Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan
fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel karena kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit
(Smeltzer dan Bare, 2004). Penyakit ini merupakan sindrom klinis yang terjadi
pada stadium gagal ginjal yang dapat mengakibatkan kematian kecuali jika
dilakukan terapi pengganti (Soeparman, 2003). Gangguan ginjal yang telah berada
pada tahap berat ditunjukkan dengan ketidakmampuan ginjal membuang sisa-sisa
zat metabolisme dari dalam tubuh. Ketidakmampuan ginjal menyebabkan tubuh
dipenuhi dengan air dan racun sehingga timbul gejala seperti mual, muntah dan
sesak napas yang memerlukan hemodialisa darah sesegera mungkin (Indonesian
Kidney Care Club/IKCC, 2008).
Menurut Kusmardanu (2008), data yang diperoleh dari The US Renal Data
System (USRDS) tahun 1999 terdapat 340.000 pasien yang menjalani terapi
hemodialisa sedangkan tahun 2010 diperkirakan meningkat sampai 651.000
pasien. The Third National Health and Examination Survey (NHANES III)
mengestimasikan prevalensi penyakit ginjal kronis pada orang dewasa di Amerika
Serikat sekitar 11% (19,2 juta penduduk) terdiri dari 3,3% (5,3 juta) pada derajat
satu, 3% (5,3 juta) pada derajat dua, 4,3% (7,6 juta) pada derajat tiga, 0,2%
(400.000) pada derajat empat, dan 0,2% (300.000) pada derajat lima atau gagal
ginjal. Skala internasional, rata-rata insiden dari penyakit ginjal kronis derajat
lima mengalami peningkatan terus menerus sejak tahun 1989.
Prevalensi penderita gagal ginjal kronis di Amerika Serikat pada akhir tahun
2002 sekitar 345.000 orang sedangkan tahun 2007 terjadi peningkatan 80.000
orang. Setiap tahunnya sekitar 70.000 orang di Amerika Serikat meninggal dunia
disebabkan oleh gagal ginjal (Kusmardanu, 2008).
Menurut Annual Data Report United States Renal Data System yang dirilis
pada tahun 2000, memperkirakan gagal ginjal kronis mengalami peningkatan
hampir dua kali lipat dalam kurun waktu tahun 1998-2008. Gagal ginjal kronis di

Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 8% tiap tahun. Data yang


diterima dari RSU dr. Soetomo Jakarta pada tahun 2004-2006, diperkirakan tiap
tahun ada 2.000 pasien baru dengan kasus gagal ginjal. Data tersebut didapat
bahwa sekitar 60%-70% dari pasien tersebut menjalani terapi dengan kondisi
sudah masuk tahap gagal ginjal kronis sehingga pasien harus bergantung pada
hemodialisa seumur hidup (Winata,2007 dalam Desita, 2009).
Soeparman (2003) mengatakan, Pusat Data & Informasi Perhimpunan Rumah
Sakit Seluruh Indonesia (PDPERSI) menunjukkan jumlah penderita gagal ginjal
kronis di Indonesia yang menjalani terapi hemodialisa sekitar lima puluh orang
per satu juta penduduk. Menurut laporan tahunan dari Yayasan Ginjal Diatrans
Indonesia (YGDI) tahun 2006, diperkirakan jumlah penderita gagal ginjal kronis
di Indonesia sebanyak 150 ribu pasien dan jumlah total pasien tersebut 21%
berusia 15-34 tahun, 49% berusia 35-55 tahun, dan 30% berusia diatas 56 tahun.
Hemodialisa merupakan terapi pengganti ginjal yang bertujuan untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein atau mengoreksi gangguan
keseimbangan air dan elektrolit. Terapi hemodialisa yang dijalani penderita gagal
ginjal tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin
yang dilaksanakan ginjal akan berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien
(Smeltzer dan Bare, 2004).
Kualitas hidup merupakan keadaan dimana seseorang mendapat kepuasaan
dan kenikmatan dalam kehidupan sehari-hari. Kualitas hidup tersebut menyangkut
kesehatan fisik dan kesehatan mental yang berarti jika seseorang sehat secara fisik
dan mental maka orang tersebut akan mencapai suatu kepuasan dalam hidupnya.
Kesehatan fisik itu dapat dinilai dari fungsi fisik, keterbatasan peran fisik, nyeri
pada tubuh dan persepsi tentang kesehatan. Kesehatan mental itu sendiri dapat
dinilai dari fungsi sosial, dan keterbatasan peran emosional (Hays, 1992 ).
Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis yang menjalani terapi hemodialisa masih
merupakan masalah yang menarik perhatian para profesional kesehatan. Pasien
bisa bertahan hidup dengan menjalani terapi hemodialisa, namun masih
menyisakan sejumlah persoalan penting sebagai dampak dari terapi hemodialisa.
Mencapai kualitas hidup perlu perubahan secara fundamental atas cara pandang
pasien terhadap penyakit gagal ginjal kronis itu sendiri.

