Anda di halaman 1dari 20

Analisis Profitabilitas Usaha Tani Padi pada Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi

di Jawa dan Luar Jawa Perdesaan Patanas

ANALISIS PROFITABILITAS USAHA TANI PADI PADA


AGROEKOSISTEM LAHAN SAWAH IRIGASI
DI JAWA DAN LUAR JAWA PERDESAAN PATANAS
Profitability Analysis on Irrigated Rice Farming in Java and the
Outer Islands within the Patanas Rurality
Tjetjep Nurasa dan Adreng Purwoto
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRACT
Profitability analysis on irrigated rice farming revealed that rice farming activity in
both wet and dry season in Java and outer islands provided considerable benefit. During the
wet season of 2009/2010, Javanese farmers reaped average profit as much as Rp. 9.2
million/hectare with R/C around 2.84. During the first dry season the same year, the profit
that farmers gained was Rp. 8.9 million/hectare wih R/C around 2.81. In comparison,
farmers of the outer islands during the same period obtained benefit as much as Rp. 9.65
million/hectare, while its R/C was recorded at 3.06. during the first dry season, the outer
farmers reached farming profit around Rp. 10.6 million/hectare and R/C 3.54. Yet, when
farmers profit was merely calculated from rice farming, then the average monthly income in
Java was Ro. 758,000 and in the outer islands was Rp. 891,000.
Key words: profitability , rice, Java, outside Java

ABSTRAK
Tujuan analisis profitabilitas usaha tani padi ini adalah untuk melihat karakteristik
petani padi serta menganalisis tingkat profitabilitas usaha tani padi lahan irigasi di Provinsi
Jawa dan luar Jawa. Usaha tani padi baik di provinsi Jawa dan luar Jawa pada MH dan MK
1 secara nominal adalah menguntungkan. Pada MH 2009/2010, keuntungan nominal usaha
tani padi provinsi di Jawa sebesar Rp 9,2 juta per hektar dengan R/C berkisar 2,84 dan
pada musim MK I sebesar Rp 8,9 juta dengan R/C 2,81 sedangkan tingkat keuntungan
nominal yang diperoleh petani provinsi luar Jawa pada MH sebesar 9,65 juta per hektar
dengan R/C sebesar 3,06 dan pada MK I sebesar Rp 10,6 juta dengan R/C 3,54. Namun
demikian jika pendapatan petani hanya diperoleh dari hasil usaha tani sawah saja, maka
dapat diketahui bahwa rata-rata pendapatan per bulan petani di provinsi di Jawa yaitu
sebesar Rp 758.000/bulan dan luar Jawa sebesar Rp 891.000/bulan.
Kata kunci : profitabilitas, padi, Jawa, luar Jawa

405

Tjetjep Nurasa dan Adreng Purwoto

PENDAHULUAN

Pertanian merupakan sektor penting dalam perekonomian Indonesia.


Ditinjau dari kontribusi sektor pertanian dalam penyediaan kebutuhan pangan bagi
masyarakat Indonesia, maka pertanian berperan penting dalam kelangsungan
ketahanan pangan nasional. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi suatu
negara, terutama negara berkembang. Kekurangan pangan yang terjadi secara
meluas di suatu negara akan menyebabkan kerawanan ekonomi, sosial, dan politik
yang dapat menggoyahkan stabilitas negara tersebut. Pengalaman menunjukkan
bahwa kelangkaan pangan, sangat berpengaruh terhadap krisis ekonomi, sosial
dan politik dan berujung pada penggantian pemerintah saat itu (Suryana, 2002).
Oleh karena itu, sejak awal kemerdekaan, Indonesia selalu berupaya keras untuk
meningkatkan produksi pangan, terutama beras. Sampai saat ini, baik secara
psikologis maupun politis, kebijakan pangan di Indonesia masih merupakan faktor
yang sangat penting yang akan berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan
(Amang et al., 2000). Kecukupan pangan terutama beras dengan harga terjangkau
telah menjadi tujuan utama kebijakan pembangunan pertanian, guna menghindari
kelaparan serta gejolak ekonomi dan politik (Sudaryanto et al., 1999).
Sektor pertanian juga menghadapi tantangan yang semakin besar.
Kebutuhan pangan yang semakin meningkat dengan kendala konversi lahan subur
yang terus berjalan, perubahan iklim global yang sedang terjadi, teknologi
pertanian yang mengalami stagnasi sampai dengan kendala kebijakan pemerintah
pada saat ini yang kurang berpihak pada sektor pertanian. Kontribusi mendasar
dari sektor pertanian adalah peran pertanian dalam pemenuhan pangan. Konsumsi
pangan yang memerlukan pemenuhan dalam jumlah besar dan merupakan
kebutuhan pokok bagi masyarakat adalah kebutuhan beras. Hampir semua
penduduk Indonesia pada saat ini menjadikan beras sebagai sumber karbohidrat
sehari-hari, walaupun ada sebagian penduduk Indonesia yang memanfaatkan
umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat, sebagaimana digambarkan dapat
diketahui bahwa kebutuhan bahan makanan berasal dari padi-padian (beras)
menempati urutan teratas dari kebutuhan pangan sehari-hari. Hal ini yang
mengakibatkan kebutuhan beras terus meningkat mengikuti peningkatan jumlah
penduduk. Dengan jumlah penduduk sebesar 230 juta jiwa dan tingkat
pertumbuhan sebesar 1,4 persen per tahun berarti kebutuhan penyediaan pangan
nasional terus meningkat mengikuti pertumbuhan penduduk. Dari data Badan
Pusat Statistik diketahui bahwa rata-rata konsumsi beras per tahun untuk
penduduk Indonesia adalah 125,8 kg per kapita. Sedangkan FAO menyebutkan
bahwa kebutuhan beras rata-rata yang digunakan untuk kelangsungan
peningkatan kualitas hidup sebesar 133 kg per kapita per tahun. Ini berarti
kebutuhan beras untuk memenuhi konsumsi bagi penduduk di Indonesia sebesar
30,59 juta ton per tahun.
Selama kurun waktu sepuluh tahun (yaitu tahun 2000-2009) laju kenaikan
produktivitas rata-rata 1,2 persen (Badan Pusat Statistik, 2009) berada dibawah
laju pertumbuhan penduduk rata-rata 1,4 persen per tahun. Konsekuensi yang
ditimbulkan adalah jika Indonesia tidak ingin menjadi negara yang bergantung

406

Analisis Profitabilitas Usaha Tani Padi pada Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi
di Jawa dan Luar Jawa Perdesaan Patanas

