Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak

proklamasi

kemerdekaan

Indonesia

pada

tahun

1945,

Pemerintah Belanda telah memisahkan daerah Papua dari Hindia untuk


mempersiapkan Papua dan penduduknya untuk Pemerintahan mereka
sendiri yang tidak berhubungan dengan Belanda. Pemerintah Belanda
menunjuk anggota masyarakat lokal yang terpilih di Papua sebagai 50%
dari Nieuw Guinea Raad (legislatif), bendera bintang Kejora berkibar
berdampingan

dengan

bendera

Belanda,

dan

pengenalan

lagu

kebangsaan Papua Hai Tanahku Papua. Akan tetapi, Perjanjian New


York pada tahun 1962 yang tidak melibatkan seorangpun dari Papua,
dibuat sebagai referensi untuk pengalihan Nederland Nieuw Guinea
(Papua) dari Belanda ke Indonesia.
Pada tahun 1964 orang asli Papua elite yang berpendidikan Belanda
meminta bahwa Papua harus bebas tidak hanya dari Belanda tetapi juga
dari Indonesia. Pemungutan suara pilihan bebas (free choice) yang
diterapkan oleh PBB dilaksanakan pada tahun 1969 dengan melibatkan
lebih dari 1000 kepala suku yang dipilih sebagai perwujudan dari
konsultasi lokal (dari perkiraan jumlah penduduk pada saat itu sebanyak
800.000 orang), dan bukannya dengan mengadakan pemungutan suara;
satu orang satu suara. Masalah keterwakilan politik di atas terkait dengan
pendekatan tanpa melibatkan partisipasi penduduk Papua dalam proses
pembuatan keputusan dalam keberadaan hidup mereka. Hal tersebut di
atas berakibat pada keluhan-keluhan bersejarah yang berakar dari
perbedaan

persepsi

mengenai

integrasi

Papua

ke

dalam

Negara

Indonesia. Selama sejarah integrasi Papua tidak dianalisis secara kritis


dan terbuka guna menemukan sejarah bersama, maka keluhan historis
tetap terpelihara dan konflikpun mulai muncul.1
Konflik yang terjadi di Papua dapat dibagi menjadi dua yaitu
bermula pada saat era Orde Baru (1969- 1998), sampai dengan tiga tahun
1 Yulia Sugandi: Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua, Jakarta, 2007, hlm. 4
1

era reformasi (1998-2001), mengalami suatu trauma kemananusiaan yang


luar biasa dahsyatnya. Baru kali ini terjadi alam sejarah kehidupan antar
suku dan interaksi budaya maupun selama masa administrasi pemerintah
Belanda dan pendudukan Jepang (1855-1961)

di mana rakyat begitu

dihantui oleh rasa takut karena hidupnya terancam, terutama didaerah


yang merupakan daerah Operasi militer. Seluruh penduduk disandera
dalam suatu sistem keamanan, dimana tidak ada lagi kebebasan bergerak
dari suatu tempat ketempat yang lain. Rakyat harus mengantongi sebuah
surat sakti yang disebut Surat Jalan sebagai tiket untuk masuk wilayah
lain, juga sekalipun harus pulang ke kampung sendiri. Propinsi Papua sejak
1969 hingga 1998, ibarat sebuah penjara tanpa tembok. Dalam masa itu
setiap ada percakapan, diskusi ataupun kegiatan fisik yang hanya
walaupun budaya dan adat selalu distigmatisasi dengan Papua Merdeka.2

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dapat dijelaskan mengenai konflik Papua tersebut dengan
pendekatan teori konflik Protracted Social Conflict (PSC) dari Edwar
Azzar ?
2. Bagaimana upaya memperoleh solusi untuk menyelesaikan konflik
Papua tersebut dengan menggunakan beberapa analisa konflik ?

