Anda di halaman 1dari 19

Komunikasi Terapeutik dalam Pelayanan

Kesehatan Pada Anak Tuna Rungu

Disusun oleh :
1. Bella Krisna Mareta
2. Desy Irawati
3. Diny Tri Yulia C.S
4. Dita Deviyanti
5. Septania Kharisma

11141057
11141061
11141064
11141065
11141095

Program Studi Sarjana Keperawatan


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA
TAHUN AKADEMIK 2014/2015

Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-NYA sehingga tersusunlah tugas artikel bahasa indonesia.
Pengembangan pembelajaran yang ada di artikel ini, dapat senantiasa dilakukan
oleh siswa dengan tetap dalam bimbingan dosen. Upaya ini diharapkan dapat
lebih mengoptimalkan penguasaan mahasiswa terhadap kompetensi yang
dipersyaratkan. Dalam penyusunan artikel ini, masih banyak kekuranganya.
Untuk itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sangat membangun.
Akhirnya penyusun mengucapkan trimakasih kepada semua pihak yang telah
membanntu penyusunan artikel ini.

Jakarta, 16 Desember 2014

Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan bagi anak penyandang cacat diawali dengan deteksi dini
pada saat penerimaan siswa baru baik di SLB, sekolah inklusi maupun sekolah umum.
Pelayanan kesehatan berkala dilakukan sama seperti yang dilaksanakan di sekolahsekolah umum yaitu sekali enam bulan.
Pelayanan kesehatan insidentil sebaiknya dilakukan sekali dalam sebulan atau
minimal tiga bulan sekali karena anak penyandang cacat berisiko lebih tinggi terhadap
penyakit dibanding anak normal di sekolah umum dan rawan bertambah parah
kecacatannya serta ketergantungannya pada orang lain. Jika anak mengalami sakit di
sekolah di luar jadwal kunjungan puskesmas, penanganan sederhana dapat dilakukan oleh
guru pembina UKS dan apabila tidak dapat diatasi segera dirujuk ke puskesmas.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas. Penulis perlu merumuskan masalah
yan akan dibahas. Penulis merumuskan masalah sebagai berikut bagaimana
peran bahasa yang baik dan benar dalam pelayanan kesehatan bagi penyandang
cacat. Penyandang cacat yang akan dibahasa yaitu
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut mengetahui peran bahasa
yang baik dan benar dalam pelayanan kesehatan bagi penyandang cacat.

BAB II

Pembahasan
A. Landasan Teori
Komunikasi berasal dari bahasa Inggris ; communication yang berarti
pemberitahuan dan atau pertukaran ide, dengan pembicara mengharapkan
pertimbangan atau jawaban dari pendengarnya. Komunikasi adalah suatu
transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur
lingkungannya dengan membangun hubungan antar sesama manusia melalui
pertukaran informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain serta
mengubah sikap dan tingkah laku tersebut (Robbins dan Jones, 1982).
Sedangkan komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara
sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien
(Indrawati, 2003 48). Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal
dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar perawat dengan pasien.
Komunikasi terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan, namun harus
direncanakan, disengaja, dan merupakan tindakan profesional. Akan tetapi,
jangan sampai karena terlalu asyik bekerja, kemudian melupakan pasien sebagai
manusia dengan beragam latar belakang dan masalahnya (Arwani, 2003 50).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik
merupakan interaksi antara perawat dan pasien yang berupa pembicaraan dan
perbincangan tentang masalah klien dengan berlandaskan etika dan moral
keperawatan, ditujukan untuk kesembuhan klien.

