Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
FAKULTAS KEDOKTERAN
REFERAT
APRIL 2016
REAKSI REVERSAL
Disusun Oleh :
ANDI FARAHNISA MAPPASISSI
MUSFIRAH HATTA
Pembimbing :
DR. dr. Hj. Sitti Musafirah, Sp.KK
BAB I
PENDAHULUAN
Kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh M. leprae yang pertama kali
menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran
pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis.
Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan
beberapa negara di dunia. Penyakit kusta masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga
maupun petugas kesehatan sendiri. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya
pemahaman dan kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta dan kecacatan yang
ditimbulkannya.1
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Mengenai patofisiologinya, reaksi imun berperan
mengenai hal tersebut. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula
merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong
didalamnya. Klasifikasi reaksi kusta terbagi dua :
- Reaksi reversal dan
- ENL (eritema nodusum leprosum)
reaksi reversal hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti),
sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam hal
ini adalah SIS (Sistem Imunitas Seluler) yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS.
Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya
dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Selanjutnya reaksi reversal akan lebih
banyak dibahas pada referat ini. 2
BAB II
PEMBAHASAN
1. DEFINISI
Reaksi reversal (RR) adalah episode akut dari penyakit kusta yang
disebabkan oleh peningkatan CMI (Cell Mediated Imunity) terhadap M.leprae
yang ditandai dengan lesi pada kulit dan atau gangguan fungsi saraf. Reaksi
reversal disebut juga reaksi tipe 1, reaksi borderline, reaksi tuberkuloid, reaksi
kusta non lepromatosa. Pada reaksi tipe 1 ini dikenal istilah up-grading
apabila menuju ke arah tuberkuloid, sedangkan down-grading apabila menuju
kearah lepromatosa. Pada kenyataannya, reaksi tipe 1 diartikan sebagai RR
oleh karena paling sering dijumpai terutama pada kasus yang menjalani
pengobatan.3
2. EPIDEMIOLOGI
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus
terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindahan
penduduk maka penyakit ini bisa menyerang dimana saja. World Health
Organization (WHO) mencatat awal tahun 2011 dilaporkan prevalensi kusta di
seluruh dunia sebesar 192.246 kasus. Dari jumlah tersebut paling banyak
terdapat di regional Asia Tenggara sebanyak 113.750, diikuti regional amerika
sebanyak 33.953, regional afrika sebanyak 27.111, dan sisanya berada di
regional lain di dunia.4
Prevalensi kusta di Indonesia adalah hampir lima kali lebih tinggi,
yang mempengaruhi 0,91 dari 10.000 orang pada tahun 2008, menurut
departemen kesehatan republic Indonesia. Organisasi kesehatan dunia (WHO)
juga melaporkan bahwa 17.441 kasus baru yang terdeteksi di Indonesia pada
tahun 2008, yang menempatkan Negara sebagai insiden tertiggi ketiga kusta
diseluruh dunia.5
Prevalensi RR bervariasi antara 8-33% dari seluruh penderita kusta,
umumnya terjadi pada penderita kusta tipe borderline. Penderita tipe BB dan
BL mempunyai prevalensi lebih tinggi daripada tipe BT. Prevalensi RR pada
penderita BT bervariasi antara 20-50%. Bernink dkk melaporkan hasil
mediator
(limfokin)
yang
akan
berfungsi
dalam
reaksi
Reaksi tipe 1
Dapat terjadi pada kusta tipe PB maupun MB
Biasanya segera setelah pengobatan
Umumnya baik, demam ringan (subfebris) atau
tanpa demam
Bercak kulit lama menjadi lebih meradang
Peradangan di kulit
(merah), bengkak, berkilat, hangat. Kadangkadang hanya pada sebagian lesi. Dapat timbul
bercak baru.
Sering terjadi, umumnya berupa nyeri saraf
Saraf
Reaksi Tipe 1
Ringan
Berat
Bercak putih menjadi
Bercak putih menjadi
merah, yang merah jadi
lebih merah.
lebih merah.
Bercak meninggi
Saraf tepi
Gejala konstitusi
Gangguan pada organ lain
Ulserasi (-)
Ulserasi (+)
terganggu
Demam (-)
Tidak ada
Demam ()
Tidak ada
(rifampicin,
perbulan;
dapsone,
perhari;
dan
perbulan dan 50
5. DIAGNOSA
600
100
mg
mg
clofazimine, 300 mg
mg perhari).11
Diagnosis reaksi kusta
dapat
ditegakkan
pemeriksaan
klinis,
pemeriksaan
tepi
dan
keadaan
dengan
meliputi
umum
Reaksi tipe 1
Umunya dalam 4 minggu-6 bulan
Relaps
1 tahun atau lebih setelah
RFT
setelah RFT
Timbulnya gejala
Tipe kusta
Lesi lama
lepromatosa
Borderline : 5 tahun
Mendadak, cepat
BT, BB, BL
Beberapa atau seluruh lesi menjadi
MB : 9 tahun
Lambat, bertahap
Semua tipe
Eritem dan plak di tepi lesi
meluas.
