Anda di halaman 1dari 4

Rindu Diujung Senja

Aku datang mencarimu hingga ke Negeri Semenanjung,


Aku tak peduli lagi, janji menantimu dikampung kita,
Engkau tak berkabar, tanpa secuil berita tentang dirimu.
Engkau seolah hilang ditelan lorong yang gelap,
Aku bertahan bertahun-tahun menanti gerangan kehadiramu,
Hanya kesia-siaan yang tersisa, ketika kuperpanjang penantian akan dirimu, seolah tak
berujung, bingkai hati telah berjamur, tumbuh gersang harapan yang mulai sirna, sampai
hatimu, tak pernah kembali, pria yang melamar diri telah banyak yang pergi, tak hirau aku
dengannya, karena cinta sejati hanya padamu,
Namun semua itu bagai fatamorgana dalam hidupku, engkau lelaki yang pernah singgah
dalam taman hatiku, semuanya menjadi kenangan beku, dalam dinginnya hawa senja itu,
sepotong rindu yang tersisa masIh kukirim lewat angin senjan kemarin,
Dua puluh tahun silam aku menyerahkan hatiku pada kesatria jiwaku, engkau yang masih
gagah belia, membangun impian sadarku, akan masa yang indah, dengan tangan kokoh
dirimu, yang akan menggendong hatiku, memasuki taman penuh bunga, tapi apa kini yang
ada, cerita kelam ini kutulis dalam rangkaian bait kata yang tercurah dari relung hati yang
telah robek dan luka.
Namun senja ini, di Kuala Lumpur, kita bertemu, engkau masih mengenal diriku, akupun
sadari sosok yang masih perkasa, hanya berbeda pada tatapan matamu, engkau telah
kehilangan kepercayaan dirimu, aku menghiburmu, tanpa kusisakan dendam disana. Aku
tak bertanya kenapa hidupmu senduh dirantau, aku biarkan engkau menyimpan dalam
koper usang dilemari cerita kelam perantauanmu,
Semburat merah jingga warna mentari senja itu dilangit tanah Melayu, aku dan engkau
bertemu, aku tak meminta sebongkah batu berlian pengganti harga hatiku yang tercabik
olehmu, tak juga menagih miliaran rupiah membayar ruginya jiwaku karena
merindukanmu,
Aku hanya meminta hatimu yang utuh, yang engkau pernah serahkan padaku, sekeping
hati menjadi sangat mahal, jika telah berpisah, bertaut lagi hati yang tercabik, kembalilah
kita ketanah air sendiri,
Sawah dan ladang orangtua kita dahulu masih ada, agar menanam harapan kita kembali.
Kota Tepian Air, Al-Muharam hari ke empat 1437 Hijriah 13 Desember 2015
Dialiran Sungai Pengabuan

Aku melihat seorang nelayan menaiki sampan kecilnya ditepi dermaga Pelabuhan Tangga
Rajo Hulu, dia melepas pelan talli ikatan sampannya dari tiang didekatnya, saat itu aku
berdiri dengan mata sayu bermandikan kesedihan akibat terlalu banyak duka yang
menggelantung dihati, bingkai hatikupun telah robek karena duka itu, lalu aku pergi ke
Jembatan beton yang menjadi kebanggan warga kotaku, Aku perhatikan semua detail
yang tergambar dimataku, nelayan itu menggulung jaringnya dan melipat-lipatnya hingga
menjadi buntalan sebesar pelukan orang dewasa, aku terus memandang setiap gerakan
nelayan itu, aku melihatnya masih memegang jaring ditangannya, tak melepasnya,
meskipun tali perahunya telah terlepas dari tiang didermaga, mungkin dia agak melamun
atau diamenyadari aku melihatnya, sehingga mungkin juga dia ingin melakukan aksi
dramatis didepankun aku tak tahu, tapi perahunya mulai bergerak sendiri, sang nelayan ini
belum juga megang dayaung disamping kaki, aku masih memperhatikan nelayan itu kini
dia melepas jaring ikan ditangannya dan meletakkan diburitan perahu kecilnya, dia lalu
mengambi ayung yang tergeletak diam diperahunya, pelan tampaknya dua belah dayaung
itu dipasang disebelah kiri dan kakan perahunya telah posisi yang tepat untuknya
mendayung dengan alat itu, suatu gerakan yang dinamis terlihat dan sangat cekatan dia
mengemudikan perahunya yang tanpa mesin itu,
Lelaki nelayan yang keperkirakan usianya mendekati lima puluh tahun itu, menelusuri alur
sungai Pengabuan, aku masih diatas jembatan, menatap kepergiannya tanpa suara, namun
hatiku mulai terhibur dengan adegan yang kulihat didepan mataku, nelayan itu perahu
kecilnya dan jaring ikan serta dayung ditangannya semua itu bagiku adalah nyanyian
kehidupan yang sedang dilagukan oleh nelayan yang aku lihat itu, tubuhnya yang tinggi
kurus dengan kulit tubuh yang terpapar sinar matahari setiap hari membuatnya berwarna
kelam pekat, namun sorot mata nelayan itu menandakan dia adalah pria tangguh,
percikan air sungai Pengabuan yang membasahi kulit lengannya saat mendayung perahu
telah memberinya energi alam untuk bertahan hidup dari biota didalam Sungai Pengabuan
yang airnya berwarna kecoklatan itu,

Musdalifah Rachim, hari keempat dibulan Al-Muharam 1437 Hijriah,


Kota Tepian Air, Kuala Tungkal - 10 Desember 2015

Anda mungkin juga menyukai