Anda di halaman 1dari 33

I.

Pendahuluan
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh
dunia, disamping sebagai masalah utama kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
berkembang. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita
anemia dengan sebagian besar tinggal didaerah tropik. Pada tahun 2002, anemia defisiensi
besi dikatakan memiliki faktor kontribusi terpenting untuk beban penyakit global.1
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada
akhirnya menyebabkan pembentukan hemoglobin berkurang.2 Kelainan ditandai oleh
anemia hipokromik mikrosister, besi serum menurun, TIBC (total iron blinding capacity)
meningkat, saturasi transferin menurun, feritin serum menurun, pengecatan besi sum-sum
tulang negatif dan adanya respon terhadap pengobatan dengan preparat besi.3
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai, terutama di
negara-negara tropik atau negara dunia ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat dengan
taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang
memberikan dampak kesehatan yang sangat merugikan serta dampak sosial yang cukup
serius.4 Di negara maju, defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia, sebesar
hampir sepertiga kasus. Angka ini menjadi lebih tinggi di negara berkembang. Penyebab
utama defisiensi besi adalah konsumsi besi yang kurang, peningkatan kebutuhan (pada
masa bayi atau selama kehamilan) dan perdarahan tidak normal. Di negara berkembang,
kehilangan darah karena parasit usus menjadi faktor utama. Status sosial ekonomi yang
rendah dan kemiskinan berkorelasi dengan meningkatnya defisiensi besi. Pada anak-anak,
penyapihan dini dari air susu ibu ke susu sapi dan keterlambatan pemberian makanan
padat berkontribusi terhadap defisiensi besi.4 Saat ini di Indonesia anemia defisiensi besi
masih merupakan salah satu masalah gizi utama disamping kekurangan kalori-protein,
vitamin A, dan yodium.5

II. 1 Anemia Defisiensi Besi


A.Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya
menyebabkan pembentukan hemoglobin berkurang.2 Anemia defisiensi besi merupakan
jenis anemia yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di masyarakat. Anemia
defisiensi besi merupakan anemia yang sangat sering dijumpai di negara berkemban.2 Dari
berbagai data yang dikumpulkan sampai saat ini didapatkan gambaran prevalensi anemia
defisiensi besi, seperti pada tabel di bawah ini :
Tabel 1. Prevalensi anemia defisiensi besi dunia
Afrika

Amerika Latin

Indonesia

Laki-laki dewasa

6%

3%

16-50%

Wanita tak hamil

20 %

17-21 %

25-48%

Wanita hamil

60 %

39-46 %

46-92%

Belum ada data yang pasti mengenai prevalensi anemia defisiensi besi di Indonesia.
Martoatmojo et al memprediksikan anemia defisiensi besi pada laki-laki 16-50 % dan 2584 % pada perempuan tidak hamil. Perempuan hamil merupakan segmen penduduk yang
paling rentan pada anemia defisiensi besi. Di India, Amerika Latin dan Filipina anemia
defisiensi besi pada perempuan hamil berkisar antara 35% sampai 99%. Di Amerika
Serikat, berdasarkan survei gizi (NHANES III) tahun 1988 sampai tahun 1994, defisiensi
dijumpai kurang dari 1% pada laki-laki dewasa yang berumur kurang dari 50 tahun, 2-4%
pada laki-laki dewasa yang berumur lebih dari 50 tahun, 9-11% pada perempuan masa
reproduksi, dan 5-7% pada perempuan pascamenopaus.2
B. Etiologi
Terjadinya anemia defisiensi besi sangat ditentukan oleh kemampuan absorbsi besi,
(5)
diet yang mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang .

Etiologi anemia defisiensi besi sebagai berikut:3


1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun.3

Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1


ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga kehilangan darah 3-4 ml/hari
(1,5-2 mg besi) dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi.5
Kehilangan besi akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:3
a. Saluran cerna
Saluran cerna paling sering bertanggungjawab terhadap kehilangan darah patologis
dan selanjutnya menjadi anemia defisiensi besi.6 Penyebab umum kehilangan darah
diakibatkan dari tukak peptik, karen obat-obatan (pemakaian asam asetil salisilat ,
kortikosteroid, indometasin, atau NSAID,5 kanker lambung, kanker kolon,
divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing tambang.3 Sekitar 15% pasien dengan
perdarahan saluran cerna yang terdokumentasi, tidak ditemukan sumbernya, bahkan
setelah penyelidikan radiologik dan endoskopi yang luas.6
b. Saluran genitalia wanita
Dapat diakibatkan oleh menorrhagia atau metrorhagia.3 Menorrhagia (hiilangnya
darah 80 ml atau lebih pada tiap siklus haid) sulit dinilai secara klinis, walaupun
perdarahan berupa bekuan, penggunaan pembalut atau tampon dalam jumlah
banyak, atau masa menstruasi yang lama kesemuanya menunjukkan perdarahan
yang berlebihan.7
c. Salurah kemih dapat diakibatkan oleh hematuria,3 merupakan penyebab yang jarang
menimbulkan anemia defisiensi besi.8
d. Saluran napas
Dapat diakibatkan oleh hemoptoe,3 dapat pula diakibatkan oleh idiopatik pulmonary
hemosiderosis, tetapi penyakit ini jarang terjadi, penyakit ini ditandai dengan
perdarahan paru yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang
hilang timbul. Keadaan ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga
1,5-3 g/dl dalam 24 jam.5
2. Faktor nutrisi
Akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavaibilitas)
besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging,2
Diet yang buruk merupakan faktor penunjang di banyak negara berkembang, tetapi
jarang merupakan penyebab tunggal kecuali pada bayi dan anak.7
3. Kebutuhan besi meningkat
Kebutuhan besi yang meningkat seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan, dan kehamilan.2 Kebutuhan yang meningkat selama masa bayi, remaja,
kehamilan, laktasi dan wanita menstruasi menyebabkan tingginya resiko anemia
defisiensi besipada kelompok klinis tersebut. Bayi baru lahir mempunyai cadangan besi
yang berasal dari penjepitan tali pusat yang perlahan-lahan meluruh dan pemecahan
eritrosit yang berlebih. Dari usia 3-6 bulan terdapat kecenderungan kesetimbangan besi
3

