PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
ratifikasi
konvensi
CEDAW
oleh
Republik
Indonesia?
2. Bagaimana hak-hak wanita sebagai hak asasi manusia?
BAB II
PEMBAHASAN
Women) yang dalam tulisan ini disingkat CEDAW. Ratifikasi itu oleh
Indonesia dibuat undang-undang No. 7 tahun 1984 dan karena itu Konvensi
CEDAW itu serta merta menjadi bagian dari Hukum Nasional yang harus
diterapkan secara sungguh-sungguh, bukan hanya berdasarkan asas hukum
pacta sunt servanda (janji atau perjanjian harus ditepati/ dilaksanakan) yang
harus dilaksanakan dengan itikad yang baik. Tetapi juga karena konvensi
tersebut sudah dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia yang
harus dipatuhi oleh pemerintah maupun negara Indonesia sebagai hukum yang
berlaku di Indonesia sendiri. Apalagi pada pasal 24 Konvensi CEDAW itu
tercantum bahwa : State parties undertake to adopt all necessy measures at the
national level aimed at achieving the full realization of the rights recognized in
the present convention.
Setelah perang dunia kedua, suatu negara atau pemerintahannya
tidak dapat menyisihkan berlakunya suatu ketentuanperjanjian internasional
yang telah diratifikasinya dengan asalasan bahwa perjanjian internasional itu
bertentangan dengan hukum nasionalnya sendiri. Sebaliknya, undang-undang
dasar berupa negara seperti Negeri Belanda dengan tegas mengatakan bahwa
apabila terjadi perbedaan antara ketentuan perjanjian internasional dengan
ketentuan hukum nasionalnya, maka yang berlaku adalah ketentuan dalam
perjanjian internasional yang mereka ratifikasi. Juga Amerika Serikat tetap
terikat pada kewajiban internasional dan bertanggung jawab atas setiap
pelanggaran ketentuan perjanjian internasional yang telah diratifikasinya,
sekalipun hakim pengadilan cenderung menerapkan ketentuan hukum
nasionalnya sendiri, terutama yang diundangkan setelah ratifikasinya perjanjian
international yang bersangkutan.
Akibat Hukum Ratifikasi Konvensi CEDAW yang menjadi
pegangan mengenai perjanjian internasional dewasa ini adalah Konvensi Wina
tentang perjanjian-perjanjian internasional tahun 1969,yang mulai berlaku
sejak 27 Januari 1990. Dalam pasal 14 Konvensi tahun 1969 tersebut diatur
cara ratifikasi perjanjian Internasional. Namun harus benar-benar diperhatikan
bahwa istilah ratifikasi di dalam Konvensi Wina dipakai dalam hukum
Internasional dan bukan dalam arti hukum Nasional yang biasanya menentukan
Sejalan dengan alam fikiran seperti itu wanita hanya cocok sebagai
budak atau pelayan suami atau barang yang sesuai dengan kecantikannya dan
keperawanannya dapat diperjual belikan kepada keluarga lain dengan harga
yang setingginya, dan dijadikan aset bagi keluarga yang memilikinya. Karena
itu tujuan hidup dan cita-cita seorang gadis hanyalah supaya secepatnya dapat
menikah. Akibatnya kehidupan anak perempuan/ gadis tertujukepada peristiwaperistiwa pernikahan itu, yang dianggap oleh masyarakat dan orang tuanya
sebagai puncak kesuksesannya sebagai orang tua dan puncak kebahagiaan bagi
anak perempuannya, walaupun gadis tersebut sama sekali tidak boleh ikut
memilih calon suaminya, bahkan kadang-kadang sama sekali belom pernah
melihatnya.
Sejak masa R.A. Kartini, sindrom putri salju atau Cinderella
syndrom ini mulai dirombak dan diterobos di Indonesia, sejalan dengan
perjuangan kaum wanita di seluruh dunia, untuk melepaskan diri dari belenggu
kekangan dominasi kaum pria. Di indonesia pun kita mengenal R.A. Kartini,
Dewi Sartika, Ibu Walandouw, dan masih banyak wanita Indonesia yang
menderita akibat pelecehan suaminya, saudara laki-laki, atau perlakuan tidak
senonoh atau diskriminatif dari kaum pria, seperti perlakuan seorang pegawai
kantor Imigrasi Dapertemen Kehakiman terhadap seorang pimpinan KADIN
ketika ia memerlukan penggantian parpor pada tanggal 19 oktober 1998 yang
lalu.
