Anda di halaman 1dari 9

Review STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS MITOS DAN KARYA

SASTRA Heddy Shri Ahimsa-Putra


RINGKASAN DAN TANGGAPAN
Pada saat saya dan teman-teman S2 yang mengambil mata kuliah Epistemologi diminta
untuk mereview buku ini, saya pun mulai mencari buku ini dan setelah melihat buku tersebut
saya langsung patah hati, atau seperti seseorang yang diabil kebahagiaannya oleh
dementor dalam cerita Harry Potter melihat betapa tebalnya buku ini dan betapa sangat
asingnya saya terhadap strukturalisme karena saya baru saja menginjakkan kaki saya pada
dunia Antropologi. Namun saya akan mencoba dengan sekuat daya pemikiran dan tenaga
saya mencoba untuk meringkasnya dan mungkin dengan sedikit tanggapan di beberapa
bagian serta mengumpulkannya sesuai dengan tanggal yang sudah ditetapkan yaitu hari ini,
17 November 2009.
Buku ini dimulai dengan pembukaan dari penulis yang dilanjutkan dengan
diketengahkannya background siapa ituLevi-Strauss dan landasan pemikiran Levi-Strauss
hingga muncul Strukturalisme yang kemudian dianggap sebagai landasan filsafat, metode
analisa dan juga sebagai paradigma.
Model yang digunakan dalam Strukturalisme adalah gejala sosial-budaya sama seperti
bahasa. Oleh sebab itu pembahasan awal dimulai dengan kajian mengenai bahasa itu
sendiri. Meskipun bahasa modelnya bisa berupa homeomorphdan paramorph, model dalam
strukturalisme adalah paramorphdimana subyek dan sumber model berbeda. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa, Levi-Strauss memandang fenomena sosial-budaya ... sebagai
kalimat atau teks dimana ada suatu kesatuan yang diberi makna oleh seorang pengarang
atau pembicara dan diucapkan oleh kata-kata yang membentuk suatu kalimat. Apa yang
mendasari pemikiran tersebut adalah dari dua hukum yaitu arti dari sebuah teks tergantung
pada arti dari bagian-bagiannya dan yang terakhir adalah makna dari setiap bagian atau
peristiwa dalam sebuah teks ditentukan oleh peristiwa-peristiwa yang mungkin dapat
menggantikannya tanpa membuat keseluruhan teks menjadi tidak bermakna atau tidak
masuk akal (halaman 32 baris 9-12). Hal ini memberikan dua alternatif kepada seorang
peneliti budaya yang menggunakan model bahasa dalam melihat gejala sosial budaya.
Pertama adalah mengambil semantik differensial yang informal sebagai modelnya dan
menerapkannya langsung pada teks-teks tertentu, atau kalau boleh saya ungkapkan
berdasarkan pada keterangan diatas adalah menerapkannya pada fenomena sosial-budaya
tertentu, dan yang kedua adalah mencoba menemukan semacam tata bahasa ala
Chomsky atau fonologi ala Jakobson atau menurut pemikiran saya adalah peneliti gejala
sosial-budaya mencoba menganalisa gejala sosial-budaya seperti halnya menemukan suatu
tata bahasa. Dan Levi-Strauss, menurut Ahimsa, memilih cara yang kedua.
Levi-Strauss dan Linguistik Struktural
Bicara pilihan Linguistik Struktural levi-Strauss kita perlu menengok dua ahli bahasa
yang mempengaruhi Levi-Strauss yaitu Ferdinand de Saussure dan Roman Jakobson. Saya
tidak akan mengetengahkan siapa Saussure dan Jakobson, karena telah diketengahkan

