Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KIMIA INTI dan RADIOKIMIA

TEKNIK PRODUKSI GAS IN-VITRO UNTUK EVALUASI PAKAN


TERNAK : Volume Produksi Gas Dan Kecernaan Bahan Pakan

Oleh :
1. Ina Ana Nuri
2. Santi Eka Mufidah
3. Desyrula Affandy Citra

13030194006
13030194018
13030194060

Pendidikan Kimia A 2013


JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Produktivitas ternak yang meliputi produksi susu dan pertambahan bobot
badan dibatasi oleh degradability (nilai kecernaan) pakan dan konsusmsi pakan.
Kedua parameter tersebut sangat penting dalam nutrisi ternak. Pakan merupakan
salah satu faktor penting untuk mencapai produksi optimal seekor ternak. Pakan
merupakan masalah yang memerlukan penanganan sedini mungkin, karena 60-70
% biaya produksi ditentukan oleh pakan utama (Riswandi dkk:2015). Kondisi
pakan (kualitas dan kuantitas) yang tidak mencukupi kebutuhan menyebabkan
produktivitas ternak menjadi rendah yang antara lain ditunjukkan oleh laju
pertumbuhan yang lambat dan bobot badan rendah.(Basri : 2014)

Pakan dengan nilai kecernaan rendah memiliki degradasi pakan rendah pula
sehingga tidak mampu mengimbangi aktifitas fermentasi pakan oleh mikroba
rumen yang berakibat terhadap rendahnya pertumbuhan mikroba di dalam rumen
dan rendahnya konsumsi pakan. Daya cerna atau nilai kecernaan merupakan
persentase nutrient yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan
diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrient yang dikonsumsi dengan
jumlah nutrient yang dikeluarkan dalam feses (Basri : 2014). Terdapat metode

kecernaan in vivo ialah suatu cara penentuan kecernaan nutrient menggunakan


hewan percobaan dengan analisis nutrient pakan dan feses (Tillman dkk. 1991).
Dengan metode in-vivo dapat diketahui pencernaan bahan pakan yang terjadi di
dalam seluruh saluran pencernaan ternak, sehingga nilai kecernaan pakan yang
diperoleh mendekati nilai sebenarnya. Koefisien cerna yang ditentukan secara in-vivo
biasanya 1% sampai 2 % lebih rendah dari pada nilai kecernaan yang diperoleh secara
in-vitro (Tillman dkk.,1991).

Namun penentuan nilai kecernaan dan konsumsi pakan secara in-vivo pada
ternak secara langsung membutuhkan banyak waktu, tenaga kerja, biaya, di
samping membutuhkan volume sampel dalam jumlah yang lebih besar, sehingga

teknik in-vivo kurang cocok digunakan dalam evaluasi pakan dalam jumlah yang
besar, dalam arti banyak jenisnya. Sehingga dibutuhkan suatu teknik yang efisien
untuk menentukan kedua parameter tersebut.
Sejak tahun 1950 telah banyak dikembangkan teknik in-vitro dengan
simulasi sistem yang ada di dalam rumen, baik dari sistem yang sederhana dalam
batch culture maupun dengan sistem yang lebih komplek dalam sistem
continuous culture. Keuntungan metode in-vitro adalah waktu lebih singkat dan
biaya lebih murah apabila dibandingkan metode in-vivo, pengaruh terhadap ternak
sedikit serta dapat dikerjakan dengan menggunakan banyak sampel pakan sekaligus
(Pell dkk, 1993). Metode ini biasa digunakan untuk evaluasi pakan, meneliti
mekanisme fermentasi mikroba dan untuk mempelajari aksi terhadap faktor
antinurisi, aditif dan suplemen pakan (Lopez, 2005).

Produksi gas merupakan hasil proses fermentasi yang terjadi di dalam


rumen yang dapat menunjukkan aktivitas mikrobia di dalam rumen serta
menggambarkan banyaknya bahan organik yang tercerna. Selain itu produksi gas
yang dihasilkan dari pakan yang difermentasi dapat mencerminkan kualitas pakan
tersebut (Ella et al., 1997).Teknik in-vitro produksi gas merupakan teknik yang
sederhana dan banyak digunakan dalam penelitian fermentasi rumen meskipun
teknik in-vivo dibutuhkan pula pada akhirnya. Umumnya digunakan dalam tahap
awal penelitian secara in-vitro untuk prediksi nilai kecernaan pakan dalam rumen
dan prediksi nilai nutrisi pakan. Terdapat keterkaitan antara proses fermentasi di
dalam rumen dengan produksi gas. Quin mempelajari glukosa dan lucerna hay
serta beberapa jerami lainnya dengan menghubungkan manometer ke dalam
canula domba merino untuk mengukur gas yang dihasilkan selama proses
fermentasi. Namun pengukuran secara langsung pada ternak sangat sulit
dilakukan dan tidak mudah untuk diulang. Menke et al menyebutkan bahwa
terdapat korelasi yang nyata antara produksi gas secara in-vitro dengan produksi
gas secara in-vivo.
Produksi gas in-vitro merupakan simulasi rumen dalam sistem bacth culture.
Sampel pakan yang akan diteliti di inkubasi dalam fermentor (syringe glass atau
botol serum) pada suhu 390C dalam medium anaerob yang diinokulasi dengan
mikroba rumen. Adanya aktivitas fermentasi oleh mikrobia rumen akan
menghasilkan gas. Gas yang terbentuk berasal dari hasil fermentasi (CO2 dan

CH4) dan secara tidak langsung dari CO 2 yang dilepaskan dari buffer bikarbonat
setiap dihasilkan volatyl fatty acid (VFA). Volume gas yang terbentuk dapat
digunakan sebagai indikasi proses fermentasi yang terjadi.
Metode produksi gas in-vitro dapat digunakan untuk mengukur dan
memprediksi nilai kecernakan bahan pakan, pengaruh bahan pakan terhadap
fermentasi di dalam rumen, dan pengaruh bahan pakan terhadap pertumbuhan
mikroba rumen. Dalam penelitian ini teknik produksi gas digunakan untuk
mengetahui pengaruh penambahan sumber karbon mudah terdegradasi pada pakan
sumber protein terhadap total produksi gas, kecernaan bahan pakan, bahan pakan
tercerna, korelasi antara produksi gas dengan kecernaan bahan pakan,
pertumbuhan mikroba rumen, dan efisiensi nitrogen pakan.