pada impor beras, maka produksi padi Indonesia harus terus ditingkatkan untuk
mengimbangi pertumbuhan penduduk yang ada. Hasil analisis sistem dinamis
yang dilakukan oleh Nurmalina (2008) akan terjadi defisit ketersediaan beras
nasional sebanyak 7,15 juta ton per tahun. Dari The World Food Summit FAO di
Roma pada tahun 1997 juga memprediksikan bahwa produksi pangan di negara
berkembang harus meningkat 3 kali lipat pada tahun 2050 untuk memenuhi
tuntutan pangan dalam mencapai standar hidup yang lebih tinggi bagi populasi
manusia yang diperkirakan meningkat 2 kali lipat.
Sektor pertanian terus dikembangkan agar tetap menjadi andalan dalam
1) memantapkan ketahanan pangan, 2) meningkatkan pendapatan petani dan
penduduk pedesaan, 3) mengentaskan kemiskinan, 4) memasok tenaga kerja
yang berkualitas bagi sektor nonpertanian, 5) memacu pertumbuhan ekonomi, dan
6) menyehatkan ekonomi (Simatupang et al., 2002).
Padahal tantangan yang dihadapi dalam peningkatan produksi pangan
(padi) juga cukup banyak antara lain : 1) adanya konversi lahan subur di Jawa dari
pertanian ke nonpertanian, sehingga sektor pertanian harus diperluas ke lahan
marginal yang produktivitasnya relatif rendah, 2) adanya bencana alam berupa
kemarau panjang dan kebanjiran, 3) adanya persaingan yang makin ketat dalam
pemanfaatan sumber daya air antara sektor pertanian dengan sektor industri dan
rumah tangga, disertai dengan menurunnya kualitas air akibat limbah, 4) kualitas
tenaga kerja (yang dicerminkan oleh tingkat pendidikan) di sektor pertanian secara
umum lebih rendah daripada yang bekerja di sektor industri dan jasa, serta 5)
kenaikan harga sarana produksi pertanian akibat krisis ekonomi dan penghapusan
subsidi pupuk ( Kasryno, 1995; Suryana dan Purwoto, 1997; Tabor et al., 1999).
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, makalah ini bertujuan melihat
karakteristik petani serta melihat kelayakan usaha tani padi lahan irigasi di provinsi
Jawa dan luar Jawa.
METODOLOGI
Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian Patanas (Panel Petani
Nasional) periode tahun 2010 dengan membandingkan penelitian yang terjadi
pada tahun 2007. Penentuan lokasi penelitian menggunakan LQ (Location
Quotient) dari data BPS dengan basis lahan dan basis komoditas yang terjadi
pada setiap desa. Setelah desa yang terpilih dengan nilai LQ tertinggi, maka
ditentukan wilayah blok sensus dan jumlah sensus untuk memilih sampel petani
yang diperlukan. Untuk Tahun 2007 dipilih seluruh rumah tangga yang ada dalam
blok sensus sekitar 100 hingga 200 rumah tangga sehingga jumlahnya menjadi
1.986 rumah tangga. Sedangkan untuk tahun 2010 dipilih dari hasil sampel rumah
tangga yang ada didalam sensus tahun 2007 sejumlah 25 rumah tangga dengan
metode pengambilan contoh stratified random sampling, sehingga total rumah
tangga contoh yang diteliti pada tahun 2010 ada 325 rumah tangga petani
penggarap. Sebaran contoh dan lokasi penelitian seperti dalam Lampiran 1. Data
yang dikumpulkan akan dianalisis secara diskriptif dengan menampilkan dalam
bentuk tabel yang dapat mejelaskan dari indikator-indikator yang dimaksudkan.

407

Tjetjep Nurasa dan Adreng Purwoto

Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu pengumpulan data


yang dilakukan wawancara langsung dengan responden dalam bentuk kuesioner
terstruktur. Sementara data sekunder diperoleh dari hasil kompilasi di
perpustakaan atau informasi terkait. Analisis data, menggunakan analisis statistik
deskriptif dengan tabulasi silang dan time series.
Profitabilitas usaha tani dalam kajian ini didefinisikan sebagai selisih antara
penerimaan usaha tani dan biaya tunai usaha tani atau biaya yang betul-betul
dikeluarkan oleh petani.
Biaya usaha tani yang diperhitungkan meliputi: biaya pupuk, biaya tenaga
kerja, biaya benih, biaya pestisida, biaya pengairan, pajak lahan, biaya
penanganan pascapanen/pengolahan, biaya pengangkutan, dan biaya lain yang
terkait.
Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis anggaran parsial.
Indikator analisis yang dipakai adalah R/C Ratio (Return Cost Ratio). Soekartawi
(1995) menyebutkan bahwa R/C Ratio adalah perbandingan (nisbah) antara
penerimaan dan biaya. Secara matematik, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut :
R
a =
C
R = Py.Y
C = FC + VC
a = (Py.Y) / (FC +VC)
Keterangan :
R
C
Py
Y
FC
VC

=
=
=
=
=
=

Penerimaan
Biaya
Harga output
Output
Biaya tetap (fixed cost)
Biaya tidak tetap (variabel cost)

Jika : a > 1 maka dikatakan layak,


a < 1 maka dikatakan tidak layak dan
a = 1 maka dikatakan impas (tidak untung maupun merugi)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Rumah Tangga Perdesaan
Penguasaan Sumber Daya Lahan
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa lokasi penelitian Patanas
2010 adalah desa-desa berbasis lahan sawah irigasi. Oleh sebab itu, sebagian
besar lahan pertanian yang dimiliki petani contoh adalah lahan sawah beririgasi.

408

Analisis Profitabilitas Usaha Tani Padi pada Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi
di Jawa dan Luar Jawa Perdesaan Patanas

Tabel 1 menunjukkan bahwa petani yang memiliki lahan sawah di


perdesaan lebih didominasi oleh petani dengan luas pemilikan lahan 0,25-0,50 ha.
Di desa-desa Jawa, terdapat sebesar 19,7 persen petani yang memiliki lahan
sawah pada kisaran 0,25-0,50 ha, sedangkan di desa-desa Luar Jawa terdapat
sebesar 17,5 persen petani. Posisi kedua ditempati oleh pemilikan lahan sawah
seluas 0,10-0,25 ha yang mencakup 17,5 persen petani di desa-desa Jawa dan 15
persen petani di desa-desa luar Jawa. Berdasarkan hal tersebut maka secara total
dapat dikatakan bahwa sebagian besar petani di desa-desa Jawa dan desa-desa
luar Jawa memiliki lahan sawah kurang dari 0,50 ha, dan meliputi sekitar 75 persen
petani.
Tabel 1. Proporsi Kepemilikan Lahan menurut Skala Luas Pemilikan di Desa-Desa Contoh
Patanas, Tahun 2007 dan 2010 (%)

Skala Luas

Jawa

2007
Luar
Jawa

Total

Jawa

2010
Luar
Jawa

Total

a. tidak memiliki

30,4

38,6

33,1

31,1

39,1

34,2

b. dibawah 0,10 ha

6,4

3,7

5,5

3,18

3,83

3,37

c. 0,10- 0,249 ha

17,5

15

16,7

6,65

7,87

6,28

d. 0,25-0,499 ha

19,7

17,5

19

5,77

6,46

5,97

e. 0,50-0,749 ha

10,7

10

10,5

3,02

3,03

3,03

f. 0,75-0,99 ha

3,2

6,3

4,2

0,47

1,11

0,65

g. 1,00-1,249 ha

3,8

4,9

4,2

0,91

1,41

1,05

h. 1,25-1,499 ha

1,9

1,2

1,6

0,27

0,10

0,22

i. 1,50-1,75 ha

1,5

1,2

1,4

0,20

0,10

0,17

j. diatas 1,75 ha

4,9

1,5

3,8

0,20

0,00

0,14

Sumber : 2007 (Irawan et al., 2007)


2010, Data Primer Patanas 2010.

Pada periode tahun 2007-2010, terjadi peningkatan jumlah petani yang


tidak memiliki lahan (tunakisma) yaitu dari 33,1 persen pada tahun 2007 menjadi
34,2 persen pada 2010. Artinya, selama periode 2007 2010 terjadi penambahan
1,1 persen petani berstatus baru, yang semula merupakan petani pemilik lahan
menjadi petani tunakisma. Sementara berdasarkan luas penguasaan lahan baik di
desa-desa Jawa maupun di desa-desa luar Jawa pada tahun 2010 dibandingkan
dengan tahun 2007, menunjukkan bahwa penguasaan lahan pada skala <0,1 ha
mengalami penurunan dari 5,5 menjadi 3,37 persen, skala penguasaan antara
0,11 - 0,249 ha menurun dari 16,27 menjadi 6,28 persen, skala penguasaan 0,25 0,49 ha menurun dari 19 menjadi 5,97 persen, sedangkan skala 0,50 - 0,749 ha
menurun dari 10,5 menjadi 3,03 persen. Dengan demikian, terdapat indikasi
bahwa jumlah petani yang berlahan <0,1 ha sampai dengan 0,75 ha ada
kecenderungan semakin menurun.