oleh Ahimsa dalam buku ini, namun saya akan langsung kepada teori-teori atau pandanganpandangan mereka yang mempengaruhi Levi-Strauss.
Ferdinand de Saussure
1. Penanda (Signifier) dan Tinanda (Signified)
Saussure menyatakan bahwa bagian dasar dari bahasa adalah linguistic sign yang
mewujud dalam bentuk kata-kata.Bagi de Saussure ide-ide tidak ada sebelum kata-kata
dan secara psikologis pikiran kita ... hanyalah suatu massa yang tak terbentuk dan tak
mengenal perbedaan-perbedaan(halaman 35 paragraf 2). Pandangan ini menimbulkan
suatu pertanyaan atas makna dari kata-kata. Saussure mengungkapkan akan
adanya signifier dan signified yang melekat pada sebuah kata dan adanya bentuk dan isi
dari kata itu sendiri. Saat kita mengucapkan sebuah kata yang terwujud dengan suara,
akan timbul konsep atau yang saya sebut pemvisualisasian dalam pikiran kita atas apa
yang dikandung dalam kata tersebut. Kata yang berbeda akan menimbulkan suara yang
berbeda dengan pemvisualisasian yang berbeda pula. Jelas nampak di sini adanya
hubungan antara penanda dan tinanda (yang ditandai). Contoh: pada saat seseorang
menyuarakan atau mengucapkan kata televisi maka visualisasi akan kata televisi yang
ada dalam pikiran saya adalah bentuk tv itu sendiri yang berupa kotak persegi panjang
dengan beberapa tombol dan antena.
2. Wadah (Form) dan Isi (Content)
Suatu kata memiliki wadah yang tetap dengan isi yang bisa berubah-ubah. Isi yang
berubah-ubah ini berhubungan dengan kata-kata yang ada pada sebelum dan sesudah
kata itu sendiri. Adanya perubahan isi karena kata-kata yang mendahului atau mengikuti
kata itu membuat Saussure sampai pada dua pandangan yaitu bahwa bahasa tidak lain
adalah seperangkat perbedaan-perbedaan (halaman 41 paragraf 3) dan bahasa juga
merupakan istilah-istilah yang saling tergantung (interdependent terms), dimana nilai
dari setiap istilah atau kata adalah hasil dari kehadiran, keberadaan, istilah-istilah yang
lain sekaligus (halaman 42 paragraf 2).
3. Bahasa (Langue) dan Tuturan (Parole)
Langue, diutarakan dalam buku ini, adalah aspek sosial dari bahasa
sedangkan Parole adalah wujud atau aktualisasi dari Langue (halaman 43 paragraf 3)
atau pada halaman berikutnya di ungkapkan bahwa tuturan merupakan sisi empirik, sisi
kongkrit dari bahasa sedangkan bahasa sendiri merupakan struktur yang tidak tampak.
Karena bahasa mengalami perkembangan atau bersifat diakronis, Saussure membatasi
kajian bahasanya pada bahasa yang bersifat sinkronis atau statis.
4. Sinkronis (Synchronic) dan Diakronis (Diachronic)
Dari uraian di atas jelas bahwa Saussure sadar adanya bahasa yang bersifat sinkronis
dan diakronis. Oleh Saussure kemudian bahasa dibedakan menjadi bahasa sebagai
sistem, atau yang bersifat sinkronis, dan bahasa yang telah telah mengalami evolusi.
Menurut Ahimsa hal ini berhubungan dengan sifat arbitrair dari penanda dan tinanda

