Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
Mikrobiologi tanah mencakup hal-hal yang berkaitan dengan mikroorganisme yang
hidup di dalam tanah, pada umumnya jarang menimbulkan penyakit terhadap manusia.
Mikrobiologi tanah memiliki peranan penting pada bidang agrikultural dan ekonomi.
Mikroorganisme di dalam tanah berperan sebagai decomposer yang akan memecah bahan
organik menjadi nutrien sederhana dan dapat digunakan oleh tumbuhan dan oleh
mikroorganisme itu sendiri. Sehingga mikroorganisme sangat penting dalam mendaur
ulang zat-zat yang ada di dalam tanah pada sebuah ekosistem.1,2
Tanah berasal dari proses pelapukan batu-batuan baik secara fisika maupun kimia dan
melalui proses yang melibatkan mikroorganisme, yang akan menghasilkan sampah dan
material organik yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup pada tumbuhan.

Tanah

terbagi menjadi beberapa lapisan (soil horizons) yang terdiri dari topsoil, subsoil, dan
parent material. Semua lapisan tersebut berada diatas lapisan yang disebut bedrock. Tanah
terdiri dari komponen inorganik dan organik. Komponen inorganik yaitu batu-batuan,
mineral, air, dan gas. Komponen organik terdiri dari humus (bahan organik tidak hidup)
dan organisme hidup. Lapisan tanah yang paling atas yaitu topsoil, yang kaya dengan
humus paling banyak terdapat mikroorganisme, karena pada lapisan tersebut memiliki
banyak persediaan oksigen, nutrien dan material organik. Sedangkan pada lapisan
dibawahnya (subsoil dan parent material) sedikit mengandung oksigen dan nutrien dan
lebih sedikit organisme.1,2
Beberapa faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi densitas dan komposisi
populasi mikroba di dalam tanah meliputi kandungan air, oksigen, keasaman, temperatur,
dan ketersediaan nutrien. Kelembapan dan kandungan oksigen sangat berkaitan dengan
kondisi tanah. Kelembapan berperan penting dalam proses kelangsungan hidup mikroba,
pada kondisi tanah yang kering aktivitas metabolik akan lebih rendah, mikroorganisme
lebih sedikit dan kurang beragam jika dibandingkan dengan tanah yang lembab. Karena
oksigen susah larut dalam air, tanah yang lembab memiliki konsentrasi oksigen yang lebih
rendah dibandingkan dengan tanah yang kering. Ketika tanah banyak tergenang air, jumlah
mikroorganisme aerob akan berkurang dan akan didominasi oleh mikroorganisme anaerob
walaupun pada lapisan permukaan.1,2
Keasamaan (pH) di dalam tanah akan mempengaruhi komposisi bakteri dan fungi di
dalam tanah.

pH pada tanah berkisar antara 2-9. Sebagian besar bakteri pada tanah
1

memiliki pH optimum 6-8. Tanah yang terlalu asam dan terlalu basa akan cenderung lebih
banyak terdapat fungi (mold) dibandingkan bakteri, walaupun fungi lebih banyak terdapat
pada tanah dalam kondisi asam. Sedangkan bakteri akan lebih banyak terdapat pada tanah
dengan pH mendekati 7.1,2
Sebagian besar mikroorganisme seperti bakteri, fungi, algae, protista dan virus
terdapat pada tanah, tapi bakteri jumlahnya lebih banyak dibandingkan yang lainnya. Jenis
bakteri di dalam tanah seperti autotroph, hetereotroph, aerob, anaerob, dan bakteri
tergantung besarnya temperatur di dalam tanah yaitu mesophile (bakteri yang bertahan
hidup pada suhu 20-40C) dan thermophile (bakteri yang bertahan hidup pada suhu 5060C). 1,2
Sebagian besar fungi pada tanah merupakan mold, dimana fungi memiliki dua peran
dalam tanah yaitu sebagai decomposer terhadap jaringan tumbuhan seperti selulose dan
lignin dan myecelia berfungsi membentuk jaringan disekitar partikel tanah (gigantic
mycelia), dan akan memberikan tekstur yang rapuh pada tanah. Selain mold, yeast juga
banyak terdapat pada tanah dimana anggur dan buah-buahan lainnya tumbuh. 1,2
Algae hanya ditemukan pada permukaan tanah dikarenakan sebagai mikroorganisme
photoautotrophs mereka membutuhkan cahaya., dimana proses fotosintesis dapat
berlangsung. Protista yang terdapat di dalam tanah sebagian besar amoeba dan protozoa
berflagella.

Organisme tersebut berperan dalam mengontrol populasi bakteri dan

menyediakan makanan untuk bakteri. Virus jarang ditemukan secara bebas dan aktif di
dalam mikroorganisme tanah.

Virus pada tanah dapat menginfeksi bakteri dan sebagian

kecil menginfeksi fungi dan tumbuhan. Bakteri dalam tanah dengan jumlah yang banyak
dan bervariasi didapatkan pada semua lapisan tanah dan sering membentuk lapisan
biofilm. Archaea terdapat di dalam tanah akan tetapi belum banyak penelitian terkait
dikarenakan tidak dapat dilakukan kultur.1,2
Sebagian besar mikroorganisme dalam tanah adalah mesophile.

Sebagian besar

mikroba yang hidup di dalam tanah cukup baik hidup pada daerah yang memiliki musim
hujan dan kemarau yang tidak terlalu ekstrim. Psychrophile hanya dapat tumbuh dengan
baik pada lingkungan dingin dan tidak tidak dapat bertahan hidup pada lingkungan yang
mengalami musim semi. Ketersediaan nutrien juga mempengaruhi keragaman mikroba di
dalam tanah.