1.2 Rumusan Masalah


1.

Bagaimana pengaruh penambahan karbohidrat tehadap volume produksi gas

2.

dan nilai kecernaan bahan pakan ?


Bagaimana teknik produksi gas in-vitro dapat digunakan untuk evaluasi dan
pemilihan bahan pakan untuk ternak ?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mendeskripsikan pengaruh penambahan karbohidrat terhadap volume produksi
gas dan nilai kecernaan bahan pakan.
2. Mendeskripsikan teknik produksi gas in-vitro dapat digunakan untuk evaluasi
dan pemilihan bahan pakan untuk ternak.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

I. Radioisotop
Radioisotop atau isotop radioaktip adalah apabila suatu unsur tersebut dapat
memancarkan radiasi. Radiasi adalah pancaran energi dari suatu materi dalam
bentuk panas, partikel dan gelombang elektromagnetik (foton) dari sumber radiasi.
Radiasi bentuk partikel adalah jenis radiasi yang mempunyai massa terukur. Contoh
: radiasi alpha dengan simbol

4 . Dimana angka 4 menunjukkan jumlah massa

dari radiasi yaitu 4 satuan massa atom (sma) dan angka 2 menunjukkan jumlah
muatan radiasi positip 2. Radiasi -10, neutron 1n0.

Radiasi Bentuk Gelombang elektromagnetik atau disebut dengan foton adalah


jenis radiasi yang tidak mempunyai massa dan muatan listrik. Contoh : radiasi
gamma () dan sinar-X, serta sinar lampu, sinar matahari, radar dan hand phone.
Suatu unsur dikatakan radioisotop atau isotop radioaktip ialah apabila unsur
tersebut dapat memancarkan radiasi. Oleh karena itu radioisotop yang diperlukan
harus dibuat lebih dahulu melalui suatu reaksi inti yang sesuai. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa tujuan utama produksi radioisotope ialah menyediakan
unsur atau senyawa radioaktip tertentu yang memenuhi persyaratan sesuai dengan
maksud penggunaanya.

Sifat-sifat radioaktif sebagai berikut:

1. Sebagai Sumber Pemancar Radiasi. Radioisotop adalah isotop suatu unsur yang
dapat memancarkan sinar radioaktif ( , , ). Waktu paruh dan energi sinar
yang dipancarkan dapat digunakan sebagai alat pengenal suatu radioisotop.
2. Radioisotop bersifat selektif Radioisotop mempunyai identitas yang tetap tidak
berubah walaupun telah mengalami proses fisika maupun kimia.
3. Sinar radioaktip yang dipancarkan isotop tersebut mempunyai kemampuan
menembus benda padat.
4. Sinar radioaktif dapat mengubah sifat-sifat bahan yang terkena radiasi.
II. Metode In-Vitro
a. Definsi Metode in vitro
Metode in-vitro merupakan suatu metode pendugaan kecernaan secara
tidak langsung yang dilakukan di laboratorium dengan meniru proses yang
terjadi di dalam saluran pencernaan ruminansia. Keuntungan metode in vitro
adalah waktu lebih singkat dan biaya lebih murah apabila dibandingkan metode
in vivo, pengaruh terhadap ternak sedikit serta dapat dikerjakan dengan
menggunakan banyak sampel pakan sekaligus. Metode in vitro bersama dengan
analisis kimia saling menunjang dalam membuat evaluasi pakan hijauan.
Kelebihan teknik in vitro di antaranya adalah degradasi dan fermentasi
pakan terjadi di dalam rumen dapat diukur seara cepat dalam waktu relatif
singkat, biaya ringan, jumlah sampel yang dievaluasi lebih banyak dan kondisi
terkontrol. Salah satu kelemahan dari teknik in vitro diantaranya populasi
bakteri dalam tabung fermentor selama masa pengukuran atau masa inkubasi
sulit terjaga .
Kecernaan in vitro dipengaruhi beberapa hal yaitu pencampuran pakan,
cairan rumen dan inokulan, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi,
lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan buffer. Tingkat degradasi
pakan dapat digunakan sebagai indikator kualitas pakan. Semakin tinggi
degradasi bahan kering dan bahan organik pakan maka semakin tinggi nutrien
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Degradasi
bahan organik dipengaruhi adanya lignin dan silika yang terdapat pada dinding
sel secara bersama-sama membentuk senyawa kompleks dengan sellulosa dan
hemisellulosa. Senyawa kompleks ini sulit ditembus oleh enzim mikroba
sehingga akan menghambat kecernaan dinding sel dan selanjutnya menurunkan