dimana apabila terjadi perubahan pada bahasa maka akan terjadi pula perubahan pada
penanda dan tinanda sehingga tanda didefinisikan sebagai suatu entitas (entity) yang
bersifat relasional atau dalam relasi-relasinya dengan tanda-tanda yang lain (halaman
47 baris 1-2). Namun apabila kita ingin menentukan elemen-elemen dari bahasa, maka
bahasa yang bersifat sinkronis lah yang harus dikaji.
5. Sintagmatik (Syntagmatic) dan Paradigmatic (Associative)
Hubungan sintagmatik sebuah kata adalah hubungan yang dimilikinya dengan katakata yang dapat berada di depannya atau di belakannya dalam sebuah
kalimat (halaman 47 paragraf 2). Menurut Ahimsa Hubungan paradigmatis dari seuah
kata adalah hubungan-hubungan esensial yang dimilikinya di luar hubungan
sintagmatik (halaman 49 paragraf 2) sedangkan pandangan Saussure mengenai
hubungan paradigmatis adalah hubungan yang dimilikinya dengan kata-kata lain yang
dapat menggantikanya dalam suatu kalimat tanpa membuat kalimat tersebut secara
sintagmatis tidak dapat diterima atau tidak bermakna(halaman 50 paragraf 2) dan
pandangan yang terakhir ini lah yang menjadi landasan konsep relasi paradigmatis
dalam Strukturalisme.
Dari pandangan-pandangan tersebut di atas dicapailah sebuah teori mengenai bahasa
dimana bahasa dipandang sebagaisebuah sistem istilah yang saling tergantung dimana
nilai dari tiap-tiap istilah sepenuhnya merupakan hasil dari kehadiran istilah-istilah yang lain
sekaligus. (halaman 51 paragraf 2). Dan teori ini yang kemudian diajukan untuk mengkaji
tanda-tanda dan simbol-simbol, dan fenomena budaya.
Roman Jakobson
Sistem-sistem kekerabatan dan variasinya banyak dikaji pada masa Jakobson dengan
menitikberatkan pada asal-usul dan tujuannya. Penjelasan-penjelasannya dianggap oleh
Levi-Strauss tidak memuaskan. Dan Levi-Strauss melirik analisa Jakobson yang dirasa
dapat memberikan kontribusi. Jakobson berpikir bahwa dengan memandang bahasa hanya
sebagai suatu sistem bunyi maka dengan sendirinya kata tidak lagi dapat dianggap
sebagai satuan linguistik yang paling dasar atau paling elementer dan mengalihkan
pandangannya pada fonem yang dianggapnya sebagai satuan bunyi yang terkecil dan
berbeda, yang tidak dapat bervariasi tanpa mengubah kata di mana fonem tersebut
berada. Analisis Jakobson mengambil sisi paradigmatis dari bahasa. Langkah-langkah,
yang kemudian dibuku ini disebutkan sebaga langkah analisis strukturak, atas fonem yang
dia ambil adalah (sebagaimana diuraikan pada halaman 55 paragraf 2):
1.

mencari distinctive feature yang membedakan tanda-tanda kebahasaan satu dengan


yang lain

2. memberikan suatu ciri menurut features tersebut pada masing-masing istilah


3. merumuskan dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah kebahasaan mana yang dapat

berkombinasi dengan tanda-tanda kebiasaan tertentu lainnya


4. menentukan perbedaan-perbedaan antartanda yang penting secara paradigmatis

Dari analisis ini dicapailah suatu pandangan bahwa suatu fonem dapat didefinisikan
sebagai hasil kombinasi dari sejumlah oposisi-oposisi berpasangan.
Dalam buku ini diketengahkan juga pandangan ahli fonologi yang mempengaruhi LeviStrauss yaitu Nikolai Troubetzkoy yang beranggapan fonem sebagai sebuah konsep atau
ide berasal dari para ahli bahasa dan bukan ide yang diambil dari pengetahuan pemakai
bahasa tertentu yang diteliti (halaman 58). Nikolai juga memandang perlunya distinctive
feature.Analisis struktural Nikolai mengutamakan perlunya (sebagaimana diuraikan pada
halaman 59 paragraf 3):
1.

beralih dari tataran yang disadari ke tataran nirsadar

2. memperhatikan relasi-relasi antarisitilah atau antarfonem sebagai dasar analisis


