Teknologi Bioindustri
Golongan
: P4
Dosen
: Drs. Purwoko M.Si
Asisten
:
1. Niken Eko Setyowati
(F34120007)
2. Kartika Elsahida
(F34120091)
(F34130099)
(F34130111)
(F34130117)
(F34130123)
(F34130124)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini, kami menyatakan bahwa laporan praktikum Teknologi Bioindustri
ini telah dikerjakan secara berkelompok, dengan pembagian tugas sebagai berikut
Nama
Tugas
Tanda Tangan
Diwya Diwangkara
Syifa Nurfadilah R
Konten 1, 2 pembahasan
& lampiran
Konten 4 & pembahasan
Wishnu Wardhana
Andari Resikca
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan teknologi sebanding dengan bertambahnya waktu, untuk
memenuhi kebutuhannya maka diperlukan alternatif-alternatif untuk memenuhi
METODOLOGI
Alat dan Bahan
.
Alat yang digunakan dalam praktikum adalah water bath (suhu 90-950C),
spektrofotometer, tabung reaksi, gelas ukur, timbangan, erlenmeyer, stopwatch,
pipet, wadah (baskom kecil), alat pemanas air, dan rafia. Sedangkan bahan yang
digunakan adalah enzim alpha-amilase, substrat amilum, buffer fosfat sitrat pH 7.00
50 mM, dan pereaksi DNS.
Metode
1. Standar Glukosa
Start
Di vortex
Di panaskan selama 5 menit
2. Pembuatan Blanko
Air
Dimasukkan kedalam tabung reaksi
dan di tambah 3 ml DNS
Di vortex dan di
panaskan selama 5 menit
3. Pembuatan Kurva Standar
Sampel di ukur absorbansinya
dengan spektrofotometer
Diplotkan (X= gula murni) dan
(Y= absorbansinya)
Di ukur absorbansinya
Di lakukan pemplotan dan
dibuat kurva (waktu(x), dan
konsentrasi glukosa (y))
PEMBAHASAN
Hasil
[Terlampir]
Pembahasan
Enzim amilase adalah enzim yang berfungsi untuk mengkatalis pemecahan
karbohidrat menjadi gula dengan berat molekul yang lebih sederhana. Berdasarkan hasil
pemecahan dan letak ikatan yang dipecah, enzim amilase dibedakan menjadi tiga jens,
yaitu enzim alfa amilase, enzi beta amilase, dan enzim glukoamilase.
Enzim alfa amilase merupakan endoenzim yang berfungsi memotong ikatan alfa
amilase 1-4 amilosa dan amilopektin sehingga menghasilkan oligasakarida dan sejumlah
kecil glukosa dengan cepat pada larutan pati kental yang telah mengalami gelatinisasi
(likuifikasi pati). Produk akhir yang dihasilkan dari aktivitas enzim tersebut berupa
dekstrin dan sedikit glukosa dari amilopektin, serta maltotriosa dari amilosa. Alphaamilase pada umumnya aktif bekerja pada kisaran suhu 25oC hingga 95oC. Penambahan
ion kalsium dan klorida dapat meningkatkan aktivitas kerja dan menjaga kestabilan
enzim. (Fitriani et al. 2013).
Prinsip kerja alfa amilase yaitu mengubah karbohidrat menjadi glukosa dan
maltose, serta tidak berfungsi tanpa adanya kalsium. Dengan bertindak di lokasi secara
acak di sepanjang rantai pati, alfa amilase memecah bawah rantai panjang karbohidrat ,
akhirnya menghasilkan maltotriose dan maltosa dari amilosa , atau maltosa, glukosa dan
"dekstrin batas" dari amilopektin. Karena bisa bertindak di mana saja di substrat , amilase cenderung lebih cepat-akting dari -amilase. Sumber utama enzim alfa amilase
yaitu senyawa pati (Lestari et al 2011).
Kinetika reaksi enzimatis dapat digunakan untuk menentukan kadar enzim.