409

Tjetjep Nurasa dan Adreng Purwoto

Secara agregat, jumlah petani berlahan luas antara 0,75 ha - >1,75 ha


semakin berkurang, dengan rincian petani dengan skala 0,75 - 0,99 ha menurun
dari 4,2 menjadi 0,66 persen. Petani dengan luas lahan antara 1,25 - 1,49 ha
menurun dari 1,6 menjadi 0,22 persen, sedangkan petani dengan luas lahan
>1,75 ha jumlahnya turun dari 3,8 menjadi 0,14 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa petani berlahan luas semakin terbatas jumlahnya, terutama petani-petani di
wilayah Kabupaten Subang, Jawa Barat. Berubahnya status penguasaan lahan
dari pemilik lahan menjadi nonpemilik lahan maupun dengan kasus semakin
menciutnya skala kepemilikan lahan tersebut, dapat saja terjadi karena berbagai
hal seperti adanya proses penjualan lahan, proses penghibahan/pewarisan, atau
masalah lainnya. Hal yang demikian menunjukkan bahwa kepemilikan lahan di
perdesaan saat penelitian ini dilakukan mengindikasikan bahwa kepemilikan lahan
di perdesaan semakin terfragmentasi. Meningkatnya petani nonlahan, semakin
menurunnya petani berlahan sempit dan berlahan luas, tampaknya
mengindikasikan arah penguasaan lahan yang semakin menipis.
Pola Tanam
Tabel 2 menyajikan partisipasi rumah tangga dalam penerapan pola tanam
di Jawa dan luar jawa Patanas pada tahun 2007 dan 2010. Di Jawa selama kurun
waktu kurun 2007-2010 partisipasi rumah tangga dalam penerapan pola tanam
padi-padi-padi ada kenaikan sebesar 15,3 persen sedangkan pada pola tanam
padi-padi-palawija/sayuran mengalami penurunan sebesar 7,3 persen dan
penurunan sebesar 2,3 persen pada pola tanam padi-padi-bera. Dari uraian ini
dapat disimpulkan bahwa perubahan pola tanam di Jawa karena ketersediaan air
irigasi yang semakin terjamin. Sedangkan di luar Jawa ada penurunan yang
sangat tajam pada pola tanam padi-padi palawija/sayuran sebesar 51 persen dan
penurunan pada pola tanam padi-padi-padi 13 persen, sedangkan partisipasi
rumah tangga penerapan pola tanam padi-padi-bera naik secara signifikan
sebesar 64 persen. Hal ini terjadi yang disebabkan adanya kenaikan harga
komoditas pengganti atau penurunan harga komoditas yang digantikan,
ketersediaan air irigasi yang semakin terbatas (semakin tidak terjamin).
Tabel 2. Partisipasi Rumah Tangga dalam Penerapan Pola Tanam di Jawa dan Luar Jawa
Lokasi Patanas Tahun 2007 dan 2010 (%)

No.

Provinsi

1
2
3

Jabar
Jateng
Jatim
Jawa
Sumut
Sulsel
Luar Jawa
Total

4
5

410

Padi-padi-padi
2007

2010

4
2,0
20,0
4
42,0
4,0
23
14,4

0
25
33
19.3
0
20
10
17,1

Pola Tanam
Padi-padiPadi-padi-bera
palawija/sayuran
2007
2010
2007
2010
18
8
32
19.3
36
96
66
38,0

4
26
6
12.0
26
4
15
13,7

76
90
48
71.3
22
0
11
47,2

96
49
62
69.0
74
76
75
69,1

Padi-palawija/
sayuran-padi
2007
2010
2,0
0
0
0
0
0
0
0,4

0
0
0
0
0
0
0
0

Analisis Profitabilitas Usaha Tani Padi pada Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi
di Jawa dan Luar Jawa Perdesaan Patanas

Persentase rumah tangga pada tahun 2010 secara agregat (dari kelima
provinsi lokasi penelitian Patanas) yang memberakan lahannya pada MK II
mencapai 69 persen. Alasan yang diberikan rumah tangga di Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Sulawesi Selatan disebabkan karena air tidak cukup. Sedangkan
alasan rumah tangga di Jawa Timur beralasan penyebab memberakan lahannya
pada MK II yaitu karena risiko gagal panen tinggi. Sementara itu, partisipasi rumah
tangga di Sumatera Utara alasan utama rumah tangga memberakan lahannya
pada MK II disamping karena air tidak cukup, juga karena alasan lainnya.

Penerapan Teknologi/Budidaya Padi


Teknologi usaha pertanian dalam penerapannya merupakan ramuan
biologis, kimiawi dan mekanisme, dan dalam pelaksanaannya untuk memperlancar
tujuan tersebut dilakukan melalui rekayasa sosial, seperti program intensifikasi dan
pemberdayaan petani. Sementara teknologi biologis meliputi penggunaan benih
atau bibit varietas unggul, kultur jaringan, dan sebagainya. Teknologi kimiawi
adalah pemakaian pupuk, pestisida, zat perangsang tumbuh, dan sebagainya.
Sedangkan teknologi mekanisasi meliputi penggunaan traktor, peralatan panen,
dan pascapanen.
Penerapan teknologi budidaya di lahan sawah irigasi diuraikan sebagai
berikut :
1. Penerapan penggunaan varietas padi secara agregat (dari kelima provinsi
lokasi penelitian Patanas) varietas yang banyak ditanam adalah Ciherang
(49,1-52,5), yang kedua adalah varietas lain-lain (15,4-24,3%), dan yang
ketiga adalah IR-64 (13,4-17,1%).
2. Penggunaan benih bermutu merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam
meningkatkan produktivitas padi sawah. Penggunaan benih bermutu oleh
petani dapat dicerminkan dari penggunaan benih berlabel. Pada tahun 2010
secara agregat (dari kelima provinsi lokasi penelitian Patanas) partisipasi
petani dalam penggunaan benih padi berlabel masih relatif rendah, baru
mencapai 49,0 persen, Jadi, peluang meningkatkan produktivitas padi nasional
lewat penggunaan benih padi bermutu (dalam hal ini benih berlabel) terbuka
lebar.
Pada tahun 2010 partisipasi petani dalam penggunaan benih padi berlabel di
Jawa relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di luar Jawa. Di Jawa tingkat
partisipasi petani dalam penggunaan benih padi berlabel mencapai 62,23
persen, sedangkan di luar Jawa baru mencapai 30 persen.
3. Pengolahan Tanah dan Cara Tanam
Tingkat partisipasi petani dalam penggunaan traktor untuk pengolahan tanah
di Jawa mencapai 91 persen, sedangkan di luar Jawa mencapai 98 persen.
Selama kurun waktu 2007-2010 tidak ada pergeseran yang berarti diantara
ketiga jenis tenaga untuk pengolahan tanah (traktor tangan, tenaga kerja
manusia, dan tenaga kerja ternak) di desa-desa lokasi penelitian Patanas.
Dalam hubungan ini traktor tetap merupakan jenis tenaga yang dominan untuk
pengolahan tanah di lahan sawah.

411

Tjetjep Nurasa dan Adreng Purwoto

Cara tanam padi sawah yang dilakukan pada tahun 2007 dibandingkan tahun
2010 relatif tidak mengalami perubahan, yaitu tetap dominan dengan sistem
tanam pindah, kecuali di Jawa Timur terdapat sistem tanam gogo rancah (di
Lamongan) dan Sulawesi Selatan dengan cara Tabela.
4. Pemeliharaan Tanaman
a. Penyiangan : Perbedaan cara dominan yang digunakan dalam penyiangan
di Jawa dengan di luar Jawa nampaknya berkaitan dengan tingkat
ketersediaan tenaga kerja manusia di subsektor tanaman pangan. Di luar
Jawa karena tingkat ketersediaan tenaga kerja manusia di subsektor
tanaman pangan relatif rendah, maka cara dominan yang digunakan
dalam penyiangan adalah menggunakan herbisida. Sementara itu di Jawa
karena tingkat ketersediaan tenaga kerja manusia di subsektor tanaman
pangan relatif tinggi, maka cara dominan yang digunakan dalam
penyiangan adalah menggunakan tangan.
b. Frekuensi penyiangan di Jawa dominan dilaksanakan 2 3 kali per musim,
sedangkan di luar Jawa dominan dilaksanakan 1 - 2 kali per musim.
Perbedaan ini diduga karena di luar Jawa lebih dominan menggunakan
herbisida untuk penyiangan lahannya, karena pertumbuhan gulma dapat
lebih dikendalikan.
c.