1. Definisi penyandang cacat


Definisi atau pengertian terhadap permasalahan penyandang cacat, dapat
dilihat dari konteks penggunaan berbahasa dan konsep yang digunakan.
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan definisi kecacatan ke
dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability dan handicap . Impairment disebutkan
sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau fungsi psikologis, atau
anatomis. Sedangkan Disability adalah ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai
akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap
normal bagi manusia. Adapun handicap, merupakan keadaan yang merugikan bagi
seseorang akibat adanya imparment, disability, yang mencegahnya dari pemenuhan
peranan yang normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi
orang yang bersangkutan.
Pengertian penyandang cacat dalam UU No. 4/1997 merupakan pengalih
bahasa Inggris yaitu disabled person ke dalam bahasa Indonesia , menjadi
penyandang cacat. Dalam konteks berbahasa, pengalihan kata disabled menjadi kata
cacat telah menempatkan orang yang mengalami kelainan fungsi atau kerusakan

struktur anatomis yang mempengaruhinya melakukan aktivitas, pada posisi yang


dirugikan. Seperti diketahui, bahasa menentukan pikiran dan tindakan. Menurut
Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai makna, seperti:
1) kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang
terdapatpada badan, benda, batin atau ahlak). 2). Lecet (kerusakan, noda) yang
menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); 3). Cela atau aib;
4 ). Tidak (kurang sempurna). Dari pengertian tersebut dapat diperhatikan bahwa
kata cacat dalam Bahasa Indonesia selalu dikonotasikan dengan kemalangan,
penderitaan atau hal yang patut disesali/ dikasihani. Anggapan ini dengan sendirinya
membentuk opini publik bahwa penyandang cacat yang dalam Bahasa Inggris
disebut disabled person itu adalah orang yang lemah dan tak berdaya. Bahkan,
sebutan ini juga menempatkan mereka sebagai objek dan bukan manusia. Misalkan,
kita sering menyebut sepatu yang tergores dengan mengalami cacat dan orang yang
mengalami kelainan fungsi atau kerusakan anatomi juga sebagai cacat.
Dari segi konseptual, definisi penyandang cacat seperti termuat dalam UU No.
4/1997 yang juga mengacu kepada definisi yang dikeluarkan WHO, pengertian
keadaan disability atau kecacatan dipahami pada konsep normal dan abnormal, yang
melihat anatomi manusia sebagai sesuatu yang fleksibel dan dapat diubah.
Konsekuensi pengertian ini menempatkan masalah penyandang cacat hanya pada hal
yang bersifat anatomi atau proses yang bersifat psikologis semata. Misalnya, hal ini
dapat dilihat dari pernyataan yang sering dikemukan sebagai berikut. Banyak
penyandang

cacat

tidak

memiliki

pekerjaan

disebabkan

impairment/

ketidakberfungsian organ anatomis.


Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah hanya kondisi fisik
tertentu yang menyebabkan seseorang terlibat dalam aktivitas kerja? Padahal, bekerja
adalah suatu pelibatan peran seseorang yang terkait dengan faktor lingkungan.
Pemahaman kecacatan yang demikian, kemudian hanya melihat masalah penyandang
cacat semata dari hubungan fisik dan kemampuan untuk terlibat dalam aktivitas
kerja, dan mengabaikan faktor-faktor di luar individu, misalnya, yang berasal dari
masyarakat seperti hambatan arsitektural, atau hambatan non fisik berupa sikap atau
perlakuan yang menyebabkan seseorang menjadi cacat.
2. Model-model yang dipakai dalam kebijakan penanganan masalah penyandang
cacat