yang negatif karena pertumbuhan. Dari usia 6 bulan, susu formula yang disuplementasi
dan pemberian makanan campuran, khususnya dengan makanan yang diperkaya besi,
dapat mencegah defisiensi besi.8
Pada kehamilan, diperlukan lebih banyak besi untuk meningkatkan massa eritrosit ibu
sekitar 35%, pemindahan 300 mg besi ke janin, dan karena perdarahan pada saat
persalinan. Walaupun absorbsi besi juga meningkat, tapi besi sering diperlukan jika
hemoglobin (Hb) turun di bawah10 g/dL atau volume eritrosit rata-rata (VER) kurang
dari 8 fL pada trimester ketiga.8
4. Gangguan absorbsi besi
Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami
perubahan secara histologis dan fungsional.5 Pada orang yang telah mengalami
gasteroktomi parsial atau total sering disertai anemia defisiensi besi walaupun penderita
mendapat makanan yang cukup besi.5 asimilasi zat besi dari makanan terganggu,
terutama akibat peningkatan motalitas dari by pass usus halus proksimal, yang menjadi
tempat utama absorbsi zat besi. Aklorhidria juga membantu penurunan absorbsi zat
besi. Pasien dengan diare kronik atau malabsorbsi usus halus juga dapat menderita
defisinesi zat besi, terutama jika duodenum dan jejenum proksimal ikut terlibat.6
Pada orang dewasa, anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan
perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai
penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki adalah perdarahan
gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara
itu pada wanita paling sering karena meno-metrorhagia.3
Terdapat perbedaan pola etiologi anemia defisiensi besi di masyarakat atau di
lapangan dengan anemia defisiensi besi di rumah sakit atau praktek klinik. Anemia
defisiensi besi di lapangan pada umumnya disertai anemia ringan atau sedang, sedangkan
di klinik anemia defisiensi besi pada umumnya dissertai anemia derajat berat. Di lapangan
faktor nutrisi lebih berperan dibandingkan dengan perdarahan. Fakta, pada penelitian di
Desa Jagapati, Bali, mendapatkan bahwa infeksi cacing tambang mempunyai peran hanya
pada sekitar 30% kasus, faktor nutrisi mungkin berperan pada sebagian besar kasus,
terutama pada anemia derajat ringan sampai sedang. Sedangkan di klinik, ternyata
perdarahan kronik memegang peran penting, pada laki-laki ialah infeksi cacing tambang

(54%) dan hemoroid (27%), sedangkan pada perempuan menorhagia (33%), hemoroid dan
cacing tambang masing-masing 17%.2
Tabel 2. Stadium dalam perkembangan defisiensi besi2
Normal

Ringan

Sedang

Berat

Hemoglobin

150 g/dl

130 g/dl

100 g/dl

50 g/dl

MCV

MCHC

Cadangan zat besi


sum-sum

Ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Fe/TIBC

1000/3000

-750/3000

-500/4500

-250/6000

Catatan : WCV = volume korpuskular rata-rata; MCHC= konsentrasi hemoglobin korpuskular ratarata; TIBC= total kapasitas ikat besi

C. Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang
berlangsung lama, bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan
menyebabkan cadangan besi terus berkurang. Patofisiologi anemia defisiensi besi ada tiga
tahap, yaitu :5
1. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin atau fungsi
protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadipeningkatan absorbsi besi
non heme. Feritinin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui
adanya kekurangan besi masih normal
2. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limited erythropoiesis didapatkan suplay besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun
dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat
3. Tahap ketiga
Tahap inilah yangdisebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi
yang menuju eritroid sum-sum tulrfang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan
5

kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang
progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi
besi yang lebih lanjut.
D. Gejala Klinik
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu
gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi dan gejala penyerta dasar,2
1. Gejala umum anemia
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8
g/dl. Gejala ini berupa badan lemas, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta
telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin
yang terjadi secara perlahan-lahan seringkali sindroma anemia tidak terlalu menyolok
diabndingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih
cepat, olehkarena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia
bersifat simptomatik jika hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan
fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah
kuku.
2. Gejala khas akibat defisiensi besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis
lain adalah :
a. Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal
dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.

Gambar 1. Perubahan kuku pada pasien anemia defisiensi besi 10

b. Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi lebih licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang.2 Selain itu juga kelainan mukosa oral lian yaitu sensasi
terbakar di mukosa oral, varikositas lingual, mulut kering, dan LPO (liken planus
oral).11

Gambar 2. Atrofi papil lidah10

c. Stomatitis angularis (cheilosis) : adanya peradangan pada sudut mulut sehingga


tampak seperti bercak berwarna pucat keputihan
d. Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
e. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
f. Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah liat , es, lem
dan lain-lain

Pica diperkirakan terjadi pada usia 10 sampai 32 persen anak-anak antara usia 1 dan 6
tahun. Pada anak yang lebih dari 10 tahun, laporan pica menyatakan angka kira-kira
10 persen dari populasi. Terjadi penurunan linier seiring dengan bertambahnya usia.
Pica kadang-kadang meluas ke golongan remaja namun jarang ditemukan pada orang
dewasa yang tidak cacat mental. Pada individu dengan keterbelakangan mental, pica
paling sering terjadi pada mereka yang berusia 10-20 tahun.11
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga Sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan
gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.
3. Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi
penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing
tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna
7

kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker dijumpai
gejala tergantung lokasi kanker tersebut.
E. Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada anemia defisiensi besi yaitu sebagai berikut:2
1. Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit
Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin
dimulai dari ringan sampai berat. MCV dan MCH menurun. MCV <70 fl hanya
didapatkan pada anemia defisiensi besi dan talassemia mayor. MCHC menurun pada
defisiensi besi yang lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda
awal defisiensi besi. Peningkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW (red
cell distribution width). Dulu dianggap pemeriksaan RDW dapat dipakai untuk
membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronis, tetapi sekarang RDW pada
kedua jenis anemia ini hasilnya sering tumpang tindih.
Hapusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, aniositosis, dan
poikilositosis. Makin berat derajat anemia, makin berat derajat hipokromia. Derajat
hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan
talassemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis ekstrim, maka sel tampak sebagai
sebuah cincin sehingga disebut sel cicncin (ring cell), atau memanjang seperti elips
disebut sebagai sel pensil (pencil cell atau cigar cell). Kadang0kadang dijumpai sel
target.
Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. Tetapi granulositopenia ringan dapat
dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang
dijumpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijum[ai pada ADB dengan episode
perdarahan akut.

