Pendahuluan
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh
dunia, disamping sebagai masalah utama kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
berkembang. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita
anemia dengan sebagian besar tinggal didaerah tropik. Pada tahun 2002, anemia defisiensi
besi dikatakan memiliki faktor kontribusi terpenting untuk beban penyakit global.1
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada
akhirnya menyebabkan pembentukan hemoglobin berkurang.2 Kelainan ditandai oleh
anemia hipokromik mikrosister, besi serum menurun, TIBC (total iron blinding capacity)
meningkat, saturasi transferin menurun, feritin serum menurun, pengecatan besi sum-sum
tulang negatif dan adanya respon terhadap pengobatan dengan preparat besi.3
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai, terutama di
negara-negara tropik atau negara dunia ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat dengan
taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang
memberikan dampak kesehatan yang sangat merugikan serta dampak sosial yang cukup
serius.4 Di negara maju, defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia, sebesar
hampir sepertiga kasus. Angka ini menjadi lebih tinggi di negara berkembang. Penyebab
utama defisiensi besi adalah konsumsi besi yang kurang, peningkatan kebutuhan (pada
masa bayi atau selama kehamilan) dan perdarahan tidak normal. Di negara berkembang,
kehilangan darah karena parasit usus menjadi faktor utama. Status sosial ekonomi yang
rendah dan kemiskinan berkorelasi dengan meningkatnya defisiensi besi. Pada anak-anak,
penyapihan dini dari air susu ibu ke susu sapi dan keterlambatan pemberian makanan
padat berkontribusi terhadap defisiensi besi.4 Saat ini di Indonesia anemia defisiensi besi
masih merupakan salah satu masalah gizi utama disamping kekurangan kalori-protein,
vitamin A, dan yodium.5
Amerika Latin
Indonesia
Laki-laki dewasa
6%
3%
16-50%
20 %
17-21 %
25-48%
Wanita hamil
60 %
39-46 %
46-92%
Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi anemia defisiensi besi di Indonesia.
Martoatmojo et al memprediksikan anemia defisiensi besi pada laki-laki 16-50 % dan 2584 % pada perempuan tidak hamil. Perempuan hamil merupakan segmen penduduk yang
paling rentan pada anemia defisiensi besi. Di India, Amerika Latin dan Filipina anemia
defisiensi besi pada perempuan hamil berkisar antara 35% sampai 99%. Di Amerika
Serikat, berdasarkan survei gizi (NHANES III) tahun 1988 sampai tahun 1994, defisiensi
dijumpai kurang dari 1% pada laki-laki dewasa yang berumur kurang dari 50 tahun, 2-4%
pada laki-laki dewasa yang berumur lebih dari 50 tahun, 9-11% pada perempuan masa
reproduksi, dan 5-7% pada perempuan pascamenopaus.2
B. Etiologi
Terjadinya anemia defisiensi besi sangat ditentukan oleh kemampuan absorbsi besi,
(5)
diet yang mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang .
yang negatif karena pertumbuhan. Dari usia 6 bulan, susu formula yang disuplementasi
dan pemberian makanan campuran, khususnya dengan makanan yang diperkaya besi,
dapat mencegah defisiensi besi.8
Pada kehamilan, diperlukan lebih banyak besi untuk meningkatkan massa eritrosit ibu
sekitar 35%, pemindahan 300 mg besi ke janin, dan karena perdarahan pada saat
persalinan. Walaupun absorbsi besi juga meningkat, tapi besi sering diperlukan jika
hemoglobin (Hb) turun di bawah10 g/dL atau volume eritrosit rata-rata (VER) kurang
dari 8 fL pada trimester ketiga.8
4. Gangguan absorbsi besi
Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami
perubahan secara histologis dan fungsional.5 Pada orang yang telah mengalami
gasteroktomi parsial atau total sering disertai anemia defisiensi besi walaupun penderita
mendapat makanan yang cukup besi.5 asimilasi zat besi dari makanan terganggu,
terutama akibat peningkatan motalitas dari by pass usus halus proksimal, yang menjadi
tempat utama absorbsi zat besi. Aklorhidria juga membantu penurunan absorbsi zat
besi. Pasien dengan diare kronik atau malabsorbsi usus halus juga dapat menderita
defisinesi zat besi, terutama jika duodenum dan jejenum proksimal ikut terlibat.6
Pada orang dewasa, anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan
perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai
penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki adalah perdarahan
gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara
itu pada wanita paling sering karena meno-metrorhagia.3
Terdapat perbedaan pola etiologi anemia defisiensi besi di masyarakat atau di
lapangan dengan anemia defisiensi besi di rumah sakit atau praktek klinik. Anemia
defisiensi besi di lapangan pada umumnya disertai anemia ringan atau sedang, sedangkan
di klinik anemia defisiensi besi pada umumnya dissertai anemia derajat berat. Di lapangan
faktor nutrisi lebih berperan dibandingkan dengan perdarahan. Fakta, pada penelitian di