1. Individual Model / Model Medis


Model yang dipergunakan dalam kebijakan masalah penyandang cacat
sangat ditentukan oleh bagaimana permasalahan tersebut dikonseptualisasikan.
Di atas telah disebutkan bahwa, kecacatan dipahami sebagai ketidakmampuan
seseorang dalam melakukan aktivitas yang dianggap normal/ layak akibat
impairment yang dialaminya. Selanjutnya, pemahaman ini berimplikasi terhadap
model pemecahan masalah penyandang cacat. Model yang digunakan selama ini
didasari pada penggunaan strategi medis atau yang disebut juga strategi
individual karena fokusnya pada individu penyandang cacat. Hal ini dapat
dilighat dari penggunaan konsep rehabilitasi pada program-program yang
ditujukan kepada penyandang cacat dan pembentukan organisasi pelayanan yang
diperuntukan bagi penyandang cacat.
Rehabilitasi dimaksudkan sebagai suatu proses refungsionalisasi dan
pengewmbangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu hidup
secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Proses ini meliputi rehabilitasi
medik, sosial, pendidikan dan vokasional. Hal ini didasari asumsi bahwa
ketidaknormalan fungsi atau kerusakan struktur anatomi dapat disembuhkaan
(dihilangkan), maka seseorang akan dapat melakukan aktivitas dengan
layak/normal. Menurut model ini, kecacatan yang disebabkan oleh impairment
adalah suatu kondisi yang bisa disembuhkan. Hal ini melihat kondisi individu
sebagai sesuatu yang fleksibel atau dapat diubah, sementara lingkungan
dimana seseorang itu berada dilihat sebagai suatu yang tidak mungkin
berubah. Dengan kata lain, penyandang cacat dituntut untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungannya.
Pendekatan medis yang didasari asumsi penyakit sembuh maka
masalah hilang, pada kenyataannya tidak dapat menyelesaikan permasalahan
penyandang cacat. Hal ini antara lain disebabkan imparment sebagai penyebab
kecaatan tidak selalu dapat disembuhkan dan bahkan menetap sepanjang umur
orang yang bersangkutan. Pendekatan rehabilitasi pun tidak sepenuhnya salah,
namun harus diperhatikan faktor kondisi tertentu, seperti impairment yang
bersifat sementara. Harus diingat, bahwa masalah penyandang cacat timbul
oleh karena adanya interaksi dari akibat impairment dan faktor-faktor
lingkungan.

Konsep yang dipergunakan untuk mendefinisikan penyandang cacat


seperti tersebut di atas, berpengaruh pula terhadap pembentukan organisasi
pelayanan yang dimaksudkan bagi penyandang cacat. Misalnya, Unit
Pelayanan Penyandang Cacat Tubuh, Unit Pelayanan Penyandang Cacat Netra
atau sebutan semacam Organisasi Untuk Kesejahteran Penyandang Cacat
Mental. Tidak jarang, konsekuensi penyebutan yang demikian, menempatkan
penyandang cacat sebagai subyek yang terlupakan. Mereka dikelompokan dan
dikategorisasikan semata atas dasar penampilan fisik.
2. Sosial Model
Meskipun model individual/ model medis adalah model kebijakan
penanganan masalah penyandang cacat yang digunkan banyak negara di
dunia, namun sejak lebih dari dua dasawarsa yang lalu diakui bahwa faktorfaktor di luar individu, seperti lingkungan fisik dan non fidik juga turut
menyebabkan seseorang menjadi penyandang cacat. Untuk mengakomodasi
faktor di luar individu tersebut, pembuat kebijakan perlu memperhitungkan hal
tersebut dan hal inilah yang mendasari timbulnya model sosial.
Kesamaan Kesempatan yang termuat dalam UU No. 4/1997 tentang
Penyandang Cacat adalah gambaran dari pelaksanaan model sosial.
Model Sosial umumnya beranjak dari pemikiran bahwa, hambatanhambatan

yang

berasal

dari

luar

lingkungan,

yang

menyebabkan

ketidakmampuan seseorang yang mengalami impairment dalam melakukan


aktivitas sehari-hari, terjadi karena lingkungan tidak mengakomodasi
kebutuhan warga negara penyandang cacat. Misalnya, arsitektur bangunan
didisain dalam bentuk berundak-undak sehingga pengguna kursi roda tidak
dapat masuk atau menggunakan bangunan tersebut. Dengan kata lain ada
pengabaian terhadap hak-hak penyandang cacat (diskriminasi), dan oleh sebab
itu hak-hak penyandang cacat haruslah dilindungi.
Melalui perlindungan hukum hak-hak warga negara penyandang cacat,
akan dapat terlaksana persamaan kesempatan dan partisipasi penuh
penyandang cacat dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan Sayangnya,
kebutuhan warga negara penyandang cacat dalam perspektif pembuat
kebijakan selalu dipandang menjadi kebutuhan yang spesial atau dalam
bentuk spesial program. Misalnya, penyediaan aksesibilitas fisik dianggap

sebagai kebutuhan yang bersifat khusus, padahal setiap orang dapat


menggunakannya.
Penciptaan prgram-program khusus atau kebijakan yang diperuntukan
khusus bagi penyandang cacat memang bermanfaat , namun terbatas untuk
tujuan jangka pendek, karena biasanya program atau kebijakan itu bersifat
temporer (biasanya tergantung pada good will dari pejabat berwenang dan
juga tergantung pada ketersediaan dana).

