Perkembangan Organisasi Asean Dan Mekanisme Ham Setelah Adanya Asean Charter Serta Implikasinya Terhadap Kerja Sama Regional

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

PERKEMBANGAN ORGANISASI ASEAN DAN MEKANISME HAM

SETELAH ADANYA ASEAN CHARTER SERTA IMPLIKASINYA


TERHADAP KERJA SAMA REGIONAL

Perkembangan ASEAN
ASEAN merupakan organisasi Regional tingkat Asia Tenggara yang
merupakan wadah untuk melaksanakan kerjasama atau menjalin
hubungan multilateral dalam skala regional. ASEAN yang telah lebih dari
40 tahun menjalin kerjasama atas dasar kesukarelaan. ASEAN dirikan
tahun 1967, ikatan ASEAN bersifat longgar, yang berarti bahwa pada
awalnya ASEAN tidak mengikat secara hukum, hanya merupakan
perkumpulan persahabatan .
Namun, di era globalisasi saat ini, tentunya kebutuhan setiap
negara dalam hubungan internasionalnya semakin kompleks, dan hal ini
sudah
seharusnya
diakomodasi
oleh
wadah
regional,
yaitu
ASEAN . Sehingga konsentrasi ASEAN menjadi lebih luas tidak
hanya memfokuskan diri pada pengembangan ekonomi regional , dan
memfokuskan diri pada demokratisasi yang dapat mendukung
pengembangan perekonomian saja. Tetapi juga seiring dengan
perkembangan zaman masalah yang harus dihadapai oleh ASEAN
mencakup permasalahan batas wilayah antar anggota, masalah
keamanan, masalah politik, dan masalah penegakan hak asasi manusia
adalah masalah-masalah yang harus dihadapi oleh ASEAN pada masa
kini . Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa ASEAN yang pada awalnya
bersifat longgar (sebagaimana penjelasan diatas) , menjadi dapat
mengikat secara hukum.
Oleh karena itu, diadakan suatu pertemuan 10 negara ASEAN di
Singapura pada tanggal 20 November 2007 untuk menandatangani
ASEAN Charter (Piagam ASEAN). Piagam tersebut diharapkan menjadi
landasan hukum yang mengikat seluruh anggota ASEAN menjadi
organisasi regional yang dianggap telah memiliki jatidiri baru yaitu
sebagai subjek hukum. ASEAN juga dianggap menjadi institusi yang
memiliki akuntabilitas dan sistem kepatuhan tertentu, dan sebagai
komunitas bersama di wilayah ekonomi , politik, keamanan juga sosial
kebudayaan.Selain itu Piagam ini dinilai penting artinya terutama dalam
politik global kontemporer, dimana negara-negara maju dapat melakukan
tekanan terhadap pemerintah yang melanggar HAM warga negaranya dan
tindakan ini akan merugikan kepentingan diplomatik negara yang
bersangkutan akibat isolasi dalam pergaulan internasional. Sehingga
upaya pemajuan dan perlindungan HAM menjadi penting[1], Oleh karena
itu tulisan ini hanya akan membahas ASEAN Charter yang berhubungan
dengan Hak Asasi Manusia.
Setelah adanya ASEAN Charter yang memiliki salah satu tujuan
penting/ prinsip penting berupa mengedepankan Hak Asasi Manusia ,
karena itu berdasarkan pasal 14 ASEAN Charter , ASEAN sepakat untuk
membentuk Badan HAM yang mekanismenya ditetapkan oleh para