Desa Jagapati, Bali, mendapatkan bahwa infeksi cacing tambang mempunyai peran hanya
pada sekitar 30% kasus, faktor nutrisi mungkin berperan pada sebagian besar kasus,
terutama pada anemia derajat ringan sampai sedang. Sedangkan di klinik, ternyata
perdarahan kronik memegang peran penting, pada laki-laki ialah infeksi cacing tambang
(54%) dan hemoroid (27%), sedangkan pada perempuan menorhagia (33%), hemoroid dan
cacing tambang masing-masing 17%.2
Tabel 2. Stadium dalam perkembangan defisiensi besi2
Normal
Ringan
Sedang
Berat
Hemoglobin
150 g/dl
130 g/dl
100 g/dl
50 g/dl
MCV
MCHC
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Fe/TIBC
1000/3000
-750/3000
-500/4500
-250/6000
Catatan : WCV = volume korpuskular rata-rata; MCHC= konsentrasi hemoglobin korpuskular ratarata; TIBC= total kapasitas ikat besi
C. Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang
berlangsung lama, bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan
menyebabkan cadangan besi terus berkurang. Patofisiologi anemia defisiensi besi ada tiga
tahap, yaitu :5
1. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin atau fungsi
protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadipeningkatan absorbsi besi
non heme. Feritinin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui
adanya kekurangan besi masih normal
2. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limited erythropoiesis didapatkan suplay besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun
dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat
3. Tahap ketiga
Tahap inilah yangdisebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi
yang menuju eritroid sum-sum tulrfang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan
5
kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang
progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi
besi yang lebih lanjut.
D. Gejala Klinik
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu
gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi dan gejala penyerta dasar,2
1. Gejala umum anemia
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8
g/dl. Gejala ini berupa badan lemas, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta
telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin
yang terjadi secara perlahan-lahan seringkali sindroma anemia tidak terlalu menyolok
diabndingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih
cepat, olehkarena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia
bersifat simptomatik jika hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan
fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah
kuku.
2. Gejala khas akibat defisiensi besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis
lain adalah :
a. Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal
dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
b. Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi lebih licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang.2 Selain itu juga kelainan mukosa oral lian yaitu sensasi
terbakar di mukosa oral, varikositas lingual, mulut kering, dan LPO (liken planus
oral).11
Pica diperkirakan terjadi pada usia 10 sampai 32 persen anak-anak antara usia 1 dan 6
tahun. Pada anak yang lebih dari 10 tahun, laporan pica menyatakan angka kira-kira
10 persen dari populasi. Terjadi penurunan linier seiring dengan bertambahnya usia.
Pica kadang-kadang meluas ke golongan remaja namun jarang ditemukan pada orang
dewasa yang tidak cacat mental. Pada individu dengan keterbelakangan mental, pica
paling sering terjadi pada mereka yang berusia 10-20 tahun.11
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga Sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan
gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.
3. Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi
penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing
tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna
7
kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker dijumpai
gejala tergantung lokasi kanker tersebut.
E. Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada anemia defisiensi besi yaitu sebagai berikut:2
1. Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit
Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin
dimulai dari ringan sampai berat. MCV dan MCH menurun. MCV <70 fl hanya
didapatkan pada anemia defisiensi besi dan talassemia mayor. MCHC menurun pada
defisiensi besi yang lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda
awal defisiensi besi. Peningkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW (red
cell distribution width). Dulu dianggap pemeriksaan RDW dapat dipakai untuk
membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronis, tetapi sekarang RDW pada
kedua jenis anemia ini hasilnya sering tumpang tindih.
Hapusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, aniositosis, dan
poikilositosis. Makin berat derajat anemia, makin berat derajat hipokromia. Derajat
hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan
talassemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis ekstrim, maka sel tampak sebagai
sebuah cincin sehingga disebut sel cicncin (ring cell), atau memanjang seperti elips
disebut sebagai sel pensil (pencil cell atau cigar cell). Kadang0kadang dijumpai sel
target.
Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. Tetapi granulositopenia ringan dapat
dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang
dijumpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijum[ai pada ADB dengan episode
perdarahan akut.
Gambar 3. Gambaran hapusan darah tepi pada pasien anemia defisiensi besi
Konsentrasi besi serum menurun dan TIBC meningkat. TIBC menunjukkan tingkat
kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi
serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diagnosis ADB, kadar besi serum
menurun <50 g/dl, total iron binding capacity(TIBC) meningkat >350 g/dl, dan
saturasi transferin <15%. Ada juga yang memakai saturasi transferin<16 % atau <
18%. Harus diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar,
dengan kadar puncakpada jam 8 sampai 10 pagi.
2. Ferum Seritin
Ferum seritin merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik, kecuali pada
keadaan inflamasi dan keganasan tertentu. Titik pemilah (cut off point) untuk feritin
serum pada ADB dipakai angka <12g/l, tetapi ada juga yang memakai <15 g/l.
Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis IDA yang paling
kuat, oleh karena itu banyak dipakai baik di klinik maupun di lapangan karena cukup
reliabel dan praktis, meskipun tidak terlalu sensitif. Angka feritin serum normal tidak
selalu dapat menyingkirkan adanya defsiensi besi, tetapi feritinserum di tas 100 mg/dl
dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi.
3. Protoporfirin
Protoporfirin merupakan bahan antara pada pembentukan heme. Apabila sintetsis
heme terganggu misalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk
dalam eritrosit. Angka normal adalah kurang dari 30 mg/dl. Untuk defisinesi besi
protoporfirin bebas adalah lebih dari 100 mg/dl. Keadaan yang sama juga didapatkan
pada anemia akibat penyakit kronik dan keracunan timah hitam.
4. Kadar Reseptor Transferin dalam Serum Meningkat pada ADB
Kadar normal dengan cara imunologi adalah 4-9 g/l. Pengukuran reseptor transferin
terutama dipakai yntuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik.
Akan lebih baik lagi apabila diapakai rasio reseptor transferin dengan log feritin
serum. Rasio >1,5 menunjukkan ADB dan rasio <1,5 sangat memungkinkan anemia
akibat penyakitkronik.
5. Pemeriksaan Sum-sum Tulang
Sum-sum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan
normoblas kecil-kecil. Sitoplasma sangan sedikit dan tepi tidak teratur. Normoblast ini
disebut sebagai micronormoblast. Pengecatan besi sum-sum tulang dengan biru prusia
(Perls stain) menunjukkan cadangan besi yang nrgatif (butir hemosiderin negatif).
Dalam keadaan normal 40-60% normoblast mengandung granula feritin dalam
sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblast. Pada defisiensi besi maka sideroblast
negatif.
9
6. Studi Ferokinetik
Studi ini tentang pergerakan besi pada siklus besi dengan menggunakan zat radioaktif.
Ada dua jenis studi ferokinetik yaitu plasma iron transport rate (PIT) yang mengukur
kecepatan besi meninggalkan plasma, dan erythrocyteiron turn over rate (EIT) yang
mengukur pergerakan besi dari sumsum tulang ke sel darah merah yang beredar.
Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak banyak digunakan untuk tujuan penelitian.
7. Pemeriksaan Lain
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi. Antara
lain pemeriksaan fese untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
semikuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, pemeriksaan darah samar dalam
feses, endoskopi, barium intake atau barium inloop, dan lain-lain, tergantung
darindugaan penyebab defisiensi besi tersebut
F. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat.2 Pada
daerah dengan fasilitas laboratorium yang terbatas, Markum (1982) mengajukan
beberapa pedoman untuk menduga adanya anemia defisiensi yaitu (1) adanya riwayat
faktor predisposisi dan faktor etiologi, (2) pada pemeriksaan fisis hanya terdapat gejala
pucat tanpa perdarahan atau organomegali, (3) adanya anemia hipokromik mikrositer,
dan (4) adanya respons terhadap pemberian senyawa besi.12 Terdapat tiga tahapan
diagnosis anemia defisiensi besi, yaitu:2
1. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar
hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria yang dipilih,
apakah kriteria WHO atau kriteria klinik.
2. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi
3. Tahap ketiga adalah menetukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi
Secara laboratoris untuk menegakan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap
dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et
al) sebagai berikut : anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl
dan MCHC <31% dengan salah satu dari a, b, c atau d.
a. Dua dari tiga parameter di bawah ini :
1) Besi serum <50 mg/dl
2) TIBC >350 mg/dl
10
untuk
menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan tidaklah serta merta dapat
dianggap sebagai penyebab utama anemia defisiensi besi, harus dicari penyebab lainnya.
Titik kritis cacing tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan telur per gram feses
(TPG) atau egg per gram faeces (EPG) >2000 pada perempuan dan >4000 pada laki-laki.
Dalam suatu penelitian lapangan ditemukan hubungan yang nyata antara derajat infeksi
cacing tambang dengan cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih lemah
pada perempuan.2
Anemia akibat cacing tambang(hookworn anemia) adalah anemia defisiensi besi
yang disebabkan oleh karena infeksi cacing tambang berat (TPG >2000). Anemia akibat
cacing tambang sering disertai pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan.
Dasar diagnosis anemia defisiensi besi menurut Cook dan Monsen:2
1. Anemia hipokrom mikrositik
2. Saturasi transferin <16%
3. Nilai FEP >10 ug/dl eritrosit
11
sehingga nilai saturasi transferin normal atau sedikit menurun, kadar FEP meningkat.
Pemeriksaan kadar reseptor transferin/transferin receptor (TfR) sangat berguna dalam
membedakan ADB dengan anemia karena penyakit kronis. Pada anemia karena penyakit
kronis kadar TfR normal karena pada inflamasi kadarnya tidak berpengaruh, sedangkan
pada ADB kadarnya menurun. Peningkatan rasio TfR/feritin sensitif dalam mendeteksi
ADB.5
Lead poisoning memberikan gambaran darah tepi yang serupa dengan ADB tetapi
didapatkan basophilic stippling kasar yang sangat jelas. Pada keduanya kadar FEP
meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa kadar lead dalam darah.5
Anemia sideroblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis
heme, bisa didapat atau herediter. Pada keadaan ini didapatkan gambaran hipokrom
mikrositik dengan peningkatan kadar RDW yang disebabkan populasi sel darah merah
yang dimorfik. Kadar Fe serum dan ST biasanya meningkat, pada pemeriksaan apus sumsum tulang didapatkan sel darah merah berinti yang mengandung granulasi besi(agregat
besi dalam mitokondria) yang disebut ringed sideroblast. Anemia ini umumnya terjadi
pada dewasa.5
Tabel 3. Diferensial Diagnosis Anemia Defisiensi Besi 2
Derajat anemia
MCV
MCH
Besi serum
TIBC
Saturasi
transferin
Besi sum-sum
tulang
Protoporfirin
eritrosit
Feritin serum
Elektrofoiesis
Hb
Anemia defisiensi
besi
Ringan - berat
Menurun
Menurun
Menurun <30
Meningkat >360
Menurun <15 %
Trait talassemia
Negatif
Anemia
akibat
penyakit kronik
Ringan
Menurun/N
Menurun/N
Menurun <50
Menurun <300
Menurun/N 10-20
%
Positif
Meningkat
Meningkat
Normal
Positif
dengan
ring sideroblast
Normal
Menurun <20g/l
Normal
200g/l
N
Meningkat
>50
g/l
Hb. A2 meningkat
Meningkat
>50g/l
N
H. Penatalaksanaan
13
20-
Ringan
Menurun
Menurun
Normal /
Normal/
Meningkat >20 %
Positif kuat
Anemia
sideroblastik
Ringan
Menurun/N
Mneurun/N
Normal/
Normal/
Meningkat >20%
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap
anemia defisiensi besi adalah:2
1.