Trauma abdomen merupakan salah satu dampak terbesar dari kecelakaan lalu
lintas yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Cedera pada trauma abdomen
dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan, perlambatan (deselerasi),
dan kompresi. Akibat cedera ini dapat berupa memar, luka jaringan lunak, cedera
muskuloskeletal, kerusakan organ dan ruptur pada berbagai organ. Ruptur adalah
robek, atau pecahnya suatu jaringan secara paksa yang dapat terjadi akibat
rudapaksa tumpul maupun tajam. Ruptur lien terjadi pada 40-55% dari semua
trauma tumpul abdomen. Keadaan ini mungkin disertai kerusakan hepar (35-45%)
dan organ retroperitoneal (15%). Kebanyakan pasien penderita ruptur lien akan
nampak gejala hemodinamik tidak stabil atau tanda-tanda haemoperitoneum.
Penanganan ruptur lien yang terlambat memiliki angka kematian yang relatif
tinggi (5-15%) dibandingkan dengan pasien yang mengalami ruptur lien dengan
skala ringan (1%). Lien merupakan struktur terbesar di sistem limfoid yang
memiliki fungsi yang sangat penting bagi tubuh bekerja sebagai reservoar
cadangan darah, penghasil respon imun spesifik, fagositosis zat-zat asing yang ada
di dalam sirkulasi, penghancuran eritrosit tua dan fungsi-fungsi penting lainnya.
Lien secara fisiologis diedari darah sampai 350 liter sehari sehingga lien
merupakan organ limfoid yang paling kaya pendarahannya. Sehingga apabila
terjadi ruptur pada lien kondisi tersebut akan sangat berbahaya terhadap tubuh
karena dapat terjadi perdarahan yang sangat hebat.
Perdarahan yang terjadi pada lien harus secepatnya dikenali dan ditangani,
karena akan berdampak pada homeostasis tubuh. Penentuan skala pada ruptur lien
sangat diperlukan, karena tidak semua ruptur lien perlu dilakukan tindakan
pembedahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara skala
ruptur lien akibat trauma tumpul abdomen terhadap perlunya tindakan
pembedahan maupun tanpa pembedahan.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan dalam makalah sistem perkemihan ini sebagai berikut:
1. Bagaimana definisi dari Gagal ginjal kronik?
2. Bagaimana etiologi dari Gagal ginjal kronik?
3. Bagaimana klasifikasi dari Gagal ginjal kronik?
4. Bagaimana patofisiologi dari Gagal ginjal kronik?
5. Bagaimana WOC dari Gagal ginjal kronik?
6. Bagaimana tanda dan gejala dari Gagal ginjal kronik?
7. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari Ca Gagal ginjal kronik?
8. Bagaimana penatalaksanaan medis dari Gagal ginjal kronik?
9. Bagaimana konsep asuhan keperawatan dari Gagal ginjal kronik?
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Adapun rumusan dalam makalah sistem pencernaan ini sebagai berikut:


Bagaimana definisi dari Trauma Abdomen?
Bagaimana etiologi dari Trauma Abdomen?
Bagaimana klasifikasi dari Trauma Abdomen?
Bagaimana patofisiologi dari Trauma Abdomen?
Bagaimana WOC dari Trauma Abdomen?
Bagaimana tanda dan gejala dari Trauma Abdomen?
Bagaimana pemeriksaan penunjang dari Trauma Abdomen?
Bagaimana penatalaksanaan medis dari Trauma Abdomen?
Bagaimana konsep asuhan keperawatan dari Trauma Abdomen?

C. Tujuan
Adapun tujuan dalam makalah sistem perkemihan ini sebagai berikut:
1. Mengetahui definisi dari Gagal ginjal kronik
2. Mengetahui etiologi dari Gagal ginjal kronik
3. Mengetahui klasifikasi dari Gagal ginjal kronik
4. Mengetahui patofisiologi dari Gagal ginjal kronik
5. Mengetahui WOC dari Gagal ginjal kronik
6. Mengetahui tanda dan gejala dari Gagal ginjal kronik
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari Gagal ginjal kronik
8. Mengetahui penatalaksanaan dari Gagal ginjal kronik
9. Mengetahui konsep asuhan keperawatan dari Gagal ginjal kronik
4

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Adapun tujuan dalam makalah sistem pencernaan ini sebagai berikut:


Mengetahui definisi dari Trauma Abdomen
Mengetahui etiologi dari Trauma Abdomen
Mengetahui klasifikasi dari Trauma Abdomen
Mengetahui patofisiologi dari Trauma Abdomen
Mengetahui WOC dari Trauma Abdomen
Mengetahui tanda dan gejala dari Trauma Abdomen
Mengetahui pemeriksaan penunjang dari Trauma Abdomen
Mengetahui penatalaksanaan dari Trauma Abdomen
Mengetahui konsep asuhan keperawatan dari Trauma Abdomen

BAB 2
TINJAUAN TEORI
A. GAGAL GINJAL KRONIK
1. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal gagal yang progresif dan
ireversibel, yang menyebabkan kemampuan tubuh mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul uremia (retensi urea
dan sampah nitrogen lain dalam darah (KMB, vol 2 Hal 1448).
Chronik Kidney Desease adalah : kerusakan ginjal progresif yang berakibat
fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar
dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi
ginjal) (Nursalam. 2006).
Dapat disimpulkan bahwa Cronik Kidney Desease adalah suatu gangguan
fungsi renal yang progresif irreversible yang disebabkan oleh adanya penimbunan

limbah metabolik di dalam darah, sehingga kemampuan tubuh tidak mampu


mengekskresikan

sisa-

sisa

sampah

metabolisme

dan

mempertahankan

keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh.