3. memperlihatkan sistem-sitem fonemis dan menampilkan struktur dari sistem tersebut
4. harus berupaya merumuskan hukum-hukum tentang gejala kebahasaan yang

mereka teliti.
Makna, Struktur dan Transformasi (Konsep)
Dalam bahasan selanjutnya mengenai makna, struktur dan transformasi diuraikan oleh
Ahimsa bahwa struktur adalah model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami
atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan
fenomena empiris kebudayaan itu sendiri. Model ini merupakan relasi-relasi yang
berhubungan satu sama lain atau saling mempengaruhi (halaman 60). Sedangkan
transformasi adalah diterjemahkan sebagai alih-rupa atau malih dalam bahasa jawa
ngoko (halaman 61). Dalam pembahasannya lebih lanjut transformasi kemudian disebut
sebagai alih-kode. Dalam sub bab ini Ahimsa mengemukakan pertanyaan, yang kemudian
akan menjadi landasan pada kajian-kajiannya pada mitos-mitos dan karya sastra yang dia
uraikan pada buku ini:
- Apakah fenomena budaya berstruktur?
- Seperti apa strukturnya?
- Bagaimana transformasi strukturalnya?
Asumsi Dasar Strukturalisme Levi-Strauss
1.

Segala aktivitas sosial dan hasilnya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa

2. Dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis

sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal, yaitu
kemampuan structuring untuk menstruktur, menyusun suatu struktur, atau
menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapi (halaman
67 paragraf 3). Lebih lanjut diuraikan Struktur yang ada pada sebuah mitos, suatu

sistem kekerabatan, sebuah kostum, sebuah rituil, tatacara memasak dan


sebagainya merupakan struktur-struktur permukaan (halaman 67 paragraf 4.
3. Relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada

titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut


4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi

menjadi oposisi berpasangan (binary opposition) (halaman 69 paragraf 3)


Levi-Strauss dan Mitos
Levi-Strauss beranggapan bahwa para ahli antropologi sebaiknya mengarahkan
perhatian merka pada mekanisme bekerjanya human mind atau nalar manusia dan
mencoba memahami strukturnya (halaman 75 paragraf 1) dan masyarakat sederhana
diusulkan untuk dikaji karena proses-proses pemikiran mereka masih sederhana atau kalau
yang saya pahami masih natural sebagaimana adanya tidak seperti masyarakat Eropa yang
menurut Levi-Strauss telah banyak dipengaruhi oleh kondisi yang tidak natural. Mitos atau
dongeng menurut Ahimsa diketengahkan karena merupakan perwujudan dari pemikiranpemikiran masyarakat sederhana tersebut dimana hal-hal yang tidak masuk akal ditemukan.
Kemiripan dongeng satu dengan yang lain, walaupun dongeng-dongeng tersebut berasal
dari daerah yang berbeda-beda, dipandang bukanlah suatu kebetulan oleh Levi-Strauss.
Kemiripan ini menjadi landasan Levi-Strauss untuk mengkaji nalar manusia. Alasan lain
dikajinya mitos adalah persamaanya dengan bahasa dimana mitos dan bahasa keduaduanya dalah media komunikasi untuk menyampaikan pesan dan juga adanya
aspeklangue dan parole dalam mitos yang ditunjukkan dengan beradanya mitos
dalam reversible dan non-reversible time. Diajukan juga suatu pandangan bahwa karena
makna dalam bahasa terletak pada kombinasi fonem-fonem maka mitos juga perlu dikaji
dengan melihat kombinasi dari berbagai tokoh dan perbuatan mereka serta posisi mereka
masing-masing dalam kombinasi tersebut (halaman 84, 3 baris terakhir). Persamaan mitos
dan bahasa ini membuat Levi-Strauss mengeluarkan teori yang mengatakan bahwa Myth is
language, functioning on an especially high level where meaning succeeds practically at
taking off from the linguistic ground on which it keeps on rolling.
Implikasi dari pandangan tersebut adalah munculnya asumsi-asumsi dasar pengkajian
mitos:
1.