kaki (+)
Jumlah beberapa, morfologi sama
(+) pada reaksi berat
Neuritis akut yang nyeri; ada nyeri
Jumlahnya banyak
(-)
Terjadi keterlibatan saraf
gangguan sensoris
Mungkin (+)
Terjadi penurunan BI
lambat/perlahan
Mungkin (-)
BI mungkin positif pada
sebelumnya negative
Hasil tes tergantung tipe
saat relaps
Respons terhadap
menjadi BB dan BT
Bagus.
pemberian steroid
sedikit
Gangguan sistemik
BTA
Tes lepromin
10
8. PENATALAKSANAAN
Pengobatan reaksi reversal ditujukan untuk mengendalikan peradangan
akut, mengurangi rasa sakit dan meminimalisir kerusakan saraf Sebelum
memulai penanganan reaksi, terlebih dulu lakukan identifikasi tipe reaksi
yang dialami serta derajat reaksinya. Hal ini dapat dinilai dari hasil
kesimpulan pemeriksaan pada formulir pencatatan pencegahan cacat (POD),
seperti :,9,10
1)
2)
3)
4)
5)
6)
merupakan
indikasi
mutlak
pemberian
kortikosteroid.
11
multiplikasi
menunjukkan
bahwa
terapi
basil.
Hasil
kortison
penelitian
menurunkan
eksperimental
tingkat
lisis
12
13
gen sitokin, dengan konsekuen penurunan produksi interleukin (IL)-2,IL3, IL-4, IL-5, granulocyte-monocyte colonystimulating factor, interferon, and tumour necrosis factor-.12
Ada sedikit bukti mengenai gejala sisa penggunaan jangka panjang
kortikosteroid yang digunakan mengobati pasien dengan reaksi reversal.
Kortikosteroid menyebabkan demineralisasi tulang yang mengarah ke
osteoporosis. Ini adalah dosis tergantung fenomena dan tingkat kehilangan
kepadatan mineral tulang
dengan
osteoporosis
kusta
berisiko
dan
ini
dikaitkan
dengan
kortikosteroid dosis tinggi yang lebih lama atau timbul efek samping
steroid. Dosis yang digunakan biasanya 300 mg sehari setelah 2-4 minggu
dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap. Kadang-kadang dosis 300
mg sehari tidak dapat ditoleransi penderita sehingga dosis klofazimin
diturunkan menjadi 100 mg sehari selama 1-2 tahun, tetapi penurunan
tersebut mengakibatkan kegagalan pengobatan reaksi. Penggunaan
klofazimin pada reaksi reversal masih kontroversial dan tidak bermanfaat
pada fase akut. 3
c. Dapson
Dapson dosis 50 mg atau dengan dosis yang lebih besar menimbulkan
efek supressif terhadap RR. Prevalensi RR selama masa pengobatan
penyakit kusta dibeberapa negara berkurang setelah WHO menganjurkan
penggunaan MDT yang menggunakan dapson 100 mg sehari. Prevalensi
RR meningkat setelah masa pengobatan kusta selesai, yang menunjukkan
14
intraneural
meningkat.
Pembengkakan
pada
saraf
juga
15
9. KOMPLIKASI
Jika mendengar kata kusta maka yang dibayangkan adalah penyakit kulit yang
akhirnya akan menimbulkan mutilasi yang menakutkan. Bahwa penyakit ini dapat
menyebabkan kecacatan memang sudah diketahui, namun proses terjadinya tidak
sepenuhnya diketahui. Ada 2 jenis cacat kusta, yaitu cacat primer dan cacat
sekunder. Cacat primer adalah yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit,
terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae, seperti anestesi,
claw hand dan kulit kering. Cacat sekunder adalah terjadi akibat cacat primer,
terutamanya akibat adanya kerusakan saraf, seperti ulkus dan kontraktur.9
1. Proses terjadinya cacat kusta
Terjadinya cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak. Diduga
kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi lewat 2 proses :
a. Infiltrasi langsung M. leprae ke susunan saraf tepi dan oran (misalnya
mata)
b. Melalui reaksi kusta
Secara umum fungsi saraf ada 3 macam, yaitu fungsi motorik memberikan
kekuatan pada otot, fungsi sensorik memberi sensasi raba, nyeri dan suhu serta
16
fungsi otonom mengurus kelenjar keringat dan kelenjar minyak. Kecacatan yang
terjadi tergantung pada komponen saraf yang terkena, dapat sensoris, motoris,
otonom, maupun kombinasi antara ketiganya.
