Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada tahun 1985 Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi
Konvensi tentang hak-hak politik Wanita dengan UU No. 68/1958. Demikian
pula Republik Indonesia telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan
segala bentuk Diskriminasi terhadap wanita, biasanya disingkat dengan
CEDAW Committe on the Elimination of Discrimination Against Women
dengan UU No. 7/1984. Namun demikian, hingga kini masih tetap saja terjadi
berbagai bentuk diskriminasi terhadap wanita. Dari diskriminasi dalam
keluarga, dalam dunia pendidikan dan dunia kerja, di dalam dan di luar negaeri,
sampai kepelecehan seksual dan pemerkosaan di dalam maupun di luar rumah.
Baik yang dilakukan oleh seorang pria maupun yang dilakukan oleh
sekelompok pria, sampai ke penganiayaan fisik maupun batin yang dilakukan
seorang ayah, kakak laki-laki ataupun suami wanita didalam lingkungan
keluarga dan rumah tangga
Bahkan tindakan kekerasan yang ternyata telah dilakukan terhadap
wanita di timor-timor, Irian Jaya, Aceh, maupun di Jakarta, Solo, dan
sejumblah kota lain dalam bulan-bulan terakhir ini lebih-lebih menyedihkan
hati, karena rupanya praktek-praktek yang dilakukan di sejumblah negara di
Afrika, Afghanistan, Rusia, dan Yugoslavia khusunya Kosovo, telah ditiru pula
oleh Indonesia dengan menjadikan pemerkosaan dan penganiayaan wanita
suatu mode atau alat perjuangan untuk mematahkan mental musuh dalam
suatu konflik bersenjata.
Tampaknya cita-cita bangsa tentang jati diri bangsa yang berbudi
luhur dan selalu didengungkan, antara lain bahwa bangsa Indonesia
menjungjung tinggi martabat wanita, karena surga ada dibawah telapak kaki
ibu, dalam kenyataannya hanya merupakan hiasan bibir belaka, untuk
dipergunkan dalam berbagai kesempatan diplomatik dan internasional. Citacita ini pada kenyataannya semakin luntur dan tidak benar-benar dihayati oleh
kaum pria Indonesia, bahkan juga tidak oleh sebagian kaum wanita Indonesia
sendiri. Sebab antara lain berbagai sinetron dilayar televisi Indonesia
1

cenderung mempromosikan pelecahan wanita, perselingkuhan, penganiayaan


wanita, sindrom cinderella, kewajiban wanita untuk membahagiakan pria
(utamanya secara seksual), seperti yang diperlihatkan oleh berbagai iklan
vitamin, jamu obat-obatan dan alat-alat kosmetik. Berbagai tayangan lawak
terlalu sering memperlihatkan wanita-wanita yang harus mempersiapkan diri
untuk menggairahkan kaum pria, menjadi konco wingkingsuami, wanita
cerewet dan bodoh justru mencemoohkan dan menertawakan wanita yang
mandiri.
Semua promosi seperti itu ditambah dengan nasehat-nasehat dan
contoh kemewahan yang berlebihan yang sehari-hari menjadi santapan nikmat
kaum ibu, remaja, pembantu rumah tangga dan pria pengangguran, secara
perlahan-lahan telah menciptakan tumbuhnya kesadaran yang baru dalam
masyarakat kita. Masyarakat seakan-akan menganggap orang yang jujur,
sederhana, mandiri, mengejar ilmu, tidak melakukan korupsi, tidak
memperkaya diri dengan cepat tetapi memperbaiki nasibnya melalui cara yang
wajar tanpa main cinta dan berselingkuh demi memperoleh keuntungan
materil yang besar dan mendadak dengan cara mudah, dan lain-lain, sebagai
orang dan wanita yang bodoh. Dalam 30 tahun budaya dan filsafah seperti
itu sudah merasuk didalam tubuh masyarakat indonesia yang telah mengalami
keajaiban ekonomi yang telah dikagumi dan digembar gemborkan serta
dibanggakan oleh rezim Orde Baru sebagai hasilnya yang paling menonjol.
Sehingga tidak mengherankan lagi bahwa baik pimpinan negara, banyak
pejabat pemerintah (eksekutif)., para aparatur negara, anggota MPR dan DPR,
anggota masyarakat lain dari berbagai lapisan, bahkan para hakim Republik
Indonesia dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah , para diplomat
kita dan lain-lain sudah sulit membedakan antara apa yang benar menurut nilai
- nilai budaya bangsa yang ingin diraih.