Kinetika reaksi enzimatik dapat diukur dengan mengukur jumlah substrat yang diubah
atau produk yang dihasilkan per satuan waktu dan pada suatu waktu yang sangat pendek
atau pada satu titik tertentu pada grafik yang disebut kecepatan sesaat. Kecepatan sesaat
merupakan tangens dari garis singgung terhadap grafik pada suatu titik tertentu.
Kecepatan sesaat pada waktu mendekati nol, yaitu saat grafik masih berupa garis lurus
disebut kecepatan awal (Vo). Pada reaksi enzimatis, jika disebut kecepatan, umumnya
yang dimaksud adalah kecepatan awal. Hal ini disebabkan karena pada keadaan awal
reaksi dapat diketahui kondisi atau keadaan dengan lebih cepat. Disamping kecepatan
sesaat dan Vo, juga dikenal istilah kecepatan rata-rata, yaitu perbandingan antara
perubahan jumlah substrat terhadap waktu. Menurut rumus Michaelis Menten, laju
awal reaksi enzimatis dapat ditentukan berdasarkan fungsi terhadap konsentrasi substrat
dan parameter yg berpengaruh dalam enzim yang merupakan dasar kinetika reaksi
enzimatis (Poedjiadi 1994).
Enzim dapat meningkatkan reaksi kimia. Hal ini karena ada faktor faktor yang
mempengaruhi aktivitas enzim seperti konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, dan
kondisi lingkungan seperti suhu, pH, inhibitor, dan lain sebagainnya. Pada perubahan
suhu, semua enzim membutuhkan suhu yang cocok untuk bekerja dengan baik. Laju
reaksi biokimia meningkatkan dengan kenaikan suhu. Hal ini karena panas dapat
meningkatkan lebih banyak jumlah tabrakan antara reaksi biokimia dan suhu. Sebagian
besar ditemukan bahwa dalam kondisi suhu rendah, reaksi menjadi lambat karena ada
sedikit kontak antara substrat dan enzim. Namun, suhu yang ekstrim tidak baik untuk
enzim. Dibawah pengaruh suhu sangat tinggi, molekul enzim cenderung untuk
mendapatkan terdistorsi, karena adanya penurunan laju reaksi. Dengan kata lain, enzim
tedenaturasi gagal untuk mereaksikan fungsi normal (Alim 2013).
Metode DNS merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk
menentukan kadar gula reduksi. Dalam metode DNS digunakan reagen dinitro salisilat
(DNS). Bahanbahan kimia yang diperlukan untuk membuat reagen DNS adalah asam
3,5- dinitrosalisilat, NaOH, Na2SO3, Na-K-tartarat, fenol, dan akuades. DNS
merupakan senyawa aromatis yang dapat bereaksi dengan gula reduksi membentuk asam
3-amino-5-nitrosalisilat, suatu senyawa yang mampu menyerap radiasi gelombang
elektromagnetik pada panjang gelombang maksimum 540 nm (Adney and Baker, 2008).
Semakin tinggi kadar gula reduksi yang terdapat dalam sampel, maka akan semakin
banyak pula molekul asam 3-amino-5- nitrosalisilat yang terbentuk, sehingga absorbansi
sampel akan semakin tinggi. Reaksi antara gula reduksi dengan DNS merupakan reaksi
redoks pada gugus aldehid gula dan teroksidasi menjadi gugus karboksil. Sementara itu,
DNS sebagai oksidator akan tereduksi membentuk asam 3-amino dan 5- nitrosalisilat.
Reaksi ini berlangsung dalam suasana basa dan suhu tinggi sekitar 90-100 C. Bila
terdapat gula reduksi pada sampel, maka larutan DNS yang awalnya berwarna kuning
akan bereaksi dengan gula reduksi sehingga menimbulkan warna jingga kemerahan
(Kusmiati dan Agustini, 2010). Sampel yang telah direaksikan dengan DNS selanjutnya
ditentukan kadar gula reduksinya menggunakan spektrofotometer.
Kurva standar merupakan kurva yang menjadi standar dari sampel tertentu dan
digunakan sebagai acuan untuk sampel tersebut pada percobaan yang akan dilakukan.
