Anda di halaman 1dari 23

Kaum Muslim Tergelincir Dari Gedung World Trade Centre

Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Amerika II


Dosen Pengampu: Dra. Sutiah, M. Pd., M. Hum.

Disusun Oleh:

Rani Puspo Iswanti

(K4413049)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2016
Kaum Muslim Tergelincir Dari Gedung World Trade Centre

A. Islam di Amerika
Minoritas muslim adalah bagian penduduk yang mempunyai perbedaan dari
penduduk lainnya, dan tinggal dalam satu wilayah. Anggotanya adalah masyarakat
Muslim dan mendapat perlakuan berbeda-beda dari penduduk non-Muslim yang juga
tinggal di wilayah sama.
Minoritas Muslim di Amerika Serikat mengalami banyak permasalahan, salah
satu persoalan terpenting bagi Kaum Muslim Amerika adalah pendidikan bagi para
anggota komunitas mereka, mulai dari pembahasan mengenai pendidikan di sekolah
Islam bagi anak-anak, hingga pembelajaran di Masjid, dan bentuk-bentuk pendidikan
berkelanjutan bagi orang dewasa.
Salah satu di antara banyak masalah sulit yang dihadapi kalangan Muslim yang
ingin menjalankan hidup yang sesuai dengan ketentuan hokum Islam adalah masalah
pengelolaan keuangan yang benar. Masalah ini memiliki beberapa dimensi, salah satu
yang mungkin paling rumit adalah larangan Alquran mengenai perolehan Bungan
(riba). Banyak masalah muncul bagi kaum Muslim Amerika yang berusaha menjauhi
larangan ini.
Dengan semakin sadarnya kalangan Muslim akan kehadiran mereka di Amerika
sebagai sebuah entitas keagamaan tersendiri, semakin jelas pula mereka mengenai
pentingnya membedakan hari raya dan perayaan mereka sendiri dengan hari raya dan
perayaan Amerika Kristiani.
Orang-orang Muslim yang ingin makan, berpakaian, dan bertndak-tanduk
dalam cara-cara yang jelas menampilkan keislaman mereka memiliki akses ke
bermacam ragam barang yang dimaksudkan untuk membantu, meningkatkan, dan
mempromosikan identitas mereka.
Masalah politik yang menimpa kaum Muslim Amerika adalah pengingkaran
secara berangsur-angsur hak-hak politik mereka sebagai komunitas dan penganiayaan
para anggotanya. Pada awal-awal abad ke-20 M, pelanggaran Hak Asasi Manusia di
Amerika Serikat terjadi manakala hak-hak Muslim dinistakan dan Pemerintah

Amerika Serikat juga terlibat secara aktif dalam menyebar Islamphobia di Negara itu.
Masalah yang berkaitan dengan sosial adalah masaah penyerapan sosial oleh
mayoritas. Penyerapan itu merupakan hasil dari proses asimilasi panjang yang
mengikis sedikit demi sedikit ciri-ciri keislaman dari minoritas sampai lenyap. Pada
tahun 1997, di Amerika Serikat , mengalami persoalan sosial yang mengancam
kehidupan Muslim di sana. Sebagai antisipasi, dimulailah dakwah-dakwah dan
mendirikan lembaga sosial sebagai pusat studi. Pada akhir abad ke-19 M, masalah
ekonomi yang dialami Muslim adalah sulitnya mencari pekerjaan dan kekecewaan
terhadap system ekonomi yang dipraktekkan Negara Amerika Serikat.
Sejak tragedi pengeboman gedung World Trade Centre (WTC ), Islam
memang tiba-tiba menjadi pembicaraan dan sorotan sangat penting di Amerika
Serikat (AS), yang kemudian diikuti dengan berbagai reaksi rakyatnya, mulai dari
sikap diskriminatif, perlakuan kekerasan, intimidasi, pelecehan seksual sampai rasa
simpati yang begitu besar terhadap umat Islam.
Serangan itu dilakukan oleh orang-orang yang dikatakan bermotivasi Islami.
Kita masih ingat serangan terror di Oklahoma City yang mematikan lebih dari 200
orang. Langsung pendapat public mencari pelaku di kalangan Muslim, ternyata
yang melakukannya adalah orang kulit putih berhaluan ekstrim kanan. Namun,
sesudah tanggal 11 September, dan sesudah Bush menyatakan perang melawan
terorisme, meskipun Bush sendiri selalu mengatakan bahwa tidak memusuhi Islam,
tidak ada satu hari pun di mana dalam warta berita internasional tidak muncu istilahistilah seperti terorisme Islam.
Reaksi negatif muncul lantaran dipicu oleh pemberitaan media-media AS
dengan perspektif miring terhadap Islam. Dampaknya, perlakuan buruk terhadap
ummat Islam dan simbol-simbol Islam semakin hari semakin bertambah. Mereka
mendapat diskriminasi dari sebagian penduduk non-muslim AS karena Islam
diidentikkan dengan teroris. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung
berpengaruh terhadap sikap dan pandangan masyarakat non-Muslim terhadap Muslim
di sana.

Setelah terjadinya peristiwa itu, situasi yang tidak baik dirasakan oleh Muslim
yang tinggal di AS. Runtuhnya gedung WTC akibat serangan yang dituduh teroris
menyebabkan mereka dipandang sebagai orang jahat, diperlakukan tidak baik, dan
dipandang sebelah mata.
Sebagai upaya untuk memahami tentang gambaran masyarakat Muslim di AS
pasca peristiwa WTC dilihat dari berbagai aspek kehidupan maka penulis
mengangkat tema tersebut dalam tulisan ini.
B. Tergelincirnya Kaum Muslim Dari Gedung World Trade Centre
Sebuah pertanyaan yang sangat penting yang harus dicari jawabannya adalah
mengapa kaum Muslim ini bisa tergelincir dari gedung World Trade Centre? Padahal
jika kita mengacu pada bukti-bukti yang kini ditemukan bahwa dalang dari peristiwa
ini belum tentu orang Muslim.
Peristiwa 11 September 2001 yang menghancurkan gedung WTC New York
dan mencemarkan nama Islam, akhirnya sedikit demi sedikit mulai terungkap
kebenarannya. Banyak tokoh memberikan analisis yang berbasiskan fakta-fakta yang
terungkap. Di antaranya adalah sanggahan bahwa tidak mungkin pesawat yang
menubruk gedung sebesar itu berakibat hancur luluhnya gedung itu hingga tak
bersisa.
Kemungkinan yang paling masuk akal dari hancurnya gedung WTC adalah
kekuatan bom yang dipasang di seluruh bangunan gedung tersebut. Atau
penghancuran terkontrol, seperti yang disampaikan Prof. Jonathan Barnet dan yang
lain (bisa di lihat di video).Beberapa penduduk dan reporter yang berada di sekitar
gedung WTC mengatakan mereka mendengar ledakkan yang susul menyusul dan
kemudian disertai dengan runtuhnya gedung WTC.
Banyak pakar politik menyampaikan bahwa peristiwa itu hanya bagian dari
rekayasa untuk menyudutkan kelompok Islam dan memberikan legitimasi untuk
menciptkan semacam proxy war pemerintahan Amerika Serikat Goerge Bush
terhadap Islam, terutama kawasan Timur Tengah, seperti Irak, Syria, Afghanistan dan
sekitarnya.
3

