikan terhadap selektivitas
katalis. Pada kondisi kesetimbangan xylene yang konstan (pada severity reactor yang tetap),
penurunan rasio H2/HC akan menyebabkan kenaikan C8A ring loss. Selain itu, pada rasio H2/HC
dibawah 4.0, life time katalis akan menurun.
TINJAUAN PUSTAKA
II-9
Sehingga cara yang sesuai untuk meminimalkan C8A ring loss di atas akan dibahas berikut ini :
a. Reactor Loss
Semakin dekat dengan keadaan kesetimbangan Xylene, konsentrasi PX dan OX di outlet
reactor akan meningkat dan mengurangi aliran recycle Xylene (recycle feed) ke Xylene
Fractionation column. Walaupun penurunan recycle Xylene ini menyebabkan penurunan kebutuhan
utilitas, tapi tidak sebanding dengan akibat loss produksi PX karena meningkatnya C8 ring loss dan
kerugian akibat meningkatnya konsumsi fresh feed per satuan produk.
Sebaliknya, jika unit beroperasi jauh dari titik kesetimbangan Xylene, maka konsumsi fresh
feed per satuan produk menjadi lebih rendah (karena menurunnya C8 ring loss). Konsentrasi PX
dan OX di outlet rekator juga akan turun dan aliran recycle Xylene akan meningkat. Aliran recycle
Xylene ke Xylene Fractionation Unit sering dikaitkan dengan aliran fresh feed ke unit yang sama
yaitu pada parameter Combined Feed Ratio (CFR). CFR adalah rasio kandungan C8A di feed
Isomer dibagi dengan kandungan C8A di fresh feed. Pada laju alir fresh feed yang tetap, nilai CFR
yang lebih tinggi akan mengkonsumsi utilitas yang lebih tinggi di seksi Fraksinasi. Selain itu,
terdapat beberapa peralatan proses yang dapat membatasi besarnya laju alir recycle Xylene.
b. C8 Naphthene Loss
Ketika C8N hilang melalui Deheptanizer column overhead product, maka C8N akan
terbentuk kembali di reactor Isomar dengan reaksi hidrogenasi C8A, sehingga menaikkan C8A loss
yang lebih merugikan disbanding C8N loss. C8A loss ini dapat diminimalkan tapi tidak dapat
dihilangkan sama sekali, dengan mengoperasikan Deheptanizer column sehingga sebagian besar
Toluene terbawa di bottom product dan meningkatkan efisiensi ekstraksi unit Parex untuk dapat
membuang sebagian besar Toluene yang terbentuk di Finishing column overhead product.
Sehingga, hal ini akan menurunkan sirkulasi Toluene ke Unit Isomar. Toluene dipilih sebagai
komponen kunci (key component) karena komponen ini lebih mudah dianalisa dibandingkan
dengan C8N.
c. Higher Alkylbenzene
Senyawa alkyl- Benzene dengan Berat Molekul yang tinggi dapat terbentuk di Clay Treater.
Fungsi dari Clay Treater adalah untuk menghilangkan secara selektif senyawa olefin yang dapat
mengalami polimerisasi di Parex molecular sieve (adsorbent bed). Hal ini dapat menyebabkan
fouling dan menurunkan adsorbent life.
TINJAUAN PUSTAKA
II-10
Clay bekerja dengan melakukan reaksi oligomerisasi olefin. Sayangnya, terjadi juga sedikit
reaksi alkilasi antara senyawa C8A dengan olefin untuk membentuk senyawa alkyl-Benzene dengan
Berat molekul yang tinggi.
Untuk meminimalkan loss C8A ini, Clay treater di Unit Isomar beroperasi pada kondisi
yang moderat, yaitu pada 4 LHSV (hr-1) dan CIT (Clay Inlet Temperature) 177 0 C-2000 C serta jenis
clay yang digunakan tipe moderat (high selectivity). Selain itu CIT juga harus dijaga serendah
mungkin selama Bromine Index di outlet Clay treater masih < 20. Sejalan dengan waktu, clay akan
ter-deaktivasi, sehingga CIT harus dinaikkan untuk menjaga Bromine Index di outlet reactor.
II.3.7 Ethyl Benzene Ate
Ethyl Benzene ate merupakan variabel yang menunjukkan sejumlah ethyl benzene yang
terkonsumsi selama reaksi di dalam reactor Isomar dalam persen berat. Ethyl Benzene ate hanya
memperhatikan aspek pengurangan jumlah ethyl benzene dalam feed dan tidak memperhatikan
selektivitas.
II.3.8 Ethyl Benzene Conversion
Ethyl Benzene conversion merupakan salah satu variabel yang memiliki pengaruh paling
besar terhadap jumlah produksi paraxylene. Konversi ethyl benzene artinya jumlah ethyl benzene
yang berubah menjadi paraxylene setelah reaksi berlangsung.
II.3.9 PX/X
PX/X merupakan variabel yang menunjukan fraksi paraxylene yang terdapat di dalam mixed
xylene yang dihasilkan oleh reaksi. Variabel ini amat bergantung pada kesetimbangan yang terdapat
antaraparaxylene, metaxylene, dan orthoxylene.
II.3.10 Perhitungan D Approach to Convergence
Parameter D dikenalkan oleh UOP dan digunakan untuk menunjukan tingkat severity
reactor yang ditunjukkan dengan kedekatan terhadap titik konvergen mixed- xylene. Titik konvergen
mixed-xylene terletak pada koordinat PX/X=25% dan OX/X=23%. Semakin dekat dengan titik
konvergen (semakin kecil nilai D), maka semakin tinggi severity reactor.
II.4. Spesikasi Feed Quality
Spesifikasi utama dari feed Isomar dan make up gas adalah sebagai berikut :
a. Feed Isomar
Color (Pt,-Co)
10 max
ASTM D 1209
Arsenic, wt.ppb
1 max
UOP 296
Lead, wt.ppb
10 max
UOP 350
Copper, wt.ppb
5 max
UOP 144
1 max
ASTM D 4629
TINJAUAN PUSTAKA
II-11
Sulfur, wt.ppb
1 max
ASTM D 4045
2 max
UOP 395
H2O, wt.ppb
50 max
UOP 481
C9 + Aromatics
500 max
UOP 394
H2S, ppm-mol
1 max
CO, ppm-mol
5 max
UOP 603
CO 2 , ppm-mol
5 max
UOP 603
H2 O, ppm-mol
20 max
UOP 344
NH3 , ppm-mol
1 max
Draeger
HCl, ppm-mol
2 max
Draeger
b. Make up Gas
C8A R.L.I
C8 AF
C8 AP
TINJAUAN PUSTAKA
II-12
Complex POX Ring Loss di dalamnya meliputi hasil kehilangan dari poor fractionation,
alkilasi/transalkilasi di clay treaters, C8 naphthene loss dan ring loss dalam reaktor isomer. Pada
umumnya, Complex POX Ring Loss lebih beasar dibandingkan dengan isomer ring loss. Kehilngan
isomer pada clay treater diperkirakan 0.25-0.35% wt per pass.
POX R.L.c = 100 ( POX/FFC8 A) / CFR
Dimana :
POX R.L.c
Dimana :
C8A R.L.C
Kl
T0
TINJAUAN PUSTAKA
II-13
Ke
Xf
Xp
Xn
Kno
PH2
Xn
T0
TINJAUAN PUSTAKA
II-14
METODOLOGI
III-1
BAB III
METODOLOGI
II1.1. Pengumpulan Data
Langkah-langkah pengambilan data Kerja Praktek di Pertamina RU IV adalah sebagai
berikut: a. Pengumpulan Data DCS (Distribution Control System)
Pengumpulan data-data yang diperlukan dalam perhitungan diperoleh dari data DCS
(Distribution Control System). Data-data tersebut di antaranya yaitu laju alir, temperature dan
tekanan untuk aliran masuk, aliran keluar, dan kolom. Selain itu, ada j uga data analisa
laboratorium yang menjabarkan komposisi fluida yang dihasilkan.
b. Pengumpulan Data Laboratorium
Selain data yang bersumber dari DCS (Distribution Control System), ada juga data
analisa laboratorium yang menjabarkan komposisi fluida yang dihasilkan. Mengambil data
laboratorium pada periode yaitu Juni dan Juli 2016 yang meliputi data komposisi, densitas, dan
densitas gas (spesific gravity).