B. Rumusan Masalah

Berdsarkan latar belakang diatas, maka identifikasi permasalahan


yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap wanita dan undang-undang hak-hak asasi manusia
sebagai berikut.
1. Bagaimana

ratifikasi

konvensi

CEDAW

oleh

Republik

Indonesia?
2. Bagaimana hak-hak wanita sebagai hak asasi manusia?

BAB II
PEMBAHASAN

Ratifikasi Konvensi CEDAW oleh Republik Indonesia


Pada tanggal 24 juli 1984, Pemerintahan Indonesia telah meratifikasi
Konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
wanita (Convention on the Elimination of All from Discrimination Against

Women) yang dalam tulisan ini disingkat CEDAW. Ratifikasi itu oleh
Indonesia dibuat undang-undang No. 7 tahun 1984 dan karena itu Konvensi
CEDAW itu serta merta menjadi bagian dari Hukum Nasional yang harus
diterapkan secara sungguh-sungguh, bukan hanya berdasarkan asas hukum
pacta sunt servanda (janji atau perjanjian harus ditepati/ dilaksanakan) yang
harus dilaksanakan dengan itikad yang baik. Tetapi juga karena konvensi
tersebut sudah dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia yang
harus dipatuhi oleh pemerintah maupun negara Indonesia sebagai hukum yang
berlaku di Indonesia sendiri. Apalagi pada pasal 24 Konvensi CEDAW itu
tercantum bahwa : State parties undertake to adopt all necessy measures at the
national level aimed at achieving the full realization of the rights recognized in
the present convention.
Setelah perang dunia kedua, suatu negara atau pemerintahannya
tidak dapat menyisihkan berlakunya suatu ketentuanperjanjian internasional
yang telah diratifikasinya dengan asalasan bahwa perjanjian internasional itu
bertentangan dengan hukum nasionalnya sendiri. Sebaliknya, undang-undang
dasar berupa negara seperti Negeri Belanda dengan tegas mengatakan bahwa
apabila terjadi perbedaan antara ketentuan perjanjian internasional dengan
ketentuan hukum nasionalnya, maka yang berlaku adalah ketentuan dalam
perjanjian internasional yang mereka ratifikasi. Juga Amerika Serikat tetap
terikat pada kewajiban internasional dan bertanggung jawab atas setiap
pelanggaran ketentuan perjanjian internasional yang telah diratifikasinya,
sekalipun hakim pengadilan cenderung menerapkan ketentuan hukum
nasionalnya sendiri, terutama yang diundangkan setelah ratifikasinya perjanjian
international yang bersangkutan.
Akibat Hukum Ratifikasi Konvensi CEDAW yang menjadi
pegangan mengenai perjanjian internasional dewasa ini adalah Konvensi Wina
tentang perjanjian-perjanjian internasional tahun 1969,yang mulai berlaku
sejak 27 Januari 1990. Dalam pasal 14 Konvensi tahun 1969 tersebut diatur
cara ratifikasi perjanjian Internasional. Namun harus benar-benar diperhatikan
bahwa istilah ratifikasi di dalam Konvensi Wina dipakai dalam hukum
Internasional dan bukan dalam arti hukum Nasional yang biasanya menentukan

perlunya persetujuan lembaga dewan perwakilan atau parlemen, sebelum


negara tersebut terikat pada ketentuan-ketentuan perjanjian internasional. Tentu
saja mengenai caranya negara-negara bedaulat mengadakan ratifikasi, dan
perjanjian internasional mana yang memerlukan ratifikasi itu, dan ditentukan
oleh hukum Tata Negara intern negara-negara. Pada umumnya tidak semua
perjanjian internasional memerlukan ratifikasi, agar perjanjian itu mengikat
negara tersebut secara hukum, tetapi perjanjian yang kurang formal sifatnya,
memerlukan ratifikasi, seperti pertukaran nota (Exchange of Notes) dan lainlain perjanjian yang oleh para pihak dimaksudkan segera memikat setelah
ditandatangi (signed) oleh ketua Delegasi masing-masing negara peserta yang
mengadakan negosiasi perjanjian tersebut. Itulah sebabnya pasal 7 dan pasal
71. UU Hak Asasi Manusia berbicara tentang hukum internasional yang telah
diterima oleh indonesia yang lebih luas artinya dari pada diratifikasi saja.
Dengan demikian, hanya perjanjian internasional yang lebih formal
membutuhkan ratifikasi oleh lembaga dan menurut prosedur yang ditentukan
oleh Huum Tata Negara masing-masing peserta. Sedangkan perjanjian
international cukup ditandatangani oleh (Ketua-ketua) Delegasi negara peserta
untuk mengikat negara tersebut secara hukum. Bagaimanapun juga ratifikasi,
akspentasi maupun aksesi mengakibatkan negara bersangkutan terikat pada
ketentuan- ketentuan hukum didalam perjanjian yang bersangkutan, sehingga
Pemerintahannya perlu mengambil langkah-langkah untuk benar-benar
melaksanakannya.
Hak-hak wanita sebagai Hak Asasi Manusia
Untuk sebagian masyarakat, hak-hak wanita hanya semata-mata
dilihat sebagai sejumblah hak yang khusus,yang diperjuangkan oleh kaum
wanita untuk memperbaiki nasibnya yang sebagai akibat penerapan nilai-nilai
budaya tradisional dan agama yang terkadang juga berdasarkan penafsiran
yang kurang tepat, selama berabad-abad membuat wanita dianggap sebagai
milik pria, yaitu milik ayah, kakek, saudara laki-laki, bahkan milik
keluarganya, yang tidak boleh mempunyai fikiran, pendapat, apalagi
kemauannya sendiri.

