Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

BIOFARMASI

KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK TABLET CTM

Disusun oleh kelompok 2


Shift A1
Selasa/13.00 16.00 WIB

Wulan Tresnawati

260110130009

Data pengamatan & pengolahan data

Ika Khumairoh

260110130010

Metode

Leni Rahmawati

260110130012

Pembahasan

R.A Siti Nur Azizah

260110130013

Pembahasan

Nailil Fadhilah

260110130014

Data pengamatan & pengolahan data

Gina Andriana

260110130015

Teori dasar

Dewi Setiyowati

260110130016

Prinsip, kesimpulan, editor

Hengki Sutrisno

260110130021

Teori dasar

Annisa Claudia

260110130128

Pembahasan

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016

I.

Tujuan
Mempelajari pengaruh keadaan bahan baku obat (polimorfi, hidrat,
solvate) terhadap kecepatan disolusi intrinsiknya sebagai preformulasi
untuk bentuk sediaannya.

II.

Prinsip
1. Disolusi
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat
penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari
kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum
diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya
adalah bentuk padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep
(Ansel, 1985).
2. Spectroscopy UV
Spektroskopi UV-Vis adalah teknik analisis spektroskopi yang
menggunakan sumber radiasi elektromagnetik dan sinar tampak
dengan mengunakan instrumen. Spektrofotometri adalah penyerapan
sinar tampak untuk ultraviolet dengan suatu molekul yang daat
menyebabkan eksitasi molekul dan tingkat dasar ke tingkat energi
yang paling tinggi (Sumar, 1994).

III.

Teori Dasar
Tablet CTM digunakan sebagai antihistaminikum. Antihistaminikum
adalah obat yang menentang kerja histamin pada H- 1 reseptor histamin
sehingga berguna dalam menekan alergi yang disebabkan oleh timbulnya
simptom karena histamin (Ansel,1989). Antihistamin bekerja dengan
menempati tempat pada sel yang biasanya ditempati oleh histamin,dengan
demikian akan menghilangkan kemampuan histamin untuk menimbulkan

reaksi alergi (Harkness, 1989). Untuk interaksi obatnya antihistamin akan


menekan sistem syaraf pusat. Obat ini menekan atau mengurangi sejumlah
fungsi tubuh seperti koordinasi dan kewaspadaan, depresi berlebihan dan
hilangnya fungsi tubuh dapat terjadi jika antihistamin digunakan bersama
dengan sistem syaraf pusat lainnya (Harkness, 1989).
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat
penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari
kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap
ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk
padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep (Ansel, 1985).
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan
dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang
diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat
diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu
tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu
obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut
akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus.
Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran
cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya.
Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami
disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami
pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan
disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat
dari bentuk dimana obat tersebut diberikan (Martin, 1993).
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya
suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Persamaan
kecepatan menurut Noyes dan Whitney sebagai berikut (Ansel, 1985):

dM.dt-1

: Kecepatan disolusi

: Koefisien difusi

Cs

: Kelarutan zat padat

: Konsentrasi zat dalam larutan pada waktu

: Tebal lapisan difusi

Menurut Martin (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan


disolusi yaitu:
a. Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu
zat yang bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien
difusi zat.
a. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi
suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu
juga menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi.
b. pH pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang
bersifat asam atau basa lemah. Untuk asam lemah; Jika (H+) kecil
atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan
demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat. Dan untuk basa
lemah; Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan
meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.

c. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi
(h). jika pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi
akan cepat berkurang.
d. Ukuran partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif
menjadi besar sehingga kecepatan disolusi meningkat.
e. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme.
Struktur internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat
kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya lebih
mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga kecepatan
disolusinya besar.
f. Sifat permukaan zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat
hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan
permukaan antar partikel zat dengan pelarut akan menurun
sehingga

zat

mudah

terbasahi

dan

kecepatan disolusinya

bertambah.
Ada 2 metode penentuan kecepatan disolusi yaitu:
1. Metode suspensi
Serbuk