Mitos terbentuk dari constituent units

2. Walaupun unit-unit dalam mitos ini sama seperti unit-unit bahasa, mereka juga

berbeda satu dengan yang lain yang kemudian disebut sebagai gross constituent
units ataumythemes.
3. Mitos diperlakukan sebagai simbol dan tanda sekaligus

Mitos juga dipandang oleh Levi-Strauss sama dengan musik dimana keduanya meminta
perhatian dari struktur-struktur mental yang ada pada manusia, memerlukan dimensi waktu
untuk mewujud dan keduanya melebihi bahasa lisan karena maknanya tidak dapat dipahami
seperti kita memahami bahasa lisan atau kata demi kata.

Analisis Struktural Mitos: Metode dan Prosedur


Landasan pemikiran untuk analisa:
1.

Mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna

2. Hanya ciri-ciri tertentu mitos yang dapat disamakan dengan ciri-ciri bahasa
3. Ciri-ciri mitos lebih kompleks dan rumit daripada bahasa

Prosedur analisa:
1.

Mencari miteme
Miteme adalah unsur-unsur dalam konstruksi wacana mitis yang juga merupakan
satuan-satuan yang bersifat oppositional, relatif dan negatif (halaman 94). Miteme
juga merupakan segmen atau peristiwa.

2. Menyusun miteme

Bundles of relations perlu ditemukan dan dianalisis dalam tahap ini yang kemudian
disusun secara paradigmatis dan sintagmatis
Levi-Strauss dan Analisis Struktural (Analisis Struktural Levi-Strauss pada Kisah
Oedipus, Kisah si Asdiwal, Mitos-Mitos Indian Amerika dan Kritik-Kritik)
Kisah Oedipus
Berdasarkan analisa strukturalnya pada kisah Oedipus, Levi-Strauss beranggapan
bahwa berbagai bentuk simbolisasi yang ada dalam mitos-mitos tersebut memang
mengalamai transformasi-transformasi dan transformasi ini mengikuti aturan-aturan logika
tertentu secara ketat (halaman 109, bagian akhir paragraf 1).
Kisah si Asdiwal
Analisis struktural Levi-Strauss pada kisah ini dimulai dengan menelusuri peta
perjalanan Asdiwal, tataran geografis, yang kemudian terkait dengan tataran ekonomi,
tataran sosiologis yang didalamnya diuraikan mengenai kebudayaan patrilokal dan
matrilokal yang dialami oleh Asdiwal dan juga pernikahan eksogami dan endogami dan juga
adanya tataran kosmologis yang ditafsirkan ada dalam tataran sosiologis tersebut.
Dalam kisah ini Levi-Strauss melihat adanya aspek urutan dan skemata. Aspek urutan
adalah diceritakannya kisah ini secara kronologis atau berurutan sedangkan skemata adalah
adanya skemata yang muncul secara bersamaan atau overlap.
Untuk menampilkan pesan yang ingin disampaikan dari kisah si Asdiwal ini, Levi-Strauss
menganalisa satu mitos yang berhubungan dengan kisah si Asdiwal ini yaitu kisah si Waux
yang tak lain adalah anak dari Asdiwal. Kisah si Waux ini dipandang sebagai a dialectic