2 Infokamuy peringatan zona damai diakses dari


https://infokamuky.wordpress.com/2009/10/17/peringatan-zona-damai-di-yapenserui/
2

BAB II
PEMBAHASAN

I. Konflik Separtisme di Papua dengan Pendekatan Protracted


Social Conflict (PSC)
Konflik

adalah

sebuah

kenyataan

hidup,

tidak

mungkin

terhindarkan dari kehidupan manusia. Konflik terjadi sebagai akibat


dari tidak sejalannya kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konflik
juga muncul sebagai akibat dari ketidakseimbangan yang terjadi dalam
masyarakat. Pendekatan Protracted Social Conflict (PSC) dari Edwar
Azzar merupakan suatu pendekatan dimana suatu konflik tersebut
terus

berkepanjangan

terjadi

dan

semakin

berlarut-larut

dalam

menemukan titik temu untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dengan


adanya konflik separtisme yang terjadi di Papua dapat menjadi contoh
untuk dipandang melalu pendekatan PSC yaitu sebagi berikut:
1. Communal Content/discontent, yaitu sikap puas atau
tidak puas kelompok identitas tertentu terhadap realitas sosial
dan politik yang ada.
Pada tahun 1964

orang

asli

Papua

elite

yang

berpendidikan Belanda meminta bahwa Papua harus bebas


tidak

hanya

dari

Belanda
3

tetapi

juga

dari

Indonesia.

Pemungutan

suara

pilihan

bebas

(free

choice)

yang

diterapkan oleh PBB dilaksanakan pada tahun 1969 dengan


melibatkan lebih dari 1000 kepala suku yang dipilih sebagai
perwujudan dari konsultasi lokal (dari perkiraan jumlah
penduduk pada saat itu sebanyak 800.000 orang), dan
bukannya dengan mengadakan pemungutan suara; satu
orang satu suara. Masalah keterwakilan politik di atas terkait
dengan pendekatan tanpa melibatkan partisipasi penduduk
Papua dalam proses pembuatan keputusan dalam keberadaan
hidup mereka.Hal tersebut di atas berakibat pada keluhankeluhan bersejarah yang berakar dari perbedaan persepsi
mengenai integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia. Selama
sejarah integrasi Papua tidak dianalisis secara kritis dan
terbuka guna menemukan sejarah bersama, maka keluhan
historis tetap terpelihara.
Walaupun Proses Pelaksanaan

Penentuan

Pendapat

Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 berlangsung sukses dan


berhasil mengembalikan Papua ke dalam pangkuan NKRI,
namun dalam pandangan rakyat Papua Pepera meninggalkan
berbagai

persoalan

krusial

yang

hingga

saat

ini

terus

disuarakan oleh tokoh-tokoh Papua baik secara terangterangan

maupun

secara

separatis

di

hutan-hutan

(Perjuangan Organisasi Papua Merdeka) karena tidak puas


dengan proses pelaksanaan Pepera.
Perspektif masyarakat Papua dalam melihat hasil Pepera
1969, pemerintah pusat menilai bahwa hasil Pepera 1969
menunjukkan bahwa Papua adalah wilayah Indonesia yang
sah. Hal ini diyakini oleh Indonesia dengan alasan bahwa
wilayah negara Indonesia adalah seluruh wilayah bekas
negara Hindia Belanda. Nugroho Notosusanto dalam Sejarah
Nasional Indonesia (hlm. 332) menyatakan bahwa Papua
adalah wilayah Indonesia.[8] Dengan kata lain, dapat dikatakan
bahwa Papua adalah bagian yang tak terpisahkan dari
Indonesia karena itu satu-satunya yang berdaulat di Papua
4

adalah

Indonesia.

Implikasinya

adalah

tidak

boleh

ada

pemerintahan atau kekuasaan lain politik lainnya Papua.


Dengan demikian jelaslah bahwa kalau ada upaya-upaya lain
atau kepentingan politik lain yang mempersoalkan keabsahan
Pepera 1969 maka mereka akan disebut sebagai separatis dan
harus ditumpas.3
2. Deprivation atau degradasi sosial, yakni pengingkaran
terhadap

kebutuhan-kebutuhan

sosial

kelompok-kelompok

identitas yang ada.