Pembuatan kurva standar bertujuan mengetahui hubungan antara konsentrasi larutan
dengan nilai absorbansinya sehingga konsentrasi sampel dapat diketahui. Kurva standar
digunakan untuk menghitung konsentrasi sampel yang belum diketahui konsentrasinya,
yaitu dengan cara meregresikan nilai absorbansi dan konsentrasi ke dalam persamaan
garis (fungsi) kurva standar. Fungsi kurva standar ini yaitu y = ax+b, dimana y adalah
konsentrasi dan x adalah besarnya nilai absorbansi. Selain itu, dengan analisis regresi
juga dapat diketahui nilai korelasi antara konsentrasi dan nilai absorbannya. Nilai regresi
antara 0,9-1 menunjukkan bahwa hubungan dua variabel (dalam hal ini konsentrasi
glukosa dan nilai absorbannya) adalah korelasi positif sempurna.
Nilai korelasi atau regresi linear yang mendekati nilai 1 menunjukkan bahwa kurva
tersebut semakin valid (Walpole R 1995). Hasil pengamatan dalam proses pembuatan
kurva standar dapat dilihat pada tabel 1 dalam lampiran. Data pada tabel 1 menunjukan
data konsentrasi glukosa murni beserta nilai absorbansinya. Dari data tersebut, diperoleh
bahwa nilai absorbansi semakin meningkat seiring bertambahnya konsentrasi glukosa.
Hasil analisis regresi terhadap data tersebut, yaitu diperoleh nilai a =-0,096416667,
b=5,30952381, R =0,989497742, dan nilai korelasi atau R2 =0,979105781. Dari kurva
standar dapat dilihat, bahwa hubungan antara konsentrasi glukosa murni dengan nilai
absorbansinya memiliki pola linear, dengan fungsi kurva standar yaitu y=-0,096x+5,309
dan nilai korelasi R2 =0,979. Berdasarkan literatur (Walpole R 1995), nilai regresi linear
tersebut menunjukan bahwa hubungan antara konsentrasi glukosa murni dan nilai
absorbannya adalah korelasi positif sempurna. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa kurva standar antara konsentrasi glukosa murni dan nilai absorbansinya tersebut
adalah valid, dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk percobaan lainnya.
Berdasarkan sifat dari kerja enzim, yaitu konsentrasi zat, konsentrasi glukosa
yang terbentuk dipengaruhi oleh banyaknya konsentrasi amilum. Semakin tinggi
konsentrasi amilum, maka reaksi hidrolisis perubahan amilum menjadi gula sederhana
menjadi lebih cepat. Proses hidrolisis amilum menjadi glukosa oleh enzim -amilasi
dapat diukur kecepatan reaksinya dalam satuan mmol/menit. Semakin lama waktu yang
digunakan dalam proses hidolisis tersebut, maka konsentrasi glukosa akan semakin
tinggi. Dengan metode DNS, maka konsentrasi glukosa akan semakin tinggi dan akan
terlihat sesuai dengan nilai absorbansinya. Semakin lama waktu untuk hidrolisis, maka
konsentrasi dari glukosa akan semakin bertambah. Semakin bertambah konsentrasi
glukosa, maka nilai absorbansinya akan semakin tinggi (Wirahadikusumah 1989).
Tabel 2 menunjukan nilai absorbansi yang dihidrolisis oleh amilase pada
konsentrasi amilum 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, dan 0.5 berdasarkan pertambahan waktu 5 menit
mulai dari menit ke-0 sampai menit ke-10. Berdasarkan tabel tersebut, didapatkan hasil
nilai absorbansi yang berbeda pada tiap konsentrasi yang digunakan dan berbeda dengan
bertambahnya waktu. Pada menit ke-0, nilai absorbansi berturut-turut pada konsentrasi
0.1, 0.2, 0.3, 0.4, dan 0.5 adalah -0.035, -0.067, 0.062, 0.416, dan -0.062. Pada menit
tersebut, Pada menit ke-5, nilai absorbansi berturut-turut pada konsentrasi 0.1, 0.2, 0.3,
0.4, dan 0.5 adalah -0.045, -0.053, -0.063, -0.053, dan -0.064. Pada menit ke-10, nilai
absorbansi berturut-turut pada konsentrasi 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, dan 0.5 adalah -0.004,
-0.047, -0.054, -0.074, dan -0.093. Nilai absorbansi tersebut berubah secara tidak
konstan dan cenderung fluktuatif. Hasil fluktuatif tersebut menunjukan bahwa data yang
diperoleh kurang akurat. Seharusnya semakin tinggi konsentrasi amilum yang
digunakan, maka nilai absorbansi yang dihidrolisis juga akan semakin tinggi. Begitu
pula dengan bertambahnya waktu, maka nilai absorbansi yang dihidrolisis juga akan
semakin bertambah (Wirahasikusumah 1989). Ketidaksesuaian tersebut dapat terjadi
karena kesalahan praktikan yang diantaranya pada pembuatan larutan amilum awal yang
tidak melarutkan amilum dan air secara sempurna.
