Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di
klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama
masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan
penyebab

debilitas

kronik

yang

memiliki

dampak

besar

terhadap

kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik.1


Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk mengangkut oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan atau organ. Kriteria anemia menurut WHO
berdasarkan kadar hemoglobin, yaitu <13 gr/dl untuk laki-laki, <12 gr/dl
untuk perempuan tidak hamil dan <11 gr/dl untuk wanita hamil. 2 Anemia
diklasifikasikan berdasarkan etiologi diantaranya adalah karena gangguan
pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, perdarahan, hemolitik, dan
penyebab yang tidak diketahui.2
Prevalensi anemia tersebar di berbagai negara dan merupakan salah
satu masalah kesehatan dunia. World Health Organization memperkirakan
sekitar 40% penduduk dunia menderita anemia. Prevalensi tertinggi anemia
yaitu pada ibu hamil dan lansia (50%), bayi dan anak 1-2 tahun (48%), anak
usia sekolah (40%), dan anak pra sekolah (25%). Diperkirakan lebih dari 30%
jumlah penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia dan sebagian
besar tinggal di daerah tropik. Di Indonesia, prevalensi tertinggi anemia
diderita oleh perempuan hamil yaitu sekitar 50-70%.1
Penyebab langsung terjadinya anemia beraneka ragam antara lain:
defisiensi asupan gizi dari makanan (zat besi, asam folat, protein, vitamin C,
ribovlavin, vitamin A, seng dan vitamin B12), konsumsi zat-zat penghambat
penyerapan besi, penyakit infeksi, malabsorpsi, perdarahan dan peningkatan
kebutuhan.2 Zat gizi seperti protein, besi, asam folat dan vitamin B12
diperlukan dalam pembentukan sel darah merah. Pembentukan sel darah
merah akan terganggu apabila zat gizi yang diperlukan tidak mencukupi.
Asam folat dan vitamin B12 diperlukan dalam pembentukan sel
darah merah. Asam folat dan vitamin B12 penting dalam pematangan akhir
sel darah merah. Keduanya penting untuk sintesis DNA karena masing1

masing vitamin dengan cara yang berbeda dibutuhkan untuk pembentukan


timidin trifosfat, yaitu salah satu zat pembangun esensial DNA. Kekurangan
vitamin B12 atau asam folat dapat menyebabkan abnormalitas dan
pengurangan DNA yang selanjutnya berakibat pada kegagalan pematangan
inti dan pembelahan sel. Vitamin B12 diperlukan untuk mengubah folat
menjadi bentuk aktif dan dalam fungsi normal metabolisme semua sel,
terutama sel-sel saluran cerna, sumsum tulang, dan jaringan saraf.3
Beberapa penelitian membuktikan bahwa vitamin B12 berperan
penting dalam kejadian anemia. Oleh karena itu, pada referat ini akan dibahas
lebih jauh tentang anemia yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B12.
B. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini antara lain untuk mengetahui definisi,
etiologi, patologi, patogenesis, gambaran klinis, diagnosis, diagnosis banding,
terapi dan prognosis anemia terutama anemia defisiensi vitamin B12.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah
massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Anemia secara praktis
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung
eritrosit. Kriteria anemia ditentukan berdasarkan kadar hemoglobin, WHO
menyebutkan bahwa kriteria anemia untuk laki-laki dewasa <13 g/dl, wanita
dewasa tidak hamil <12 g/dl dan wanita hamil <11 g/dl.1
Anemia megaloblastik adalah anemia akibat gangguan sintesis DNA
yang ditandai dengan sel megaloblastik. Anemia megaloblastik dapat
disebabkan oleh defisiensi asam folat maupun vitamin B12. Sehingga anemia
defisiensi vitamin B12 yaitu anemia yang terjadi akibat gangguan sintesis
DNA, ditandai dengan sel megaloblastik dan disebabkan karena kekurangan
vitamin B12.2
B. Epidemiologi
Data dari WHO tahun 2008 menunjukkan bahwa anemia akibat
defisiensi asam folat dan vitamin B12 merupakan salah satu masalah
kesehatan dunia. Penurunan kadar kedua vitamin tersebut ditemukan pada
sebagian besar penduduk di berbagai negara di dunia.
Penelitian di Prince of Wales Hospital, Hong Kong menunjukkan
81% dari 124 pasien memiliki kadar vitamin B12 <200 pg/ml. Prevalensi
anemia defisiensi vitamin B12 di AS (300 ribu- 3 juta penduduk) dan di
Eropa sebanyak 1,6-10% penduduk.1
Anemia defisiensi vitamin B12 banyak terjadi pada usia lanjut
dibandingkan dengan penduduk usia muda. Penelitian oleh Madigan Army
Medical Center menunjukkan bahwa 15% orang dewasa diatas 65 tahun
menunjukkan defisiensi vitamin B12 setelah dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Data dari Prince of Wales Hospital juga menunjukkan bahwa
7,5-13% pasien geriyatri menderita anemia defisiensi vitamin B12.2
C. Etiologi
1. Kurang asupan vitamin B12