Gambar 3. Gambaran hapusan darah tepi pada pasien anemia defisiensi besi

Konsentrasi besi serum menurun dan TIBC meningkat. TIBC menunjukkan tingkat
kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi
serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diagnosis ADB, kadar besi serum
menurun <50 g/dl, total iron binding capacity(TIBC) meningkat >350 g/dl, dan
saturasi transferin <15%. Ada juga yang memakai saturasi transferin<16 % atau <
18%. Harus diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar,
dengan kadar puncakpada jam 8 sampai 10 pagi.
2. Ferum Seritin
Ferum seritin merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik, kecuali pada
keadaan inflamasi dan keganasan tertentu. Titik pemilah (cut off point) untuk feritin
serum pada ADB dipakai angka <12g/l, tetapi ada juga yang memakai <15 g/l.
Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis IDA yang paling
kuat, oleh karena itu banyak dipakai baik di klinik maupun di lapangan karena cukup
reliabel dan praktis, meskipun tidak terlalu sensitif. Angka feritin serum normal tidak
selalu dapat menyingkirkan adanya defsiensi besi, tetapi feritinserum di tas 100 mg/dl
dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi.
3. Protoporfirin
Protoporfirin merupakan bahan antara pada pembentukan heme. Apabila sintetsis
heme terganggu misalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk
dalam eritrosit. Angka normal adalah kurang dari 30 mg/dl. Untuk defisinesi besi
protoporfirin bebas adalah lebih dari 100 mg/dl. Keadaan yang sama juga didapatkan
pada anemia akibat penyakit kronik dan keracunan timah hitam.
4. Kadar Reseptor Transferin dalam Serum Meningkat pada ADB
Kadar normal dengan cara imunologi adalah 4-9 g/l. Pengukuran reseptor transferin
terutama dipakai yntuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik.
Akan lebih baik lagi apabila diapakai rasio reseptor transferin dengan log feritin
serum. Rasio >1,5 menunjukkan ADB dan rasio <1,5 sangat memungkinkan anemia
akibat penyakitkronik.
5. Pemeriksaan Sum-sum Tulang
Sum-sum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan
normoblas kecil-kecil. Sitoplasma sangan sedikit dan tepi tidak teratur. Normoblast ini
disebut sebagai micronormoblast. Pengecatan besi sum-sum tulang dengan biru prusia
(Perls stain) menunjukkan cadangan besi yang nrgatif (butir hemosiderin negatif).
Dalam keadaan normal 40-60% normoblast mengandung granula feritin dalam
sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblast. Pada defisiensi besi maka sideroblast
negatif.
9

6. Studi Ferokinetik
Studi ini tentang pergerakan besi pada siklus besi dengan menggunakan zat radioaktif.
Ada dua jenis studi ferokinetik yaitu plasma iron transport rate (PIT) yang mengukur
kecepatan besi meninggalkan plasma, dan erythrocyteiron turn over rate (EIT) yang
mengukur pergerakan besi dari sumsum tulang ke sel darah merah yang beredar.
Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak banyak digunakan untuk tujuan penelitian.
7. Pemeriksaan Lain
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi. Antara
lain pemeriksaan fese untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
semikuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, pemeriksaan darah samar dalam
feses, endoskopi, barium intake atau barium inloop, dan lain-lain, tergantung
darindugaan penyebab defisiensi besi tersebut
F. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat.2 Pada
daerah dengan fasilitas laboratorium yang terbatas, Markum (1982) mengajukan
beberapa pedoman untuk menduga adanya anemia defisiensi yaitu (1) adanya riwayat
faktor predisposisi dan faktor etiologi, (2) pada pemeriksaan fisis hanya terdapat gejala
pucat tanpa perdarahan atau organomegali, (3) adanya anemia hipokromik mikrositer,
dan (4) adanya respons terhadap pemberian senyawa besi.12 Terdapat tiga tahapan
diagnosis anemia defisiensi besi, yaitu:2
1. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar
hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria yang dipilih,
apakah kriteria WHO atau kriteria klinik.
2. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi
3. Tahap ketiga adalah menetukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi
Secara laboratoris untuk menegakan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan tahap
dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et
al) sebagai berikut : anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl
dan MCHC <31% dengan salah satu dari a, b, c atau d.
a. Dua dari tiga parameter di bawah ini :
1) Besi serum <50 mg/dl
2) TIBC >350 mg/dl
10

3) Saturasi transferin <15%, atau


b. Feritin serum <20 mg/dl
c. Pengecatan sum-sum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan cadangan
besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/hari (preparat besi lain yang setara)
selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi
besi. Tahap ini sering merupakan proses yang yang rumit yang memerlukan berbagai
jenis pemeriksaan tapi merupakan tahap yang sangat penting untuk mencegah
kekambuhan defisiensi besi serta kemungkinan untuk mendapatkan sumber perdarahan
yang membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20% kasus
anemia defisiensi besi tidak diketahui penyebabnya.
Untuk pasien dewasa fokus utama adalah mencari sumber perdarahan. Dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pada masa perempuan reproduksi anamnesis
tentang menstruasi sangat penting, kalau perlu dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk
laki-laki dewasa di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing
tambang. Tidak cukup hanya dilakukan pemeriksaan hapusan langsung (direct smear
dengan eosin), tetapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan semi kuantitatif

untuk

menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan tidaklah serta merta dapat
dianggap sebagai penyebab utama anemia defisiensi besi, harus dicari penyebab lainnya.
Titik kritis cacing tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan telur per gram feses
(TPG) atau egg per gram faeces (EPG) >2000 pada perempuan dan >4000 pada laki-laki.
Dalam suatu penelitian lapangan ditemukan hubungan yang nyata antara derajat infeksi
cacing tambang dengan cadangan besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih lemah
pada perempuan.2
Anemia akibat cacing tambang(hookworn anemia) adalah anemia defisiensi besi
yang disebabkan oleh karena infeksi cacing tambang berat (TPG >2000). Anemia akibat
cacing tambang sering disertai pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan.
Dasar diagnosis anemia defisiensi besi menurut Cook dan Monsen:2
1. Anemia hipokrom mikrositik
2. Saturasi transferin <16%
3. Nilai FEP >10 ug/dl eritrosit
11

4. Kadar feritin serum <12ug/dl


Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dan 3 kriteria (ST, Feritin serum dan FEP)
harus dipenuhi.
Lazkowsky me nyimpulkan anemia defisiensi besi dapat diketahui melalui :5
1. Pemeriksaan apusan darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar
MCV, MCH dan MCHC yang menurun. Red cell distribution yang menurun.
2. FEP meningkat
3. Feritin serum menurun
4. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST <16%
5. Respon terhadap pemberian preparat besi
a. Retikusitosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian besi
b. Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dl/hari atau PCV meningkat
1%/hari
6. Sum-sum tulang
a. Tertundanya maturasi sitoplasma
b. Pada pewarnaan sum-sum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang
G. Diferensial Diagnosis
Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan gambaran anemia
hipokrom mikrositik lain. Keadaan yangsering memberikan gambaran klinis dan
laboratorium yang hampir sama dengan ADB adalah talasemia minor dan anemia karena
penyakit kronis. Keadaan lainnya adalah lead poisoning/keracunan timbal dan anemia
sideroblastik. Untuk membedakannya diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium.5
Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu cara
sederhana untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan melihat jumlahsel
darah merah yang meningkat meski sudah anemia ringan dan mikrositosis, sebaliknya
pada ADB jumlah sel darah merah menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb dan MCV.
Cara mudah dapat diperoleh dengan cara membagi nilai MCV dengan jumlah eritrosit, bila
nilainya <13 menunjukkan talasemia minor sedangkan bila >13 merupakan ADB. Pada
talasemia minor didapatkan basophilic stippling, peningkatan kadar bilirubin plasma dan
peningkatan kadar HbA2.5
Gambaran morfologi darah tepi anemia karena penyakit kronis biasanya normokrom
normositik, tetapi bisa juga ditemukan hipokrom mikrositik. Terjadinya anemia pada
penyakit kronis disebabkan terganggunya mobilisasi besi dan makrofag oleh transferin.
Kadar Fe serum dan TIBC menurun meskipun cadangan besi normal atau meningkat
12