EB-Conversion
METODOLOGI
III-2
PX-Conversion
x100%
PPH2
ppH2 (bar) =
D Approach to Convergence
D=
Keterangan :
I = % PX di produk
K= % OX di produk
L= % Total xylene di produk (PX+OX+MX)
METODOLOGI
III-3
LHSV (/hr) =
KI = ( LHSV
/ ( Xn
0.75
KE = (EB Conv) x D
0.4
/ Xn
IV-1
BAB IV
HASIL PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil perhitungan, dapat dievaluasi performa katalis isomer UOP I400 dengan
menggunakan Independent Variabel untuk meninjau aktivitas dan selektivitas katalis isomer UOP
I400.
368.0
366.0
364.0
362.0
360.0
358.0
356.0
RIT
ROT
354.0
7/28/2016
7/25/2016
7/22/2016
7/19/2016
7/16/2016
7/13/2016
7/10/2016
7/7/2016
7/4/2016
7/1/2016
6/28/2016
6/25/2016
6/22/2016
6/19/2016
6/16/2016
6/13/2016
6/10/2016
6/7/2016
6/4/2016
6/1/2016
5/29/2016
352.0
Date
Gambar IV.1. Profil RIT dan ROT Periode Juni-Juli 2016
Grafik di atas berdasarkan data yang didapatkan dari DCS (Distributor Control System)
yaitu RIT (Reactor Intlet Temperature) dan ROT (Reactor Outlet Temperatur) pada bulan JuniJuli 2016.
Dari grafik diatas diketahui bahwa nilai rata-rata dari ROT (Reactor Outlet Temperatur)
yaitu 364.32oC v.s. desain maksimal 400oC. Hal ini berarti nilai dari ROT (Reactor Outlet
Temperature) masih berada di bawah batas maksimum nilai desain. Temperatur merupakan
IV-2
variabel yang sangat penting, karena akan berpengaruh pada selektivitas dan aktivitas katalis. Jika
nilai ROT sudah tinggi (melebihi batas maksimal nilai desain) dan selektivitas, aktivitas katalis
belum mencapai target maka dapat dikatakan katalis tersebut sudah mengalami deaktivasi,
sehingga harus dilakukan opsi yaitu:
1) Regenerasi katalis
2) Penggantian katalis (change out katalis)
7
6
5
4
3
2
PPH2
PPH2 Target
7/28/2016
7/25/2016
7/22/2016
7/19/2016
7/16/2016
7/13/2016
7/10/2016
7/7/2016
7/4/2016
7/1/2016
6/28/2016
6/25/2016
6/22/2016
6/19/2016
6/16/2016
6/13/2016
6/10/2016
6/7/2016
6/4/2016
6/1/2016
0
5/29/2016
Date
Gambar IV.2. Profil PPH2 dan PPH2 Target Periode Juni-Juli 2016
Dari gambar di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata dari PPH2 periode Juni-Juli 2016
adalah sebesar 5.25 bar v.s. PPH2 target 4.12 bar. Dari nilai tersebut menunjukkan bahwa PPH2
aktual lebih tinggi dari PPH2 target. Seharusnya nilai PPH2 diturunkan mendekati PPH2 target
dengan cara menurunkan rate H2 sehingga PPH2 akan turun mendekati PPH2 target, dengan PPH2
yang terlampau tinggi, maka produksi naphtene akan meningkat sehingga berpotensi menyebabkan
C8 A ring loss. Sebaliknya jika PPH2 terlalu rendah, maka Hidrogen juga rendah, hal ini dapat
menyebabkan pembentukan naphtane berkurang sehingga Ethylbenzene Conversion juga rendah.
Dari Gambar IV.3 didapatkan nilai rata-rata rasio mol H2/HC yaitu 2.9 v.s. range desain 33.5. Dapat dikatakan jika nilai H2/HC pada periode Juni-Juli 2016 kurang dari range desain. Hal ini
akan menyebabkan menyebabkan coke sehingga katalis mengalami deaktivasi dan umur katalis
Date
7/28/2016
7/25/2016
7/22/2016
2.1
7/19/2016
7/16/2016
7/13/2016
7/10/2016
7/7/2016
7/4/2016
7/1/2016
6/28/2016
6/25/2016
6/22/2016
6/19/2016
6/16/2016
6/13/2016
6/10/2016
6/7/2016
6/4/2016
6/1/2016
5/29/2016
LHSV (/jam)
Date
LHSV
2.25
2.2
2.15
LHSV
2.05
1.95
2
PPH2
1
H2/HC
7/28/2016
7/25/2016
7/22/2016
7/19/2016
7/16/2016
7/13/2016
7/10/2016
7/7/2016
7/4/2016
7/1/2016
6/28/2016
6/25/2016
6/22/2016
6/19/2016
6/16/2016
6/13/2016
6/10/2016
6/7/2016
6/4/2016
6/1/2016
5/29/2016
pendek . Sebaliknya, jika H2/HC tinggi maka membutuhkan lebih banyak cost untuk mensirkulasi
IV-4
yaitu 2.06
Menunjukkan bahwa LHSV di bawah nilai target, hal ini menandakan feed yang masuk reaktor
berkontak terlalu lama dengan katalis, dikarenakan sedikitnya stream yang masuk. Hal ini terjadi
dikarenakan pada periode Juni-Juli kapasitas isomar hanya sekitar 89.11% akibat dari rendahnya
kapasitas unit upstream (Parex) .
Maka dari data-data untuk Independent Variable katalis menunjukkan bahwa katalis
tergolong kurang baik, hal ini dapat dilihat dari nilai H2/HC yang kurang dari nilai desain, nilai
PPH2 yang melebihi dari nilai target, dan nilai LHSV yang berada di bawah batas minimum. Dapat
disimpulkan pada table berikut :
Tabel IV.1 Data Independent Variable Katalis Isomer Periode Juni-Juli 2016
Parameter
ROT, (0C)
H2/HC, (Mole Ratio)
LHSV, (hr-1)
PPH2
Desain
Aktual
Max 400 *
364,32
3-3,5
2,9
Min 2,35
2,06
5,5
4,12
Keterangan :
* : ROT (Reactor Outlet Temperature) pada saat EOR (End of Run)
Berdasarkan kondisi independent variable di atas, maka direkomendasikan untuk menaikkan
recycle gas H2 purity agar H2/HC dapat mencapai target desain 3-3,5. Hal ini diperlukan untuk
mencegah potensi terjadinya deaktivasi katalis.
KI sebagai konstanta katalis isomerasi pada temperatur 380 C yang besarnya nilai awal
ketika start of run antara 15-20. Sedangkan KE digunakan sebagai konstanta Ethylbenzene
Conversion yang besarnya nilai awal ketika start of run antara 100-150 dan untuk menilai aktivitas
katalis secara secara real selama satu siklus katalis, Berdasarkan Gambar IV.5 dan Gambar IV.6
dapat dilihat bahwa KI relatif stabil di titik 29,01 dan KE di 78,92.
IV-5
Kl
60
50
Kl
40
30
20
10
Kl
7/28/2016
7/25/2016
7/22/2016
7/19/2016
7/16/2016
7/13/2016
7/10/2016
7/7/2016
7/4/2016
7/1/2016
6/28/2016
6/25/2016
6/22/2016
6/19/2016
6/16/2016
6/13/2016
6/10/2016
6/7/2016
6/4/2016
6/1/2016
5/29/2016
Date
KE
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
7/28/2016
7/25/2016
7/22/2016
7/19/2016
7/16/2016
7/13/2016
7/10/2016
7/7/2016
7/4/2016
7/1/2016
6/28/2016
6/25/2016
6/22/2016
6/19/2016
6/16/2016
6/13/2016
6/10/2016
6/7/2016
6/4/2016
6/1/2016
Ke
5/29/2016
KE
Date
Gambar IV.6. Profil KE Periode Juni-Juli 2016
Sedangkan, dari Gambar IV.7 dapat dilihat jika pada suhu yang sama perubahan RIT dan
ROT setiap harinya tidak mengalami perubahan yang signifikan, bahkan cenderung stabil. Hal
tersebut menggambarkan bahwa katalis belum memerlukan regenerasi katalis dan mengindikasikan
tidak terjadi keracunan pada katalis. Sebaliknya apabila katalis telah ter-deaktivasi maka penurunan
KE akan terjadi lebih cepat dibandingkan KI, selain itu KE relative lebih sulit melakukan isomerisasi
dibandingkan KI sehingga KE digunakan sebagai acuan kapan sebaiknya katalis diregenerasi atau
perlu diganti. Namun demikian, apabila terjadi perubahan KI dan KE secara tiba-tiba maka hal
tersebut mengindikasikan telah terjadi keracunan katalis.