regression oleh Levi-Strauss dimana adanya pelemahan dalam segi fungsi perantara dalam
tokoh Waux namun juga adanya progression dimana pembalikan akan adanya yang
meninggal karena kekenyangan dan bukannya kelaparan pada kisah Asdiwal.
Dari kisah Oedipus, Asdiwal dan Waux dicapailah suatu teori bahwa fungsi mitos adalah
untuk mengungkapkan kegagalan suatu sistem perkawinan dengan sepupu matrilateral atau
dengan kata lain oleh Ahimsa diungkapkan pada halaman 135 paragraf 2 yang menyatakan:
Singkatnya dongeng Asdiwal dan anaknya, menurut Levi-Strauss, merupakan
simbolisasi kegagalan dari upaya nalar dan masyarakat Tsimshian untuk mendamaikan,
menyatukan, paradoks-paradoks, kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam berbagai tataran
kehidupan mereka, termasuk di antaranya paradoks dalam kehidupan sosial yang muncul
akrena adanya pola afiliasi (matrilinieal) yang berlawanan dengan pola tempat tinggal
(patrilokal).
Mitos sebenarnya tidak berupaya untuk melukiskan atau menampilkan yang ada, tetapi
untuk membenarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam kenyataan, sebab the
extreme positions are only imagined in order to show that they are untenable. (halaman
135 paragraf 2)
Dan kegunaan penganalisaan mitos secara struktural untuk para peniliti fenomena
budaya adalah diketahuinya pengelompokkan-pengelompokkan nalar manusia yang berada
pada tataran nirsadar dan pemikiran masyarakat sederhana pun terstruktur.
Kritik
1.

Cara penggunaan konsep-konsep analitis yang dirasa kurang tepat

2. Tidak konsitenannya Levi-Strauss dalam prosedur analisis.


3. Reduksi yang terjadi dalam proses analisis

Permasalahan lain yang ditemukan oleh Douglas muncul karena upaya Levi-Strauss
yang ingin mengetahui pesan atau isi yang disampaikan serta untuk mengungkap bahasa
atau alat yang digunakan untuk mengatakan atau menyampaikan pesan. Namun hal ini
tidak mendasar karena bagi Levi-Strauss isi adalah struktur itu sendiri dan hal tersebut tidak
dapat diketahui tanpa melihat bentuk formal dari pengungkapan isi atau pesan yaitu bahasa.
Kritik yang lain adalah terhadap interpretasi data etnografi yang dibuat oleh Levi-Strauss
dimana tafsir Levi-Strauss dianggap penuh dengan generalisasi-generalisasi etnografis.
Hasil Analisis Levi-Strauss juga tidak lepas dari kritikan:
1.

Kemampuan analisis struktural menuntaskan tafsir yang diberikan

2. Kebenaran struktur mitos yang dikemukakan

Diterangkan lebih lanjut bahwa analisis struktural ini hanya sesuai untuk menganalisa
sistem-sistem atau hal-hal yang bersifat sistematis saja karena sifat sinkronis bahasa yang
menjadi landasan Levi-Strauss. Hal ini dijawab oleh Lvi-Strauss yang mendasari analisanya
dengan pemikiran bahwa manusia pada dasarnya memiliki nalar yang sama atau bisa juga
dikatakan, oleh Ahimsa, bahwa hasil analisis tersebut merupakan hasil dari nalar LeviStrauss (halaman 173 paragraf 3). Meskipun Levi-Strauss dengan mengatakan bahwa
pemikiran peneliti adalah conscious sedangkan pemikiran tineliti adalah unconscious,
struktur dan tata bahasa seluruhnya berada pada tataran nirsadar.
Kelebihan Analisis Struktural
(Sebagaimana dituliskan pada hal 175 178)
1.

Mampu mengungkapkan acuan-acuan tertentu, makna-makana yang sangat dalam,


yang tak terduga dan menarik, dari serangkaian mitos-mitos tertentu.