menteri luar negeri. Dimana isi pasal 14 ASEAN Charter adalah sebagai
berikut :
1. Selaras dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Piagam ASEAN
terkait dengan pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi dan
kebebasan fundamental, ASEAN wajib membentuk badan hak asasi
manusia ASEAN.
2. Badan hak asasi manusia ASEAN ini bertugas sesuai dengan kerangka
acuan yang akan ditentukan oleh Pertemuan para Menteri Luar Negeri
ASEAN
Badan yang diamanatkan untuk dibentuk tersebut adalah badan badan
khusus di dalam diri ASEAN yang mengurusi masalah hak asasi
manusia, dan setelah beberapa tahun ditandatanganinya piagam
ASEAN tersebut, maka dibentuklah suatu badan yang bernama AICHR
(ASEAN Intergovernmental Commision on Human Rights).
AICHR adalah badan yang memiliki tujuan sebagaimana TOR AICHR yaitu :
1. Untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental kebebasan dari masyarakat ASEAN;
2. Untuk menjaga hak bangsa-bangsa ASEAN untuk hidup dalam damai,
martabat dan kesejahteraan;
3. Untuk berkontribusi pada realisasi tujuan ASEAN sebagaimana diatur
dalam Piagam ASEAN dalam rangka meningkatkan stabilitas dan
harmonis dalam persahabatan, dan kerja sama antar daerah Negaranegara Anggota ASEAN, serta mata pencaharian kesejahteraan,,
kesejahteraan dan partisipasi masyarakat ASEAN di ASEAN Proses
membangun masyarakat;
4. Untuk mempromosikan hak asasi manusia dalam konteks regional,
mengingat kekhasan nasional dan regional dan saling menghormati
yang berbeda sejarah, budaya dan agamalatar belakang, dan dengan
mempertimbangkan keseimbangan antara hak dan tanggung jawab;
5. Untuk meningkatkan kerjasama regional dengan tujuan untuk
melengkapi nasional dan internasional upaya-upaya promosi dan
perlindungan hak asasi manusia, dan
6. Untuk menegakkan standar-standar hak asasi manusia seperti yang
ditentukan oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Wina yang
Deklarasi dan Program Aksi, dan internasional instrumen hak asasi
manusia di mana Negara Anggota ASEAN pihak.

Apabila melihat dan menganalisa tujuan dan juga prinsip yang


digunakan, kita dapat melihat beberapa hal yang perlu untuk dikritisi,
dimana dalam tujuan tidak ada klausul yang mengatakan dengan tegas
penegakan hukum terhadap hak asasi manusia, dimana tujuan tersebut
lebih menitikberatkan pada suatu hal yang sifatnya kerjasama saja,

memang pada point terakhir ada klausul penegakan, namun


penegakannya dibatasi oleh hal-hal atau prinsip-prinsip yang digunakan.
Ditambah lagi dengan tidak adanya pemberian sanksi yang dilakukan oleh
AICHR tersebut terhadap negara-negara yang melakukan pelanggaran
HAM di dalam negaranya. Hal ini dikarenakan adanya suatu prinsi yang
secara implisit dicantumkan dalam TOR AICHR ini. Yaitu :
1. Menghormati prinsip-prinsip ASEAN sebagaimana yang termaktub
dalam
Pasal
2
Piagam ASEAN, khususnya: rasa hormat) a) untuk kemerdekaan,
kedaulatan,
kesetaraan,
integritas teritorial dan identitas nasional semua ASEAN Negara-negara
Anggota; b) non-campur tangan dalam urusan internal Anggota ASEAN
Amerika; c) menghormati hak setiap Negara Anggota untuk
memimpinnya eksistensi nasional bebas dari gangguan eksternal,
subversi dan paksaan.
Hal ini menjadi suatu kontradiktif interminis satu sama lain, dimana
pada hakikatnya badan tersebut merupakan badan yang diamanahkan
sesuai pasal 14 ASEAN Charter sebagi badan yang mengatur serta
menyelesaikan permasalahan Hak Asasi Manusia, yang diharapkan
sampai dengan penegakannya, namun disisi lain ketika badan tersebut
telah dibentuk, fungsi yang diharapkan pada badan tersebut terhambat,
karena prinsip non-intervensi menjadi suatu hal yang perlu dikaji ulang,
dan membatasi gerak badan ASEAN ini untuk dapat menyelesaikan
masalah pelanggaran HAM yang ada di dalam suatu negara. Karena
kedaulatan suatu negara tetap menjadi hal yang utama, sehingga yang
dapat menyelesaikan masalah intern suatu negara dikembalikan ke
negara tersebut tanpa pengaruh atau campur tangan negara lain, hal
ini yang memunculkan anggapan bahwa badan HAM yang dibentuk
(AICHR) berkedudukan lemah, dan secara tidak langsung juga
berpengaruh pada anggapan mengenai kedudukan ASEAN Charter yang
juga lemah. Kecenderungan AICHR akan lebih menjadi badan politik
daripada badan HAM karena terjebak dalam negosiasi politik, yang
pada intinya adalah untuk mencapai comfort level, jika tidak maka tidak
ada konsensus. AICHR meskipun merupakan organisasi regional, tapi
tetapintergovernmental dan ini sangat kuat serta berpengaruh besar
terhadap dinamika AICHR. 14 mandat yang terkandung dalam TOR
AICHR memuat fungsi promosi dan secara implisit adanya fungsi
proteksi, padahal mekanisme proteksi inilah yang bisa melenturkan dan
menembus batas-batas kaku dari prinsip non-interference.
Mekanisme penyelesaian sengketa di ASEAN
Mekanisme penyelesaian sengketa sebelum adanya Piagam PBB
(2007):
Negara-negara di ASEAN sepakat untuk membuat suatu aturan hukum
yang mengikat dan menguatkan solidaritas para negara anggota.
Aturan tersebut tentunya untuk memperkuat komitmen negara-negara