Vitamin B12 hanya terdapat di dalam makanan hewani seperti daging,


susu dan telur. Vitamin B12 juga tidak dihasilkan dalam tubuh, sehingga
kebutuhannya secara murni didapatkan dari asupan makanan. Seorang
vegetarian yang sama sekali tidak mengkonsumsi protein hewani,
beresiko mengalami anemia defisiensi vitamin B12.4
2. Malabsorbsi
a. Defisiensi asam lambung, pepsin, faktor intrinsik
- Anemia pernisiosa
Anemia pernisiosa merupakan penyakit autoimun, dimana sel
parietal lambung memproduksi autoantibodi yang menyebabkan
sel-sel tersebut atrofi. Sel parietal kehilangan fungsinya untuk
menghasilkan faktor intrinsik dan HCl. Autoantibodi dapat
menghambat ikatan antara faktor intrinsik dan vitamin B12,
menghambat absorpsi kompleks vitamin B12-faktor intrinsik di
ileum, serta mengakibatkan ketidakmampuan mereabsorpsi
-

vitamin B12 yang dihasilkan oleh kantung empedu.4


Post gastrectomi
Abnormalitas fungsional dan adanya kelainan faktor intrinsik
konginetal
Achlorhydria
Penurunan kemampuan sel parietal untuk menghasilkan HCl
seiring

dengan

bertambahnya

usia.

Penurunan

HCl

mengakibatkan vitamin B12 tidak dapat dilepaskan dari ikatan


dengan protein makanan.4

b. Gangguan di intestinal
Kerusakan pada permukaan absorpsi
- Sindrom malabsorpsi
- Limfoma, sistemik schlerosis
- Reseksi ileum, Crhon disease
- Sprue topikal, sprue non tropikal, enteritis regional, reaksi
intestinum, neoplasma dan gangguan granulomatosa5
Infeksi bakteri dan parasit yang berkompetisi dengan kobalamin
Diphylobotrium latum, bakteri blind loop syndrome
c. Kerusakan pada pankreas