Dapat dilihat dari koflik di Papua yang terjadi dimana
Papua dimasukkan ke dalam daerah dengan angka indeks
kemiskinan yang tinggi dan daerah yang mempunyai tingkat
perbedaan yang tinggi dengan Jakarta. Tantangan-tantangan
yang berhubungan dengan kemiskinan di Indonesia tidak
hanya berkaitan dengan banyaknya jumlah penduduk miskin,
tetapi

juga

besarnya

perbedaan

antar

daerah-daerah,

propinsi-propinsi, kabupaten-kabupaten dan kota-kota. Jakarta


dan Papua menggambarkan perbedaan besar antar propinsipropinsi: di Jakarta, hanya 3,4 persen dari total penduduk
yang miskin, sementara sekitar separuh penduduk Papua
hidup

di

bawah

garis

kemiskinan.

Analisa

obyektif

mengatakan bahwa kemiskinan yang ada di daerah adalah


hasil

dari

pemiskinan

struktural

yang

disebabkan

oleh

kurangnya kesempatan bagi orang-orang untuk ikut serta


dalam pengambilan keputusan.
Hal ini kemudian menghalangi mereka untuk mengakses
dan memakai sumber-sumber daya yang ada (baik itu alam,
sosial ekonomi, politik, hukum atau budaya) yang adalah hak
mereka. Sejak era Orde Baru, kesempatan masyarakat asli
Papua untuk terlibat dalam sektor perekonomian sangat
kurang.

Masyarakat

asli

Papua

tidak

dapat

memenuhi

3 Raimondus : Pepera 1969


http://raimondusarwalembun.blogspot.com/2012/12/pepera-1969-act-of-freechoice-dan.html
5

penghidupan mereka sendiri karena kebanyakan kesempatan


untuk mengembangkan usaha diberikan kepada mereka yang
sudah memiliki modal sendiri.4
3. The quality of governance, berkaitan dengan kapabilitas
lembaga pemerintahan dalam mengelola negara yang sangat
penting dalam upaya untuk memberikan kepuasan terhadap
berbagai kelompok-kelompok identitas.
Identitas kolektif orang asli Papua sebagai sebuah
masyarakat yang modern dan beradab dipaksakan melalui
program

pemerintah.

Misalnya,

pada

tahun

1971-1973,

pemerintah Indonesia melaksanakan operasi Koteka (penutup


penis dari sejenis labu, sebagai pakaian tradisional di dataran
tinggi di Papua) yang terdiri atas elemen-elemen Angkatan
Bersenjata dan Pemerintah Sipil bergabung dalam kegiatankegiatan

yang

masyarakat

dirancang

pedalaman

untuk
Papua

membuat

masyarakat-

beradab

dan

untuk

mengembangkan serta menciptakan kondisi-kondisi sosial,


budaya, ekonomi dan politik, yang akan digunakan untuk
pengembangan Papua lebih lanjut, dengan tujuan utamanya
menciptakan ide-ide nasional Indonesia, masyarakat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasia dan Undang-undang Dasar
1945. Operasi Koteka adalah kampanye militer Indonesia yang
bertujuan

untuk

pegunungan

mempengaruhi

untuk

orang

meninggalkan

asli

Papua

aspek-aspek

di
dari

kebudayaan asli mereka, bersekolah, menjadi modern secara


ekonomi, dan mengadaptasi identitas Indonesia yang lebih
umum. Para pejabat berusaha untuk memaksa masyarakat
suku
Dengan demikian, strategi mempermalukan (humiliation
strategy) digunakan dalam proses pembangunan di kalangan
masyarakat Dani untuk membuat mereka lebih terlibat dalam
perubahan sosial. Ketidakberimbangan kekuasaan tercermin
dalam persepsi terhadap penduduk asli melalui pelecehan
4 Yulia Sugandi op. cit. hlm. 6.
6