Sebagian besar mikroba adalah heterotrophic yang mempergunakan

komponen organik di dalam tanah. Jumlah mikroba di dalam tanah ditentukan dari
banyaknya material organik dibandingkan dengan jenis-jenis material organik yang
tersedia di dalam tanah. 1
2

Mikroorganisme di dalam tanah berperan dalam mendegradasi organisme yang sudah


mati dan beberapa juga dapat membersihkan polutan industri. Dekomposisi terhadap
substansi organik kompleks yang berasal dari organisme yang sudah mati merupakan
proses yang bertahap dan melibatkan beberapa jenis mikroorganisme. Substansi organik
seperti selulose, lignin, dan pectin pada dinding sel tumbuhan; glikogen yang berasal dari
jaringan hewan; dan protein dan lemak yang berasal dari hewan dan tumbuhan. Selulose
didegradasi oleh bakteri, khususnya genus Cytophaga, dan beberapa jenis fungi. Lignin
dan pectin dihancurkan secara parsial oleh fungi, dan hasil dari degradasi fungi akan
dihancurkan lebih lanjut oleh bakteri. Protozoa dan nematoda juga berperan dalam proses
degradasi lignin dan pectin. Lebih jauh lagi, mikroorganisme dapat membentuk berbagai
substansi yang berguna bagi kehidupan manusia. Sampai saat ini para ahli masih meneliti
tentang populasi alami dari mikroorganisme untuk menemukan spesies yang dapat
digunakan untuk berfungsi untuk keperluan biologis dan kimia.1,2
Walaupun sebagian besar mikroorganisme yang hidup di tanah tidak berbahaya bagi
manusia tetapi ada juga sebagian kecil mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi
disebut sebagai soilborne infection. Penularan penyakit tersebut dapat terjadi melalui
kontak langsung, menelan, atau menghirup organisme yang terdeposisi di dalam feses atau
urin hewan atau manusia yang terdapat pada tanah.

Dalam kondisi tertentu

mikroorganisme hidup dan bereplikasi di dalam tanah, tetapi tanah juga dapat berperan
sebagai media perantara untuk berpindahnya pathogen dari satu host ke host lainnya.
Sebagian besar patogen yang berperan dalam soilborne disease adalah jamur atau bakteri.
Hanya sebagian kecil protozoa atau virus yang dapat menyebabkan penyakit. 1,2
Pathogen pada tanah yang biasanya menyebabkan penyakit pada manusia adalah Bacillus
anthracis,

Clostridium

Histoplasma

tetani,

capsulatum,

Clostridium

Blastomyces

perfringens,

dermatitidis,

Hantavirus.1,2

Clostridium

Coccidioides

botulinum

immitis

dan

Gambar 1. Proporsi relatif berbagai organisme yang terdapat pada tanah2

Tabel 1. Soilborne disease pada manusia dan tumbuhan1

BAB II
PEMBAHASAN
Pada pokok bahasan ini, akan difokuskan pada beberapa jenis pathogen yang sangat
berperan dalam timbulnya penyakit. Beberapa pathogen yang saat ini diketahui berpengaruh
terhadap terjadinya soilborne disease adalah :
1. Bacillus anthracis
2. Clostridium tetani
3. Clostridium perfringens
4. Clostridium botulinum
5. Histoplasma capsulatum
6. Blastomyces dermatitidis
7. Coccidioides immitis
8. Hantavirus
1. Bacillus anthracis
B. anthracis merupakan bakteri Gram positif batang yang dapat menyebabkan penyakit
Anthrax. Secara mikroskopis B.antrachis memiliki ukuran 1.0-1.5 m x 3.0-5.0 m dan
dapat juga nampak sebagai Gram variabel yang dapat terlihat soliter atau berantai dan
menghasilkan endospora. Dalam bentuk rantai akan terbentuk untaian, dimana antara
ujung sel satu dan lainnya akan saling bergandengan, bersamaan dengan itu spora yang
tidak terwarnai pada bagian sentral akan memberikan gambaran seperti batang bambu
(bamboo rods). Gram variabel dapat terjadi jika pada proses kultur terjadi kekurangan
nutrien pada media yang digunakan. Apabila teridentifikasi Gram positif batang
encapsulated dengan jumlah yang banyak di darah dapat dijadikan suatu identifikasi
presumtif yang kuat untuk B. anthracis. Apabila dilakukan subkultur pada bakteri B.
anthracis, pembentukan kapsul akan terhenti. Untuk memicu pembentukan kapsul, dapat
dilakukan inkubasi pada lingkungan yang mengandung konsentrasi CO2 tinggi. Spora
biasanya tidak tampak pada spesimen klinis akan tetapi terlihat sebagai area unstained
pada sel. Spora juga dapat terlihat dengan teknik pengecatan spora. Dengan teknik
tersebut, sel vegetatif akan berwarna merah, dan spora akan berwarna hijau.3
Pada SBA (sheep blood agar), koloni B. anthracis adalah non hemolytic, ukuran besar
(2 sampai 5 mm), abu-abu, dan permukaan datar dengan margin ireguler karena terjadi
overgrowth dari penonjolan filamentosa panjang yang dapat terlihat dengan menggunakan
5

dissecting microscope. Morfologi koloni B. anthracis digambarkan sebagai Medusa head


yang memiliki konsistensi yang tenacious, yang berikatan erat dengan permukaan agar,
jika koloni diambil dengan loop akan berdiri tegak lurus tanpa penyangga. B. anthracis
dapat diisolasi dari tempat steril seperti darah, jaringan paru, dan liquor cerebrospinalis
(LCS) sehingga selektif media tidak selalu digunakan untuk mengisolasi bakteri tersebut.
Pada beberapa strain B. anthracis dapat digunakan phenylethyl alcohol (PEA) medium
yang biasanya tumbuh kurang baik. 3
Identifikasi B. anthracis dapat dilakukan tes katalase yang akan memberikan hasil
positif dan dapat tumbuh dalam suasana aerob maupun anaerob. Bersifat non-motile yang
membedakannya dengan genus Bacillus lainnya.

Walaupun B. anthracis dapat

memfermentasi glukosa, namun tidak dapat memfermentasi manitol, arabinose atau


xylose. B. anthracis menghasilkan lechitinase; zone opak dapat terlihat disekitar koloni
pada egg-yolk agar. Spesies ini dapat tumbuh pada konsentrasi garam tinggi (7% natrium
klorida) dan pH yang rendah (<6). Pengecatan Gram dapat dilakukan pada spesimen
klinis secara langsung atau pada isolat kultur. Jika morfologi koloni dan mikroskopis
mendukung suatu B. anthracis, diperlukan tes tambahan. B. anthracis adalah katalase
positif, non-hemolitik, dan non-motile. Pemeriksaan motility dapat dilakukan dengan
pemeriksaan preparat basah atau dengan menggunakan media motility. Kapsul yang
terbentuk pada B. anthracis dapat terdeteksi melalui pengecatan India ink pada spesimen
darah atau LCS atau pada sel yang terisolasi dari media yang mengandung natrium
bikarbonat.3
Virulensi B. anthracis tergantung dari kapsul asam glutamat dan tiga komponen
protein eksotoksin. Gen yang mengkode toksin dan enzim berperan dalam pembentukan
kapsul terdapat di dalam plasmid. Jika isolat virulen dikultur secara berulang secara in
vitro, plasmid dapat hilang dan akhirnya organisme tersebut menjadi avirulen. Kapsul
merupakan suatu polipeptida dari D-glutamic acid berfungsi untuk melindungi organisme
dari proses fagositosis. 3,4
Toksin anthrax terdiri dari 3 protein yaitu : protective antigen (PA), edema factor (EF),
dan lethal factor (LF), masing-masing dari toksin itu sendiri bersifat non-toksik akan
tetapi jika bergabung akan secara sinergis menimbulkan efek yang berbahaya.