Enzim pankreas berfungsi sebagai pemutus ikatan antara kompleks


kobalamin - protein R, sehingga kerusakan pankreas dapat
mengakibatkan kegagalan proses tersebut.
3. Peningkatan kebutuhan
Kehamilan, hipertiroid, keganasan
4. Obat-obatan
a. Penghambat sintesis DNA
- Analog purin (6-tioguanin, azatioprin), analog pirimidin (5fluorourasil)
- Antivirus (zidovudin)
b. p-aminosalisilat, kolkisin, neomisin
D. Patogenesis
Anemia defisiensi vitamin B12 merupakan salah satu jenis dari
anemia megaloblastik. Anemia megaloblastik ditandai dengan adanya sel
megaloblast (prekursor eritrosit) di dalam sumsum tulang akibat dari
kekurangan vitamin B12 dan asam folat.
Kedua vitamin tersebut berperan penting dalam maturasi semua sel
normal, terutama sintesis DNA pada sel yang memilki aktivitas pembelahan
sel yang cepat. Sel-sel hematopoiesis sangat peka terhadap perubahan kadar
kedua vitamin tersebut, oleh karena itu defisiensi salah satu atau kedua
vitamin menyebabkan eritropoiesis terganggu dan berakhir pada anemia.6
Vitamin B 12
Vitamin B12 (kobalamin) mempunyai struktur cincin kompleks
(cincin corrin) yang serupa dengan cincin porfirin, dimana pada bagian
tengah cincin tersebut terdapat ion koblat. Perbedaan vitamin B12 dengan
vitamin dan koenzim lainnya adalah strukturnya yang sangat kompleks. Hal
ini juga menggambarkan banyaknya tahapan biosintesis dengan melibatkan
banyak enzim yang diekspresikan lebih dari tiga puluh gen untuk sintesis
lengkap secara de novo.

Gambar 1. Struktur Kimia Kobalamin


Vitamin B12 disintesis secara eksklusif oleh mikroorganisme,
sehingga vitamin ini tidak terdapat dalam tanaman, kecuali apabila tanaman
tersebut terkontaminasi vitamin B12 yang tersimpan dalam hati binatang.
Sumber utama didapatkan dari makanan protein hewani hasil sintesis bakteri
di usus, ginjal dan hati. Vitamin B12 ditemukan dalam bentuk
metilkobalamin, adenosilkobalamin, dan hidroksikobalamin. Vitamin B12
tidak dapat disintesis dalam tubuh sehingga harus dipenuhi dari makanan.
Sumber utama vitamin B12 adalah daging, telur dan susu, dengan kebutuhan
tiap hari 2-3 g.6

Gambar 2. Metabolisme Vitamin B12 dalam Tubuh


Vitamin B12 di dalam makanan ditemukan dalam bentuk koenzim
(deoksiadenosilkobalamin dan metilkobalamin) yang terikat oleh protein.
Metabolisme diawali ketika kobalamin yang berikatan dengan protein hewani
masuk ke dalam gaster. Enzim gaster yaitu pepsin dan HCl memutus ikatan
antara kobalamin dan protein, sehingga terbentuklah kobalamin bebas.7
Kobalamin selanjutnya berikatan dengan protein-R (haptocorin)
suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh saliva dan sel-sel parietal gaster.
Kompleks kobalamin-protein R selanjutnya meninggalkan gaster bersama-

sama dengan faktor intriksik yang dihasilkan oleh sel parietal di fundus dan
kardiak gaster. Faktor intrinsik tersebut memilki kemampuan berikatan
dengan kobalamin yang lebih rendah.7
Di dalam duodenum, kompleks kobalamin-protein R dari gaster
bercampur dengan kompleks kobalamin-protein R yang berasal dari kantung
empedu. Enzim pankreas selanjutnya memutus ikatan antara kobalaminprotein R sehingga terbentuk kobalamin bebas. Kobalamin selanjutnya
berikatan dengan faktor intrinsik yang tidak dapat dicerna oleh enzim
proteolitik dan dapat melintas sampai ke ileum terminal. Ikatan kobalamin
dan faktor intrinsik kemudian diserap oleh reseptor- reseptor di vili-vili ileum
terminal.7
Kobalamin selanjutnya berikatan dengan protein transport yaitu
transkobalamin I,II dan III. Transkobalamin II memiliki peran paling penting
karena dapat mengangkut kobalamin ke seluruh sel tubuh melalui sistem
porta. Proses selanjutnya adalah pemutusan ikatan kobalamin dengan
transkobalamin II oleh enzim lisosom dan menghasilkan kobalamin bebas.
Setelah diangkut dalam darah, kobalamin yang bebas dilepas ke dalam sitosol
sel sebagai hidroksikobalamin. Hidroksikobalamin ini bisa diubah di dalam
sitosol menjadi metilkobalamin atau memasuki mitokondria untuk mengalami
konversi menjadi 5-deoksiadenosilkobalamin.7
Deoksiadenosilkobalamin merupakan