B. Macam-macam penyandang cacat


.
3. TUNA WICARA
Bila dibandingkan dengan anak cacat lainnya, penderita tunawicara
cenderung tergolong yang paling ringan, karena secara lahiriah mereka
tidak kelihatan memiliki kelainan dan tampak seperti orang normal. Salah
satu penyebab yang paling sering terjadi pada tunawicara adalah gangguan
pendengaran yang tidak terdeteksi secara dini, karena permasalahan paling
mendasar yang dialami seorang tuli adalah kurang mendapat stimulasi
bahasa sejak lahir.
Peran keluarga dan masyarakat dalam mendeteksi dini gangguan
pendengaran sangat penting untuk menemukan penderita tunawicara dan
menolongnya dari keterasingan sehingga mereka dapat memanfaatkan dan
meningkatkan kemampuannya berkomunikasi dengan lingkungannya.
Beberapa tanda khusus pada anak sekolah yang menderita tunawicara
adalah: sulit mengikuti percakapan normal, selalu memperhatikan mimik
atau bibir lawan bicara, sering menghindar dari percakapan, suka
menyendiri, bicara keras, nada bicara tidak normal, tidak lancar, dan
menggunakan bahasa isyarat.
Penanganan :
Bila terdapat gejala tersebut di atas lakukanlah pengujian kemampuan
pendengaran sederhana dengan Uji Percakapan atau Uji Berbisik kurang
dari 4 meter. Lakukan juga pemeriksaan pada telinga luar dan dalam untuk
memastikan dan menentukan jenis dan derajat gangguan pendengaran.
Petugas yang memberikan pelayanan kesehatan bagi tunawicara
diharapkan dapat lebih sabar dan berbicara dengan menggunakan mimik

yang jelas dan keterarah jawaban (berhadap-hadapan) agar komunikasi


dapat berjalan lancar.
C. Komunikasi dan bahasa isyarat untuk anak penyandang cacat
1. Komunikasi Non Verbal Pada Anak Tunarungu
Komunikasi Non Verbal adalah penciptaan dan pertukaran
pesan dengan tidak menggunakan kata-kata, komunikasi ini
menggunakan gerakan tubuh, sikap tubuh, intonasi nada (tinggirendahnya nada), kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak dan
sentuhan-sentuhan. Artikel hasil penelitian Makna Komunikasi Non
Verbal
Salah satu cara mendefinisikan komunikasi non verbal adalah Artikel
hasil penelitian Komunikasi Lintas budaya berdasarkan kategori
sebagai berikut:

a. Proksemik
Proksemik merupakan penyampaikan pesan-pesan melalui pengaturan
jarak dan ruang. Manusia mempunyai wilayah-wilayah atau zona
dalam berkomunikasi, wilayah juga berarti daerah atau ruang yang
rang klaim sebagai miliknya, yang seolah-olah merupakan perluasan
dari tubuhnya.
b. Kinesik
Kinesik merupakan penyampaikan pesan-pesan yang menggunakan
gerakan gerakan tubuh yang berarti yang meliputi mimik wajah, mata
(lirikan-lirikan), gerakan-gerakan tangan dan yang terakhir
keseluruhan anggota amribadan (tegap, lemah gemulai dan
sebagainya). Artikel hasil penelitian Makna Komunikasi Non Verbal,
Dalam budaya jawa komunikasi non verbal sangat kental dilakukan
terutama untuk menghormati orang, atau orang yang lebih tua,
semisal gerakan komunikasi yang dilakukan antara atasan Artikel
hasil penelitian Komunikasi Lintas budaya dan bawahan atau abdi di
mana bawahan atau abdi cenderung amri untuk menunduk dan
merunduk untuk menunjukkan bahwa posisinya tidak lebih tinggi dari
tuannya yang diajak bicara.
c.