Di balik semua kisah tragis dan menyeramkan di balik peristiwa penyerangan


gedng WTC, terdapat fakta-fakta mengejutkan yang mungkin belum Anda ketahui.
1. Dua puluh orang selamat dari balik puing bangunan
Penelitian terhadap para korban selamat WTC menyebutkan, 20 orang berhasil
dikeluarkan hidup-hidup dari bawah puing bangunan. Di antara yang selamat itu
adalah John McLoughlin dan William Jimeno, dua orang polisi pelabuhan. Mereka
diselamatkan setelah terkubur di balik puing selama 13-21 jam. Mereka menjadi
karakter dalam film tahun 2006 karya Oliver Stone World Trade Center.
Pasquale Buzzelli, seorang insinyur dari pengelola pelabuhan, dan Genelle
Guzman, seorang sekretaris, sedang berada di lantai 64 Menara Utara saat gedung
tersebut ditabrak pesawat. Buzzelli pingsan selama tiga jam, dan terbangun di atas
tumpukan puing, menghadap ke langit. Kakinya patah, banyak luka dan gegar otak
saat diselamatkan oleh regu penyelamat. Guzman yang berada di dalam puing baru
dapat diselamatkan 27 jam setelah menara runtuh. Kakinya luka parah tertindih
reruntuhan namun kembali pulih empat bulan kemudian.
2. Jumlah korban tewas terbesar kedua berkewarganegaraan Inggris
Bukan hanya orang Amerika yang menjadi korban dalam serangan ke WTC dan
Pentagon. Lebih dari 80 negara yang kehilangan setidaknya satu warganya pada hari
naas tersebut, termasuk Jepang, Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Swiss,
India, Meksiko, Brasil, Afrika Selatan dan Kanada. Di antara 372 warga asing yang
tewas, 67 diantaranya berkewarganegaraan Inggris.
3. Ron DiFrancesco berhasil melarikan diri dari dalam Menara Selatan WTC
saat runtuh
DiFrancesco (37), warga Kanada, berhasil keluar dari dalam Menara Selatan
WTC saat pesawat kedua menghantam di antara lantai 77 dan 85. Setelah susah
payah turun hingga lantai dasar, DiFrancesco berhasil meninggalkan gedung yang
kemudian luluh lantak tersebut.

Akibat terkena jilatan api, DiFrancesco terbangun di rumah sakit dengan luka
bakar di sekujur tubuh dan patah tulang belakang. Dia merupakan salah satu dari
hanya empat orang yang berhasil melarikan diri hidup-hidup dari Menara Selatan.
4. Kobaran api bertahan selama 99 hari
Butuh 99 hari untuk menangani kobaran api di Ground Zero sampai padam
total. Pada 11 September pukul 8.46 pagi waktu setempat, hantaman pesawat pertama
ke Menara Utara mulai menyulut api. Kobaran api baru benar-benar padam pada 19
Desember 2001.
5. Terdapat gedung ketiga yang juga runtuh
WTC Menara 7, sebuah gedung 47 lantai dan salah satu gedung terbesar di
pusat Manhattan, menjadi gedung ketiga yang runtuh. Tidak ada media yang
memberitakannya karena gedung tersebut runtuh akibat efek domino dari runtuhnya
Menara Kembar. Bukan runtuh karena ditabrak pesawat.
Dalam laporan Komisi 9/11 menyatakan: Gedung pencakar langit ketiga yang
runtuh pada 11 September diberitakan hanya seperti catatan kaki yang sepele karena
memang hampir tidak ada orang melihat runtuhnya Menara 7. Berita tentang
runtuhnya Menara 7 tidak dapat ditemukan dalam surat kabar, majalah, atau pun
media elektronik setelah 11 September.
6. Sebuah pesan berkode dikirimkan secara online
Abu Abdul Rahman, salah satu orang yang bersekongkol di balik peristiwa 11
September, mengirimkan sebuah surat cinta yang mengandung sandi melalui Internet
kepada kekasihnya seminggu sebelum serangan. Ternyata ia adalah rekan dari salah
satu orang yang bertanggung jawab: Ramzi Binalshibh.
Pesan itu berbunyi: Semester pertama dimulai dalam tiga minggu. Dua SMA
(Menara Kembar) dan dua universitas (target-target di Washington DC) Musim
panas ini dipastikan akan panas 19 (jumlah pembajak pesawat) sertifikat untuk
empat lembaga pendidikan swasta dan empat ujian (jumlah pesawat yang digunakan).
Salam untuk profesor. Selamat tinggal.