koenzim

bagi

konversi

metilmalonil-CoA menjadi suksinil-CoA. Peristiwa ini merupakan reaksi


yang penting dalam lintasan konversi propionat menjadi anggota siklus asam
sitrat dan dengan demikian memiliki makna yang penting dalam proses
glukoneogenesis. Defisiensi vitamin B12 menyebabkan peningkatan jumlah
metilmalonil-CoA yang selanjutnya didegradasi membentuk methylmalonic
acid (MMA). Beberapa penelitian membuktikan bahwa peningkatan kadar
MMA memyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin.7
Metilkobalamin merupakan koenzim dalam konversi gabungan
homosistein

menjadi

metionin

dan

N5-metiltetrahidrofolat

menjadi

tetrahidrofolat. Dalam reaksi ini, gugus metil yang terikat dengan kobalamin
dipindahkan pada homosistein untuk membentuk metionin. Kobalamin
selanjutnya mengeluarkan gugus metil dari N5-metiltetrahidrofolat untuk
membentuk tetrahidrofolat. Pada reaksi ini simpanan metionin akan
8

dipertahankan dan tetrahidrofolat harus tersedia untuk ikut serta dalam


sintesis purin, pirimidin, serta asam nukleat.8

Gambar 3. Reaksi Kimia Kobalamin


Vitamin

B12

dan

asam

folat

saling

berhubungan

dalam

menyebabkan anemia megaloblastik. Kofaktor vitamin B12 (metilkobalamin)


berperan dalam konversi metiltetrahidrofolat menjadi tetrahidrofolat.
Tetrahidrofolat merupakan bahan penting untuk pembentukan deoksitimidin
monofosfat (dTMP), suatu prekursor sintesis DNA. Sedangkan pada
metabolisme asam folat, serin berpindah pada tetrahidrofolat sehingga
terbentuk

glisin

dan

N5,10

metilentetrahidrofolat.

N5,10

metilentetrahidrofolat menyediakan gugus metil untuk membentuk timidilat.


Timidilat merupakan suatu prekursor yang diperlukan untuk sintesis DNA
dan pembentukan eritrosit.8
Defisiensi vitamin B12 dan asam folat dapat mengakibatkan anemia,
oleh karena terganggunya sintesis DNA yang menghalangi pembelahan sel

dan pembentukan nukleus pada eritrosit yang baru, ditandai dengan


penumpukan sel megaloblast dalam sumsum tulang. Vitamin B12 dibutuhkan
untuk melepas folat dari gugus metiltetrahidrofolat sehingga dapat kembali
dalam

lintasan

tetrahidrofolat

untuk

dikonversi

menjadi

N5,10

metilentetrahidrofolat.8

Gambar 4. Peran Kobalamin dan Asam Folat dalam Sintesis DNA


1. Serin atau format akan melepaskan gugus C1 ke dalam folat, yang
selanjutnya gugus tersebut digunakan oleh 10-formiltetrahidrofolat untuk
membentuk purin. Purin berperan dalam sintesis DNA.
2. Proses selanjutnya yaitu konversi dari 5,10 metilentetrahidrofolat
menjadi dihidrofolat yang melepaskan gugus C1. Gugus C1 tersebut
kemudian digunakan untuk proses konversi dari urasil (dUMP) menjadi
timidil (dTMP). Proses tersebut menghasilkan pirimidin yang juga
berperan dalam sintesis DNA.
10