14
Terapi besi parenteral sangan efektif tetapi mempunyai resiko lebih besar dan
harganya lebih mahal. Oleh karena resiko ini maka besi parenterak hanya diberikan
ata indikasi tertentu. Indikasi pemberian besi parenteral yaitu :
1) Intoleransi terhadap pemberian besi oral
2) Kepatuhan terhadap obat yang rendah
3) Gangguan pencernaanseperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi
4) Penyerapan besi terganggu, misalnya pada gastrektomi
5) Kedaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi
oleh pemberian besi oral, seperti misalnya pada heredity hemorrhagic teleangiectasia
6) Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek
7) Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropietin pada anemia gagal
ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik
Preparat yang tersedia adalah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml),
Iron sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan
iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuscular
dalam atau intravena pelan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa nyeri
dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah
reaksi anafilaksis, meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis, sakit
kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop.
Terapi besi parenteral bertujuan mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi
sebesar 500 sampai 1000 mg. Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui rumus
dibawah ini :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000
mg
Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam beberapa kali pemberian.
c. Pengobatan Lain
1) Diet : sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang
berasal dari protein hewani
2) Vitamin C : vitamin C diberikan 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan absorbsi
besi
3) Transfusi darah : ABD jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian
transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah:
a) Adanya penyakit jantuk anemik dengan ancaman payah jantung
b) Anemia yang sangan simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang
sangat menyolok
15
17
D. Patogenesis
Anemia defisiensi vitamin B12 merupakan salah satu jenis dari anemia
megaloblastik. Anemia megaloblastik ditandai dengan adanya sel megaloblast (prekursor
eritrosit) di dalam sumsum tulang akibat dari kekurangan vitamin B12 dan asam folat.
Kedua vitamin tersebut berperan penting dalam maturasi semua sel normal,
terutama sintesis DNA pada sel yang memilki aktivitas pembelahan sel yang cepat. Selsel hematopoiesis sangat peka terhadap perubahan kadar kedua vitamin tersebut, oleh
karena itu defisiensi salah satu atau kedua vitamin menyebabkan eritropoiesis terganggu
dan berakhir pada anemia.18
Vitamin B 12
Vitamin B12 (kobalamin) mempunyai struktur cincin kompleks (cincin corrin)
yang serupa dengan cincin porfirin, dimana pada bagian tengah cincin tersebut terdapat
ion koblat. Perbedaan vitamin B12 dengan vitamin dan koenzim lainnya adalah
strukturnya yang sangat kompleks. Hal ini juga menggambarkan banyaknya tahapan
biosintesis dengan melibatkan banyak enzim yang diekspresikan lebih dari tiga puluh
gen untuk sintesis lengkap secara de novo.
18
19
20
dihasilkan oleh sel parietal di fundus dan kardiak gaster. Faktor intrinsik tersebut
memilki kemampuan berikatan dengan kobalamin yang lebih rendah.19
Di dalam duodenum, kompleks kobalamin-protein R dari gaster bercampur
dengan kompleks kobalamin-protein R yang berasal dari kantung empedu. Enzim
pankreas selanjutnya memutus ikatan antara kobalamin-protein R sehingga terbentuk
kobalamin bebas. Kobalamin selanjutnya berikatan dengan faktor intrinsik yang tidak
dapat dicerna oleh enzim proteolitik dan dapat melintas sampai ke ileum terminal. Ikatan
kobalamin dan faktor intrinsik kemudian diserap oleh reseptor- reseptor di vili-vili ileum
terminal.19
Kobalamin selanjutnya berikatan dengan protein transport yaitu transkobalamin
I,II dan III. Transkobalamin II memiliki peran paling penting karena dapat mengangkut
kobalamin ke seluruh sel tubuh melalui sistem porta. Proses selanjutnya adalah
pemutusan ikatan kobalamin dengan transkobalamin II oleh enzim lisosom dan
menghasilkan kobalamin bebas. Setelah diangkut dalam darah, kobalamin yang bebas
dilepas ke dalam sitosol sel sebagai hidroksikobalamin. Hidroksikobalamin ini bisa
diubah di dalam sitosol menjadi metilkobalamin atau memasuki mitokondria untuk
mengalami konversi menjadi 5-deoksiadenosilkobalamin.19
Deoksiadenosilkobalamin merupakan koenzim bagi konversi metilmalonil-CoA