sehingga nilai saturasi transferin normal atau sedikit menurun, kadar FEP meningkat.
Pemeriksaan kadar reseptor transferin/transferin receptor (TfR) sangat berguna dalam
membedakan ADB dengan anemia karena penyakit kronis. Pada anemia karena penyakit
kronis kadar TfR normal karena pada inflamasi kadarnya tidak berpengaruh, sedangkan
pada ADB kadarnya menurun. Peningkatan rasio TfR/feritin sensitif dalam mendeteksi
ADB.5
Lead poisoning memberikan gambaran darah tepi yang serupa dengan ADB tetapi
didapatkan basophilic stippling kasar yang sangat jelas. Pada keduanya kadar FEP
meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa kadar lead dalam darah.5
Anemia sideroblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis
heme, bisa didapat atau herediter. Pada keadaan ini didapatkan gambaran hipokrom
mikrositik dengan peningkatan kadar RDW yang disebabkan populasi sel darah merah
yang dimorfik. Kadar Fe serum dan ST biasanya meningkat, pada pemeriksaan apus sumsum tulang didapatkan sel darah merah berinti yang mengandung granulasi besi(agregat
besi dalam mitokondria) yang disebut ringed sideroblast. Anemia ini umumnya terjadi
pada dewasa.5
Tabel 3. Diferensial Diagnosis Anemia Defisiensi Besi 2

Derajat anemia
MCV
MCH
Besi serum
TIBC
Saturasi
transferin
Besi sum-sum
tulang
Protoporfirin
eritrosit
Feritin serum
Elektrofoiesis
Hb

Anemia defisiensi
besi
Ringan - berat
Menurun
Menurun
Menurun <30
Meningkat >360
Menurun <15 %

Trait talassemia

Negatif

Anemia
akibat
penyakit kronik
Ringan
Menurun/N
Menurun/N
Menurun <50
Menurun <300
Menurun/N 10-20
%
Positif

Meningkat

Meningkat

Normal

Positif
dengan
ring sideroblast
Normal

Menurun <20g/l

Normal
200g/l
N

Meningkat
>50
g/l
Hb. A2 meningkat

Meningkat
>50g/l
N

H. Penatalaksanaan

13

20-

Ringan
Menurun
Menurun
Normal /
Normal/
Meningkat >20 %
Positif kuat

Anemia
sideroblastik
Ringan
Menurun/N
Mneurun/N
Normal/
Normal/
Meningkat >20%

Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap
anemia defisiensi besi adalah:2
1.

Terapi kausal : terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan cacing


tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus

dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.


2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy)
a. Terapi besi oral
Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah dan
aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas ferosus) merupakan
preparat pilihan pertama oleh kaarena paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran
adalah 3x200 mg. Setiap 200 mg sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental.
Pemberian sulfas ferosus 3x200mg mengakibatkan absorbsi besi 50 mg per hari
yang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali normal.
Preparat lain : ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous
succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping
hampir sama dengan sulfas ferosus. Terdapat juga bentuk sediaan enteric coated
yang dianggap memberikan efek samping lebih rendah, tetapi dapat mengurangi
absorbsi besi.
Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping
lebih sering dibandingkan dengan pemberiam setelah makan. Pada pasien yang
mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah
makan.
Efek samping utama besi peroral adalah gangguan gastrointestinal yang dijumpai
pada 15 sampai 20% yang sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat
berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi efek samping besi
diberikan saat makan atau dosis dikurangi menjadi 3x100 mg.
Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12
bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis
pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200 mg. Jika tidak diberikan dosis
pemeliharaan, anemia sering kambuh kembali.
Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C, tetapi
dapat meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak
mengandung besi.
b. Terapi Besi Parenteral

14

Terapi besi parenteral sangan efektif tetapi mempunyai resiko lebih besar dan
harganya lebih mahal. Oleh karena resiko ini maka besi parenterak hanya diberikan
ata indikasi tertentu. Indikasi pemberian besi parenteral yaitu :
1) Intoleransi terhadap pemberian besi oral
2) Kepatuhan terhadap obat yang rendah
3) Gangguan pencernaanseperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi
4) Penyerapan besi terganggu, misalnya pada gastrektomi
5) Kedaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi
oleh pemberian besi oral, seperti misalnya pada heredity hemorrhagic teleangiectasia
6) Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek
7) Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropietin pada anemia gagal
ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik
Preparat yang tersedia adalah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml),
Iron sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan
iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuscular
dalam atau intravena pelan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa nyeri
dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah
reaksi anafilaksis, meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis, sakit
kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop.
Terapi besi parenteral bertujuan mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi
sebesar 500 sampai 1000 mg. Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui rumus
dibawah ini :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000
mg
Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam beberapa kali pemberian.
c. Pengobatan Lain
1) Diet : sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang
berasal dari protein hewani
2) Vitamin C : vitamin C diberikan 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan absorbsi
besi
3) Transfusi darah : ABD jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian
transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah:
a) Adanya penyakit jantuk anemik dengan ancaman payah jantung
b) Anemia yang sangan simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang
sangat menyolok

15

c) Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada


kehamilan trimester akhir atau preoperasi
Jenis darah yang diberiksn adalah PRC (packed red cell) untuk mengurangi
bahaya overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian
furosemide intravena.
II.2. Anemia Defisiensi Asam Folat
A. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Anemia secara praktis ditunjukkan oleh
penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit. Kriteria anemia
ditentukan berdasarkan kadar hemoglobin, WHO menyebutkan bahwa kriteria anemia
untuk laki-laki dewasa <13 g/dl, wanita dewasa tidak hamil <12 g/dl dan wanita hamil
<11 g/dl.13
Anemia megaloblastik adalah anemia akibat gangguan sintesis DNA yang
ditandai dengan sel megaloblastik. Anemia megaloblastik dapat disebabkan oleh
defisiensi asam folat maupun vitamin B12. Sehingga anemia defisiensi vitamin B12 yaitu
anemia yang terjadi akibat gangguan sintesis DNA, ditandai dengan sel megaloblastik
dan disebabkan karena kekurangan vitamin B12.14
B. Epidemiologi
Data dari WHO tahun 2008 menunjukkan bahwa anemia akibat defisiensi asam
folat dan vitamin B12 merupakan salah satu masalah kesehatan dunia. Penurunan kadar
kedua vitamin tersebut ditemukan pada sebagian besar penduduk di berbagai negara di
dunia.
Penelitian di Prince of Wales Hospital, Hong Kong menunjukkan 81% dari 124
pasien memiliki kadar vitamin B12 <200 pg/ml. Prevalensi anemia defisiensi vitamin
B12 di AS (300 ribu- 3 juta penduduk) dan di Eropa sebanyak 1,6-10% penduduk.15
Anemia defisiensi vitamin B12 banyak terjadi pada usia lanjut dibandingkan
dengan penduduk usia muda. Penelitian oleh Madigan Army Medical Center
menunjukkan bahwa 15% orang dewasa diatas 65 tahun menunjukkan defisiensi vitamin
B12 setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium. Data dari Prince of Wales Hospital
juga menunjukkan bahwa 7,5-13% pasien geriyatri menderita anemia defisiensi vitamin
B12.14
C. Etiologi
16