CNN melaporkan bahwa tiga minggu sebelum 11 September 2001, empat regu
ditugaskan di target-target serangan, dengan tiga diantaranya diberi kode sandi.
Gedung Parlemen AS disebut Fakultas Hukum, Pentagon menjadi Fakultas Seni
Rupa, dan Menara Utara dari WTC diberi kode sandi Fakultas Tata Kota.
7. Sebuah perusahaan kehilangan dua pertiga karyawannya
Perusahaan pelayanan keuangan global Cantor Fitzgerald bisa jadi merupakan
badan usaha yang mendapat efek terburuk akibat serangan 9/11. Kantor pusat
perusahaan tersebut yang terletak di lantai 101 sampai 105 di salah satu Menara WTC
kehilangan 658 dari 960 orang karyawannya, atau dua pertiga total karyawannya.
Setelah tragedi terjadi, Direktur Utama Howard Lutnick menghubungi
koleganya dan mengatakan: Kami bisa saja menutup perusahaan dan datang ke
upacara pemakaman rekan-rekan kami, atau kami bekerja lebih keras untuk
membantu para keluarga yang ditinggalkan. Dan itulah yang mereka lakukan.
Sepuluh tahun kemudian, Cantor Fitzgerald menyerahkan lebih dari $ 180 juta
kepada para keluarga karyawan yang tewas.
8. Baja reruntuhan WTC laku dijual
Akan diapakan tumpukan sisa baja sebanyak 185.101 ton di Ground Zero?
Pihak berwenang AS mendaur ulangnya. Masyarakat sempat marah karena pihak
berwenang menyingkirkan baja-baja itu sebelum benar-benar selesai diperiksa
sebagai barang bukti. Walikota Bloomberg menanggapinya dengan mengatakan: Jika
Anda berminat untuk melihat metode dan desain konstruksnya, komputer saat ini
dapat melakukannya. Melihat tumpukan rongsokan besi tidak akan memberikan Anda
informasi apapun.
Berdasarkan situs 9/11 Research, baja-baja terbesar telah dikirim ke Cina dan
India. Perusahaan Cina Baosteel membeli 50.000 ton dengan harga $ 120 per ton.
Baja yang tersisa digunakan sebagai bahan material tugu peringatan yang disebar di
seluruh 50 negara bagian.
9. Satu mesin pesawat selamat dari kecelakaan
6

Untuk menyelidiki serangan, para insinyur secara sukarela menginvestigasi


struktur bangunan WTC. Menurut Agen Penanggulangan Bencana Federal (FEMA),
sebuah mesin salah satu pesawat yang menabrak Menara Kembar secara mengejutkan
tidak mengalami kerusakan akibat hantaman, ledakan serta runtuhnya menara.
C. Islam dan Muslim dalam Pandangan Amerika
Menurut cendekiawan terkemuka Prancis, Maxime Rodinson, Umat Kristen di
Barat mempersepsi dunia Muslim sebagai bahaya, jauh sebelum Islam dilihat sebagai
masalah nyata. Pandangan ini disepakati oleh sejarawan Inggris Albert Hourani, yang
berpendapat bahwa Islam sejak awal kemunculannya merupakan masalah bagi Eropa
yang kristen. Memandang Islam dengan campuran ketakutan dan ketidakmengertian,
bangsa Kristen tidak bisa menerima kenabian Muhammad ataupun kesejatian wahyu
yang diturunkan kepadanya. Hal yang paling luas diyakini umat Kristen, menurut
Hourani, ialah bahwa Islam adalah agama palsu, Allah bukanlah Tuhan, Muhammad
bukan seorang nabi; Islam dikarang oleh orang-orang yang berniat dan berwatak
buruk, serta didukung kekuatan pedang. Seperti dikatakan oleh seorang Crusader
abad ke-13 dan Polemisis Oliver dari Paderborn: Islam diawali dengan pedang,
dipertahankan dengan pedang, dan dengan pedanglah akan diakhiri.
Interaksi berabad-abad telah menorehkan sejarah pahit antara dunia Islam dan
Barat yang beragama Kristen, sebagian besar disebabkan kedua peradaban
mengklaim sebuah misi dan pesan universal, serta sama-sama merasa mewarisi
kekayaan budaya Yahudi-Kristen dan Yunani-Romawi. Dipisahkan oleh konflik dan
disatukan oleh ikatan-ikatan material dan spiritual yang sama, umat Kristen dan
Muslim merupakan sebuah tantangan religius, intelektual, sekaligus militer terhadap
satu sama lain. Seorang pemikir Jerman abad ke-19, Friedrich Schleiermacher,
beranggapan orang-orang Kristen dan Muslim masih saja berlomba untuk menguasai
ras manusia. Tetapi, gambaran permusuhan Barat-Muslim yang tidak juga mereda
ini bisa disalahartikan. Walaupun konflik yang timbul dari faktor-faktor budaya,

religius, dan ideologis ini telah menjadi norma, politik real dan kepentingan antar
negara juga membentuk hubungan antar kedua peradaban.
Secara historis, kekuatan-kekuatan Barat merasa nyaman saja bersekutu dengan
Muslim melawan sesama kekuatan Kristen. Sepanjang abad ke-19, Prancis, Inggris,
dan Jerman bersatu dengan bangsa Muslim Ottoman melawan musuh-musuh Eropa
mereka. Meski ada kelemahannya yang sudah inheren, kekaisaran Ottoman
merupakan pemain integral dalam sistem keseimbangan kekuasaan (balance of
power) antar negara Eropa. Penghancuran kekaisaran ini pada tahun 1918 terjadi
sebagai akibat bergabungnya ia dengan Jerman dalam Perang Dunia I melawan
kekuatan Sekutu. Inggris dan Prancis juga bersekutu dengan Muslim Arab untuk
mengimbangi kekuatan Ottoman dan Jerman. Antara tahun 1919 dan dekade 1950an,
kepentingan Eropa di masyarakat Muslim lebih dipengaruhi oleh keharusan yang
muncul dari kebijakan kolonial dan dekolonisasi, bukan karena sentimen-sentimen
agama. Pejabat-pejabat Inggris dan Prancis berkolaborasi dengan siapapun yang bisa
memenuhi kebutuhan mereka, apakah ia Islamis atau Nasionalis. Kekuatan
pendorong kebijakan Timur Dekat yang dianut Paris dan London adalah kontrol
politik dan perhitungan ekonomi, bukan variabel agama atau budaya.
Tidak seperti Eropa, Amerika Serikat tidak terlibat dalam hubungan panjang
dan berdarah dengan negara-negara maupun masyarakat Muslim. Amerika tidak
pernah secara langsung menguasai tanah Arab dan Muslim ataupun membentuk
sistem rumit penjajahan seperti yang dilakukan Eropa.
Pada tiga dasawarsa yang lalu ada kurang dari setengah juta orang Muslim di
Amerika, trmasuk kaum imigran dan orang Amerika keturunan Afrika. Meskipun
perkiraan jumlah orang Muslim amat luas dalam hal populasi penduduk saat ini, dan
kadang ada ketidaksepakatan mengenai siapa yang harus secara tepat diidentifikasi
sebagai orang Muslim, konsesusnya yakni ada sekitar enanm juta orang Muslim yang
tinggal secara permanen di Amerika dan bahwa komunitas tersebut terus meningkat
secara mantap dari tahun ke tahun. Secara umu, kaum Muslim sendiri diperkirakan
bahwa jumlah tersebut sebenarnya lebih besar lagi. Ada banyak factor yang