PA

berfungsi sebagai molekul pengikat antara EF dan LF, yang akan memungkinkan
terjadinya perlekatan ke suatu reseptor spesifik pada permukaan sel host spesifik. Efek
dari EF dan LF akan terlihat jika satu sama lain berikatan dengan PA. Edema terjadi
akibat kombinasi PA dan EF, sedangkan kematian terjadi akibat kombinasi PA dan LF.
6

EF merupakan sebuah adenylate cyclase yang dapat meningkatkan konsentrasi cyclic


adenosine monophosphate (cAMP) pada sel host. LF merupakan sebuah protease yang
dapat menghancurkan sel host dengan merusak transduksi dari

sinyal regulasi

ektraseluler.3,4
Anthrax merupakan penyakit yang disebabkan oleh B.antrachis, yang awalnya
merupakan penyakit pada herbivora seperti sapi, domba dan kambing. Penyakit tersebut
juga dikenal dengan wool sorters atau rag pickers. Anthrax berasal dari bahasa Yunani
yaitu kata coal (batu bara), yang berdasarkan atas karakteristik lesi pada kulit yang
berwarna hitam, nekrotik, dan ulseratif (eschar) terutama pada pasien yang mengalami
kutaneus anthrax. Infeksi pada manusia dapat terjadi sebagai akibat adanya interaksi
dengan hewan atau produk hewan yang terkontaminasi. Saat ini kasus anthrax di seluruh
dunia sangat jarang terjadi yaitu sekitar beberapa ribu kasus per-tahun. Penyakit anthrax
merupakan enzootic pada beberapa belahan dunia seperti Afrika, Amerika tengah dan
Amerika selatan. Outbreak terbesar pada kasus anthrax kutaneus primer terjadi pada awal
tahun 1980 di Zimbabwe sekitar 10.000 kasus. 3
Ada tiga bentuk penyakit anthrax yang dikenali pada manusia adalah : kutaneus,
inhalasi atau pulmonary, dan gastrointestinal. Infeksi berasal dari kontaminasi luka,
inhalasi, atau spora yang tertelan, dan kemudian spora tersebut akan berkembang di
dalam jaringan host.

Bentuk ke-empat disebut sebagai injectional anthrax, mulai

berkembang belakangan ini dan dikenali sebagai bentuk tambahan dari infeksi klinis.
Infeksi terjadi akibat injeksi spora secara langsung ke dalam jaringan pada kasus drug
abuse. 3
Cutaneous Anthrax dapat terjadi ketika luka terkontaminasi oleh spora anthrax yang
didapat melalui kulit yang terluka, abrasi, atau gigitan serangga. Sekitar 99% kejadian
anthrax di seluruh dunia merupakan kutaneus.

Cutaneous anthrax ditandai dengan

adanya bintik kecil atau papul pada tempat terjadinya inokulasi terjadi 2-3 hari setelah
paparan. Cincin vesikel akan terbentuk dan bergabung antara vesikel satu dan lainnya
dan membentuk cincin eritematosa yang merupakan area kecil dan gelap muncul pada
bagian tengah cincin dan akhirnya akan terjadi ulserasi dan mengering, membentuk suatu
area yang cekung pada bagian tengah dengan nekrosis dan berwarna kehitaman dan
disebut sebagai eschar atau black eschar. Lesi tersebut juga disebut sebagai malignant
pustule, walaupun bukan merupakan pustule dan tidak malignan. Lesi tidak nyeri dan
tidak menghasilkan pus, dan dapat terjadi infeksi sekunder oleh organisme pyogenik.
Eschar biasanya berdiameter 1 sampai 3 cm, walaupun dapat lebih lebar lagi. Eschar
7

akan mulai sembuh setelah 1 sampai 2 minggu. Lesi akan menjadi kering, terpisah
dengan dasarnya, dan akhirnya terlepas dan membentuk jaringan parut (scar). Pada
umumnya infeksi terlokalisir, tapi dapat terjadi limfangitis regional dan limfadenopati.
Jika terjadi septikemia, akan muncul gejala seperti demam, malaise, dan sakit kepala.3,4
Inhalation Anthrax juga disebut sebagai wool-sorter disease, terjadi jika spora terhirup
masuk ke dalam parenkim paru. Infeksi awalnya terjadi sebagai penyakit non-spesifik
meliputi demam ringan, fatigue, dan malaise 2-5 hari setelah paparan spora. Gejala akan
menyerupai penyakit pada saluran pernafasan atas seperti flu dan demam dan akan
membaik sekitar 2-3 hari. Hal tersebut akan diikuti oleh severe phase yang ditandai
dengan distres pernafasan. Fase tersebut ditandai dengan mortalitas yang tinggi karena
gangguan respirasi seperti dyspnea, cyanosis, efusi pleura yang diikuti dengan
disorientasi, koma dan kematian.3,4
Gastrointestinal Anthrax terjadi ketika spora terinokulasi pada mukoasa intestinal yang
mengalami lesi setelah spora tertelan. Gejalanya adalah nyeri abdomen, nausea, anorexia,
dan muntah. Diare berdarah juga dapat terjadi. Oleh karena tipe penyakit ini sulit untuk
didiagnosis, fatality rate akan menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan bentuk
kutaneus. Gastrointestinal Anthrax terjadi kurang dari 1% total kasus di seluruh dunia.3,4
Injectional Anthrax ditandai dengan adanya infeksi pada jaringan lunak yang berkaitan
dengan skin popping atau bentuk lain dari penggunaan obat suntik dan terjadi karena
injeksi spora langsung ke dalam jaringan. Untuk pertama kalinya dilaporkan pada tahun
2000 dan masih dilaporkan selama periode 2009-2010 pada kejadian outbreak yang
berkaitan dengan heroin. Injectional anthrax dapat dikaitkan dengan necrotizing fasciitis,
organ failure, shock, koma, dan meningitis, dan angka mortalitasnya sangat tinggi.
Infeksi jaringan lunak pada injectional anthrax tidak membentuk black eschar.
Komplikasi yang dapat terjadi pada semua bentuk penyakit anthrax adalah meningitis
yang terjadi pada 5% kasus dan lebih banyak terjadi pada bentuk inhalation dan
injectional.3
Sebagian besar isolat B. anthracis suseptibel terhadap penisilin, akan tetapi resisten
dapat terjadi jika tidak terbentuk -lactamase sehingga pada keadaan tersebut penicillin
tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal. B. anthracis seringkali suseptibel terhadap
antimikroba broad spectrum, meliputi tetracycline, fluoroquinolone, dan chlorampenicol.
CDC merekomendasikan ciprofloxacin dan doxycycline sebagai terapi intravena sampai
hasil uji sensitivitas selesai.3,4
8