IV-6
370.0
369.0
368.0
367.0
366.0
365.0
364.0
363.0
362.0
361.0
360.0
359.0
90
80
70
60
50
40
30
20
KI
10
KE
ROT
7/28/2016
7/25/2016
7/22/2016
7/19/2016
7/16/2016
7/13/2016
7/10/2016
Date
7/7/2016
7/4/2016
7/1/2016
6/28/2016
6/25/2016
6/22/2016
6/19/2016
6/16/2016
6/13/2016
6/10/2016
6/7/2016
6/4/2016
6/1/2016
5/29/2016
2. D (Approach to Equilibrium)
5
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
5/29/2016
6/1/2016
6/4/2016
6/7/2016
6/10/2016
6/13/2016
6/16/2016
6/19/2016
6/22/2016
6/25/2016
6/28/2016
7/1/2016
7/4/2016
7/7/2016
7/10/2016
7/13/2016
7/16/2016
7/19/2016
7/22/2016
7/25/2016
7/28/2016
Date
Gambar IV.8. Profil D (Approach to Equilibrium) Periode Juni-Juli 2016
Nilai D selama periode Juni-Juli 2016 rata-rata sebesar 2.39 v.s. maksimum desain 2.5.
Semakin dekat D dengan titik konvergen yaitu 1 maka severity reactor meningkat dan C 8 aromatik
ring loss semakin banyak.
Maka dari data-data untuk aktivitas katalis menunjukkan bahwa aktivitas katalis tergolong
baik yang dapat ditunjukkan dari nilai KI, dan KE relatif stabil dan nilai D convergence yang tidak
terlalu jauh dari titik optimum. Dapat disimpulkan pada table berikut :
IV-7
Desain
Aktual
KI
15 20 #
29.01
KE
100 150 #
78.92
Max 2.5
2.39
D (Approach to Equilibrium)
Keterangan :
#
10
EB Conversion
7/28/2016
7/25/2016
7/22/2016
7/19/2016
7/16/2016
7/13/2016
7/10/2016
7/7/2016
7/4/2016
7/1/2016
6/28/2016
6/25/2016
6/22/2016
6/19/2016
6/16/2016
6/13/2016
6/10/2016
6/7/2016
6/4/2016
6/1/2016
0
5/29/2016
Date
Gambar IV.9. Profil EB Conversion dan EB Ate Periode Juni-Juli 2016
Selama periode Juni-Juli 2016 tersebut, konversi etil benzena rata-rata sebesar 23,81%.
Hasil ini dapat dikatakan baik, karena etil benzena yang terkonversi menjadi paraxylene lebih
banyak dari ketetapan minimumnya, yaitu paling sedikit 20%.
menjadi paraxylene memerlukan H2 sebagai reaktan. H2 ini dinyatakan sebagai rasio H2/HC. Sesuai
dengan persamaan dalam perhitungan, bahwa:
IV-8
Berdasarkan persamaan tersebut, pada temperatur optimal, dengan feed etil benzena
konstan, peningkatan H2 berakibat pada tingginya rasio H2/HC sehingga nilai PPH2 juga meningkat.
Sesuai dengan reaksi Etil benzene + H2 C8 Naphtene di mana ketika PPH2 meningkat,
perolehan C8N dan paraxylene juga meningkat karena konversi etil benzena harus melalui
naphthene bridge. Pada Gambar IV.10 terlihat bahwa EB conversion meningkat ketika PPH2
max 5,3, melebihi nilai ini peningkatan PPH2 justru menyebabkan EB conversion menurun.
EB Conversion dan PPH2
EB Conversion (%massa)
30
25
y = -3.0284x + 39.711
20
15
10
5
0
4
4.5
5.5
6.5
PPH2 (bar)
Gambar IV.10. Hubungan EB Conversion terhadap PPH2
Begitu juga apabila temperatur semakin ditinggikan, konversi EB juga lambat laun menurun
(Gambar IV.11). Hal ini dikarenakan pada temperatur tinggi, peningkatan PPH2 mengakibatkan
penumpukan naphtha sehingga konversi etil benzena ke paraxylene menjadi rendah. Oleh sebab itu,
untuk mendapatkan tingkat EB conversion yang relatif konstan, maka perlu dilakukan penyesuaian
RIT dan PPH2.
IV-9
EB Conversion (%massa)
30
25
20
15
y = -1.2155x + 454.92
10
5
0
352.5
353.0
353.5
354.0
354.5
355.0
355.5
356.0
356.5
357.0
357.5
358.0
RIT (C)
Gambar IV.11. Hubungan EB Conversion terhadap RIT
Selain itu, berdasarkan Gambar IV.9. terlihat bahwa EB conversion konsisten terhadap EB
Ate. Hal ini dikarenakan EB ate menunjukkan banyaknya EB yang terkonsumsi untuk mencapai
kesetimbangan C8A, sementara EB conversion merupakan banyaknya konsumsi EB yang telah
menjadi paraxylene. Akibatnya, apabila EB konversi dapat ditingkatkan melalui pengaturan RIT
dan PPH2, maka sebagai akibatnya EB ate juga meningkat. EB ate aktual yang diperoleh yaitu
57,79% vs minimal 45%.
2. PX/X
PX/X
24.00
23.00
22.50
22.00
21.50
21.00
PX/X
Date
7/28/2016
7/25/2016
7/22/2016
7/19/2016
7/16/2016
7/13/2016
7/10/2016
7/7/2016
7/4/2016
7/1/2016
6/28/2016
6/25/2016
6/22/2016
6/19/2016
6/16/2016
6/13/2016
6/10/2016
6/7/2016
6/4/2016
6/1/2016
20.50
5/29/2016
PX/X (% massa)
23.50
IV-10
Paraxylene diproduksi melalui proses isomerasi mixed xylene dan konversi etil benzena.
Rasio paraxylene terhadap semua jumlah xylene yang ada dinyatakan dengan PX/X. Berdasarkan
Gambar V.12 terlihat bahwa selama periode Juni-Juli 2016 PX/X sebesar 22,72%. Hasil ini telah
berada di atas batas minimum PX/X yaitu 22,5%, sehingga proses produksi paraxylene dapat
dikatakan efektif.
PX/X dan ROT
24.0
23.5
PX/X (%massa)
y = 0.0593x + 1.1124
23.0
22.5
22.0
21.5
21.0
20.5
357.0
360.0
363.0
366.0
369.0
372.0
ROT (C)
Gambar IV.13 Hubungan PX/X terhadap ROT
Namun, apabila ternyata PX/X belum mencapai batas minimum, maka direkomendasikan
untuk melakukan pengaturan ROT. Hal ini didasarkan pada Gambar IV.13, di mana grafik
hubungan ROT terhadap PX/X memiliki gradien positif, yang berarti bahwa kenaikan ROT akan
menyebabkan kenaikan pada PX/X. Dengan demikian, untuk jumlah katalis konstan, apabila jumlah
feed hendak ditambah maka agar PX/X tidak menurun, sebaiknya ROT dinaikkan. Hal ini
dikarenakan ketika feed ditambah tetapi temperatur operasinya tetap, akan mengakibatkan waktu
kontak katalis dengan feed terjadi lebih cepat sehingga PX/X tidak memenuhi target minimum.
IV-11
meminimalkan naphthene loss dapat dilakukan dengan mengambil sebagian toluena (C8 aromatic)
melalui deheptanizer bottom. Bersamaan dengan itu, sejumlah benzene yang keluar melalui
deheptanizer bottom harus diminimalkan juga.
C8A Ring Loss
1
C8A Ring Loss
7/28/2016
7/25/2016
7/22/2016
7/19/2016
7/16/2016
7/13/2016
7/10/2016
7/7/2016
7/4/2016
7/1/2016
6/28/2016
6/25/2016
6/22/2016
6/19/2016
6/16/2016
6/13/2016
6/10/2016
6/7/2016
6/4/2016
6/1/2016
5/29/2016
Date
Gambar IV.14. Profil C8A Ring Loss Periode Juni-Juli 2016
Selain itu, menurunkan C8 Aromatic Ring Loss dapat dilakukan dengan memperkecil suplay
H2 (pada konsentrasi HC tetap, berdampak pada menurunnya PPH2). Sebab pada PPH2 yang terlalu
tinggi (pada suhu tinggi), mengakibatkan pembentukan C8N dari ethyl benzene berlangsung cepat
sehingga C8N yang diproduksi berlebihan dan menyebabkan ring loss.