terhadap budaya-budaya tradisional lokal dan melabel budaya


tersebut sebagai terbelakang dan tidak beradab. Atas
nama

pembangunan

modern

dan

kemajuan,

strategi

mempermalukan yang meyakinkan masyarakat atas ketidak


berhargaan diri dan budaya mereka tidak berharga sehingga
mereka merasakan inferiority complex dan dipaksa untuk
terlibat dalam perubahan sosial. Akumulasi keputusasaan
penduduk asli Papua dilanjutkan dengan pengabaian hak-hak
budaya sebagai cerminan martabat kolektif mereka.5
4. Internasional Linkage atau keterkaitan internasional,
yaitu keterkaitan konflik pada suatu wilayah tertentu dengan
berbagai aktor dan peristiwa internasional.
Indonesia telah mengamankan keanggotaannya

di

Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Dewan Keamanan PBB,


dan juga menyetujui Perjanjian Internasional mengenai Hakhak Sipil dan Politik (the International Covenant on Civil and
Political Rights) dan Konvenan Internasional mengenai Hakhak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the International Convenant
on Economic, Social and Cultural Rights) pada tahun 2006.
Pada kenyataannya,kasus Papua memperlihatkan terbatasnya
ruang yang diberikan untuk melaksanakan hak-hak tersebut.
Pendekatan keamanan dirasakan sangat kuat di tempattempat

publik

berekspresi.

yang

Para

mempengaruhi

wartawan

lokal

tingkat

kebebasan

menyatakan

bahwa

kebebasan bagi mereka berarti adanya kebebasan untuk


mengungkapkan fakta-fakta tanpa adanya tekanan dari para
pihak yang berkuasa. Kecurigaan-kecurigaan yang ada melalui
pemberian

nama

beberap

kegiatan

termasuk

forum

masyarakat tertentu sebagai pertemuan ilegal yang diarahkan


pada tindakan makar menempatkan mereka ke dalam daftar
gangguan keamanan. Parameter dan alasan dari daftar
tersebut harus dijelaskan kepada khalayak umum guna
5 Ibid. hlm. 6.
7

membangun masyarakat yang demokratis dan terbuka di atas


keeratan sosial. Ruang publik yang dikekang diberlakukan
untuk forum publik terbuka.
Pengekangan ruang publik lainnya adalah penyitaan
bahan-bahan publikasi yang dianggap mengancam ketertiban
umum

yang

dilaksanakan

berdasarkan

UU

no.

5/1969.

Beberapa publikasi mengenai Papua ditulis oleh masyarakat


asli

Papua

disita

menyebabkan

dari

keresahan

pasar

karena

masyarakat.

mereka

dianggap

Pembatasan

juga

dilaksanakan terhadap pihak-pihak dari luar yang akan


membuat liputan mengenai Papua: pelarangan akses bagi
para wartawan asing luar Indonesia sejak tahun 2003 (kecuali
beberapa wartawan internasional terkenal yang berbasis kerja
di Jakarta dan mengerjakan sesuatu yang tidak bertema
politik) dan melakukan proses penyeleksian untuk para
pengamat yang tidak memihak. Pembatasan ketat terhadap
akses ke Papua menghambat didapatnya informasi yang
dapat dipercaya mengenai keadaan dan situasi di sana.
Terlebih lagi, pembatasan tersebut menambah kecurigaan
terhadap pihak manapun di Papua (baik Pemerintah maupun
masyarakat madani) yang mengarah pada permasalahan hakhak dasar penduduk asli Papua.
II. Upaya

Penyelesaian

Konflik

Menggunakan

Beberapa

Analisa

Konflik
Inisiatif untuk menyelesaikan konflik Papua dengan jalan damai
telah ada sejak tahun 1998, ketika Indonesia berada pada Era
Reformasi, yaitu dengan dilakukannya dialog Papua dengan 100 ketua
(Tim 100) dengan Presiden Habibie, yang kemudian diberi nama Forum
Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya (Foreri). Kemudian pada tahun 1999,
Presiden Abdulrahman Wahid membentuk Kongres Rakyat Papua
sebagai wadah untuk menyampaikan seluruh aspirasi masyarakat
Papua kepada pemerintahan pusat. Pada Tahun 2001, Otsus dibentuk
8

dengan harapan dapat memuaskan masyarakat Papua. Pemerintah


berkomitmen untuk menjamin eksistensi orang asli Papua, memelihara
nilai-nilai kultural, dan pemerintah bertugas membentuk peraturan
perundang-undangan untuk memperlancar UU Otsus tersebut.
Namun, delapan tahun setelah Otsus diberlakukan, pemerintah
masih menghadapi banyak permasalahan, seperti kasus pelanggaran
HAM yang terjadi sebelum diberlakukannya Otsus, masih banyak
terjadinya penebangan hutan liar, rendahnya tingkat pendidikan,
eksplorasi

SDA,

dan

tingginya

tingkat

penyebaran

HIV/AIDS

menunjukkan bahwa tujuan Otsus masih jauh dari keberhasilan.