Gambar 2. Pengecatan Gram Bacillus sp.3

Gambar 3. Pengecatan spora Bacillus sp. Sel vegetatif berwarna merah; spora
berwarna hijau3

2. Clostridium tetani
C. tetani merupakan spore-forming anaerobic bacilli yang dapat menyebabkan
penyakit tetanus. Semua clostridia dapat menghasilkan spora, namun spora tidak dapat
terlihat pada pengecatan Gram pada spesimen klinis yang mengandung clostridia atau
pada hapusan dari koloni yang diambil dari petri agar kecuali jika dilakukan inkubasi
selama beberapa hari pada kultur. Clostridia dapat dikelompokkan sesuai dengan lokasi
endospora di dalam sel. Spora dapat berada pada posisi terminal jika terletak pada bagian
ujung sel bakteri, subterminal jika spora ditemukan tidak pada ujung bakteri dan spora
yang terletak di tengah disebut sebagai spora sentral. Spora terminal akan menyebabkan
sel menjadi bengkak.

Clostridium spp. seringkali ditemukan pada infeksi anaerob


9

eksogen atau intoksikasi. Clostridia atau toksin yang dihasilkan biasanya masuk ke
dalam tubuh melalui tertelan atau luka terbuka yang telah terkontaminasi oleh tanah.
Clostridia dapat menyebabkan penyakit klasik seperti tetanus, gas gangrene
(myonecrosis), botulisme, dan keracunan makanan.3
Clostridium tetani merupakan bakteri Gram positif batang, spore forming dengan
spora terminal, bersifat obligat anaerob, yang dapat menimbulkan infeksi anaerob
eksogen yaitu penyakit tetanus. C. tetani dapat menghasilkan toksin disebut sebagai TeNT
(Tetanus Toxin), yang dapat berdifusi menjauhi luka dan masuk ke dalam aliran darah.
TeNT bekerja pada neuron yang mengatur neural feedback yang akan berpengaruh
terhadap proses relaksasi otot. Dengan adanya toksin tersebut di dalam darah, akan
mencegah proses signaling neuron untuk menjadi relaksasi setelah otot berkontraksi, dan
akhirnya akan menimbulkan paralisis spastik. Manifestasi klinis penyakit tetanus sangat
berkaitan dengan neurotoksin tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Tetanospasmin bekerja dengan menghambat neuron yaitu mencegah keluarnya
neurotransmitter. Hal tersebut akan menyebabkan paralisis tipe spastik, dengan spasme
otot yang berlanjut dan menjadi trismus (lockjaw), risus sardonicus (distorted grin), dan
kesulitan bernafas.3,4,5
Tetanus terjadi ketika spora yang terdapat pada lingkungan masuk pada kulit melalui
luka tusuk.

Spora akan berkembang menjadi sel vegetatif yang akan membentuk

tetanospasmin. Gejala biasanya muncul sekitar 7 hari setelah terjadi luka, akan tetapi
masa inkubasi berkisar antara 3-21 hari. Lamanya masa inkubasi tergantung dari jarak
terjadinya luka dengan sistem saraf pusat. Secara umum tetanus dapat dikelompokkan
menjadi adult tetanus yaitu tetanus terjadi secara lokal atau generalisata akibat luka
terkontaminasi oleh tanah, dan neonatal tetanus terjadi akibat luka pada umbilicus yang
terkontaminasi oleh tanah. Manifestasi klinis meliputi kekakuan pada otot, biasanya pada
rahang, leher dan region lumbar. Gangguan menelan terjadi akibat spasme pada otot
faring.

Kekakuan pada otot abdomen, dada, punggung, dan ekstremitas juga dapat

terjadi.3,4
Dengan banyaknya pemakaian vaksin diphtheria-tetanus-acellular-pertussis (DTaP),
kejadian tetanus dapat dicegah dengan maksimal terutama di Amerika dilaporkan hanya
36 kasus oleh CDC pada tahun 2011. Pengobatan pada tetanus membutuhkan injeksi
antitoksin, pelemas otot, dan terapi intensif. Walaupun sebagian besar pasien dapat
disembuhkan dengan sempurna, disabilitas dalam periode waktu yang lama dapat terjadi
dan bahkan kematian.3,4
10

Gambar 4. A. Pengecatan Gram tampak terminal spora pada Clostridium tetani3

Gambar 5. Tetanus: risus sardonicus4


3. Clostridium perfringens
C. perfrigens (sebelumnya C. welchii) merupakan Gram positif batang besar, spore
forming dan obligat anaerob walaupun dapat bertahan sebagai aerotoleran sampai dengan
72 jam.

Tidak seperti clostridia yang lainnya, C. perfringens bersifat non-motile

walaupun koloni dapat menyebar dengan cepat pada petri agar. Bersifat hemolitik, dan
metabolisme aktif, tumbuh dalam waktu hanya 8 menit dalam kondisi ideal. Bakteri ini
ditemukan di tanah, usus, traktus genital wanita, dan kulit.3,4,6
C. perfringens menghasilkan toksin yang banyak dan enzim ekstraseluler, yang
menjadikannya sebagai patogen yang menakutkan.

Toksin yang dihasilkan oleh

C.perfringens sebagai berikut : 3,4,6

Alpha toksin merupakan toksin yang paling utama, dapat menyebabkan lisis pada sel
darah merah dan sel darah putih, platetet dan endothelium, menyebabkan hemolisis
yang berat, perdarahan dan kerusakan jaringan. Pada beberapa studi eksperimental
dikatakan bahwa toksin ini menginduksi sumbatan pada pembuluh darah oleh platelet
11

dan neutrofil yang secara klinis akan menyebabkan nyeri hebat, progresi yang cepat,
kerusakan jaringan yang khas, dan tidak terdapatnya sel neutrofil.