kecernaan isi sel termasuk bahan organik didalamnya. Lignin merupakan


komponen yang tidak dicerna, sehingga mempengaruhi kecernaan serat kasar.
Sejak tahun 1950 telah banyak dikembangkan teknik in-vitro dengan
simulasi sistem yang ada di dalam rumen, baik dari sistem yang sederhana
dalam batch culture maupun dengan sistem yang lebih komplek dalam sistem
continuous culture. Teknik in-vitro produksi gas merupakan teknik yang
sederhana dan banyak digunakan dalam penelitian fermentasi rumen meskipun
teknik in-vivo dibutuhkan pula pada akhirnya. Umumnya digunakan dalam
tahap awal penelitian secara in-vitro untuk prediksi nilai kecernaan pakan dalam
rumen dan prediksi nilai nutrisi pakan. Terdapat keterkaitan antara proses
fermentasi di dalam rumen dengan produksi gas. Quin mempelajari glukosa dan
lucerna hay serta beberapa jerami lainnya dengan menghubungkan manometer
ke dalam canula domba merino untuk mengukur gas yang dihasilkan selama
proses fermentasi. Namun pengukuran secara langsung pada ternak sangat sulit
dilakukan dan tidak mudah untuk diulang. Menke et al menyebutkan bahwa
terdapat korelasi yang nyata antara produksi gas secara in-vitro dengan produksi
gas secara in-vivo.
b. Produksi Gas Sistem rumen in vitro
Produksi gas in-vitro merupakan simulasi rumen dalam sistem bacth
culture. Sampel pakan yang akan diteliti di inkubasi dalam fermentor (syringe
glass atau botol serum) pada suhu 390C dalam medium anaerob yang
diinokulasi dengan mikroba rumen. Adanya aktifitas fermentasi oleh mikrobia
rumen akan menghasilkan gas. Gas yang terbentuk berasal dari hasil fermentasi
(CO2 dan CH4) dan secara tidak langsung dari CO2 yang dilepaskan dari buffer
bikarbonat setiap dihasilkan volatyl fatty acid (VFA). Volume gas yang
terbentuk dapat digunakan sebagai indikasi proses fermentasi yang terjadi.
Korelasi yang sangat signifikan antara kecernaan bahan organik dan produksi
VFA dengan produksi gas dilaporkan oleh Beuvink et al. VFA merupakan salah
satu hasil fermentasi rumen yang sangat penting disamping mikroba rumen.
Dua model in-vitro produksi gas yang berkembang saat ini adalah dengan
menggunakan syringe glass berskala dan dengan menggunakan botol serum.
Prinsip kerja in-vitro produksi gas dengan menggunakan syringe glass adalah
gas yang terbentuk selama inkubasi akan mendorong piston ke atas, sehingga

volume gas dapat dibaca pada skala yang terdapat pada dinding syringe
Perbedaan anatara mertode ini dengan metode pemakaian botol serum adalah
gas yang terbentuk pada metode botol serum akan mengisi ruang kosong pada
bagian atas botol (head space). Volume gas diukur dengan menggunakan
syringe 10 ml.
Proses penguraian oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan
organik terjadi secara anaerob. Pada prinsipnya proses anaerob adalah proses
biologi yang berlangsung pada kondisi tanpa oksigen oleh mikroorganisme
tertentu yang mampu mengubah senyawa organik menjadi gas. Semua jenis
bahan organik yang mengandung senyawa karbohidrat, protein, lemak bisa
diproses untuk menghasilkan gas.
Produksi gas merupakan hasil proses fermentasi yang terjadi di dalam
rumen yang dapat menunjukkan aktivitas mikrobia di dalam rumen serta
menggambarkan banyaknya bahan organik yang tercerna. Selain itu produksi
gas yang dihasilkan dari pakan yang difermentasi dapat mencerminkan kualitas
pakan tersebut.
Metode produksi gas in-vitro dapat digunakan untuk mengukur dan
memprediksi nilai kecernakan bahan pakan, pengaruh bahan pakan terhadap
fermentasi di dalam rumen, dan pengaruh bahan pakan terhadap pertumbuhan
mikroba rumen. Selain itu, teknik produksi gas digunakan untuk mengetahui
pengaruh penambahan sumber karbon mudah terdegradasi pada pakan sumber
protein terhadap total produksi gas, kecernaan bahan pakan, bahan pakan
tercerna, korelasi antara produksi gas dengan kecernaan bahan pakan,
pertumbuhan mikroba rumen, dan efisiensi nitrogen pakan.

III.

Teknik Perunut Radioaktif


Teknik perunut adalah suatu teknik yang digunakan untuk tujuan
mendapatkan informasi perilaku dari obyek dengan cara menandai obyek tersebut
dengan suatu bahan tertentu. Yang dimaksud dengan obyek disini adalah suatu
sistem yang dinamis, artinya bahwa sistem atau bagian dari sistem tersebut
mengalami perubahan sebagai fungsi dari ruang dan atau waktu. Sebagai contoh

dari sistem dinamis itu misalnya aliran suatu populasi masa atau material induk.
Sedang yang dimaksudkan dengan bahan tertentu adalah bahan perunut itu sendiri.
Perunutan merupakan suatu proses pemanfaatan senyawa yang telah ditandai
dengan isotop atau radioisotop untuk menjadi bagian dari sistem biologi atau
mekanik sehingga diketahui mekanisme yang terjadi atau diperoleh suatu hasil
pengukuran. Teknik perunut dapat menggunakan isotop atau radioisotop. Dasar
aplikasi dari teknik perunut dengan isotop stabil adalah sifat kimia spesifik dari
unsur yang digunakan dengan berat molekul yang berbeda. Contoh isotop stabil
adalah 15-N, 52-Cr, 13-C, dan lainnya. Sedangkan dasar aplikasi dari teknik
perunut dengan radioisotop adalah paparan aktivitas dari masing-masing unsur
yang digunakan. Contoh radioisotop adalah 14-C, 45-Ca, 32-P, 3-H.
Pemanfaatan

teknik

perunut

untuk

peternakan

berdasarkan

sifat

pengaplikasiannya dibagi menjadi dua, yaitu pemanfaatan yang bersifat in vivo dan
in vitro. Aplikasi perunut secara in vivo bertujuan untuk menggambarkan proses
biologi yang terjadi di lingkungan asalnya atau langsung menggunakan hewan
ternak. Yang perlu diperhatikan adalah waktu paruh biologis, yaitu waktu yang
diperlukan (radio) isotop untuk keluar atau diekskresikan keluar tubuh. Sedangkan
aplikasi perunut secara in vitro bertujuan untuk menggambarkan proses biologi
yang terjadi di luar tubuh hewan, tetapi di laboratorium. Yang perlu diperhatikan
adalah waktu paruh fisika, yaitu waktu yang diperlukan oleh radioisotop untuk
meluruh hingga mencapai separuh aktivitasnya.
Analisis secara in vitro menggunakan isotop P-32, S-35, dan C-14 sebagai
perunut radioisotop untuk mengukur sejumlah parameter. Isotop P-32 dan S-35
digunakan untuk mengukur sintesa protein mikroba di dalam rumen, sedangkan C14 untuk mengukur efisiensi pemanfaatan energi oleh mikrobarumen. Saat ini
teknologi UMMB telah banyak diterapkan di berbagai daerah sebagai hasil
introduksi teknologi melalui kerja sama litbang, koperasi, peternak langsung dan
iptekda.
Perunut dengan isotop radioaktif 32-P yang tergabung dalam larutan senyawa
H3PO4, dalam hal ini dipakai untuk menentukan atau mencirikan kadar zat makanan