Sejalan dengan alam fikiran seperti itu wanita hanya cocok sebagai
budak atau pelayan suami atau barang yang sesuai dengan kecantikannya dan
keperawanannya dapat diperjual belikan kepada keluarga lain dengan harga
yang setingginya, dan dijadikan aset bagi keluarga yang memilikinya. Karena
itu tujuan hidup dan cita-cita seorang gadis hanyalah supaya secepatnya dapat
menikah. Akibatnya kehidupan anak perempuan/ gadis tertujukepada peristiwaperistiwa pernikahan itu, yang dianggap oleh masyarakat dan orang tuanya
sebagai puncak kesuksesannya sebagai orang tua dan puncak kebahagiaan bagi
anak perempuannya, walaupun gadis tersebut sama sekali tidak boleh ikut
memilih calon suaminya, bahkan kadang-kadang sama sekali belom pernah
melihatnya.
Sejak masa R.A. Kartini, sindrom putri salju atau Cinderella
syndrom ini mulai dirombak dan diterobos di Indonesia, sejalan dengan
perjuangan kaum wanita di seluruh dunia, untuk melepaskan diri dari belenggu
kekangan dominasi kaum pria. Di indonesia pun kita mengenal R.A. Kartini,
Dewi Sartika, Ibu Walandouw, dan masih banyak wanita Indonesia yang
menderita akibat pelecehan suaminya, saudara laki-laki, atau perlakuan tidak
senonoh atau diskriminatif dari kaum pria, seperti perlakuan seorang pegawai
kantor Imigrasi Dapertemen Kehakiman terhadap seorang pimpinan KADIN
ketika ia memerlukan penggantian parpor pada tanggal 19 oktober 1998 yang
lalu.
Keadaan inilah yang antara lain melahirkan kaedah, bahwa
perkawinan bukan suatu kewajiban, tetapi adalah suatu hak, sehingga tidak
sepantasnya wanita yang tidak menikah dianggap sebagai aib bagi orang
tuanya, atau dianggap sebagai perawan tua yang tidak laku. istilah inipun
membuktikan kebenaran seakan-akan wanita itu dianggap benda (yang tidak
laku). Dari uraian diatas tampak kiranya, bahwa hak-hak wanita sungguhsungguh merupakan serangkaian hak yang melekat dengan keberadaannya
sebagai manusia ciptaan tuhan, sehingga hak-ha wanita itu tiada lain
merupakan hak-hak asasi manusia pula, yang apabila dibatasi atau tidak
dihormati akan menghalang-halangi perkembangannya sebagai manusia
seutuhnya. Maka untu melindungi wanita terhadap segala pelecehan dan

pelanggaran hak wanitanya, UU Hak Asasi Manusia (UU No. 39 Tahun 1999)
dalam pasal 45 secara tegas mengatakan bahwa : Hak wanita adalah hak asasi
manusia. Pasal 45 ini perlu dikaitkan dengan pasal 71 dan pasal 72 UU Hak
Asasi Manusia karena pasal 71 berbunyi : Pemerintah wajib danbertanggung
jawab menghormati, melindungi, menegakan dan memajukan hak asasi
manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan
lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh
negara Republik Indonesia.
Karena itu hak-hak yang disebut dan diatur di dalam Konvensi
CEDAW juga harus dihormati, dilindungi, ditegakan dan dimajukan oleh
pemerintah Indonesia. Dan pasal 72 mengatakan : Kewajiban dan tanggung
jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, meliputi langkah
implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan keamanan negara dan bidang lain. Berarti bahwa hak asasi
wanita disemua bidang kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat
dilindungi oleh hukum dan aparatur Hukum dan aparatur Hukum Indonesia,
termasuk Aparat Pemerintah Republik Indonesia.