menyebabkan peningkatan jumlah atas para imigran generasi pertama, keda dan
ketiga, dan juga sejumlah mahasiswa Muslim yang tinggal di Amerika
Pada bagian awal abad ke-20, Amerika yang tidak terikat dengan kebutuhankebutuhan kolonial atau geografis membangun hubungan yang santun dan dinamis
dengan bangsa Arab dan Muslim, yang melihat Amerika sebagai negeri yang
progresif, tanpa menghiraukan reaksi Eropa.
Bahkan setelah negara ini menjadi adikuasa, Amerika lebih tidak terhambat lagi
oleh faktor-faktor kolonial, historis, dan budaya, dibanding kawan-kawan Eropanya.
Kontrol politik dan ekonomilah yang menjadi pendorong kebijakan Washington
untuk Timur Dekat. Lebih lanjut, bertolak belakang dengan orang-orang Eropa,
bangsa Amerika tidak tampak terganggu dengan munculnya komunitas Muslim
imigran di tengah-tengah mereka; di Amerika serikat, yang menjadi fokus ketakutan
para asimilasionis akan ancaman imigran adalah orang-orang Spanyol. Walaupun
tantangan religius dan intelektual Islam terus mewarnai imajinasi banyak orang di
Amerika, namun yang mengusik benak orang-orang Amerika adalah dampak-dampak
hankam dan strategis dari politik massa Islam, bukan isu religius dan intelektual itu
sendiri.
Terorisme, menurut Walter Lacquer, berakar dari adanya ketimpangan sosial
ekonomi yang luas di dalam masyarakat. Max Bellof menunjuk kepada sumber yang
lebih luas, yaitu bila di dalam masyarakat ada ketidakadilan, atau bila ada bagian dari
kelompok-kelompok masyarakat yang merasa tidak mendapat perlakuan secara adil
di bidang politik, ekonomi, maupun sosial kultural.
Secara teoritis, Bellof menjelaskan bahwa terorisme tidak terjadi serta merta.
Ada sebab-sebab yang menimbulkan ketidakpuasan sosial yang bersifat akumulatif,
kian hari kian menumpuk, yang pada mulanya selalu diawali oleh hal yang dinggap
sepele. Semula hanya berupa keluhan (grivances) mengenai satu dua kebijakan. Bila
keluhan itu tidak mendapat tanggapan yang memuaskan, atau tidak mendapatkan
jalan keluar, keluhan itu mudah berkembang menjadi taraf yang lebih jauh, yaitu
keresahan sosial. Meningkatnya skala ketidakpuasan menjadi taraf keresahan sosial
diidikasikan oleh munculnya berbagai pernyataan ke permukaan yang wujudnya tidak

lagi sekadar menyuarakan ketidakpuasan, tetapi sudah meningkat menjadi kecaman


dan kemudian menjadi pencelaan terbuka siapa yang dianggap sebagai biang keladi
dari masalah sosial yang ada. Kecaman dan pencelaan itu sepenuhnya benar, bisa
sebagian benar, tetapi juga bisa tidak ada dasarnya sama sekali.
Dalam masyarakat yang tertutup, kecaman atau pencelaan itu tidak selalu
diungkapkan

secara

terbuka.

Adanya

ketidakpuasan

direfleksikan

oleh

berkembangnya desas-desus, lelucon-lelucon politik, sampai kepada surat kaleng dan


bulletin gelap. Kersahan yang meningkat ditandai oleh adanya unjuk rasa yang kian
lama memperlihatkan wajah yang kian beringas.
Gejala kecaman, pencelaan, desas-desus, surat kaleng, selebaran gelap, dan
lelucon politik, serta unjuk rasa tersebut mengindikasikan berlangsungnya tahap dini
dari frustasi sosial yang menuju kepada proses alienasi politik masyarakat. Ciri dari
adanya alienasi adalah sikap apriori, bersikap penentangan terhadap segala sesuatu
yang berasal dari establishment. Keterasingan yang akut senantiasa bermuara kepada
dua hal : apatisme dan keberingasan , keduanya sama buruknya.
Fuad Fanani memandang isu terorisme ini sendiri merupakan suatu bentuk
pembenaran dari teori Clash of Civilization yang sangat dipengaruhi oleh hubungan
Barat dan Islam. Hal ini terlihat jelas, ketika tragedi itu terjadi di AS, namun akan
berbanding terbalik jika hal serupa terjadi dinegara ataupun wilayah lain, terutama
sekali jika terjadi di wilayah mayoritas muslim. Banyak contoh tragedi yang lebih
besar yang pernah terjadi di dunia, baik yang sudah berlalu atau yang masih
berlansung. Tetapi, melalui kejadian ini, AS memberikan perhatian yang sangat besar
terhadap umat Islam. Fuad menyimpulkan, bahwa yang terjadi dan berkembang pasca
9/11 merupakan suatu bentuk pembenaran dari teori Huntington, benturan peradaban.
Huntington, dalam bukunya The Clash of Civilizations and The Remarking of
Word Order, berpendapat bahwa dengan berakhirnya perang dingin sumber konflik
utama yang dihadapi umat manusia tidak lagi masalah ideologi dan ekonomi, tetapi
perbedaan kebudayaan. Bagi Huntington, posisi Barat dianggap sebagai suatu
identitas tersendiri yang seakan-akan kokoh. Seperti yang dinyatakan oleh Fouad
Ajami, dalam sebuah komentar tajam tentang risalah Huntington: Barat itu sendiri