1. Kurang asupan vitamin B12


Vitamin B12 hanya terdapat di dalam makanan hewani seperti daging, susu dan telur.
Vitamin B12 juga tidak dihasilkan dalam tubuh, sehingga kebutuhannya secara murni
didapatkan dari asupan makanan. Seorang vegetarian yang sama sekali tidak
mengkonsumsi protein hewani, beresiko mengalami anemia defisiensi vitamin B12.16
2. Malabsorbsi
a. Defisiensi asam lambung, pepsin, faktor intrinsik
- Anemia pernisiosa
Anemia pernisiosa merupakan penyakit autoimun, dimana sel parietal
lambung memproduksi autoantibodi yang menyebabkan sel-sel tersebut
atrofi. Sel parietal kehilangan fungsinya untuk menghasilkan faktor intrinsik
dan HCl. Autoantibodi dapat menghambat ikatan antara faktor intrinsik dan
vitamin B12, menghambat absorpsi kompleks vitamin B12-faktor intrinsik di
ileum, serta mengakibatkan ketidakmampuan mereabsorpsi vitamin B12
-

yang dihasilkan oleh kantung empedu.16


Post gastrectomi
Abnormalitas fungsional dan adanya kelainan faktor intrinsik konginetal
Achlorhydria
Penurunan kemampuan sel parietal untuk menghasilkan HCl seiring dengan
bertambahnya usia. Penurunan HCl mengakibatkan vitamin B12 tidak dapat

dilepaskan dari ikatan dengan protein makanan.16


b. Gangguan di intestinal
Kerusakan pada permukaan absorpsi
- Sindrom malabsorpsi
- Limfoma, sistemik schlerosis
- Reseksi ileum, Crhon disease
- Sprue topikal, sprue non tropikal, enteritis regional, reaksi intestinum,
neoplasma dan gangguan granulomatosa17
Infeksi bakteri dan parasit yang berkompetisi dengan kobalamin
Diphylobotrium latum, bakteri blind loop syndrome
c. Kerusakan pada pankreas
Enzim pankreas berfungsi sebagai pemutus ikatan antara kompleks kobalamin protein R, sehingga kerusakan pankreas dapat mengakibatkan kegagalan proses
tersebut.
3. Peningkatan kebutuhan
Kehamilan, hipertiroid, keganasan
4. Obat-obatan
a. Penghambat sintesis DNA
- Analog purin (6-tioguanin, azatioprin), analog pirimidin (5-fluorourasil)
- Antivirus (zidovudin)
b. p-aminosalisilat, kolkisin, neomisin

17

D. Patogenesis
Anemia defisiensi vitamin B12 merupakan salah satu jenis dari anemia
megaloblastik. Anemia megaloblastik ditandai dengan adanya sel megaloblast (prekursor
eritrosit) di dalam sumsum tulang akibat dari kekurangan vitamin B12 dan asam folat.
Kedua vitamin tersebut berperan penting dalam maturasi semua sel normal,
terutama sintesis DNA pada sel yang memilki aktivitas pembelahan sel yang cepat. Selsel hematopoiesis sangat peka terhadap perubahan kadar kedua vitamin tersebut, oleh
karena itu defisiensi salah satu atau kedua vitamin menyebabkan eritropoiesis terganggu
dan berakhir pada anemia.18
Vitamin B 12
Vitamin B12 (kobalamin) mempunyai struktur cincin kompleks (cincin corrin)
yang serupa dengan cincin porfirin, dimana pada bagian tengah cincin tersebut terdapat
ion koblat. Perbedaan vitamin B12 dengan vitamin dan koenzim lainnya adalah
strukturnya yang sangat kompleks. Hal ini juga menggambarkan banyaknya tahapan
biosintesis dengan melibatkan banyak enzim yang diekspresikan lebih dari tiga puluh
gen untuk sintesis lengkap secara de novo.

18

Gambar 3. Struktur Kimia Kobalamin


Vitamin B12 disintesis secara eksklusif oleh mikroorganisme, sehingga vitamin
ini tidak terdapat dalam tanaman, kecuali apabila tanaman tersebut terkontaminasi
vitamin B12 yang tersimpan dalam hati binatang. Sumber utama didapatkan dari
makanan protein hewani hasil sintesis bakteri di usus, ginjal dan hati. Vitamin B12
ditemukan dalam bentuk metilkobalamin, adenosilkobalamin, dan hidroksikobalamin.
Vitamin B12 tidak dapat disintesis dalam tubuh sehingga harus dipenuhi dari makanan.
Sumber utama vitamin B12 adalah daging, telur dan susu, dengan kebutuhan tiap hari 23 g.18

19

Gambar 4. Metabolisme Vitamin B12 dalam Tubuh


Vitamin B12 di dalam makanan ditemukan dalam bentuk koenzim
(deoksiadenosilkobalamin dan metilkobalamin) yang terikat oleh protein. Metabolisme
diawali ketika kobalamin yang berikatan dengan protein hewani masuk ke dalam gaster.
Enzim gaster yaitu pepsin dan HCl memutus ikatan antara kobalamin dan protein,
sehingga terbentuklah kobalamin bebas.19
Kobalamin selanjutnya berikatan dengan protein-R (haptocorin) suatu
glikoprotein yang dihasilkan oleh saliva dan sel-sel parietal gaster. Kompleks kobalaminprotein R selanjutnya meninggalkan gaster bersama-sama dengan faktor intriksik yang