C8 Aromatic Ring Loss juga berhubungan dengan D equilibrium dan LHSV. Telah
dijelaskan sebelumnya bahwa D merupakan fungsi komposisi feed, temperatur reaktor, XN dan
space velocity yang menunjukan tingkat severity reaktor. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pada temperatur dan jumlah katalis tetap, apabila jumlah feed ditambah maka waktu kontak katalis
dan feed tersebut menjadi singkat. Akibatnya, LHSV meningkat dan severity reaktor juga
meningkat. Karena reaktor semakin saver, maka titik konvergensi semakin mudah tercapai namun
juga kehilangan C8A akan semakin banyak juga.
Gambar IV.15 menunjukkan C8A ring loss mencapai maksimal ketika D bernilai kurang
dari sama dengan 2,3 dan mencapai minimum ketika D lebih besar sama dengan 2.5. Hal ini sesuai
dengan penjelasan sebelumnya bahwa ketika D bernilai semakin kecil (dekat dengan
kesetimbangan) maka C8A ring loss yang terjadi akan semakin besar.
IV-12
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
y = -0.5258x + 3.7058
0.5
0
1.95
2.45
2.95
3.45
3.95
4.45
4.95
D
Gambar IV.15 Hubungan C8A Ring Loss terhadap D
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulakan bahwa selektivitas katalis isomer UOP I400
cukup baik, karena dari parameter EB conversion, EB ate, PX conversion dan C8A ring loss telah
sesuai dengan kriteria teknis.
Tabel IV.4 Data Selektivitas Katalis Isomer Periode Juni-Juli 2016
Parameter
Desain
Aktual
EB Conversion (%-wt)
Min 20
23,81
EB-ate (%-wt)
Min 45
57,79
PX/X (%-wt)
Min 22,2
22,72
Max 3
2,45
V-1
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa,
1. Selektivitas katalis isomar UOP I400 baik didasarkan pada:
a. Konversi etil benzene pada periode Juni-Juli 2016 baik dengan rata-rata sebesar
23,81% v.s. minimum 20%.
b. EB ate pada periode Juni-Juli 2016 mencapai 57,79% v.s. minimum 45%.
c. PX/X pada periode Juni-Juli 2016 mencapai 22,72% v.s. minimum 22,5%,
sehingga proses produksi paraxylene dapat dikatakan efektif.
d. C8 Aromatic Ring Loss pada periode Juni-Juli 2016 sebesar 2,45% v.s. maksimum
3%.
2. Aktivitas katalis isomar UOP I400 baik, didasarkan pada:
a. Nilai dari KI dan K E pada periode Juni-Juli 2016 tidak mengalami perubahan yang
signifikan (relatif stabil).
b. D (approact to equilibrium) sebesar 2,39 vs maksimal desain 2,5.
3. Berdasarkan independent variable terdapat beberapa hal yang kurang baik, antara lain:
a. Rasio mol H2 /HC sebesar 2,9 vs rentang desain 3-3,5, sehingga berpotensi
menyebabkan coke.
b. PPH2 aktual lebih dari PPH2 target.
c. LSHV kurang dari batas minimum yaitu 2,06/jam vs minimal 2,35/jam.
V.2 Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka direkomendasikan untuk:
1. Mengatur RIT/ROT dengan menyesuaikan perubahan LHSV agar selektivitas dan
aktivitas katalis dapat memenuhi target.
2. Meningkatkan Recycle H2 purity agar H2/HC meningkat sehingga H2/HC berada di
range 3-3,5.
AiH wt
AiH wt
% Ethyl
% P-
% M-
Benzene
Xylene
Xylene
AiH wt % ONO
Code
Keterangan
Tanggal
Xylene
8803
Raffinate
6/1/2016
10.76
0.81
53.09
24.76
8905
6/2/2016
10.77
1.06
53.57
24.54
8403
Make Up H2
6/4/2016
9.52
1.24
52.89
23.53
8907
6/5/2016
8.84
1.27
52.19
22.74
8903
Recycle Gas
6/6/2016
8.89
1.21
52.62
23.07
8906
6/7/2016
8.79
1.27
52.60
23.16
89TI208A
FEED
6/8/2016
8.50
1.31
52.55
23.11
89TI211
Separator Offgas
6/9/2016
8.48
1.32
52.66
23.18
89TI203
RIT
6/10/2016
8.48
1.29
52.69
23.52
10
Reactor Outlet
6/11/2016
8.46
1.22
52.61
23.44
11
Correction
6/12/2016
8.37
1.06
52.54
23.45
12
6/13/2016
8.34
1.00
52.06
23.80
13
6/14/2016
8.53
1.18
51.97
23.05
14
6/15/2016
8.59
1.20
52.17
23.09
15
6/16/2016
8.58
1.12
52.04
22.52
16
6/17/2016
8.63
1.18
51.59
21.45
17
6/18/2016
8.54
1.08
52.29
22.49
18
6/19/2016
8.53
1.09
52.16
23.03
19
6/20/2016
8.57
1.25
52.48
23.09
20
6/21/2016
8.60
1.57
51.86
22.88
21
6/22/2016
8.53
1.81
51.49
22.86
22
6/23/2016
8.53
1.65
51.37
22.66
23
6/28/2016
8.46
0.92
52.16
23.99
24
6/29/2016
8.55
0.85
51.85
22.65
25
6/30/2016
8.39
0.77
51.71
22.60
% Total
AiH wt
AiH
AiH
AiH
% Total
wt %
wt %
wt %
Xylene di
Ethyl
P-
M-
O-
Dehep Bott
Benzene
Xylene
Xylene
Xylene
(PX+MX+OX)
% Total C8A di
Xylene di Raff
% Total C8A di
Raff S/C
S/C
Dehep Bott
(EB+PX+MX+OX)
(PX+MX+OX)
(EB+PX+MX+OX)
78.66
89.42
8.87
16.62
43.36
19.66
79.64
88.51
79.17
89.94
8.93
17.13
43.89
19.84
80.86
89.79
77.66
87.18
7.44
17.85
42.20
18.56
78.61
86.05
76.20
85.04
7.63
17.72
42.18
18.57
78.47
86.10
76.90
85.79
7.53
17.75
42.04
18.63
78.42
85.95
77.03
85.82
7.35
17.71
41.96
18.48
78.15
85.50
76.97
85.47
7.12
17.56
41.71
18.52
77.79
84.91
77.16
85.64
7.19
17.72
41.99
19.49
79.20
86.39
77.50
85.98
6.69
17.92
42.07
18.45
78.44
85.13
77.27
85.73
6.67
17.83
41.92
18.38
78.13
84.80
77.05
85.42
6.76
18.02
41.33
18.64
77.99
84.75
76.86
85.20
6.61
17.51
41.97
18.34
77.82
84.43
76.20
84.73
6.88
18.01
41.30
18.62
77.93
84.81
76.46
85.05
6.68
17.59
41.60
18.26
77.45
84.13
75.68
84.26
6.71
17.48
41.21
18.00
76.69
83.40
74.22
82.85
6.78
17.34
40.82
17.88
76.04
82.82
75.86
84.40
6.78
17.44
41.05
17.90
76.39
83.17
76.28
84.81
6.75
17.56
41.46
18.18
77.20
83.95
76.82
85.39
6.74
17.56
41.46
18.22
77.24
83.98
76.31
84.91
6.73
17.60
41.52
18.19
77.31
84.04
76.16
84.69
6.69
17.60
41.46
18.17
77.23
83.92
75.68
84.21
6.61
17.48
41.15
18.02
76.65
83.26
77.07
85.53
6.75
17.51
41.42
18.15
77.08
83.83
75.35
83.90
6.55
18.06
40.26
17.58
75.90
82.45
75.08
83.47
6.47
17.03
40.62
17.83
75.48
81.95
Calc. SG Make-
Calc. SG
H2 Purity
SG Raff
Recycle Gas
Recycle Gas
(S/C)
(8903) LAB
(8903)
(8803)
Calc. SG Dehep
Up H2 (8403)
Offgas (8907)
LAB
SG Dehep Net
SG Dehep
Ovd (8906)
Bottom (8905)
0.1571
1.25
0.54
67.27
0.86
0.72
0.86
0.1571
1.25
0.48
71.24
0.86
0.72
0.86
0.16
1.25
0.27
85.87
0.86
0.72
0.86
0.16
1.25
0.19
91.70
0.86
0.72
0.86
0.16
1.25
0.19
91.65
0.86
0.72
0.86
0.16
1.10
0.24
87.80
0.86
0.72
0.86
0.16
1.10
0.18
92.07
0.86
0.72
0.86
0.16
0.45
0.43
74.24
0.86
0.72
0.86
0.16
0.45
0.43
74.24
0.86
0.72
0.86
0.16
0.45
0.35
81.16
0.86
0.72
0.86
0.16
0.45
0.35
81.16
0.86
0.72
0.86
0.16
0.45
0.35
81.16
0.86
0.72
0.86
0.16
0.45
0.35
81.16
0.85
0.72
0.85
0.16
0.45
0.37
79.14
0.85
0.72
0.85
0.16
0.45
0.37
79.28
0.85
0.72
0.85
0.16
0.45
0.40
77.12
0.85
0.72
0.85
0.29
0.45
0.45
73.11
0.86
0.72
0.85
0.29
1.48
0.42
75.75
0.86
0.72
0.85
0.29
1.48
0.41
76.26
0.86
0.72
0.85
0.26
1.48
0.39
77.40
0.85
0.72
0.85
0.26
1.48
0.39
77.40
0.85
0.72
0.85
0.26
1.48
0.37
78.72
0.85
0.72
0.85
0.32
1.48
0.51
69.00
0.86
0.72
0.85
0.32
1.51
0.45
73.55
0.86
0.72
0.85
0.32
1.51
0.45
73.57
0.86
0.72
0.85
Dehep Net
Dehep Bott
Feed Temp.0 C
Ovd Temp. 0 C
Temp.