2. Etiologi
a. Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
b. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis
c. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif
d. Gangguan kongenital dan herediter misalnya

penyakit

ginjal

polikistik,asidosis tubulus ginjal


e. Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
f. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbale
g. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma,
fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat,
striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
h. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis
3. Klasifikasi
Stadium I
Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antara 40% - 75%). Tahap nilah yang
paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita ini belum
merasakan gejala-gejala dan pemeriksaan laboratorium faal masih dalam batas
normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea itrogen)
dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin
hanya dapat diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat, seperti tes
pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan tes GFR yang teliti.
Stadium II
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20%-50%). Pada tahap ini penderita dapat
melaksanakan tugas-tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjal
menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat dalam hal mengatasi
kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan
pemberian obat yang bersifat mengganggu faal ginjal. Bila langkah-langkah ini
dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap lebih
berat. Pada tahap ini lebi dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar
BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini
6

berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diit. Pada stadium ini kadar
kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal. Insufiensi ginjal (faal
ginial antar 2O%-50%).
Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas-tugas seperti biasa padahal
daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat
dalam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung
dan pencegahan pemberian obat-obatan yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila
langkah-langkah ini dilakukan dengan tepat dapat mencegah penderita masuk
ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75% jaringan yang berfungsi
telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan
konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam diit. Pada
stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama
menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3
liter/hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal
diantara 5%-25%. faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gejala-gejala
kekurangan darah, tekanan darah akan naik, aktifitas penderita mulai terganggu.
Stadium III
Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10%). Semua gejala sudah jelas
dan penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat melakukan tugas seharihari sebagaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain mual, muntah,
nafsu makan berkurang, sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang,
kirang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai
koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90% dari massa nefron telah haancur.
Nilai GFR nya 10% dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 510 ml/menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan
sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita
mulai merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi
mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita
biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih)

kurang dari 50%/hari karena

kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus


ginjal, kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan
gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam
7

tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.
4. Patofisiologi
Menurut Brunner dan Suddarth (2002), Slamet Suyono (2001) dan Sylvia A.
Price (2000) adalah sebagai berikut : Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis
kerusakan ginjal yang progresif dan irreversibel dari berbagai penyebab
diantaranya infeksi, penyakit peradangan,

penyakit vaskular hipertensif,

gangguan jaringan penyambung, gangguan kongenital dan herediter, penyakit


metabolik (DM, Hipertiroidisme), Nefropati toksik (penyalahgunaan analgesik),
nefropati obstruktif (saluran kemih bagian atas dan saluran kemih bagian bawah).
Pada saat fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein yang
normalnya di ekskresikan kedalam urine menjadi tertimbun didalam darah,
sehingga terjadinya uremia dan mempengaruhi sistem sistem tubuh, akibat
semakin banyaknya tertimbun produk sampah metabolik, sehingga kerja ginjal
akan semakin berat.
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dan penurunan
jumlah glomeruli yang dapat menyebabkan penurunan klirens. Substansi darah
yang seharusnya dibersihkan, tetapi ginjal tidak mampu untuk memfiltrasinya.
Sehingga mengakibatkan kadar kreatinin serum, nitrogen, urea darah (BUN)
meningkat. Ginjal juga tidak mampu mengencerkan urine secara normal.
Sehingga tidak terjadi respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan
cairan dan elektrolit sehingga terjadi tahanan natrium dan cairan. (Brunner &
Suddarth, 2002).
Asidosis

metabolic

dapat

terjadi

karena

ketidakmampuan

ginjal

mengekspresikan muatan asam yang berlebihan terutama amoniak (NH3) dan


mengabsorpsi bikarbonat.
Anemia, terjadi akibat berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga
rangsangan eritropoisis

pada sumsum tulang menurun, hemolisis akibat

berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, defisiensi besi,
asam folat dan lain-lain akibat nafsu makan yang berkurang, perdarahan paling
sering pada saluran cerna dan kulit. (Slamet Suyono, 2001)

Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat terjadi karena gangguan dalam


metabolismenya. Dengan menurunya filtrasi glomerulus dapat mengakibatkan
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Sehingga
menyebabkan perubahan bentuk tulang. Penyakit tulang dan penurunan
metabolisme aktif vitamin D karena terjadi perubahan kompleks kalsium, fosfat
dan keseimbangan parathormon sehingga menyebabkan osteodistrofi (penyakit
tulang uremik).
Stadium akhir timbul pada sekitar 90 % dari masa nefron telah hancur. Nilai
GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10
ml/menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatnin serum dan kadar BUN akan
meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita merasakan gejala yang cukup parah karene ginjal tidak sanggup
lagi mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Penderita
biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari karena
kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus
ginjal. Kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan
gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik memepengaruhi setiap sistem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal
kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisi
(Sudoyo, 2006).