Berkaitan dengan frekuensi penyemprotan hama/penyakit selama kurun


waktu 2007-2010 ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
selama kurun waktu tersebut frekuensi penyemprotan hama/penyakit 4
kali merupakan frekuensi penyemprotan yang dominan dengan tingkat
partisipasi secara agregat berkisar antara 45,4-51,85 persen. selama
kurun waktu 2007-2010 intensitas serangan hama/penyakit tergolong
sedang-berat. Dalam pengendalian hama/penyakit secara sendiri-sendiri
dalam kurun waktu 2007-2010 secara agregat berkisar antara 88,7-93,4
persen. Fenomena ini mengindikasikan bahwa paling tidak selama kurun
waktu tersebut banyak kelompok tani yang tidak aktif melakukan
pengendalian hama/penyakit secara bersama-sama. Secara umum
intensitas serangan hama/penyakit berada pada tingkatan ringan sampai
sedang. Dan ini berarti bahwa hama/penyakit didalam pelaksanaan usaha
tani sawah tetap harus mendapat perhatian.

5. Pemupukan dan Pupuk


a. Pemupukan di Persemaian dan di Pertanaman
b. Tingkat partisipasi petani dalam tanam pindah di masing-masing provinsi
tersebut pada tahun 2010 sebagai berikut: Jawa Barat (100 %), Jawa
Tengah (84 %), Jawa Timur (66,7 %), Sumatera Utara (100 %), dan
Sulawesi Selatan (53,5 %). Perlu dikemukakan bahwa di Sulawesi
Selatan sistem tanam yang dominan adalah sistem tanam benih langsung
yang disingkat Tabela dimana sistem tanam ini tidak memerlukan
persemaian.

412

Analisis Profitabilitas Usaha Tani Padi pada Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi
di Jawa dan Luar Jawa Perdesaan Patanas

c.

Ada pergeseran frekuensi pemupukan di pertanaman di semua provinsi


selama kurun waktu 2007-2010. Dalam kurun waktu tersebut terjadi
penurunan tingkat partisipasi petani dalam frekuensi pemupukan sebanyak
2 kali dari 92 persen pada tahun 2007 menjadi 57,85 persen pada tahun
2010. Dalam waktu bersamaan terjadi kenaikan tingkat partisipasi petani
dalam frekuensi pemupukan sebanyak 1 kali dari 0 persen pada tahun
2007 menjadi 32,2 persen pada tahun 2010

d. Walaupun tingkat partisipasi petani dalam penggunaan pupuk organik


pada tahun 2010 masih sangat rendah (6,3%), namun selama kurun waktu
2007-2010 tingkat partisipasinya mengalami kenaikan dari 4,6 persen
pada tahun 2007 menjadi 6,3 pada tahun 2010
e. Fenomena yang menarik untuk dikemukakan adalah bahwa selama kurun
waktu 2007-2010 di satu sisi terjadi penurunan tingkat partisipasi
penggunaan pupuk organik di semua provinsi di Jawa, sedangkan di sisi
lain terjadi kenaikan tingkat penggunaan pupuk organik di semua provinsi
di luar Jawa. Perubahan tingkat partisipasi penggunaan pupuk organik di
masing-masing provinsi selama kurun waktu 2007-2010 sebagai berikut:
Jawa Barat (turun dari 3% pada 2007 menjadi 1,3% pada 2010), Jawa
Tengah (turun dari 13% pada 2007 menjadi 7% pada 2010), Jawa Timur
(turun dari 17% pada 2007 menjadi 9,4% pada 2010), Sumatera Utara
(naik dari 0% pada 2007 menjadi 8% pada 2010), dan Sulawesi Selatan
(naik dari 0% pada 2007 menjadi 6% pada 2010).
f.

Dalam pemupukan tanaman padi, jenis-jenis pupuk anorganik yang


digunakan petani di provinsi-provinsi penelitian Patanas meliputi urea, ZA,
TSP/SP, KCL, dan NPK. Diantara kelima jenis pupuk anorganik ini yang
telah digunakan oleh seluruh petani di semua provinsi adalah urea. Hal ini
ditunjukkan oleh tingkat partisipasi penggunaan pupuk urea di seluruh
provinsi yang mencapai 100 persen

Tabel 3. Tingkat Partisipasi Rumah Tangga dalam Penggunaan Pupuk di Provinsi-Provinsi


Patanas , 2007 dan 2010
Provinsi
1. Jabar
2. Jateng
3. Jatim
4. Sumut
5. Sulsel
Total

Urea
100
100
100
100
100
100

ZA
65
15
25
39
5
18

2007
SP
40
75
70
33
49
53,4

KCl
25
20
14
10
21
18

NPK
30
45
30
`7
19
28,2

Urea
100
100
100
100
100
100

ZA
15
37
40
76
18
38,3

2010
SP
83
71
55
38
44
61,4

KCl
8
5
8
22
18
10,6

NPK
77
75
69
74
56
71,3

g. Tabel 3 yang menyajikan dosis penggunaan pupuk di provinsi-provinsi


lokasi penelitian Patanas tahun 2007 dan 2010, informasi yang menarik
untuk dikemukakan adalah bahwa dosis penggunaan seluruh jenis pupuk
(kecuali KCL) mengalami kenaikan selama kurun waktu 2007-2010. Perlu
diketahui bahwa keempat jenis pupuk yang meningkat penggunaannya

413

Tjetjep Nurasa dan Adreng Purwoto

tersebut (urea, ZA, TSP/SP, serta NPK) merupakan pupuk-pupuk


bersubsidi. Salah satu penyebab peningkatan dosis penggunaan keempat
jenis pupuk tersebut adalah karena sistem penyaluran pupuk bersubsidi
yang diberlakukan adalah sistem tertutup sehingga ketersediaan pupuk
bagi petani relatif terjamin. Penyebab lainnya adalah karena harga pupuk
bersubsidi pada tahun 2009 belum naik sehingga harganya relatif
terjangkau oleh petani.
Tabel 4. Dosis Pupuk Di Provinsi-Provinsi Patanas, 2007 dan 2010
Dosis Pupuk
Urea

ZA

2007
SP

KCl

NPK

1. Jabar
2. Jateng

295
251

96
193

183
147

164
135

95
84

272
285

99
143

144
228

12
90

174
205

3. Jatim
4. Sumut
5. Sulsel

166
148
136

106
115
54

88
119
69

114
96
81

112
122
104

325
197
323

159
139
93

116
149
143

53
79
70

144
161
174

199

113

121

118

103

284,0

133,0

156,0

61,0

167,0

Provinsi

Total

KCl

NPK

Urea

ZA

2010
SP

Ditinjau dari dosisnya (tingkat penggunaan per hektar), dosis urea adalah
tertinggi di semua lokasi penelitian Patanas dengan kisaran antara 272325 kg per hektar di Jawa dan 197-323 kg per hektar di luar Jawa (Tabel
4.). Dosis NPK menduduki urutan kedua dengan kisaran antara 144-205
kg per hektar di Jawa dan 161-174 kg per hektar di luar Jawa. Dosis
TSP/SP menduduki urutan ketiga dengan kisaran antara 116-228 kg per
hektar di Jawa dan 143-149 kg per hektar di luar Jawa. Dosis ZA
menduduki urutan keempat dengan kisaran antara 14,7-40 kg per hektar di
Jawa dan 18-76 kg per hektar di luar Jawa. Terakhir dosis KCL menduduki
urutan kelima dengan kisaran antara 5-8 kg per hektar di Jawa dan 18-22
kg per hektar di luar Jawa. Menarik untuk dikemukakan bahwa dosis
pemupukan yang diterapkan petani pada umumnya didasarkan pada
pengalaman sendiri. Persentase petani yang menggunakan pengalaman
sendiri sebagai dasar penetapan dosis pupuk di Jawa mencapai 88,8
persen, sedangkan di luar Jawa mencapai 70,5 persen. Relatif tingginya
persentase petani yang menggunakan pengalaman sendiri sebagai dasar
penetapan dosis pupuk diduga karena keberadaan kelompok tani dan PPL
masih belum berfungsi secara optimal. Perlu dikemukakan bahwa dasar
penetapan dosis pupuk berdasarkan uji kesuburan tanah dan uji BWD
belum diketahui petani.
h. Selama kurun waktu 2007-2010, kecuali di Jawa Barat dimana cara
merontok dengan digebot masih tetap merupakan cara perontokan yang
dominan, di provinsi-provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara,
dan Sulawesi Selatan terjadi fenomena dimana di satu sisi alat perontok
thresher manual semakin kurang diminati petani sementara di sisi lain alat
perontok thresher mesin semakin diminati petani. Dalam hubungan ini di

414

Analisis Profitabilitas Usaha Tani Padi pada Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi
di Jawa dan Luar Jawa Perdesaan Patanas

keempat provinsi tersebut tingkat partisipasi penggunaan thresher manual


turun dari kisaran 4-36 persen pada tahun 2007 ke kisaran 0-13 persen
pada tahun 2010. Sementara itu tingkat partisipasi penggunaan thresher
mesin naik dari kisaran 34-87 persen pada tahun 2007 ke kisaran 52-96
persen pada tahun 2010.