zat

padat

ditambahkan

ke

dalam

pelarut

tanpa

pengontrolan terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel


diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang larut
ditentukan dengan cara yang sesuai (Martin, 1993).
2. Metode permukaan konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya
sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat
diabaikan. Umumnya zat diubah menjadi tablet terlebih dahulu,

kemudian ditentukan seperti pada metode suspense (Martin,


1993).
Prinsip kerja alat disolusi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu: Alat
terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan
transparan yang inert, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan
keranjang yang berbentuk silinder dan dipanaskan dengan tangas air pada
suhu 370C (Dirjen POM, 1995).
Alat yang digunakan adalah dayung yang terdiri dari daun dan batang
sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga
sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikel
wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti (Dirjen
POM, 1995).

IV.

Metode
1. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu timbangan
analitik, thermostat dengan penangas air, tabung disolusi, penyangga
(holder)

sampel

(berupa

pellet),

motor

pemutar,

stopwatch,

spektrofotometer UV, dan alat-alat gelas. Sedangkan bahan yang


digunakan adalah medium disolusi, lilin kuning murni atau paraffin
solid, dan bahan obat CTM.
2. Prosedur
Prosedur dalam praktikum ini diawali dengan penentuan panjang
gelombang maksimum dan penentuan kurva baku. Larutan CTM stok
yang dibuat yaitu larutan CTM 100 ppm. Serbuk CTM ditimbang
sebanyak 10 mg lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml,
kemudian ditambahkan aquadest dan dihomogenkan. Setelah itu,
ditambahkan aquadest hingga tanda batas (100 ppm). Selanjutnya,
dilakukan variasi konsentrasi 30 ppm, 35 ppm, 40 ppm, 45 ppm, dan

50 ppm. Masing-masing larutan kemudian diukur absorbansinya pada


panjang gelombang maksimumnya yaitu 261 nm sehingga didapatkan
persamaan garis y=ax+b. Selanjutnya yaitu pembuatan tablet CTM.
Sebanyak 300 mg CTM ditimbang lalu dikempa dengan tekanan 5 ton
selama 5 menit. Setelah itu, pellet bentuk tablet yang telah dibuat
diletakkan pada penyangga, lalu bagian atas pellet dituangi lilin cair,
sehingga hanya satu permukaan pellet yang terbuka, yang langsung
dapat bersinggungan dengan medium disolusi. Peyangga yang sudah
berisi sampel ini lalu ditutup dan dihubungkan dengan motor pemutar.
Selanjutnya, tabung percobaan diisi dengan 900 ml aquadest
dengan suhu 30oC. Pellet yang telah dipasang pada penyangga
dicelupkan kedalam medium disolusi, lalu diatur agar tidak ada
gelembung udara dibawahnya, kemudian dipasang pada motor pemutar
dan segera diputar dengan kecepatan 100 putaran per menit. Setelah
itu, sampel hasil disolusi diambil 5 ml dengan syringe tiap selang
waktu 5, 10, 20, 30, 45, 60 menit dan dimasukan kedalam vial. Pada
setiap pengambilan sampel, ditambahkan pula 5 ml aquadest.
Kemudian tiap sampel diukur pada Spektrofotometri UV-Vis sehingga
didapatkan kadarnya.

V.

Data Pengamatan
a. Pengukuran absorbansi larutan baku CTM pada 261 nm
Konsentrasi

Absorbansi

30

0,442

35

0,460

40

0,472

45

0,483

50

0,507

b. Kurva Baku CTM pada 261 nm

Absorbansi

Kurva Baku CTM Pada 261 nm


0.52
0.51
0.5
0.49
0.48
0.47
0.46
0.45
0.44
0.43

50, 0.507

45, 0.483
40, 0.472
35,
0.460466667
30, 0.442
0

10

20

30

40

Konsentrasi

Berdasarkan kurva di atas, maka didapatkan hasil :


r2 = 0,9796
y = 0,0031x + 0,3509

VI.