unsur fosfor (P) pada bagian daun tanaman sawi hijau. Pada umumnya pemakaian
perunut dengan isotop radioaktif 32-P dipakai dalam lapangan pertanian khususnya
dalam penelitian pemupukan. Hal ini disebabkan karena pemupukan dengan fosfat
adalah ekonomis, penting, dan juga mudah dipakai. Dari semua radiofosfor yang
diketahui, yaitu 29-P, 30-P, 32-P, 33-P, dan 34-P, hanya isotop radioaktif 32-P yang
sering dipergunakan sebagai perunut. Karena isotop radioaktif P-32 ini dapat dibuat
dalam reaktor nuklir, yaitu penembakan 31-P dengan netron menurut reaksi seperti
berikut ini :
n + 31P 32P+

IV.

Pakan dan Bahan Pakan


Pakan adalah bahan yang dapat dimakan, dicerna dan diserap baik secara
keseluruhan atau sebagian dan tidak menimbulkan keracunan atau tidak
mengganggu kesehatan ternak yang mengkonsumsinya. Pakan terbuat dari bahan
pakan dimana setiap bahan yang dapat dimakan, disukai, dapat dicerna sebagian
atau seluruhnya, dapat diabsorpsi dan bermanfaat bagi ternak
Komponen pakan yang dimanfaatkan oleh ternak disebut zat gizi. Pakan
berfungsi sebagai pembangunan dan pemeliharaan tubuh, sumber energi, produksi,
dan pengatur proses-proses dalam tubuh. Kandungan zat gizi yang harus ada dalam
pakan adalah protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin dan air.
Berdasarkan kandungan zat gizinya bahan pakan dapat dikelompokkan dalam
5 kelompok yaitu :

1. Pakan sumber energi yaitu pakan yang mengandung protein kurang dari 20%, serat
kasar kurang dari 18% dan kandungan dinding sel kurang dari 39%.
2. Pakan sumber protein yaitu pakan yang mengandung protein lebih dari 20%
3. Sumber mineral
4. Sumber vitamin
5. Pakan tambahan/Feed aditif
Bahan pakan dikelompokan kedalam delapan kelas yang didasarkan pada
karakter fisik yang biasa digunakan dalam pembuatan pakan, yaitu sebagai berikut :
1. Hijauan kering (Dry forage)
Semua hijauan pakan dan limbah pertanian yang dipotong dan dikeringkan yang
mengandung serat kasar lebih dari 18% atau mengandung 35% dinding sel

(berdasarkan bahan kering). Hijauan ini rendah kandungan energinya karena


tingginya kandungan dinding sel. Contoh : Hay, jerami padi, jerami kacangkacangan.
2. Hijauan segar, padang rumput dan tanaman pakan
Kelompok ini terdiri dari hijauan yang dipotong atau yang ditanam pada padang
penggembalaan dalam keadaan segar (kandungan airnya tinggi)
3. Silages (silase)
Kelas ini terdiri dari hijauan yang telah mengalami proses pengawetan asam,
misalnya silase rumput, silase leguminosa tidak termasuk silase ikan, biji-bijian
dan umbi-umbian.
V. Kecernaan
Kecernaan merupakan proses perubahan pakan kedalam bentuk yang dapat
diabsorpsi di dalam saluran pencernaan melalui jaringan tubuh terutama usus.
Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain jenis ternak, macam bahan pakan yang digunakan dalam pakan, kadar zat
makanan pakan, level pemberian pakan, dan cara penyediaan pakan. Selain itu
faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah suhu, laju perjalanan pakan
melalui pencernaan, bentuk fisik dari bahan pakan, komposisi pakan, dan
perbandingan zat makanan lainnya.
Protein dalam pakan setelah masuk kedalam saluran pencernaan mengalami
perombakan yang dilakukan oleh enzim-enzim hidrolitik yang bekerja di dalam
rangkaian yang tetap. Setiap enzim yang ada di dalam saluran pencernaan tersebut
memegang peranan penting dalam hidrolisis protein. Pakan dengan protein rendah
cepat meninggalkan saluran pencernaan, sedangkan pakan dengan protein tinggi
lebih lambat meninggalkan saluran pencernaan untuk mendapatkan waktu lebih
banyak untuk proses denaturasi dan penglarutan protein yang dikonsumsi.
VI.

Molases
Molases merupakan hasil samping pada industri pengolahan gula dengan
wujud bentuk cair. Molases merupakan sumber energi yang esensial dengan
kandungan gula didalamnya. Oleh karena itu, molasses telah banyak dimanfaatkan
sebagai bahan tambahan pakan ternak dengan kandungan nutrisi atau zat gizi yang
cukup baik. Molasses memiliki kandungan protein kasar 3,1 %; serat kasar 0,6 %;
BETN 83,5 %; lemak kasar 0,9 %; dan abu 11,9 %. Molasses dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu: (1) Cane-molasses, merupakan molasses yang memiliki