Khronemik
Khronemik adalah srudi mengenai penggunaan kita akan konteks
waktu. Ide mengenai kelinearan waktu telah diterima secara luas oleh
masyarakat manapun bahkan agama manapun, Artikel hasil penelitian
Makna Komunikasi Non Verbal, Artikel hasil penelitian Makna
Komunikasi Non Verbal, hal ini kemudian melahirkan beberapa istilah
sepertti masa lalu, saat ini dan masa depan yang merupakan suatu
urutan yang tidak dapat dibalik.

2. Cara Berkomunikasi dengan Tuna rungu


Komunikasi yang sukses membutuhkan upaya dari semua orang yang
terlibat dalam percakapan. Bahkan ketika orang dengan gangguan
pendengaran (tuna rungu wicara) menggunakan alat bantu dengar, sangat
penting bagi orang-orang yang terlibat dalam proses komunikasi secara
konsisten menggunakan strategi komunikasi yang baik. Adapun cara
berkomunikasi dengan tuna rungu wicara adalah sebagai berikut:
Bicaralah dengan cara berhadapan langsung: berbicaralah langsung
dengan tuna wicara (face to face- wajah berhadapan dengan wajah) dan
tidak berbicara di telinganya. Berbicaralah dengan kondisi pencahayaan
yang baik (apabila memungkinkan). Sehingga tuna rungu wicara dapat
melihat wajah anda dengan jelas agar dapat membaca dengan jelas cara
anda mengucapkan kata demi kata. Jangan berbicara dari ruangan lain,
hal ini untuk menghindari terjadinya miskomunikasi. Berbicaralah dengan
jelas, perlahan-lahan, tetapi secara alami, tanpa berteriak atau melebihlebihkan gerakan mulut. Berteriak atau melebih-lebihkan gerakan mulut
dapat membuat tuna rungu wicara kesulitan dalam membanca gerakan
bibir.
Apabila Anda ingin memanggil orang yang bersangkutan lakukan hal-hal
ini: Tepuk pundak orang yang bersangkutan, apabila dia menoleh
lanjutkan percakapan. Hal lainnya yang bisa dilakukan adalah Anda dapat
memati hidupkan sakelar lampu untuk menarik perhatiannya. Apabila
perhatiannya sudah terfokus kepada Anda, maka Anda dapat melanjutkan
percakapan.
Hindari berbicara terlalu cepat atau menggunakan kalimat yang terlalu
rumit. Berbicaralah lebih lambat dan berikan jeda antar kalimat/frase dan
sebelum Anda melanjutkan pembicaraan. pastikan bahwa lawan bicara
Anda (tuna rungu wicara) sudah paham maksud Anda.
Jauhkan tangan Anda dari wajah Anda pada saat berbicara. Pada saat
Anda berbicara sambil makan, mengunyah, merokok, dll, ucapan Anda
akan lebih sulit dipahami. Jenggot dan kumis juga dapat mengganggu
kemampuan tuna rungu wicara dalam membaca ucapan bibir.
Apabila tuna rungu wicara hanya dapat mendengar dengan satu
telinga, cobalah untuk mengingat telinga sebelah mana dari lawan bicara
Anda yang berfungsi dengan baik, sehingga Anda akan mengetahui
dimana Anda harus memposisikan diri.
Kebanyakan tuna rungu wicara mengalami kesulitan dalam memahami
ucapan apabila terdapat suara bising lainnya. Cobalah untuk
meminimalisir suara-suara lain yang terjadi ketika Anda sedang berbicara.