STRUKTUR BIAYA DAN PROFITABILITAS USAHA TANI PADI

Struktur Biaya
Konsepsi yang digunakan dalam perhitungan biaya adalah sebagai
bertikut. Pertama, nilai sarana produksi yang diperhitungkan adalah yang riil
dikeluarkan. Kedua, nilai tenaga kerja yang diperhitungkan adalah nilai tenaga
kerja luar keluarga yang dibayar secara tunai maupun dengan natura. Sementara
itu tenaga kerja dalam keluarga tidak dinilai karena dianggap sebagai penerimaan
manajemen (return of management) dari usaha tani. Ketiga, nilai sewa lahan
diperhitungkan sebagai biaya karena sistem sewa-menyewa lahan sawah
cenderung semakin berkembang di beberapa kabupaten lokasi penelitian selama
kurun waktu 2007-2010. Keempat, pangsa (share factor) dari setiap unsur biaya
adalah persentasi terhadap biaya total. Kelima, total biaya usaha tani di masingmasing kabupaten lokasi penelitian adalah rata-rata dari seluruh responden yang
berstatus petani penggarap dengan status baik sebagai pemilik, penyewa,
penyakap, maupun, penerima gadai.
Pada penelitian ini biaya usaha tani padi secara garis besar dipisahkan
menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: (a) biaya sarana produksi, (b) biaya tenaga kerja,
dan (c) biaya lain-lain. Biaya sarana produksi terdiri dari: (a) biaya untuk benih, (b)
biaya untuk berbagai macam pupuk seperti pupuk anorganik, pupuk organik,
pupuk kandang, kompos, dan lain-lain, dan (c) biaya berbagai jenis pestisida (obatobatan). Biaya tenaga kerja, berdasarkan konsepsi yang disebutkan diatas, hanya
mencakup upah tenaga kerja luar keluarga yang dibayar baik secara tunai maupun
dengan natura. Biaya lain-lain mencakup sewa lahan, pajak bumi dan bangunan
(PBB), zakat hasil bumi, biaya sewa alat dan mesin pertanian, dan lain-lain.
Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata biaya total usaha tani padi pada MH
2009/2010 provinsi di Jawa terbesar ada di Provinsi Jawa Barat dan terendah di
Provinsi Jawa Timur dengan total masing-masing biaya usaha tani sebesar Rp 5,
6 juta dan Rp 4,8 juta. Sedangkan untuk rata-rata di provinsi Jawa yaitu sebesar
Rp 5,1 juta per hektar. Dari total biaya sebesar ini proporsi terbanyak digunakan
untuk biaya tenaga kerja berkisar 61 69 persen dan untuk rata-rata di Jawa
sebesar 64,77 persen. Proporsi terbesar kedua digunakan untuk biaya sarana
produksi yaitu berkisar 24 25 persen dengan rataan di Jawa yaitu sebesar 24,06
persen. Proporsi sisanya digunakan untuk biaya lain-lain berkisar 7 15 persen
dengan rata-rata di Jawa sebesar 11,17 persen. Sedangkan biaya total usaha tani
di Sumatera Utara sebesar Rp 4,8 juta dan di Sulawesi Selatan Rp 3,6 juta atau
rata-rata total usaha tani di luar jawa yaitu sebesar Rp 4,2 juta per hektar. Proporsi
untuk biaya tenaga kerja berkisar 62 67 persen atau rata-rata di luar Jawa

415

Tjetjep Nurasa dan Adreng Purwoto

sebesar 64,53 persen, untuk biaya sarana produksi berkisar 26 27 persen


dengan rata-rata 26,62 persen dan untuk biaya lain-lain berkisar 6 12 persen
dengan rata-rata sebesar 8,85 persen.
Tabel 5. Struktur Biaya Usaha Tani Padi Sawah di Provinsi-provinsi Lokasi Penelitian pada
MH 2009/2010
Provinsi/
Kabupaten

Sarana Produksi
Rp 000
%

Tenaga Kerja
Rp 000
%

Biaya lain-lain
Rp 000
%

Total
Rp 000

Jawa Barat:
Indramayu
Subang
Karawang

1.336.680
1.474.118
1.360.617

21,97
25,89
26,05

4.307.245
3.603.714
3.740.386

70,78
63,29
71,62

441.297
616.408
121.577

7,25
10,83
2,33

6.085.222
5.694.240
5.222.580

762.303
1.368.375
898.495
1.616.711

15,94
32,14
21,10
25,47

3.360.120
2.589.497
3.255.400
3.264.934

70,25
60,83
76,45
51,43

660.581
299.080
104.179
1.466.497

13,81
7,03
2,45
23,10

4.783.003
4.256.952
4.258.074
6.348.143

Jember
Banyuwangi
Lamongan

1.122.332
998.985
1.321.989

26,54
18,18
27,30

2.755.270
3.985.435
2.195.659

65,17
72,53
45,34

350.517
510.415
1.325.172

8,29
9,29
27,36

4.228.119
5.494.835
4.842.820

Jawa

1.226.060

24,06

3.305.766

64,77

589.572

11,17

5.121.399

1.737.109
882.157

32,26
20,42

2.668.108
3.228.880

49,55
74,74

979.327
209.025

18,19
4,84

5.384.544
4.320.063

887.323
1.092.218

23,97
29,83

2.654.320
2.274.951

71,69
62,14

160.716
293.791

4,34
8,02

3.702.359
3.660.960

Luar Jawa
1.149.702
26,62
2.706.565
Total Jawa &
Luar Jawa
1.187.881
25,34
3.006.165
Keterangan: Tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan

64,53

410.715

8,85

4.266.982

64,65

500.144

10,01

4.694.190

Jawa Tengah:
Cilacap
Klaten
Sragen
Pati
Jawa Timur:

Sumatera Utara:
Asahan
Serdang B
Sulawesi Selatan:
Sidrap
Luwu

Berdasar biaya total dan struktur biaya usaha tani padi di seluruh provinsi
penelitian pada MH 2009/2010 ada beberapa hal yang menarik untuk diungkapkan
yaitu ; Pertama, biaya total usaha tani padi per hektar antar provinsi Jawa dan luar
Jawa tidak sama. Perbedaan pada biaya total usaha tani padi di Provinsi Jawa dan
Luar Jawa pada musim tanam yang sama dapat disebabkan antara lain oleh: (a)
perbedaan kuantitas per hektar (dosis) sarana produksi yang digunakan,.baik
karena adanya dosis spesifik lokasi maupun karena perbedaan intensitas
serangan hama dan penyakit; (b) perbedaan harga sarana produksi; (c) perbedaan
kuantitas tenaga luar keluarga per hektar yang digunakan; (d) perbedaan tingkat
upah tenaga kerja luar keluarga per HOK, tingkat upah borongan per hektar untuk
suatu kegiatan usaha tani tertentu, maupun perbedaan besarnya upah panen
(bawon); dan (e) perbedaan nilai sewa lahan per hektar, besar PBB per hektar,