Beta toksin menyebabkan kebocoran vakskuler dan juga berperan dalam necrotizing
enteritis.

Delta toksin menyebabkan hemolisis sel darah merah

Theta toksin menyebabkan hemolisis, edema pulomoner dan aritmia jantung

Enzim berperan dalam membantu bakteri menyebar ke jaringan dengan cepat

Enterotoksin sedikit berbeda yaitu berperan seperti toksin kolera pada sistem adenilat
cyclase ion transport yang menyebabkan kehilangan cairan dan diare.
Pada pemeriksaan mikroskopis tampak Gram-positif batang biasanya tanpa spora pada

swab cairan dan jaringan, tetapi dengan spora terminal dan sub-terminal.

Kultur

dilakukan pada media anaerob blood agar dan cooked meat atau thioglycollate broth, dan
aerob untuk mendeteksi patogen lainnya. Tanda khas pertumbuhan koloni adalah
pertumbuhan yang cepat dan hemolisis. Secara biokimia dapat dilakukan pemeriksaan
dengan menggunakan 5 jenis fermentasi gula dan reduksi nitrat.4
Pada kulit, jaringan lunak dan otot dapat terbentuk selulitis dan gas gangrene
(myonecrosis). Predisposisi terjadinya kondisi tersebut adalah adanya luka yang terjadi
akibat tergilas, laserasi yang mengenai arteri sedang dan besar, dan fraktur terbuka pada
tulang panjang yang terkontaminasi oleh spora bakteri yang terdapat di dalam tanah. Gas
gangrene yang terbentuk pada dinding abdomen dan flank area terjadi akibat luka tusuk
atau luka tembak. Terbentuknya gas gangrene pada luka yang disertai dengan kerusakan
jaringan yang luas mengganggu aliran darah yang disertai dengan kontaminasi tanah dan
material asing lainnya, yang akan memicu pertumbuhan bakteri anaerob dengan cepat.
Clostridial gas gangrene memiliki ciri khas yaitu nyeri mendadak pada area infeksi dan
bau busuk disertai dengan cairan serosanguinis dan gelembung gas. Gelembung pada
kulit berwarna kecoklatan dan terjadi indurasi yang memungkinkan gelembung kutaneus
tersebut mengandung cairan yang berwarna kebiruan-merah tua. Selanjutnya jaringan
akan melunak dan mengelupas. Batas antara jaringan sehat dan nekrotik seringkali
melebar beberapa inchi per jam, antibiotik yang tepat harus diberikan pada kondisi
tersebut dan seringkali klinisi akan melakukan tindakan amputasi radikal sebagai satusatunya jalan untuk menyelamatkan nyawa. Syok dan gagal organ seringkali menyertai
gas gangrene, dan ketika terjadi bakteremia angka kematian mencapai 50%.3,4,6

12

Diagnosis dapat dilakukan bila (i) infeksi dimulai pada area yang mengalami trauma,
(ii) terbentuknya gas di dalam jaringan, dan (iii) berlangsung secara progresif cepat. Pada
pemeriksaan dengan pengecatan Gram pada spesimen drainase cairan atau biopsi jaringan
biasanya akan tampak Gram-positif batang besar dan tidak tampak adanya sel-sel
inflamasi Sedangkan pada usus terjadi keracunan makanan dan necrotizing enteritis (pigbel). Beberapa tahun belakangan ini, terbentuknya gas gangrene kutaneus disebabkan
oleh C. perfringens, C. novyi type A, dan C. sordelli telah banyak ditemukan di Amerika
serikat dan Eropa Utara di kalangan pengguna obat-obat terlarang black-tar heroin
yang digunakan secara subkutan. 3,4,6
Pengobatan pada infeksi jaringan dapat diberikan penisilin, tapi tindakan pembedahan
dapat dilakukan sesegera mungkin dan pertimbangan pemberian antitoksin dan
hyperbaric oxygen dapat dilakukan. Pemberian antibiotika tidak diperlukan pada kondisi
keracunan makanan dan sedikit membantu pada konsdisi pig-bel.4

Gambar 6. C. perfringens pada kultur Blood Agar 4

Gambar 7. Pengecatan Gram pada clostridia menunjukkan Gram-positif batang4

13

Gambar 8. Clostridial gas gangrene4


4. Clostridium botulinum
C. botulinum merupakan agen penyebab penyakit botulism yang ditandai oleh adanya
paralisis flaksid mendadak. Spora C. botulinum banyak terdapat di tanah dan air. C.
botulinum dan strainnya seperti C.butyricum, C. baratii, dan C. argentinense dapat
menghasilkan BoNT (Botulinum Toxin) yang merupakan toksin paling mematikan. C.
botulinum dapat menghasilkan tujuh jenis strain toksin yang berbeda yaitu A sampai G,
yang memiliki aktifitas farmakologis yang sama. Hanya strain A, B, E dan F (jarang)
yang dapat menyebabkan botulism pada manusia, sedangkan strain C, D, E dan G dapat
menyebabkan penyakit pada mamalia., burung dan ikan. Toksin botulinum melekat pada
neuromuscular

junction

pada

saraf

dan

mencegah

dihasilkannya

asetilkolin

(neurotransmitter), yang menyebabkan terjadinya paralisis flaksid dan kematian. Toksin


botulinum tipe A (botox) juga dapat bermanfaat secara medis untuk mengobati strabismus
dan untuk estetika kecantikan.3,6,7
C. botulinum merupakan bakteri spore forming, Gram positif batang dan bersifat
anaerob. Bakteri tersebut bersifat soil borne, infeksi umumnya terjadi melalui
mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi (foodborne botulism), walaupun juga dapat
ditransmisikan secara langsung melalui infeksi luka (wound botulism) yang secara
langsung terkontaminasi dengan tanah.3,7
Gejala biasanya muncul paling cepat 2 jam atau paling lambat 3-8 hari yang
disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri. Sebagian besar makanan yang dapat
menyebabkan botulism adalah sayur-sayuran yang dikalengkan, daging seperti ham, ikan
yang difermentasikan, dan makanan lain yang diawetkan. Memasak makanan yang
terkontaminasi oleh C. botulinum dengan memanaskan makanan pada suhu >85 selama
lima menit atau merebus selama beberapa menit cukup untuk menghancurkan toksin dan
bakteri. Gejala awal botulism adalah fatigue, lemas dan vertigo, yang diikuti oleh mulut
kering dan susah menelan dan bicara, dan pandangan kabur. Gejala dapat berlanjut
14