kandungan 25 40 % sukrosa dan 12 25 % gula pereduksi dengan total kadar


gula 50 60 % atau lebih. Kadar protein kasar sekitar 3 % dan kadar abu sekitar 8
10 %, yang sebagian besar terbentuk dari K, Ca, Cl, dan garam sulfat; (2) Beetmolasses merupakan pakan pencahar yang normalnya diberikan pada ternak dalam
jumlah kecil (Cheeke, 1999; McDonald dkk., 2001). Kadar air dalam cairan
molasses yaitu 15 25 % dan cairan tersebut berwarna hitam serta berupa sirup
manis. Molasses yang diberikan pada level yang tinggi dapat berfungsi sebagai
pencahar, akibat kandungan mineralnya cukup tinggi.
Mollases dapat diberikan pada ternak ayam, babi, sapi dan kuda. Berdasarkan
hasil penelitian, pemberian mollases pada ransum ternak ruminansia adalah
sebanyak 5 % yang terdiri dari jagung, dedak padi, tepung ikan, rumput gajah
secara nyata dapat meningkatkan bobot badan. Akan tetapi penggunaan lebih dari 5
% akan berdampak negatif, yaitu berkurangnya peningkatan bobot badan karena
energi pakan yang dihasilkan terlalu tinggi. Berdasarkan hal tersebut, molases
sering dimasukkan ke dalam ransum sebanyak 2 sampai 5 % untuk meningkatkan
palatabilitas pakan.
Molases dapat berfungsi sebagai pellet binder yang dalam pelaksanaanya
dapat meningkatkan kualitas pelet. Penggunaan molasses pada industri pakan
dengan level diatas 5 10 %, molasses dapat menyebabkan masalah, karena
kekentalan dan terjadi pembentukan gumpalan pada mixer. Molases juga dapat
digunakan sebagai bahan pakan untuk sejumlah industri fermentasi. Selain
memiliki fungsi yang bermanfaat sebagai pakan ternak, molasses juga dapat
menyebabkan keracunan (molasses toxicity). Gejala-gejala yang dapat terlihat yaitu
terjadinya inkoordinasi dan kebutaan yang disebabkan oleh deteorisasi otak yang
hampir sama dengan nekrosi serebrokortikal. Keracunan tersebut kemungkinan
disebabkan oleh defisiensi thiamin (Vitamin B1), menurunnya suplai glukosa ke
dalam otak dan rumen statis. Pemberian hijauan berkualitas baik pada ternak dapat
mencegah terjadinya keracunan tersebut. Contoh dari penggunaan molasses dalam
ransum pakan yaitu melalui pengolahan pakan UMB (Urea Molasses Block) yang
merupakan sumber protein (Non Protein Nitrogen), energi dan mineral yang banyak
dibutuhkan temak. Bahan yang diperlukan dalam pembuatan urea molasses block
antara lain molasses sebagai sumber energi, pupuk urea sebagai sumber nitrogen
(protein) dan bahan pengisis berupa dedak padi,gandum, bungkil kelapa, bungkil

biji kapuk, sebagai bahan pengeras dipakai bentonit, tepung batu gamping dan
sebagai bahan tambahan dipakai garam dapur dan mineral campuran
VII.

Silase
Silase merupakan awetan basah segar yang disimpan dalam silo, sebuah
tempat yang tertutup rapat dan kedap udarra, pada kondisi anaerob. Pada suasana
anaerob tersebut akan mempercepat pertumbuhan bakteri anaerob untuk
membentuk asam laktat. Indonesia melimpah akan limbah pertanian dan hasil
samping agrondustri yang data digunakan sebagai pakan ternak jika diolah dengan
benar seperti diawetkan dalam bentuk silase. Hijauan yang ideal digunakan sebagai
silase adalah segala jenis tumbuhan atau tanaman beserta bijian, terutama yang
mengandung banyak karbohidrat, seperti: rumput, sorghum, jagung, biji-bijian
kecil, tanaman tebu, tongkol gandum, tongkol jagung, pucuk tebu, batang nanas dan
jerami padi. Pakan tersebut merupakan pakan yang paling digemari oleh ternak
termasuk ternak ruminansi.
Prinsip dasar pembuatan silase adalah fermentasi hijauan oleh mikroba yang
banyak menghasilkan asam laktat. Mikroba yang paling dominan adala dari
golongan bakteri asam laktat homofermentatif yang mampu melakukan fermentasi
dari keadaan aerob sampai anaerob. Asam laktat yang dihasilkan selama proses
fermentasi akan berperan sebagai zat pengawet sehingga dapat menghindarkan dari
bakteri pembusuk.

VIII. Mikroba Rumen


Pemberian pakan ruminansia harus memenuhi kebutuhan nutrien ternak,
menjaga kondisi optimum cairan rumen untuk proses fermentasi, dan mensuplai
nutrien bagi pertumbuhan mikroba rumen. Nutrien yang cukup bagi pertumbuhan
mikrob rumen mempengaruhi proses pencernaan di dalam rumen. Mikrob rumen
membutuhkan mineral untuk pertumbuhannya. Seng (Zn) dibutuhkan dalam
jumlah yang cukup tinggi sekitar 130 sampai 220 ppm (Hungate 1966). Sementara
kebutuhan Zn pada ternak adalah sapi perah 40 ppm, sapi potong pada masa
pertumbuhan dan finishing 20 sampai 30 ppm, domba 35 sampai 50 ppm (NRC,
1980).

Pada ternak ruminansia terdapat empat jenis mikroba yang menguntungkan


yaitu bakteri, protozoa, jamur (fungi), dan virus pada kondisi ternak yang sehat.
Dari keempat jenis mikroba tersebut, bakteri mempunyai jenis dan populasi
tertinggi. Cacahan sel pergram isi rumen mencapai 10101011, sedangkan
populasi tertinggi kedua yaitu protozoa yang mencapai 105-106 cacahan sel
pergram isi rumen. Mikroba rumen memiliki sifat saling ketergantungan dan
berintegrasi satu sama lainnya. Interaksi mikroba memberikan kestabilan dan
adaptasi yang baik dalam rumen. Mikroorganisme saling berperan dalam
beradaptasi

dengan

pakan

yang

berbeda

faktor

dan

pembandingnya.