416

Analisis Profitabilitas Usaha Tani Padi pada Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi
di Jawa dan Luar Jawa Perdesaan Patanas

maupun perbedaan dalam peraturan-peraturan/ketentuan-ketentuan yang


berkaitan dengan usaha tani padi yang bersifat lokal (kebiasaan setempat). Kedua,
walaupun biaya total usaha tani padi per hektar bervariasi antarlokasi penelitian,
namun ditinjau dari proporsi biaya untuk sarana produksi, tenaga kerja, dan biaya
lain-lain nampak ada kesamaan pola pengeluaran antarlokasi penelitian, yaitu
proporsi terbanyak untuk biaya tenaga kerja, proporsi terbesar kedua untuk biaya
sarana produksi, dan proporsi terkecil untuk biaya lain-lain.
Tabel 6 menyajikan biaya total dan struktur biaya usaha tani padi pada
MK 1 tahun 2009 di provinsi-provinsi lokas penelitian. Kalau data pada Tabel 5
dicermati secara seksama maka hal-hal menarik yang perlu digarisbawahi persis
sama sebagaimana yang diperoleh dari Tabel 6. Hal-hal tersebut adalah sebagai
berikut. Pertama, biaya total usaha tani padi per hektar adalah bervariasi
antarprovinsi lokasi penelitian. Kedua, dari biaya total usaha tani per hektar,
proporsi terbanyak untuk biaya tenaga kerja, proporsi terbesar kedua untuk biaya
sarana produksi, dan proporsi terkecil untuk biaya lain-lain.
Tabel 6. Struktur Biaya Usaha Tani Padi Sawah di Provinsi-provinsi Lokasi Penelitian pada
MK 1 Tahun 2009
Sarana Produksi
Rp 000
%

Provinsi/
Kabupaten

Tenaga Kerja
Rp 000
%

Biaya lain-lain
Rp 000
%

Total
Rp 000

Jawa Barat:
Indramayu
Subang
Karawang

1.298.352
1.569.635
1.397.306

24,60
27,68
26,77

3.516.882
3.719.008
3.730.920

66,62
65,57
71,49

463.578
382.744
90.888

8,78
6,75
1,74

5.278.812
5.671.387
5.219.114

807.986
1.530.352
913.589
1.803.505

16,44
34,55
20,97
30,76

3.228.880
2.385.357
3.319.445
3.087.089

65,71
53,85
76,19
52,66

876.787
513.598
123.984
972.186

17,84
11,60
2,85
16,58

4.913.653
4.429.307
4.357.018
5.862.779

Jember
Banyuwangi
Lamongan

1.117.108
971.663
1.255.844

26,63
17,58
30,66

2.795.549
4.034.470
2.819.117

66,65
73,00
68,82

281.519
520.909
21.673

6,71
9,42
0,53

4.194.176
5.527.042
4.096.633

Jawa

1.266.534

25,66

3.263.672

66,06

424.787

8,28

4.954.992

1.542.578
837.862

31,27
18,95

2.614.251
3.350.793

52,99
75,80

776.729
231.936

15,74
5,25

4.933.558
4.420.591

Jawa Tengah:
Cilacap
Klaten
Sragen
Pati
Jawa Timur:

Sumatera Utara:
Asahan
Serdang B1)

Sulawesi Selatan:
Sidrap
Luwu

884.451
1.108.901

23,02
31,77

2.805.538
2.146.456

73,02
61,50

151.982
235.056

3,96
6,73

3.841.970
3.490.412

Luar Jawa

1.093.448

26,25

2.729.260

65,83

348.926

7,92

4.171.633

Nasional
1.179.991
25,96 2.996.466
Keterangan:
1)Khusus kabupaten Serdang B pada MK 2 2009
Tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan

65,94

386.856

8,10

4.563.312

417

Tjetjep Nurasa dan Adreng Purwoto

Profitabilitas Usaha Tani


Untuk mengukur profitabilitas (keuntungan) usaha tani ada 2 (dua) peubah
yang dibutuhkan yaitu (a) penerimaan total dan (b) biaya total. Penerimaan total
merupakan perkalian antara produktivitas dan harga jual produk. Sementara itu
biaya total merupakan penjumlahan seluruh biaya baik biaya sarana produksi,
biaya tenaga kerja, maupun biaya lainnya sebagaimana telah dibahas
sebelumnya. Berdasarkan konsepsi yang telah dikemukakan sebelumnya, pada
laporan penelitian ini biaya total usaha tani padi tidak mencakup nilai tenaga kerja
dalam keluarga, tetapi nilai sewa lahan dicakup.
Di lokasi penelitian provinsi di Jawa pada MH 2009/2010 penerimaan
usaha tani padi yaitu terendah ada di Provinsi Jawa Tengah Rp 13,1 juta dan
tertinggi ada di Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar Rp 16,6 juta. (Tabel 7).
Penerimaan ini merupakan kontribusi dari produktivitas berkisar 53,76 58,65
kwintal gabah kering panen (GKP) per hektar dengan harga gkp berkisar Rp 2385
Rp 2.848,. Keuntungan nominal terbesar di Provinsi Jawa Barat Rp 10, 9 juta
dan terendah di Provinsi Jawa Tengah Rp 8,2 juta. Nilai R/C berkisar 2,7 2,9. Ini
berarti bahwa setiap 1 (satu) rupiah yang dikeluarkan untuk berusaha tani padi
akan mendatangkan penerimaan dengan kisaran 2.7 2,9 rupiah
Tabel 7. Profitabilitas Usaha Tani Padi di Provinsi-provinsi Lokasi Penelitian pada MH
2009/2010
Produktivitas
(Kg/hektar)

Harga
(Rp/kg
gkp)

Penerimaan
(Rp)

Total
Biaya
(Rp)

Profitabilitas
(Rp)

Jawa Barat:
Indramayu
Subang
Karawang

6.671
5.295
5.630

2.646
3.195
2.702

17.654.493
16.916.002
15.210.594

6.085.222
5.694.240
5.222.580

11.569.271
11.221.762
9.988.014

2,90
2,97
2,91

Jawa Tengah:
Cilacap
Klaten
Sragen
Pati

4.868
4.751
5.575
6.312

2.418
2.740
2.445
2.231

11.771.864
13.018.921
13.631.007
14.081.078

4.783.003
4.256.952
4.258.074
6.348.143

6.988.861
8.761.969
9.372.933
7.732.935

2,46
3,06
3,20
2,22

Jawa Timur:
Jember
Banyuwangi
Lamongan

5.509
5.566
6.356

2.412
2.446
2.298

13.288.814
13.612.430
14.604.539

4.228.119
5.494.835
4.842.820

9.060.695
8.117.595
9.761.719

3,14
2,48
3,02

Jawa

5.653

2.553

14.378.974

5.121.399

9.257.575

2,84

Sumatera Utara:
Asahan
Serdang B

5.657
5.827

2.727
2.811

15.428.536
16.381.228

5.384.544
4.320.063

10.043.992
12.061.165

2,87
3,79

Sulawesi Selatan:
Sidrap
Luwu

5.219
5.292

2.291
2.252

11.956.934
11.916.362

3.702.359
3.660.960

8.254.575
8.255.402

3,23
3,25

Luar Jawa

5.499

2.520

13.920.765

4.266.982

9.653.784

3,29

Nasional

5.576

2.537

14.149.870

4.694.190

9.455.679

3,06

Provinsi
/Kabupaten

418

R/C

Analisis Profitabilitas Usaha Tani Padi pada Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi
di Jawa dan Luar Jawa Perdesaan Patanas