(89TI231)
89PI210-
89TI203-
Recycle Gas
Recycle Gas
RIT
Flow,
Pressure,
Knm3 /hr
Kg/cm2 -G
H2 Temp 0 C.
(89TI208A/B)
(89TI238)
89FI202AMake-Up
(84TI251)
103
38
175
38
356.16
206.03
8.90
103
38
175
38
356.26
205.32
8.90
103
38
175
38
357.22
174.28
8.75
103
38
175
38
357.25
135.46
8.65
103
38
175
38
357.09
145.85
8.61
103
38
175
38
357.30
169.96
8.78
103
38
175
38
357.21
149.43
8.74
103
38
175
38
357.37
139.76
8.65
103
38
175
38
356.29
137.32
8.63
103
38
175
38
356.24
137.42
8.61
103
38
175
38
356.05
140.67
8.62
103
38
175
38
356.11
139.05
8.61
103
38
175
38
356.12
138.37
8.60
103
38
175
38
356.06
137.40
8.60
103
38
175
38
355.95
139.16
8.62
103
38
175
38
356.36
144.46
8.66
103
38
175
38
356.12
157.81
8.76
103
38
175
38
355.91
160.20
8.78
103
38
175
38
356.31
151.40
8.72
103
38
175
38
356.04
154.19
8.72
103
38
175
38
355.23
153.30
8.72
103
38
175
38
354.99
152.88
8.71
103
38
175
38
355.08
165.81
8.78
103
38
175
38
354.78
160.91
8.74
103
38
175
38
353.54
162.81
8.74
89FC201A
89FC201B
ISOMAR
ISOMAR
89TI216-RG
Compressor
FEED TO
CF EX -A
89FC220-
89FC215-
Reactor Outlet
Dehep Net
Dehep
Pressure
Ovd Flow
Bottom Flow
89FIC204-Prod.
FEED TO
Disch. Press.
0
89PI205-
CF EX -B
Kg/cm -G
(T/D)
(T/D)
(T/D)
(T/D)
74.10
1718.39
1718.21
7.77
20.02
3350.21
176.66
74.91
1723.58
1723.73
7.77
18.89
3363.29
200.76
70.66
1714.70
1715.07
7.71
28.21
3334.98
402.13
66.74
1703.76
1703.73
7.74
33.25
3303.91
290.88
68.53
1706.94
1706.93
7.67
35.00
3311.34
343.01
70.42
1704.76
1704.73
7.77
32.67
3308.60
337.93
68.02
1689.11
1689.03
7.80
37.43
3267.75
168.92
64.88
1665.52
1665.32
7.74
37.42
3223.68
149.05
63.29
1648.44
1648.64
7.72
33.32
3194.89
146.96
64.05
1635.50
1635.61
7.72
25.30
3171.48
145.79
65.48
1634.66
1634.93
7.73
25.23
3171.11
144.96
65.03
1630.02
1630.02
7.73
22.59
3163.30
145.09
65.23
1627.11
1626.97
7.72
23.89
3155.18
144.84
63.66
1624.29
1624.53
7.72
22.54
3154.23
145.81
64.66
1627.06
1626.94
7.73
25.06
3154.70
145.46
65.04
1617.99
1618.10
7.75
32.86
3127.93
145.14
66.58
1622.17
1622.30
7.82
35.52
3134.75
148.40
65.62
1627.03
1627.07
7.83
34.67
3145.97
156.92
64.18
1624.22
1624.25
7.79
29.42
3144.32
155.02
65.42
1606.24
1605.99
7.80
24.62
3109.82
154.40
65.39
1596.60
1596.58
7.80
23.83
3087.56
154.63
65.66
1603.92
1604.03
7.80
27.58
3100.88
155.13
61.53
1538.90
1539.04
7.83
24.75
2967.99
161.88
62.68
1545.85
1545.52
7.81
27.05
2973.66
160.34
64.69
1547.47
1547.49
7.82
26.68
2977.72
160.09
89FI208-
89PIC212-Prod.
84PIC250-
89FI218-
89PI252-Dehep
Reaktor Outlet
Make-up H2
Make-up
Dehep Offgas
Offgas Press.
Temperature
Kg/cm2 -G
H2 Press.
Kg/cm2 -G
1173.95
6.70
34.00
528.27
3.02
360.06
36.98
1706.89
6.70
34.00
574.81
3.03
362.40
37.72
2713.16
6.77
34.00
665.40
3.04
366.65
52.87
3073.79
7.00
34.00
746.70
3.09
368.68
40.61
2739.69
6.87
34.00
676.00
3.08
366.97
42.74
2669.69
6.85
34.00
674.43
3.06
366.54
45.45
2836.16
7.00
34.00
780.93
3.17
367.80
46.89
2706.51
7.00
34.00
689.87
3.13
367.92
48.16
2680.53
7.00
34.00
672.64
3.11
366.90
61.35
2566.56
7.00
34.00
711.32
3.14
366.18
61.18
2525.17
7.00
34.00
707.74
3.14
365.47
56.79
2529.26
7.00
34.00
729.35
3.16
365.64
61.30
2525.58
7.00
34.00
720.37
3.17
365.66
56.25
2547.80
7.00
34.00
713.10
3.18
365.60
61.54
2519.93
7.00
34.00
725.91
3.18
365.72
59.45
2532.81
7.00
34.00
690.20
3.17
366.14
58.40
2700.91
7.00
34.00
716.41
3.18
365.75
55.76
2711.03
7.00
34.00
727.80
3.18
365.34
58.12
2745.35
7.00
33.99
765.69
3.19
366.01
58.45
2800.03
7.00
33.60
774.39
3.16
365.56
59.92
2778.05
7.00
33.85
771.25
3.05
365.20
59.97
2742.26
7.00
34.00
744.45
3.07
365.02
61.43
2708.92
7.00
34.03
705.04
3.17
364.10
55.32
2680.82
7.00
34.00
740.75
3.18
364.22
61.86
2742.27
7.00
34.03
771.59
3.20
363.47
61.21
% EB ate
(% wt)
O
C (89TI204)
Corr H2 Flow
Px equilibrium
Molar H2 feed
Molar HC feed
(kmol/hr)
(kmol/hr)
Corr HC feed
(NM3 /HR)
24.44
117176.80
3431.34
3516.77
1346.26
24.44
123367.37
3442.04
3921.07
1350.45
24.42
140413.78
3424.53
5379.38
1343.58
24.42
130550.53
3402.28
5341.07
1334.86
24.42
139803.03
3408.65
5716.49
1337.35
24.42
144305.03
3401.89
5652.71
1334.70
24.42
146596.48
3370.60
6021.74
1322.43
24.42
88837.02
3323.41
2942.47
1303.91
24.42
87383.86
3289.73
2894.34
1290.70
24.42
97531.85
3261.73
3531.58
1279.71
24.43
99677.14
3260.22
3609.26
1279.12
24.43
98552.19
3250.69
3568.53
1275.38
24.43
97988.34
3241.63
3548.11
1271.83
24.43
95102.50
3236.39
3357.91
1269.77
24.43
96365.43
3241.55
3408.52
1271.79
24.43
96300.67
3223.71
3313.42
1264.79
24.43
98775.46
3232.47
3221.86
1268.23
24.43
104770.93
3242.07
3540.82
1272.00
24.43
100143.00
3236.45
3407.20
1269.80
24.43
103845.02
3199.53
3585.98
1255.31
24.43
103207.41
3180.55
3563.96
1247.86
24.43
105269.75
3195.27
3697.17
1253.64
24.43
98746.48
3067.34
3039.84
1203.45
24.43
101567.78
3080.73
3332.88
1208.70
24.43
102758.64
3084.31
3372.87
1210.10
Molar ratio
PPH2
"D" Approach to
Corr Dehep
Corr. Dehep
Corr. Sep.