5. WOC

ETIOLOGI

Jumlah nefron fungsional

Nefron yang
terserang hancur

Nefron yang masih


utuh
Adaptasi

90 % nefron hancur

75 % nefron hancur
Nefron hipertropi

Tidak dapat
mengkompensasi
(ketidakseimbangan
cairan elektrolit )
GFR 10 % dari
normal (BUN &
kreatinin)

GFR
(BUN & kreatinin)

Adaptasi

Kecepatan filtrasi &


beban solut

Urine isoostomi

Kegagalan proses
filtrasi
Oliguri

Uremia

Penumpukan kristal
urea di kulit

Ketidakseimbangan
dalam glomerulus &
tubulus
Poliuri, nokturi,
azotemia

Kecepatan filtrasi,
beban solut,
reabsorpsi

Keseimbangan
cairan elektrolit
dipertahankan
Fungsi ginjal rendah

Cadangan ginjal

Insufisiensi ginjal

Gagal ginjal

Angiotensin

Eritropoetin ginjal
Retensi Na +
SDM

Pruritus
Pucat, fatigue,
malaise anemia
Gangguan
integras kulit

Kelebihan
volume cairan
10

Intoleransi

6. Manifestasi Klinis
aktivitas
Manifestasi klinik menurut Gangguan
(Smeltzer, 2001)
antara lain : hipertensi, (akibat
nutrisi
kurang
dari
retensi cairan dan natrium dari aktivitas
sisyem
renin - angiotensin aldosteron),
kebutuhan

gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan
perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia,
mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran,
tidak mampu berkonsentrasi). Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah
sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac
dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan
edema.
b. Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan
perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
d. Gangguan musculoskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan), burning
feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki), tremor,
miopati (kelemahan dan hipertropi otot otot ekstremitas)
e. Gangguan Integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f. Gangguan endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi
dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan
vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium
dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
h. System hematologi
anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga
rangsangan eritopoesis pada sum sum tulang berkurang, hemolisis akibat
berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga
terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.
11

7. Pemeriksaan
Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu
pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi
antara lain :
a. Pemeriksaan lab.darah
1) Hematologi : Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit
2) RFT ( renal fungsi test ) : ureum dan kreatinin
3) LFT (liver fungsi test )
4) Elektrolit : Klorida, kalium, kalsium
5) koagulasi studi : PTT, PTTK
6) BGA
b. Urine
1) urine rutin
2) urin khusus : benda keton, analisa kristal batu
c. Pemeriksaan kardiovaskuler
1) ECG
2) ECO
d. Radidiagnostik
1) USG abdominal
2) CT scan abdominal
3) BNO/IVP, FPA
4) Renogram
5) RPG ( retio pielografi )
8. Penatalaksanaan
Menurut Sylvia Price (2000) adalah sebagai berikut :
a. Penatalaksanaan Medis
1) Obat anti hipertensi yang sering dipakai adalah Metildopa (Aldomet),
propanolol dan klonidin. Obat diuretik yang dipakai adalah furosemid
(lasix).
2) Hiperkalemia akut dapat diobati dengan pemberian glukosa dan insulin
intravena yang memasukan K+ ke dalam sel, atau dengan pemberian
kalsium glukonat 10% intravena dengan hati-hati sementara EKG terus
diawasi. Bila kadar K+ tidak dapat diturunkan dengan dialisis, maka
dapat digunakan resin penukar kation natrium polistiren sulfonat
(Kayexalate).
3) Pengobatan untuk anemia yaitu : rekombinasi eritropoetin (r-EPO) secara
meluas, saat ini pengobatan untuk anemia uremik : dengan memperkecil
kehilangan

darah,

pemberian

vitamin,

androgen

untuk

wanita,

depotestoteron untuk pria dan transfusi darah.