Perhitungan
Waktu

Rata-rata

5 menit

2,4157

2,3703

2,4127

2,3996

10 menit

2,9328

2,8163

2,8285

2,8592

20 menit

2,9494

3,0719

2,9027

2,9747

30 menit

3,0595

3,0700

2,8874

3,0056

45 menit

3,1035

3,1530

3,0692

3,1086

60 menit

3,1281

3,1671

3,1285

3,1412

a. Menit ke-5
A = 2,3996
Konsentrasi (x) =

660,87 g/ml

Konsentrasi x V media = 660,87 x 900 = 594783,871 g

50

60

FK5 =

% Disolusi =

x 100% = 198,26 %

b. Menit ke-10
A = 2,8592
Konsentrasi (x) =

809,129 g/ml

Konsentrasi x V media = 809,129 x 900 = 728216,129 g


Kadar = 728216,129 + 3304,355 = 731520,484 g
FK5 =

x 731520,484 = 4064 g

% Disolusi =

x 100% = 243,84 %

c. Menit ke-20
A = 2,9747
Konsentrasi (x) =

846,387 g/ml

Konsentrasi x V media = 846,387 x 900 = 761748,38 g


Kadar = 761748,38 + 4064 = 765812,38 g
FK5 =

x 765812,38 = 4254,51g

% Disolusi =

x 100% = 255,27 %

d. Menit ke-30
A = 3,0056
Konsentrasi (x) =

856,354 g/ml

Konsentrasi x V media = 856,354 x 900 = 770719,35 g


Kadar = 770719,35 + 4254,51 = 774973,86 g
FK5 =

x 774973,86 = 4305,41g

% Disolusi =

x 100% = 258,32 %

e. Menit ke-45
A = 3,1086
Konsentrasi (x) =

889,58 g/ml

Konsentrasi x V media = 889,58 x 900 = 800622,58 g


Kadar = 800622,58 + 4305,41= 804927,99 g
FK5 =

x 804927,99 = 4471,82 g

% Disolusi =

x 100% = 268,31 %

f. Menit ke-60
A = 3,1412
Konsentrasi (x) =

900,09 g/ml

Konsentrasi x V media = 900,09 x 900 = 810087,09 g


Kadar = 810087,09 + 4471,82 = 814558,92 g
% Disolusi =

VII.

x 100% = 271,52 %

Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan uji disolusi terhadap tablet CTM.
Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian persyaratan disolusi
yang tertera pada masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan
kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah.
Disolusi merupakan suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat
penting karena ketersediaan suatu obat tergantung pada kemampuan zat
tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi suatu obat yaitu viskositas,
suhu, polimorfisme, pengadukan, ukuran partikel, pH pelarut dan sifat
permukaan zat.

Langkah pertama yang yang dilakukan pada praktikum kali ini yaitu
membuat kurva baku dari zat CTM. Pembuatan kurva baku diawali dengan
membuat larutan stok CTM konsentrasi 100 ppm, dengan cara menimbang
serbuk CTM sebanyak 10 mg, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml,
lalu ditambahkan aquadest hingga tanda batas 100 ml (100 ppm) dan
dihomogenkan. Selanjutnya, dilakukan variasi konsentrasi larutan menjadi
30 ppm, 35 ppm, 40 ppm, 45 ppm dan 50 ppm. Sebelum dilakukan
pengukuran larutan baku, kuvet yang akan digunakan dikalibrasi terlebih
dahulu dengan cara mengisi kuvet tersebut dengan aquades, lalu
disesuaikan absorbansinya hingga menunjukkan angka nol. Setelah itu,
kuvet dibilas dengan larutan yang akan dihitung konsentrasinya agar kuvet
hanya berisi larutan uji tanpa pengotor. Adanya pengotor dapat
menyamarkan perhitungan konsentrasi karena pengotor dapat memberikan
absorbansi. Selanjutnya, masing-masing larutan diukur absorbansinya
dengan Spektroskopi UV-Vis pada panjang gelombang 261 nm. Hal
tersebut dilakukan karena CTM pada suasana netral memberikan serapan
maksimum pada panjang gelombang 261 nm. Absorbansi yang diperoleh
hendaknya berada pada rentang 0,2 sampai 0,8 sesuai dengan hukum
Lambert-Beer. Pada rentang absorbansi tersebut dihasilkan panjang
gelombang maksimum sehingga konsentrasi yang diperoleh lebih akurat.
Pengukuran

