Anda di halaman 1dari 5

Tujuan Pilkada Serentak Untuk Terciptanya Efektivitas dan

Efisiensi Anggaran
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arief Budiman, dalam Acara Rapat Koordinasi (Rakor)
Persiapan dan Pengelolaan Anggaran Pemilihan Serentak Tahun 2015 menjelaskan bahwa tujuan
dilaksanakannya pemilihan kepala daerah serentak supaya tercipta efektivitas dan efisiensi anggaran,
Rabu (8/4).
Tujuan dilaksanakannya pemilukada serentak adalah terciptanya efektivitas dan efisiensi. Kalau
pemilihan gubernur, bupati, walikota itu dilaksanakan bersamaan, itu tentu bisa menghemat anggaran,
tuturnya di hadapan tamu undangan rakor.
Poin penghematan anggaran muncul pada saat KPU membiayai honor petugas TPS. Ia menjelaskan, jika
misal pemilihan Gubernur Jawa Barat yang berbarengan dengan pemilihan Bupati atau Walikota,
pembiayaan atas petugas TPS hanya perlu dibayarkan satu kali termasuk biaya bimbingan teknis, biaya
sosialisasi, dan biaya-biaya lain untuk pembiayaan satu kali pemilihan.
Misal Pemilihan Gubernur Jawa Barat, berbarengan dengan 8 kabupaten/kota, hal-hal yang bisa
dihemat adalah, pembiayaan honorarium petugas, jadi petugas di TPS itu sekali kerja dia mengerjakan
dua hal, proses rekapitulasi pemilihan gubernur, proses pemungutan dan penghitungan suara bupati,
walikota. Honor mereka hanya satu kali saja, lanjut Arief.
Terkait dengan tahapan pemilihan yang melampaui tahun anggaran berjalan, Arief mengingatkan pihak
terkait yang hadir (Kemenpan RB, Kemendagri, Kemenkeu, Bapenas, LKPP, BPKP, BPK, serta Bawaslu)
untuk dapat memastikan ketersediaan anggaran yang dibutuhkan oleh KPU.
Perlu mendapat perhatian, mengingat jadwal tahapan pemilihan yang dilaksanakan melewati tahun
anggaran berjalan, perlu dijamin kesinambungan pendanaan kegiatan pemilihan yang dilaksanakan pada
tahun anggaran berikutnya. Karena dalam undang-undang disebutkan apabila tahapan selesai tahun
2016 maka anggaran pun juga harus disiapkan di 2015 dan 2016, pesannya.
Karena keterbatasan waktu yang dimiliki oleh penyelenggara pemilu, Komisioner KPU RI lainnya, Ida
Budhiati mengingatkan bahwa pihak terkait perlu mempersiapkan anggaran kepada daerah yang belum
siap.
Masih ada kurang lebih 30 daerah yg belum siap, ini perlu kita deteksi, apakah cukup
dengan imbauan kepada kepala daerah melalui Menteri Dalam Negeri, atau sudah diperlukan bantuan
APBN kepada daerah yang belum menyediakan anggaran. Mekanisme nya seperti apa, karena tinggal
menghitung hari saja (Penyelenggaraan Pilkada 2015), ujar Ida.
Ia tidak ingin KPU yang terkena imbas atas ketidakpastian aturan hukum dalam
mempertanggungjawabkan pengelolaan belanja pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota serentak 2015.
Jangan sampai nanti pemilu nya sudah sukses, terpilih kepala daerah, tetapi teman-teman kami di
daerah terkena tsunami anggaran untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan belanja pemilihan
kepala daerah wakil kepala daerah karena tidak jelas aturan hukumnya, ujarnya.