Meskipun perkembangan dalam menciptakan perdamaian dan
keadilan di wilayah Papua berjalan dengan sangat lambat, inisiatif dan
komitmen pemerintah untuk terus melakukan dialog damai dengan
masyarakat Papua masih terus di usahakan. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menyampaikan komitmen Pemerintahan Indonesia untuk
menyelesaikan konflik Papua dengan cara damai, seperti ketika konflk
GAM di Aceh berhasil diselesaikan.
Komitmen damai melalui jalur dialog tidak hanya datang dari
kelompok pemerintah, tetapi juga dari pihak Papua. Kekerasan dan
banyaknya korban yang berjatuhan selama masa DOM, memunculkan
tekad

masyarakat

Papua

serta

kelompok

separatisme

untuk

menghentikan tindakan kekerasan. Bahkan kelompok OPM-pun yang


masih bergerilya di hutan, mendukung ide dialog perdamaian dengan
pemerintah tersebut. Dialog damai juga di prakarsai oleh Gereja Katolik
se-Papua, yang terdiri dari empat uskup, masing-masing: Uskup
Keuskupan Agung Merauke, Uskup Keuskupan Agats, Uskup Keuskupan
Manokwari-Sorong, dan Uskup Keuskupan Jayapura, yang menemui
mantan Presiden Abdulrrahman Wahid, memohon untuk menyelesaikan
konflik dengan jalur dialog damai, pada tahun 2001. Menurut Neles
Tebay, meskipun komitmen untuk melakukan dialog damai sudah
muncul, namun dialog tersebut belum pernah benar-benar terjadi,

karena belum adanya rasa percaya dari pihak-pihak yang berkonflik. 6


Berikut metode analisi konflik menggunakan metode analisi penahapan
konflik dan pohon konflik :
1.1 Pohon Konflik

Puncak konflik terjadi pada saat


saling serang antara TNI dengan
OPM dimana bukan hanya anggota
OPM tetapi masyarakat Papua pun
malah menjadi korban dalam
konflik ini.
Terbentuknya kelompok-kelompok
militer yang represif
memperjuangkan pemisahan
wilayah Papua dari NKRI salah
satunya yaitu OPM (Organisasi
Papua Merdeka) yang terbentuk
Pemerintah Indonesia mengajukan diri
dan hasilnya Papua menjadi bagian dari
NKRI tetapi, masyarakat Papua kecewa
karena tidak diikutsertakan dalam
pengambilan suara.
Menyatakan keberadaan
Bangsa Papua pada tahun
1961 dan tindakan
tersebut diinisiasikan oleh
Belanda, yang menjadi
pemerintahan colonial
Indonesia sebelum

1.2 Penahapan Konflik


1. Prakonflik
Pada konflik yang terjadi di Papua ini dengan adanya
penyataan Papua untuk memerdekakan Papua menjadi sebuah
negara yang merdeka dan melepaskan diri dari NKRI membuat
Indonesia tidak terima dan berusaha untuk mencegah hal tersebut
dengan berbagai cara salah satunya dengan adanya Pepera yaitu
Penentuan Pendapat Rakyat untuk memungut suara.
6 Muhammad Arif R. : Konflik Papua dan Penyelesaian Konflik Melalui Dialog
Damai diakses dari http://teknikdiplomasi.blogspot.com
10

2. Konfrontasi
Pemerintah Indonesia mengajukan diri sebagai perwakilan
dalam konsesus musyawarah tersebut, dengan alasan bahwa
masyarakat
memberikan