absorbansi

hendaknya

dimulai

dari

larutan

yang

konsentrasinya kecil agar tidak mempengaruhi pengukuran konsentrasi


lainnya. Setelah dilakukan pengukuran absorbansi dengan variasi
konsentrasi larutan baku, maka dari data tersebut dapat dibuat persamaan
regresi linearnya yaitu y=ax+b. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk
mencari

konsentrasi

tablet

CTM

(sampel)

yang

telah

diukur

absorbansinya.
Tahap berikutnya adalah persiapan tablet CTM untuk pengujian
disolusi tablet. Uji disolusi perlu dilakukan untuk melihat kemampuan
absorpsi obat dalam tubuh yang tergantung pada keadaan melarut obat
(disolusi) sehingga dapat dilihat bioavaibilitas obat tersebut. Proses

pengujian disolusi diawali dengan penimbangan 300 mg CTM dlalu


dikempa dengan tekanan 5 ton selama 5 menit. Tablet yang dikempa
langsung akan memiliki waktu hancur dan disolusi yang lebih baik. Hal ini
dikarenakan tidak melewati proses granul, tetapi langsung menjadi partikel
halus. Tekanan yang digunakan harus tinggi yakni sekitar beberapa ratus
kg/cm2 pada serbuk/granul menggunakan pons/cetakan baja.
Pellet bentuk tablet yang telah dikempa diletakkan pada penyangga,
dan dituangi lilin cair pada bagian atas tablet. Penuangan lilin hanya
dilakukan pada satu permukaan pellet yang terbuka. Hal ini dilakukan agar
Hal ini dilakukan agar hanya satu bagian pellet yang dapat saling
bersinggungan dengan medium disolusi sehingga diperoleh hasil yang
lebih valid. Peyangga yang sudah berisi sampel ini lalu ditutup dan
dihubungkan dengan motor pemutar.
Selanjutnya, tabung percobaan diisi dengan 900 ml aquadest dengan
suhu 30oC. Media yang digunakan dipilih berdasarkan sifat kelarutan obat
yang digunakan. CTM bersifat mudah larut dalam air, dimana obat yang
larut dalam air laju pelarutannya cukup cepat. Selain itu, dipilih suhu yang
disesuaikan dengan suhu tubuh, dikarenakan proses disolusi yang natinya
akan terjadi berjalan di dalam tubuh. Umumnya semakin tinggi suhu
medium yang akan digunakan mengakibatkan semakin banyak zat aktif
yang terlarut. Pada suhu tinggi, gradien konsentrasi serta tetapan difusi
akan meningkat, sehingga akan menaikkan kecepatan disolusi (Shargel et
al., 2005).
Pellet yang telah dipasang pada penyangga dicelupkan kedalam
medium disolusi, lalu diatur agar tidak ada gelembung udara dibawahnya.
Pellet kemudian dipasang pada motor pemutar dan segera diputar dengan
kecepatan 100 putaran per menit. Batas kecepatan yang memungkinkan
untuk memilih kecepatan dan mempertahankan kecepatan disesuaikan
seperti yang tertera dalam masing-masing monografi dalam batas lebih
kurang 4% (Dirjen POM,1995). Dari proses pengadukan dengan motor
akan dilihat kecepatan disolusi (Shargel et al., 2005).

Setelah itu, sampel hasil disolusi diambil 5 ml dengan syringe tiap


selang waktu 5, 10, 20, 30, 45, 60 menit dan dimasukan kedalam vial.
Pada setiap pengambilan sampel, ditambahkan pula 5 ml aquadest.
Penambahan aquadest sebanyak 5 ml harus terus dilakukan untuk tetap
menjaga keutuhan volume media. Selain itu, akan dihasilkan gradient
konsentrasi sampel yang kemudian berpengaruh terhadap pengukuran
kadar sampel menggunakan spektrofotometri UV-Vis.
Penetapan kadar menggunakan spektrofotometri UV-VIS merupakan
peranan penting untuk melakukan penentuan kuantitatif bahan baku dan
sediaan obat. Konsentrasi CTM dalam larutan ditentukan dengan
mengukur absorban pada panjang gelombang yang telah diperoleh dari
penentuan kurva baku yakni 261 nm. Penetapan kadar dilakukan
berdasarkan penggunaan nilai