menjadi kelemahan pada leher dan lengan dan kemudian kelemahan pada otot-otot
pernafasan dan selanjutnya terjadi paralisis otot-otot pernafasan.3,6,7
Pemberian antitoksin sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan sangat penting
untuk proses penyembuhan, walaupun pada kasus yang serius akan membutuhkan terapi
suportif seperti ventilasi mekanik selama beberapa minggu atau bahkan bulan. Pemberian
antibiotika juga perlu pada kondisi terjadi luka. Berdasarkan data Centers for Disease
Control and Prevention (CDC), 2011 dilaporkan 24 kasus foodborne botulism, 97 kasus
infant botulism dan 32 kasus wound atau botulism infeksi.3,7
5. Histoplasma capsulatum
H. capsulatum merupakan fungi dimorfik, dengan filamentous spore-forming mould
form yang terdapat pada lingkungan dan kultur pada suhu 25C. Manifestasi klinis
histoplasmosis diperoleh melalui proses inhalasi microconidia dari H. capsulatum var.
capsulatum. Microconidia difagositosis oleh makrofag di dalam parenkim paru. Host
dengan dengan sistem pertahanan tubuh yang baik, infeksinya terbatas dan biasanya
asimtomatis, dengan meninggalkan sequelae berupa area kalsifikasi dalam paru, hati, dan
limpa. Pada paparan yang kuat dapat terjadi penyakit paru akut. Bentuk ringan dari
penyakit tersebut, organisme viable akan tetap berada di dalam tubuh host dan diam
selama bertahun-tahun, dan akan menjadi sumber yang diduga mengalami reaktivasi pada
seseorang dengan penurunan sistem imun. Pada individu dengan immunocompromised,
H. capsulatum dapat menimbulkan penyakit yang berpotensi fatal dan bersifat progresif.
Histoplasmosis paru kronik dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronik.

Manifestasi penyakit lainnya adalah mediastinitis, pericarditis dan lesi

mukokutaneus.3,4
H. capsulatum var. capsulatum menyebabkan histoplasmosis juga disebut dengan
reticuloendothelial cytomycosis, cave disease, spelunkers disease, dan Darling disease.
Histoplasmosis dapat terjadi di seluruh belahan dunia. Daerah endemis tertinggi di
Amerika Serikat yang terjadi di Ohio, Missouri, dan Mississippi river delta. Organisme
tersebut akan berada di tanah yang memiliki kadar nitrogen tinggi, khususnya pada
daerah yang banyak terkontaminasi kotoran kelelawar dan burung. Pemeriksaan tes kulit
menunjukkan sekitar 80% populasi yang menempati area endemis dalam waktu yang
lama akan terinfeksi. H. capsulatum var. dubosii endemis di Afrika tengah menyebabkan
penyakit yang secara klinis mengenai kulit dan tulang, sedangkan H. capsulatum var.
farciminosum menyebabkan epizootic limphangitis pada kuda dan bagal.3,4
15

Pemeriksaan yang teliti pada sediaan hapusan langsung pada spesimen histoplasmosis
seringkali menunjukkan suatu sel yeast yang kecil-kecil dari H. capsulatum, terutama
pada infeksi yang terjadi pada pasien imunodefisiensi. Sel-sel yeast berukuran 2-3 m x
4-5 m. Apabila hapusan dilakukan dengan pengecatan Giemsa atau Wright stain, sel-sel
yeast akan tampak di dalam monosit dan makrofag dalam jumlah yang signifikan.3,4
Walaupun

microconidia

merupakan

bagian

dari

Chrysosporium

spp.

dan

macroconidia adalah bagian dari Sepedonium spp., tidak ada saprofit yang menghasilkan
dua tipe conidia pada satu kultur, dan tidak ada yang bersifat dimorfik. Konversi dari
bentuk mold ke bentuk yeast menggunakan brain-heart infusion (BHI) agar yang
diinkubasi pada suhu 37C, dapat dikonfirmasi sebagai H. capsulatum.

Walaupun

konversi jarang dilakukan sampai lengkap, kombinasi antara bentuk mycelia dan yeast
cukup untuk identifikasi. H. capsulatum tumbuh sebagai koloni mold yang berwarna
putih sampai keabuan.

Pertumbuhan awal pada kultur mycelia menghasilkan

microconidia berbentuk bulat sampai pyriformis yang berukuran 2-5 m. Bila koloni
sudah matur, akan terbentuk macroconidia echinulate atau tuberculate yang besar yang
spesifik bagi spesies tersebut.3
Diagnosis histoplasmosis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan roentgen
thoraks yang akan menunjukkan infiltrat kecil-kecil dan tersebar dan disertai dengan
hilar limfadenopati. Pada proses penyembuhan biasanya ditemukan kalsifikasi.
Pemeriksaan sputum tidak berguna dan pemeriksaan kultur memerlukan waktu yang
lama, berbahaya dan hanya berguna pada penyakit kronis. Pemeriksaan langsung melalui
deteksi antigen dan pemeriksaan serologis untuk diagnosis histoplasmosis dapat sebagai
pelengkap metode kultur. Dengan menggunakan metode enzyme immunoassay (EIA),
antigen H. capsulatum dapat terdeteksi melalui beberapa spesimen klinis yaitu darah,
LCS, dan urine. Selain itu dapat digunakan metode complement fixtion, imunodifussion,
dan latex agglutination untuk mendeteksi antibodi yang ada di dalam sirkulasi. Metode
serologis yang paling banyak digunakan saat ini dan hasilnya signifikan adalah kombinasi
complement fixtion dan imunodifussion test.3,4

16

Gambar 9. A. aspirasi bone marrow yang diwarnai dengan pewarnaan Giemsa menunjukkan
sel yeast H. capsulatum var. capsulatum di dalam monosit (1200x) ; B. H. capsulatum var.
capsulatum pada jaringan (Gomori methylene stain, 1200x) 3

