Konsep kemandirian belajar bertumpu pada prinsip bahwa individu yang belajar hanya
akan sampai kepada perolehan hasil belajar, mulai keterampilan, pengembangan penalaran,
pembentukan sikap sampai kepada penemuan diri sendiri, apabila ia mengalami sendiri dalam
proses perolehan hasil belajar tersebut.[2]
Menurut Brawer yang dikutip oleh M. Chabib Thoha mengartikan kemandirian adalah
suatu perasaan otonom. Sikap kemandirian menunjukkan adanya konsistensi organisasi tingkah
laku pada seseorang, sehingga tidak goyah, memiliki self reliance atau kepercayaan diri
sendiri.[3] Seseorang yang mempunyai sikap mandiri harus dapat mengaktualisasikan secara
optimal dan tidak menggantungkan diri kepada orang lain. Jadi, kemandirian merupakan
kemampuan seseorang untuk menguasai dan mengendalikan tindakannya sesuai dan bebas
pengendaliannya, serta adanya usaha untuk mencoba sendiri sehingga bertanggung jawab atas
keberhasilan dan kegagalannya sendiri. Dalam kemandirian dikenal dengan pola pembelajaran
yang mengarahkan siswa untuk memperluas wawasan ataupun memecahkan persoalan-persoalan
yang dihadapi. Kemandirian belajar sebagai suatu bentuk perilaku yang mengarahkan siswa
untuk menemukan sendiri tentang sesuatu yang harus dilakukan, menentukan dan memilih
kemungkinan-kemungkinan dari hasil perbuatannya dan akan memecahkan sendiri
masalah-masalah yang dihadapi tanpa harus mengharapkan orang lain.
Anak yang memiliki kemandirian yang kuat tidak akan mudah menyerah. Sikap
kemandirian dapat ditunjukkan dengan adanya kemampuan dapat menyelesaikan masalah yang
dihadapi dengan tingkah laku. Dengan adanya perubahan tingkah laku maka anak juga memiliki
peningkatan dalam berfikir, menganggap bahwa dalam belajar khususnya PAI harus bisa mandiri
tanpa mengandalkan bantuan dari orang lain terus dan juga tidak menggantungkan belajar dari
guru PAI saja, tapi belajar juga bisa dari media cetak, elektronik, alam, atau yang lainnya.
Kepribadian seorang anak yang memiliki ciri kemandirian berpengaruh positif terhadap
prestasi belajarnya. Hal ini bisa terjadi karena anak mulai dengan kepercayaan terhadap
kemampuannya sendiri secara sadar, teratur dan disiplin berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk mengejar prestasi belajar, mereka tidak merasa rendah diri dan siap mengatasi masalah
yang muncul.
Belajar merupakan proses dari perkembangan hidup manusia. Semua aktivitas yang
dicapai manusia pada dasarnya tidak lain adalah hasil belajar. Oleh karena itu, belajar
berlangsung secara aktif dengan berbagai macam bentuk perbuatan dalam upaya mencapai
tujuan yang diinginkan sebagai bekal untuk hidup. Secara umum belajar merupakan tahapan
perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan
interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.[4]
[[2] Umar Tirtaraharja dan Lasula, Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta,
2000, hlm.50.
[[3] M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1996, hlm. 121.
Untuk itu diperlukan cara belajar yang dapat digunakan oleh siswa yang beraneka ragam
kemampuannya. Cara belajar itu dikenal dengan nama belajar mandiri, yaitu suatu bentuk belajar
yang didasarkan kepada siswa itu sendiri dengan mempertimbangkan kemampuannya. Dalam hal
ini siswa diharapkan lebih banyak belajar sendiri atau kelompok dengan bantuan seminimal
mungkin dari orang lain.
Prestasi sering dirujuk sebagai tolok ukur akan kualitas kemandirian belajar maupun
mentalitas formal siswa di sekolah. Seorang siswa sering berasumsi bahwa pencapaian prestasi
yang baik merupakan suatu kesuksesan, sehingga cara-cara yang instan akan dilakukan untuk
mencapai tingkat prestasi yang tinggi. Hal ini seharusnya menjadi perhatian khusus bagi setiap
guru dan sekolah serta orang tua siswa itu sendiri.
Kenyataan seperti di atas adalah fenomena rendahnya tingkat kemandirian belajar siswa.
Kenyataan itu tidak berbeda bagi kondisi pada siswa disetiap daerah. Perilaku siswa dalam
kehidupan sehari-hari mempunyai warna yang beragam, dan itu tidak bisa lepas dari dasar
keluarga dan pendidikan yang diterimanya. Khususnya peran orang tua dalam mendidik dan
membekali anaknya dalam berperilaku.
Tantangan zaman yang semakin modern menjadikan tantangan masa depan semakin berat
dengan kompetensi dan profesionalitas bekal itu hanya dapat dimiliki bila kemandirian belajar
sudah melembaga dalam diri setiap siswa. Ajaran agama Islam mengajarkan kemandirian pada
posisi terhormat bahwa tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah, jelas ini
menekankan pada kemandirian seseorang dalam segala sesuatu baik dalam belajar maupun tidak.
Untuk itu perlu adanya cara belajar yang dapat memotivasi sekaligus bisa meningkatkan
kualitas siswa dalam kaitannya dengan nilai hasil prestasi belajar siswa. Dalam hal ini adalah
hasil prestasi belajar PAI siswa yang diupayakan secara mandiri guna mencapai tujuan yang
dicita-citakan dalam pembelajaran.
Berdasarkan dari latar belakang tersebut maka dalam penelitian ini penulis mengajukan
judul PENGARUH KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA TERHADAP PRESTASI MATA
PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) KELAS VIII MADRASAH
TSANAWIYAH".
D. Rumusan Masalah
Agar pembahasan yang ada dalam penelitian ini sesuai dengan target yang ingin diteliti
dan untuk memudahkan dalam memilih data yang terkumpul di lapangan, maka ditetapkan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kemandirian belajar siswa kelas VIII MADRASAH TSANAWIYAH?
2. Bagaimanakah prestasi mata pelajaran pendidikan agama Islam (PAI) kelas VIII MADRASAH
TSANAWIYAH ?
[[4] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.
68.
karena itu saran, kritik, dan koreksi dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan
tulisan ini.
Akhirnya penulis berharap semoga proposal ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya. Amin Ya Rabbal Alamin
[1]
Mahfud Shalahuddin, Metodologi Pendidikan Agama, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm.
[2]
Umar Tirtaraharja dan Lasula, Pengantar Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000,
11.
hlm.50.
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1996, hlm. 121.
[4]
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 68.
[3]
[1]
[2]
[3]
[4]