Sedangkan untuk rata-rata penerimaan usaha tani di provinsi di Jawa yaitu


sebesar Rp 14,3 juta, kontribusi dari produktivitas 56,53 kwintal gabah kering
panen per hektar dan harga rata-rata di Jawa sebesar Rp 2553 per kg.
Keuntungan nominal yaitu sebesar Rp 9,2 juta per hektar. Sementara itu R/C
berkisar 2,84. Ini berarti bahwa setiap 1 (satu) rupiah yang dikeluarkan untuk
berusaha tani padi akan mendatangkan penerimaan sebesar 2,84 rupiah. Dengan
demikian usaha tani padi di Jawa pada MH 2009/2010 adalah sangat
menguntungkan.
Di luar Jawa pada MH 2009/2010 penerimaan usaha tani terendah di
Provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebesar Rp 11,9 juta dan tertinggi di Sumatera
Utara Rp 15,9 juta. Produktivitas usaha tani padi terendah di Provinsi Sulawesi
Selatan 52,55 kwintal dan tertinggi di Provinsi Sumatera Utara sebesar 57,42
kwintal gkp per hektar dan harga GKP di Sulawesi Selatan 2.425 per kg dan
Sumatera Utara Rp 2.803 per kg (Tabel 8). Keuntungan nominal terendah yaitu
Provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebesar Rp 8,2 juta per hektar dan tertinggi
Sumatera Utara sebesar Rp 11,0 juta per hektar. Nilai R/C terendah yaitu Sulawesi
Selatan 3,2 dan tertinggi 3,3 untuk Sumatera Utara. Sedangkan rata-rata
produktivitas usaha tani padi di luar Jawa 55 kwintal per hektar dengan harga Rp
2.520 per kg. Penerimaan rata-rata usaha tani di luar Jawa yaitu sebesar Rp 14,1
juta dengan keuntungan nominal rata-rata yaitu sebesar Rp 9,6 juta per hektar. Di
luar Jawa 1 (satu) rupiah yang dikeluarkan untuk berusaha tani padi pada MH
2009/2010 mendatangkan penerimaan sebesar 3,29 rupiah sebagaimana
ditunjukkan oleh R/C sebesar 3,29. Dengan demikian, usaha tani padi di luar Jawa
pada MH 2009/2010 adalah sangat menguntungkan.
Dari uraian diatas ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi. Pertama,
di Provinsi Jawa dan luar Jawa usaha tani padi pada MH 2009/2010 secara
nominal adalah menguntungkan, meskipun nilai nominal dari keuntungan per
hektar tersebut adalah berbeda antarprovinsi. Kedua, di provinsi Jawa dan luar
Jawa usaha tani padi pada MH 2009/2010 secara nominal tidak sekedar
menguntungan, tetapi sangat menguntungkan. Dalam hal ini penerimaan
mencapai 2 3 kali lipat lebih dibandingkan biaya totalnya sebagaimana
ditunjukkan oleh R/C di Jawa 2,84 dan luar Jawa 3,29.
Tabel 8 menyajikan profitabilitas usaha tani padi di provinsi Jawa dan luar
Jawa pada MK 1 2009. Kalau data pada Tabel 8, dicermati secara saksama maka
hal-hal yang perlu digarisbawahi persis sama sebagaimana yang diperoleh dari
Tabel 7. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, usaha tani padi pada
MK 1 secara nominal adalah menguntungkan, meskipun nilai nominal dari
keuntungan per hektar tersebut berbeda antarprovinsi. Kedua, usaha tani padi
pada MK1 secara nominal sangat menguntungkan dimana penerimaan mencapai
2 3 kali lipat lebih dibandingkan biaya totalnya sebagaimana ditunjukkan oleh
R/C sebesar 2,81 di Jawa dan luar Jawa 3,54
Keuntungan yang diperoleh petani selama satu tahun (MH dan MK I) jika
dilihat dari kepemilikan rata-rata lahan yang dikuasai petani (75%) kurang dari 0,5
ha maka hasilnya hanya sekitar Rp 9,1 juta untuk petani provinsi di Jawa dan Rp
10,1 juta untuk luar Jawa. Pendapatan per tahun yang diperoleh petani padi ini

419

Tjetjep Nurasa dan Adreng Purwoto

lebih rendah dari PDB pertanian dalam arti sempit (diluar perikanan dan
kehutanan) tahun 2008 adalah Rp 21,6 juta/rumah tangga/tahun dalam (Renstra
Kemtan Tahun 2010-2014). Berarti jika petani pendapatan yang diperoleh hanya
dari hasil sawahnya saja maka dapat dilihat rata-rata per bulan pendapatan petani
di provinsi Jawa hanya sebesar Rp 758.000 dan Rp 841.000 untuk petani di luar
Jawa. Dan jika pendapatan ini juga dikalkulasi berdasarkan jumlah pendapatan
perkapita dimana rata-rata jumlah anggota rumah tangga di Jawa 4,2 orang di luar
Pulau Jawa 4,7 jiwa pada tahun 2010 (Susilowati et al., 2010) berarti pendapatan
yang diterima sebesar Rp 180 ribu/kapita di Jawa dan Rp 179 ribu/kapita di luar
Jawa.
Tabel 8. Profitabilitas Usaha Tani Padi di Provinsi Jawa dan Luar Jawa pada MK 1 2009
(dalam Rupiah per Hektar)
Produktivitas
(Kg/hektar)

Harga
(Rp/kg
gkp)

Penerimaan
(Rp)

Total
Biaya
(Rp)

Indramayu

4.804

2.681

12.880.212

5.278.812

7.601.400

2,44

Subang

5.021

3.265

16.393.890

5.671.387

10.722.503

2,89

Karawang

5.671

2.690

15.254.049

5.219.114

10.034.935

2,92

Cilacap

4.157

2.560

10.643.248

4.913.653

5.729.595

2,17

Klaten

5.368

2.641

14.177.056

4.429.307

9.747.749

3,20

Sragen

4.833

2.418

11.684.937

4.357.018

7.327.919

2,68

Pati

5.488

2.297

12.603.857

5.862.779

6.741.078

2,15

Jember

6.103

2.496

15.234.733

4.194.176

11.040.557

3,63

Banyuwangi

5.557

2.609

14.498.847

5.527.042

8.971.805

2,62

Lamongan

6.402

2.436

15.598.887

4.096.633

11.502.254

3,81

Jawa

5.340

2.609

13.935.141

4.954.992

8.980.149

2,81

5.226

2.753

14.385.538

4.933.558

9.451.980

2,92

6.363

2.852

18.147.844

4.420.591

13.727.253

4,11

Sidrap

5.214

2.490

12.983.761

3.841.970

9.141.791

3,38

Luwu

5.802

2.361

13.698.239

3.490.412

10.207.827

3,92

Luar Jawa

5.651

2.614

14.772.197

4.171.633

10.600.565

3,54

Total
5.496 2.612
14.353.309
Keterangan:
1)Khusus kabupaten Serdang B pada MK 2 2009

4.563.312

9.789.997

3,15

Provinsi
/Kabupaten

Profitabilitas
(Rp)

R/C

Jawa Barat:

Jawa Tengah:

Jawa Timur:

Sumatera Utara:
Asahan
1)

Serdang B

Sulawesi Selatan:

420

Analisis Profitabilitas Usaha Tani Padi pada Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi
di Jawa dan Luar Jawa Perdesaan Patanas

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan
1. Secara agregat pada periode 2007-2010, terjadi penurunan rata-rata luas total
pemilikan lahan di desa-desa Jawa dan sebaliknya, terjadi peningkatan di
desa-desa luar Jawa. Jumlah petani di desa-desa Jawa dan desa-desa luar
Jawa yang memiliki lahan sawah sempit (<0,5 ha) meliputi sekitar 75 persen.
Sementara itu, terjadi peningkatan jumlah petani yang tidak memiliki lahan
(tunakisma) sebesar 1,1 persen.
2. Selama periode 2007-2010 terjadi perubahan pola tanam dari pola tanam
padi-padi-palawija atau padi-padi-padi menjadi padi-padi-bera. Perubahan
pola tanam umumnya terjadi karena keterbatasan air. Dinamika penerapan
teknologi usaha tani menunjukkan kecenderungan penurunan penggunaan
dosis pupuk untuk jenis KCl, namun diimbangi dengan peningkatan
penggunaan pupuk NPK, urea, ZA dan SP. Secara umum dosis total pupuk
pada tahun 2010 meningkat dibanding tahun 2007.
3. Selama kurun waktu 2007-2010 partisipasi petani dalam penggunaan benih
berlabel meningkat meskipun sedikit. Tidak ada pergeseran berarti diantara
ketiga jenis tenaga untuk pengolahan tanah (traktor tangan, tenaga ternak, dan
tenaga manusia) di provinsi-provinsi lokasi penelitian. Ada perubahan cara
penyiangan dominan yang dilakukan petani. Kombinasi cara penyiangan
(herbisida, penggunaan alat yang disebut landak dan atau tangan) yang pada
tahun 2007 merupakan cara penyiangan dominan pada tahun 2010 cenderung
kurang diminati oleh petani, cara penyiangan dengan menggunakan herbisida
atau tangan semakin diminati petani.
4. Ditinjau dari proporsi biaya untuk sarana produksi, tenaga kerja, dan biaya
lain-lain, usaha tani padi di provinsi-provinsi lokasi penelitian baik pada MH
2009/2010 maupun pada MK 1 2009 memiliki pola pengeluaran yang sama,
yaitu proporsi terbanyak untuk tenaga kerja, proporsi terbesar kedua untuk
biaya sarana produksi, dan proporsi terkecil untuk biaya lain-lain.
5. Ditinjau dari rasio penerimaan total terhadap biaya total, usaha tani padi di
provinsi-provinsi lokasi penelitian baik pada MH 2009/2010 maupun pada MK
1 2009 secara nominal tidak hanya sekedar menguntungkan tetapi sangat
menguntungkan dimana penerimaan total mencapai 24 kali lipat
dibandingkan biaya totalnya.
6. Kebutuhan sarana produksi pada umumnya sudah mencukupi, namun
sebenarnya dari sisi modal masih kekurangan. Untuk itu, masih ada yang
meminjam untuk memenuhi kebutuhan modal usaha tani.