Gambar 10. Macroconidia tuberculate besar pada H. capsulatum var. capsulatum


(Nomarski optics, 1250x)3

Gambar 11. Infeksi H. capsulatum4

17

Gambar 12. Proses penyembuhan histoplasmosis yang ditandai bintik-bintik kalsifikasi


kecil yang tersebar4
6. Blastomyces dermatitidis
B. dermatitidis adalah fungi dimorfik dengan filamentous spore-bearing mould yang
ada pada lingkungan dan pada kultur dengan suhu inkubasi 25C dan merupakan yeast
yang bersifat patogenik pada jaringan. Bentuk seksual (teleomorph) merupakan suatu
ascomycete yang disebut sebagai Ajellomyces dermatitidis. Bentuk tersebut dapat terjadi
hanya pada lingkungan yang terkontrol dengan ketat dengan mengawinkan isolate dengan
strain tertentu untuk menghasilkan gymnothecia yang mengandung ascospora.3,4
Blastomycosis paling sering terjadi pada laki-laki usia pertengahan, seperti mycosis
sistemik lainnya, hal tersebut dikarenakan laki-laki lebih banyak terpapar pada dengan
lingkungan tanah. Pasien yang mengalami infeksi primer memiliki gejala berupa flu-like,
sebagian besar asimtomatik dan tidak dapat menentukan onset penyakit dengan akurat.
Apabila penyakit primer tidak dapat dapat disembuhkan, akan terjadi penyakit paru, yang
ditandai dengan batuk, turunnya berat badan, nyeri dada, dan demam. Penyakit paru
dapat terjadi secara progresif dan invasif, yang akan menimbulkan terjadinya lesi ulseratif
pada kulit dan tulang.

Pada pasien imunodefisiensi, akan mengenai sistem organ

multipel, dan akan berakibat fatal.3


Blastomycosis juga dikenal sebagai Gilchrist disease, North American blastomycosis,
dan Chicago disease. Penyakit ini pertama kali terjadi di Amerika utara dan Afrika. Di
Amerika, pemyakit tersebut endemis di daerah lembah sungai Mississipi dan Ohio.
Reservoir alamiah penyakit ini belum diketahui dengan jelas, walaupun organisme
ditemukan di tanah dan beberapa lingkungan alami. B. dermatitidis hanya dapat hidup
18

pada daerah endemis, penyakit dapat terjadi secara alamiah pada anjing dan kuda, dengan
gejala penyakit menyerupai yang terjadi pada manusia.3
Pemeriksaan jaringan atau bahan purulen pada lesi kulit kutaneus dapat ditemukan selsel yeast berukuran besar, speris dan refraktil dengan ukuran diameter 8-15 m, dengan
dinding berkontur ganda dan pucuknya terhubung dengan dasar yang lebar. KOH (10%),
atau calcofluor white dapat digunakan untuk mendeteksi sel-sel yeast dengan lebih jelas.
Pada fase mold, conidia memiliki cabang lateral pendek yang berbentuk ovoid sampai
dumbbell dan memilki diameter yang bervariasi antara 2 sampai 10 m. 3
Kultur pada suhu 25C, organisme dapat membentuk koloni dengan morfologi yang
beragam. Koloni yang tumbuh dapat berwarna putih, coklat, dan dapat berupa benangbenang halus seperti glabrous. Seringkali area yang meninggi disebut sebagai spicule
yang terlihat pada bagian tengah koloni. Jika ditumbuhkan pada suhu 37C di media
yang tepat, B. dermatitidis akan menghasilkan sel-sel yeast yang khas yaitu memiliki
dasar yang luas (broad based) dan budding yeast.3

Gambar 13. Konversi fase mould dari Blastomyces dermatitidis ke dalam broadbased bud yeast3

Gambar 14. Fase mould Blastomyces dermatitidis yang ditumbuhkan pada media
potato flakes agar3

19

Gambar 15. Environmental filamentous dan bentuk yeast pathogenic B. dermatitidis4

7. Coccidioides immitis

C. immitis adalah fungi dimorfik dengan filamentous spore-bearing mould yang ada
pada lingkungan dan pada kultur dengan suhu inkubasi 25C dan merupakan yeast yang
bersifat patogenik pada jaringan.

Bentuk seksual tidak diketahui dan terjadi secara

endemis di daerah Amerika Selatan.3,4


Coccidioides spp. merupakan agen mycosis yang paling berbahaya pada semua
manusia.

Dua spesies yang dapat mengifeksi manusia adalah C. immitis dan C.

posadasii.

Inhalasi arthroconidia sedikit saja akan menimbulkan coccidioidomycosis

primer.

Infeksi klinis meliputi panyakit paru asimtomatis dan manifestasi alergi.

Manifestasi alergi dapat berupa erytema toksik, erytema nodosum (desert bumps),
erytema multiforme (valley fever), dan arthritis (desert rheumatism). Penyakit primer
biasanya sembuh tanpa terapi dan akan memberikan imunitas spesifik dan kuat pada
infeksi berulang, yang dapat di deteksi dengan menggunakan coccidioidin skin test.
Pada pasien yang simptomatis akan terjadi demam, distress pernafasan, batuk,
anorexia, sakit kepala, malaise, dan myalgia yang dapat bertahan selama 6 minggu atau
lebih. Kemudian penyakit akan berlanjut menjadi coccidioidomycosis sekunder yang
mengenai nodul, penyakit paru cavitas, dan atau penyakit paru progresif.3

20

Coccidioides spp ditemukan pada celah sempit dalam sebuah ekologi yang disebut
sebagai Lower Sonoran life zone, yang ditandai dengan rendahnya surah hujan dan
kondisi semiarid. Area endemis yang tinggi meliputi San Joaquin Valley of California,
the Maricopa and Pima counties of Arizona, dan southwestern Texas.3,4
Setelah melalui proses inhalasi, barrel-shaped arthroconidia yang berukuran 2.5-4 m
x 3-6 m, akan berkumpul dan berubah menjadi spherules. Sperules yang matur (30-60
m) menghasilkan endospora melalui proses yang disebut sebagai pembelahan progresif;
pecahnya dinding spherule akan mengeluarkan endospora ke dalam aliran darah dan
jaringan sekitar.

Endospora tersebut akan membentuk spherule yang baru.