anggota, serta prinsip-prinsip dan tujuan yang tertuang dalam Deklarasi


Bangkok. Maka oleh sebab itu diadakanlah KTT di Bali pada tahun 1976.
Hasilnya mencakup tiga hal, yaitu[2]:
1) Treaty of Amity and Cooperation in South East (TAC)
2) Bali Concord I
3) Agreement Establishing The ASEAN Secretariat.
Dari ketiga instrument itu, hanya TAC saja yang berlaku, karena di dalam
perjanjiian tersebut dicantumkan ketentuan untuk meratifikasi sehingga
mengikat bagi para negara anggota. Pembukaan perjanjian ini telah jelas
menyatakan bahwa setiap perselisihan atau perbedaan yang timbul
antarnegara anggota ASEAN harus diatur secara rasional, efektif dan
prosedur yang memadai, menghindari perilaku negatif yang mungkin
dapat
membahayakan
dan
menghalangi
kerjasama. Pengaturan
penyelesaian sengketa berdasarkan TAC:
Pasal 13 mensyaratkan agar setiap negara peserta untuk sedapat
mungkin dan itikad baik untuk mencegah terjadinya sengketa antara
mereka. Namun, jika sengketa tetap timbul dan tidak mungkin dicegah
maka para pihak wajib menahan diri untuk tidak menggunakan
ancaman atau kekuatan bersenjata. Ketentuan ini kemudian
mewajibkan para peserta untuk menyelesaikan sengketa antara mereka
dengan melakukan negosiasi secara baik-baik[3] ;
Pada saat negosiasi secara langsung oleh pihak yang bersengketa
gagal, maka penyelesaian sengketa masih mungkin dilakukan olehHigh
council. High council terdiri dari setiap negara anggota ASEAN.
Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 14 TAC. High council juga
memiliki
peran
untuk
memberikan
rekomendasi
mekanisme
penyelesaian sengketa. Mekanisme tersebut dapat berupa jasa baik,
mediasi, penyelidikan atau konsiliasi.
To settle disputes through regional processes, the High Contracting
Parties shall constitute, as a continuing body, a High council comprising a
Representative at ministerial level from each of the High Contracting
Parties to take cognizance of the existence of disputes or situations likely
to disturb regional peace and harmony. (Art. 14 TAC)