Mikroorganisme dalam rumen berperan untuk membantu proses pencernaan dan


pertahanan tubuh. Protein mikroba rumen merupakan biomassa sumber utama
nitrogen untuk ternak. Peningkatan protein mikroba dipengaruhi oleh faktor
lingkungan yang beragam dan faktor populasi bakteri (Brooker et al, 1993).
Banyaknya jenis mikroorganisme rumen dan masing-masing mikroorganisme
memiliki produk fermentasi intermediet dan produk akhir fermentasi yang
beragam menyebabkan kehidupan dalam rumen menjadi kompleks.
Mikroba

rumen

berperan

sebagai

pertahanan

tubuh

terhadap

seranganserangan toksik atau antinutrisi yang dihasilkan dalam proses


pencernaan. Namun, tidak selamanya zat antinutrisi memberikan pengaruh
negatif, konsumsi pakan yang mengandung tanin dapat berpengaruh resisten pada
kehidupan rumen terhadap parasit gastrointestinal nematode. Kandungan tannin
dari tanaman pada iklim yang berbeda berpotensi untuk meningkatkan suplai dan
penyerapan protein tercerna. Komposisi dan populasi mikroba rumen ditentukan
oleh jenis pakan yang dikonsumsi dan interaksi antar mikroba rumen.
IX.

Fermentasi
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik
(tanpa oksigen). Pengolahan terhadap limbah sebagai pakan telah banyak dilakukan
yaitu secara fisik, kimia, biologis dan kombinasinya. Pengolahan secara kimia
menghasilkan residu yang menyebabkan pencemaran lingkungan, sehingga
pengolahan secara kimia kurang dianjurkan. Pengolahan secara biologis dengan
memanfaatkan bantuan mikroorganisme saat ini banyak dilakukan, karena lebih

ramah terhadap lingkungan. Salah satu contoh pengolahan pakan secara biologis
yang sering di lakukan adalah fermentasi. Fermentasi merupakan proses pemecahan
senyawa organik menjadi sederhana yang melibatkan mikroorganisme, yang
bertujuan menghasilkan suatu produk (bahan pakan) yang mempunyai kandungan
nutrisi, tekstur, biological availability yang lebih baik disamping itu juga
menurunkan zat anti nutrisinya.
Fermentasi secara teknik dapat didefinisikan sebagai suatu proses oksidasi
anaerobik atau partial anaerobik karbohidrat yang menghasilkan alkohol serta
beberapa asam, namun banyak proses fermentasi yang menggunakan substrat
protein dan lemak.
Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat oleh enzim-enzim tertentu
terhadap bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa
menjadi gula sederhana. Selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan jamur yang
menghasilkan protein hasil metabolisme sehingga terjadi peningkatan kadar
protein.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengertian dan sifat-sifat radioisotope


Radioisotop adalah isotop dari zat radioaktif. radionuklida mampu
memancarkan radiasi. Radionuklida dapat terjadi secara alamiah atau sengaja
dibuat oleh manusia dalam reaktor penelitian. Produksi radionuklida dengan proses
aktivasi dilakukan dengan cara menembaki isotop stabil dengan neutron di dalam
teras reaktor. Proses ini lazim disebut irradiasi neutron, sedangkan bahan yang
disinari disebut target atau sasaran. Neutron yang ditembakkan akan masuk ke
dalam inti atom target sehingga jumlah neutron dalam inti target tersebut

bertambah. Peristiwa ini dapat mengakibatkan ketidakstabilan inti atom sehingga


berubah sifat menjadi radioaktif. Banyak isotop buatan yang dapat dimanfaatkan
antara lain Na-24, P-32, Cr-51, Tc-99, dan I-131.
Sedangkan sifat radioisotop yang pertama, radioisotop memancarkan radiasi
manapun dia berada dan mudah dideteksi. Radioisotop ibarat lampu yang tidak
pernah padam senantiasa memancarkan cahayanya.Radioisotopdalam jumlah
sedikit sekali pun dapatdengan mudah diketahui keberadaannya. Dengan teknologi
pendeteksian radiasi saat ini, radioisotop dalam kisaran pikogram (satu per satu
trilyun gram) pun dapat dikenali dengan mudah. Sebagai ilustrasi, jika radioisotop
dalam bentuk carrier free (murni tidak mengandung isotop lain) sebanyak 0,1 gram
saja dibagi rata ke seluruh penduduk bumi yang jumlahnya lebih dari 5 milyar,
jumlah yang diterima oleh masing-masing orang dapat diukur secara tepat.
Kedua, laju peluruhan tiap satuan waktu (radioaktivitas) hanya merupakan
fungsi jumlah atom radioisotop yang ada, tidak dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan baik temperatur, tekanan, pH dan sebagainya. Penurunan radioaktivitas
ditentukan oleh waktu paro, waktu yang diperlukan agar intensitas radiasi menjadi
setengahnya. Waktu paro ini merupakan bilangan khas untuk tiap-tiap radioisotop.
Misalnya karbon-14 memiliki waktu paro 5.730 tahun, sehingga radioaktivitasnya
berkurang menjadi separonya setelah 5.730 tahun berlalu. Seluruh radioisotop yang
telah berhasil ditemukan telah diketahui pula waktu paronya. Waktu paro
radioisotop bervariasi dari kisaran milidetik sampai ribuan tahun. Waktu paro ini
merupakan faktor penting dalam pemilihan jenis radioisotop yang tepat untuk
keperluan tertentu.
Ketiga, intensitas radiasi ini tidak bergantung pada bentuk kimia atau
senyawa yang disusunnya. Hal ini dikarenakan pada reaksi kimia atau ikatan kimia
yang berperan adalah elektron, utamanya elektron pada kulit atom terluar,
sedangkan peluruhan radioisotop merupakan hasil dari perubahan pada inti atom.
Keempat, radioisotop memiliki konfigurasi elektron yang sama dengan isotop
lain sehingga sifat kimia yang dimiliki radioisotop sama dengan isotop-isotop lain

dari unsur yang sama. Radioisotop karbon-14, misalnya, memiliki karakteristik


kimia yang sama dengan karbon-12.
Kelima, radiasi yang dipancarkan, utamanya radiasi gamma, memiliki daya
tembus yang besar.
B. Hasil Penelitian Jurnal
Berdasarkan penelitian terhadap TEKNIK PRODUKSI GAS IN-VITRO
UNTUK EVALUASI PAKAN TERNAK oleh Asih Kurniawati, dijelaskan bahwa,
penambahan molase sebagai sumber karbohidrat mudah terdegradasi pada pakan
sumber protein (red clover) secara sangat nyata (P<0,01) meningkatkan total bahan
kering tercerna dan kecernaan bahan kering.