Pada

pemeriksaan hapusan langsung dari sekret akan menunjukkan adanya spherule yang
mengandung endospora.3
Pemeriksaan mikroskopis pada kultur menunjukkan adanya hyphae fertile yang
muncul dari sudut kanan menuju ke hyphae vegetatif, membentuk hyaline arthroconidia.
Saat dikeluarkan, conidia memiliki sebuah umbai anuler pada kedua ujungnya. Apabila
kultur sudah matur, hyphae vegetatif juga akan terfragmentasi menjadi arthroconidia.
Walaupun Coccidioides spp. tidak dapat dikonversi menjadi spherule pada suhu 37C di
laboratorium, dia akan dapat membentuk morfologi mold pada suhu 22C. Koloni dapat
tumbuh pada hari ke 3-4, berwarna abu-abu, lembab dan glabrous. Koloni dapat
membentuk aerial mycelium dalam jumlah yang banyak, dan koloni akan tampak
membesar berbentuk bunga sirkuler. Koloni yang matur akan berwarna coklat hingga
lavender.3

Gambar 16. Sperule Coccidioides immitis pada jaringan3

21

Gambar 17. Fase mould Coccidioides immitis pada suhu 25C 3

Gambar 18. Environmental filamentous dan bentuk yeast pathogenic C. immitis4


8. Hantavirus
Genus Hantavirus meliputi Hantaan virus, Seoul virus, Puumala virus, dan Dobrava
virus, yang dapat dapat menyebabkan penyakit yaitu hemorrhagic fever with renal
syndrome (HFRS). Virus tersebut banyak ditemukan di Asia dan Eropa, terkecuali Seoul
virus yg ditemukan di seluruh dunia. Hantavirus terjadi secara endemis di Eropa dan Asia
yang disebut sebagai One World Hantaviruses. Puumula hantavirus adalah yang paling
banyak ditemukan di Eropa dan menyebabkan HFRS ringan, yang disebut sebagai
nephropathia epidemica. Virus yang menyebabkan HFRS akan menyerang ginjal. Pasien
akan mengalami demam prodromal dan memasuki fase demam dan syok, yang disertai
dengan oligouria. Mortality rate HFRS adalah 1% sampai 15%.3
Pada tahun 1993, dua orang dewasa yang berasal dari tempat yang sama di New
Mexico meninggal akibat penyakit pernafasan yang tidak biasa. Pemeriksaan serologis
mengindikasikan bahwa pasien tersebut telah terpapar oleh agent yang tidak diketahui
yang secara antigenetik berkaitan dengan salah satu jenis Asian Hantavirus, akan tetapi
22

memiliki gejala klinis yang berbeda. Serosurvey juga mendapatkan bahwa 30% rusa
yang diperiksa di New Mexico adalah seropositif sama dengan virus yang belum
teridentifikasi tersebut. Pada akhirnya virus yang ditandai dengan hantavirus baru dan
kemudian dinamai Sin Nombre (No Name) Virus (SNV). Penyakit yang diakibatkan
oleh virus tersebut kemudian disebut sebagai Hantavirus Pulmonary Syndrome (HPS).3
Hantavirus Pulmonary Syndrome merupakan penyakit mengancam nyawa, adalah
penyakit pernafasan yang disebabkan oleh virus melalui inhalasi tanah yang
terkontaminasi kotoran tikus, urine dan saliva yang mengandung Hantavirus. Umumnya,
penularan dari manusia ke manusia tidak terjadi. Pasien dengan HPS akan mengalami
demam prodromal selama 3-5 hari, yang disertai dengan demam, menggigil, dan myalgia.
Kemudian pasien akan masuk ke dalam fase syok hipotensi dan edema paru. Pasien
menjadi takikardi, hipoksia, dan hipotensi.
disseminated intravascular coagulation.

Pada kasus yang berat, dapat terjadi

Mortality rate HPS adalah sekitar 50%.

Pengobatan HPS adalah terapi suportif. Untuk mendeteksi adanya virus tersebut, CDC
merekomendasikan pemeriksaan EIA untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG anti-SNV.
Metode imunohistokimia sensitif untuk mendeteksi antigen hantavirus di pembuluh darah
kapiler endotel; konsentrasi antigen yang tinggi ditemukan pada pembuluh kapiler di
jaringan paru.1,3

BAB III
RINGKASAN
Mikrobiologi tanah mencakup hal-hal yang berkaitan dengan mikroorganisme yang
hidup di dalam tanah, yang memiliki banyak peran dalam suatu ekologi. Lapisan tanah (soil
horizon) terdiri dari lapisan topsoil, subsoil, parent material dan bedrock. Adapun
mikroorganisme yang hidup di dalam tanah yaitu bakteri, fungi, algae, protista dan virus.
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi densitas dan komposisi populasi mikroba di
dalam tanah meliputi kandungan air (kelembapan), oksigen, keasaman, temperatur, dan
ketersediaan nutrien. Mikroorganisme

yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia


23

disebut sebagai soilborne infection. Pathogen pada tanah yang biasanya menyebabkan
penyakit pada manusia (soilborne diseasae) adalah Bacillus anthracis, Clostridium tetani,
Clostridium perfringens, Clostridium botulinum, Histoplasma capsulatum, Blastomyces
dermatitidis, Coccidioides immitis dan Hantavirus. Pathogen tersebut dapat menyebabkan
penyakit tertentu seperti misalnya Bacillus anthracis dapat menyebabkan penyakit anthrax
yang terdiri dari 3 tipe penyakit yaitu Cutaneous Anthrax, Inhalation Anthrax,
Gastrointestinal Anthrax dan Injectional Anthrax. Kelompok clostridium lainnya yaitu
Clostridium tetani yang merupakan bakteri batang Gram positif yang menghasilkan spora
dapat dan menghasilkan toksin TeNT menyebabkan penyakit tetanus pada manusia dan
Clostridium botulinum dapat menghasilkan toksin BoNT menyebabkan penyakit Botulism
manusia. Histoplasma capsulatum, Blastomyces dermatitidis, Coccidioides immitis adalah
golongan fungi yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia terutama menimbulkan
kelainan di paru. Hantavirus dapat menyebabkan penyakit yang dikenal sebagai Hantavirus
Pulmonary Syndrome

Daftar Pustaka
1. Bauman RW. Microbiology with disease by body system. 4th Ed. 2015. Pearson
2.

Jacquellyn G. Black. Microbiology Principles & Explorations 7th Ed. 2008 John Wiley
& Sons,Inc

3.

Mahon CR, Lechman DC, Manuselis G. Text Book of Diagnostic Microbiology. 5 th


Edition. 2015. Elsevier

4.

Spicer WJ. Cllinical Microbiology and Infectious Diseases. 2008. Churchill


Livingstone Elsevier

5.

Wilson BA, Salyers AA, Whitt DD, Winkler ME. Bacterial Pathogenesis: a Molecular
Approach. 3rd Ed. 2011. ASM Press
24

6.

Versalovic J, Carrol KC, Funke G, Jorgensen JH, Landry ML, Warnock DW. Manual
of Clinical Microbiology. 10th Edition. 2011. ASM Press

7.

Jeffery S and Putten WH. Soil Borne Human Diseases. JRC Scientific & Technical
Reports. 2011. European Commision

25

Anda mungkin juga menyukai