Mekanisme penyelesaian
ASEAN (2007):

sengketa

Kedudukan AICHR dalam Instrumen ASEAN

setelah

adanya

Piagam

ASEAN

POLITICAL-SECURITY
COMMUNITY

ECONOMIC

SOCIO-CULTURAL

COMMUNITY

COMMUNITY

MINISTERIAL MEETING

INTERGOVERMENTAL COMMISSION
OF HUMAN RIGHTS

ASEAN Intergovernmental commission of human rights adalah


suatu badan yang berada di bawah ASEAN Ministerial Meeting dan ASEAN
Ministerial Meeting berada di bawah Political-Security Community. Di
dalam pasal
Penyelesaian sengketa diatur dalam Bab VIII Piagam ASEAN,judul bab
tersebut adalah Settlement of Dispute. Berdasarkan Pasal 2 (1) ASEAN
Charter, dikemukakan bahwa dalam mencapai tujuan ASEAN, harus
didasari dari deklarasi, treaty, agreement, convention, concord dan
instrumen lain yang ada dalam ASEAN, maka penyelesaian sengketa
yang dimaksud dalam piagam pastilah TAC 1976.[4]
Pengaturan lebih detail dalam Piagam ASEAN:
Pasal 22 (1): prinsip-prinsip yang dianut dalam penyelesaian sengketa
menurut Piagam. Prinsip tersebut adalah dialog, konsultasi dan
negosiasi;
Pasal 22 (2): ASEAN harus membuat mekanisme penyelesaian sengketa di
semua bidang kerjasama. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam tiap
bidang antara lain politik-keamanan, ekonomi dan sosial-budaya akan
memiliki mekanisme penyelesaian sengketanya masing-masing;

Pasal 23 : Mekanisme penyelesaian sengketa dalam Piagam ASEAN


hanya menganut jasa-jasa baik,konsiliasi dan mediasi. Ketua atau
Sekjen ASEAN dapat dimintakan untuk menyediakan mekanisme
tersebut;
Pasal 24: mengatur mengenai penyelesaian sengketa yang terdapat
dalam instrumen yang spesifik. Pada ayat1 disebutkan apabila dalam
instrumen tertentu telah diatur mekanisme penyelesaian sengketanya,
maka mekanisme itu yang digunakan. Apabila terjadi perselisihan yang
tidak berkaitan dengan instrumen yang spesifik, maka mekanisme yang
digunakan adalah TAC 1976 beserta aturan dan prosedurnya, 2001.
Pada ayat terakhirnya adalah, apabila berhubungan dengan
kesepakatan ekonomi, maka penyelesaian sengketanya diselesaikan
dengan menggunakan mekanisme ASEAN Protocol on Enhanced
Dispute Settlement Mechanism, 2003 sebagai pengganti dari Dispute
settlement mechanism, 1996.
Pasal 25: mekanisme penyelesaian sengketa dengan menggunakan
mekanisme arbitarase, apabila mekanisme yang tersedia dalam ASEAN
sudah tidak ada lagi.
Pasal 26: mengatur mengenai perselisihan yang tidak dapat
diselesaikan dengan beragam mekanisme yang telah diatur dalam
piagam ini, maka sengketa tersebut akan deselesaikan melalui KTT.
Pasal 27 mengatur tentang tugas sekjen untuk melaporkan hal
penaatan atas putusan telah dihasilkan oleh mekanisme penyelesaian
sengketa yang ada dalam ASEAN, dan kemudian melaporkanya dalam
KTT.
Pasal 28 mengatur bolehnya menggunakan mekanisme PBB ( Pasal 33
(1)) untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak, apabila dirasa
tidak ditemukan mekanisme penyelesaian sengketa dalam piagam.