10

tidak diperiksa dalam essensi Huntington. Tidak ada retakan yang melintasinya. Tak
ada suara multikulturalis yang didengar. Ia tertib dalam bukunya sendiri (Gunawan
Muhammad, 1994: 15).
Tesis tersebut secara tidak langsung memperkuat asumsi sebagian besar
ilmuwan Barat yang melihat Islam sebagai aggression and hostility (agresi dan
ancaman), dengan memberikan stereotipestereotipe yang sifatnya simplistic seperti,
"Islam fanatik," "Islam militan," "Islam fundamentalis," dan seterusnya. Pendek kata,
bagaimana Barat menciptakan stereotipe-stereotipe simplistis yang menunjukkan
wajah the rage of Islam. Nampaknya terlalu sederhana untuk mengatakan Islam yang
majemuk itu secara keseluruhan menentang dan berbenturan dengan Barat. Islam
dalam penghayatan dan budayanya bukanlah merupakan suatu entitas tunggal
(melainkan kompleksitas). Ia seperti juga agama-agama lain yang secara konstan
terfragmentasi antara kekuatan yang mendorong modernisasi dan kekuatan tradisi
lokal.
Benturan antara Islam dan Barat dibalik Isu perang lobal melawan terorisme
tidak bisa dihindarkan, dimana kekuatan Barat dan para sekutunya bersatu dalam
sebuah misi memburu hantu kelompok terorisme dan menghabiskan seluruh
jaringannya yang tidak kunjung habis.
Sebuah babak baru dalam sejarah dunia, yang diprakarsai oleh AS bersatu padu
melawan sebuah jaringan terorisme yang disebut-sebut sebagai kelompok Islam
radikal, yang dapat mengancam keamanan dan kepentingan perdamaian dunia. Sejak
deklarasi perang terhadap terorisme global, dunia Islam khususnya Timur Tengah
tidak pernah tenang dan stabil, selalu saja ada pertumpahan demi pertumpahan darah
yang terjadi antara kelompok yang dianggap teroris dan kelompok yang melawan
terorisme, baik yang berhadapan lansung dengan tentara sekutu AS, ataupun dengan
perpanjangan tangannya diwilayah tertentu.
Benturan yang terjadi dalam perang global melawan terorisme yang
mempertemukan antara dua kubu, antara kelompok yang disebut dengan Islam
radikal dan Barat menambah catatan sejarah yang pernah terjadi antara hubungan
Islam dan Barat. Benturan antara Islam dan barat memang bukan hal baru, namun itu

11

sebuah sejarah yang terus berjalan. Kehadiran Islam pada awalnya pernah menjadi
ancaman bagi barat baik secara wilayah kekuasaan maupun secara ideologi.
Perkembangan isu Islam dan terorisme yang begitu gencar terdengar, sehingga
terbentuknya frame yang secara spontanitas ketika mendengar kata teroris dan
terorisme yang tergambar adalah umat / pergerakan Islam, itu tidak bisa dilepaskan
dari pengaruh media yang sangat besar dalam menyampaikan sebuah berita untuk
membentuk opini umum secara tidak lansung. Setelah serangan 11 September, media
memiliki peran penting dalam menyebarkan isu terkait Islam dan terorisme, bahkan
tema ini selalu menjadi topik utama atau headline di setiap pemberitaan. Media Barat
pasca tragedy 9/11 memiliki peran aktif dalam dalam membentuk dan
mengembangkan persepsi terkait Islam dan terorisme, dimana bahasa dan tema
tentang terorisme sering dibarengi dengan Islam, baik melalui media cetak, media
audio dan visual.
D. Babak Baru Diskriminasi Kehidupan Muslim Amerika Pasca Bom WTC
Pasca bom WTC yang menewaskan lebih kurang 3000 jiwa menjadi alasan
utama AS untuk mengeluarkan dekrit perang terhadap terorisme. Apakah disengaja
atau tidak, akan tetapi perang global terhadap terorisme yang digembar gemborkan
memiliki dampak bagi umat Islam. Baik dari opini yang dikembangkan maupun dari
aksi yang dilakukan serta kebijakan yang dikeluarkan. Sehingga terbentuk sebuah
pola pemikiran, terorisme identik dengan umat Islam. Begitu juga dengan apa yang
terjadi di Indonesia, tidak jauh berbeda dengan apa yang dikembangkan terkait isu
Islam dan terorisme pasca bom WTC. Beranjak dari sini, banyak spekulasi pemikiran
yang berkembang tentang kebijakan AS mencetuskan perang global terhadap
terorisme, ada yang menyatakan bahwa ini merupakan salah satu agenda perang
terhadap dunia Islam, namun ada juga yang menyangkal bahwa ini bukanlah agenda
perang terhadap Islam, karena banyak diantara negara-Islam juga ikut andil dalam
agenda ini.
Diskriminasi dan perilaku menyimpang terhadap warga Muslim di Barat,
khususnya di Amerika Serikat, terjadi dalam berbagai bentuk. Bahkan hal-hal itu juga
12

berdampak pada pemberian layanan yang timpang di berbagai restoran, pusat-pusat


hiburan dan semacamnya. Kerap warga Muslim mendapat perilaku buruk dan tidak
terhormat, olokan, penghinaan dan lain-lain. Di lain pihak, pihak berwenang
menunjukkan

sikap

yang

lebih

ekstrim

terhadap

warga

Muslim

dengan

penggeledahan tidak terhormat, pemukulan dan berbagai perilaku diskriminatif lain.


Potret Islam Di Amerika Serikat ini seolah ternoda oleh aksi tersebut. Tak
pelak, umat Islam meski mereka tak terlibat, tidak setuju, atau malah mengutuk aksi
tersebut ikut terimbas. Sejumlah media massa melaporkan, umat Islam Di Amerika
Serikat terkena getah serangan tersebut. Laporan diskriminasi terhadap mereka
meningkat tajam dan sejumlah aksi kekerasan terhadap warga Muslim atau yang
disangka Muslim terjadi beberapa di antaranya bahkan mengakibatkan kematian.
Sesaat setelah tragedi 11 September 2001, luapan amarah dan kebencian sempat
ditumpahkan kepada orang Islam yang dianggap sebagai pelaku tragedy tersebut.
Pada beberapa kasus, umat Islam atau yang dikira Muslim bahkan mendapat
gangguan teror, baik secara fisik mau pun mental.
Peristiwa 11 September 2001 juga berimplikasi pada kehidupan minoritas umat
Islam di Amerika dan Eropa, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh komunitas
muslim yang notabene adalah warga minoritas. Tantangan-tantangan itu berupa
perlakuan diskriminasi, pelecehan, dan mendapatkan tindakan-tindakan kejahatan
lainnya. Sebagian besar warga Muslim Amerika yang mendapat perlakuan tidak baik
ialah para pelajar Muslim, di sekolah-sekolah mereka mendapatkan diskriminasi dan
pelecehan seperti anak teroris, dianggap aneh dengan pakaiannya serta perlakuan
yang melecehkan lainnya.
Di Dearborn, Michigan ditemukan graffiti yang ditulis di kalender sholat umat
Islam. Disitu tertulis Islam is Evil and Christ is King. Selain itu retorika
kebencian terhadap Islam juga banyak muncul di media salah satunya ialah apa yang
ditulis oleh Ann Coulter seorang kolumnis town hall menulis We Should invade
their countries, kill their leaders and convert them to Christianity.
Tak urung, organisasi-organisasi Islam Di Amerika Serikat pun kebanjiran
tugas. Selain menampung keluhan atau pengaduan jamaahnya, mereka juga harus