20

dihasilkan oleh sel parietal di fundus dan kardiak gaster. Faktor intrinsik tersebut
memilki kemampuan berikatan dengan kobalamin yang lebih rendah.19
Di dalam duodenum, kompleks kobalamin-protein R dari gaster bercampur
dengan kompleks kobalamin-protein R yang berasal dari kantung empedu. Enzim
pankreas selanjutnya memutus ikatan antara kobalamin-protein R sehingga terbentuk
kobalamin bebas. Kobalamin selanjutnya berikatan dengan faktor intrinsik yang tidak
dapat dicerna oleh enzim proteolitik dan dapat melintas sampai ke ileum terminal. Ikatan
kobalamin dan faktor intrinsik kemudian diserap oleh reseptor- reseptor di vili-vili ileum
terminal.19
Kobalamin selanjutnya berikatan dengan protein transport yaitu transkobalamin
I,II dan III. Transkobalamin II memiliki peran paling penting karena dapat mengangkut
kobalamin ke seluruh sel tubuh melalui sistem porta. Proses selanjutnya adalah
pemutusan ikatan kobalamin dengan transkobalamin II oleh enzim lisosom dan
menghasilkan kobalamin bebas. Setelah diangkut dalam darah, kobalamin yang bebas
dilepas ke dalam sitosol sel sebagai hidroksikobalamin. Hidroksikobalamin ini bisa
diubah di dalam sitosol menjadi metilkobalamin atau memasuki mitokondria untuk
mengalami konversi menjadi 5-deoksiadenosilkobalamin.19
Deoksiadenosilkobalamin merupakan koenzim bagi konversi metilmalonil-CoA
menjadi suksinil-CoA. Peristiwa ini merupakan reaksi yang penting dalam lintasan
konversi propionat menjadi anggota siklus asam sitrat dan dengan demikian memiliki
makna yang penting dalam proses glukoneogenesis. Defisiensi vitamin B12
menyebabkan peningkatan jumlah metilmalonil-CoA yang selanjutnya didegradasi
membentuk methylmalonic acid (MMA). Beberapa penelitian membuktikan bahwa
peningkatan kadar MMA memyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin.19
Metilkobalamin merupakan koenzim dalam konversi gabungan homosistein
menjadi metionin dan N5-metiltetrahidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Dalam reaksi ini,
gugus metil yang terikat dengan kobalamin dipindahkan pada homosistein untuk
membentuk metionin. Kobalamin selanjutnya mengeluarkan gugus metil dari N5metiltetrahidrofolat untuk membentuk tetrahidrofolat. Pada reaksi ini simpanan metionin
akan dipertahankan dan tetrahidrofolat harus tersedia untuk ikut serta dalam sintesis
purin, pirimidin, serta asam nukleat.20

21

Gambar 5. Reaksi Kimia Kobalamin


Vitamin B12 dan asam folat saling berhubungan dalam menyebabkan anemia
megaloblastik. Kofaktor vitamin B12 (metilkobalamin) berperan dalam konversi
metiltetrahidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat merupakan bahan penting
untuk pembentukan deoksitimidin monofosfat (dTMP), suatu prekursor sintesis DNA.
Sedangkan pada metabolisme asam folat, serin berpindah pada tetrahidrofolat sehingga
terbentuk glisin dan N5,10 metilentetrahidrofolat. N5,10 metilentetrahidrofolat
menyediakan gugus metil untuk membentuk timidilat. Timidilat merupakan suatu
prekursor yang diperlukan untuk sintesis DNA dan pembentukan eritrosit.20
Defisiensi vitamin B12 dan asam folat dapat mengakibatkan anemia, oleh
karena terganggunya sintesis DNA yang menghalangi pembelahan sel dan pembentukan
nukleus pada eritrosit yang baru, ditandai dengan penumpukan sel megaloblast dalam
sumsum

tulang. Vitamin

B12 dibutuhkan

untuk melepas

folat

dari

gugus

metiltetrahidrofolat sehingga dapat kembali dalam lintasan tetrahidrofolat untuk


dikonversi menjadi N5,10 metilentetrahidrofolat.20

22

Gambar 6. Peran Kobalamin dan Asam Folat dalam Sintesis DNA


1. Serin atau format akan melepaskan gugus C1 ke dalam folat, yang selanjutnya gugus
tersebut digunakan oleh 10-formiltetrahidrofolat untuk membentuk purin. Purin
berperan dalam sintesis DNA.
2. Proses selanjutnya yaitu konversi dari 5,10 metilentetrahidrofolat menjadi
dihidrofolat yang melepaskan gugus C1. Gugus C1 tersebut kemudian digunakan
untuk proses konversi dari urasil (dUMP) menjadi timidil (dTMP). Proses tersebut
menghasilkan pirimidin yang juga berperan dalam sintesis DNA.
3. Kofaktor vitamin B12 (metionin sintase) berperan dalam siklus folat (siklus metil).
Siklus tersebut berfungsi untuk mengatur suply S-adenosilmetionil yang berperan
dalam metiltransferase untuk menghasilkan produk metil berupa lemak metil,
protein dasar myelin, DOPA dan DNA. Apabila terjadi gangguan pada siklus
tersebut maka produk metil yang dihasilkan akan berkurang.
4. Protein dasar myelin merupakan hasil reaksi siklus metil yang penting, karena
merupakan bahan baku pembentukan selubung myelin. Pada keadaan defisiensi
23

vitamin B12, siklus metil mengalami gangguan sehingga tidak terbentuk protein
tersebut. Hal itu menyebabkan terjadi demyelinisasi pada neuron-neuron, dan
berakhir pada neuropati (ataxia, paralisis, parastesia). Demyelinisasi dan neuropati
sering disebut sebagai sub-acute combined degeneration yang menyerang medula
spinalis dan saraf perifer.21
5. Pada hepar, siklus metil juga berfungsi untuk mendegradasi metionin. Metionin
merupakan asam amino yang esensial bagi tubuh. Melalui siklus metil tersebut,
metionin dipecah menjadi homosistein. Homosistein selanjutnya dapat didegradasi
menjadi sulfat dan pyruvat yang digunakan sebagai energi atau diubah kembali
menjadi metionin.
6. Anemia megaloblastik terjadi akibat defisiensi vitamin B12 dan asam folat. Proses
terjadinya penyakit ini dikenal dengan the methyl trap hypothesis.
a. Enzim metionin sintase dari vitamin B12 berperan untuk mengubah kofaktor
folat (5-metiltetrahidrofolat) menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat berperan
penting dalam sintesis DNA dan pembelahan sel. Defisiensi vitamin B12
mengakibatkan aktivitas dari enzim metionin sintase terganggu, sehingga folat
akan tetap dalam bentuk terikat (5-metiltetrahidrofolat) dan tidak dapat berubah
menjadi tetrahidrofolat. Hal ini mengakibatkan kegagalan sintesis DNA dan
pembelahan sel.
b. Efek pada sintesis DNA berupa kegagalan dalam reaksi biosintesis dan
pembelahan sel. Sel yang paling berpengaruh terhadap kegagalan tersebut
adalah jenis sel yang memiliki aktivitas pembelahan cepat.
-

Gangguan pada pembentukan eritrosit anemia


Gangguan pembelahan sumsum tulang trombositopenia dan leukopenia
Gangguan pada siklus metil mengakibatkan peningkatan jumlah
homosistein. Hal ini karena kegagalan dalam pengubahan kembali
homosistein menjadi metionin. Kadar homositein yang tinggi menjadi
faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler dan stroke.