Piagam ASEAN ditandatangani berdasarkan kebutuhan da isu-isu serta


perkembangan Hak Asasi Manusia secara Internasional. Namun setelah
dianalisis dan dicermati ternyata piagam terdapat beberapa kelemahan
dalam piagam tersebut, yang menghambat pelaksanaan dan penegakan
ASEAN Charter. Dalam hal ini terdapat kekurangan seperti mekanisme
sanksi, regulasi dana yang terbatas, serta mekanisme penyelesaian
konflik antarnegara anggota.
Sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat kelemahan dalam hal
Perlindungan HAM di dalam Piagam ASEAN .Salah satu hal yang
mempengaruhi lemahnya ASEAN Charter tersebut adalah, masih
dipertahankannya beberapa hal , yaitu seperti :

1. Prinsip tak ikut


mungkin bekerja.

campur

dipertahankan,

Badan

HAM

tak

Prinsip non-interference, tak ikut campur, di tengah ramainya


pelanggaran HAM di kawasan ASEAN. Munculnya prinsip ini justru
memunculkan tanda tanya tentang keseriusan ASEAN mereformasi.
Prinsip tidak ikut campur urusan dalam negara masing-masing masih
berkonsentrasi dalam Piagam ASEAN. prinsip tak ikut campur
bertentangan dengan tujuan pembentukan Badan HAM ASEAN. Lebih
dari itu, prinsip ini bertentangan dengan prinsip universal HAM. Namun
dalam kenyataannya nampaknya prinsip ini belum mau ditinggalkan
oleh ASEAN, terlihat dari Pasal 2 ASEAN Charter, yaitu:menghormati
kedaulatan, persamaan, integritas teritorial, identitas nasional, tidak
mencampuri urusan dalam negeri anggota ASEAN, menghargai hak
anggota untuk mempertahankan integritas nasional yang bebas dari
pengaruh asing serta subversi dan koersi, tidak mencampuri dalam
kegiatan yang akan berdampak pada kedaulatan dan integritas
teritorial negara anggota lainnya, termasuk tidak menggunakan
daerahnya untuk kegiatan tersebut, penghargaan terhadap kebebasan
fundamental serta promosi dan perlindungan HAM serta keadilan sosial.
Contohnya ketika akan menyelesaikan masalah HAM di negara
nyanmar ,
Prinsip non-inteference yang masih secara tersirat diakui (Hal lain yang
jadi penghalang ASEAN menyelesaikan masalah Myanmar adalah
kenyataan bahwa ASEAN Charter masih memuat prinsip naif noninterference[5]. Prinsip ini menghalangi penyelesaian Myanmar secara
regional, karena pasti ada unsur intervensi di situ. Sementara krisis
Myanmar sudah keterlaluan melanggar HAM, junta tetap bertahan
bahwa masalah ini adalah urusan dalam negeri Myanmar yang tidak
boleh dicampuri negara lain, sekalipun ASEAN.
ASEAN sebagai organisasi regional tidak cukup kuat untuk menindak
anggotanya yang bertentangan atau melanggar ketentuan-ketentuan
yang ada di ASEAN charter, namun kenyataannya tidak begitu, hal
tersebut dapat dilihat dari proses penyelesaian kasus di Nyanmar
mengenai pelanggaran- pelanggaran HAM yang ada di negara tersebut.
2. tidak adanya pasal yang mengatur mekanisme sanksi
ASEAN Charter juga tidak memuat mekanisme hukuman untuk anggota
yang melanggar prinsip-prinsip yang termuat dalam piagam tersebut.
Ini semakin menyulitkan. Dan semakin membuat penandatanganan
piagam
ini
tidak
berguna.
Dalam hal ini, sanksi merupakan bentuk penegasan terhadap suatu
pelanggaran dalam hukum, yang membuat suatu aturan tersebut
bersifat mengikat atau tidak, memaksa atau tidak. Terdapat beberapa
macam sanksi, baik berupa sanksi administrasi ataupun juga sanksi
pidana. Namun dalam ASEAN Charter tidak ada pengaturan mengenai
sanksi tersebut, sehingga terdapat kecenderungan akan lemahnya
Piagam ASEAN.
3. Pengambilan
keputusan
masih
berdasarkan
konsensus
atau
musyawarah.