Berikut adalah skema yang menggambarkan proses terjadinya kecacatan
akibat kerusakan dari fungsi saraf.
Bagan 1. Proses terjadinya kecacatan9
17
Motorik
Kelopak mata tidak
Ulnaris
menutup
Jari
manis
dan Mati
kelingking
Medianus
Fungsi
Sensorik
lemah/ tangan
rasa
Otonom
telapak
bagian
jari
retak
akibat
lumpuh/ kiting
manis dan kelingking
kerusakan
kelenjar
Ibu jari, telunjuk dan Mati rasa telapak
keringat, minyak dan
jari tengah lemah, tangan bagian ibu
aliran darah
lumpuh/ kiting
jari, jari telunjuk dan
jari tengah
Radialis
Peroneus
Tibialis posterior
Tangan lunglai
Kaki simper
Jari kaki kiting
Mati
rasa
telapak
kaki
10. PENCEGAHAN
1. Pencegahan Penyakit Kusta
Menghindari kontak droplet dari hidung dan sekret lain dari pasien yang
mempunyai infeksi M. leprae yang tidak mendapat pengobatan merupakan salah
satu cara yang direkomendasikan untuk mencegah penyakit ini. Pengobatan
dengan antibiotik yang bersesuaian akan menghentikan penyebaran penyakit ini.
Mereka yang tinggal dengan individu yang menghidap kusta yang tidak diobati
mempunyai risiko 8 kali lebih besar untuk terkena penyakit kusta karena mereka
lebih dekat terhadap droplet yang terinfeksi. 14
2. Pencegahan Cacat Akibat Penyakit Kusta
Komponen pencegahan cacat adalah seperti berikut : 9
i.
Penemuan dini pasien sebelum cacat
ii.
Pengobatan pasien dengan MDT-WHO sampai RFT
18
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
viii.
secara rutin
Penanganan reaksi
Penyuluhan
Perawatan diri
Penggunaan alat bantu
Rehabilitasi medis (antara lain operasi rekonstrusi)
Upaya pencegahan-pencegahan cacat sendiri oleh pasien di rumah.
19
memicu kekambuhan atau reaksi penyakit, terutama jenis reaksi II pada wanita hamil
muda dari 40 tahun. Dapson umumnya dianggap aman pada kehamilan, keselamatan
klofazimin dan rifampisin yang kontroversial, dan thalidomide (digunakan dalam
reaksi tipe II) merupakan kontraindikasi selama kehamilan. Tipe I dan reaksi tipe II
dapat memicu kekambuhan penyakit.15
20
BAB III
PENUTUP
Penyakit kusta atau juga dikenali sebagai penyakit Hansen, merupakan
penyakit berjangkit yang disebabkan oleh jangkitan Mycobacterium leprae. Penyakit
ini menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran
pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis.
Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan
beberapa negara di dunia. Pada referat ini telah dibahas mengenai penyakit kusta
dengan reaksi reversal di mana gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian
atau seluruh lesiyang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu
yang relative singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritem, lesi eritem menjadi
makin eritomatosa, lesi macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate menjadi makin
infiltrate dan lesi lama menjadi lebih luas. Dengan diagnosa yang dini dan
pengobatan yang tepat, komplikasi-komplikasi dari penyakit kusta dapat dicegah dan
dengan perawatan yang benar akan dapat membantu mencegah komplikasi atau
kecacatan yang sudah ada daripada menjadi lebih parah. Justru, penyakit kusta ini
tidak boleh dipandang ringan karena merupakan salah satu penyakit menular yang
menimbul masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksudkan bukan hanya
dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan
ketahanan nasional.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Prawoto, Kabulrachman,Udiyono A,
Terhadap
Terjadinya
Reaksi
Kusta,
http://eprints.undip.ac.id/6325/1/Prawoto.pdf
2. Menaldi, SL.2015.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.Jakarta.FKUI
3. Amiruddin,MD.2012.Sebuah Pendekatan Klinis Penyakit Kusta. Reaksi
Reversal.Surabaya:Brilian Internasional
4. Yuniarasari,Y.2014.
Of Leprosy Patien In
22
13. Walker ,Sl. Lockwood,Dnj . Leprosy Type 1 (Reversal) Reactions And Their
Management.2008 Department Of Infectious And Tropical Diseases, London
School Of Hygiene And Tropical Medicine, Keppel St, London Wc1e 7ht, Uk
14. http://www.medicinenet.com/leprosy/page7.htm#what_are_the_complications
_of_leprosy. 24 Mei 2013.
15. Medscape. Dermatologic Manifestation of Leprosy Follow-up. Prognosis.
Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1104977ollowup#a2650.
24 Mei 2013.
23