E. Tanda dan gejala


1. Anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia yang dapat muncul pada setiap kasus anemia
setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7 g/dl). Sindrom anemia
ini terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, tinnitus, mata berkunang-kunang, kaki
24

dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang
mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan
dibawah kuku.22
2. Glossitis
Glossitis merupakan suatu kondisi peradangan yang terjadi pada lidah yang ditandai
dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga menghasilkan daerah
kemerahan yang mengkilat.22
3. Gangguan neurologi
Metionin sintase berperan dalam siklus folat (siklus metil). Siklus tersebut berfungsi
untuk mengatur suply S-adenosilmetionil yang berperan dalam metiltransferase
untuk menghasilkan produk metil berupa lemak metil, protein dasar myelin, DOPA
dan DNA. Protein dasar myelin merupakan hasil reaksi siklus metil yang penting,
karena merupakan bahan baku pembentukan selubung myelin. Pada keadaan
defisiensi vitamin B12, siklus metil mengalami gangguan sehingga tidak terbentuk
protein tersebut. Hal itu menyebabkan terjadi demyelinisasi pada neuron-neuron,
dan berakhir pada neuropati (ataxia, paralisis, parastesia). Demyelinisasi dan
neuropati sering disebut sebagai sub-acute combined degeneration yang menyerang
medula spinalis dan saraf perifer.23
Tanda dan gelaja yang dapat terlihat adalah sebagai berikut:
- Penurunan fungsi sensorik dan motorik (penurunan pergerakan otot dan refleks)
- Parestesia
- Paralisis
- Gangguan keseimbangan
- Demensia dan gangguan psikis
F. Penegakan Diagnosis
1. Pemeriksaan darah lengkap
a. Penurunan kadar hemoglobin
b. Penurunan kadar hematokrit
c. Penurunan kadar leukosit dan trombosit
d. Hitung eritrosit
Mean corpuscular volume (MCV) lebih dari 100 fl
Mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) normal
Mean corpuscular hemoglobin (MCH) meningkat
2. Gambaran darah tepi
a. Sel eritrosit
Sel darah merah memiliki ukuran yang besar dan bentuk oval (macroovalositosis). Sel dapat terlihat paling besar, tebal, dengan inti hiperkromatin. Sel
darah merah memiliki ukuran dan bentuk yang bervariasi (anisopoikilositosis).

25

Basofilik stippling : badan inklusi di sitoplasma berwarna biru kehitaman yang


merupakan endapan dari ribosom RNA

Gambar 7. Gambaran Darah Tepi pada Anemia Megaloblastik


Keterangan :
Panah pendek : sel makrositik (oval dan besar)
Panah panjang : hipersegmen neutrofril
b. Leukosit
Jumlah leukosit menurun (leukopenia) dan tampak neutrofil yang bersegmen
banyak (5-6 lobus). Ukuran neutrofil membesar (makropolimorfonuklear).
c. Trombosit
Terjadi penurunan jumlah trombosit (trombositopenia).
d. Retikulosit
Jumlah retikulosit bervariasi bisa normal atau menurun.
3. Pemeriksaan sumsum tulang
a. Sumsum tulang tampak hiperseluler (menandakan meningkatnya proliferasi
prekursor eritrosit) dengan eritrosit yang membesar (panah hijau). Lebih dominan
sel-sel immatur (proeritroblast & basofilik eritroblast) dibandingkan dengan
polikromatofilik dan ortokromatofilik karena proses eritropoiesis yang tidak
sempurna.

Gambar 8. Sel Megaloblast pada Anemia Megaloblastik


b. Eritroblas besar, nukleus bentuk bulat, inti kromatin tersebar dan menmadat,
kromatin juga terbuka seperti koma. Terjadi ketidaksesuaian antara nukleus dan
26

sitoplasma, hal ini terjadi karena penurunan sintesis DNA pada nukleus,
sedangkan sintesis RNA di sitoplasma berlangsung normal.

Gambar 9. Nukleus Sel Megaloblast pada Anemia Megaloblastik


c. Panah kuning (proeritroblast berukuran besar), panah hitam (pembelahan
prekursor eritrosit tidak sempurna), basofilik stippling (granula sitoplasma halus
yang tersebar merata) (panah hitam besar).

Gambar 10. Sel Megaloblast pada Anemia Megaloblastik


d. Prekursor eritrosit displasia (permukaan nukleus abnormal dan bentuk bizarre)
(panah hitam besar). Fragmen nukleus di Howel Jolly bodies (fragmen kromatin
bulat yang tinggal dalam sitoplasma eritrosit dewasa yang diakibatkan
pembelahan abnormal dari eritroblas) (panah kuning panjang)

Gambar 11. Sel Megaloblast pada Anemia Megaloblastik


4. Pemeriksaan biokimia
a. Pemeriksaan kadar kobalamin dalam serum
- Normal : 300-900 pg/ml
- Defisiensi : <200 mg/ml
b. Pemeriksaan metil malonic acid (MMA)
27

Peningkatan kadar MMA (>500 nmol/L) menunjukkan penurunan aktivitas


metilmalonil Coa-A mutase
c. Pemeriksaan kadar homosistein
Peningkatan homosistein >14 mol/L
d. Peningkatan bilirubin tak terkonjugasi dan laktat dehidrogenase akibat
destruksi eritroblast dalam sumsum tulang
5. Pemeriksaan untuk mengetahui etiologi defisiensi vitamin B12
Pemeriksaan dilakukan pada pasien dengan asupan vitamin B12 yang cukup, namun
mengalami tanda-tanda defisiensi vitamin B12.
Anti faktor intrinsik dan antibodi sel parietal anemia pernisiosa
Peningkatan gastrin dan penurunan pepsinogen dalam serum gastritis atrofi

kronik
Endoskopi
Tes Schilling
Metode yang dipakai adalah dengan memberikan vitamin B12 (0,5 g) secara
oral setelah puasa semalaman, kemudian 2 jam setelah itu dosis tinggi yaitu
1000 g diberikan secara parenteral. Apabila terdapat gangguan pengeluaran
faktor intrinsik dan malabsorpsi vitamin B12, sebanyak 7% dari dosis vitamin
yang diberikan akan didapatkan pada urin penderita.

ANEMIA

Hapusan darah tepi dan indeks eritrosit


(MCV, MCH, MCHC)

G. Alur Penegakan Diagnosis


MCV , MCH , MCHC

MCV (N), MCH (N), MCHC (N)


MCV , MCH , MCHC

28
Anemia normositik normokromik
Anemia mikrositik hipokromik
Anemia makrositik

Retikulosit

Meningkat

Menurun atau normal

Sumsum tulang

wayat perdarahan akut


emia pasca perdarahan akut
emia def B12 dan asam folat dlm terapi
megaloblastik

Non megaloblastik

Anemia hipotiroidisme

Gambar 12. Alur Penegakan Diagnosis Anemia Sindrom mielodisplastik


H. Penatalaksanaan
Vit V12 rendah
Asam folat rendah
1. Terapi
etiologi
Anemia
def vit B12 Anemia def asam folat
Berkaitan dengan penyakit dasar yang melatarbelakangi defisiensi vitamin B12
Anemia penyakit kronik
2. Terapi pengganti
Penyebab tersering defisiensi vitamin B12 adalah malabsorpsi, oleh karena itu terapi
lebih diutamakan parenteral (im).
a. Vitamin B12 intramuskular
Dapat menggunakan injeksi sianokobalamin atau hidrokobalamin. Dosis yang
diberikan yaitu 100-1000 g. Pasien dengan defisiensi vitamin B12 berat dapat
diberikan injeksi 1000 g/hari selama 1-2 minggu, dilanjutkan injeksi per
minggu (selama 4 minggu) dan per bulan sesuai dengan perbaikan kondisi.
b. Vitamin B12 per oral
Terapi oral dengan kristalin B12 2 mg/hari . Penelitian membuktikan bahwa
terapi per oral mempunyai manfaat yang sama dengan pengobatan per
intramuskuler.
3. Respon terapi
29