Keadaan inilah yang antara lain melahirkan kaedah, bahwa
perkawinan bukan suatu kewajiban, tetapi adalah suatu hak, sehingga tidak
sepantasnya wanita yang tidak menikah dianggap sebagai aib bagi orang
tuanya, atau dianggap sebagai perawan tua yang tidak laku. istilah inipun
membuktikan kebenaran seakan-akan wanita itu dianggap benda (yang tidak
laku). Dari uraian diatas tampak kiranya, bahwa hak-hak wanita sungguhsungguh merupakan serangkaian hak yang melekat dengan keberadaannya
sebagai manusia ciptaan tuhan, sehingga hak-ha wanita itu tiada lain
merupakan hak-hak asasi manusia pula, yang apabila dibatasi atau tidak
dihormati akan menghalang-halangi perkembangannya sebagai manusia
seutuhnya. Maka untu melindungi wanita terhadap segala pelecehan dan
pelanggaran hak wanitanya, UU Hak Asasi Manusia (UU No. 39 Tahun 1999)
dalam pasal 45 secara tegas mengatakan bahwa : Hak wanita adalah hak asasi
manusia. Pasal 45 ini perlu dikaitkan dengan pasal 71 dan pasal 72 UU Hak
Asasi Manusia karena pasal 71 berbunyi : Pemerintah wajib danbertanggung
jawab menghormati, melindungi, menegakan dan memajukan hak asasi
manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan
lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh
negara Republik Indonesia.
Karena itu hak-hak yang disebut dan diatur di dalam Konvensi
CEDAW juga harus dihormati, dilindungi, ditegakan dan dimajukan oleh
pemerintah Indonesia. Dan pasal 72 mengatakan : Kewajiban dan tanggung
jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, meliputi langkah
implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan keamanan negara dan bidang lain. Berarti bahwa hak asasi
wanita disemua bidang kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat
dilindungi oleh hukum dan aparatur Hukum dan aparatur Hukum Indonesia,
termasuk Aparat Pemerintah Republik Indonesia.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian diatas yang kiranya telah dapat kita simak bahwa
sekalipun sudah dari abad-abad yang lampau timbul pemikiran dan gerakan
untuk menegakan hak-hak asasi manusia wanita setara dengan kaum pria,
maupun untuk membebaskan wanita Indonesia dari statusnya yang lebih
rendah daripada pria, di dalam lingkungan keluarga dan rumah tangga,
lingkungan masyarakat, apalagi dalam lingkungan kenegaraan, namun hingga
kini masih saja ada tokoh-tokoh masyarakat yang tega merendahkan
kemampuan hak asasi kaum wanita dengan mengatakan bahwa wanita tidak
patut menjadi Presiden, Kepala Negara, dan kepala Pemerintahan. Padahal
dalam UUD 1945 sama sekali tidak disebut bahwa kepala negara dan wakilnya
harus seorang pria. Lagi pula para pendiri bangsa indonesia justru sangat
menghormati dan membanggakan kemampuan dan sumbangan fikiran dan
tenaga kaum wanita bagi perjuangan kemerdekaan indonesia, serta sangat
menghormati hak asasi manusia itu, karena gerakan dan perjuangan
kemerdekaan indonesia justru didasarkan pada hak asasi manusia baik sebagai
perorangan maupun sebagai bangsa.
Oleh sebab itu, fikiran seakan-akan wanita tidak patut dan tidak
pantas menjadi kepala keluarga atau kepala organisasi, kepala negara itu tidak
hanya secara formal bertentangan dengan ketentuan UUD 1945, tetap juga
bertentangan
dengan
semangat
menghargai
dan
menghormati
jiwa
bahkan
jiwanya
sekalipun
dalam
perjuangan
merebut
Di samping itu UU-HAM itu juga memuat sejumlah hak asasi anak
yang perlu dilindungi, berdasarkan Convention on the Right of the Child.
Dengan demikian RUU-HAM diharapkan meliputi berbagai hak asasi, baik
bagi manusia pada umumnya, maupun bagi wanita dan anak-anak sehingga
UU-HAM Indonesia diharapkan menjadi UU-HAM yang sangat modern dan
mampu mengantar masyarakat Indonesia ke hidupan yang lebih adil dan
sejahterah dalam abad ke-21.
Daftar Pustaka
Bagir Manan (ed), 1996, :Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan
Negara Hukum,Gaya Media Pratama, Jakarta
Boylan, Esthar, 1991, Women and Disability, Zed Books Ltd. London &New
Jersey
Lubis, Todung Mulya,1993, In Search of Human Rights, PT. Gramedia
Pustaka Umum, Jakarta
Nafsiah Mboi : Perempuan dan Pemberdayaan