3. Kofaktor vitamin B12 (metionin sintase) berperan dalam siklus folat


(siklus metil). Siklus tersebut berfungsi untuk mengatur suply Sadenosilmetionil

yang

berperan

dalam

metiltransferase

untuk

menghasilkan produk metil berupa lemak metil, protein dasar myelin,


DOPA dan DNA. Apabila terjadi gangguan pada siklus tersebut maka
produk metil yang dihasilkan akan berkurang.
4. Protein dasar myelin merupakan hasil reaksi siklus metil yang penting,
karena merupakan bahan baku pembentukan selubung myelin. Pada
keadaan defisiensi vitamin B12, siklus metil mengalami gangguan
sehingga tidak terbentuk protein tersebut. Hal itu menyebabkan terjadi
demyelinisasi pada neuron-neuron, dan berakhir pada neuropati (ataxia,
paralisis, parastesia). Demyelinisasi dan neuropati sering disebut sebagai
sub-acute combined degeneration yang menyerang medula spinalis dan
saraf perifer.9
5. Pada hepar, siklus metil juga berfungsi untuk mendegradasi metionin.
Metionin merupakan asam amino yang esensial bagi tubuh. Melalui
siklus

metil

tersebut,

metionin

dipecah

menjadi

homosistein.

Homosistein selanjutnya dapat didegradasi menjadi sulfat dan pyruvat


yang digunakan sebagai energi atau diubah kembali menjadi metionin.
6. Anemia megaloblastik terjadi akibat defisiensi vitamin B12 dan asam
folat. Proses terjadinya penyakit ini dikenal dengan the methyl trap
hypothesis.
a. Enzim metionin sintase dari vitamin B12 berperan untuk mengubah
kofaktor

folat

Tetrahidrofolat

(5-metiltetrahidrofolat)
berperan

penting

menjadi

dalam

tetrahidrofolat.

sintesis

DNA

dan

pembelahan sel. Defisiensi vitamin B12 mengakibatkan aktivitas


dari enzim metionin sintase terganggu, sehingga folat akan tetap
dalam bentuk terikat (5-metiltetrahidrofolat) dan tidak dapat berubah
menjadi tetrahidrofolat. Hal ini mengakibatkan kegagalan sintesis
DNA dan pembelahan sel.
b. Efek pada sintesis DNA berupa kegagalan dalam reaksi biosintesis
dan pembelahan sel. Sel yang paling berpengaruh terhadap
kegagalan tersebut adalah jenis sel yang memiliki aktivitas
pembelahan cepat.

11

Gangguan pada pembentukan eritrosit anemia


Gangguan pembelahan sumsum tulang trombositopenia dan

leukopenia
Gangguan pada siklus metil mengakibatkan peningkatan jumlah
homosistein. Hal ini karena kegagalan dalam pengubahan
kembali homosistein menjadi metionin. Kadar homositein yang
tinggi menjadi faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler
dan stroke.

E. Tanda dan gejala


1. Anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia yang dapat muncul pada setiap
kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu
(Hb<7 g/dl). Sindrom anemia ini terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah,
tinnitus, mata berkunang-kunang, kaki dingin, sesak nafas dan dispepsia.
Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada
konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan dibawah kuku.10
2. Glossitis
Glossitis merupakan suatu kondisi peradangan yang terjadi pada lidah
yang ditandai dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga
menghasilkan daerah kemerahan yang mengkilat.10
3. Gangguan neurologi
Metionin sintase berperan dalam siklus folat (siklus metil). Siklus
tersebut berfungsi untuk mengatur suply S-adenosilmetionil yang
berperan dalam metiltransferase untuk menghasilkan produk metil berupa
lemak metil, protein dasar myelin, DOPA dan DNA. Protein dasar myelin
merupakan hasil reaksi siklus metil yang penting, karena merupakan
bahan baku pembentukan selubung myelin. Pada keadaan defisiensi
vitamin B12, siklus metil mengalami gangguan sehingga tidak terbentuk
protein tersebut. Hal itu menyebabkan terjadi demyelinisasi pada neuronneuron, dan berakhir pada neuropati (ataxia, paralisis, parastesia).
Demyelinisasi dan neuropati sering disebut sebagai sub-acute combined
degeneration yang menyerang medula spinalis dan saraf perifer.9
Tanda dan gelaja yang dapat terlihat adalah sebagai berikut:

12

Penurunan fungsi sensorik dan motorik (penurunan pergerakan otot

dan refleks)
Parestesia
Paralisis
Gangguan keseimbangan
Demensia dan gangguan psikis

F. Penegakan Diagnosis
1. Pemeriksaan darah lengkap
a. Penurunan kadar hemoglobin
b. Penurunan kadar hematokrit
c. Penurunan kadar leukosit dan trombosit
d. Hitung eritrosit
Mean corpuscular volume (MCV) lebih dari 100 fl
Mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) normal
Mean corpuscular hemoglobin (MCH) meningkat
2. Gambaran darah tepi
a. Sel eritrosit
Sel darah merah memiliki ukuran yang besar dan bentuk oval (macroovalositosis). Sel dapat terlihat paling besar, tebal, dengan inti
hiperkromatin. Sel darah merah memiliki ukuran dan bentuk yang
bervariasi (anisopoikilositosis). Basofilik stippling : badan inklusi di
sitoplasma berwarna biru kehitaman yang merupakan endapan dari
ribosom RNA

Gambar 5. Gambaran Darah Tepi pada Anemia Megaloblastik


Keterangan :
Panah pendek : sel makrositik (oval dan besar)
Panah panjang : hipersegmen neutrofril
b. Leukosit

13

Jumlah leukosit menurun (leukopenia) dan tampak neutrofil yang


bersegmen

banyak

(5-6

lobus).

Ukuran

neutrofil

membesar

(makropolimorfonuklear).
c. Trombosit
Terjadi penurunan jumlah trombosit (trombositopenia).
d. Retikulosit
Jumlah retikulosit bervariasi bisa normal atau menurun.
3. Pemeriksaan sumsum tulang
a. Sumsum tulang tampak hiperseluler (menandakan meningkatnya
proliferasi prekursor eritrosit) dengan eritrosit yang membesar (panah
hijau). Lebih dominan sel-sel immatur (proeritroblast & basofilik
eritroblast)

dibandingkan

dengan

polikromatofilik

dan

ortokromatofilik karena proses eritropoiesis yang tidak sempurna.

Gambar 6. Sel Megaloblast pada Anemia Megaloblastik


b. Eritroblas besar, nukleus bentuk bulat, inti kromatin tersebar dan
menmadat,

kromatin

juga

terbuka

seperti

koma.

Terjadi

ketidaksesuaian antara nukleus dan sitoplasma, hal ini terjadi karena


penurunan sintesis DNA pada nukleus, sedangkan sintesis RNA di
sitoplasma berlangsung normal.

Gambar 7. Nukleus Sel Megaloblast pada Anemia Megaloblastik

14

c. Panah kuning (proeritroblast berukuran besar), panah hitam


(pembelahan prekursor eritrosit tidak sempurna), basofilik stippling
(granula sitoplasma halus yang tersebar merata) (panah hitam besar).