Corr. H2 Make-
H2/HC
(bar)
Convergence
Bottom (T/D)
Offgas T/D
Up T/D
2.61
4.62
4.46
20.22
3346.71
1.36
4.67
2.90
4.94
4.11
19.08
3359.77
1.46
6.79
4.00
6.06
2.37
28.49
3331.49
2.19
10.79
4.00
6.42
2.51
33.59
3300.46
1.35
12.23
4.27
6.44
2.48
35.35
3307.88
1.58
10.90
4.24
6.28
2.43
33.00
3303.99
1.76
10.65
4.55
6.64
2.56
37.81
3263.19
0.77
11.31
2.26
4.80
3.08
37.79
3219.18
1.05
10.80
2.24
4.79
2.22
33.66
3190.43
1.03
10.69
2.76
5.38
2.24
25.56
3163.95
0.92
10.24
2.82
5.42
2.10
25.49
3163.57
0.91
10.07
2.80
5.41
2.56
22.82
3155.79
0.91
10.09
2.79
5.40
2.09
24.13
3145.25
0.91
10.08
2.64
5.23
2.36
22.76
3144.31
0.94
10.16
2.68
5.26
2.26
25.31
3144.78
0.94
10.05
2.62
5.13
2.26
33.19
3118.09
0.97
10.10
2.54
4.93
2.21
35.88
3124.44
1.06
14.63
2.78
5.17
2.32
35.02
3135.64
1.08
14.69
2.68
5.14
2.34
29.71
3133.99
1.05
14.87
2.86
5.27
2.30
24.87
3100.04
1.03
14.36
2.86
5.27
2.27
24.07
3077.85
1.03
14.30
2.95
5.38
2.25
27.85
3091.12
1.01
14.15
2.53
4.71
2.35
25.00
2957.82
1.23
15.33
2.76
5.03
1.22
27.32
2963.47
1.14
15.16
2.79
5.06
2.52
26.94
2967.52
1.14
15.51
Corr. Dehep
Unit Recovery
C8A ringloss
LHSV
PX/X
PPH2 Target
Offgas T/D
(% wt)
(% wt)
(hr-1 )
(% wt)
(bar)
22.82
98.69
2.18
2.21
20.87
3.61
24.89
98.74
1.30
2.21
21.18
3.89
28.83
98.71
2.72
2.20
22.71
4.40
32.57
98.64
0.43
2.19
22.58
4.64
29.44
98.68
1.47
2.19
22.63
4.44
27.55
98.64
1.91
2.19
22.66
4.38
32.30
98.59
2.44
2.17
22.57
4.54
18.05
98.26
0.55
2.14
22.37
4.55
17.57
98.25
2.27
2.12
22.85
4.43
18.63
98.08
2.17
2.10
22.82
4.34
18.55
98.11
1.87
2.10
23.11
4.26
19.16
98.10
1.93
2.09
22.50
4.28
18.95
98.08
0.98
2.09
23.11
4.28
18.78
98.16
2.09
2.09
22.71
4.27
19.12
98.11
2.13
2.09
22.79
4.29
18.15
98.04
1.38
2.08
22.80
4.34
18.87
97.94
2.75
2.09
22.83
4.29
34.96
98.46
2.77
2.09
22.75
4.24
36.85
98.47
3.29
2.09
22.73
4.32
37.03
98.42
2.56
2.07
22.77
4.27
36.40
98.26
2.41
2.05
22.79
4.22
35.24
98.31
2.71
2.06
22.80
4.20
33.76
97.90
3.46
1.98
22.72
4.09
35.93
97.80
3.35
1.99
23.79
4.11
37.52
97.85
3.46
1.99
22.56
4.02
EB Conversion
Xn
KI
KE
(% wt)
0.07
22.91
19.60
76.84
0.07
20.82
19.07
71.33
0.11
21.31
23.97
68.83
0.12
17.04
16.27
46.04
0.13
17.53
17.80
48.28
0.12
19.07
18.79
51.82
0.14
15.42
18.90
50.62
0.05
25.71
17.87
73.37
0.05
35.75
23.49
88.75
0.08
27.03
23.52
76.21
0.08
28.70
21.63
67.60
0.08
23.42
23.06
75.50
0.08
28.74
21.74
68.46
0.07
27.30
24.45
81.90
0.08
28.20
24.13
79.71
0.07
29.31
24.01
82.39
0.06
33.05
23.26
82.77
0.07
28.62
23.47
78.89
0.07
28.46
23.84
82.15
0.08
26.91
24.18
79.64
0.08
27.01
24.10
78.65
0.08
26.33
25.03
79.28
0.06
31.76
23.06
84.74
0.07
53.13
26.31
78.42
0.08
25.76
25.80
87.11
Juli 2016
AiH wt
AiH wt
AiH wt
% Ethyl
% P-
% M-
Benzene
Xylene
Xylene
AiH wt %
NO
Kode
Keterangan
Tanggal
O-Xylene
8803
Raffinate
07/01/2016
8.14
0.61
50.52
22.72
8905
07/02/2016
8.21
0.58
51.06
22.66
8403
Make Up H2
07/03/2016
8.2
0.64
50.63
22.98
8907
07/04/2016
8.34
0.68
50.81
22.22
8903
Recycle Gas
07/05/2016
8.35
0.72
50.51
22.03
8906
07/06/2016
8.31
0.72
50.03
22.06
89TI208A
FEED
07/07/2016
8.27
0.77
50.32
22.48
89TI211
Separator Offgas
07/08/2016
8.5
0.8
50.37
23.06
89TI203
RIT
07/09/2016
8.52
0.82
50.5
22.68
10
Reactor Outlet
07/10/2016
8.39
0.85
50.55
22.24
11
Correction
07/11/2016
8.18
0.71
50.96
21.15
12
07/12/2016
8.13
0.75
51.02
21.8
13
07/13/2016
8.27
0.78
50.78
21.4
14
07/14/2016
8.33
0.72
51.22
21.91
15
07/15/2016
8.27
0.69
50.87
22.29
16
07/16/2016
8.36
0.66
50.37
22.38
17
07/17/2016
8.34
0.64
50.47
22.1
18
07/18/2016
8.21
0.66
50.45
22.73
19
07/19/2016
8.33
0.64
50.31
22.12
20
07/20/2016
8.31
0.67
50.32
22.05
21
07/21/2016
8.12
0.69
50.35
21.58
22
07/22/2016
8.14
0.71
50.75
21.51
23
07/23/2016
8.23
0.7
50.67
21.97
24
07/24/2016
7.99
0.74
51.3
21.97
25
07/25/2016
7.8
1.28
50.4
21.95
% Total Xylene
di Raff S/C
AiH wt
AiH wt %
AiH wt %
P-Xylene
M-Xylene
% Ethyl
AiH wt
% Total Xylene di
% O-
Dehep Bott
Xylene
(PX+MX+OX)
(PX+MX+OX)
(EB+PX+MX+OX)
Benzene
78.66
89.42
8.87
16.62
43.36
19.66
79.64
73.85
81.99
6.48
17.06
40.36
17.78
75.20
74.3
82.51
6.41
16.92
40.38
17.77
75.07
74.25
82.45
6.40
16.82
40.23
17.69
74.74
73.71
82.05
6.43
16.88
40.40
17.68
74.96
73.26
81.61
6.49
16.86
40.31
17.81
74.98
72.81
81.12
6.41
16.81
40.40
17.65
74.86
73.57
81.84
6.45
16.92
40.16
17.66
74.74
74.23
82.73
6.46
16.98
40.02
17.49
74.49
74
82.52
6.63
17.30
39.96
17.93
75.19
73.64
82.03
6.42
17.29
39.55
17.76
74.60
72.82
81
6.35
16.96
39.94
17.38
74.28
73.57
81.7
6.36
16.79
39.86
17.41
74.06
72.96
81.23
6.42
16.89
39.96
17.44
74.29
73.85
82.18
6.37
17.66
39.66
17.36
74.68
73.85
82.12
6.43
16.91
39.99
17.46
74.36
73.41
81.77
6.44
16.85
40.04
17.40