menjadi suksinil-CoA. Peristiwa ini merupakan reaksi yang penting dalam lintasan
konversi propionat menjadi anggota siklus asam sitrat dan dengan demikian memiliki
makna yang penting dalam proses glukoneogenesis. Defisiensi vitamin B12
menyebabkan peningkatan jumlah metilmalonil-CoA yang selanjutnya didegradasi
membentuk methylmalonic acid (MMA). Beberapa penelitian membuktikan bahwa
peningkatan kadar MMA memyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin.19
Metilkobalamin merupakan koenzim dalam konversi gabungan homosistein
menjadi metionin dan N5-metiltetrahidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Dalam reaksi ini,
gugus metil yang terikat dengan kobalamin dipindahkan pada homosistein untuk
membentuk metionin. Kobalamin selanjutnya mengeluarkan gugus metil dari N5metiltetrahidrofolat untuk membentuk tetrahidrofolat. Pada reaksi ini simpanan metionin
akan dipertahankan dan tetrahidrofolat harus tersedia untuk ikut serta dalam sintesis
purin, pirimidin, serta asam nukleat.20
21
tulang. Vitamin
B12 dibutuhkan
untuk melepas
folat
dari
gugus
22
vitamin B12, siklus metil mengalami gangguan sehingga tidak terbentuk protein
tersebut. Hal itu menyebabkan terjadi demyelinisasi pada neuron-neuron, dan
berakhir pada neuropati (ataxia, paralisis, parastesia). Demyelinisasi dan neuropati
sering disebut sebagai sub-acute combined degeneration yang menyerang medula
spinalis dan saraf perifer.21
5. Pada hepar, siklus metil juga berfungsi untuk mendegradasi metionin. Metionin
merupakan asam amino yang esensial bagi tubuh. Melalui siklus metil tersebut,
metionin dipecah menjadi homosistein. Homosistein selanjutnya dapat didegradasi
menjadi sulfat dan pyruvat yang digunakan sebagai energi atau diubah kembali
menjadi metionin.
6. Anemia megaloblastik terjadi akibat defisiensi vitamin B12 dan asam folat. Proses
terjadinya penyakit ini dikenal dengan the methyl trap hypothesis.
a. Enzim metionin sintase dari vitamin B12 berperan untuk mengubah kofaktor
folat (5-metiltetrahidrofolat) menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat berperan
penting dalam sintesis DNA dan pembelahan sel. Defisiensi vitamin B12
mengakibatkan aktivitas dari enzim metionin sintase terganggu, sehingga folat
akan tetap dalam bentuk terikat (5-metiltetrahidrofolat) dan tidak dapat berubah
menjadi tetrahidrofolat. Hal ini mengakibatkan kegagalan sintesis DNA dan
pembelahan sel.
b. Efek pada sintesis DNA berupa kegagalan dalam reaksi biosintesis dan
pembelahan sel. Sel yang paling berpengaruh terhadap kegagalan tersebut
adalah jenis sel yang memiliki aktivitas pembelahan cepat.
-
dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang
mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan
dibawah kuku.22
2. Glossitis
Glossitis merupakan suatu kondisi peradangan yang terjadi pada lidah yang ditandai
dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga menghasilkan daerah
kemerahan yang mengkilat.22
3. Gangguan neurologi
Metionin sintase berperan dalam siklus folat (siklus metil). Siklus tersebut berfungsi
untuk mengatur suply S-adenosilmetionil yang berperan dalam metiltransferase
untuk menghasilkan produk metil berupa lemak metil, protein dasar myelin, DOPA
dan DNA. Protein dasar myelin merupakan hasil reaksi siklus metil yang penting,
karena merupakan bahan baku pembentukan selubung myelin. Pada keadaan
defisiensi vitamin B12, siklus metil mengalami gangguan sehingga tidak terbentuk
protein tersebut. Hal itu menyebabkan terjadi demyelinisasi pada neuron-neuron,
dan berakhir pada neuropati (ataxia, paralisis, parastesia). Demyelinisasi dan
neuropati sering disebut sebagai sub-acute combined degeneration yang menyerang
medula spinalis dan saraf perifer.23
Tanda dan gelaja yang dapat terlihat adalah sebagai berikut:
- Penurunan fungsi sensorik dan motorik (penurunan pergerakan otot dan refleks)
- Parestesia
- Paralisis
- Gangguan keseimbangan
- Demensia dan gangguan psikis
F. Penegakan Diagnosis
1. Pemeriksaan darah lengkap
a. Penurunan kadar hemoglobin
b. Penurunan kadar hematokrit
c. Penurunan kadar leukosit dan trombosit
d. Hitung eritrosit
Mean corpuscular volume (MCV) lebih dari 100 fl
Mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) normal
Mean corpuscular hemoglobin (MCH) meningkat
2. Gambaran darah tepi
a. Sel eritrosit
Sel darah merah memiliki ukuran yang besar dan bentuk oval (macroovalositosis). Sel dapat terlihat paling besar, tebal, dengan inti hiperkromatin. Sel
darah merah memiliki ukuran dan bentuk yang bervariasi (anisopoikilositosis).