Papua

masih

suaranya

dianggap

lantas

hasil

terlalu

primitif

pemungutan

dalam
tersebut

menunjukkan bahwa Papua menjadi bagian dari NKRI dan kemudian


di sah kan dalam Resolusi PBB no. 2504. Sehingga pada tahun 1973,
Papua resmi menjadi milik NKRI. Sampai akhirnya keadaanpun
semakin memansa dengan kekecewaan masyarakat Papua yang
tidak diikutsertakan sejak dalam proses pembentukan UNTEA
sampai dilakukan pengambilan suara.
3. Krisis
Kemudian munculah kelompok-kelompok militer yang represif
yaitu Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memperjuangkan
pemisahan wilayah Papua dari NKRI diselingi dengan diturunkannya
TNI untuk mengatasi adanya kelompok OPM tersebut dan masyarat
Papua pun ikut berjatuhan menjadi korban konflik.
4. Akibat
Penentanganpun muncul dari Internasional karena dianggap
Indonesia tidak bisa mencegah pelanggaran HAM keras dengan
adanya korban yang sangat banyak yaitu mencapai 30.000-80.000
masyarakat Papua meninggal.
5. Pacakonflik
Respon Pemerintah Indonesia untuk meredam konflik di Papua
adalah dengan memberlakukan sejumlah Daerah Operasi Militer
(DOM) di wilayah Papua dan tingkat kekerasan pun menurun seiring
berjalannya waktu walapun tidak sepenuhnya hilang. Setidaknya,
adanya komitmen damai melalui jalur dialog tidak hanya datang
dari kelompok dan banyaknya korban yang berjatuhan selama masa

11

DOM, memunculkan tekad masyarakat Papua serta kelompok


separatism untuk menghentikan tindakan kekerasaan.7

BAB IV
PENUTUP
7 Muhammad Arif R. Ibid.
12

Kesimpulan :
Dalam konflik yang terjadi di Papua ini didapatkan sebuah resolusi
konflik yaitu adanya inisiatif untuk menyelesaikan konflik Papua dengan
jalan damai telah ada sejak tahun 1998, ketika Indonesia berada pada Era
Reformasi, yaitu dengan dilakukannya dialog Papua dengan 100 ketua
(Tim 100) dengan Presiden Habibie, yang kemudian diberi nama Forum
Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya (Foreri). Kemudian pada tahun 1999,
Presiden Abdulrahman Wahid membentuk Kongres Rakyat Papua sebagai
wadah untuk menyampaikan seluruh aspirasi masyarakat Papua kepada
pemerintahan pusat. Pemerintah berkomitmen untuk menjamin eksistensi
orang asli Papua, memelihara nilai-nilai kultural, dan pemerintah bertugas
membentuk peraturan perundang-undangan untuk memperlancar UU
Otsus tersebut.
Dengan demikian Masalah Papua bukan masalah rentang suatu
konflik saja yang menjadi masalah negeri ini seperti yang diembuskan
pemerintah pusat sebagai dasar mempercepat pemekaran Provinsi Papua.
Tetapi kendala pembangunan Papua itu yakni soal pelayanan pemerintah
terhadap masyarakat Papua dan masalah isolasi yang bisa diperangi
dengan membuka jalur-jalur informasi dengan teknologi telekomunikasi
untuk mendekatkan provinsi dengan kampung. Di samping itu, bagaimana
menciptakan pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi bersih dari
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), pemerintahan yang kuat serta
pemerintahan jujur.

13

DAFTAR PUSTAKA

Yulia Sugandi: Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua, Jakarta, 2007.


Infokamuy peringatan zona damai diakses dari
https://infokamuky.wordpress.com/2009/10/17/peringatan-zona-damai-diyapen-serui/
Muhammad Arif R. : Konflik Papua dan Penyelesaian Konflik Melalui Dialog
Damai diakses dari http://teknikdiplomasi.blogspot.com
Raimondus : Pepera 1969
http://raimondusarwalembun.blogspot.com/2012/12/pepera-1969-act-offree-choice-dan.html

14

Anda mungkin juga menyukai