13

menjadi jembatan yang menghubungkan antara umat Islam dan masyarakat AS


lainnya. Tugas tersebut tentunya tidaklah mudah. Mereka dihadapkan pada pergulatan
identitas: sebagai Muslim sekaligus sebagai warganegara AS.
Dampak paling sering yang diterima warga Muslim Amerika pasca peristiwa 11
September ialah terbatasnya kebebasan sipil mereka. Seperti survey yang dilakukan
oleh Cornell University yang menemukan bahwa sekitar 44% penduduk Amerika
Serikat yang disurvei mempercayai bahwa pemerintah Amerika Serikat seharusnya
membatasi kebebasan sipil penduduk Muslim Amerika. Penduduk Muslim Amerika
Serikat sering mengalami kesulitan menjalani kehidupannya di Amerika setelah
peristiwa 11 September ini. Survei yang dilakukan oleh Cornell University juga
menyatakan bahwa 27% dari 1000 responden mendukung persyaratan bahwa seluruh
penduduk Muslim merika Serikat untuk mendaftarkan alamat rumah mereka ke
pemerintahan federal,dan 29% percaya bahwa agen bawah tanah seharusnya
menginfiltrasi organisasi muslim sipil.10 Data-data ini merefleksikan bahwa pasca
peristiwa 11 September 2001 retorika anti Muslim mengalami peningkatan.
Kesulitan lain yang dialami penduduk Muslim Amerika Serikat ialah penolakan
pendirian masjid baik baru maupun hanya sekedar merenovasi bangunan yang sudah
ada. Begitu banyak alasan penolakan warga seperti not in my backyard. Penolakan
ini tidak lagi menjadi sesuatu yang incidental melainkan telah menjadi sesuatu yang
terorganisasi, hal ini tercermin seperti apa yang terjadi di Voorhees New Jersey. Pada
saat itu komunitas Muslim mengajukan permohonan izin mendirikan masjid, tidak
lama setelah itu tersebar pamflet ke rumah penduduk yang berbunyi kelompok
ekstrimis yang memiliki jalinan dengan teroris akan membangun peribadatannya di
sini.11 Pasca serangan 11 September 2001 kehidupan warga Muslim Amerika
menjadi sangat sulit dan mereka merasa tertekan. Menurut survei yang dilakukan
pada tahun 2007, 53% Muslim Amerika menganggap bahwa menjadi lebih sulit
menjadi seorang Muslim (di AS) setelah serangan itu.12 Wanita Muslim yang
menggunakan hijab/jilbab diganggu, menyebabkan beberapa wanita Muslim lebih

14

memilih untuk tinggal dirumah, sedangkan yang lainnya untuk sementara


meninggalkan praktik (pekerjaan).
Salah satu organisasi yang giat menjembatani warga Amerika dan umat Islam di
AS adalah Council on American-Islamic Relations (CAIR). CAIR termasuk salah
satu organisasi Islam di Amerika Serikat yang tumbuh pesat. Menurut Direktur
Eksekutif CAIR Dr Nihad Awad, lembaga yang dipimpinnya kini memiliki sekitar
250 ribu anggota. Bahkan beberapa di antaranya adalah non-muslim.
Pasca tragedi 11 September 2001 bukanlah wajah yang ramah, terutama bagi
kaum Muslim. Bukan hanya bagi warga dari negara-negara Islam, bahkan terhadap
warga negaranya yang Muslim pun, AS memasang wajah garang. Data menunjukkan
ada peningkatan luar biasa dalam kasus diskriminasi yang dialami umat Islam di AS
pasca tragedi 9 September lalu. Tercatat 14 ribu sampai 15 ribu kasus yang ditangani
CAIR (Council on American-Islamic Relations). Padahal sebelumnya hanya 300-400
kasus saja yang ditangani CAIR.
Menurut Karen Amstrong dialog tidak hanya sekedar menyampaikan pendapat
tetapi juga dibutuhkan kemampuan mendengarkan pihak lain. CAIR melalui lembaga
risetnya mencoba mendengarkan opini publik Barat mengenai Islam. Salah satu hasil
dari survei itu menyimpulkan bahwa mayoritas warga Amerika bersedia mengubah
persepsi mereka menjadi lebih baik terhadap masyarakat Muslim seandainya mereka
melihat empat hal.

Pertama, Ada 69% responden survei mengatakan, akan mengubah persepsinya


tentang Islam seandainya komunitas Muslim lebih menyuarakan suara-suara tidak
setuju atau mengutuk tindakan-tindakan terorisme. Selama ini, mereka merasa kurang

mendengarkan itu.
Kedua, jika perlakuan masyarakat Muslim terhadap perempuan lebih baik lagi.
Ketiga, jika umat Muslim lebih berusaha membuka diri dan bergaul dengan warga

Amerika Serikat.
Keempat, bila umat Muslim tampak lebih toleran terhadap warga non Muslim di
negeri negeri Muslim sendiri.