74.29
73.21
81.55
6.43
16.80
39.93
17.61
74.34
73.84
82.05
6.52
17.07
39.44
18.53
75.04
73.07
81.4
6.57
17.22
39.66
17.96
74.84
73.04
81.35
6.37
16.94
39.90
17.53
74.37
72.62
80.74
6.25
16.90
39.74
17.22
73.86
72.97
81.11
6.24
16.88
39.71
17.31
73.90
73.34
81.57
6.38
17.33
39.53
17.71
74.57
74.01
82
6.20
16.95
39.89
17.50
74.34
73.63
81.43
6.13
16.95
39.83
17.40
74.18
% Total C8A di
Calc. SG Make-
Calc. SG
H2 Purity
Recycle Gas
Recycle Gas
(8903) LAB
(8903)
Calc. SG Dehep
SG Raff (S/C)
Dehep Bott
Up H2 (8403)
(EB+PX+MX+OX)
LAB
81.68
0.32
1.32
0.44
74.24
0.86
81.48
0.32
1.32
0.45
73.27
0.85
81.14
0.32
1.32
0.46
72.66
0.85
81.39
0.32
1.32
0.46
72.79
0.85
81.47
0.30
1.32
0.50
70.05
0.85
81.27
0.30
1.52
0.46
72.62
0.85
81.19
0.30
1.52
0.46
72.77
0.85
80.95
0.30
1.52
0.44
74.34
0.85
81.82
0.25
1.52
0.41
76.06
0.85
81.02
0.25
1.52
0.41
76.33
0.85
80.63
0.25
1.52
0.41
76.33
0.85
80.42
0.30
1.52
0.44
74.05
0.85
80.71
0.30
1.52
0.42
75.57
0.85
81.05
0.30
1.52
0.46
72.85
0.85
80.79
0.30
1.52
0.44
73.81
0.85
80.73
0.31
1.52
0.46
72.18
0.85
80.77
0.31
1.51
0.47
71.69
0.85
81.56
0.31
1.51
0.44
73.92
0.85
81.41
0.29
1.51
0.43
74.64
0.85
80.74
0.29
1.58
0.41
76.27
0.85
80.11
0.29
1.58
0.41
75.77
0.85
80.14
0.29
1.58
0.40
76.58
0.85
80.95
0.27
1.58
0.41
75.91
0.85
80.54
0.27
1.53
0.40
76.76
0.85
80.31
0.27
1.53
0.41
76.04
0.85
Offgas (8907)
(8803)
SG Dehep
Dehep Net
Dehep Bott
Make-Up H2
89TI203-
Temp 0 C.
RIT
(89TI238)
(89TI231)
(84TI251)
(0 C)
Feed Temp.0 C
SG Dehep Net
Ovd Temp. 0 C
Bottom
Ovd (8906)
Temp.
(89TI208A/B)
(8905)
0.72
0.85
103
38
175
38
353.14
0.72
0.85
103
38
175
38
353.07
0.72
0.85
103
38
175
38
353.25
0.72
0.85
103
38
175
38
353.23
0.72
0.85
103
38
175
38
353.15
0.72
0.85
103
38
175
38
353.20
0.72
0.85
103
38
175
38
353.37
0.72
0.85
103
38
175
38
353.23
0.72
0.85
103
38
175
38
353.27
0.72
0.85
103
38
175
38
353.24
0.72
0.85
103
38
175
38
353.35
0.72
0.85
103
38
175
38
353.14
0.72
0.85
103
38
175
38
353.10
0.72
0.85
103
38
175
38
353.07
0.72
0.85
103
38
175
38
353.21
0.72
0.85
103
38
175
38
353.17
0.72
0.85
103
38
175
38
353.06
0.72
0.85
103
38
175
38
353.18
0.72
0.85
103
38
175
38
353.19
0.72
0.85
103
38
175
38
353.41
0.72
0.85
103
38
175
38
353.17
0.72
0.85
103
38
175
38
353.05
0.72
0.85
103
38
175
38
353.15
0.72
0.85
103
38
175
38
353.23
0.72
0.85
103
38
175
38
353.27
89FI202A-
89PI210-
89TI216-RG
89FC201A
Recycle Gas
Recycle Gas
Compressor
ISOMAR FEED
Flow
Pressure,
Disch. Press.
TO CF EX -A
89FC201B ISOMAR
89PI205-Reactor
FEED TO CF EX -B
Outlet Pressure
(T/D)
(Kg/cm2 -G)
(KNm /hr)
(Kg/cm -G)
( C)
(T/D)
161.98
8.76
65.02
1559.40
1559.47
7.83
164.95
8.77
65.67
1560.43
1560.41
7.84
167.90
8.81
65.85
1564.34
1564.16
7.86
169.44
8.82
66.17
1563.00
1563.09
7.86
170.27
8.82
66.24
1560.05
1559.97
7.87
173.23
8.85
66.99
1563.32
1563.20
7.88
170.24
8.82
66.51
1556.01
1556.09
7.86
166.39
8.79
65.67
1559.16
1559.31
7.85
161.46
8.75
64.28
1553.56
1553.58
7.82
156.89
8.71
64.67
1559.53
1559.56
7.80
156.15
8.72
63.93
1553.99
1554.02
7.79
156.44
8.72
64.01
1558.27
1558.43
7.80
160.22
8.75
63.98
1559.89
1559.64
7.82
165.04
8.79
65.80
1565.53
1565.40
7.85
169.07
8.82
66.72
1559.69
1559.48
7.87
167.44
8.83
66.41
1571.04
1570.82
7.87
168.37
8.83
65.61
1564.14
1564.06
7.87
169.26
8.83
66.10
1568.11
1567.97
7.87
170.17
8.83
66.67
1566.50
1566.63
7.88
164.12
8.78
65.90
1561.22
1561.13
7.84
159.78
8.75
64.64
1559.49
1559.53
7.82
160.02
8.74
65.30
1558.35
1558.30
7.82
158.23
8.74
64.57
1556.59
1556.49
7.82
158.06
8.74
64.56
1559.60
1558.23
7.81
159.68
8.75
65.13
1555.50
1554.55
7.82
89FC220-
89FC215-
89FIC204-Prod.
89FI208-Make-
89PIC212-Prod.
Dehep Bottom
up H2 Flow,
Flow (T/D)
Flow (T/D)
Normalm3 /hr
Nm3 /hr
Kg/cm2 -G
26.27
3003.18
159.30
2675.56
34.11
28.60
3003.74
160.14
2707.63
34.13
25.97
3015.21
159.64
2742.08
34.10
27.12
3009.18
159.19
2733.62
34.06
29.71
2996.33
159.14
2713.07
34.13
35.53
2998.41
158.63
2741.07
34.20
36.81
2980.61
158.49
2772.42
34.25
39.26
2987.36
158.67
2803.82
34.22
38.09
2979.41
164.00
2794.64
34.48
31.49
2997.14
172.21
2809.49
34.13
35.65
2986.51
172.23
2796.02
34.20
31.46
2998.39
171.24
2844.83
34.35
30.81
3002.36
161.92
2746.76
34.19
29.54
3017.85
173.38
2873.29
34.10
25.45
3005.74
183.67
2898.54
34.10
24.98
3029.49
191.82
2905.07
34.10
26.54
3013.51
192.27
2930.83
34.10
25.92
3023.24
191.33
2937.18
34.10
26.97
3017.65
190.58
2937.33
34.11
31.06
3002.83
190.57
2875.82
34.04
30.65
3001.02
191.28
2910.37
34.00
33.16
2997.91
191.49
2936.18
34.00
32.46
2995.61
191.92
2910.73
34.03
29.05
3003.82
191.03
2935.13
34.10
28.59
2995.47
190.61
2886.18
34.10
84PIC250-Makeup H2 Press.