Jumlah bahan pakan tercerna berdasarkan bahan kering dan nilai kecernaan
tertinggi terdapat pada perlakuan 5 yaitu pada penambahan molase sebesar 0,3 g.
Bahan kering tercerna sebesar 1,25 g, sedangkan nilai kecernaan adalah 91, 72%,
diikuti perlakuan 4, 3, 2, dan terendah pada perlakuan 1 dimana sumber protein
tidak disuplementasi dengan sumber karbohidrat. Jumlah bahan tercerna pada
perlakuan 1 adalah 0,59 g dengan nilai kecernaan 78,43% (Tabel 1)
Produksi biomasa protein mikroba tertinggi terdapat pada perlakuan 5, yaitu
sebesar 42,98mg, diikuti perlakuan 3 dan 4 sebesar 35,05mg dan 36,27mg.

Perlakuan 1 menghasilkan biomasa protein mikroba terendah yaitu sebesar


26,14mg. Peningkatan karbohidrat mudah terdegradasi secara sangat nyata
(P<0,01) mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan nitrogen pakan menjadi
nitrogen mikroba portein. Efisiensi tertinggi dicapai pada perlakuan 5 sebesar
68,51%, diikuti perlakuan 3 dan 4 masing-masing sebesar 63,57% dan 62,54%.
Efisiensi nitrogen pakan perlakuan 2 lebih rendah dari perlakuan 3 dan 4 yaitu
sebesar 59,52% dan terendah pada perlakuan 1 sebesar 54,98%.
Efisiensi pemanfaatan protein pakan dipengaruhi oleh laju degradasi protein
yang sangat cepat yang tidak seimbang dengan ketersediaan sumber energi yang
cepat dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroba rumen.

Produksi gas selama 24 jam meningkat sangat nyata (P<0,01) dengan


peningkatan jumlah karbohidrat mudah terdegradasi. Hasil samping fermentasi
bahan tercerna adalah CO2 dan CH4 yang berupa gas. Pada teknik produksi gas
CO2 akan dilepaskan dari bufer bikarbonat setiap dihasilkan VFA. Dengan kata lain
produksi gas dapat digunakan untuk mengestimasi bahan pakan tercerna.
Produksi gas menunjukkan adanya proses fermentasi pakan oleh mikroba
yang terjadi dalam rumen. Proses fermentasi tersebut akan mengubah komponen
pakan menjadi senyawa yang berbeda dari molekul awal, seperti perubahan
karbohidrat menjadi VFA (volatile fatty acids) dan protein pakan menjadi amonia

(McDonald et al., 2002). Produksi gas juga dapat digunakan sebagai indikator
fermentabilitas in vitro suatu ransum. Volume gas yang dihasilkan dapat digunakan
sebagai indikator proses fermentasi yang terjadi dalam rumen. McDonald et al.
(2002) menyatakan bahwa gas yang terdiri atas CO2 40% dan CH4 30-40% sisanya
berupa hidrogen dan nitrogen merupakan produk sampingan pada proses hidrolisis
karbohidrat menjadi VFA (Arora, 1989).
C. Hubungan Radioisotop dengan Peternakan
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian diatas, Pemanfaatan radioaktif untuk
peternakan berdasarkan sifat pengaplikasiannya dibagi menjadi dua, yaitu
pemanfaatan yang bersifat in vivo dan in vitro. Aplikasi perunut secara in vivo
bertujuan untuk menggambarkan proses biologi yang terjadi di lingkungan asalnya
atau langsung menggunakan hewan ternak. Yang perlu diperhatikan adalah waktu
paruh biologis, yaitu waktu yang diperlukan (radio) isotop untuk keluar atau
diekskresikan keluar tubuh. Sedangkan aplikasi perunut secara in vitro bertujuan
untuk menggambarkan proses biologi yang terjadi di luar tubuh hewan, tetapi di
laboratorium. Yang perlu diperhatikan adalah waktu paruh fisika, yaitu waktu yang
diperlukan oleh radioisotop untuk meluruh hingga mencapai separuh aktivitasnya.
Analisis secara in vitro menggunakan isotop P-32, S-35, dan C-14 sebagai
perunut radioisotop untuk mengukur sejumlah parameter. Isotop P-32dan S-35
digunakan untuk mengukur sintesa protein mikroba di dalam rumen, sedangkan C14 untuk mengukur efisiensi pemanfaatan energi oleh mikrobarumen