12

4) Asidosis dapat tercetus bilamana suatu asidosis akut terjadi pada


penderita yang sebelumnya sudah mengalami asidosis kronik ringan, pada
diare berat yang disertai kehilangan HCO3. Bila asidosis berat akan
dikoreksi dengan pemberian pemberian NaHCO3 parenteral.
5) Dialisis : suatu proses dimana solut dan air mengalir difusi secara pasif
melalui suatu membran berpori dari suatu kompartemen cair menuju
kompartemen lainnya.
6) Dialisis peritoneal : merupakan alternatif dari hemodialisis pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronik.
7) Pada orang dewasa, 2 L cairan dialisis steril dibiarkan mengalir ke dalam
rongga peritoneal melalui kateter selama 10-20 menit. Biasanya
keseimbangan cairan dialisis dan membran semipermeabel peritoneal
yang banyak vaskularisasinya akan tercapai setelah dibiarkan selama 30
menit.
8) Transplantasi ginjal : prosedur standarnya adalah memutar ginjal donor
dan menempatkannya pada fosa iliaka pasien sisi kontralateral. Dengan
demikian ureter terletak di sebelah anterior dari pembuluh darah ginjal,
dan lebih mudah dianastomosis atau ditanamkan ke dalam kandung kemih
resipien.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, penimbangan berat
badan setiap hari, batasi masukan kalium sampai 40-60 mEq/hr, mengkaji
daerah edema.
c. Penatalaksanaan diit
Tinggi karbohidrat, rendah protein, rendah natrium, batasi diit rendah protein
sampai mendekati 1 g / kg BB selama fase oliguri. Untuk meminimalkan
pemecahan protein dan untuk mencegah penumpukan hasil akhir toksik.
Batasi makanan dan cairan yang mengandung kalium dan fosfor (pisang, buah
dan jus-jusan serta kopi).
9. Konsep asuhan keperawatan
1) Pengkajian
1) Pengkajian Primer
Pengkajian

cepat

untuk

mengidentifikasi

dengan

segera

masalahaktual/potensial dari kondisi life threatening (berdampak terhadap


kemampuan pasien untuk mempertahankan hidup).

13

Pengkajian tetap berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan


auskultasi jika hal tersebut memungkinkan. Prioritas penilaian dilakukan
berdasarkan :
A = Airway dengan kontrol servikal
Kaji : -

Bersihan jalan nafas


Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafasDistress pernafasan
Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring

B = Breathing dan ventilasi


Kaji : -

Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada


Suara pernafasan melalui hidung atau mulut
Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas

C = Circulation
Kaji : -

Denyut nadi karotis


Tekanan darah
Warna kulit, kelembaban kulit
Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal

D = Disability
Kaji : -

Tingkat kesadaran
Gerakan ekstremitas
GCS atau pada anak tentukan respon :
A = Alert
V = Verbal,
P = Pain/respon nyeri
U = Unresponsive
Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya.

E = Eksposure
Kaji : -

Tanda-tanda trauma yang ada

2) Pengkajian Sekunder (secondary survey)


Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah ABC yang ditemukan
pada pengkajian primer diatasi. Pengkajian sekunder meliputi pengkajian
obyektif dan subyektif dari riwayat keperawatan (riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit terdahulu, riwayat pengobatan, riwayat keluarga) dan
pengkajian dari kepala sampai kaki.
3) Pemeriksaan Fisik
a) Kepala
: edema muka terutama daerah orbita, mulut bau khas urine
b) Dada
: pernafasan cepat dan dalam, nyeri dada
14

c) Perut
: adanya edema anasarka (ascites)
d) Ekstremitas
: edema pada tungkai, spatisitas otot
e) Kulit
: sianosis, akral dingin, turgor kulit menurun
4) Pemeriksaan diagnostic
a) Pemeriksaan Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml / 24 jam atau urine tak ada
-

(anuria)
Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus

bakteri, lemah, partikel koloid, fosfat atau urat.


b) Darah
- BUN/Kreatinin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi,
-

kadar kreatinin 10 mg/dl. Diduga batas akhir mungkin rendah yaitu 5


Hitung darah lengkap : Ht namun pula adanya anemia Hb : kurang
dari 7 8 9/dl, Hb untuk perempuan (13-15 g/dL), laki-laki (13-16

g/dL)
c) Biopsi ginjal : mungkin dilakukan secara endoskopik untuk
menentukan pelvis ginjal : keluar batu hematuria dan pengangkatan
tumor selektif
b.
Diagnosa Keperawatan
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluan urin, retensi
cairan dan natrium.
2) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru, asidosis metabolic,
pneumonitis, perikarditis
3) Gangguan Perfusi jaringan berhubungan dengan perubahan ikatan O2 dengan
Hb, penurunan konsentrasi Hb dalam darah.
4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake makanan yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
5) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan/kelemahan, anemia,
retensi produk sampah dan prosedur dialysis .
6) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penumpukan ureum di kulit
c. Intervensi Keperawatan
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin,
retensi cairan dan natrium.
Kriteria Hasil : Bunyi nafas bersih, tidak adanya dipsnea
Intervensi :
-

Kaji status cairan ; timbang berat badan,keseimbangan masukan dan


haluaran, turgor kulit dan adanya edema. Rasional pengkajian merupakan

15

data dasar berkelanjutan untuk memantau perubahan dan mengevaluasi


-

intervensi.
Batasi masukan cairan. Rasional pembatasan cairan akan menentuka berat

tubuh ideal, haluaran urin,dan respon terhadap terapi.


Identifikasi sumber potensial cairan. Rasional sumber kelebihan cairan

yang tidak diketahui dapat diidentifikasi.


Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan cairan. Rasional
pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam

pembatasan cairan.
Kolaborasi pemberian cairan sesuai terapi. Rasional mempercepat
pengurangan kelebihan cairan

2) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru, asidosis metabolic,
pneumonitis, perikarditis
Kriteria Hasil : Tidak ada dispnea, kedalaman nafas normal
Intervensi :
-

Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles. Rasionaln menyatakan

adanya pengumpulan secret


Ajarkan pasien nafas dalam. Rasional membersihkan jalan nafas dan

memudahkan aliran O2
Atur posisi senyaman mungkin. Rasional mencegah terjadinya sesak nafas
Batasi untuk beraktivitas. Rasional mengurangi beban kerja dan mencegah

terjadinya sesak atau hipoksia


Kolaborasi pemberian oksigen. Rasional mengurangi sesak

B. TRAUMA ABDOMEN
1. Definisi
Trauma adalah cidera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera
(Sjamsuhidayat, 1997). Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat
berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak

16

disengaja, (Smeltzer, 2001). Trauma pada abdomen dapat dibagi menjadi dua jenis
:
Trauma penetrasi dan Trauma non penetrasi
1. Trauma penetrasi
a. Trauma tembak
b. Trauma tumpul
2. Trauma non penetrasi
a. Kompresi
b. Hancur akibatb kecelakaan
c. Sabuk pengaman
d. Cedera akselerasi
Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi :
1. Kontusio

dinding

abdomen

disebabkan

trauma

non-penetrasi

Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen, kemungkinan


terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak dan masa darah
dapat menyerupai tumor.
2. Laserasi, Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga
abdomen harus di eksplorasi. Atau terjadi karena trauma penetrasi.
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang
dapat

menyebabkan

perubahan

fisiologi

sehingga

terjadi

gangguan

metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.


Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth & Brunner (2002) terdiri
dari:
1. Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada
dinding abdomen.
2. Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3. Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau
sayap kanan dan hati harus dieksplorasi (Sjamsuhidayat, 1998).
2. Etiologi
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh:
- Luka akibat terkena tembakan
- Luka akibat tikaman benda tajam

17

- Luka akibat tusukan


b. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh:
- Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
- Hancur (tertabrak mobil)
- Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
- Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga
3. Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat
kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari
ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor
faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang
terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk
menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan
dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga
karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma
juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas
adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya.
Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun
ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan
tersebut. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang
ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus
dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap
permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang
disebabkan beberapa mekanisme :
a. Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya
tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak
benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ
berongga.
b. Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan
vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks.
c. Terjadi gaya akselerasi-deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya
robek pada organ dan pedikel vaskuler.

18

4. WOC
Trauma
(kecelakaan)

Penetrasi & Non-Penetrasi

Terjadi perforasi lapisan abdomen


(kontusio, laserasi, jejas, hematom)

Menekan saraf peritonitis

Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen Nyeri

Motilitas usus

Disfungsi usus Resiko infeksi

Refluks usus output cairan berlebih


Gangguan cairan

Nutrisi kurang dari


19

dan eloktrolit

kebutuhan tubuh
Kelemahan fisik

Gangguan mobilitas fisik

5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001) antara lain : hipertensi, (akibat
retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin aldosteron),
gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan
perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia,
mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran,
tidak mampu berkonsentrasi). Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah
sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac
dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan
edema.
b. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan
perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
d. Gangguan musculoskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan), burning
feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki), tremor,
miopati (kelemahan dan hipertropi otot otot ekstremitas)
e. Gangguan Integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f. Gangguan endokrin

20

Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi


dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan
vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium
dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
h. System hematologi
anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga
rangsangan eritopoesis pada sum sum tulang berkurang, hemolisis akibat
berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga
terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.
6. Pemeriksaan
a. Foto thoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorak.
b. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-linedata bila terjadi perdarahan terus
menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan
leukosit yang melebihi 20.000 /mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan
adanya perdarahan cukup banyak kemungkinan ruptura lienalis. Serum
amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas
atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan
trauma pada hepar.
c. Plain abdomen foto tegak
Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas retro
perineal dekat duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus.
d. Pemeriksaan urine rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri.
Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran
urogenital.
e. VP (Intravenous Pyelogram)
Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma
pada ginjal.
f. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga
perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL inihanya alat diagnostik.
Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).
21

g. Ultrasonografi dan CT Scan


Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan
disangsikan adanya trauma pada hepar dan retro peritoneum.
7. Penatalaksanaan
1. Pre Hospital/ Penanganan Awal
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam
nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi dilokasi kejadian.
Paramedik mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka
trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan
prosedur ABC jika ada indikasi. Jika korban tidak berespon, maka segera buka
dan bersihkan jalan napas.
a. Airway dengan kontrol tulang belakang
Membuka jalan napas menggunakan teknik head tilt chin lift atau
menengadahkan kepala dan mengangkat dagu,periksa adakah benda asing
yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas, muntahan, makanan, darah
atau benda asing lainnya.
b. Breathing dengan ventilasi yang adekuat
Memeriksa pernapasan dengan menggunakan cara lihat dengar rasakan
tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak.
Selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan
adekuat tidaknya pernapasan).
c. Circulation dengan kontrol perdarahan hebat
Jika pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan
napas dapatdilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi
jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP
adalah 30 : 2 (30kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas).
1) Penanganan awal trauma non- penetrasi (trauma tumpul) :
a. Stop makanan dan minuman
b. Imobilisasi
c. Kirim kerumah sakit.
2) Penetrasi (trauma tajam)
a. Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam lainnya)
tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.
b. Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan dengan
kain kassa pada daerah antara pisau untuk memfiksasi pisau sehingga
tidak memperparah luka.