BAB III
PENUTUP
Dari uraian diatas yang kiranya telah dapat kita simak bahwa
sekalipun sudah dari abad-abad yang lampau timbul pemikiran dan gerakan
untuk menegakan hak-hak asasi manusia wanita setara dengan kaum pria,
maupun untuk membebaskan wanita Indonesia dari statusnya yang lebih
rendah daripada pria, di dalam lingkungan keluarga dan rumah tangga,
lingkungan masyarakat, apalagi dalam lingkungan kenegaraan, namun hingga
kini masih saja ada tokoh-tokoh masyarakat yang tega merendahkan
kemampuan hak asasi kaum wanita dengan mengatakan bahwa wanita tidak
patut menjadi Presiden, Kepala Negara, dan kepala Pemerintahan. Padahal
dalam UUD 1945 sama sekali tidak disebut bahwa kepala negara dan wakilnya

harus seorang pria. Lagi pula para pendiri bangsa indonesia justru sangat
menghormati dan membanggakan kemampuan dan sumbangan fikiran dan
tenaga kaum wanita bagi perjuangan kemerdekaan indonesia, serta sangat
menghormati hak asasi manusia itu, karena gerakan dan perjuangan
kemerdekaan indonesia justru didasarkan pada hak asasi manusia baik sebagai
perorangan maupun sebagai bangsa.
Oleh sebab itu, fikiran seakan-akan wanita tidak patut dan tidak
pantas menjadi kepala keluarga atau kepala organisasi, kepala negara itu tidak
hanya secara formal bertentangan dengan ketentuan UUD 1945, tetap juga
bertentangan

dengan

semangat

menghargai

dan

menghormati

jiwa

kepahlawanan wanita yang tidak sedikit mengorbankan harta kekayaannya,


kebebasannya

bahkan

jiwanya

sekalipun

dalam

perjuangan

merebut

kemerdekaan Indonesia. Tentu saja menghormati dan menghargai kaum wanita


tidak hanya berwujud ucapan dan pidato belaka pada hari pahlawan, 17 agustus
atau hari kartini. Penghargaan yang terbaik dan tertinggi yang dapat diberikan
kepada para pahlawan wanita Indonesia, termasuk Cut NyaDien yang menjadi
panglima perang, Ibu Walandouw dari Sulawesi Utara, Ibu Christina Martha
Tiahuha dari Maluku, Ibu Kartini dan masih banyak yang lainnya lagi, adalah
dengan menghargai kemampuan anak cucunya, wanita generasi penerus
dengan mengakui dan menghormati serta menegakan semua hak-hak asasi
manusia termasuk hak politiknya, untuk dipilih sebagai kepala negara dan
wakilnya.
Itulah sebabnya, maka tim reformasi hukum dapartemen kehakiman
yang bertugas menyusun Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia telah
memasukan hak-hak wanita kedalam RUU-HAM tersebut, sehingga RUUHAM itu, di samping membuat ketentuan tentang hak-hak asasi yang dihormati
dan dilindungi oleh Hukum Indonesia, sekaligus juga memuat sejumlah
ketentuan mengenai hak-hak wanita yang perlu diperhatikan secara khusus
sehingga dengan rekomendasi dari Komite CEDAW perserikata bangsa-bangsa
mengingat bahwa Indonesia telah menjadi negara peserta (State Party)
Konvensi CEDAW sejak disahkannya UU No. 7 tahun 1984.

Di samping itu UU-HAM itu juga memuat sejumlah hak asasi anak
yang perlu dilindungi, berdasarkan Convention on the Right of the Child.
Dengan demikian RUU-HAM diharapkan meliputi berbagai hak asasi, baik
bagi manusia pada umumnya, maupun bagi wanita dan anak-anak sehingga
UU-HAM Indonesia diharapkan menjadi UU-HAM yang sangat modern dan
mampu mengantar masyarakat Indonesia ke hidupan yang lebih adil dan
sejahterah dalam abad ke-21.

Daftar Pustaka
Bagir Manan (ed), 1996, :Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan
Negara Hukum,Gaya Media Pratama, Jakarta
Boylan, Esthar, 1991, Women and Disability, Zed Books Ltd. London &New
Jersey
Lubis, Todung Mulya,1993, In Search of Human Rights, PT. Gramedia
Pustaka Umum, Jakarta
Nafsiah Mboi : Perempuan dan Pemberdayaan

Anda mungkin juga menyukai