15

Dari hasil survei di atas, pandangan warga Amerika Serikat mengenai Islam
masih sangat buruk, sehingga dibutuhkan berbagai strategi untuk memperbaiki
pandangan mereka mengenai Islam. Salah satunya ialah mendidik publik Barat
mengenai Islam dan juga melakukan tindakan-tindakan yang mereka inginkan yaitu
mengutuk segala tindakan Terorisme.
Masalah diskriminasi setelah 11 September juga diakui oleh Imam Yahya
Hendi, seorang cendikiawan Muslim yang mengajar di Georgetown University.
Namun menurut master lulusan Yordania ini, reaksi tersebut terhitung normal
mengingat ketidaktahuan masyarakat AS akan Islam. Umat Islam memang sempat
ketakutan. Begitu banyak rasa amarah. Begitu besarnya sikap tidak peduli pada Islam.
Maka (reaksi tersebut) bisa dimengerti. Itu hal yang normal. Maka bagaimana pun,
kita perlu mendidik mereka tutur pria kelahiran Yerusalem, Palestina, ini.
Hari-hari penuh ketakutan memang sempat mewarnai kehidupan sehari-hari
umat Islam AS, termasuk di Dearborn, Michigan. Dearborn adalah sebuah daerah
dengan komunitas warga Arab yang terbesar sekitar 250 ribu orang di AS.
Seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tinggal di Detroit
mengakui bahwa umat Islam kini takut memberikan dana apa pun pada kegiatan
Islam, termasuk zakat sekali pun. Menurutnya, ruang gerak Muslim lebih terbatas
dibandingkan sebelum 11 September. Mereka harus berhati-hati. Kalau pun
memberikan zakat, mereka tidak mau menuliskan nama mereka kata pria keturunan
Irak yang menolak disebutkan jati dirinya ini. Akibat ketakutan ini, jumlah zakat dan
infak yang digalang umat Islam pun berkurang. Sebelum tragedi 11 September,
jumlah dana yang terkumpul di seluruh AS mencapai 4 juta dolar AS setiap tahunnya.
Namun ia mengakui bahwa dalam kehidupan sehari-hari, warga AS bersikap ramah.
Umumnya warga AS cukup ramah. Sehari-hari, semuanya berlangsung mulus-mulus
saja, jelasnya. Jilbab memang menjadi salah satu identitas keislaman yang menyolok
di kalangan wanita Muslim.
Tak jarang, jilbab menjadi masalah saat umat Islam tengah menjadi sorotan. Hal
ini diakui oleh pasangan muda asal Indonesia, Fauzul (30 tahun) dan Noor Fitrie (29

16

tahun) yang ditemui di Masjid Al Hikmah di Queens, New York. Sang istri, Fitrie,
sempat diminta untuk membuka jilbabnya saat mereka berada disebuah bandara AS.
Namun Fitrie menyatakan akan membuka jilbabnya jika di sebuah ruang tertutup.
Akhirnya petugas membatalkan permintaannya dan kami boleh lewat tutur Fauzul.
Tetapi dalam kehidupan sehari-hari jilbab tidak menjadi kendala bagi Fitrie.
E. Peristiwa Yang Mengubah Amerika
Peristiwa 11 September 2001 terjadi di dua kota, New York dan Washington
serta tercatat sebagai peristiwa besar dan menentukan dalam sejarah modern. Meski
bukan pertama kalinya peristiwa teror terjadi di Amerika, namun transformasi pasca
11 September menunjukkan bahwa kejadian ini bukan peristiwa biasa, namun sebuah
transformasi yang sangat menentukan.
Namun faktor apa sebenarnya yang membuat insiden tabrakan tiga pesawat
komerisal ke gedung WTC di New York dan Pentagon di Washington begitu
menentukan? Beberapa tahun sebelumnya, dalam sebuah serangan teror di kota
Oklahama, 180 orang tewas, namun peristiwa ini tidak mengubah sikap pemerintah
Amerika. Wajah Amerika yang ditampilkan kepada dunia pasca peristiwa 11
September dengan AS sebelum insiden ini berbeda jauh. Amerika di dekade
sebelumnya berulang kali mendapat serangan teror di berbagai dunia, namun reaksi
pemerintah Amerika pasca peristiwa 11 September menunjukkan sikap mereka sangat
berbeda dengan reaksi yang ditunjukkan sebelumnya di peristiwa seperti pemboman
club malam Amerika di Beirut.
Dapak pertama dari runtuhnya menara kembar WTC adalah ketakutan. Dengan
kata lain, untuk pertama kalinya rakyat Amerika merasa takut terhadap teroris dan
dampak dari aksinya. Kematian mendadak 3000 orang yang sempat membuat lumpuh
kehidupan di kota terbesar AS, menjadi pukulan telak kepercayaan warga kepada
pemerintah terkait sistem keamanan nasional. Sebelum peristiwa 11 September,
perang dan pembantaian massal hanya muncul di televisi dan hanya sedikit yang

17

memberitakan kejadian seperti ini. Namun pasca 11 September, ketakutan akan masa
depan dan lumpuhnya negara mulai muncul di hati jutaan warga AS. Selanjutnya
pertanyaan jika peristiwa serupa 11 September kembali terjadi, apa yang akan
menimpa mereka
Ketakutan akibat instabilitas keamanan dan pasca 11 September membuat
Amerika cenderung ke arah konservatif. George W. Bush, presiden AS saat itu yang
kemenangannya di pilpres menimbulkan kontradiksi dalam semalam berubah menjadi
pahlawan, bahkan rivalnya di pilpres pun mendukung penuh kebijakan ofensif Bush
untuk menghukum pelaku peristiwa 11 September. Bush sendiri menyebut peristiwa
ini sebagai perang Salib baru dan setiap indikasi serta simbol Islam atau gerakan
Islam sebagai gerakan yang mengancam keamanan nasional AS. Oleh karena itu,
negara yang selama 200 tahun menjadi tujuan akhir para imigran berubah menjadi
negara anti asing serta kehidupan ratusan ribu imigran muslim serta keturunan Arab
semakin sulit. Proses ini sampai pada tahap di mana seorang warga Sikh Amerika
dibunuh karena ikat kepalanya mirip dengan pakaian Arab.
Rasa takut, konservatif dan nasionalisme ekstrim membuat Amerika menjadi
negara yang semakin berbahaya. Jika sebelum peristiwa 11 September, pemerintah
AS dengan dalih perang melawan terorisme, pemimpin dunia bebas, memperluas
investasi dan membela hak asasi manusia kerap menggelar perang, pasca peristiwa 11
September, balas dendam pribadi dan menghadapi ancaman serangan ke wilayah
Amerika menjadi alasan tersendiri bagi negara adidaya ini untuk memaksakan perang
ke Afghanistan.
Selang 10 tahun kemudian, ratusan ribu orang di Afghanistan dan disusul di
Irak tewas untuk membalas kematian 3000 orang yang tewas dalam peristiwa 11
September. Selama itu, pula lebih dari satu trilyun dolar secara langsung dan tiga
trilyun dana tak langsung dikeluarkan untuk membiayai perang. Krisis ekonomi
terbaru di Amerika juga imbas dari dana besar-besaran yang harus ditanggung negara
ini dalam dua perang di Afghanistan dan Irak.