Tabel 3 menunjukan konsentrasi glukosa yang diperoleh dari hasil hidolisis
amilase pada konsentrasi amilum yang berbeda setiap selang waktu 5 menit mulai dari
menit ke-0 sampai menit ke-10. Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa
perubahan konsentrasi glukosa yang dihasilkan pada konsentrasi amilum 0.1, 0.3, 0.4,
dan 0.5 terjadi secara tidak konstan dan cenderung fluktuatif. Namun, pada konsentrasi
amilum 0.2 perubahan konsentrasi glukosa yang dihasilkan meningkat walaupun tidak
terjadi secara konstan. Hasil yang fluktuatif tersebut juga menunjukan bahwa data yang
diperoleh kurang akurat. Seharusnya semakin tinggi konsentrasi amilum yang
digunakan, maka konsentrasi gula yang dihasilkan juga semakin tinggi dengan
bertambahnya waktu (Wirahadikusumah 1989).
Berdasarkan grafik kecepatan reaksi enzimatis terhadap masing-masing substrat,
menunjukan bahwa pada konsentrasi amilum 0.3, 0.4, dan 0.5 terjadi penurunan dengan
bertambahnya waktu. Sedangkan pada konsentrasi amilum 0.1 dan 0.2 terjadi
peningkatan dengan bertambahnya waktu. Dengan bertambahnya waktu hidrolisis, maka
konsentrasi glukosa yang dihidrolisis akan semakin tinggi. Semakin tinggi konsentrasi
glukosa yang dihidrolisis, maka semakin tinggi pula kecepatan reaksi enzimatisnya.
Hasil yang menurun pada kecepatan reaksi enzimatis terhadap peningkatan waktu
hidrolisis tersebut menunjukan bahwa data yang diperoleh kurang akurat.
PENUTUP
Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
Adney, B. and Baker, J. 2008. Measurement of Cellulase Activities. Laboratory
Analytical Procedure (LAP) National Renewable Energy Laboratory, Colorado
USA.
Alim T. 2013. Faktor yang Mempengaruhi Enzim. [internet]. [Diacu pada tanggal 29
Febuari 2015]. Tersedia pada: http://www.biologi-sel.com.
Fitriani A, Supriyanti FMT, dan Heranto TE. Penentuan Aktivitas Amilase Kasar
Termofil Bacillus subtiis Isolat Kawah Gunung Derajat Garut. 15 : 107-113.
Kusmiati dan Agustini N.W.S. 2010. Pemanfaatan Limbah Onggok untuk Produksi
Asam Sitrat dengan Penambahan Mineral Fe dan Mg pada Substrat
Menggunakan Kapang Trichoderma Sp dan Aspergillus Niger. Seminar Nasional
Biologi. 856-866.
Lehninger A.L. 1997. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid I.Jakarta(ID): Erlangga.
Lestari P, N. Richana., A. Darwis, K. Syamsu dan U. Murdiyatmo. 2011. Purifikasi dan
Karakterisasi -Amilase Termostabil dari Bacillus Stearothermophilus TII 12.
Agro-Biogen,7(1) : 56-62.
Poedjiadi A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta (ID): UI Press.
Walpole R. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wirahadikusumah M. 1989. Biokimia: Protein, Enzim, dan Asam Nukleat. Bandung
(ID): ITB.