25
sitoplasma, hal ini terjadi karena penurunan sintesis DNA pada nukleus,
sedangkan sintesis RNA di sitoplasma berlangsung normal.
kronik
Endoskopi
Tes Schilling
Metode yang dipakai adalah dengan memberikan vitamin B12 (0,5 g) secara
oral setelah puasa semalaman, kemudian 2 jam setelah itu dosis tinggi yaitu
1000 g diberikan secara parenteral. Apabila terdapat gangguan pengeluaran
faktor intrinsik dan malabsorpsi vitamin B12, sebanyak 7% dari dosis vitamin
yang diberikan akan didapatkan pada urin penderita.
ANEMIA
28
Anemia normositik normokromik
Anemia mikrositik hipokromik
Anemia makrositik
Retikulosit
Meningkat
Sumsum tulang
Non megaloblastik
Anemia hipotiroidisme
Respon terapi memuaskan dan membaik segera setelah pemberian terapi. Morfologi
sumsum tulang kembali normal dalam waktu beberapa jam setelah terapi dimulai.
Retikulositosis mulai pada hari keempat sampai kelima, mencapai puncak pada hari
ketujuh.
4. Indikasi transfusi darah
a. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hemoglobin
(Hb) <7 g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien
asimptomatik dan/atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas
kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima.
b. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila
ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan
laboratorium.
c. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb 10 g/dl, kecuali bila ada indikasi
tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transport oksigen
lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung
iskemik berat).
d. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb 11
g/dL; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dL. Jika
terdapat penyakit jantung atau paru atau yang sedang membutuhkan
suplementasi oksigen batas untuk memberi transfusi adalah Hb 13 g/dL.
I. Komplikasi
Komplikasi umum anemia meliputi gagal jantung, parestesia dan kejang. Pada setiap
tingkat anemia, pasien dengan penyakit jantung cenderung lebih besar kemungkinannya
mengalami gagal jantung kongestif daripada seseorang yang tidak mempunyai penyakit
jantung. Komplikasi dapat terjadi sehubungan dengan jenis anemia tertentu.22
J. Prognosis
Prognosis pada anemia tergantung pada penyebab, tingkat keparahan, dan progresifitas
anemia tersebut.
30
BAB III
KESIMPULAN
1. Anemia merupakan suatu keadaan yang menggambarkan kadar hemoglobin atau
jumlah eritrosit dalam darah kurang dari nilai standar (normal).
2. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang
pada akhirnya menyebabkan pembentukan hemoglobin berkurang.
3. Anemia defisiensi vitamin B12 yaitu anemia yang terjadi akibat gangguan sintesis
DNA, ditandai dengan sel megaloblastik dan disebabkan karena kekurangan
vitamin B12.
4. Etiologi anemia paling sering adalah malabsorpsi.
5. Tanda dan gejala pada anemia adalah sindrom anemia, glositis, neuropati dan pada
beberapa kondisi dapat menjadikan penderita anemia menderita pica.
6. Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, laboratorium
darah lengkap, gambaran darah tepi dan biokimia darah.