18

Kini setelah 12 tahun dari peristiwa 11 September, Amerika menjadi semakin


penakut, lebih konservatif dan nasionalismenya pun semakin tebal serta semakin haus
perang dari sebelumnya. Reaksi AS dari peristiwa 11 September semakin kuat.
Sentimen ini membuat pemerintah Amerika secara transparan mengaku sebagai polisi
dunia. AS pun semakin memperluas jaringan spionasenya dan dengan seenaknya
melanggar kebebasan individu serta sosial.
Berbagai peristiwa di dunia yang saat ini tengah terjadi akibat ulah Amerika,
padahal insiden 11 September yang telah berlalu lebih dari satu dekade sampai saat
ini masih belum jelas pelaku dan motifnya. Artinya, meski adanya dokumen resmi
dari pemerintah AS atas kejadian ini, sampai kini masih tersisa banyak pertanyaan di
antaranya Apakah al-Qaeda tanpa bantuan anasir dalam negeri AS mampu
menghancurkan menara kembar WTC di New York
Hal ini pantas dipertanyakan mengingat di reruntuhan gedung Pentagon tidak
ditemukan bakas-bekas pesawat komersial. Apakah Bush dan penasehatnya tidak
mengetahui ancaman serangan ke AS dalam waktu dekat? Mengapa Amerika yang
memiliki peralatan canggih spionase dan sistem keamanan yang kuat tidak mampu
mencegah terjadinya peristiwa tersebut? Mengapa 30 lembar laporan tim penyidik
Kongres dinyatakan terlarang oleh pemerintah Amerika? Akhirnya apa peran yang
dimainkan pemerintah AS dalam menciptakan milisi radikal al-Qaeda dan tokoh
seperti Osama bin Laden
Bagaimana pun juga terlepas dari realita sebenarnya dari 11 September dan
rahasia apa yang disembunyikan oleh bangsa AS, sebuah realita yang tak dapat
dipungkiri adalah para elit politik Washington pemenang utama karena di era tanpa
musuh pasca runtuhnya blok Timur dan ambruknya Komunis, tiba-tiba muncul
musuh menakutkan dan haus darah di mana kebebasan sosial terancam dan anggaran
militer besar-besaran serta pengiriman pasukan bagi AS menjadi hal yang sangat
urgen. Kondisi ini pun mampu menutupi berbagai kendala politik, ekonomi, sosial
dan budaya Amerika. Oleh karena itu dalam pandangan elit politik Amerika
"Mampuslah pelaku peristiwa 11 September dan berjayalah dampak dari tragedi ini".
19

Para pengamat menilai kejadian pasca serangan 11 September lebih penting


dari peristiwa 12 tahun itu. Tidak diragukan lagi, AS berupaya memanfaatkan
peristiwa 11 September demi kepentingan mewujudkan ambisinya. Washington
berupaya menguasai dunia dari sisi politik, militer dan ekonomi. Peristiwa satu
dekade lalu itu dijadikan alasan untuk menjustifikasi penjarahan emas hitam yang
dilakukan AS di negara-negara kawasan Timur Tengah. Kini, pemerintah AS alih-alih
berhasil meraih tujuannya di kawasan, Negeri Paman Sam itu justru mengalami
kondisi yang lebih buruk dari 12 tahun lalu dari sisi politik, militer dan ekonomi.
Krisis ekonomi yang menimpa AS menyebabkan masalah besar di dalam
negeri. Tidak hanya itu, seiring melemahnya sistem perekonomian AS, sistem
Neoliberalisme yang diusung AS dan negara-negara Barat sebagai model ekonomi
global yang maju mengalami kegagalan.
AS sebagai negara tujuan investasi yang paling aman di dunia mulai
dipertanyakan dan kredibilitas finansial AS mulai goyah. Para investor asing pun
mulai berpikir untuk menarik modalnya dari Negeri Paman Sam itu. Tentu saja,
masalah ini menjadi pukulan telak bagi ekonomi AS yang selama ini dibesar-besarkan
sebagai deretan negara paling mapan di dunia.
Dari sisi militer, AS gagal menjadikan Afghanistan dan Irak sebagai pangkalan
militer negaranya. Mereka juga gagal menghancurkan Taliban dan kini menggulirkan
perundingan dengan milisi teroris itu. Dari sisi politik, AS bukan hanya tidak mampu
meningkatkan pengaruhnya di dunia pasca serangan 11 September. Namun
sebaliknya pengaruhnya semakin terbatas dan rezim rezim boneka AS di kawasan
Timur Tengah satu persatu mulai tumbang.
DAFTAR REFERENSI

20

Gerger, A Fawas. 1999. Amerika Dan Politik Islam Benturan Peradaban Atau
Benturan Kepentingan. Jakarta : Anggota IKAPI.
Ismail MA, Drs. Faisal. 2008. Perkembangan Islam DI Amerika.-Nizmi, Yusnarida Eka. 2015. Pandangan Amerika Terhadap Perempuan Muslim
Pasca Serangan Sebelas September 2001. Vol 11 No 1.
Rauf, Feisal Abdul. 2013. Islam Amerika : Refleksi Seorang Imam Di Amerika
Tentang Keislaman Dan Keamerikaan. Jakarta : Mizan.
Salwasalsabila, Syarifah. 2008. Islam, Eropa, & Logika. Yogyakarta : O2.
Schumann, Olaf H. 2006. Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan.
Jakarta : Gunung Mulia.
Setiawan, Teguh. 2003. Muslim di Amerika dan Cina : Perjuangan Merengkuh
Identitas. Jakarta : Republika.
Smith, Jane I. 2005. Islam Di Amerika. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Yatim MA, Dr Badri. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Z.A. MAulani, dkk. 2003. Islam & Terorisme. Yogyakarta :UCY Press.
http://koranopini.com/internasional/terbongkar-serangan-11-september-2001-adalahkebohongan (diakses 1 Mei 2016, 07.00)
http://www.fadhilza.com/2008/12/kehidupan-manusia/islam-di-amerika-setelahtragedi-11-september-2001.html (diakses 1 Mei 2016, 07.00)
http://indonesian.irib.ir/ranah/telisik/item/69225-11_SeptemberPeristiwa_yang_Mengubah_Amerika (diakses 1 Mei 2016, 07.00)
21

http://nurdin0705hidayat.blogspot.co.id/2013/03/isu-terorisme.html (diakses 1 Mei


2016, 07.00)

22

Anda mungkin juga menyukai