BAB IV
PENUTUP

Berdasarkan pemaparan jurnal di atas, dapat di ketahui bahwa Terdapat


korelasi positif antara volume produksi gas dan nilai kecernaan bahan pakan serta
pertumbuhan mikroba. Sehingga dapat disimpulkan bahwa in-vitro teknik produksi
gas dapat digunakan untuk evaluasi dan pemilihan bahan pakan untuk ternak.
Radioisotope adalah isotop dari zat radioaktif. radionuklida mampu
memancarkan radiasi. Radionuklida dapat terjadi secara alamiah atau sengaja
dibuat oleh manusia dalam reaktor penelitian . Radioisotop mempunyai sifata sifat
yang khusus anatara lain : sifat radioisotope yang pertama, radioisotop
memancarkan radiasi manapun dia berada dan mudah dideteksi. Kedua, laju
peluruhan tiap satuan waktu (radioaktivitas) hanya merupakan fungsi jumlah atom
radioisotop yang ada, tidak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan baik temperatur, .
tekanan, pH dan sebagainya. Ketiga, intensitas radiasi ini tidak bergantung pada
bentuk kimia atau senyawa yang disusunnya.Keempat,radiasi yang dipancarkan,
utamanya radiasi gamma, memiliki daya tembus yang besar. Kelima, radioisotop
memiliki konfigurasi elektron yang sama dengan isotop lain sehingga sifat kimia

yang dimiliki radioisotop sama dengan isotop-isotop lain. Manfaat radioisotope


dalam dunia peternakan adalah vivo bertujuan untuk menggambarkan proses
biologi yang terjadi di lingkungan asalnya atau langsung menggunakan hewan
ternak. Sedangkan aplikasi perunut secara in vitro bertujuan untuk menggambarkan
proses biologi yang terjadi di luar tubuh hewan, tetapi di laboratorium. Adanya
pengembangan radioaktif dalam bidang peternakan yaitu adanya radiovaksin .

DAFTAR PUSTAKA

Adawiah, dkk. 2007. Respons terhadap Suplementasi Sabun Mineral dan Mineral
Organik serta Kacang Kedelai Sangrai pada Indikator Fermentabilitas Ransum
dalam Rumen Domba. Media Peternakan, Vol. 30 No. 1, hlm. 63-70.
Anonim.

Tanpa

Tahun.

Bab

II

Tinjauan

Pustaka.

(online)http://etheses.uin-

malang.ac.id/511/6/10620071%20Bab%202.pdf diakses pada tanggal 31 Maret


2016.
Anonim. Tanpa Tahun. Bab 11 Tinjauan Pustaka. (online)( http://eprints.ung.ac.
id/2017/6/2012-2-54231-621408014-bab2-04022013115216.pdf)

diakses

pada

tanggal 31 Maret 2016.


Anonim.Tanpa Tahun. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (online)(https://wisuda.unud.
ac.id/pdf/1108205005-3-BAB%20II.pdf) diakses pada tanggal 02 April 2016
Assakur, Muh S. 2013. Degradasi Bahan Kering, Nilai pH dan Produkasi Gas Sistem
Rumen In Vitro Terhadap Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao) yang Diberikan
Perlakuan Berbeda. Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Hassanuddin,
Makassar.

Azrul Gusasi. 2014. Nilai pH, Produksi Gas, Konsentrasi Amonia dan VFA Sistem
Rumen In Vitro Ransum Lengkap Berbahan Jerami Padi, Daun Gamal dan Urea
Mineral Molases Liquid.Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Hassanuddin,
Makassar.
Basri. 2014. Kecernaan Bahan Kering Dan Bahan Organik Ransum Komplit Dengan
Kandungan Protein Berbeda Pada Kambing Marica Jantan. Makasar :
Universitas Hasanuddin
Ella, A. S. Hardjosoewignya, T. R. Wiradaryadan dan M. Winugroho. 1997.
Pengukuran Produksi Gas dari Hasil Proses Fermentasi Beberapa Jenis
Leguminosa Pakan. Dalam : Prosiding Sem. Nas II-INMT Ciawi, Bogor.

Kartasudjana, Ruhyat. 2001. Teknik Produksi Pakan Ternak. DEPARTEMEN


PENDIDIKAN

NASIONAL,

DIREKTORAT

PENDIDIKAN

MENENGAH

KEJURUAN JAKARTA.

Kurniadi,

Hendri.

2009.

(http://kimia.upi.edu

Radioisotop

dalam

bidang

peternakan.

(online)

/utama/bahanajar/kuliah_web/2009/0700662/Radioisotop

%20dalam %20bidang%20peternakan.html) diakses pada tanggal 02 April 2016


Kurniawati, Asih. 2007. Teknik Produksi Gas In-Vitro Untuk Evaluasi Pakan Ternak :
Volume Produksi Gas Dan Kecernaan Bahan Pakan. Jakarta : Pusat Aplikasi
Teknologi Isotop dan Radiasi-BATAN
Lopez, S. 2005. In vitro and In situ techniques for estimating digestibility. Dalam J.
Dijkstra, J. M. Forbes, and J. France (Eds). Quantitative Aspect of Ruminant
Digestion and Metabolism. 2nd Edition. ISBN 0-85199-8143. CABI Publishing,
London

Muslim, G, dkk. 2014. Aktivitas Proporsi Berbagai Cairan Rumen dalam Mengatasi
Tannin dengan Tehnik In Vitro. Jurnal Peternakan Sriwijaya, Vol. 3, No. 1, Juni
2014, pp. 25-36 Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya.
Pell, A.NND.J.R. Cherney and J.S. Jones. 1993. Technical note: Forage InVitro Dry
Matter Digestibility as influenced by Fibre Source in TheDonor Cow Diet. J.
Animal Sci 71.
Priyono.
2009.
Molases.
(online)
(http://www.ilmupeternakan.com/2009/03/molases.html) diakses pada tanggal 31
Maret 2016.

Riswandi. Muhakka.Lehan, M.. 2015. Evaluasi Nilai Kecernaan Secara In Vitro


Ransum Ternak Sapi Bali Yang Disuplementasi Dengan Probiotik Bioplus.
Palembang : Universitas Sriwijaya
Subekti, Endah. 2009. Ketahanan Pakan Ternak Indonesia. Jurnal Ilmu ilmu
Pertanian, VOL 5. NO 2, 2009: HAL 63 71 Fakultas Pertanian Universitas
Wahid Hasyim Semarang.
Suyatno, Ferry. 2010. Aplikasi Radiasi dan Radioisotop Dalam Bidang Kedokteran.
STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo,S. Prawirokusumo Dan S.
Lendosoekodjo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan Kedua Peternakan.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press,

Anda mungkin juga menyukai