suatu obat. Nilai

adalah

absorbansi suatu senyawa yang diukur pada konsentrasi 1% b/v (1 gr/100


ml) dengan ketebalan kuvet 1 cm. Nilai 1 1% berfungsi untuk
mengetahui berapa besar sensitifitas dan konsentrasi senyawa yang harus
disiapkan sehingga diperoleh absorbansi pada kisaran 0,2-0,8 (Rohman,
2007).
Berdasarkan pengolahan data menunjukan bahwa pada pembuatan
kurva baku diperoleh absorbansi dari ke lima variasi konsentrasi tersebut
yakni 0,442 si, 0,460 si, 0,472 si, 0,483 si, dan 0,507 si. Sehingga
diperoleh persamaan kurva baku CTM y= 0,0031x + 0,3509, dengan r2
adalah 0,9796. Persamaan garis yang didapat tersebut nantinya akan
digunakan untuk menghitung kadar sampel CTM pada uji disolusi.
Berdasarkan nilai r2 menunjukan bahwa kurva baku CTM pada praktikum
ini tidak memiliki linieritas yang baik, hal ini menunjukan kemungkinan
terjadinya kesalahan baik secara teknis maupun tidak, seperti halnya
ketidaktepatan dalam memasukan volume zat ke dalam kuvet, sehingga
konsentrasi dapat berkurang atau lebih, yang mengakibatkan absorbansi
yang diperoleh tidak akurat. Selanjutnya dilakukan pengujian disolusi
dengan variasi waktu yakni menit ke 5, ke 10, ke 20, ke 30, ke 45 dan ke

60. Dengan masing-masing diperoleh persentase disolusi yakni 198,26%,


243,84%, 255,27%, 258,32%, 268,31 %, dan 271, 52%. Hasil ini
menunjukan dengan seiring bertambahnya waktu maka sebanding dengan
peningkatan % disolusi, berdasarkan kriteria Farmakope Indonesia
dimana ke 6 sampel tersebut memenuhi kriteria yaitu tidak ada satu pun
kadar yang kurang dari (Q+5%) atau ( 75% + 5% =80 %), hal ini
menunjukan sampel CTM memenuhi persyaratan karena dapat melarut
dengan baik dan dapat terjadi absorbsi di usus, dan lambung sesuai efek
terapi yang ditetapkan. Jika terjadi trial error dalam pengujian disolusi
dapat

dipengaruhi

oleh

Faktor-faktor

kesalahan

yang

mungkin

mempengaruhi hasil yang diperoleh antara lain :


a. Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.
b. Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet
beberapa ml.
c. Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan sampel
menggunakan pipet volume.
d. Kekeliruan praktikan dalam menentukan volume titrasi dan titik
akhir titrasi.
e. Kekeliruan prosedur penentuan kadar
f. Indikator yang digunakan sudah rusak.
g. Suhu yang dipakai tidak tepat.

VIII. Kesimpulan
Bahan baku CTM yang digunakan untuk formulasi sediaan tablet telah
memenuhi persyaratan dalam Farmakope Indonesia. Hal ini dibuktikan
dengan hasil uji disolusi intrinsik sediaan tablet CTM yang tidak kurang
dari (Q+5%). Persentase disolusi yang diperoleh yaitu 198,26%, 243,84%,
255,27%, 258,32%, 268,31 %, dan 271, 52%.

DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Farida
Ibrahim, Edisi 4. Jakarta : UI Press.
Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope
Indonesia Edisi IV. Jakarta: Depkes RI.
Harkness, R. 1989. Interaksi Obat, diterjemahkan oleh Goeswin Agoes dan
mathilda S. Widianto. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Martin, A. 1993. Farmasi Fisik jilid I, Edisi 3. Jakarta: UI Press.
Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shargel, L., Wu-pong, S., dan Yu, A.B.C. 2005. Applied Biopharmaceutics &
Pharmacokinetics. Edisi ke-5. Boston: McGraw Hill. Hal: 86-95.
Sumar, H. 1994. Kimia Analisis Farmasi. Jakarta: UI Press.

Anda mungkin juga menyukai