Gambar 8. Sel Megaloblast pada Anemia Megaloblastik


d. Prekursor eritrosit displasia (permukaan nukleus abnormal dan bentuk
bizarre) (panah hitam besar). Fragmen nukleus di Howel Jolly bodies
(fragmen kromatin bulat yang tinggal dalam sitoplasma eritrosit
dewasa yang diakibatkan pembelahan abnormal dari eritroblas) (panah
kuning panjang)

Gambar 9. Sel Megaloblast pada Anemia Megaloblastik


4. Pemeriksaan biokimia
a. Pemeriksaan kadar kobalamin dalam serum
- Normal : 300-900 pg/ml
- Defisiensi : <200 mg/ml
b. Pemeriksaan metil malonic acid (MMA)
Peningkatan kadar MMA (>500 nmol/L) menunjukkan penurunan
aktivitas metilmalonil Coa-A mutase
c. Pemeriksaan kadar homosistein
Peningkatan homosistein >14 mol/L
d. Peningkatan bilirubin tak terkonjugasi dan laktat dehidrogenase
akibat destruksi eritroblast dalam sumsum tulang
5. Pemeriksaan untuk mengetahui etiologi defisiensi vitamin B12

15

Pemeriksaan dilakukan pada pasien dengan asupan vitamin B12 yang


cukup, namun mengalami tanda-tanda defisiensi vitamin B12.
Anti faktor intrinsik dan antibodi sel parietal anemia pernisiosa
Peningkatan gastrin dan penurunan pepsinogen dalam serum

gastritis atrofi kronik


Endoskopi
Tes Schilling
Metode yang dipakai adalah dengan memberikan vitamin B12 (0,5
g) secara oral setelah puasa semalaman, kemudian 2 jam setelah itu
dosis tinggi yaitu 1000 g diberikan secara parenteral. Apabila
terdapat gangguan pengeluaran faktor intrinsik dan malabsorpsi
vitamin B12, sebanyak 7% dari dosis vitamin yang diberikan akan
didapatkan pada urin penderita.

G. Alur Penegakan Diagnosis


ANEMIA

Hapusan darah tepi dan indeks eritrosit


(MCV, MCH, MCHC)

MCV , MCH , MCHC

MCV (N), MCH (N), MCHC (N)


MCV , MCH , MCHC

Anemia normositik normokromik


Anemia mikrositik hipokromik
Anemia makrositik

16

Anemia makrositik

Retikulosit

Meningkat

Menurun atau normal

Riwayat perdarahan akut


Anemia pasca perdarahan akut
Anemia def B12 dan asam folat dlm terapi
megaloblastik

Sumsum tulang

Non megaloblastik

Anemia hipotiroidisme

Gambar 10. Alur Penegakan Diagnosis Defisiensi Vitamin B12


Sindrom mielodisplastik
H. Penatalaksanaan
V12 rendah
Asam folat rendah
1. Vit
Terapi
etiologi
Anemia
vit B12penyakit
Anemiadasar
def asam
Berkaitandef
dengan
yang folat
melatarbelakangi defisiensi
Anemia penyakit kronik
vitamin B12
2. Terapi pengganti
Penyebab tersering defisiensi vitamin B12 adalah malabsorpsi, oleh

karena itu terapi lebih diutamakan parenteral (im).


a. Vitamin B12 intramuskular
Dapat menggunakan injeksi sianokobalamin atau hidrokobalamin.
Dosis yang diberikan yaitu 100-1000 g. Pasien dengan defisiensi
vitamin B12 berat dapat diberikan injeksi 1000 g/hari selama 1-2
minggu, dilanjutkan injeksi per minggu (selama 4 minggu) dan per
bulan sesuai dengan perbaikan kondisi.
b. Vitamin B12 per oral
Terapi oral dengan kristalin B12 2 mg/hari . Penelitian membuktikan
bahwa terapi per oral mempunyai manfaat yang sama dengan
pengobatan per intramuskuler.
3. Respon terapi
Respon terapi memuaskan dan membaik segera setelah pemberian terapi.
Morfologi sumsum tulang kembali normal dalam waktu beberapa jam
setelah terapi dimulai. Retikulositosis mulai pada hari keempat sampai
kelima, mencapai puncak pada hari ketujuh.
17

4. Indikasi transfusi darah


a. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar
Hemoglobin (Hb) <7 g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi
dapat ditunda jika pasien asimptomatik dan/atau penyakitnya
memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah
dapat diterima.
b. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl
apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara
klinis dan laboratorium.
c. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb 10 g/dl, kecuali bila ada
indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas
transport oksigen lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif
kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat).
d. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada
kadar Hb 11 g/dL; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan
hingga 7 g/dL. Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang
sedang membutuhkan suplementasi oksigen batas untuk memberi
transfusi adalah Hb 13 g/dL.