Mekanisme konsensus (sesuai dengan kesepakatan), hal ini kontradiktif


dengan ASEAN sebagai badan hukum. Dimana suatu keputusan yang
berdasarkan pertimbangan hukum tidak hanya dilihat dari kesepakatan
para pihak (sebagimana dalam suatu perjanjian) , namun juga
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lainnya, sumber
hukumnya dan dapat dilihat secara materil.
4. Piagam ASEAN bersifat mandataris
Apabila memperhatikan isi dari piagam ASEAN, dapat disimpulakan
bahwa piagam ASEAN bersifat mandataris, yaitu pemberian mandat
kepada suatu negara yang dinilai didalam negara tersebut terdapat
suatu pelanggaran hak asasi manusia.
Apabila kita pahami, Implikasi terhadap kerjasama regional ,
dimanapiagam ASEAN tersebut juga menimbulkan beberapa implikasi
negatif, bahkan berpotensi merugikan Indonesia. Konsekuensi Indonesia
meratifikasi piagam ini adalah terjadi penyerahan kedaulatan negara
(dalam batas-batas tertentu) dalam rangka pelaksanaan kegiatankegiatan rezim/organisasi supaya lebih terpusat khususnya mengenai
diseminasi informasi, pengurangan beban negara dalam bargaining, dan
peningkatan enforcement. jika piagam tersebut sudah diratifikasi tiap
negara, yaitu: 1) setiap negara harus menentukan garis waktu yang jelas
tentang pelaksanaannya; 2) setiap negara harus saling transparan
antarnegara tentang keterbukaan sistem politik ekonomi dan budaya
untuk membentuk satu komunitas se-ASEAN, baik di maritim dan daratan;
3) setiap negara harus membuka diri menjadi kawasan terpadu yang
bekerjasama secara berlanjut dengan pusat-pusat regional yang lain.
beberapa hal dalam Piagam ASEAN ini sulit untuk direalisasikan.
Dalam berbagai peraturan yang disebut di atas nampak bahwa ASEAN
belum akan meninggalkan prinsip non intervensi sebagai prinsip
dasarnya. Oleh karena itu, ASEAN tidak dapat mengintervensi
pelanggaran-pelanggaran, misalnya pelanggaran HAM, yang terjadi dalam
negara anggota ASEAN. Sebagai contoh kasus, prinsip ini akan membuat
Badan HAM ASEAN yang dibentuk berdasarkan ASEAN Charter pasal
19. Tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal. Karena
seharusnya Badan HAM ASEAN mampu bertindak untuk menyelesaikan
pelanggaran HAM yang terjadi dengan masuk ke negara yang melanggar
HAM tersebut dan mengintervensi tindakan yang dilakukan. Sehingga
Badan Ham ASEAN ini hanya dapat bertindak dalam lingkup pertemuan
menteri luar negeri ASEAN seperti disebut pasal 14 ayat 1.
Keinginan ASEAN untuk menjadi One Community nampaknya akan
terhambat karena prinsip ini. Berdasarkan pada konsep integrasi yang
diutarakan di atas, kalau ingin mengintegrasikan diri menjadi sesuatu
yang lebih besar berarti harus memindahkan kesetiaan yang ada, atau
paling tidak mengurangi kedaulatan negara dan memindahkannya ke
cakupan yang lebih luas, dalam konteks ini berarti negara-negara anggota
ASEAN memindahkan atau mengurangi sedikit kedaulatannya untuk
membangun suatu integrasi ASEAN yang lebih bersatu, sehingga One
Vision, One Identity, One Community dapat terwujud.