2. Berhasil memperlihatkan pada publik pembacanya bahwa mitos-mitos yang

dianalisisnya tidaklah bervariasi begitu saja tanpa aturan


3. Berhasil memperlihatkan bagaimana pemikiran masyarakat pemilik mitos-mitos

tersebut ternyata tidak berkeliaran bebas begitu saja


Leach lebih menekankan pada perspektif analisa struktural itu sendiri bukan pada hasil atau
metodenya. Yang kemudian oleh Ahimsa ditambahkan bahwa menurut Ahimsa metode juga
penting dan lebih lanjut Ahimsa mengungkapkan sepakatnya dia terhadap pendapat Leach
yang menyatakan bahwa analisa struktural ini bukanlah satu-satunya teknik yang
bermanfaat dah perlu diikuti dengan ketat untuk menganalisa mitos dan totem (halaman 177
paragraf 4).
Analisis Struktural Ahimsa untuk Mitos-Mitos di Indonesia dan Karya Sastra Umar
Kayam
Pada Bab V Bab IX diketengahkan contoh-contoh analisis struktural Levi Strauss yang
beberapa tidak mengikuti secara ketat analisa struktural Levi-Strauss. Mitos-mitos yang
dianalisa adalah dongeng Pitoto si Muhamma yang merupakan dongeng orang Bajo, dan
dongeng Sawerigading dan Dewi Sri yang bertemakan larangan incest dan kekuasaan yang
kemudian dalam sub babnya dibahas juga mengenai pernikahan yang ideal yang dapat
ditafsirkan dari dongeng Sawerigading dan Dewi Sri tersebut.
Sedangkan karya sastra Umar Kayam yang Ahimsa analisa secara struktural adalah Sri
Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi yang menurut Ahimsa adalah upaya Umar Kayam untuk
menjawab pertanyaan dirinya, sebagai sosok yang berada dalam posisi luminal, tentang
siapakah yang patut menjadi korban dalam peristiwa Gestapu.
Selain itu pada Bab VIII juga diketengahkan pemikiran Ahimsa akan keberadaan orang
Jawa yang berada pada posisi luminal dalam kaitannya dengan agama Islam yang
ditegaskan oleh Ahimsa bahwa orang Jawa adalah orang Islam yang tidaknyekek namun
juga Hindu. Dan diketengahkannya teori bahwaBabad Tanah Jawi merupakan dongeng

yang menggambarkan terserapnya ajaran Islam dalam kehidupan orang Jawa serta
pesan-pesan yang secara implisit menyatakan bahwa ajaran Islam merupakan takdir orang
Jawa untuk memeluknya. Saya tidak dapat memberikan komentar apa-apa dalam hal ini
selain bahwa contoh-contoh analisa ini sangat membantu saya untuk memahami
Strukturalisme itu sendiri.
Penutup
Buku ini ditutup dengan saran bahwa:
1. Paradigma struktural tidak hanya untuk menganalisa mitos namun juga untuk
menganalisa gejala sosial budaya yang lain
Komentar dari saya: sayang tidak diketengahkan contoh analisa gejala sosial budaya
yang lain dalam buku ini yang menurut saya sangat berguna untuk para antropolog di
Indonesia untuk dapat mengkritisinya atau bahkan yang menurut saya paling penting
adalah juga untuk menerapkannya sehingga dunia antrpologi Indonesia menjadi lebih
kaya.
2. Paradigma struktural levi-Strauss merupakan salah satu alternatif yang bisa digunakan.
KATA AKHIR
Jujur saya tidak bisa mengomentari, apalagi mengkritisi, buku ini selain bahwa buku ini
telah membantu saya, sedikit banyak, untuk memahami Strukturalisme dan cara-cara yang
ternyata tidak harus secara ketat memberlakukan analisis struktural Levi-Strauss. Namun
seperti anak yang sedang berjalan, saya membutuhkan tangan lain yang bisa membantu
saya untuk berjalan dan tangan lain itu saya pikir adalah dengan adanya contoh-contoh
analisis struktural akan hasil penelitian atas fenomena budaya yang ada di Indonesia, selain
dongeng dan karya sastra.
P O S T E D B Y D I YAH P E R WI T O S A R I AT 7 : 0 5 AM
L A B E L S : T U G A S E P I S T E M O L O G I A N T R O P O L O G I - P R O F. D R . H E D D Y S H R I A H I M S A - P U T R A M A M P H I L

Anda mungkin juga menyukai