Implikasi Kebijakan
1. Dalam mengupayakan perbaikan distribusi lahan, terutama pada wilayah yang
mengalami ketimpangan pemilikan lahan cukup serius, perlu didukung

421

Tjetjep Nurasa dan Adreng Purwoto

berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah, baik dalam bentuk kebijakan


reforma agraria, kebijakan lahan abadi, dan berbagai kebijakan lain dalam
rangka mencegah pengurangan lahan sawah.
2. Dengan telah dicapainya efisiensi usaha tani padi sawah yang relatif tinggi,
maka peluang untuk meningkatkan produktivitas semakin kecil karena senjang
antara tingkat produktivitas yang telah dicapai dengan tingkat produktivitas
maksimum sudah relatif sempit. Untuk itu, guna meningkatkan lebih lanjut
produktivitas dan produksi padi dan pendapatan petani, dibutuhkan terobosan
teknologi khususnya dalam bentuk penemuan-penemuan varietas unggul baru
dengan tingkat produktivitas yang lebih tinggi.
3. Peningkatan efisiensi usaha tani juga dapat dicapai melalui perluasan areal
sawah. Untuk itu, kebijakan dan program pemerintah terkait dengan
peningkatan akses petani terhadap lahan dan perbaikan distribusi lahan perlu
terus didorong guna peningkatan efisiensi usaha tani dan produksi padi
nasional.
4. Untuk meningkatkan pendapatan petani maka perlu kiranya rencana aksi
Kementerian Pertanian guna menjamin peningkatan pendapatan petani
diupayakan dapat terlaksana.

DAFTAR PUSTAKA
Amang, B. and N. Sapuan. 2000. Can Indonesia Feed Itself. In Arifin and Dillon (Eds). Asian
st
Agriculture Facing The 21 Century. Proceeding The Second Conference of Asian
Society of Agricultural Economists (ASAE). Jakarta
Irawan, B., P. Simatupang, R. Kustiari, Sugiarto, Supadi, Y.F. Sinuraya, M. Iqbal, M.Ariani,
V. Darwis, R. Eliizabet, Sunarsih, C. Muslim, T.B. Purwantini, dan T. Nurasa. 2007.
Panel Petani Nasional (PATANAS) Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis dan Kebijakan Pertanian.
Bogor
Kasryno,F. 1995.
Prospek Pertanian Indonesia dan Antisipasi dalam Menghadapi
Persaingan Global. Makalah disampaikan pada Pertemuan Teknis di P3GI
Pasuruan. 29-30 November.
Lawal, J.O. and K.A. Oluyole. 2008. Factors Influencing Adoption of Research Result and
Agricultural Technologies among Cocoa Farming Households in Oyo State,
Nigeria. International Journal Sustainable Crop Production. 3(5): 10- 12.
Nurmalina, R. 2008. Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Sistem Ketersediaan Beras di
Beberapa Wilayah Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 26 No.1, Mei 2008;
47-49
Ogada, M., W. Nyangena and M. Yusuf. 2010. Production Risk and Farm Technology
Adoption In The Rain-Fed Semi-Arid Lands of Kenya. AfJARE, 4(2010) : 159-174.
Rukka, H., Buhaerah dan Sunaryo. 2006. Hubungan Karakteristik Petani dengan Respon
Petani terhadap Penggunaan Pupuk Organik pada Padi Sawah (Oryza sativa L.).
Jurnal Agrisistem, 2(2006): 23-31.

422

Analisis Profitabilitas Usaha Tani Padi pada Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi
di Jawa dan Luar Jawa Perdesaan Patanas

Sauer, J dan D. Zilberman. 2009. Innovation Behaviour at Farm Level-Selection and


Identification. Gewisola. University of California and Giannini Foundation, Berkely.
Simatupang, P dkk. 2002. Pembangunan Pertanian sebagai Andalan Perekonomian
Nasional. Monograph Series No. 23. Analisis Kebijaksanaan : Pembangunan
Pertanian Andalan Berwawasan Agribisnis. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor.
Soekartawi. 1995. Analisis Usaha Tani. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
Sudaryanto, T., P. Simatupang, A. Purwoto, M. Rosegrant, and M. Hossain. 1999. Could
Indonesia Sustain Self-Sufficiency in Rice Production. Recent Trends and a LongTerm Outlook. Discussion paper Series No. 99-03. Social Sciences Division. IRRI.
Makati. Philippines
Suryana, A. 2002. Keragaan Perberasan Nasional. Dalam Pambudy (eds). Kebijakan
Perberasan di Asia. Regional Meeting in Bangkok, October 2002
Suryana, A. dan A. Purwoto. 1997. Perspektif dan Dinamika Penawaran, Permintaan dan
Konsumsi Pangan. Makalah Pra WKNPG VI, Sub Tema III : Penawaran,
Permintaan dan Konsumsi pangan. 4-5 Desember. Bogor.
Susilowati. S.H., B. Hutabarat, M. Rahmat, A. Purwoto, Sugiarto, Supriyati, Supadi, A.K.
Zakaria, B. Winarso, H. Supriyadi, T.B. Purwantini, R. Elizabeth, D. Hidayat, T.
Nurasa, C. Muslim, M. Maulana, M. Iqbal, R. Abdillah. 2010. Panel Petani Nasional
(PATANAS) Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.
Karakteristik Sosial Ekonomi Petani dan Usaha Tani Padi
Laporan Hasil
Penelitian. Pusat Analisis dan Kebijakan Pertanian. Bogor
Tabor, S.R., H.S. Dillon, and M.H. Sawit. Understanding The Food Crisis : Supply, Demand
or Policy Failure? International Seminar Agricultural Sector During Turbulance of
Economic Crisis : Lessons and Future Directions. 17-18 February. CASER-AARD.
Bogor.

423

Tjetjep Nurasa dan Adreng Purwoto

Lampiran 1. Sebaran Desa Contoh dan Jumlah Rumah Tangga Petani Penggarap Pada
Agroekosistem Lahan Sawah Irigsi di Pedesaan Patanas 2007 dan 2010

Daerah

Desa

Jumlah Rumah tangga


Sensus 2007

Sampel 2010

I. Jawa
A. Jawa barat
1. Indramayu

1. Tugu

149

25

2. Subang

2. Simpar

164

25

1. Pati

1. Tambah Rejo

191

2. Klaten

2. Demangan

172

25
25

3. Sragen

3. Mojorejo

168

4. Cilacap

4. Sindangsari

194

1. Lamongan

1. Sungegeneng

102

2. Jember

2. Padomasan

120

3. Banyuwangi

3. Kaligondo

133

1. Serdang Badagai

1. Lidah Tanah

192

2. Asahan

2. Kuala Gunung

147

1. Sidrap

1. Carawali

143

2. Luwu

2. Salujambu

111

B. Jawa Tengah

25
25

C. Jawa Timur
25
25
25

II. Luar Jawa


A. Sumatera Utara
25
25

B. Sulawesi selatan

Jumlah

424

1.986

25
25
325

Anda mungkin juga menyukai