ASEAN harus mampu membuktikan bahwa dengan adanya piagam,


ASEAN akan lebih terarah dan mampu menyelesaikan masalah
anggotanya dengan menyingkirkan perbedaan-perbedaan kepentingan
mendasar untuk menggapai kesejahteraan bersama Asia Tenggara agar
mampu bersaing di pentas global. badan HAM harus disepakati secara
lengkap dan dapat diterima oleh seluruh anggota ASEAN.
Implikasi terhadap kerjasama regional
Piagam tersebut juga menimbulkan beberapa implikasi negatif,
bahkan
berpotensi
merugikan Indonesia. Konsekuensi Indonesia meratifikasi piagam ini
adalah terjadi penyerahan kedaulatan negara (dalam batas-batas
tertentu) dalam rangka pelaksanaan kegiatan-kegiatan rezim/organisasi
supaya lebih terpusat khususnya mengenai diseminasi informasi,
pengurangan beban negara dalam bargaining, dan peningkatan
enforcement.
jika piagam tersebut sudah diratifikasi tiap negara, yaitu:
1) setiap negara harus menentukan garis waktu yang jelas tentang
pelaksanaannya;
2) setiap negara harus saling transparan antarnegara tentang
keterbukaan sistem politik ekonomi dan budaya untuk membentuk satu
komunitas se-ASEAN, baik di maritim dan daratan;
3) setiap negara harus membuka diri menjadi kawasan terpadu yang
bekerjasama secara berlanjut dengan pusat-pusat regional yang lain.
beberapa hal dalam Piagam ASEAN ini sulit untuk direalisasikan.
Dalam berbagai peraturan yang disebut di atas nampak bahwa
ASEAN belum akan meninggalkan prinsip non intervensi sebagai prinsip
dasarnya. Oleh karena itu, ASEAN tidak dapat mengintervensi
pelanggaran-pelanggaran, misalnya pelanggaran HAM, yang terjadi dalam
negara anggota ASEAN. Sebagai contoh kasus, prinsip ini akan membuat
Badan HAM ASEAN yang dibentuk berdasarkan ASEAN Charter
pasal 14[6] tidak dapat menjalankan fungsinya secara maksimal. Karena
seharusnya Badan HAM ASEAN mampu bertindak untuk menyelesaikan
pelanggaran HAM yang terjadi dengan masuk ke negara yang melanggar
HAM tersebut dan mengintervensi tindakan yang dilakukan. Sehingga
Badan Ham ASEAN ini hanya dapat bertindak dalam lingkup pertemuan
menteri luar negeri ASEAN.Keinginan ASEAN untuk menjadi One
Community nampaknya akan terhambat karena prinsip ini.
Berdasarkan pada konsep integrasi yang diutarakan di atas, kalau
ingin mengintegrasikan diri menjadi sesuatu yang lebih besar berarti
harus memindahkan kesetiaan yang ada, atau paling tidak mengurangi
kedaulatan negara dan memindahkannya ke cakupan yang lebih luas,
dalam konteks ini berarti negara-negara anggota ASEAN memindahkan
atau mengurangi sedikit kedaulatannya untuk membangun suatu
integrasi ASEAN yang lebih bersatu, sehingga One Vision, One Identity,
One Community dapat terwujud.

ASEAN harus mampu membuktikan bahwa dengan adanya piagam,


ASEAN akan lebih terarah dan mampu menyelesaikan masalah
anggotanya dengan menyingkirkan perbedaan-perbedaan kepentingan
mendasar untuk menggapai kesejahteraan bersama Asia Tenggara agar
mampu bersaing di pentas global. badan HAM harus disepakati secara
lengkap dan dapat diterima oleh seluruh anggota.

[1] Simela Victor Muhamad, Pemajuan dan Perlindunag Hak Asasi Manusia Dalam
Konteks Hubungan Internasional dan Indonesia

[2] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.129.
[3] Treaty Of Amity and Cooperation in South East Asia (TAC), 1976. Article 13
[4] Senandika Hukum
[5] http://nanajp.multiply.com/journal/item/3
[6] Art 14 ASEAN Charter.

Anda mungkin juga menyukai