89FI218-Dehep
89PI252-Dehep
Offgas Flow,
Offgas Press.
2
Reaktor Outlet
Temperature
% EB ate
Px equilibrium
Corr H2 Flow
(% wt)
(% wt)
(NM3 /HR)
NM /HR
KG/CM -G
(89TI204)
782.26
3.21
362.73
58.50
24.43
103318.66
775.08
3.21
362.46
60.68
24.44
103691.78
790.41
3.21
362.38
60.10
24.44
104737.77
801.30
3.18
362.18
62.14
24.44
105728.79
830.27
3.10
362.21
61.02
24.44
102078.77
819.55
3.16
362.40
63.28
24.44
107633.48
820.66
3.16
363.23
60.34
24.43
106003.37
794.23
3.13
363.61
61.12
24.43
106230.04
749.83
3.12
363.82
58.42
24.43
106003.08
739.55
3.16
363.83
62.15
24.43
103474.14
695.83
3.18
363.69
62.19
24.43
103125.79
701.71
3.18
363.59
59.51
24.43
99154.39
730.89
3.23
362.60
60.78
24.44
104668.92
722.64
3.22
362.81
62.91
24.43
102958.41
779.25
3.22
362.75
59.48
24.43
107448.61
787.50
3.20
362.76
60.65
24.43
103798.71
788.64
3.21
362.65
61.07
24.44
103873.29
792.89
3.21
362.69
57.71
24.43
108048.32
809.47
3.22
362.74
58.25
24.43
109621.83
763.42
3.20
363.54
63.02
24.43
108280.74
756.74
3.21
363.79
63.75
24.43
104680.23
715.03
3.20
363.82
63.91
24.43
106164.92
704.72
3.23
363.81
61.84
24.43
103980.19
707.45
3.24
363.84
63.47
24.43
105258.51
724.14
3.24
363.52
63.65
24.43
105034.69
Molar
Molar H2 feed
Molar HC feed
Corr HC feed
PPH2
"D" Approach to
(bar)
Convergence
Ovhd (T/D)
ratio
(kmol/hr)
(kmol/hr)
H2/HC
3108.13
3422.14
1219.45
2.81
5.10
2.40
26.54
3102.71
3389.62
1217.32
2.78
5.05
2.55
28.89
3110.33
3395.31
1220.31
2.78
5.02
2.58
26.23
3107.93
3433.57
1219.37
2.82
5.05
2.55
27.39
3100.30
3190.25
1216.38
2.62
4.83
2.62
30.01
3106.76
3487.26
1218.91
2.86
5.07
2.61
35.89
3092.44
3441.54
1213.29
2.84
5.05
2.44
37.18
3098.76
3523.31
1215.77
2.90
5.15
2.26
39.65
3088.49
3597.12
1211.74
2.97
5.26
2.16
38.47
3100.37
3523.77
1216.40
2.90
5.23
1.99
31.80
3089.36
3511.91
1212.08
2.90
5.23
2.20
36.01
3097.81
3275.80
1215.40
2.70
5.03
2.38
31.78
3100.61
3528.97
1216.50
2.90
5.20
2.31
31.12
3111.94
3346.36
1220.95
2.74
5.01
1.37
29.84
3100.26
3538.32
1216.36
2.91
5.14
2.31
25.71
3123.01
3342.64
1225.29
2.73
4.98
2.36
25.23
3109.42
3322.33
1219.96
2.72
4.95
2.50
26.81
3117.27
3563.37
1223.03
2.91
5.15
2.82
26.18
3113.94
3650.47
1221.73
2.99
5.22
2.23
27.24
3103.21
3684.56
1217.52
3.03
5.30
2.29
31.38
3099.91
3538.69
1216.22
2.91
5.22
2.14
30.96
3097.55
3627.25
1215.30
2.98
5.29
2.20
33.49
3094.01
3521.52
1213.91
2.90
5.22
1.91
32.79
3098.72
3604.73
1215.76
2.97
5.29
2.26
29.34
3091.00
3563.33
1212.73
2.94
5.24
2.20
28.88
Corr. Dehep
Corr. Sep.
Corr. H2
Corr. Dehep
Unit Recovery
C8A ringloss
Bottom (T/D)
Offgas T/D
Make-Up T/D
Offgas T/D
(% wt)
(% wt)
2992.89
1.12
15.21
35.56
97.85
1.96
2986.91
1.14
15.39
35.22
97.89
2.88
2998.32
1.15
15.58
35.90
97.94
3.14
2992.32
1.15
15.53
36.30
97.88
2.42
2979.75
1.19
15.03
37.23
97.84
1.94
2981.82
1.15
15.20
39.84
97.97
1.86
2964.12
1.15
15.38
39.87
97.89
2.86
2970.83
1.12
15.55
38.43
97.94
4.21
2962.93
1.12
14.18
36.26
97.94
2.88
2980.56
1.17
14.19
35.91
97.91
3.02
2969.99
1.17
14.13
33.90
97.99
2.34
2980.33
1.21
15.71
34.16
97.88
3.25
2984.27
1.12
15.14
35.79
97.96
2.38
2999.67
1.25
15.81
35.37
98.03
3.02
2987.64
1.30
15.95
38.13
97.96
3.22
3009.54
1.39
16.36
38.46
97.94
2.86
2993.67
1.40
16.51
38.39
97.90
2.60
3003.33
1.35
16.54
38.63
97.95
2.22
2999.90
1.33
15.81
39.45
98.02
1.71
2985.16
1.30
15.46
37.92
97.98
2.56
2983.37
1.31
15.64
37.62
98.00
2.56
2980.27
1.30
15.78
35.53
97.98
2.98
2977.99
1.31
15.08
35.12
98.01
2.54
2986.15
1.29
15.23
34.77
98.00
3.41
2977.85
1.30
14.97
35.59
97.99
3.04
LHSV
PX/X
PPH2 Target
EB Conversion
Xn
KI
KE
(hr-1 )
(% wt)
(bar)
2.01
22.69
3.93
0.08
27.12
23.34
76.01
2.01
22.54
3.90
0.08
26.37
24.84
82.41
2.02
22.50
3.89
0.08
26.50
24.76
82.74
2.01
22.52
3.86
0.08
26.61
25.77
85.03
2.01
22.49
3.86
0.07
28.47
25.30
88.61
2.01
22.46
3.89
0.08
25.72
25.97
86.09
2.01
22.64
3.99
0.08
27.06
25.24
84.32
2.01
22.80
4.03
0.08
28.02
27.14
87.86
2.00
23.01
4.06
0.08
27.65
25.35
79.83
2.01
23.18
4.06
0.08
30.54
26.44
82.36
2.00
22.83
4.04
0.08
27.51
25.37
80.46
2.01
22.67
4.03
0.07
27.94
24.74
83.29
2.01
22.74
3.91
0.09
27.08
25.28
79.56
2.02
23.65
3.94
0.08
49.84
26.29
78.32
2.01
22.74
3.93
0.08
27.85
25.07
80.32
2.02
22.68
3.93
0.08
29.70
25.77
86.07
2.02
22.60
3.92
0.07
28.16
25.77
87.46
2.02
22.75
3.92
0.08
23.00
23.49
78.02
2.02
23.01
3.93
0.09
28.16
24.02
74.97
2.01
22.78
4.03
0.09
25.91
26.26
82.31
2.01
22.88
4.06
0.08
28.57
25.92
82.07
2.01
22.84
4.06
0.09
26.95
26.24
82.24
2.01
23.24
4.06
0.08
31.88
25.39
78.62
2.01
22.80
4.06
0.09
26.21
25.22
79.56
2.00
22.85
4.02
0.08
27.52
24.29
76.44
(% wt)