Atas persoalan tersebut, Indra Jaya, dari Direktorat Politik dan Komunikasi Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) mengimbau pihak terkait untuk memberikan bantuan dan solusi atas
persoalan yang dihadapi oleh KPU.
Kalau tidak mendapatkan jawaban atas sistem pendanaan yang tepat, kami khawatir KPU akan
mengalami kesulitan besar. Kami paham itu, dan ini juga harus dipahami oleh semua pihak. Karena
kekhususan KPU sebagai penyelenggara pemilu memang berbeda dengan lembaga-lembaga yang lain,
imbau Indra di Gedung KPU RI, Imam Bonjol No. 29, Jakarta.
Menurutnya bantuan tersebut perlu diberikan, mengingat krusialnya setiap tahapan pemilihan yang
diselenggarakan oleh KPU untuk memastikan transisi kepemimpinan berlangsung secara demokratis.
Ini krusial. Kalau pentahapan telat sehari saja itu akan berimplikasi luas, teman-teman KPU kita ini
mendapat beban yang kuar biasa, dan menurut hemat saya harus kita bantu. KPU ini sebagai lembaga
yang begitu penting dalam demokrasi kita. Secara substansial Bappenas bertanggung jawab. mari kita
cari solusi untuk menyelamatkan KPU dan demokrasi kedepan, pungkasnya.

PILKADA SERENTAK ANTARA DEMOKRASI SUBSTANSI DAN


DEMOKRASI PROSEDURAL

Pemilihan umum sebagai salah satu unsur penting demokrasi dalam usaha mewujudkan
pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, dari rakyat, dan diharapkan pemerintahan yang dipilih
mampu bekerja untuk rakyat, merupakan perwujudan keikutsertaan rakyat dalam aktivitas politik
sebagai subjek dan juga objek politik. Pemilu juga diharapkan sebagai wujud partisipasi rakyat
untuk memilih pemimpin politik, pemimpin lembaga negara baik eksekutif maupun legislatif
baik di tingkat nasional maupun daerah, merupakan representasi Hak Asasi rakyat dalam sistem
demokrasi. Menurut Robert Dahl, Pemilu merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu
pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilu menjadi suatu parameter dalam mengukur
demokratis atau tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sedehana
tidak lain adalah suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan kolektif tertinggi di dalam
sistem politik dipilih melalui Pemilu yang adil, jujur dan berkala.
Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan
yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD
NRI Tahun 1945 pada tahun 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, disepakati untuk
langsung dipilih oleh rakyat. Pilpres sebagai bagian dari rezim pemilu di adakan pertama kali
dalam pemilu Tahun 2004. Pada tahun 2007, berdasarkan undang-undang Nomor 22 Tahun 2007,
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim
pemilu. Pemilukada sebagai turunan dari perwujudan Pemilu tersebut tentu perlu
mengedepankan nilai-nilai diatas. Sejak dilangsungkannya Pemilukada pada tahun 2005, rakyat
di daerah diberi hak asasinya untuk memilih secara langsung kepala daerahnya sesuai dengan
hati nuraninya sendiri, asas one man one vote menunjukkan diberinya hak yang sama bagi setiap
individu untuk memilih. Suara seorang tukang ojek di terminal Oebobo harganya sama dengan
suara yang diberikan seorang direktur perusahaan di gedung bertingkat, sama-sama dihitung
satu. Suara yang diberikan setiap individu menentukan siapa kepala daerah maupun wakilnya
untuk masa 5 tahun kedepan.