22

c. Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak
dianjurkan dimasukkan kembali kedalam tubuh, kemudian organ yang
keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada verban
d.
e.
f.
g.

steril.
Imobilisasi pasien.
Tidak dianjurkan memberi makan dan minum.
Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekang.
Kirim ke rumah sakit.

2. Hospital/ Penanganan di Rumah Sakit


a. Trauma penetrasi
Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, seorang ahli
bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara lokal untuk
menentukan dalamnya luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka
masuk dan luka keluar yang berdekatan.
b. Skrinning pemeriksaan rontgen
Foto rontgen torak tegak berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
hemo atau pneumotoraks atau untuk menemukan adanya udara intra
peritonium. Serta rontgen abdomen sambil tidur (supine) untuk menentukan
jalan peluru atau adanya udara retro peritoneum.
c. IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning. Ini di lakukan untuk
mengetauhi jenis cedera ginjal yang ada.
d. Uretrografi
Di lakukan untuk mengetauhi adanya rupture uretra.
e. Sistografi
Ini digunakan untuk mengetauhi ada tidaknya cedera pada kandung
kencing, contohnya pada:
-

Fraktur pelvis
Traumanon penetrasi

Penanganan pada trauma benda tumpul dirumah sakit :


a. Pengambilan contoh darah dan urine
Darah di ambil dari salah satu vena permukaan untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan laboratorium khusus seperti
pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase.
b. Pemeriksaan rontgen
23

Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks antero posterior dan pelvis


adalah pemeriksaan yang harus di lakukan pada penderita dengan multi
trauma, mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retro
peritoneum atau udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan
laparotomi segera.
c. Study kontras urologi dan gastrointestinal
Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon ascendens
atau decendens dan dubur.
8. Konsep asuhan keperawatan
a. Pengkajian
Dasar pemeriksaan fisik head to toe harus dilakukan dengan singkat tetapi
menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki. Pengkajian data dasar menurut
Brunner & Suddart (2001), adalah:
1) Aktifitas / istirahat
Data Subyektif : Pusing, sakit kepala,nyeri, mulas
Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan cedera
(trauma).
2) Sirkulasi
Data Obyektif : Kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola napas (hipoventilasi,
hiperventilasi, dll).
3) Integritas ego
Data Subyektif : Perubahan tingkah laku / kepribadian (tenang atau dramatis)
Data Obyektif : Cemas, bingung, depresi.
4) Eliminasi
Data Subyektif : Inkontinensia kandung kemih / usus atau mengalami
gangguan fungsi.
5) Makanan dan cairan
Data Subyektif : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera makan.
Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen
6) Neurosensori
Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara,vertigo
Data Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan
statusmental, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh
7) Nyeri dan kenyamanan
Data Subyektif : Sakit pada abdomen dengan intensitas dan lokasi yang
berbeda, biasanya lama.
Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih.
8) Pernafasan
Data Subyektif : Perubahan pola nafas

24

9) Keamanan
Data Subyektif : Trauma baru / trauma karena kecelakaan.
Data Obyektif : Dislokasi gangguan kognitif, gangguan rentang gerak
b. Diagnosa Keperawatan
1) Defisit Volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan
2) Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi
abdomen
3) Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status
kesehatan
4) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik
5) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk
6) Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer,
perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan
kerusakan kulit. infeksi tidak terjadi / terkontrol.
c. Intervensi
1) Defisit Volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan.
Tujuan : Terjadi keseimbangan volume cairan.
Kriteria hasil: Kebutuhan cairan terpenuhi
Intervensi :
i. Kaji tanda-tanda vital. Rasional: untuk mengidentifikasi defisit volume
cairan
ii. Pantau cairan parenteral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin.
Rasional: mengidentifikasi keadaan perdarahan
iii. Kaji tetesan infuse. Rasional: awasi tetesan untuk mengidentifikasi
kebutuhan cairan.
iv. Kolaborasi : Berikan cairan parenteral sesuai indikasi. Rasional: cara
parenteral membantu memenuhi kebutuhan nuitrisi tubuh.
v. Kolaborasi Tranfusi darah. Rasional: menggantikan darah yang keluar.
2) Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi
abdomen.
Tujuan : Nyeriteratasi
Intervensi :
- Kaji karakteristik nyeri. Rasional: mengetahui tingkat nyeri klien.
- Beri posisi semi fowler. Rasional: mengurngi kontraksi abdomen
- Anjurkan tehnik manajemen nyeri seperti distraksi. Rasional: membantu
mengurangi rasa nyeri dengan mengalihkan perhatian
- Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi. Rasional: analgetik
membantu mengurangi rasa nyeri.
- Managemant lingkungan yang nyaman. Rasional: lingkungan yang
nyaman dapat memberikan rasa nyaman klien.