Beberapa tuna rungu wicara sangat sensitif terhadap suara keras. Bila
memungkinkan, hindari situasi yang memungkinkan timbulnya suara
keras.
Jika tuna rungu wicara kesulitan dalam memahami frase atau kata
tertentu, cobalah untuk menemukan cara yang berbeda untuk mengatakan
hal yang sama atau kata lain yang memiliki arti yang sama, bukan
mengulangi kata tersebut berulang-ulang atau gunakan bahasa tubuh
untuk menjelaskan maksud Anda.
Jelaskan kepada tuna rungu wicara mengenai topik umum dari
percakapan. Hindari perubahan mendadak dari topik. Jika subjek
pembicaraan berubah, katakan kepada tuna rungu wicara apa yang sedang
Anda bicarakan sekarang. Ulangi pertanyaan atau fakta-fakta kunci
sebelum melanjutkan diskusi.
Jika Anda memberikan informasi spesifik - seperti waktu, tempat atau
nomor telepon - kepada tuna rungu wicara, minta mereka mengulangi hal
tersebut. Banyak angka dan kata-kata terdengar sama.
Apabila memungkinkan, berilah informasi secara tertulis, seperti arah,
jadwal, penugasan kerja, dll. Setiap orang, terutama tuna rungu wicara,
memiliki kesulitan dalam membaca dan memahami ucapan bibir pada
saat mereka sakit atau lelah.
Perhatikan lawan bicara Anda (tuna rungu wicara). tanyalah kepada
tuna rungu wicara, apakah mereka bisa memahami Anda atau tidak,
sehingga Anda tahu bahwa pesan Anda telah tersampaikan.
Berbicaralah secara bergiliran dan hindari menginterupsi pembicara
lain
3. Pelayanan Terapi Wicara
Pelayanan Terapi Wicara di YPAC Semarang telah dilaksanakan
sejak tahun 1977. Anak yang diterapi pada awal mulanya hanya
anak penderita Cerebral Palsy. Semakin hari semakin banyak anak
yang mengalami gangguan komunikasi/bicara dan semakin komplek
juga. Jenis Gangguannya antara lain :

Cerebral Palsy

Cacat mental / Tuna Grahita

Tunarungu / Bisu tuli

Kelainan fungsi organ bicara, misal : celat/pelo

Kelainan konginental, misal : bibir sumbing, celah langit-langit

Gangguan Irama / gagap / Staittering

Kelainan suara

Dalam pelaksanaan layanan Terapi Wicara perlu memperhatikan


hal-hal yang perlu dilakukan dalam pemeriksaam alat wicara
a. Bibir :

buka tutup bibir

Menggerakkan bibir kearah kanan dan kiri

Membuka dan menutup bibir dengan gigi saling bersentuhan

Memonyongkan bibir

Meniup / bersiul

b. Rahang :

Buka tutup rahang/mulut

Menggerakkan kearah kanan dan kid

c. Lidah :

Menjulurkan lidah

Menggerakkan lidah kearah atas dan bawah

Menggerakkan lidah kearah kanan dan kid

Menggerakkan lidah memutar

d. Pernapasan :

Meniup

Tahan napas

Dalam pemeriksaan diatas perlu diperhatikan tentang


Ketepatan gerak

Kekuatan gerak
Kecepatan gerak
Dan perlu koordinasi yang baik
Tes kemampuan Bahasa Wicara

1. Bahasa Pasif :

Anggota tubuh

Benda dilingkungan rumah

Benda dilingkungan luar rumah

Lingkungan sekolah (bila anak sudah sekolah)

Urutan dalam pelaksanaan tes

Kata benda, kata kerja, kata sifat dan seterusnya.


2. Bahasa Aktif :

Pengucapan huruf hidup / vocal

Pengucapan konsunan

Pengucapan suku kata

Pengucapan kata

Pengucapan kalimat

Pengucapan kata/kalimat tanya dan seterusnya.