Respon terapi memuaskan dan membaik segera setelah pemberian terapi. Morfologi
sumsum tulang kembali normal dalam waktu beberapa jam setelah terapi dimulai.
Retikulositosis mulai pada hari keempat sampai kelima, mencapai puncak pada hari
ketujuh.
4. Indikasi transfusi darah
a. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hemoglobin
(Hb) <7 g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien
asimptomatik dan/atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas
kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima.
b. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila
ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan
laboratorium.
c. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb 10 g/dl, kecuali bila ada indikasi
tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transport oksigen
lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung
iskemik berat).
d. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb 11
g/dL; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dL. Jika
terdapat penyakit jantung atau paru atau yang sedang membutuhkan
suplementasi oksigen batas untuk memberi transfusi adalah Hb 13 g/dL.
I. Komplikasi
Komplikasi umum anemia meliputi gagal jantung, parestesia dan kejang. Pada setiap
tingkat anemia, pasien dengan penyakit jantung cenderung lebih besar kemungkinannya
mengalami gagal jantung kongestif daripada seseorang yang tidak mempunyai penyakit
jantung. Komplikasi dapat terjadi sehubungan dengan jenis anemia tertentu.22
J. Prognosis
Prognosis pada anemia tergantung pada penyebab, tingkat keparahan, dan progresifitas
anemia tersebut.

30

BAB III
KESIMPULAN
1. Anemia merupakan suatu keadaan yang menggambarkan kadar hemoglobin atau
jumlah eritrosit dalam darah kurang dari nilai standar (normal).
2. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang
pada akhirnya menyebabkan pembentukan hemoglobin berkurang.
3. Anemia defisiensi vitamin B12 yaitu anemia yang terjadi akibat gangguan sintesis
DNA, ditandai dengan sel megaloblastik dan disebabkan karena kekurangan
vitamin B12.
4. Etiologi anemia paling sering adalah malabsorpsi.
5. Tanda dan gejala pada anemia adalah sindrom anemia, glositis, neuropati dan pada
beberapa kondisi dapat menjadikan penderita anemia menderita pica.
6. Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, laboratorium
darah lengkap, gambaran darah tepi dan biokimia darah.
7. Penatalaksanaan terdiri dari terapi etiologi, terapi pengganti berupa injeksi dan
peroral.

31

DAFTAR PUSTAKA
1. Lubis, anindita dia. Anemia defisiensi besi. 2013. Available from::
http://www.ikaapda.com/resources/HOM/Reading/Anemia-Def-Besi.pdf
2. Bakta, I Made., Suega, Ketut., Dharmayuda, Tjokorda Gde. Anemia Defisinesi Besi.
Dalam : Sudoyo, Ari W., Setiyohadi, Bambang., Alwi, Idrus., Simadibrata, Marcellus.
Editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.2010
3. Anemia hipokromik mikrositer dengan gangguan metabolisme besi. Dalam : Bakta, Prof
I Made. Hematologi ringkasan klinis. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC
4. Anemia mikrositik dan talasemia. Dalam : Bain, Barbara Jane. Hematologi kurikulum
inti. Editor. Jakarta : Penerbit kedokteran EGC. 2014
5. Raspati, hary., Reniarti, Lelani., Susanah, Susi. Anemia defisiensi besi. Dalam :
Parmono, H Bambang., sutaryo.,Ugerasena IDG., Windiasturi, Endang., Abdulsalam,
Maria. Buku ajar hemato;ogo-onkologi anak. Cetakan ketiga. Jakarta : Badan penerbit
IDAI. 2010
6. Bunn, H Franklin. Patofisiologi anemia. Dalam : Asdie, Prof dr Ahmad H. Editor.
Harisson prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Volume 4. Jakarta : Penerbit buku
kedokteran EGC. 2000
7. Anemia hipokrom dan penimbunan besi. Dalam : Hoffbrand, AV., Pettit, JE., Moss, PAH.
Kapita selekta hematologi. Ediai 4. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC. 2002
8. Anemia hipokrom. Dalam : Hoffband, AV., Moss, PAH. Kapita selekta hematologi. Edisi
6. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC. 2013
9. Wijaya, Yoppy. Anemia defisiensi besi. 2007. Kediri : Fakultas kedokteran universitas
wijaya kusuma surabaya
10. Provan,
Drew.
Iron
deficiency
anemia.
Available
from::
https://www.blackwellpublishing.com/content/BPL_Images/Content_store/Sample_chapt
er/9781405153539/9781405153539_4_001.pdf
11. Hagopian, L. P; Rooker, G. W; Rolider, N. U. Identifying Empirically Supported
Treatments for Pica in Individuals with Intellectual Disabilities. Res Dev Disabil. NovDec 2011;32(6):2114-20.
12. Abdulsalam, Maria., Daniel, Albert. 2002. Diagnosis, pengobatan dan pencegahan
anemia defisiensi besi. Jakarta: Sari Pediatri
13. Butensky, E., Paul, H., Bertram, L. 2008. Nutritional Anemia. Nutrition in Pediatrics.
Canada: Hemiltan, Ontario. Edisi 4
14. Stabler, S. 2013. Vitamin b12 deficiency. The New England Journal of Medicine.
368:149-160
15. Solomon, L., 2006. Disorders of cobalamin (Vitamin B12) metabolism: Emerging
concepts in pathophysiology, diagnosis and treatment. Blood Reviews.
16. Aslinia, F. 2009. Megaloblastic anemia and other causes of macrositosis. Clinical
Medicine and Research.4:236-241
17. Andres, E., Loukili., Esther, N. 2004. Vitamin B12 deficiency in elderly patients.
Canadian Medical Association or its licencors. 3:171
18. Mclean E, Allen L, Neumann C.2007. Low plasma vitamin B-12 in Kenyan school
children is highly prevalent and improved by supplemental animal source foods. J Nutr .
137:67682.
19. Stabler S, Allen R. 2005. Vitamin B12 deficiency as a worldwide problem. Annu Rev
Nutr. 24:299326.
32

20. Lewis SM, Bain BJ, Bates I.2006. Dacie and Lewis Practical Haematology.9th ed.
Toronto.
21. Price, Sylvia.A., Wilson, L. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.
22. Solomon LR. 2005. Cobalamin-responsive disorders in the ambulatory care setting:
unreliability of cobalamin, methylmalonic acid, and homocysteine testing. Blood.
105(3):978-985.
23. Carmel R. 2000. Reassessment of the relative prevalences of antibodies to gastric parietal
cell and to intrinsic factor in patients with pernicious anaemia: influence of patient age
and race. Clin Exp Immunol. 89(1):74-77.

33

Anda mungkin juga menyukai