Nilai kesetaraan, kejujuran, keadilan, hak asasi, dan partisipasi politik merupakan nilainilai yang harus ada dalam Pemilu. Namun terkadang suara rakyat didengar dan dihargai oleh elit
politik hanya saat pemilu itu berlangsung. Termasuk di dalam Pemilukada. Suara seorang mama
tua di bawah kaki gunung Inerie dihargai begitu tinggi oleh para elit politik pada saat Pemilu,
namun ketika suara tersebut didapat dan para elit menempati jabatan politis, suara mama tua
tersebut tidak akan pernah didengar lagi, apalagi dihargai. Mama tua di bawah kaki gunung
Inerie itu hanyalah miniatur kecil dari demokrasi di Indonesia selama ini. Ketika pemilu
berlangsung para elit dan agen-agen politiknya menyebar dari kampung ke kampung
mempromosikan paket calon kepala daerah yang diusungnya, mulai dari sosialisasi persuasif,
pendidikan politik, rayuan gombal penuh janji, hingga yang paling buruk seperti aksi pemaksaan,
isu SARA hingga praktek Money politics atau pemberian sembako hanya untuk mendapatkan
suara rakyat. Tetapi setelah pemilu selesai, suara-suara itu hanya ada di ruangan kosong,
diteriakan dijalan sekalipun tidak akan pernah didengar. Inilah pengkhianatan terhadap nilai-nilai
diatas.
Inilah perwujudan demokrasi kita, demokrasi yang dilaksanakan hanya sebatas pada aspek
prosedural saja. Makna demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis.
Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat pemilih dibutuhkan dan
didulang hanya ketika pemilu datang. Pemilu termasuk Pemilukada merupakan sarana bagi
pemimpin yang terpilih untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat, oleh karena itu ada tiga alasan
mengapa pemilu bisa menjadi sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa. Pertama,
melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui
kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilu, pemerintah dapat pula
mempengaruhi perilaku rakyat. Tak mengherankan apabila menurut beberapa ahli politik aliran
fungsionalisme, pemilu bisa menjadi alat kooptasi bagi pemerintah untuk meningkatkan respon
rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, dan pada saat yang sama memperkecil
tingkat oposisi terhadapnya. Ketiga, dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk
mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan untuk mempertahankan
legitimasinya.
Setelah mendapatkan legitimasi dari rakyat sebagai hasil pemilu maka pemimpin yang
terpilih sudah seharusnya mempertanggungjawabkan kepercayaan rakyat yang diberikan
kepadanya dalam bentuk menjalankan pemerintahan yang pro rakyat. Pro rakyat artinya terus

mendengarkan suara rakyat baik itu berupa keluhan, kritik, maupun saran yang kemudian
diwujudkan dalam bentuk kebijakan, program, dan keputusan. Karena rakyat dan pemerintah
adalah dua sisi mata uang yang tidak akan pernah terpisahkan selama negara ini berdiri sebagai
negara demokrasi, maka suara rakyat adalah suara yang harus terus didengarkan dan dihargai,
tidak hanya saat pemilu saja, kemudian diartikulasikan oleh pemimpin terpilih. Suara rakyat
adalah beban yang harus dipikul, tanggungjawab yang harus diemban oleh setiap orang yang
mendapatkan suara mayoritas. Disinilah makna demokrasi itu sesungguhnya.
Pemerintahan yang demokratis dibangun diatas suara rakyat, dijalankan berdasarkan suara
rakyat, dan kembali kepada perwujudan dari suara rakyat itu sendiri. Oleh karena itu tidak heran
jika Jean Jacques Rousseau, pemikir Perancis pada masa Renaisance di Eropa, menyatakan
bahwa Suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei). Sehingga secara implisit
demokrasi yang ingin dijalankan harus mendengarkan suara rakyat, jika di dalam Agama suara
Tuhan (wahyu) adalah absolut, maka di dalam demokrasi suara rakyat adalah juga absolut, suara
rakyat adalah wahyu yang harus diterima oleh setiap pemimpin dan diejawantahkan dalam
kehidupan bernegara. Maka demokrasi yang didirikan bukanlah demokrasi yang hanya
berdasarkan peraturan atau prosedural semata dengan menghilangkan susbtansi demokrasi itu
sendiri.
Selamat kepada masyarakat di Kab. Malaka, Kab. Belu, Kab. Manggarai Barat, Kab.
Sumba Timur, Kab. Manggarai, Kab. Ngada, Kab Sumba Barat, dan Kab Timor Tengah Utara
yang pada Rabu 9 Desember 2015 ini memilih para pelayan publiknya, tetap kawal demokrasi
agar menjadi demokrasi yang tidak hanya demokrasi prosedural namun mampu mewujudkan
demokrasi substansi di daerah anda masing-masing. Viva Demokrasi!

Anda mungkin juga menyukai