Hasil Layanan

Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pelayanan terapi Wicara


ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan :

Berat ringannya gangguan

Daerah gangguan

Jenis gangguan

Keteraturan dalam terapi

Partisipasi penderita / orang tua atau lingkungan keluarga

Pribadi therapist

4. Bahasa Isyarat
adalah bahasa yang mengutamakan komunikasi manual, bahasa tubuh, dan gerak
bibir, bukannya suara, untuk berkomunikasi. Kaum tunarungu adalah kelompok
utama yang menggunakan bahasa ini, biasanya dengan mengkombinasikan bentuk
tangan, orientasi dan gerak tangan, lengan, dan tubuh, serta ekspresi wajah untuk
mengungkapkan pikiran mereka.
Bertentangan dengan pendapat banyak orang, pada kenyataannya belum ada
bahasa isyarat internasional yang sukses diterapkan. Bahasa isyarat unik dalam
jenisnya di setiap negara. Bahasa isyarat bisa saja berbeda di negara-negara yang
berbahasa sama. Contohnya, Amerika Serikat dan Inggris meskipun memiliki
bahasa tertulis yang sama, memiliki bahasa isyarat yang sama sekali berbeda
(American Sign Language dan British Sign Language). Hal yang sebaliknya juga
berlaku. Ada negara-negara yang memiliki bahasa tertulis yang berbeda (contoh:
Inggris dengan Spanyol), namun menggunakan bahasa isyarat yang sama.
Untuk Indonesia, sistem yang sekarang umum digunakan ada dua sistem adalah
BISINDO (Berkenalan Dengan Sistem Isyarat Indonesia) yang dikembangkan
oleh Tuna rungu sendiri melalui GERKATIN (Gerakan Kesejahteraan Tuna rungu
Indonesia) dan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) hasil rekayasa orang
normal bukan hasil dari Tuna rungu sendiri yang sama dengan bahasa isyarat
America (ASL - American Sign Language). Jadi saya sarankan memakai sistem
isyarat buatan tuna rungu sendiri adalah BISINDO.

Berikut gerakan untuk berkomunikasi dengan anak tuna rugu dan tuna wicara :

Gerakan huruf
menggunakan
jari-jari tangan
dari A-Z

HALLO
ASALAMMUALAIKUM

MAAF

SAYA

SELAMAT DATANG

SELAMAT MALAM

SELAMAT TINGGAL

SELAMAT

SELAMAT PAGI

SELAMAT SIANG

SELAMAT ULANG TAHUN

BAB III
PENUTUP

TERIMA KASIH

WASALAM

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan penyandang cacat,
yaitu ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, timbul bukan saja oleh karena
adanya impairment yang dialaminya, tetapi disebabkan pula oleh faktor-faktor lingkungan di
luar kemampuan individu yang bersangkutan. Oleh sebab itu, konsep kecacatan haruslah
dipahami dengan melibatkan unsur-unsur tersebut.
Keberhasilan pelaksanaan model individual dan model sosial yang dipakai dalam
menangani permasalahan penyandang cacat, memerlukan kondisi tertentu. Baik model sosial
dan model individual, dalam implementasi kebijakan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri.
Untuk itu, permasalahan penyandang cacat haruslah dilihat sebagai sesuatu yang universal
dan menyeluruh. Universal dan menyeluruh dalam pengertian bahwa kecactan merupakan
kondisi yang wajar dalam setiap masyarakat, karena itu pembuat kebijakan seharusnya juga
memandang bahwa kebutuhan penyandang cacat adalah sama seperti warga negara lainnya
dengan mengintegrasikan penyandangcacat dalam semua kebijakan yang menyakut segala
aspek hidup dan penghidupan.

B. Saran
Adapun kiranya artikel ini dapat dijadikan suatu referensi bagi pembaca terutama mahasiswa
keperawatan sendiri agar lebih memahami apa itu sebenarnya artikel komunikasi terhadap
para penyandang cacat.

DAFTAR PUSTAKA
http://bit.ly/copy_win

http://ikhwan-smoothcriminal.blogspot.com/2012/11/ara-cepat-belajar-bahasaisyarat-untuk.html

http://chemalnoordien.blogspot.com/2012/02/artikel-kesejahteraan-sosial-penyandang.html
http://www.smallcrab.com/anak-anak/1055-pelayanan-kesehatan-pada-anakpenyandang-cacat
http://www.ypac-semarang.org/index.php?pilih=hal&id=20

Anda mungkin juga menyukai