25

3) Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan


Tujuan : Ansietas teratasi
Intervensi :
- Perilaku koping baru dan anjurkan penggunaan ketrampilan yang berhasil
pada waktu lalu. Rasional: koping yang baik akan mengurangi ansietas
klien.
- Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa takut
dan berikan penanganan. Rasional: mengetahui ansietas, rasa takut klien
bisa mengidentifikasi masalah dan untuk memberikan penjelasan kepada
klien.
- Jelaskan prosedur dan tindakan dan beripenguatan penjelasan mengenai
penyakit. Rasional: apabila klien tahu tentang prosedur dan tindakan yang
akan dilakukan, klienmengerti dan diharapkan ansietas berkurang.
- Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stress. Rasional:
lingkungan yang nyaman dapat membuat klien nyaman dalam menghadapi
situasi.
- Dorong dan dukungan orang terdekat. Rasional: memotifasi klien.

26

Anda mungkin juga menyukai

  • Masalah Kesehatan Jiwa Di Masyarakat Semakin Luas Dan Kompleks
    Masalah Kesehatan Jiwa Di Masyarakat Semakin Luas Dan Kompleks
    Dokumen6 halaman
    Masalah Kesehatan Jiwa Di Masyarakat Semakin Luas Dan Kompleks
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • MR
    MR
    Dokumen7 halaman
    MR
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Dokumen
    Dokumen
    Dokumen3 halaman
    Dokumen
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Home
    Home
    Dokumen19 halaman
    Home
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Hematuria
    Hematuria
    Dokumen7 halaman
    Hematuria
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Fix
    Fix
    Dokumen6 halaman
    Fix
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Erma Bu Epy
    Erma Bu Epy
    Dokumen22 halaman
    Erma Bu Epy
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Erma Bu Epy
    Erma Bu Epy
    Dokumen22 halaman
    Erma Bu Epy
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Gadar Pencernaan'
    Gadar Pencernaan'
    Dokumen8 halaman
    Gadar Pencernaan'
    eriska yunita sari
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen21 halaman
    Bab I
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Agung
    Agung
    Dokumen23 halaman
    Agung
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Novira
    Novira
    Dokumen20 halaman
    Novira
    nazula mufarihah
    100% (1)
  • Analisis Swot Rsud Pinrang
    Analisis Swot Rsud Pinrang
    Dokumen25 halaman
    Analisis Swot Rsud Pinrang
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • QIUSIONER
    QIUSIONER
    Dokumen4 halaman
    QIUSIONER
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • JERUK NIPIS
    JERUK NIPIS
    Dokumen5 halaman
    JERUK NIPIS
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • 100 % Buku Saku Asma
    100 % Buku Saku Asma
    Dokumen13 halaman
    100 % Buku Saku Asma
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 15
    Kelompok 15
    Dokumen30 halaman
    Kelompok 15
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • 100 % Buku Saku Asma
    100 % Buku Saku Asma
    Dokumen13 halaman
    100 % Buku Saku Asma
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Bab 1-Bab 5 BPH Turp
    Bab 1-Bab 5 BPH Turp
    Dokumen18 halaman
    Bab 1-Bab 5 BPH Turp
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • MANAJEMEN KEPERAWATAN
    MANAJEMEN KEPERAWATAN
    Dokumen44 halaman
    MANAJEMEN KEPERAWATAN
    nazula mufarihah
    100% (1)
  • Bab 1-3
    Bab 1-3
    Dokumen35 halaman
    Bab 1-3
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 13
    Kelompok 13
    Dokumen34 halaman
    Kelompok 13
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Seven Jump
    Seven Jump
    Dokumen2 halaman
    Seven Jump
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Delegasi Baru
    Delegasi Baru
    Dokumen9 halaman
    Delegasi Baru
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • BAB I Mkalah Kel 5
    BAB I Mkalah Kel 5
    Dokumen20 halaman
    BAB I Mkalah Kel 5
    nazula mufarihah
    100% (1)
  • Tugas Bu Eppy Lingkungan
    Tugas Bu Eppy Lingkungan
    Dokumen51 halaman
    Tugas Bu Eppy Lingkungan
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Analisis Swot Rsud Pinrang
    Analisis Swot Rsud Pinrang
    Dokumen25 halaman
    Analisis Swot Rsud Pinrang
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 14
    Kelompok 14
    Dokumen34 halaman
    Kelompok 14
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 10
    Kelompok 10
    Dokumen52 halaman
    Kelompok 10
    nazula mufarihah
    Belum ada peringkat