I. Komplikasi
Komplikasi umum anemia meliputi gagal jantung, parestesia dan kejang.
Pada setiap tingkat anemia, pasien dengan penyakit jantung cenderung lebih
besar kemungkinannya mengalami gagal jantung kongestif daripada
seseorang yang tidak mempunyai penyakit jantung. Komplikasi dapat terjadi
sehubungan dengan jenis anemia tertentu.12
J. Prognosis
Prognosis pada anemia tergantung pada penyebab, tingkat keparahan, dan
progresifitas anemia tersebut.

18

BAB III
KESIMPULAN
1. Anemia adalah penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer.
2. Anemia defisiensi besi yaitu anemia yang terjadi akibat gangguan
sintesis DNA, ditandai dengan sel megaloblastik dan disebabkan karena
kekurangan vitamin B12.
3. Etiologi anemia defisiensi vitamin b12 paling sering adalah
malabsorpsi.
4. Tanda dan gejala pada anemia defisiensi vitamin B12 adalah sindrom
anemia, glositis, dan neuropati.
5. Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik,
laboratorium darah lengkap, gambaran darah tepi dan biokimia darah.
6. Penatalaksanaan terdiri dari terapi etiologi, pengganti vitamin b12
berupa injeksi dan peroral.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Butensky, E., Paul, H., Bertram, L. 2008. Nutritional Anemia. Nutrition in
Pediatrics. Canada: Hemiltan, Ontario. Edisi 4
2. Stabler, S. 2013. Vitamin b12 deficiency. The New England Journal of
Medicine. 368:149-160
3. Solomon, L., 2006. Disorders of cobalamin (Vitamin B12) metabolism:
Emerging concepts in pathophysiology, diagnosis and treatment. Blood
Reviews.
4. Aslinia, F. 2009. Megaloblastic anemia and other causes of macrositosis.
Clinical Medicine and Research.4:236-241
5. Andres, E., Loukili., Esther, N. 2004. Vitamin B12 deficiency in elderly
patients. Canadian Medical Association or its licencors. 3:171
6. Mclean E, Allen L, Neumann C.2007. Low plasma vitamin B-12 in
Kenyan school children is highly prevalent and improved by supplemental
animal source foods. J Nutr .137:67682.
7. Stabler S, Allen R. 2005. Vitamin B12 deficiency as a worldwide problem.
Annu Rev Nutr. 24:299326.
8. Lewis SM, Bain BJ, Bates I.2006. Dacie and Lewis Practical
Haematology.9th ed. Toronto.
9. Price, Sylvia.A., Wilson, L. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.

20

10. Solomon LR. 2005. Cobalamin-responsive disorders in the ambulatory


care setting: unreliability of cobalamin, methylmalonic acid, and
homocysteine testing. Blood. 105(3):978-985.
11. Carmel R. 2000. Reassessment of the relative prevalences of antibodies to
gastric parietal cell and to intrinsic factor in patients with pernicious
anaemia: influence of patient age and race. Clin Exp Immunol. 89(1):7477.
12. Vidal-Alaball J. 2005. Oral vitamin B12 vs. intramuscular vitamin B12 for
vitamin B12 deficiency. Cochrane Database Syst Rev. (3):CD004655.

13. Stabler SP, Allen RH, Savage DG, Lindenbaum J. 2000. Clinical spectrum

and diagnosis of cobalamin deficiency. Blood. 76(5): 871-881.

21

Anda mungkin juga menyukai