7. Penatalaksanaan terdiri dari terapi etiologi, terapi pengganti berupa injeksi dan
peroral.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Lubis, anindita dia. Anemia defisiensi besi. 2013. Available from::
http://www.ikaapda.com/resources/HOM/Reading/Anemia-Def-Besi.pdf
2. Bakta, I Made., Suega, Ketut., Dharmayuda, Tjokorda Gde. Anemia Defisinesi Besi.
Dalam : Sudoyo, Ari W., Setiyohadi, Bambang., Alwi, Idrus., Simadibrata, Marcellus.
Editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.2010
3. Anemia hipokromik mikrositer dengan gangguan metabolisme besi. Dalam : Bakta, Prof
I Made. Hematologi ringkasan klinis. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC
4. Anemia mikrositik dan talasemia. Dalam : Bain, Barbara Jane. Hematologi kurikulum
inti. Editor. Jakarta : Penerbit kedokteran EGC. 2014
5. Raspati, hary., Reniarti, Lelani., Susanah, Susi. Anemia defisiensi besi. Dalam :
Parmono, H Bambang., sutaryo.,Ugerasena IDG., Windiasturi, Endang., Abdulsalam,
Maria. Buku ajar hemato;ogo-onkologi anak. Cetakan ketiga. Jakarta : Badan penerbit
IDAI. 2010
6. Bunn, H Franklin. Patofisiologi anemia. Dalam : Asdie, Prof dr Ahmad H. Editor.
Harisson prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Volume 4. Jakarta : Penerbit buku
kedokteran EGC. 2000
7. Anemia hipokrom dan penimbunan besi. Dalam : Hoffbrand, AV., Pettit, JE., Moss, PAH.
Kapita selekta hematologi. Ediai 4. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC. 2002
8. Anemia hipokrom. Dalam : Hoffband, AV., Moss, PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi
6. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC. 2013
9. Wijaya, Yoppy. Anemia defisiensi besi. 2007. Kediri : Fakultas kedokteran universitas
wijaya kusuma surabaya
10. Provan,
Drew.
Iron
deficiency
anemia.
Available
from::
https://www.blackwellpublishing.com/content/BPL_Images/Content_store/Sample_chapt
er/9781405153539/9781405153539_4_001.pdf
11. Hagopian, L. P; Rooker, G. W; Rolider, N. U. Identifying Empirically Supported
Treatments for Pica in Individuals with Intellectual Disabilities. Res Dev Disabil. NovDec 2011;32(6):2114-20.
12. Abdulsalam, Maria., Daniel, Albert. 2002. Diagnosis, pengobatan dan pencegahan
anemia defisiensi besi. Jakarta: Sari Pediatri
13. Butensky, E., Paul, H., Bertram, L. 2008. Nutritional Anemia. Nutrition in Pediatrics.
Canada: Hemiltan, Ontario. Edisi 4
14. Stabler, S. 2013. Vitamin b12 deficiency. The New England Journal of Medicine.
368:149-160
15. Solomon, L., 2006. Disorders of cobalamin (Vitamin B12) metabolism: Emerging
concepts in pathophysiology, diagnosis and treatment. Blood Reviews.
16. Aslinia, F. 2009. Megaloblastic anemia and other causes of macrositosis. Clinical
Medicine and Research.4:236-241
17. Andres, E., Loukili., Esther, N. 2004. Vitamin B12 deficiency in elderly patients.
Canadian Medical Association or its licencors. 3:171
18. Mclean E, Allen L, Neumann C.2007. Low plasma vitamin B-12 in Kenyan school
children is highly prevalent and improved by supplemental animal source foods. J Nutr .
137:67682.
19. Stabler S, Allen R. 2005. Vitamin B12 deficiency as a worldwide problem. Annu Rev
Nutr. 24:299326.
32
20. Lewis SM, Bain BJ, Bates I.2006. Dacie and Lewis Practical Haematology.9th ed.
Toronto.
21. Price, Sylvia.A., Wilson, L. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.
22. Solomon LR. 2005. Cobalamin-responsive disorders in the ambulatory care setting:
unreliability of cobalamin, methylmalonic acid, and homocysteine testing. Blood.
105(3):978-985.
23. Carmel R. 2000. Reassessment of the relative prevalences of antibodies to gastric parietal
cell and to intrinsic factor in patients with pernicious anaemia: influence of patient age
and race. Clin Exp Immunol. 89(1):74-77.
33